CJR Ekonomi Kemiskinan Josef Gunawan Purba [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CRITICAL JOURNAL REVIEW MK. Ekonomi Kemiskinan PRODI S1 IE - FE



RIVIEW JOURNAL EKONOMI KEMISKINAN



Dosen Pengampu: Dr. Faisal R. Dongoran, M.Si



Di susun oleh: Josef Gunawan Purba



PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGRI MEDAN TAHUN 2019



Skor Nilai:



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas Critical Jurnal Riview. Guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Ekonomi Kemiskinan. Dalam penulisan Critical Jurnal Riview ini, tentu saja saya tidak dapat menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua kami masing-masing yang selalu mendoakan dan juga kepada dosen pengampu. Saya menyadari bahwa Critical Jurnal Riview ini masih jauh dari kata sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, Saya dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya. Akhir kata Saya mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam Critical Jurnal Review yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya bagi para pembaca.



Medan, Maret 2021



Josef Gunawan Purba



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................................i DAFTAR ISI......................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN A. Rasionalisasi Pentingnya Critical Journal Riview................................................... B. Tujuan Critical Journal Riview................................................................................ C. Manfaat Critical Journal Riview.............................................................................. D. Identitas Journal....................................................................................................... BAB II RINGKASAN JURNAL A. Pendahuluan journal ............................................................................................... B. Deskripsi isi journal................................................................................................. BAB III PEMBAHASAN A. Jurnal 1.................................................................................................................... B. Jurnal 2.................................................................................................................... BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................................................. B. Rekomendasi........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULIUAN A. Rasionalisasi Pentingnya CJR Sering kali kita bingung memilih Jurnal untuk kita baca dan pahami.Terkadang kita memilih satu buku,namun kurang memuaskan hati kita.Misalnya dari segi analisis bahasa, pembahasan tentang Ekonomi Kemiskinan. Oleh karena itu, penulis membuat Critical Journal Report ini untuk mempermudah pembaca dalam memilih



referensi,terkhusus pada pokok



bahasan tentang Ekonomi Kemiskinan. B.Tujuan Penulisan CJR Alasan dibuat CJR untuk penyelesaian tugas mata kuliah Ekonomi Kemiskinan dan menambah Ilmu tentang etika dalam ekonomi kemiskinan serta meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berpikir secara kritis dan inovatif . C. Manfaat CJR 



Untuk mengetahui bagaimana ekonomi kemiskinan







Untuk menambah wawasan tentang ekonomi kemiskinan D. Identitas Jurnal yang direview



JURNAL 1 Judul Jurnal



: Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Di Indonesia



Volume



: Vol. 4, No. 2



Halaman



: 210-222



Tahun



: 2014



Penulis Penerbit Alamat Terbit



: Yoghi Citra Pratama : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Jakarta



JURNAL 2 Judul Jurnal Volume/Nomor



: Chronic Poverty in India: Incidence, Cause and Policies : Vol. 31, No. 3



Halaman



: 491-511



Tahun



: 2003



Penulis



: Aasha Kapur Mehta dan Amitha Shah



Penerbit



: Indian Institute of Public Administration



Alamat Terbit



: New Delhi, India



BAB II RINGKASAN JOURNAL A.Journal 1 1. Pendahuluan Kemiskinan merupakan isu sentral bagi setiap negara didunia, khususnya bagi negara berkembang, pengentasan kemiskinan dan menciptakan kesejahteraaan bagi rakyat merupakan tujuan akhir suatu negara. Berbagai pemikiran maupun konsep-konsep tentang kemiskinan sudah dikaji dan diadaptasi diberbagai negara berkembang namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan, dalam konteks ini Indonesia sebagai negara berkembang yang sudah berumur 57



