Dummy Penulis Final (Dinamika Hukum Pembuktian) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RAJAWALI PERS Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada DEPOK



Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Bakhri, Syaiful DINAMIKA HUKUM PEMBUKTIAN: Dalam Capaian Keadilan / Syaiful Bakhri — Ed. 1—Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2017. x, 294 hlm. 23 cm Bibliografi: hlm. 285 ISBN 978-602-425-238-0



1. XXXXXXXXXXXXXX



I. Judul







XXX. XX



Hak cipta 2017, pada Penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit 2017.XXXX RAJ Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. Editor: Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. DINAMIKA HUKUM PEMBUKTIAN: Dalam Capaian Keadilan Cetakan ke-1, Juli 2017 Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok Desain cover [email protected] Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset PT RAJAGRAFINDO PERSADA Kantor Pusat: Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16956 Tel/Fax : (021) 84311162 – (021) 84311163 E-mail : [email protected] http: // www.rajagrafindo.co.id Perwakilan: Jakarta-16956 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243, Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-601 18, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819. Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294, Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-701 14, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Jl. P. Kemerdekaan No. 94 LK I RT 005 Kel. Tanjung Raya Kec. Tanjung Karang Timur, Hp. 082181950029.



KATA PENGANTAR



Hukum pembuktian sebagai hukum yang sangat teknis, mengatur dengan sangat limitatif, dalam peraturan perundang-undangan, makna dari pencarian keadilan di Pengadilan, maka berbagai isu tentang kejahatan, tidak bermakna, tanpa bukti dan alat bukti sebagai daya dukung utama. Segala hal yang berkaitan dengan hukum pembuktian, akan digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan sengketa, dengan seadil-adilnya. Keadilan yang terus menerus diupayakan oleh umat manusia, selalu berakhir di penghujung ilmu hukum pidana yakni, di hilirnya atau di lembaga peradilan dalam kaidah hukum, tetapi kerapkali juga diberikan warna pada bagian politik hukum, di parlemen, ketika menentukan berbagai rumusan kesalahan, pertanggungjawaban, dan stelsel pemidanaan, dan segala perlindungan terhadap korban kejahatan, dalam perspektif Hak Asasi Manusia, semua hal menyangkut proses pencarian keadilan, selalu terjadi pergumulan antara pelaku dan korban kejahatan, serta peran negara, dalam mempolakan agar keadilan dapat disentuh secara nyata dan konkret. Keadilan bermakna pemuasan bagi para pihak dan sebagai jalan terselenggaranya tujuan kehidupan sosial. Keadilan adalah suatu isu yang mendalam dipersoalkan dalam ilmu hukum, dari rentang sejarah mula mengenal hukum, hingga berbagai prinsipprinsip negara hukum modern, selalu dalam perkara konkret maupun abstrak di berbagai peradilan, memerlukan pembuktin. Sehingga pembuktian sebagai suatu ilmu, mengalami perkembangan yang sangat pesat, seirama dengan



v



denyut nadi kehidupan yang memerlukan hukum-hukum yang logis, nyata dan dapat disentuh dalam perjuangan keadilan. Buku ini, disusun, untuk suatu maksud sebagai buku ajar, yang dapat dipergunakan oleh mahasiswa serta praktisi hukum, guna memahami dan mendalami perkembangan ilmu hukum khususnya yang berkaitan dengan “Pembuktian”. Jalan panjang dalam perjuangan keadilan, yang menggambarkan pentingnya memahami makna pembuktian, dalam praktik Peradilan Pidana, Peradilan Perdata, Peradilan Niaga, Arbitrasi, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Pajak. Termasuk Peradilan etika, serta Peradilan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan politik.



Y



Semoga buku ajar ini bermanfaat sebagai sumbangan keilmuan, dan terus memberikan inspirasi bagi cendekiawan hukum lainnya, untuk berkarya. Selamat membacanya.



M



Universitas Muhammadiyah Jakarta,



M



Juli, 2017



Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H.



D vi



U



Dinamika Hukum Pembuktian



DAFTAR ISI



PENGANTAR



v



DAFTAR ISI vii BAGIAN PERTAMA PROLOG 1



Jalan Panjang Perjuangan Keadilan



1



BAGIAN KEDUA MEMBUKTIKAN DALAM RANAH PERADILAN PIDANA



15







A. Perkembangan Model Pembuktian



24







B. Pembuktian dan Perlindungan HAM



31







C. Problematika Asas Pembuktian



37







D. Makna Alat Alat Bukti Dan Makna Barang Barang Bukti



41







E. Pembuktian dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi



49







F. Pembuktian Dalam Peradilan Militer



65







G. Pembuktian Dalam Peradilan Perikanan



78







H. Pembuktian Dalam Pembaruan Acara Pidana



86







I.



Pembuktian Pidana Dalam Hukum Islam



89







J.



Pembuktian Dalam Hukum Pidana Adat



104



vii



BAGIAN KETIGA JALAN BERLIKU PEMBUKTIAN PERADILAN PERDATA & KEPAILITAN



111







A. Pergulatan Keadilan Dalam Hukum Perdata



113







B. Pembuktian Dalam Dinamika Hukum Perdata



119







C. Keyakinan Hakim dan Problematikanya



134







D. Nilai Beban Pembuktian Hukum Perdata







E. Pembuktian Peradilan Niaga







F. Dinamika Pembuktian Peradilan HAKI







G. Prinsip Keadilan Dalam Kepailitan







H. Struktur Pembuktian Dalam Peradilan Arbitrasi







I. Dinamika Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial



BAGIAN KEEMPAT



Y 137 141



143



M



149 152 156



BEBAN PEMBUKTIAN TATA USAHA NEGARA& PAJAK



169







A. Hukum Publik dan Peradilan TUN



170







B. Dinamika pembuktian







C. Asas Hukum Terkait Dalam Pembuktian







D. Karakter Aneka Putusan Hakim



187







E. Pembuktian Pada Peradilan Pajak



193



BAGIAN KELIMA



U



M



175 181



RAGAM PEMBUKTIAN PADA PERADILAN ETIK



201







A. Falsafah Etika



204







B. Berbagai Etika Profesi



206







C. Dinamika Etika Hukum



208







D. Dinamika Etika Kedokteran



223







E. Dinamika Etika Politik



229







F. Dinamika Etika di Penyelenggara Pemilu



238



viii



D



Dinamika Hukum Pembuktian



BAGIAN KEENAM PERADILAN POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI



249







A. Problematika Kewenangan Mengadili



251







B. Dinamika Pembuktian



255







C. Model Pembuktian Formal ke Progresif Beban



265







D. Kecenderungan Keyakinan Hakim







E. Konsekuensi Politik Dari Putusan MK



Y 268 274



BAGIAN KETUJUH



EPILOG 275



Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian



DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS



D



U



M



M



Daftar Isi



275



285 293



ix



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BAGIAN PERTAMA



PROLOG



“Jalan Panjang Perjuangan Keadilan” Perjuangan untuk mencapai dan mencari jejak-jejak keadilan, adalah jalan yang mengasyikkan dan juga sekaligus mengecewakan. Karena itulah sandaran atas adil dengan segala ornamennya, memerlukan perjuangan yang abstrak dan tak tersentuh, tetapi dapat dirasakan. Keadilan sebagai tujuan dari terbentuknya hukum. Hukum diadakan sebagai upaya untuk meraih sebuah keadilan. Maka dapat dipahami telah terjadi jarak antara hukum dan keadilan, hukum berjarak dengan keadilan, ketika manusia menggerakkan hukum, karena esensi hukum tidak berisi keadilan, karena keadilan itu baru akan dicapai atau dituju oleh hukum. Oleh karena itu, kendaraan mencapai tujuan, dapat saja tidak pada tujuannya yaitu keadilan, maka logis jika dikatakan, bahwa hukum tidak pernah adil, karena kendaraan tidak pernah sampai pada tujuannya. Hukum ketika bergerak dan menuju keadilan sebagai salah satu tujuannya tidak berisi apa pun. Bebas dengan segala substansinya, sehingga kehendak mengisi esensi hukum akan bergantung dari idea dan cita para pelaku hukum. Keadilan bukanlah tujuan dari hukum. Hukum tidak hendak menuju keadilan, jika hukum hendak menuju keadilan, berarti hukum tidak bernuansa keadilan, karena masih hendak ditujunya.1 1 Fokky Fuad Wasitaatmadja. Filsafat Hukum Akar Religiositas Hukum, (Jakarta: Prenada Media Grouf, 2015), hlm. 47.



1



Kenyataan dalam perjuangan keadilan masih memilukan, karena itu studi hukum dan keadilan dalam praktik, bergantung pada pemahaman mengenai “pembuktian” dalam ranah berbagai peradilan, selanjutnya menjadi bukti juga, bahwa keadilan ternyata mesti diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, adalah tiga terminologi yang sering dilantunkan di ruang-ruang kuliah dan kamar-kamar peradilan, namun belum tentu dipahami hakikatnya atau disepakati maknanya. Keadilan dan kepastian hukum misalanya, sekilas dua terma itu berseberangan, tetapi boleh jadi tidak demikian. Kata keadilan dapat menjadi terma analog, sehingga tersaji istilah keadilan prosedural, keadilan legalis, keadilan komulatif, keadilan distributif, keadilan indikatif, keadilan kreatif, keadilan substantif, dan sebagainya. Keadilan prosedural, salah satu indikatornya dari tipe hukum otonom, ternyata telah dicermati bermuara pada kepastian hukum demi tegaknya the rule of law, sehingga dalam konteks ini keadilan dan kepastian hukum tidak berseberangan melainkan justru bersandingan.2



M



Y



Secara ideal yang dipelajari secara serius dalam studi hukum, adalah bagaimana “keadilan” sebagai suatu tertib sosial, sebagai bagian yang tidak terpisahkan, bahwa keadilan mesti dirasakan dalam denyut nadi kehidupan masyarakat, sekaligus juga orde tertib “kepastian hukum”, dengan pangkal tolak pada keharusan aturan-aturan dalam kehidupan sosial ditaati. Maka akan tercapai cita-cita, bahwa hukum mempunyai manfaat untuk mencapai tujuan sosial, yakni kebahagiaan untuk sebanyak-banyaknya bagi kehidupan umat manusia.



U



M



Tentang keadilan, adalah sebuah refleksi setiap orang di dunia ini, dan dituntun selalu berpikir, agar tidak mengabaikan tanggung jawab kepada orang lain. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasi ketiganya. Putusan hakim, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, di antara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan merupakan tujuan hukum satu-satunya. Dalam cita hukum, keadilan merupakan pergulatan kemanusiaan yang berevolusi



D



2 Sidharta. Putusan Hakim; Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan. Dalam Reformasi Peradilan dan Tanggungjawab Negara, (Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010), hlm. 3.



2



Dinamika Hukum Pembuktian



mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti, dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, di mana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan-keputusan akal, agar berjalan di atas nilai-nilai moral, seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.3



Y



Rasa keadilan hanya didapati, pada tingkat keluhuran budi pekerti, dan perasaan yang mendalam, maka keadilan bergumul di wilayah moral dan etika, bahkan rasa seni yang mendalam. Pada akhirnya rasa keadilan semula dipahami suatu yang abstrak, tetapi dapat disentuh dan dirasakan kebahagiaannya.



M



Keadilan sebagai kesetaraan, menyediakan pandangan yang jelas berbeda dari kaum utilitarian. Prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan mengevaluasi kemanfaatan dan tindakan-tindakan atau kecenderungan tindakan, melainkan dari pilihan rasional di dalam kondisi yang adil. Prinsipprinsip tersebut dilekatkan pada struktur dasar masyarakat, bukannya setiap tindakan atau setiap tingkatan di mana keadilan dipersoalkan.4



M



Posisi keadilan di antara hukum dan moral, adalah suatu kesatuan yang utuh tidak dibagi-bagi, dan saling melengkapi, maka keadilan adalah ujud dari kebenaran moral yang hidup dalam relung-relung masyarakatnya. Hukum dan keadilan dapat diturunkan menjadi kaidah-kaidah normatif, yang mengatur kebaikan dan keburukan dengan segala risikonya.



U



Hukum sebagai suatu perangkat norma-norma, yang benar dan yang salah, yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan, serta dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan itu. Sehingga hukum bukanlah hanya undang-undang, tidak harus diciptakan oleh pemerintah, tetapi cukup diakui, meliputi pula perkembangan dari konvensi-konvensi internasional.5



D



Shidarta. Filsafat Hukum, Refleksi Kristis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 291. 4 Karen Lebacqz. Teori-Teori Keadilan. Penerjemah Yudi Santoso, (Bandung: Nusa Media, 1986), hlm. 61. 5 Akhmad Ali. Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm. 1-2. 3



Bagian Pertama — Prolog



3



Hukum sebagai keseluruhan ketentutan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara dan terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Selanjutnya hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu, serta hukum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antar negara.6



M



Y



Pengertian hukum beraneka ragam disampaikan oleh para ahli. Tetapi hukum dengan segala aktivitasnya telah lama memasuki ruang kehidupan sosial, dalam masyarakatnya di manapun di dunia ini. Kehadiran hukum dalam ruang sosial berlangsung terus-menerus. Hukum sebagai sistem formal modern, dirancang bangun secara sentral nasional, hadir dalam budaya lokal, yang informal khas lokal.7



M



Hukum mengatur segala aktivitas makhluk hidup, dengan hubungan antar pribadi, masyarakat dan negara, dan bahkan dengan segenap alam, dengan segala ekosistemnya. Hukum terus berputar dan seirama dengan hukum-hukum alam, yang selalu berubah dan saling menyesuaikan, terkadang tersusun dalam kaidah-kaidah formal, tetapi kerapkali tersususn dalam kaidah moral yang berserakan mengatur order kepatutan-kepatutan.



U



Hukum yang telah dikodifikasi dan unifikasi, dimaksudkan, untuk lebih memudahkan, penerapannya, walaupun hukum tidak tertulis menjadi perhatian, karena juga telah mencerminkan keadilan pada masyarakatnya. Pekikan yang paling lantang, terjadi di abad ini, adalah seruan keadilan, dan tidak ada hujatan yang lebih sering terlontar daripada teriakan, Ketidakadilan. Ungkapan-ungkapan moral modern, harus dipahami sebagai rangkaian fragmen-fragmen pergulatan hidup masa lalu, memang masih bertahan,



D



Teguh Prasetyo, dan Abdul Halim Barakatullah. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 13. 7 Bernard L. Tanya. Hukum Dalam Ruang Sosial, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 1-2. 6



4



Dinamika Hukum Pembuktian



namun tidak ada perekat sosial yang sanggup memberinya kekuatan. Sayangnya jeritan keadilan dan hujatan ketidakadilan muncul di dalam serpihan-serpihan tersebut.8 Hukum yang sejatinya mengatur dan melibatkan manusia, maka selalu terjadi penyesuaian, dalam upaya-upaya terciptanya harmonisasi kehidupan, yang hendak diujudkan oleh keagungann sifat-sifat hukum itu.



Y



Keterlibatan manusia itu menyebabkan bahwa berhukum itu tidak mengeja teks, melainkan penuh dengan kreativitas dan pilihan-pilihan. Dalam proses pembuatan putusan-putusan hukum selalu terjadi suatu lompatan (een sprong) dan oleh karena itu bersifat non-linier. Dengan demikian, hukum bukan suatu proses logis semata. Seorang hakim misalnya, akan memutus berdasarkan keadaan (the felt necessities of the time), kendatipun bertolak dari teks hukum. Keterlibatan manusia secara aktif juga berarti melibatkan empati, nilai-nilai, keberanian, dan lain-lain. Dengan demikian, maka berhukum tidak dilakukan dengan mengutak-atik teks undang-undang dan menggunakan logika, melainkan dengan akal sehat dan rohani. Bukan dengan logos (logika), melainkan holos (wholeness) atau seluruh potensi yang ada pada manusia. Dalam gagasan hukum progresif itulah, maka hukum itu adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, kendatipun berhukum itu dimulai dari teks, tetapi selanjutnya pekerjaan berhukum itu diambil-alih oleh manusia. Artinya, manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teksteks undang-undang dan kemudian membuat putusan. Berhukum secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum. Kalau dikatakan, bahwa menjalankan hukum itu adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka berhukum itu adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut. Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Oleh karena itu, orang membedakan antara “keadilan menurut teks”, dan keadilan sebenarnya. Keadilan itu, memang ada dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan demikian, maka berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang, melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan di dalamnya. Itulah makna menguji batas kemampuan hukum. Para hakim bukanlah legislator, karena tugasnya adalah melakukan ajudikasi atau memeriksa dan mengadili. Tugas membuat undang-undang itu ada dalam ranah legislasi. Kendatipun demikian



D



8



U



M



M



Karen Lebacqz. Teori-Teori Keadilan, Op.Cit., hlm. 1.



Bagian Pertama — Prolog



5



pada akhirnya hakim memang harus memutus berdasarkan hukum, tetapi sesungguhnya hakim tidak hanya mengeja teks undang-undang, melainkan memutuskan apa yang tersimpan dalam teks tersebut. Memutuskan hukum itu tidak dilakukan dengan membaca teks, melainkan menggali moral di belakangnya.9 Posisi moral, dalam makna hukum, sangatlah mendalam, dan terus akan selalu bergandengan dengan keadilan, disebabkan butir-butir keadilan adalah landasan moral, yang tersebar dalam kaidah-kaidah filosofis moral yang tidak pernah kering, dan terus membasahi kehidupan sosial.



Y



Hukum bukanlah sesuatu yang dipilih dan dipertimbangkan, sebelum dianut oleh negara, tetapi sistem itu, ikut berevolusi bersama dengan masyarakat negara itu. Dalam sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, terutama negara-negara bekas jajahan, sering terdapat beberapa hal yang kurang sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai tradisional masyarakat setempat. Setiap negara dalam praktiknya mengembangkan sistem peradilan pidananya sendiri-sendiri, yang ditentukan oleh perkembangan kepercayaan, agama, kebiasaan, budaya dan tradisi, pengalaman sejarah bangsa tersebut, struktur ekonomi dan organisasi politik negara tersebut.10



M



M



Maka kaidah-kaidah dan sistem kemasyarakatan, dalam suatu kebiasaan suatu masyarakat asli dari bangsa itu, selalu hidup, walaupun pernah tergerus oleh kaidah-kaidah hukum asing, karena kolonialisasi berabad-abad lamanya, tetapi hukum asli tetap masih dirindukan.



U



Hukum, selalu berkaitan erat dengan kepastian dan keadilan, sebagai dua poros yang saling berlawanan, bahkan saling melengkapi, dari berbagai sudut pandang. Biasanya perlawanan keduanya, dipahami dalam pergulatan dengan kekuasaan, terlebih kekuasaan yang absolut di bidang ketatanegaraan. Perkembangan yang paling dahsyat, pada setiap negara hukum, maka terselenggaranya kekuasaan, yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Maknanya hukum sebagai pemandu, pengendali, pengontrol dan pengatur dari segala aktivitas berbangsa



D



Satjipto Rahardjo. Kata Pengantar Dalam, Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 4. 10 O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka Terdakwa dan Terpidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 3. 9



6



Dinamika Hukum Pembuktian



dan bernegara. Prinsip pembagian kekuasaan yang penting dari ciri negara hukum, yakni, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak. Adanya peradilan tata usaha negara, dan peradilan tata negara. Perlindungan HAM, Demokrasi, Negara Kesejahteraan, Transparansi dan kontrol sosial.11 Doktrin universal hak-hak asasi manusia, adalah suatu jalan tengah, guna memantapkan praktik hukum yang masih tidak berkepastian dan berkeadilan, maka instrumen HAM Internasional adalah jalan tengah yang menjawab, suatu keharusan berhukum untuk masyarakat yang beradab.



Y



Negara-negara yang baru lepas dari kekuasaan otoritarian, selalu dihadapkan pada tuntutan penyelesaian masalah-masalah politik, hukum dan hak asasi manusia dalam negeri yang kompleks, warisan rezim otoritarian itu. Pada aspek hukum didesakan agenda pembaruan sistem hukum, atau paling tidak penegakan hukum menuju tegaknya supremasi hukum, dan pada hak-hak asasi manusia, muncul tekanan untuk menegakkan, penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM.12



M



M



Percampuran antara norma hukum, selalu dimuat prinsip-prinsip HAM Universal dan lokal, agar menjadi fondasi utama dalam negara hukum modern, dengan keyakinannya, diatur secara lugas dan tegas dalam suatu konstitusi berbagai negara di dunia. Hukum dan HAM, merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apabila suatu bangunan hukum dibangun tanpa memperhatikan penghormatan terhadap prinsip-prinsip dalam HAM, maka hukum tersebut dapat menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya (abuse of power). Sebaliknya apabila HAM dibangun tanpa didasarkan pada suatu komitmen hukum yang jelas, maka HAM tersebut akan rapuh dan mudah untuk disimpangi.13



D



U



11 Syaiful Bakhri. Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media, bekerja sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2009), hlm. 1. 12 Suparman Marzuki. Tragedi Politik Hukum dan HAM, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 1. 13 Ahmad M. Ramli. Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia Kapita Selekta Hukum. Tim Penulis Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 224.



Bagian Pertama — Prolog



7



Tindakan yang sewenang-wenang dalam praktik peradilan, pada umumnya, adalah berkaitan dengan penggunaan alat-alat bukti, dan masalah penerapan beban pembuktian dalam hukum acaranya. Masih terdapat pelanggaran hak asasi manusia. Ilmu hukum, pada dasawarsa sekarang ini, telah terkonsentrasi pada peradilan. Karenanya kecenderungan memahami lika-liku peradilan, dengan segala aktivitasnya, menarik untuk dikaji, ditelaah, guna mendapatkan kedalaman makna yang terkandung dalam segala proses peradilan.



Y



Hukum semestinya harus ditegakkan, untuk mencapai kepastian dan keadilan. Sebagai dua pasangan dalam perjuangan hukum. Adanya keharusan keseimbangan pasangan antara kepastian dan keadilan, mendekatkan keadilan dalam masyarakat, yang pencahariannya terjadi setiap waktu, tempat dan di seluruh pelosok dunia. Beban pembuktian merupakan suatu titik sentral, di lapangan hukum acara, bahkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan.14



M



Penegakan hukum diselenggarakan dalam suatu proses peradilan yang didasarkan pada prinsip-prinsip beracara di pengadilan. Prinsip-prinsip dimaksud memuat ketentuan yang bersifat meta norma atau asa (principle) yang harus dipedomani oleh setiap yuris dalam proses peradilan. Prinsip fair trial atau peradilan yang wajar (berimbang, adil dan konsekuen) merupakan salah satu prinsip dasar dan paling umum dalam praktik peradilan di seluruh dunia. Prinsip tersebut terejawantah dalam sistem hukum setiap negara yang mengedepankan terwujudnya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum pada setiap proses peradilan yang diselenggarakan.



U



M



Fire trial,15 atau peradilan yang wajar (adil dan berimbang) merupakan proses peradilan di mana para pihak didengarkan oleh hakim secara berimbang, tidak ada keberpihakan hakim baik dalam sikap, tutur kata, maupun perlakuan dalam persidangan. Prinsip fair trial mengedepankan pengungkapan kebenaran akan fakta secara konprehensif dan masif, sebelum suatu putusan dijatuhkan. Karenanya aksentuasi utama dalam prinsip ini adalah bagaimana hakim bersikap, bagaimana hakim mengungkap fakta secara konprehensif dan masif, serta bagaimana hakim mengambil suatu kesimpulan yang tepat berdasarkan



D



Otje Salman dan Anthon F. Susanto. Tinjauan Filsafat Hukum Tentang Penegakan Hukum Di Indonesia. Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Penulis Pakar Hukum Universitas Padjadjaran, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 15-16. 15 “a hearing by an impartial and disinterested tribula; a proceeding which hears befor it condemns, which proceeds upon inquiry and renders judgment only after trial”. 14



8



Dinamika Hukum Pembuktian



atas fakta-fakta tersebut. Muaranya adalah putusan yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Fair trail pada dasarnya merupakan prinsip yang telah dianut, dan telah dikooptasi di hampir seluruh negara di dunia yang berkiblat pada konsep rule of law. Negara dengan rule of law sebagai patronasenya menempatkan hukum sebagai “pengatur” terhadap sekalian dimensi kenegaraan.16



Y



Dalam pandangan kenegaraan maupun kemasyarakatan. Hakim senantiasa ditempatkan pada posisi sentral dalam penegakan hukum. Seolah-olah adil tidak adil, baik buruk, lancar-tidak lancar penegakan hukumnya, semuanya bersumber pada hakim. Sehingga secara manusiawi kedudukan dan tanggung jawab semacam itu sungguh berat. Dalam rangka menjamin tercapainya hakim yang sentral dan maha penting itu, maka diperlukan berbagai kondisi dan persyaratan yang harus ada pada atau melekat atau dilekatkan pada hakim, seperti jaminan kebebasan hakim, kedudukan hukum dan syarat-syarat pengetahuan yang perlu dimiliki oleh hakim.17



M



Hakim adalah ahli hukum yang terpilih, yang mewakili dirinya serta di bawah kendali administrasi dan segala pembinaannya oleh Mahkamah Agung. Ikatan moral sangat melekat, pada dirinya, selain itu, berfungsi pula untuk mengisi dan memperbaiki undang-undang, yang dibuat, untuk waktu tertentu, dan diuji oleh zamannya. Juga menengok pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis, guna mendapatkan makna hukum dan keadilan, yang berdiri tegak, di atas kepastian hukum. Karenanya polemik keadilan harus dirasakan oleh hakim, melalui hati nurani yang adil, jujur, bersih, dan putusannya melampaui eranya. Dapat dirasakan dan dikenang sepanjang sejarahnya. Menjadi rujukan dalam kajian generasi hukum akan datang. Serta tidak menafikan pembuktian yang rasional, yang diyakini kebenarannya.



D



U



M



Tugas hakim adalah memberi keputusan, dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik, secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku. Maka hakim harus



M. Natsir Asnawi. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogtakarta: UII Press, 2016), hlm. 2. 17 Bagir Manan dan Kuntara Maqnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 37-38. 16



Bagian Pertama — Prolog



9



selalu mandiri dan bebas dari segala pengaruh pihak manapun, terutama dalam mengambil suatu keputusan. 18 Pada praktik hukum. Hakim memainkan peranannya sebagai penyeimbang dalam menegakkan prinsip kebenaran formiil maupun materiil. Melalui suatu keyakinannya, dengan pembuktian sebagai sandaran utamanya. Masalah yang paling menonjol dalam praktik peradilan, adalah munculnya beberapa peradilan khusus. Hal demikian terjadi, karena perkembangan masyarakat yang sedemikian pesat. Sehingga seluruh persoalan yang timbul dalam masyarakat, selalu bermuara dalam sidang pengadilan. Kesadaran ini membuktikan bahwa kesadaran untuk beracara di muka pengadilan, bukan lagi sesuatu yang baru, dan sebaliknya masalah pro dan kontra, perlu dan tidak perlunya peradilan tidak lagi ada sentuhan signifikasinya di dalam tata dunia abad-21. Jika dapat dikatakan, bahwa masyarakat dunia saat ini, telah terjebak dalam kejenuhan, untuk saling bersengketa dihadapan pengadilan, yang ditenggarai juga adanya judicial corruption dan miscarriage of justice. Dalam praktik peradilan seharihari, pada beberapa kasus perkara pidana tertentu, tampaknya lambang dewi keadilan berubah menjadi srigala berbulu domba, sehingga pedangnya yang seharusnya di bawah ditempatkan di atas, dan timbangan yang seharusnya seimbang tampak berat sebelah.19



M



M



Y



Pada posisi praktik peradilan itu, maka perlu memahami makna dari “pembuktian”. Makna dari prinsip-prinsip penbuktian, serta ketentuanketentuan pengaturan berbagai filosofis yang meneranginya, sehingga sebagai tujuan mulia peradilan untuk mencapai keadilan, dapat tercermin, sehingga peradilan bukanlah suatu model sistem ban berjalan, layaknya suatu industri, tetapi pertaruhan kecerdasan dengan memaknai sistem dan makna “pembuktian”. Maka negara hukum akan tercapai dengan sebaiknya, dan terus memberikan andil kebahagiaan di tengah-tengah nadi kehidupan masyarakat.