tahun, masih dihinggapi oleh masalah kemiskinan dimana 14% rakyat Indonesia dari kurang lebih 240 juta jiwa saat ini masih dikategorikansebagai rakyat miskin dengan menggunakan indikator berpendapatan 1 $ perhari, artinya masih ada sekitar 30 juta rakyat miskin di Indonesia. Yang lebih ironis apabila kita mnggunakan indicator dari bank dunia dimana rakyat miskin adalah orang berpendapatan kurang dari 2 $ perhari maka angka tersebut melonjak m enjadi 35%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat dalam lima tahun terakhir dibandingkan dengan negara-negara kawasan, ternyata belum mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang signifikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh sektor konsumsi rumah tangga ternyata tidak menghasilkan pertumbuhan e konomi yang berkualitas yang dapat mengentaskan kemiskinan secara signifikan dan menciptakan lapangan pekerjaan yang luas, serta belum menghilangkan tingkat disparitas antara golongan kaya dan golongan miskin, hal ini tercermin dalam indeks gini yang mencapai 0,4, artinya adalah terjadi disparitas yang sangat besar dalam pengusaan kekayaan atau kesejahteraan antara golongan terkaya dengan golongan yang termiskin dalam masyarakat Indonesia. 2. Kajian Teori Ditinjau dari kelompok sasaran, terdapat beberapa tipe kemiskinan. Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memiliki sasaran dan target yang jelas. Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya). 2) Kemiskinan relatif (situasi kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatu komunitas). 3) Kemiskinan struktural (kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai ada bantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut). United Nation Development Program (UNDP) meninjau kemiskinan dari dua sisi, yaitu dari sisi pendapatan dan kualitas manusia. Dilihat dari sisi pendapatan, kemiskinan ekstrim (extreme poverty) atau kemiskinan absolut adalah kekurangan pendapatan untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal kalori yang diperlukan. Dari sisi kualitas manusia,



kemiskinan secara umum (overall poverty), atau sering disebut sebagai kemiskinan relatif, adalah kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan non-pangan, seperti pakaian, energi, dan t empat bernaung (UNDP, 2000). Penggolongan tipe kemiskinan lainnya adalah kemiskinan persisten, yaitu situasi di mana orang atau keluarga secara konsisten tetap miskin untuk masa yang relative lama. Di Amerika, yang dimaksud dengan kelompok miskin persisten adalah mereka yang telah menerima tunjangan kesejahteraan selama lebih dari 8 tahun (Berrick,1995; Pandji-Indra, 2001). Sedangkan kemiskinan transien adalah situasi di mana kehidupan orang atau keluarga secara temporer dapat jatuh di bawah garis kemiskinan bila terjadi PHK, jatuh sakit dan peningkatan biaya pendidikan (Pandji-Indra, 2001). Kondisi kemiskinan transien ini dapat ditemui pada saat suatu negara dilanda krisis ekonomi atau bencana alam. Tinjauan lain mengenai kemiskinan adalah garis kemiskinan (poverty line) dan ukuran kemiskinan (poverty measurement), yang merupakan indikator kuantitatif untuk menentukan individu atau kelompok masyarakat miskin. 3. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif- korelasional (kausal) yang akan menjelaskan strategi program kemiskinan yang menjadi program pemerintah dan efektifitasnya terhadap pengentasan kemiskinan, serta melakukan analisa ekonometri untuk melihat seberapa besar pengaruh tiap-tiap variabel bebas yaitu variabel tingkat pendapatan, tingkat konsumsi, tingkat inflasi, indeks pembangunan manusia (IPM), tingkat pendidikan, terhadap variabel terikatnya yaitu tingkat kemisikinan di 33 provinsi di Indonesia. Apakah pengaruhnya positif atau negatif. Penelitian deskriptif merupakan penjelasan karakteristik, mengetahui profil, dan menjelaskan aspek yang relevan dari fenomena terhadap objek penelitian (Nasution dan Usman,2007). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Multi Reggression (MR) Definisi operasional variabel Indenpenden dan Dependen dalam penelitian ini adalah : a. Tingkat Pendapatan rumah tangga. Besarnya nilai pendapatan rumah tangga yang diperoleh oleh masyarakat dalam satuan pendapatan perkapita di 33 provinsi di Indonesia . b. Tingkat pendidikan



Tingkat pendidikan formal masyarakat Indonesia, dalam penelitian ini adalah angka partisipasi sekolah umur 15-18 tahun di 33 propinsi di Indonesia, yang datanya diperoleh dari berbagai sumber, baik dari badan pusat statistik maupun lembaga lainnya. c. Tingkat Inflasi Kenaikan harga barang-barang secara umum dalam periode tertentu yang dihitung dalam satuan persentase di 33 provinsi Indonesia. d. Konsumsi rumah tangga Konsumsi rata-rata rumah tangga masyarakat di 33 provinsi Indonesia yang dihutung dalam satuan milliar rupiah yang di ubah menjadi presentase. e. Indeks Pembangunan manusia (IPM) IPM adalah indeks komposit dari gabungan 4 (empat) indicator yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita. f. Tingkat Kemiskinan Jumlah masyarakat Indonesia yang teridentifikasi hidup dibawah garis kemiskinan di 33 provinsi Indonesia.