D



U



Orang yang baik dan mencintai negaranya, adalah orang yang selalu berani berdiri di barisan terdepan dalam menegakkan dan menghadapi hukum laksana ksatria yang bertarung di bawah kilauan cahaya tembaga, sejelek dan seburuk apa pun bentuk dan bunyi dari hukum itu. Sebaliknya, ketika kita



Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3. 19 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media Grouf, 2010), hlm. viii-ix. 18



10



Dinamika Hukum Pembuktian



berlaku seperti seorang pengecut yang bersembunyi di bawah meja dan ketiak ayahnya, untuk menghindar dari hukum, maka ia bukanlah orang yang baik dan mencintai negaranya, dan ia, dengan demikian bukanlah seorang ksatria, melainkan seorang pengkhianat. Perilaku bersembunyi dan melarikan diri dari hukum merupakan sikap yang tidak terpuji atau tidak bijaksana, karena setiap orang dapat mengetahui, menegakkan atau menghadapi hukum itu tidak selalu membuat kita menjadi orang yang lebih buruk. Menegakkan hukum, sama halnya dengan bertempur di medan perang, membela dan mengharumkan nama bangsa. Karenanya, jadilah seorang prajurit sejati bagi tumpah-darah tercinta, dan bertahanlah pada posisi itu, sebagaimana kita telah menerimanya dari Ibu Pertiwi untuk mengerjakan itu. Di sini, kita tidak seharusnya memperlakukan hidup kita dalam kondisi seolah-olah kita adalah kubu yang tengah dalam gencatan senjata, sambil tidur-tiduran dan menspekulasikan apa yang akan terjadi nantinya, seperti yang selalu mereka kerjakan sebelumnya. Saat ini, Ibu Pertiwi meminta kita semua untuk menuntaskan misi praktikal, ini, memburu dan menuntaskan para penjahat, atas apa pun yang mereka telah curi dan sembunyikan dari perempuan Olympus itu. 20



M



M



Y



Tentang penegakan hukum di sini adalah melihat hakim sebagai manusia yang akan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam kaitannya dengan penegakan hukum ini adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan yaitu “Hukum dan Keadilan”. Apabila hukum/undang-undang secara sadar atau sengaja mengingkari keadilan, misalnya secara seenaknya dan tidak menentu kepada manusia tetapi sekaligus juga menolak hak-hak asasinya, maka undang-undang yang demikian itu kehilangan kekuatan berlaku mengingatnya, karena itu pula rakyat tidak wajib menaatinya. Oleh karena itu, pula maka para ahli/penegak hukum haruslah memiliki keberanian untuk menolak dan menyangkal dan tidak mengakui sifat hukum dari undang-undang tersebut.



D



U



Tugas hakim dalam penegakan hukum akan sangat berkait erat dengan persoalan filsafat hukum. Oleh karena itu, tugas hakim secara konkret adalah mengadili perkara, yang pada dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum. Apabila dilihat lebih jauh secara filsafat hukum maka penemuan hukum 20 Herman Bakir. Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 357.



Bagian Pertama — Prolog



11



dapatlah digambarkan sebagai berikut: Apakah penemuan hukum hanya sekadar penerapan hukum semata, yakni memasukkan atau mensubmisi fakta posita (premis minor) ke dalam peraturan/undang-undang (premis mayor) secara silogisme formal, sebagaimana positivisme hukum, karena didasari pandangan bahwa undang-undang sudah lengkap, dan sempurna untuk setiap persoalan yuridis. Apakah penerapan hukum yang didasarkan kepada anggapan bahwa undang-undang itu belum lengkap dan sempurna, akan tetapi undang-undang itu dipandang memiliki ekspansi logis atau jangkauan melebar menurut logika (logishceexpansionskraft), sebagaimana diajarkan Begriffsjurisprudenz dan Konstruktionsjurisprudenz. Apakah penemuan hukum itu, hanya menempatkan undang-undang sebagai posisi sekunder, dan sebagai kompas dan jiwa dan aspirasi rakyat hukum kebiasaan, digunakan sebagai sumber hukum yang utama, sebagaimana dilakukan oleh aliran Interessenjurisprudenz atau aliran sejarah hukum atau sosiologis.21



M



Y



Hukum pembuktian sebagai titik sentral dari pencarian keadilan, maka sangat diperlukan memahami dan mengerti cara-cara perjuangan keadilan atas pandangan hukum, baik dalam kerangka hukum publik maupun hukum privat. Cara berhukum yang sudah dipositifkan dalam bentuk perundangundangan, adalah upaya untuk menjamin kepastian, tetapi hakim sebagai bagian penting dalam pergulatan keadilan di pengadilan, mempunyai kebijaksanaan dan melihat persengketaan dan pergulatan hukum di berbagai tingkat pengadilan dengan perasaan hukumnya sendiri-sendiri dan sangat otonom, artinya tanpa intervensi dari kekuasaan manapun, yang mengitarinya. Maka kekuasaan untuk menjatuhkan putusan, mesti memuat kaidah-kaidah adil dan bermanfaat untuk kemanusiaan dan bahkan peradaban bagi suatu bangsa. Bangsa yang beradab adalah bangsa, yang menghormati dan melaksanakan hukum dan keadilan sebagai bagian utama, sehingga masyarakatnya merasakan denyut keadilan, dan terpelihara perikeadilan bersama bagi suatu bangsa yang beradab tersebut. Keadilan sosial adalah cita-cita bersama yang mesti diujudkan.



D



U



M



Karena itulah dalam berbagai perkara konkret di pengadilan, maupun perkara abstrak di Mahkamah Konstitusi. Pembuktian menjadi pusat perhatian, dan juga sekaligus pusat perhatian, apakah hakim menggunakan 21 Lili Rasjidi et. all, Kapita Selekta Hukum, Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), hlm. 15-16.



12



Dinamika Hukum Pembuktian



logika doktrin, ataukah, mengesampingkan segala bukti bukti dengan segala pengaruh-pengaruh dari kekuatan-kekuatan lain, dalam memanipulasi pembuktian dan hukum, sehingga keadilan tidak tercapai sesuai dengan koridor dan tujuannya. Karena itu perlu memotret keadaan pencarian pembuktian dalam beberapa peradilan, guna memahami lebih jauh tentang perjuangan capaian keadilan, yang selalu berliku dan penuh dengan tantangan. Tantangan-tantangan itu meliputi kegelisahan para cendekiawan hukum di berbagai fakultas hukum, dan bahkan dalam tataran praktik hukum.



D



U



M



M



Bagian Pertama — Prolog



Y



13



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BAGIAN KEDUA



MEMBUKTIKAN DALAM RANAH PERADILAN PIDANA



Setiap perkara pidana, selalu memerlukan pembuktian, dan segala pembuktian itu juga mesti terukur dengan jelas, terutama bagaimana caranya mendapatkan alat bukti dan barang bukti, guna meyakinkan peradilan. Dalam proses itulah dikenal suatu proses hukum acara pidana, dengan keterlibatan sistem peradilan pidana, yang terpadu, dalam melaksanakan prinsip-prinsip pemidanaan, atas segala kejahatan yang terjadi. Karenanya sangat terkait antara peradilan pidana dengan proses mengadili, sebagai pergulatan pembuktian di pengadilan. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, masih menganut konsep bahwa perkara pidana adalah merupakan “sengketa” antara individu dengan masyarakat, dan sengketa itu akan diselesaikan oleh negara, sebagai wakil dari masyarakat. Sekalipun HIR telah digantikan oleh KUHAP tetapi konsep itu tetap belum berubah. Sengketa itu, berhubungan dengan salah satu, atau beberapa substansi dari pasal-pasal yang sudah diatur dan diancam dengan hukuman, dalam hukum pidana materiil yang saat ini ditentukan dalam KUHP dan di luar KUHP. Individu yang terlibat dalam sengketa itu yakni, sebagai subjek hukum disebut “tersangka” atau “terdakwa”. Status sebagai tersangka menurut hukum acara pidana ditetapkan penyidik setelah ditemukan “bukti permulaan yang cukup” untuk menduga bahwa perbuatan individu itu, telah memenuhi unsur delik dari satu atau beberapa pasal dalam hukum pidana, sehingga ditetapkan oleh penyidik sebagai “Tersangka”. Sementara, aparatur pemerintah yang berwenang mewakili publik dalam menyelesaikan perkara



15



pidana ini, ialah penyidik dan penutut umum serta kemudian oleh hakim. Dalam penyelesaian “sengketa” dianut suatu konsep, bahwa negara akan selalu berbuat baik, bagi warga negaranya termasuk para pencari keadilan dalam perkara pidana. Konsep ini agaknya masih pengaruh dari paham theokrasi dalam abad pertengahan, yang dalam perkembangannya sudah ditinggalkan. Namun konsep itu tanpa disadari masih dipertahankan, dalam sistem peradilan pidana yang ada saat ini.1



Y



Sistem peradilan pidana di dunia, adalah suatu cerminan bagi budaya masyarakatnya, untuk mencapai keadilan, dan terus-menerus menyesuaikan diri, dengan keadaan-keadaan masyarakat, maka beberapa ciri khas dari sistem peradilan yang berlaku di dunia, adalah suatu percampuran dari sisisisi khasnya masing-masing. Tetapi selalu berupaya untuk mendekatkan dan mempermudah capaian keadilan masyarakat. Melalui cara-cara yang berperikemanusiaan dan berkeadilan, yang tunduk dan patuh pada kaidahkaidah pembuktian.



M



Adapun ciri khas sistem peradilan pidana, yakni interface, dimaksudkan sebagai sistem pidana yang saling berhadapan, dengan lingkungannya, karena sistem ini sejatinya tidak pernah bisa dipisahkan, dan sangat besar pengaruh lingkungan masyarakat dan segala bidang-bidang kehidupannya, terhadap keberhasilan pencapaian, meliputi interaksi, interkoneksi dan interdependensi.2



U



M



Pembuktian mempunyai dua arti, yakni dalam arti luas, bahwa pem­ buktian itu membenarkan hubungan hukum. Membuktikan dalam arti luas, berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Selanjutnya dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan, apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, sementara hal itu tidak dibantah, maka tidak perlu dibuktikan. Maka membuktikan mempunyai makna logis, yakni memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Sedangkan pembuktian konvensional, yaitu memberikan kepastian yang bersifat nisbi



D



Luhut M. P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2014), hlm. 19. 2 Interaksi, yakni dengan bekerjanya SPP dalam menyelesaikan kejahatan di masyarakat. Sedangkan interkoneksi, karena berbagai urusan pribadi, mengharuskan berhubungan dengan SPP, Interdependensi, menunjukkan bahwa SPP dalam menjalankan aktivitasnya tergantung pada apa yang terjadi pada lingkungannya. 1



16



Dinamika Hukum Pembuktian



atau relatif, atau memberikan kepastian didasarkan atas perasaan belaka, atau kepastian yang bersifat intuitif yang biasa disebut “conviction in time”, dan kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal yang biasa disebut “conviction in raisonee”. Pembuktian dalam arti yuridis, yakni memberikan dasardasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.3



Y



Pembuktian selalu menjadi perhatian dalam sistem peradilan pidana di manapun, pada masyarakat manapun, tetapi ketidaktaatan asas-asas fundamental, selalu menjadi pintu masuk, agar keadilan tidak digunakan dalam memutuskan perkara dengan cara-cara yang adil dan beradab, dan pada posisi itulah, pentingnya memahami tentang perjuangan penegakan hukum melalui beban-beban pembuktian dengan baik dan terukur secara terang dan jelas. Dalam memenuhi tujuan hukum dan perjuangan keadilan itu.



M



Tujuan utama peradilan, khususnya pidana, adalah memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan melalui prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian, yang mencakup semua batas-batas konstitusional, dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan. Proses yang berkaitan dengan syarat-syarat dan tujuan peradilan yang fair meliputi antara lain asas praduga tidak bersalah, cara kerja yang benar, di mana seseorang yang dituduh mengalami pemeriksaan atau pengadilan yang jujur dan terbuka.4



U



M



Tahapan berlangsung hukum acara pidana, sebagai suatu proses penanganan perkara pidana, sejak ada sangkaan telah terjadinya tindak pidana, hingga pelaksanaan putusan hakim. Maka segala kegiatan penyidikan dan penuntutan, harus sesuai dengan undang-undang, agar tidak terjadi penyimpangan dan pertentangan dengan hak-hak fundamental manusia yang universal. Maka batas-batas kewenangan itu, akan selalu dengan batas hukum yang jelas dan pasti, dan dilakukan dengan sangat profesional dan bertanggung jawab.



D



Pembatasan kesewenangan para penegak hukum, menjadi tolok ukur adalah, ketaatan mereka pada beban pembuktian, yang diterapkan secara Eddy O,S Hiariej.Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga; 2012), hlm. 6-7. Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita. Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Rafika Aditama, 2004), hlm. 1. 3 4



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



17



objektif, terukur dan rasional, serta manusiawi. Karena pembuktian bagian dari titik sentral, dalam proses mencapai keadilan yang berada di tengah-tengah masyarakat. KUHAP, diharapkan berlaku secara efektif mengubah mental para aparat penegak hukum, sehingga dapat terbina, satuan tugas penegak hukum yang berwibawa yang mampu bertindak atas landasan pendekatan yang manusiawi dan memahami rasa tanggung jawab.5



Y



Sehingga hukum pembuktian, selalu berputar tentang bukti, dalam segala kegiatan mengumpulkan barang bukti, dari suatu permulaan perbuatan terjadinya kejahatan. Adapun hukum pembuktian itu selalu berkembang seirama dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Sebagai suatu alasan yang dipergunakan oleh hakim, untuk memutuskan sengketa, yang menjadi tugas dan beban yang sangat mulia, sekaligus kontroversial, atas tugas dan fungsinya. Karenanya putusan hakim harus berdasarkan bukti-bukti yang sah, dan hakim, berkeyakinan menjatuhkan hukuman. Hukum pembuktian, dalam berperkara, merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu, sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses perdata, bukan kebenaran yang bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relatif, atau bahkan cukup bersifat kemungkinan, namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap menghadapi kesulitan. Kesulitan itu disebabkan beberapa faktor.



U



M



M



Pertama, sistem adversarial,6 Sistem ini yang mengharuskan memberi hak yang sama kepada para pihak, yang berperkara untuk saling mengajukan kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah, kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversarial. Pada prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian, adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan menemukan kebenaran, di luar dari apa



D



5 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 5-9. 6 Sistem adversery, dimaknai sebagai sistem peradilan, di mana pihak-pihak yang bersangkutan mengajukan bukti-bukti, yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya. Contoh di Amerika sistem ini, di mana para pengacara yang berseberangan berusaha memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya masing-masing, karena kebenaran akan muncul antara para pihak yang berseberangan yang memberikan interpretasi berlawanan terhadap bukti-bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta.



18



Dinamika Hukum Pembuktian



yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. Mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit, disebabkan fakta dan bukti, yang diajukan para pihak, tidak dianalisis dan dinilai oleh para ahli.7 Karenanya hakim telah dibekali ilmu dan keterampilan, untuk mengkonstatir segala hal yang berkaitan dengan fakta-fakta di persidangan, untuk mencapai keyakinannya, dalam menilai bukti-bukti yang disuguhkan oleh tersangka (pengacara), maupun penuntut umum, dalam melaksanakan tugas-tugas mewakili pemerintah, maupun rasa keadilan dan kepastian hukum masyarakat, agar kejahatan dapat dihukum sesuai dengan tingkat dan derajat kesalahannya.



Y



Hakim pidana dalam menjalankan pembuktian memegang peranan yang bebas sepenuhnya. Sedangkan hakim perdata yang menjalankan tugasnya dibatasi oleh alat bukti yang mengikat atau memaksa seperti halnya akta autentik, pengakuan di muka hakim, sumpah, sehingga hanya cukup dengan kebenaran formal (formiel waarheid). Masalah yang pembuktian adalah beban pembuktian yang harus adil, dan merupakan suatu persoalan yuridis yang dapat diperjuangkan, hingga tahap kasasi ke Mahkamah Agung, guna membatalkan putusan ataupun menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.8



M



M



Maka hukum acara pidana, menjadi sumber perhatian utama, dan sekaligus alat kontrol dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam tugas-tugas pokok, sebagaimana dikenal sebagai sistem ban berjalan, dan mempunyai saling kontrol, yang terintegrasi secara apik dan tanggung jawab, sebagaimana ditentukan oleh hukum acara pidana tersebut, guna capaian keadilan dan kepastian dalam melaksanakan fungsi masing-masing tugasnya. Maka pembuktian menjadi titik sentral dalam mengungkapkan dugaan kejahatan hingga keyakinan hakim dalam menyelesaikan perkara konkret di peradilan pidana.



D



U



Sifat hukum acara pidana yang berbasis pada pembuktian, dengan mengacu pada aspek kepentingan umum, maka hukum acara pidana disebut sebagai ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa, karena melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan, ketenteraman, kedamaian hidup masyarakat. Selanjutnya, mempunyai dimensi perlindungan hak asasi 7 M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 496. 8 R. Subekti. Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7-15.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



19



manusia, dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar, yakni kewajiban untuk didampingi oleh penasihat hukum, hak untuk diadili dan terbuka untuk umum, mengajukan saksi-saksi, dan melakukan upaya hukum, sehingga terdapat keadilan, menghindari error in persona, dan menerapkan asas praduga tidak bersalah secara ketat.9 Beberapa asas-asas hukum pidana yang sangat fundamental, selalu menjadi perhatian dalam hukum acara pidana, asas praduga tidak bersalah, asas legalitas, asas persamaan kedudukan dalam hukum, menjadi perhatian, dan proses pembuktian merupakan cara pandang dan menilai untuk mendapatkan keyakinan hakim pidana.



Y



Dimaksudkan dengan membuktikan adalah tentang kebenaran dalildalil yang dikemukakan pada suatu persengketaan. Sehingga pembuktian, diperlukan dalam suatu persengketaan atau perkara di muka pengadilan. Pembuktian diperlukan bilamana terjadi perselisihan. Hakim sebagai suatu perlengkapan dalam suatu negara hukum, yang ditugaskan untuk memutuskan suatu perkara. Beban pembuktian merupakan suatu ketidakpastian dan kesewenangan, bilamana hakim dalam memutuskan suatu perkara atas keyakinannya semata-mata. Maka diperlukan suatu keseimbangan dalam pembebanan kewajiban. Sehingga pembuktian itu dimaksudkan sebagai rangkaian tata tertib yang harus diindahkan dalam melangsungkan pertarungan di pengadilan.10



U



M



M



Tata cara mengelola pembuktian dilakukan secara tertib dan terukur, bahkan harus ditentukan dalam perundang-undangan, agar memenuhi makna asas legalitas, agar terjaga segala hal tentang kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan dan bahkan untuk mencapai putusan yang tidak berkeadilan.



D



Pengadilan hingga sekarang ini, tidak mampu mengangkat isu keadilan seperti yang diharapkan masyarakat. Para hakim hanya memproses sebuah perkara secara formalitas saja. Sehingga keputusannya pun hanya formal saja. Padahal yang diinginkan masyarakat adalah hal yang sangat substansial, bukan hanya sekadar aturan formal. Semenjak banyak masalah yang muncul, sejak adanya istilah mafia peradilan, putusan hakim yang kontroversial, mahalnya biaya perkara, proses upaya hukum melalui peradilan berjalan lambat, petugas 9 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana: Prespektif, Teoritik, dan Praktik, (Bandung: Alumni, 2008), hlm. 13-14. 10 R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 1-2.



20



Dinamika Hukum Pembuktian



administrasi dan hakim yang tidak berdisiplin, serta adanya ikut campur pihak lain. Pemeriksaan perkara pidana umumnya berlangsung lama, berbelit-belit dan rumit, tidak sederhana, seperti yang disebutkan aturan-aturan formal/ prosedur, normatif sesuai dengan KUHAP. Sehingga masalah menegakkan peradilan tidak dapat dibicarakan secara parsial, tetapi menyangkut masalah lebih luas.11



Y



Dari masa ke masa isu di peradilan selalu bergema, dan mendapatkan perhatian terus-menerus, maka sejatinya ukuran keadilan mendasarkan pada keyakinan pembuktian dan penilaian alat-alat dan barang bukti yang baik dan terukur secara adil, maka pada diri hakim harapan para pencari keadilan disandarkan.



M



Sehingga kedudukan hakim sangat penting dalam suatu sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum Indonesia, fungsi hakim adalah untuk melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui penemuan hukum, yang mengarah kepada penciptaan hukum baru. Fungsi menemukan hukum itu, harus diartikan mengisi kekosongan hukum, dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau tidak ada.12



M



Kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana, menjadi perhatian dalam rumusannya di berbagai perundang-undangan, dengan dogma, kebiasaan, kelaziman, hingga ketaatan pada proses beracara dalam sistem peradilan pidana yang sudah dirumuskan secara ketat dalam peraturan perundang-undangan.



U



Sistem peradilan pidana “Criminal Justice System” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Juga diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, atau juga merupakan setiap tahap dari setiap putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sehingga sistem peradilan pidana merupakan interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sering juga disebut



D



Anthon F. Susanto. Wajah Peradilan Kita, Op.Cit., hlm. 1. Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7. 11 12



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



21



sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan Terpidana, atau sering juga dikenal sebagai sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.13 Adanya suatu sistem yang sudah dinormakan, adalah keperluan untuk memenuhi asas legalitas, sehingga tercipta berbagai kepastian hukum, dan mudah melakukan kontrol antar aparatur, karena kewenangannya sudah diatur secara legalistis.



Y



Sistem hukum telah menyediakan instrumen sebagai pegangan, yakni hukum acara, yang akan memberi rambu-rambu, bagi para yuris tentang bagaimana menjalankan peradilan yang wajar, sebagai jembatan bagi terwujudnya keadilan. Hukum acara adalah koridor yang membimbing para yuris, khususnya hakim, untuk menyelenggarakan peradilan yang benar dan adil, wajar dan profesional, sehingga hak-hak para pencari keadilan dapat terpenuhi. Benar dan adilnya penyelesaian suatu perkara. Sementara banyak kalangan menilai adil dan benarnya penyelesaian suatu perkara hanya melihat putusan hakim, adil dan benarnya penyelesaian suatu perkara sejatinya dinilai secara holistik, mencakup proses dari awal penyelesaian suatu perkara, bagaimana hakim bersikap dan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak di persidangan untuk menyampaikan dan mengajukan hal-hal yang dipandang berguna untuk mempertahankan dan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya, serta bagaimana hakim mengambil kesimpulan yang benar dan proporsional atas keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan.14



D



U



M



M



Ketentuan hukum acara pidana sangat diperlukan, sifatnya amat penting guna penegakan hukum pidana materiil. Ketentuan hukum pidana materiil tidak a priori memaksa, apabila tanpa adanya dukungan hukum acara pidana. Karena itu sistem peradilan pidana Indonesia, bermanfaat untuk menjamin penegakan hukum dan mempertahankan hukum pidana materiil. Karena itulah sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya Kepolisian, Kejaksaan, dan Peradilan, serta Advokat mengacu pada KUHAP. Pendekatan terhadap sistem peradilan pidana, secara luas melalui pendekatan ilmu sosiologi, ekonomi, 13 Syaiful Bakhri. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Dalam Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8. 14 M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 9.



22



Dinamika Hukum Pembuktian



manajemen dan dari segi profesional, hal ini dikenal sebagai pendekatan positivis analisis. Menegakkan hukum tidak hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki atau mengamandemen hukum perundang-undangan saja, tanpa membenahi struktur organisasi yang ada pada sistem hukum nasional. Termasuk kerja-kerja para penegak hukum, yang hanya berkonsentrasi pada instansi kekuatan struktural dan mengabaikan intervensi kultural para insan pencari keadilan. Penegak hukum tidak lagi harus dibataskan hanya pada kerja-kerja polisionil yang disebut sebagai legal enforcement, melainkan kerja mereformasi sistem hukum. Kerja reformasi hukum ini pun tidak hanya dibatasi, pada memperbarui hukum undang-undang semata-mata (legal reform), melainkan juga law reform. Dengan menelaah seluruh aspek sistem perundang-undangan yang ada, dalam rangka mengaktifkan perubahan dalam sistem hukum yang ada demi meningkatnya efisiensi sistem dalam fungsinya, memberikan layanan pada khalayak ramai yang tengah mencari keadilan.



M



Y



Jika penerapan hukum tidak dilakukan hati-hati, tergesa-gesa penuh amarah dan sewenang-wenang maka akan kontra produktif, bagi ketertiban dan kesejahteraan umat manusia. Hukum tidak perlu ditakuti, jika hukum itu sendiri sesungguhnya dilaksanakan dengan sentuhan-sentuhan tangan yang bijak, amanah dan dengan nurani kemanusiaan, bukan dengan keangkuhan, sakit hati, dan tanpa nurani, sebagaimana lambang “Dewi Keadilan”, mata ditutup, tangan kanan memegang pedang yang diturunkan ke bawah dan tangan kiri ke atas sambil memegang timbangan. Lambang tersebut penuh muka, seorang dewi yang melambangkan sosok wanita yang diketahui penuh dengan nurani, mata ditutup harus dimaknai hukum tidak membedakan siapa yang berbuat kejahatan, dan tangan kanan memegang pedang yang diturunkan, mencerminkan bahwa hukum bukan alat untuk membunuh, jika tidak diperlukan atau ultimum remedium saja sifatnya, dan tangan kiri di atas memegang timbangan, mencerminkan hukum harus adil dan tidak berpihak serta hukuman (pedang) yang dijatuhkan harus seimbang dengan berat ringannya perbuatan pelanggaran hukum yang telah dilakukan.15



D



U



M



Karenanya amat diperlukan untuk dipahami, lebih jauh tentang makna pentingnya pembuktian serta perkembangan model-model pembuktian dalam



15



Ibid., hlm. 10.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



23



hukum acara pidana, guna melaksanakan cara-cara yang adil dalam proses pembuktian di peradilan pidana.



A. Perkembangan Model Pembuktian Menata keadilan yang dicapai oleh peradilan, untuk selalu memuaskan masyarakat serta memberi kemanfaatan keadilan dalam masyarakat, adalah hal yang paling penting dalam proses beracara di peradilan pidana. Maka pembuktian menjadi perjuangan fundamental, yang mesti menjadi bintang pemandu, dari kegelapan dan kemungkinan berbagai penyalahgunaan kekuasaan.



M



Y



Pembuktian selalu memberikan arti yang sangat bermanfaat, untuk pencarian kebenaran yang hakiki, dalam memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat. Sehingga arti pentingnya pembuktian ini sangat bersifat menyeluruh dan universal, dan merupakan suatu basis utama, dalam tata kelola hukum, atas suatu peristiwa dan keadaan hukum, yang tentunya telah mengakibatkan hukum dalam artian yang konkret. Pembuktian, dalam hukum acara pidana, merupakan bagian yang sangat esensial, guna menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa, sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan, ditentukan pada proses pembuktiannya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan, yang disampaikan oleh penuntut umum, yang kegunaannya adalah untuk memperoleh kebenaran sejati (materiil) terhadap pertanyaan. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan persidangan. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa telah bersalah. Tindak pidana apakah yang dilakukan. Hukuman apakah yang dijatuhkan.16



D



U



M



Setiap kejahatan yang selalu meresahkan dan menakutkan masyarakat, mesti mendapatkan perhatian oleh negara, agar setiap warga negara menjadi tenang dan berbahagia, dalam meraih impian dan cita-cita, menjadi masyarakat yang berkeadilan, berkesejahteraan dan berbahagia. Maka makna pembuktian menjadi perhatian dalam perannya mencapai keadilan dan kesejahteraan.