4. Pembahasan Dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, Presiden RI mencanangkan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), program ini menentukan titik-titik pembangunan yang dibagi kedalam enam koridor utama dari Aceh sampai Papua. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara berkelanjutan. Pengembangan MP3EI dilakukan dengan pendekatan breakthrough yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”, melalui perubahan pola pikir bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan



lapangankerjasedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. Dari sisi regulasi, pemerintah akan melakukan deregulasi (debottlenecking) terhadap regulasi yang menghambat pelaksanaan investasi. Fasilitasi dan katalisasi akan diberikan oleh pemerintah melalui penyediaan infrastruktur maupun pemberian insentif fiskal dan non fiskal. Pelaksanaan MP3EI dilakukan untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi melalui pengembangan 8 (delapan) program utama yang terdiri dari 22 (dua puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Strategi pelaksanaan MP3EI dilakukan dengan mengintegrasikan 3 (tiga) elemen utama yaitu: (1) Mengembangkan potensi ekonomi wilayah di 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia, yaitu: Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawesi, Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua– Kepulauan Maluku; (2) Memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected); (3) Memperkuat kemampuan SDM dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi. Penyusunan MP3EI dimaksudkan bukan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan yang telah ada seperti RPJPN dan RPJMN, namun akan menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer, serta penting dan khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan. (MP3EI, Kemenko Perekonomian). Dalam masa sekarang Indonesia menempati urutan ke 15 negara terbesar dalam jumlah PDB nya sehingga Indonesia masuk ke dalam Negara G-20. Tingkat PDB yang besar tersebut tidak dimbangi oleh distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata hal ini tercermin dari semakin memburuknya indeks Gini yang meningkat menjadi 0,4 dari 0,3 pada tahun 2011, ini menjadi concern bagi kita semua untuk menciptakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeadilan yang dapat dinikmati oleh semua rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 % pada tahun 2011 dan diperkirakan akan mencapai menurun 6,0-6,3 % pada tahun 2012, disebabkan karena menurunnya nilai ekspor Negara kita ke Negara-negara tujuan ekspor, yang diakibatkan oleh adanya krisis global di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa. Pertumbuhan ekonomi yang belum maksimal juga disebabkan oleh rendahnya infrastruktur Indonesia yang mengakibatkan



meningkatnya biaya-biaya produksi. Birokrasi yang kompleks juga ditenggarai menjadi penghambat pembangunan ekonomi, serta penegakan hokum yang masih lemah manjadi salah satu hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang pada akhirnya mengurangi efektivitas pengentasan kemiskinan. BPS menggunakan konsep kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) sebagai dasar dalam mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari garis kemiskinan. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan.Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan BukanMakanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) Bulan September 2012. Sebagai informasi tambahan, juga digunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.



B.Journal 2 1.Pendahuluan Selama lima dekade terakhir, India telah membuatnya upaya sistematis untuk mengentaskan kemiskinan melalui meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serangan langsung menggunakan program yang ditargetkan, reformasi lahan dan persewaan, berbasis partisipatif dan pemberdayaan pendekatan dan penyediaan layanan dasar. Selama periode antara 1973–74 dan 1999– 2000, kejadian kemiskinan dinyatakan sebagai persentase orang di bawah garis kemiskinan menurun terus menerus dari 54,9% menjadi dilaporkan 26% . Laju pengurangan kemiskinan sangat bervariasi selama periode ini dengan penurunan yang besar dalam persentase