16 Martiman Prodjohamidjojo. Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1989), hlm. 133.



24



Dinamika Hukum Pembuktian



Hakikat pembuktian dalam hukum acara pidana teramat penting, bilamana dijabarkan, dengan suatu pembuktian, yang merupakan suatu proses, untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang. Konklusi pembuktian ini, dilakukan melalui proses peradilan, sehingga akan menentukan apakah seseorang dapat dijatuhkan pidana, atau dapat dibebaskan dari dakwaan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana, ataukah dilepaskan dari tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.17



Y



Perjuangan keadilan untuk sejatinya, memenuhi hasrat berhukum yang baik dan benar, mesti tunduk dan taat pada kaidah-kaidah pembuktian, yang bertujuan mulia, yaitu mendapatkan dan memberikan keyakinan penyidikan, penuntutan hingga hakim dalam memutuskan dan mengakhiri pergolakan di peradilan pidana.



M



Beberapa hal yang fundamental terkait suatu pembuktian. Ada empat hal terkait konsep pembuktian yakni: pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses. Ketiga, hal yang disebut sebagai exclusionary discretion rules didefinisikan sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim.18



U



M



Maka sistem, pembuktian, adalah bagian yang dipotret oleh sub-sistemsub-sistem peradilan pidana, untuk menerapkan kepastian dalam proses beracara, dan menerapkan makna pembuktian secara menyeluruh. Kepolisian dan kejaksaan, terlibat, untuk melihat sifat dan kekuatan alat alat pembuktian dan mengatur tentang beban pembuktian. Sehingga kedua alat negara ini, diberikan hak-hak dan kewajiban sekaligus prosedur yang ditempuh oleh Polisi, Jaksa dan Hakim, serta Lembaga Pemasyarakatan.19



D



Fungsi penyidikan, penuntutan dan pemidanaan serta lembaga pemasya­ rakatan, ditentukan dalam perundang-undangan yang saling berkaitan, dan memberikan jaminan atas berbagai kewenangan masing masing. Sehingga Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 76. 18 Eddy O.S. Hiariej. Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), Op.Cit., hlm. 11. 19 Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 2. 17



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



25



praktik peradilan selalu menjadi harapan masyarakat yang mencari keadilan, dalam menyuguhkan pembuktian dalam berbagai rangkaian kegiatannya. Sistem hukum pidana abad ke-20 masih baru diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beriktikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-ilmu sosial. Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat elemen substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum, adanya asas-asas hukum, adanya norma atau peraturan perundang-undangan, dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem hukum tersebut. Keempat elemen dasar itu tersusun dalam suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas adalah nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat. Korelasi asas hukum dengan hukum, menentukan isi hukum dan peraturan hukum positif hanya mempunyai arti hukum jika dikaitkan dengan asas hukum. Asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. Asas hukum sebagai pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masingmasing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya, ketentuan-ketentuan dan keputusankeputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.20



M



M



Y



Pembuktian memberikan makna dan berkaitan erat dengan beberapa asasasas hukum, yang memberikan alasan pembenar, dilakukannya segala hal, untuk mendapatkan keyakinan peradilan, guna tercapainya putusan yang berkeadilan.



U



Asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum merupakan disiplin tengah yang mula-mula membentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer). Setiap aparat hukum membentuk hukum, asas ini selalu dan terus-menerus mendesak masuk ke dalam kesadaran hukum dari pembentuk. Sejauh mempunyai sifatsifat konstitutif, tidak dapat dilanggar oleh pembentuk hukum, atau tidak dapat dikesampingkan olehnya. Jika hal itu dilakukannya, terjadilah yang disebut non-hukum atau yang kelihatannya saja sebagai hukum. Walaupun sistem hukum pidana masih harus diciptakan. Pengertian sistem hukum pidana dalam tiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya; suatu prosedur hukum pidana; dan suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).21



D



20 21



26



Oemar Seno Adji. KUHAP Sekarang. Op.Cit., hlm. 67. Ibid., hlm. 67-68.



Dinamika Hukum Pembuktian



Dapat diketahui, bahwa dalam suatu proses pembuktian, maka langkahlangkah penegakan hukum, selalu mendasarkan pada kekuasaan undangundang, sehingga proses pembuktian diyakini telah benar dan berkeadilan. Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana, ketika penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya, dilakukan penyidikan, pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan tindakan penyidik untuk mencari barang bukti, maksudnya guna membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan tersangkanya. Sehingga konkretnya pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir pada penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan persidangan, baik pada tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun upaya hukum ke Mahkamah Agung. Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil (materiel waarheid) akan peristiwa yang terjadi dan memberi keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadilnya.22



M



M



Y



Pembuktian berkaitan erat dengan tujuan-tujuan hukum pidana, yang dari masa ke masa dan diketahui, dari berbagai teori-teori pemidana, adalah bertugas untuk menjaga hukum pidana, dan bahkan untuk mempertahankan sistem dan tata tertib sosial. Sehingga fungsi hukum pidana dapat tercapai.



U



Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan dalam persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan. 23



D



Karenanya pembuktian dalam proses peradilan pidana, menjaga suatu proses hukum yang baik dan adil, agar kewibawaan hukum pidana dapat dicapai, sebagai bagian dari tujuan sosial, maka kejahatan dapat dilakukan suatu proses yang berkepastian, dan terhindar dari berbagai kriminalisasi politik. Ibid., hlm. 85. M.Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 252-255. 22 23



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



27



Penerapan pembuktian dalam praktik peradilan pidana, haruslah berpedoman pada hal-hal, yang secara limitatif ditentukan secara yuridis. Bilamana menyimpang, maka ada mekanisme kontrol, yang juga secara ketat ditentukan oleh perundang-undangan. Secara umum dapat diketahui, bahwa pembuktian yang berarti bukti yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa, sehingga pembuktian, bermakna suatu perbuatan untuk membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan serta meyakinkan.24



Y



Terselenggaranya mekanisme kontrol antar penegak hukum, adalah sebagai bukti, bahwa kesewenang-wenangan penegak hukum mesti dihindari, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia selalu menjadi perhatian.



M



Dengan demikian, maka dapat dimengeti, bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni; Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum, kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti, dan tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Terdakwa tidak diperkenankan untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang. Hakim dalam putusannya harus sadar, cermat dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Hakim dalam meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang di pengadilan, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti yang ditemukan dalam undang-undang sebagaimana Pasal 184 KUHAP.25



D



U



M



Setidaknya secara limitatif. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan.



Soedirjo. Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1985), hlm. 47. 25 Pasal 184 KUHAP. (1) Alat bukti yang sah ialah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keteranga terdakwa. (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. 24



28



Dinamika Hukum Pembuktian



Hakim harus senantiasa berpedoman pada pembuktian, dan menghindari dari pikiran subjektif. KUHAP telah menggariskan pedoman dalam proses peradilan pidana, yakni; penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sebaliknya terdakwa dan penasihat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang, sanggahan, bantahan, eksepsi harus beralasan sesuai hukum dengan saksi yang meringankan (adecharge) ataupun alibi sesuai dengan fakta yuridis. Pembuktian, berarti penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, maka kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Maknanya adalah bahwa arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang tidak dapat dibuktikan.



M



M



Y



KUHAP menentukan ketentuan tentang pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian sebagaimana ditentukan menurut Pasal 189 ayat (4).26 Tentang hal-hal yang secara umum telah diketahui tidak perlu dibuktikan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1),(2).27



U



Putusan pengadilan selalu membuat suatu alasan-alasan kesalahan, dan elemen-elemen terbuktinya kesalahan sebagaimana pasal-pasal yang didakwakan. Maka hal yang mendasar selalu alasan pembuktian yang berkeyakinan bahwa telah terjadi kesalahannya. Maka hakim selalu mengkonstatir barang bukti, alat bukti dan mempergunakan sistem dan model pembuktian yang diyakininya.



D



Pembuktian dalam beberapa hal dapat menyangkut atau menjadi tolok ukur dalam menyelenggarakan pekerjaan pembuktian yakni; sebagai dasar atau Pasal 189 (4) KUHAP: “Yakni keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa Ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” 27 Pasal 184 KUHAP: “(1) alat bukti yang sah ialah; keterangan saksi; keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa; (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.” 26



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



29



prinsip-prinsip pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan. Alat-alat pembuktian yang dapat dipergunakan hakim untuk memperoleh gambaran tentang terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau. Penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan. 28



Y



Selalu menjadi problematika dalam praktik beracara di peradilan pidana, adalah menerapkan dengan teliti berbagai beban pembuktian dan terkadang menjadi masalah-masalah yang dapat menjadi penilaian tidak jujur dan keberpihakan peradilan tanpa dasar-dasar hukum dan kepatutan.



M



Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian, dan semestinya harus dijalankan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena bilamana berat sebelah, maka berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu persoalan yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap suatu pelanggaran hukum atau undangundang yang merupakan, alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan yang bersangkutan.29



U



M



Pengaturan beban pembuktian dimulai dari tingkat penyidikan, maka beban pembuktian merupakan suatu cara kerja penyidik yang profesional, untuk menjahit kesalahan dengan fakta-fakta hukum serta beban pembuktiannya.



D



Tentang beban pembuktian, maka penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, yang bertujuan untuk meyakinkan hakim dalam memutuskan kesalahan terdakwa. Konsekuensi prinsip ini, berhubungan erat dengan asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi tidak mempersalahkan diri sendiri, teori ini dikenal dalam Pasal 66 KUHP.30



Rusli Muhammad. Hukum Acara Pidana Kontemporer, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2007), hlm. 186. 29 R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 15. 30 Pasal 66 KUHAP: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” 28



30



Dinamika Hukum Pembuktian



Hak-hak tersangka/terdakwa yang bersumber pada asas praduga tidak bersalah, yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah, sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.31 Kaitan dengan pembuktian, yang paling erat adalah asas legalitas, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 1(1) KUHP.32



Y



Dalam praktik peradilan pidana, di mana pusat perhatiannya pada hukum pembuktian, maka model-model pembuktian berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya teknologi informasi, maka caracara mendapatkan bukti-bukti, diatur secara ketat dalam perundang-undangan, sehingga tidak akan mungkin terjadinya diskriminasi dan pelampauan kekuasaan. Rambu-rambu pengelolaan pembuktian dengan berbagai caranya itu, mesti berada atas prinsip-prinsip hak asasi manusia, sebagai salah satu prinsip fundamental negara hukum.



M



B. Pembuktian dan Perlindungan HAM



M



Sebagai negara hukum modern, maka perlakuan hak-hak asasi manusia dalam peradilan pidana mesti dipenuhi, agar hukum acara pidana itu memerhatikan sendi-sendi fundamental sebagai negara hukum dengan basis konstitusi, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia, terlebih penyesuaian dengan perkembangan hukum dan hak asasi manusia universal.



U



Usaha untuk melindungi hak asasi manusia atau HAM sudah diper­ debatkan sejak waktu penyusunan rancangan UUD 1945 di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ketika UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, di dalam batang tubuh UUD 1945, HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31, dan masih harus ditetapkaan dengan undang.-undang. HAM dalam UUD 1945 ini, mendahului Declaration of Human Right atau Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 di Paris. Baik pada zaman



D



H. MA. Kuffal. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hlm. 2. 32 KUHP Pasal (1): “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” 31



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



31



Orde Lama maupun Orde Baru, banyak dikeluarkan peraturan perundangundangan yang isinya merupakan pelanggaran HAM, di antaranya Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyerdehanaan Kepartaian dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985. Karena terjadi banyak pelanggaran HAM, maka banyak sekali pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri agar ada perlindungan HAM di Indonesia. Untuk menghadapi tekanan tersebut, dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.33



Y



Dalam mewujudkan negara kebangsaan yang lebih baik di semua bidang kehidupan. Maka Proklamasi Kemerdekaan dan kemerdekaan itu sendiri, dipandang sebagai jembatan, atau pintu gerbang memasuki kehidupan kebangsaan, yang memung­kinkan pengerahan segenap potensi kehidupan individu dan sosial, demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Pendaya­gunaan dan pengembangan segenap potensi kehidupan berbangsa ini, dengan sendirinya meliputi pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang terselenggaranya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



M



M



Berkaitan dengan fungsi instrumental hukum, yakni memfasilitasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera, telah sejak semula disadari tidak mungkin dapat diwujudkan melalui pembentukan suatu sistem hukum nasional yang serba memadai dalam tempo yang singkat. Sebaliknya juga dipahami betul, tidak mungkin pula sepenuhnya mengandalkan ketentuan peraturan perundangundangan yang diwarisi dari pemerintahan kolonial. Bertitik tolak dari kondisi demikian itu, sebagaimana terlihat kemudian, yang terjadi adalah kompromi, yakni pendayagunaan hukum warisan kolonial untuk sementara dengan ditopang oleh peraturan baru yang akan dibentuk kemudian. Transformasi dalam bidang hukum ini dilakukan secara bertahap, dan mengalami pasang surut yang merugikan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Transformasi dalam bidang hukum ini, dengan menggunakan konsep friedman, mencakup aspek struktural, substansial, dan kultural.34



D



U



R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 1. Natangsa Surbakti. Sifat Melawan Hukum Materiel dan Implikasinya Terhadap HAM Kolektif Atas Pembangunan di Indonesia, Dalam H. Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakikat, 33