penduduk dalam kemiskinan sepanjang tahun 1980-an, perlambatan dalam laju pengentasan kemiskinan di awal 1990-an, dan tajam dilaporkan tetapi diperebutkan penurunan kemiskinan, dari 10% di paruh kedua tahun 1990-an. Tidak ada penurunan sekuler yang terjadi di jumlah mereka yang dalam kemiskinan. Nomor orang di bawah garis kemiskinan meningkat 8 juta selama tahun 1970-an, menurun sebesar 21,8 juta selama 1980-an, meningkat 13 juta selama awal 1990-an dan dilaporkan menurun 60 juta selama pertengahan tahun hingga akhir 1990-an. tersedia tentang kemiskinan kronis dalam hal durasi, tingkat keparahan dan perampasan multidimensi. Potensi hubungan antara tingkat keparahan kemiskinan dan durasi kemiskinan sangat penting untuk argumen kami. Bukti bahwa proporsi yang tinggi Orang miskin ekstrim India datang dari jadwal suku atau kasta dan / atau perempuan juga menunjukkan peran yang dimainkan oleh pengucilan sosial dalam pemblokiran mematikan cara apa pun untuk meningkatkan posisi mereka . Terakhir, migrasi mungkin menyediakan '' jalan keluar '' dari yang ekstrim kemiskinan tetapi, seperti yang akan dibahas nanti, yang ekstrim orang miskin adalah yang paling kecil kemungkinannya untuk dapat mengambil manfaat dari peningkatan mata pencaharian mereka migrasi melingkar atau jangka panjang. 2. kajian Teori Kemiskinan memiliki banyak dimensi (Hulme et al.,2001) dan orang miskin menderita kekurangan dalam berbagai cara dan tidak hanya dalam hal pendapatan. Beberapa bentuk perampasan manusia, termasuk peluang bertahan hidup yang buruk, pekerjaan yang tidak adil anak-anak, pelacuran anak, kerja ijon, pencemaran lingkungan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pengucilan sosial yang timbul dari kasta dan gender diskriminasi, tidak terkait dengan pendapatan di acara yang dapat diprediksi (UNDP, 1997). Orang miskin juga kekurangan akses ke aset seperti kredit, melek huruf, umur panjang, suara, tanah, air, dan hutan. India memiliki literatur yang berkembang tentang manusia dan gender indikator pembangunan dan peningkatan ini indikator berbasis pendapatan murni sebagai ukuran kesejahteraan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) adalah rata-rata dari tiga indeks yang mewakili pendapatan, umur panjang dan melek huruf (lihat Mehta & Shah, 2001). Tabel 5 membandingkan posisi peringkat dari 16 negara bagian dalam hal skor IPM mereka dan persentase populasi mereka yang tercatatseperti di bawah garis kemiskinan resmi. Timbulnya



pendapatan miskin dan miskin kinerja pada indikator pembangunan manusia mengikuti pola yang sama di sebagian besar India 16 negara bagian besar. Pengecualiannya adalah Andhra, Rajasthan, Maharashtra, Kerala, Benggala Barat dan Uttar Pradesh. Rendahnya pencapaian keaksaraan menghasilkan peringkat HDI yang rendah untuk Andhra, Rajasthan dan Uttar Pradesh. Sebaliknya, peringkat mereka di HDI relatif terhadap insiden kemiskinan sebagian besar disebabkan oleh tingkat melek huruf yang tinggi. (i) Kematian bayi dan melek huruf perempuan Area dengan tingkat bayi yang terus-menerus tinggi kemiskinan. Kurangnya akses ke input seperti makanan dan perawatan kesehatan karena rendahnya pendapatan / aset /ndaya beli dikaitkan dengan lebih tinggi kemungkinan anak yang baru lahir meninggal antara lahir dan umur satu tahun dikalikan 1000 (AKB Q1). Menggunakan informasi yang diperoleh dari tahun 1991. 3. Metopel Fokus makalah ini adalah pada orang miskin kronis di India, mereka yang mengalami kemiskinan untuk sebuah jangka waktu yang diperpanjang, 2 atau seluruh hidup mereka dan / atau yang kemiskinannya ditularkan ke yang berikutnya generasi (Hulme & Shepherd, masalah ini). Anehnya, mengingat skala penelitian tentang kemiskinan di India, hanya ada sedikit yang sistematis bekerja mengeksplorasi dinamika kemiskinan. Saat memilah orang miskin, literaturnya biasa berfokus pada mereka yang sangat miskin, di seberapa jauh di bawah garis kemiskinan mereka pendapatan atau konsumsi terletak, di dalam implisit asumsi bahwa mereka yang sangat miskin juga mereka yang miskin untuk waktu yang lama waktu. Dalam makalah ini kami meninjau data yang tersedia tentang kemiskinan kronis dalam hal durasi, tingkat keparahan dan perampasan multidimensi. Potensi hubungan antara tingkat keparahan kemiskinan dan untuk argumen kami. Berbeda dengan penelitian temuan dari Afrika Selatan (Aliber, masalah ini), kami mengandaikan itu di India (dan terutama pedesaan India) ada korelasi erat di antara keduanya mengalami kemiskinan parah pada saat itu waktu dan mereka yang menderita kemiskinan berkepanjangan periode waktu. Seperti yang ditunjukkan oleh pejabat tersebut data survei, mereka yang sangat miskin sangat sedikit aset alam, fisik atau keuangan dan sedang sangat bergantung pada manusia dan sosial mereka modal untuk bertahan hidup dan / atau meningkatkan posisi kehidupannya. Mengumpulkan modal melalui penerapan sumber daya