34



32



Dinamika Hukum Pembuktian



Di bidang hukum pidana, pada masa awal-awal kemerdekaan, bidang peradilan di Indonesia tampak berpegang pada visi yang konservatif. Dalam sistem peradilan pidana, berkaitan dengan unsur sifat melawan hukum sebagai unsur mutlak tindak pidana, badan peradilan Indonesia yang direpresentasikan oleh Mahkamah Agung, pada awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan hukum formal, sehingga badan peradilan tertinggi di Indonesia ini cenderung berpegang pada rumusan undang-undang. Hal ini sejalan dengan mainstream yang berkembang dalam arus pemikiran tentang negara dan hukum modern yang positivistik, di mana suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum manakala perbuatan itu nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan undangundang. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas masyarakat. Bangunan-bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semenjak lahir, sehingga tidak bisa digugat dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat. Dengan dan atas nama apa pun, bahwa dasar-dasar kemanusiaan yang intim harus dilindungi, dipelihara, dan tidak dibiarkan berada sama sekali dalam ruang-ruang sosial yang mengalienasinya.35



M



M



Y



Karenanya pengawasan publik, adalah model yang paling efektif, dibandingkan dengan pengawasan intenal. Penggunaan pembuktian dengan alat-alat bukti, sebagai persyaratan untuk dinilai kebenaran materiilnya oleh hakim, semestinya selalu terjaga dari koridor kemanusiaan, yang terukur oleh instrumen hak asasi manusia secara universal. Sehingga nuansa berhukum para pemangku kepentingan dalam mengungkapkan kejahatan, tetap dalam ukuran norma-norma hukum, tidak pada pendekatan kekuasaan. Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma. Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh, memiliki beberapa elemen, semua elemen saling terkait, dan kemudian membentuk struktur, substansi dan budaya hukum. Ketiga elemen tersebut saling mempunyai korelasi erat, sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah



D



U



Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 14. 35 Ruslan Renggong, Hukum Acara Pidana, Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 1-2.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



33



mesin bahwa budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini, budaya hukum begitu urgen sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan. Suatu sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu, yakni memiliki identitas dengan batas-batas yang relatif jelas, yang saling berkaitan, dan masing-masing dapat dijabarkan. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem hukum tersebut pada hakikatnya, berupa; Unsur idiil,36 Unsur operasional.37



Y



Unsur aktual, adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatanperbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari pengemban jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.38



M



Memperlakukan kitab undang-undang hukum pidana, sebagai induk dari segala hukum pidana sampai hari ini termasuk criminal justice systemnya, meskipun telah diperbarui melalui KUHAP tahun 1981.39



M



Pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia, setidaknya masih ada pengaruh kolonial, terutama budaya penyidikan yang masih tersisa, menggunakan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, terhadap penggunaan dan pencarian pembuktian, serta rekayasa barang-barang bukti.



U



Pemberlakuan KUHAP, sebagai hukum acara yang bersifat nasional, telah menaruh harapan akan perjuangan dan penerapan hak asasi manusia. Mengurangi budaya dan pengaruh kolonial, dengan penerapan beban pembuktian, yang berkecenderungan dengan penggunaan pemaksaan secara berlebihan, dan mengingkari hak asasi manusia. Dalam hukum pembuktian, tidak dapat dipisahkan secara tajam antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka inisiatif untuk melindungi kepentingan



D



36 terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidahkaidah dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem hukum”. Bagi para sosiolog hukum, masih ada unsur lainnya. 37 terdiri dari keseluruhan organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambstsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga. 38 Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 65. 39 Mokhammad Najih. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana Sebagai Instrumen Dalam Mewujudkan Tujuan Negara, (Malang: In-Trans Publising, 2008), hlm. 1-2.



34



Dinamika Hukum Pembuktian



umum, melalui suatu alat negara yang khusus, yakni kejaksaan dibebani tugas untuk melakukan beban pembuktian, guna melakukan tuntutan pidana, sehingga hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari kebenaran materiil.40 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana. Sehingga proses pembuktian hakikatnya, memang lebih dominan pada sidang pengadilan, guna menemukan kebenaran materiil, akan peristiwa yang terjadi, dan memberi keyakinan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut. Pada proses pembuktian, terhadap korelasi dan interaksi mengenai apa yang akan diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil, melalui tahap pembuktian, alat-alat bukti dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek sebagai berikut.41



M



M



Y



Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatanperbuatan itu. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.



U



Pembuktian yang lain adalah beban pembuktian keseimbangan kemungkinan, yang diperlakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, dengan mengedepankan keseimbangan secara proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu di satu sisi, dengan keharusan membuktikan asal usul pembuktian kekayaan pelaku di sisi lainnya, sehingga tidak berdasarkan asas pembuktian negatif. Hal ini dipraktikkan di Pengadilan Tinggi Hongkong. Dalam hukum acara perdata, maka dapat diketahui masalah pokok dalam pembuktian, yakni pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk menentukan



D



A. Pillo. Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Op.Cit., hlm. 5-6. 41 Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 86. 40



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



35



hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara, tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat dibuktikan, akan tetapi adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Sehingga dalam ilmu hukum pembuktian itu ada, apabila terjadi bentrokan kepentingan yang diselesaikan melalui pengadilan, karena adanya suatu perkara.42 Maka menjadi jelas, bahwa pembuktian dengan segala doktrinnya, sebagai pegangan utama. Dalam berbagai tahap pembuktian, guna merentas jalan, bahwa pengadilan adalah upaya yang adil dalam melaksanakan keadilan.



Y



Hal mana konflik kepentingan dapat diakhiri dengan kekuasaan kehakiman yang mandiri, profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Hakim dalam menerapkan makna beban pembuktian, selalu berlindung atas keyakinan dan kebebasannya dalam memutuskan suatu perkara pidana. Karenanyalah pada diri hakim, diletakkan pengakhiran dari pergumulan kemanusiaan, dalam proses mengadili, antar sesama manusia, dengan segala keterbatasannya. Sehingga diharapkan cara-cara pembuktian dengan berbagai doktrin pembuktian, dapat diterapkan dengan prinsip-prinsip yang adil, memuaskan dan bertanggung jawab. Proses pembuktian di peradilan pidana, sejatinya adalah memenuhi hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia. Pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.43



U



M



M



Karenanya sifat hakiki dan kodrati HAM, yang melekat pada diri setiap orang tidak dapat dicabut atau dihapuskan oleh siapa pun, termasuk oleh penguasa negara. Menghapus dan mencabut HAM sama artinya, menghilangkan eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.44



D



Maka menjadi perhatian dalam praktik pembuktian itu, masih terjadi berbagai penyimpangan praktik yang tidak jujur, dan rekayasa terhadap pembuktian yang kemudian menjadi problematika dalam capaian keadilan.



Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 10-11. 43 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 8. 44 Ruslan Renggong. Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM Dalam Proses Penahanan Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 1. 42



36



Dinamika Hukum Pembuktian



C. Problematika Asas Pembuktian Asas hukum dalam pembuktian berkaitan dengan asas hukum acara pidana, sebagai pemandu dalam melaksanakan secara normatif, dalam mengungkapkan kejahatan, dengan keterkaitan dengan berbagai hal. Dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana, maka asas menjadi sangat penting, guna menghindari kekuasaan yang berlebihan dari setiap komponen penegak hukum pidana.



Y



Secara universal beberapa asas penting dalam hukum pidana yang berkaitan erat dengan ketentuan pembuktian adalah asas legalitas.45 Pada dasarnya, asas legalitas diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” Dalam perspektif tradisi civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu terhadap peraturan perundang-undangan, retroaktivitas, lex certa dan analogi. Asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu: Pertama, Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, Guna menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi (kiyas). Ketiga, Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.46



U



M



M



Beberapa asas pembuktian yang berkaitan dalam praktik peradilan pidana, yakni, Due process of law.47 Presumtion of innocence.48 Legalitas.49 Adversary



D



Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit. hlm. 76. Ibid., hlm. 77. Yakni, seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal. Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu, yang menguji dua hal: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur; (b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan Due process. 46 Indriyanto Seno Adji. KUHAP Dalam Prospektif, (Jakarta: Diadet Media, 2011), hlm. 34. 47 Yakni, seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal. 48 Seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan mempunyai kekuatan hukum. 49 Yakni tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana pidana sebelumnya. 45



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



37



System.50 Clear and Convicing Evidence.51 Beyond a Resonable Doubt.52 Actori In Cumbit Probatio.53 Actori Incumbit Onus Probandi.54 Secundum Allegat Iudicare.55 Actus Dei Nemini Facit Injuriam.56 Negativa Non Sunt Probanda.57 Unus Testis Nullus Testis.58 Persona Standi Injudicio.59 Discovery.60 Directed Verdict.61 Unlawful Legal Evidance.62 Audi Et Alteram Partem.63 Pemahaman asas legalitas dalam hukum acara pidana, seringkali memiliki polemik, bahkan ada pemahaman, bahwa asas legalitas dan asas retro aktif, tidak dikenal dalam hukum acara pidana, sehingga pemahaman asas tersebut, hanya ada dalam hukum acara pidana materiil, tentunya hal ini didasarkan sikap konkordansi Indonesia terhadap Ned. Strafrecht, yang menyatakan bahwa. Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang wettelijke strafbepalinging. Maknanya, bahwa segala peraturan yang berada di bawah undang-undang dalam artian formal, dapat memuat rumusan dalam hukum acara pidana. Yang menyatakan bahwa undang-undang diartikan secara definitif dari wet, memuat mengenai aturan acara pidana, artinya persoalan prosedural Undang-undang. Semua ini menegaskan, bahwa larangan retroaktif dalam hukum acara pidana, jauh lebih ketat dan limitatif dibandingkan dengan larangan yang sama dalam hukum



M



M



Y



50 Yakni sebagai sistem peradilan di mana pihak-pihak yang berseberangan mengajukan bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya. 51 Yakni sebagai standar pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a reasonable doubt. 52 Yakni standar pembuktian yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah tanpa keraguan yang masuk akal. 53 Artinya siapa yang menggugat, dialah yang wajib membuktikan. 54 Asas ini merupakan kelanjutan dari Asas Actori In Cumbit Probatio. Yakni, bilamana penuntut umum tidak dapat membuktikan, maka terdakwa harus dibebaskan. 55 Yakni bahwa hakim tutwuri terhadap peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh para pihak. 56 Artinya, tidak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat dihindari. 57 Artinya mengartikan sesuatu yang negatif sangatlah sulit. 58 Artinya satu orang saksi bukanlah saksi. 59 Artinya orang yang berwenang dan cakap hukum berperkara di pengadilan. 60 Yakni prosedur untuk mengungkapkan informasi di antara pihak-pihak yang berperkara. 61 Artinya, putusan dalam persidangan yang dijatuhkan hakim karena ketidakmampuan salah satu pihak untuk menyodorkan buki-bukti yang cukup untuk mendukung posisinya. 62 Perolehan bukti yang tidak sah akan mengakibatkan gugurnya perkara. 63 Yakni, hakim dalam mengadili harus mendengar kedua belah pihak secara seimbang.



D



38



U



Dinamika Hukum Pembuktian



pidana materiil. Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakuinya dalam KUHP Indonesia baik asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP Tahun 2008).64 Dalam praktik perbuatan yang sepatutnya dipidana tidak dipidana karena, adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terinci. “Terhadap asas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama bahwa asas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif. Akibat asas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum disebut secara tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Asas nullum delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar” masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan untuk menghapuskan Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh hakim pidana di daerah bahwa Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat.65



U



M



M



Y



Walaupun demikian, pada umumnya asas legalitas, diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi hukum adat yang masih hidup, sehingga tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, akan tetapi dari sudut lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil.66



D



Perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis Delicti” atau asas “nonretroaktif ”, dalam makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak ada 4 (empat) larangan (Prohibitions) yang dapat dikembangkan Nyoman Serikat Putra Jaya. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya bakti, 2005), hlm. 221-253. 65 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia 1958), hlm. 195-198. 66 Loebby Loqman. Perkembangan Azas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Makalah, 2004), hlm. 6-7. 64



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



39



asas tersebut, yaitu: nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum tidak tertulis-unwritten law); “nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogi); “nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum pidana secara surut); “nullum crimen poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana yang tidak jelas.



Y



Asas legalitas dalam konteks KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum. Akan tetapi, dalam implementasinya ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. Pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistor (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu yang terdapat pada Pasal 1 (2) KUHP yang berbunyi: “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya”. Hal demikian diartikan dalam terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain karena sebagai berikut: Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP; Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiil; Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950; Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999; dan konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiil, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.67



D



U



M



M



Aspek hukum pembuktian asasnya sudah dimulai sejak tahap penyelidikan perkara pidana. Pada tahap penyelidikan ketika tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, di sini sudah ada tahapan pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan 67 Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Adytia Bakti, 2003), hlm. 10-1.



40



Dinamika Hukum Pembuktian



tersangkanya. Konkretnya, pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana oleh hakim di depan sidang pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, melalui upaya hukum banding. Dalam pembuktian di berbagai tingkat peradilan pidana, maka yang menjadi pusat perhatian, adalah barang dan alat bukti, untuk menjadi batu uji utama, dalam menilai fakta-fakta di persidangan peradilan pidana. Sehingga dapat dimengerti bahwa pembuktian, adalah suatu bagian utama dalam hukum acara pidana, karena pada pembuktian menentukan peraturan perundangundangan, yang menata berlangsungnya perkara di sidang peradilan pidana. Bahkan semua tingkat dan jenis peradilan.



D. Makna Barang Bukti dan Alat Bukti



M



Y



Maknanya hakim dalam menjatuhkan pemidanaan harus didukung sekurangnya dua alat bukti yang sah. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.