manusia mereka di pasar tenaga kerja sangat sulit, dengan rendahnya tingkat pendidikan, orang yang paling miskin tergantung pada bayaran yang rendah, pekerjaan yang tinggi, pekerjaan lepas tidak tetap. Jaringan social umumnya didasarkan pada hubungan dengan kerabat dan tetangga, yang sama-sama miskin dan dapat membantu kelangsungan hidup tetapi tidak dengan '' melarikan diri '' dari kemiskinan. Keterkaitan lainnya berupa hubungan patron-klien. Ini sering kali penting untuk kelangsungan hidup orang miskin tetapi di seberang Asia Selatan harga perlindungan social yang mereka beli adalah 'tetap miskin' (lihat Kayu dalam hal ini isu). Bukti bahwa proporsi yang tinggi Orang miskin ekstrim India datang dari jadwal suku atau kasta dan / atau perempuan juga menunjukkan peran yang dimainkan oleh pengucilan sosial dalam pemblokiran mematikan cara apa pun untuk meningkatkan posisi mereka . 4. Pembahasan Analisis di atas dengan jelas menunjukkan konsentrasi kemiskinan yang persisten, parah dan multidimensi di pedesaan dari sepuluh wilayah. tersebar di Bihar, Orissa, Madhya Pradesh, Uttar Pradesh dan Maharashtra. Istilah dari angka, mayoritas orang miskin tinggal di pedesaan wilayah di wilayah ini. Sedangkan daerah tersebut merupakan perangkap kemiskinan spasial utama di India, kantong kemiskinan ada bahkan di negara bagian dan daerah yang umumnya tidak menunjukkan parah kemiskinan. Prima facie, fenomena kronis kemiskinan, termasuk tingkat ketidakpastian yang tinggi basis mata pencaharian, tampaknya berasal dari faktor struktural yang diperkuat oleh yang rendah anugerah '' ibukota geografis ''. Ini adalah diwujudkan dalam hal agroklimat yang merugikan kondisi, infrastruktur tidak memadai, fisik isolasi, dan keterasingan sosial di wilayah ini (Bird, Hulme, & Shepherd, 2001). Bersama faktor-faktor ini tampaknya memperlebar jurang yang ada antara sistem ekonomi arus utama dan daerah tertinggal membentuk kemiskinan spasial perangkap di beberapa area yang kurang disukai (LFA). Di India ada dua jenis area 8 tertentu biasanya dipandang kurang disukai berdasarkan kondisi agro-ekologi dan sosial ekonomi sebagian besar wilayah lahan kering yang ditandai dengan seringnya gagal panen dan peluang kerja sporadik, yang mengarah pada risiko mata pencaharian tingkat tinggi yang tidak terlindungi keamanan di antara orang miskin; dan ekonomi '' berbasis hutan '', khususnya di daerah perbukitan dengan dominasi populasi suku dengan akses terbatas ke sumber daya alam, informasi dan pasar. Karakterisasi LFA ini dapat dibenarkan sejak pertumbuhan pertanian telah terbukti faktor yang paling krusial untuk mengurangi kemiskinan pedesaan secara langsung dan



juga untuk secara tidak langsung mendorong kondisi pertumbuhan yang pro-kaum miskin di (perkotaan dan pedesaan) sektor nonpertanian (Ravallion, 2000). Peran pertanian dalam mengurangi pedesaan kemiskinan telah ditunjukkan dengan baik oleh pengalaman pertumbuhan selama 1980–83 hingga 1990–93 di beberapa negara berpotensi tinggi tetapi tertinggal seperti Benggala Barat, Madhya Pradesh dan Rajasthan (Bhalla, 2000). Periode ini menandai titik balik dalam pertanian India dengan pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar 3,5% per tahun, dan penyebaran regional yang relatif lebih baik ini pertumbuhan. Sayangnya, pertanian gagal menunjukkan daya apung pada periode pascareformasi, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata hanya 2,32% antara 1990–91 dan 1997–98. Karena itu, harapan tentang pengentasan kemiskinan pedesaan tidak bertemu. Sedangkan masih ada yang substansial jumlah optimisme tentang pertanian beririgasi telah mencapai tahap 'lepas landas' (Radhakrishna, 2002), tantangan bagaimana meningkatkan produktivitas pertanian lahan kering masih perlu diselesaikan. Menurut perkiraan yang tersedia (Mehta & Shah, 2001), pertumbuhan pertanian di beberapa negara-negara ini tampaknya telah dikaitkan dengan pengurangan kemiskinan yang signifikan antara 1973– 74 dan 1993–94. Ini termasuk Benggala Barat, Rajasthan, dan Madhya Pradesh dimana insiden kemiskinan menurun sebesar 44%, 41%, dan 31% masing-masing. Namun demikian, sejauh mana pengentasan kemiskinan yang disebabkan oleh pertumbuhan pertanian di negara-negara bagian ini perlu hati-hati pemeriksaan. Ini sangat penting karena ada bukti balasan dalam kasus tersebut dari Orissa di mana pengurangan kemiskinan cukup substansial, yaitu, 27% (meskipun, lebih rendah dari pada negara lain dengan tingkat kemiskinan tinggi) meskipun demikian kinerja yang buruk di bidang pertanian khususnya, di tahun 1990-an. Selain itu, seperti yang dikatakan Gaiha (1989a), pertumbuhan saja tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan; penciptaan lapangan kerja, efektif Sistem distribusi publik dan tata kelola yang lebih baik juga diperlukan untuk menggeser secara kronis miskin dari perangkap berpenghasilan rendah. Dinamika pengentasan kemiskinan di pedesaan dengan demikian, melampaui kinerja pertumbuhan. pengentasan kemiskinan di daerah tersebut. Dengan tidak adanya diversifikasi ekonomi pertumbuhan pertanian juga dapat mengurangi kemiskinan hanya sampai batas tertentu. Ini tercermin dari fakta bahwa selama paruh kedua tahun 1990-an, pertumbuhan lapangan kerja di pedesaan terlihat negatif. Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja di daerah perkotaan sebagian dapat dijelaskan



oleh pergeseran dari pekerjaan nonpertanian dari daerah pedesaan ke perkotaan (Bhalla, 2000b). Dampak yang merusak memperlambat pertumbuhan pertanian, terutama di negara dengan pertumbuhan tinggi, telah menyebabkan pembalikan tren dalam diversifikasi tenaga kerja di pedesaan India. Ini telah diperburuk oleh peningkatan tekanan demografis tanpa henti kecuali di Punjab, Haryana, Kerala, dan Benggala Barat (Bhalla, 2000c). Faktanya, diversifikasi tenaga kerja itu sendiri bukanlah obat mujarab orang miskin pedesaan. Sebagaimana dicatat oleh Bhalla (2000c) '' Ketika semua gagal, pekerja pertanian yang kurang bekerja tertarik pada pekerjaan konstruksi sebagai hasil terakhir. '' Tipologi yang luas, tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat dan sifat kemiskinan kronis di kawasan lahan kering dan ekonomi berbasis hutan disajikan pada . Perbedaan inheren tertentu dalam tiga komponen penting modal geografis yaitu; agronomi, fisik infrastruktur dan struktur sosial terjadi di seberang dua set wilayah. Berikut kami mengidentifikasi beberapa indikator penting modal geografis untuk negara bagian yang bisa secara luas dikategorikan sebagai daerah rawan kekeringan atau berbasis hutan. Sebagian besar,mereka mewakili daerah berpotensi rendah dan tinggi masing-masing, sebagai didefinisikan oleh Fan, Hazell, dan Thorat (2000) berdasarkan klasifikasi distrik di dalamnya 20 zona agroklimat di India. Insiden dan dinamika kemiskinan di kedua jenis area yang kurang disukai ini kompleks dan dipengaruhi oleh jaringan struktural, faktor agronomi, sosial dan fisik. Ironisnya, daerah rawan kekeringan tidak menunjukkan tingginya tingkat kemiskinan meskipun mereka relatif lemah basis agronomi, sedangkan ada insiden kemiskinan yang tinggi di negara bagian / wilayah berbasis hutan yang relatif lebih baik. Prima facie, rendahnya angka kemiskinan di daerah rawan kekeringan kawasan dapat dikaitkan dengan dua set faktor: kondisi agronomi, seperti lahan yang menguntungkan hubungan, ukuran kepemilikan tanah yang lebih besar, proporsi yang lebih tinggi dari tanaman komersial bernilai tinggi, program migrasi keluar dan pekerjaan umum; dan dominasi sereal kasar seperti millet, jagung, ragi, yang memiliki kandungan kalori lebih tinggi, dalam format keranjang konsumsi rumah tangga berpendapatan rendah. Keberlanjutan pertumbuhan pertanian di lahan kering, bagaimanapun, sangat terbatas dengan eksploitasi berlebihan air tanah dan lainnya faktor teknis