U



M



Sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) tanggal 27 Juni 1983 No. 185 K/Pid/1982. Putusannya telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Alasan pembatalan didasarkan pada pendapat, kesalahan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena alat bukti yang mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa, hanya didasarkan pada suatu petunjuk saja, yakni pengakuan terdakwa di luar sidang (confession out side the court). Dengan demikian, alat bukti tersebut belum memenuhi asas batas minimum pembuktian yang ditentukan undang-undang. Dengan demikian maka, prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah: a) sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah; b) maka tidak dibenarkan dan



D



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



41



dianggap tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. Prinsip umum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun, sebagai aturan umum dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183. Oleh karena itu, tanpa mengurangi prinsip umum yang diatur dalam Pasal 183 tersebut, perlu juga diketahui beberapa asas yang diatur pada pasal-pasal lain yang bertujuan untuk lebih menegaskan prinsip umum yang diatur pada Pasal 183, antara lain: a) Pasal 185 ayat (2).68



Y



Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah; satu saksi tidak merupakan saksi. Istilah ini merupakan pengertian yang ditarik dari rumusan: “unus testis nullus testis”; keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Hal inilah yang disebut sebagai pedoman yang diperhatikan sehubungan dengan sistem pembuktian yang berkaitan dengan prinsip batas minimum pembuktian dalam pemeriksaan perkara dengan “acara pemeriksaan cepat”. Sistem dan prinsip pembuktian yang berlaku dalam perkara dengan acara pemeriksaan biasa, tidak sepenuhnya diterapkan dalam perkara dengan “acara pemeriksaan cepat”. Dalam perkara dengan acara pemeriksaan cepat, prinsip minimum pembuktian tidak mutlak dipedomani. Artinya dalam perkara acara cepat, pembuktian tidak diperlukan mesti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Satu alat bukti saja sudah cukup mendukung keyakinan hakim. Hal ini dapat dibaca dari bunyi “penjelasan” Pasal 184. “Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”.



D



U



M



M



Penyimpangan ini dapat dibenarkan, sebab pada dasarnya, pembuktian dalam perkara acara cepat, lebih cenderung pada pendekatan “pembuktian secara formal”. Berikut ini dikemukakan putusan MARI yang berkaitan dengan masalah asas batas minimum pembuktian, dimulai dari putusan yang dijatuhkan sebelum KUHAP berlaku. diambil putusan tanggal 17 April 1978 No. 18 K/Kr/1977. Dalam putusan ini MARI membatalkan putusan perkara yang dikasasi, dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa 68 Pasal 185(2) KUHAP: “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”



42



Dinamika Hukum Pembuktian



atas alasan pengadilan salah menerapkan hukum pembuktian: “Pengadilan telah mendasarkan putusannya semata-mata atas keterangan seorang saksi saja, padahal para terdakwa mungkir. Sedang keterangan saksi-saksi yang lain tidak memberi petunjuk atas keterbuktian kejahatan yang didakwakan.” Pada putusan ini, alasan pembatalan didasarkan atas kekeliruan penerapan hukum yang telah menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa tanpa didukung oleh minimum dua alat bukti yang sah, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 294, jo. Pasal 300 HIR sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 183 jo. Pasal 185 (2) KUHAP.69



Y



Demikian pula dalam putusan tanggal 8 September 1983 Reg. No.932 K/Pid/1982, MARI membatalkan dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dengan alasan: “bahwa menurut berita acara persidangan Pengadilan Negeri, saksi tidak sempat didengar keterangannya, sedang Visum et Repertum ternyata tidak ada satupun yang dibacakan. Lagi pula menurut kesimpulan dari pihak kepolisian, kesalahan berada di pihak korban, dan terdakwa tidak mengakui telah perbuatan seperti yang didakwakan kepadanya”. Juga dalam putusan tanggal 15 Agustus 1983 Reg. No. 298 K/Pid/1982, MARI telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa. dalam putusan ini, MARI menyatakan: “kesalahan para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena tidak ada seorang saksi di bawah sumpah maupun alat bukti lain yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa baik mengenai dakwaan perkosaan maupun atas dakwaan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya”.



U



M



M



Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas



D



Pasal 183 KUHAP: “(1) apabila suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan militer/pengadilan militer tinggi menimbulkan kerugian bagi orang lain. Hakim ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu. (2) permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) hanya dapat diajukan paling lambat sebelum oditur mengajukan tuntutan pidana. Pasal 185 KUHAP (2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.” 69



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



43



hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Penilaian sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah. Pembuktian di luar jenis alat bukti sebagaimana Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Beberapa alat-alat bukti dalam proses peradilan pidana nasional yakni; Keterangan saksi. Keterangan Ahli. Alat Bukti Surat. Alat Bukti Petunjuk. Keterangan Terdakwa.



Y



Alat bukti tidak boleh diperoleh secara melawan hukum, sehingga pemancingan tidak diperbolehkan. Hasil penyidikan adalah rahasia dan dilarang keras penyidik memberikan hasil penyidikan. Di Indonesia tampaknya masyarakat menghendaki penyidikan transparan, tujuan penyidikan adalah rahasia, sehingga menjaga praduga tidak bersalah, di sampaing itu untuk kepentingan penyidikan sendiri, sehingga tersangka tidak akan mudah untuk menghilangkan alat-alat bukti, atau memengaruhi saksi. Dalam hukum acara pidana mendatang alat-alat bukti dikenal sebagai barang bukti; meliputi surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim. Pada hakikatnya asas ini, hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183. Sedikit pun tidak ada perbedaan penegasan Pasal 189 ayat (4) dengan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183. Asas batas minimum pembuktian ini tidak berbeda dengan apa yang ditentukan pada Pasal 189 ayat (4), dapat disimpulkan, bahwa alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa, bukan alat bukti yang memiliki sifat menentukan dan mengikat. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court). Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti, keterangan terdakwa itu harus dinyatakan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat diketahui, bahwa keterangan terdakwa yang di luar sidang pengadilan, sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Akan tetapi, apakah pernyataan di luar sidang dapat diketahui maknanya sebagaimana Pasal 189 ayat (2) KUHAP.



D



U



M



M



Beberapa putusan Mahkamah Agung, yang masih tetap dipergunakan badan peradilan sebagai pedoman, atau stare decisis dalam praktik., yakni; dapat dipergunakan “sebagai petunjuk”. Pencabutan harus berdasar



44



Dinamika Hukum Pembuktian



alasan. Keterangan pengakuan yang diberikan di luar sidang, dapat dicabut terdakwa kembali di sidang pengadilan, mesti mempunyai alasan yang berdasar dan logis. Pencabutan kembali tanpa didasarkan alasan yang logis adalah pencabutan yang tidak dapat dibenarkan hukum, sebagaimana yang ditegaskan oleh beberapa yurisprudensi, yang dipedomani oleh praktik peradilan sampai sekarang. Kekuatan pembuktian keterangan terdakwa secara sepintas lalu sudah disingggung juga mengenai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa. Seperti yang telah diungkapkan, seribu kali pun terdakwa memberikan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat. Seandainya pembuat undang-undang menetapkan nilai pengakuan sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, ketentuan yang seperti itu memaksa hakim untuk tidak boleh beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut.



M



Y



Hakim secara mutlak harus memutuskan perkara atau alasan pembuktian pengakuan. Ketentuan seperti ini sangat berbahaya. Karena seperti apa yang telah diterangkan terdahulu, orang jahat akan banyak berkeliaran di belakang pengakuan orang yang diupah. Akibatnya orang yang kaya yang mampu dan jahat akan semakin jahat. Dia akan tetap bebas berkeliaran di tengah-tengah masyarakat dengan jalan membeli orang miskin yang mau mengaku sebagai orang yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang terjadi. Akibat buruk yang paling jauh, penegakan hukum dapat diperjualbelikan oleh mereka yang punya duit. Untunglah pembuat undang-undang tidak menetapkan ketentuan yang seperti itu, sehingga kecil kemungkinan terdapat orang jahat yang berlindung dibalik pengakuan seorang terdakwa bayaran.



D



U



M



Bertitik tolak dari tujuan mewujudkan kebenaran sejati, undang-undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut: Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas. Harus memenuhi batas minimum pembuktian. Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Pembalikan beban pembuktian, secara teoretis, dikenal; Pertama, Teori hukum pembuktian, menurut keyakinan hakim, dan tidak berdasarkan pada



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



45



suatu peraturan. Kedua, Teori berdasarkan pada alasan yang logis. Ketiga, Bedasarkan pada undang-undang secara positif. Titik tolaknya adalah pada bukti yang ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Keempat, Hukum pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yakni hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, bilamana alat bukti itu secara limitatif ditentukan undang-undang, dan didukung pula oleh keyakinan hakim, terhadap eksistensi alat-alat bukti.



Y



Adapun beban pembuktian pada penuntut umum, sebagai konsekuensi dari alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, untuk meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. Konsekuensi logis dari beban pembuktian pada penuntut umum ini, berkolerasi dengan asas praduga tidak bersalah, dan aktualisasi dari asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self discrimination). Dalam konteks, maka terdakwa berperan aktif, untuk menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan, yang akan menyiapkan segala beban pembuktian, dan bilamana tidak membuktikan, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian ini dikenal sebagai teori beban pembuktian (omkering van het bewijslaat, atau Shifing of burden of proof).70



M



M



Dalam RUU KUHAP, telah diperkenalkan adanya promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan adversarial khususnya, pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk memberikan pertanyaan dari pihak jaksa penuntut umum dan penasihat hukum, dan kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP, juga memperluas alat bukti, yakni bukti elektronik dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa dan penasihat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut dengan tidak melanggar konstitusi.71



D



U



Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 102-103. Syaiful Bakhri. Sejarah Pembaruan KUHP & KUHAP, (Yogyakarta: Total Media, bekerja sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2011), hlm. 106. 70



71



46



Dinamika Hukum Pembuktian



Bukti elektronik, yang dapat dikaitkan dengan hukum pidana, sebenarnya dalam praktik mengalami kesulitan. Khususnya tindak pidana yang menggunakan komputer, yakni tidak adanya suatu patokan, atau dasar peng­gunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan. Padahal dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana, adalah berupa data-data elektronik, baik yang berada dalam komputer itu sendiri (hard disk/floppy disc), atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain, berupa jejak (path), dari suatu aktivitas penggunaan komputer. Sehingga bilamana bukti elektronik, dijadikan dasar dalam pembuktian, maka diperlukan kekuatan pembuktian melalui keterangan ahli. Dalam praktik setidaknya panduan untuk menggunakan, alat bukti elektronik dalam mengungkap kejahatan komputer yakni; Adanya pola (modus operandi), yang relatif sama dalam melakukan tindak pidana dengan menggunakan komputer. Adanya persesuaian antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain.72



M



Y



Pasal 83 RUU KUHAP, menentukan tentang penyadapan, bahwa penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan. Tindak pidana serius meliputi; terhadap keamanan negara, perampasan kemerdekaan, pencurian dengan kekerasan, pemerasan, pengancaman, perdagangan orang, penyeludupan, korupsi, pencucian uang, pemalsuan uang, keimigrasian, mengenai bahan peledak dan senjata api, terorisme, pelanggaran hak asasi manusia yang berat, psikotrapika dan narkotika dan pemerkosaan. Penyadapan harus dengan surat izin, kecuali dalam hal mendesak, setelah itu wajib untuk memberitahukannya kepada hakim komisaris. Pasal 174 RUU KUHAP, menentukan tentang pembuktian dan putusan, hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.



D



U



M



72 Edmon Makarim. Pengantar Hukum Telematika Suatu kompilasi Kajian, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 455-456.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



47



Alat bukti yang sah mencakup barang bukti surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli,73 keterangan seorang saksi,74 keterangan terdakwa,75 dan pengamatan hakim.76 Alat bukti yang sah, harus diperoleh secara tidak melawan hukum.77 Hal hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Barang bukti, adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau yang menjadi objek tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau materiil yang dapat menjadi bukti, dilakukannya tindak pidana.



Y



Surat, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni; berita acara dan surat lain, dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya.



M



Dalam menilai kebenaran saksi hakim wajib memerhatikan: persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu; cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi dipercayanya keterangan tersebut; dan/atau keterangan saksi sebelum dan pada waktu sidang. Keterangan saksi yang tidak disumpah, yang sesuai satu dengan yang lain, walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah, apabila keterangan tersebut sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah.



D



U



M



Pasal 179: “Keterangan ahli, adalah segala hal yang dinyatakan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang persidangan.” 74 Pasal 180: “keterangan saksi, sebagai alat bukti, segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan.” 75 Pasal 181: “keterangan terdakwa, adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri.” 76 Pasal 182: “pengamatan hakim selama sidang, adalah didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” 77 Pasal 183: “alat bukti yang diberikan oleh pemerintah, orang, atau perusahaan negara lain dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah, apabila diperoleh secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara lain tersebut.” 73



48



Dinamika Hukum Pembuktian



Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan, dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan, dengan ketentuan bahwa keterangan tersebut didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari satu pengamatan hakim selama sidang dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama berdasarkan hati nurani.



Y



Tentang saksi mahkota, bahwa salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi alam perkara yang sama, dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, apabila saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersanka lain, yang patut dipidana dalam tindak pidana tersebut. Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana, maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah, berdasarkan Pasal 199, dan membantu secara substantif mengungkap tindak pidana, dan peran tersangka lain, dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan negeri. Penuntut umum menentukan tersangka atau terdakwa sebagai saksi mahkota.



U



M



M



E. Pembuktian dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi Pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi, menjadi suatu sorotan publik, disebabkan posisi pidana khusus ini, menuai banyak permasalahan, terutama berkaitan dengan prinsip hak asasi manusia, serta pengaturan perundang-undangan tindak pidana korupsi serta hukum acara pidana sekarang.



D



Berbagai cara untuk membuktikan dalam peradilan pidana, maka ada perkembangan terhadap pembuktian dalam peradilan tindak pidana korupsi, di mana sejatinya, tidak hanya memuaskan untuk menghukum pelaku, tetapi upaya untuk pengembalian uang negara, sebagai bagian utama kerugian sosial, dan amat mengganggu tercapainya keadilan sosial, serta merusak sendi-sendi perekonomian nasional. Dalam perjuangan prinsip negara hukum, maka tercermin dari sejumlah proses peradilan pidana yang wajar, transparan dan tidak berbasiskan



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



49



kekuasaan, oleh karena itu pembuktian,78 merupakan masalah yang penting dalam proses peradilan pidana di Indonesia, dengan melalui pembuktian, yang bermakna sebagai titik sentral pemeriksaan di sidang pengadilan, guna menentukan posisi terdakwa, apakah telah memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam hukum acara pidana. Pada tahap inilah nasib terdakwa, atau tersangka akan dinilai oleh hakim, dengan kecermatan untuk mempertimbangkan fakta-fakta dan seluruh alat bukti sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 184.79



Y



Pembuktian dalam sistem hukum acara pidana Indonesia, berlaku untuk acara pidana peradilan korupsi, ditambah dengan kekhususan, dalam mencari dan mengumpulkan pembuktian dengan cara-cara yang luar biasa, seperti penyadapan, adalah suatu hal yang mendapatkan perhatian, karena diperlukan pengawasan dalam setiap aksi-aksinya guna mendapatkan pembuktian yang teramat sulit dicapai, maka undang-undang memberikan suatu kewenangan lebih mudah dan luas, agar kejahatan korupsi dapat diungkapkan.