. BAB IV PENUTUP



A. KESIMPULAN Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel pendapatan perkapita, inflasi, tingkat pendidikan indeks pembangunan manusia (IPM) dan konsumsi secara bersamaan atau simultan mempengaruhi variable tingkat kemiskinan, hal ini dapat dilihat dari Uji f yang menunjukkan tingkat signifkansi < 0,05. Dan dari R square diketahui bahwa variable variabel bebas tersebut dapat menjelaskan tingkat kemiskinan sebesar 56 persen dan artinya sisanya sebesar 44 persen dijelaskan oleh variable lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Jalur Indeks pembangunan manusia merupakan jalur yang tepat dalam menjelaskan kemiskinan dalam penelitian ini, hal ini ditunjukan dengan hasil analisis ekonometri diatas dimana IPM dipengaruhi positif signifikan oleh variable pendidikan dan pendapatan perkapita, dan hanya inflasi yang tidak mempengaruhi IPM secara signifikan. Sedangkan jalur Konsumsi tidak dipengaruhi signifikan oleh ketiga varibel bebasnya yaitu pendidikan , tingkat pendapatan perkapita dan inflasi. Penelitian diatas menunjukkan bahwa tingkat inflasi, konsumsi, pendapatan perkapita, IPM memiliki hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan, dan tingkat pendidikan memilki hubungan positif dengan tingkat pendidikan, yang menarik adalah ternyata yang memiliki pengaruh signifikan adalah variable konsumsi dan IPM, hal menunjukkan bahwa tingkat konsumsi yang rendah menunjukkan tingkat kemisikinan,



B. REKOMENDASI Terdapat berbagai hal-hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meminimalisir kemiskinan seperti halnya Dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, Presiden RI mencanangkan program Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), program ini menentukan titik-titik pembangunan yang dibagi kedalam enam koridor utama dari



Aceh sampai Papua. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan termasuk 10 (sepuluh) negara besar di dunia pada tahun 2025 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut, diharapkan pertumbuhan ekonomi riil rata-rata sekitar 7-9 persen per tahun secara berkelanjutan, sebaiknya pemerintah Menyusun perencanaan cadangan untuk mengantisipasti ketidak sampainya target nasional menurunkan angka kemiskinan.



DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fahrezi Zali, 1999. Distribusi Pendapatan Indonesia dan Faktor yang mempengaruhinya. Bandung: Jurnal Kampus Vol. XXXII, Nomor 4, Universitas Padjadjaran. Ajakaiye DO, Adeyeye VA. 2002. Concept, Measurement, and Causes of Poverty. CBN Economic & Financial Review, VOL. 39 N0. 4 Badan Pusat Statistik, 2012, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta Bhatta, Saurav Dev. 2001. Are Inequality and Poverty Harmful for Economic Growth: Evidence from the Metropolitan Areas of the United States. Journal of Urban Affairs, Volume 23, Number 34: 335