M



Perspektif sistem peradilan pidana, pembuktian sangat memegang peranan penting untuk menyatakan kesalahan terdakwa, apabila dilihat dari visi letaknya dalam kerangka yuridis aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara pidana, dikaji secara mendalam karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari hukum perdata. Aspek pembuktian telah dimulai pada tahap penyelidikan, hingga penjatuhan vonis oleh hakim, dan secara dominan terjadi pada sidang di pengadilan, dalam rangka hakim menemukan kebenaran materiil, selain itu aspek pembuktian juga bermanfaat pada kehidupan sehari-hari maupun kepentingan lembaga penelitian.80



D



U



M



Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 151. Pembuktian secara etimologi, berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, dengan proses perbuatan, cara membuktikan. lihat juga R.Subekti. Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 7. Dikemukakan, bahwa pembuktian ialah, upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan di pengadilan. 79 Pasal 184 KUHAP: “(1) Alat bukti yang sah ialah; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. (2) hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.” 80 Lilik Mulyadi. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis dan Praktik. Op.Cit., hlm. 91-93. 78



50



Dinamika Hukum Pembuktian



Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasihat hukum, dari semua tingkatan itu, maka ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak diperkenankannya untuk leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian, termasuk terdakwa tidak leluasa untuk mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar dari undang-undang. Karenanya hakim harus cermat, sadar dalam menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian, yang ditemukan selama dalam pemeriksaan persidangan, dan mendasarkan pada alat bukti yang secara limitatif dtentukan menurut Pasal 184 KUHAP.81



M



Y



Hukum acara pidana dalam pengertian formal menunjukkan, bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian perkara pidana. Sementara itu, hukum acara pidana dalam artian materiil menunjukkan, bahwa hukum acara pidana merupakan serangkaian aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian perkara pidana, hukum pidana formal mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.82



M



Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, menganut asas bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa itu akan diselesaikan oleh pemerintah sebagai wakil dari publik, dengan menganut dan mengikuti civil law atau disebut juga dengan sistem enacted law yang dibangun dengan satu doktrin, bahwa pemerintah akan selalu berbuat baik, hukum direnungkan oleh ahli politik, ahli hukum merencanakannya dalam bentuk tertulis.



D



U



Sedangkan dalam sistem common law sengketa itu diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut jury kecuali yang bersangkutan memilih lain. Pilihan selalu ada pada pihak terdakwa sebagai konsekuensi dari asas due process of law. Hukum bukan dibuat oleh ahli politik atau ahli hukum akan tetapi oleh



M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 252-253. 82 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), hlm. 4-6. 81



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



51



orang awam yang jujur yang disebut jury. Oleh karenanya hukum dibuat dari kasus-kasus yang diproses melalui pengadilan, disebut common law atau judge made law.83 Terhadap pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan, maka ketentuan perundang-undangan memberikan hak istimewa atau ”hak privilese” kepada polisi untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menggeledah, menyita terhadap tersangka, atas dugaan bukti yang kuat telah melakukan tindak pidana, terhadap pelaksanaan hak istimewa itu, harus taat dan tunduk pada prinsip the right of due process. Setiap tersangka berhak diselidiki dan dilakukan penyidikan di atas landasan sesuai dengan hukum acara, dan ide penghormatan terhadap due process of law bersumber pada cita-cita ”negara hukum” yang menjunjung tinggi supremasi hukum, yang menegaskan pemerintahan diatur oleh hukum, dan bukan pada perseorangan (government of law and not a man). Dengan demikian maka, konsep esensi due process of law dalam pelaksanaannya, para penegak hukum harus memedomani dan mengakui, serta menjamin berbagai hak yang ditentukan oleh KUHAP, yakni prinsip; “the right of self incrimination”, without due process of law”, “unresonible searches and seizures”, “the right of conform”, “the right to a speedy trial”, “equal protection and equal treatment of the law”, “the right to have assistance of cuonsil.”84



M



M



Y



Dalam perkara pidana maupun perkara perdata, hakim memerlukan pembuktian, khususnya hukum acara pidana sebagai hukum publik, dipakai system negative menurut undang-undang, sistem ini terkandung dalam RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui).85



U



Sistem Hukum Pidana secara umum, berlaku dan melandasi Sistem Hukum Pidana Indonesia Asas Pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi menurut Sistem Hukum Pidana Indonesia mencakup pengertian sistem pemidanaaan dan pembaruan hukum pidana.



D



Luhut M.P. Pangaribuan. Hukum Acara Pidana Suatu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP Serta Dilengkapi Dengan Hukum Internasional yang Relevan, (Jakarta: Djambatan, 2000), hlm. xviii-xix. 84 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 95-96. 85 Pasal 294 (1) RIB: “Tiada seorangpun yang dapat dihukum, kecuali jika hakim berdasarkan alat-alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.” 83



52



Dinamika Hukum Pembuktian



Pada sistem pemidanaan, asas pembalikan beban pembuktian berorientasi kepada subsistem Hukum Pidana Formal dan subsistem Hukum Pidana Materiil. Pada subsistem Hukum Pidana Formal, praktik asas pembalikan beban pembuktian di Indonesia tidak pernah diterapkan. Akan tetapi, pada praktik peradilan perkara tindak pidana korupsi di Hongkong dan India diterapkan terhadap pembuktian asal usul harta kekayaan pelaku yang diduga berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Kemudian pada subsistem Hukum Pidana Materiil khususnya terhadap peraturan hukum positif tindak pidana korupsi ditemukan adanya ketidakjelasan dan ketidaksinkronan perumusan norma asas pembalikan beban pembuktian pada ketentuan Pasal 12B. ”Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.



M



Y



Pasal 37, Pasal 37A, (1) terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, (2) dalam hal terdakwa dapat membuktikan, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti; Pasal 37 a, (terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri dan suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan; (2) dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. dan Pasal 38b UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.(1) setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



D



U



M



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



53



Membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi; (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara; (3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok; (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi; (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4); (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.



M



M



Y



Tentang perampasan aset dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia, sebelum ratifikasi konvensi PBB anti korupsi 2003, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006, telah berlaku beberapa peraturan perundang-undangan pidana yang berhubungan dengan perampasan aset hasil tindak pidana. Walaupun ruang lingkup pengembalian aset, belum diatur secara rinci dan memadai, termasuk pembuktian terbalik dalam perampasan aset tindak pidana. Instrumen hukum nasional itu, yakni sebagai berikut.86



D



U



UU No. 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP, dan perubahannya dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHAP, yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara; UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP; UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006; UU No. 31 Tahun 1999, diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No.35 Tahun 2009 tentang Nakotika; UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotrapika;



86 Romli Atmasasmita. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik, Studi Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Mabes Polri, Fokus Grouf Discusson, 10 Maret 2011), hlm. 6.



54



Dinamika Hukum Pembuktian



UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam perkara tindak pidana korupsi, berlaku hukum acara pidana (KUHAP), selain itu diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, khusus perkara TIPIKOR, dapat diperoleh; Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks dan faksimili; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan /atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.87



M



Y



Asas pembalikan beban pembuktian diterapkan dalam lingkup perdata (civil procedure) khususnya dalam pengembalian harta pelaku tindak pidana korupsi, dan di sini ditemukan ketidakharmonisan peraturan pembalikan beban pembuktian di Indonesia. Oleh karena itu, setelah berlakunya KAK 2003 diharapkan adanya kejelasan dan keharmonisan peraturan pembalikan beban pembuktian sehingga ditemukan adanya sinkronisasi antara das sollen dan das sein dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harmonisasi dan sinkronisasi diperlukan dalam rangka untuk menindak pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui pembalikan beban pembuktian sehingga diharapkan adanya aspek ideal antara kebijakan legislasi dan kebijakan aplikasi. Oleh karena itu, memang relatif diperlukan adanya pembaruan hukum pidana khususnya terhadap peraturan tindak pidana korupsi dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia agar menjadi harmonis dan sinkron.



D



U



M



Permasalahan krusial Sistem Hukum Pidana Indonesia dalam arti perspektif sistem pemidanaan dan pembaruan hukum pidana. Hakikat pembuktian dalam hukum pidana adalah teramat urgen, karena pembuktian merupakan suatu proses untuk menentukan dan menyatakan tentang kesalahan seseorang dapat dijatuhkan pidana, karena dari hasil persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, kemudian dapat Aziz Syamsuddin. Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 168-169.



87



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



55



dibebaskan dari dakwaan, karena tidak terbukti melakukan tindak pidana ataukah dilepaskan dari segala tuntutan hukum, karena apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Secara sederhana dapat dikatakan terdapat anasir erat antara asas-asas hukum pidana dengan dimensi pembuktian yang merupakan rumpun hukum acara pidana (formeel strafreht /strafproceesrecht).88



Y



Pemulihan aset korupsi dalam konvensi PBB anti korupsi 2003, didahului oleh tiga resolusi sidang majelis umum PBB yakni sebagai berikut; Resolusi sidang umum PBB. No. 5/188, tanggal 20 Desember 2000, Preventing and combating corrupt practices and illegal transfer of punds and repatriation of such funds to countries of origion. Resolusi sidang majelis umum PBB. No 56/260, tanggal 31 Januari 2002, yang meminta komite adhoc negosiasi draft konvensi PBB anti korupsi untuk memasukkan suatu pendekatan multidisiplin termasuk pencegahan dan penindakan terhadap transfer aset yang berasal dari korupsi. Resolusi Badan Ecosoc Tahun 2001/13 tanggal 24 juli 2001. Strenghtening internasional cooperation in preventing and combating the transfer of funds of illicit origin, including loundering of funds.



M



M



Ketiga resolusi itu ditindaklanjuti dengan lokakarya teknis, dengan topik; Transfer abroad of funds or asset of illicit origin. Return of funds or asset of illicit origin. Prevention of the transfer of funds or assets of illicit origin. Adapun sejarah perkembangan asset recovery, dapat ditelusuri dari beberapa instrumen internasional mengenai korupsi dan pencucian uang sebagai berikut: United nations convention againts transnational organized crime tahun 2000; The convention of loundering, search, seizure and confiscation of the proceeds from crime; Criminal law convention on corruption of the council of europe; Civil law convention on corruption of the council of europe; The inter-american convention againts corruption of the organization of American state; The convention on combating bribery of foreign public officials in international business transaction of the organization economic coorperation and depelopment.



D



U



Sejak diterapkannya regulasi tersebut, maka regulasi mengenai perampasan aset tindak pidana, telah mengalami perkembangan baru, dari sisi teori pembuktian maupun dari sisi praktik, peradilan di beberapa negara, terhadap perkara tindak pidana serius, seperti tindak pidana narkotika, pencucian uang dan di bidang perpajakan.89 88 89



56



Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban. Op.Cit., hlm. 76. Romli Atmasasmita. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik, Op.Cit., hlm. 9-10.



Dinamika Hukum Pembuktian



Tentang pembuktian dalam perkara pidana, dapat diikuti Pasal 66 KUHAP.90 Ikhwal pembuktian terbalik diatur dalam ketentuan Pasal 37 (1) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang menyatakan, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan, bahwa dia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Karenanya, dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia, tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan, bahwa dakwaan tidak terbukti (Pasal 37(2) UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Pembuktian terbalik bersifat premium remedium, dan sekaligus mengandung sifat prefensi khusus terhadap pegawai negeri, yang diperlakukan pada tindak pidana baru, tentang gratifikasi dan pada tuntutan perampasan harta benda terdakwa, yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana (predicate crime).91



M



Y



Dalam perkembangannya, terhadap hal-hal tertentu, beban pembuktian dapat diperlakukan kepada tersangka/terdakwa, yang dikenal sebagai pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast). Pembuktian terbalik merupakan sistem pembuktian, dengan pola baru, yang diterapkan di negara negara Anglo Saxon, dan berhasil dipraktikkan di Hongkong, Inggris, Malaysia serta Singapura. Beban pembuktian bertumpu pada terdakwa, sehingga terdakwalah yang membuktikan, bahwa dirinya tidak bersalah, sehingga konsekuensinya adalah beban pembuktian ada pada terdakwa, dengan suatu pengingkaran, penyimpangan, pengecualian terhadap presumtion of innocence dan non self incrimination.92



U



M



Kebijakan legislasi tenang pembalikan beban pembuktian, mulai terdapat dalam UU No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana ketentuan Pasal 5 (1) UU No. 24 Tahun 1960. ’Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istrinya/suaminya dan anak dari harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya apabila diminta oleh jaksa. ’ Selanjutnya dalam UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 17 menentukan; hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan



D



Pasal 66 KUHAP. Terdakwa atau tersangka, tidak dibebani kewajiban pembuktian. Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus. Op.Cit., hlm. 168-169. 92 Rofinus Hotmaulana. Perlindunan Terhadap Hak-Hak Tersangka/Terdakwa Atas Penerapan Beban Pembuktian Terbalik, (Jakarta: Mabes Polri, Fokus Grouf Discusson, 10 Maret 2011), hlm. 1-2. 90 91



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



57



memberikan keterangan tentang pembuktian, bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakann oleh terdakwa, bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalam ayat 1 hanya diperkenankan dalam hal apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu menurut keinsyafannya yang wajar tidak merugikan keuangan atau perekonomian negara, atau apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.



Y



Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang pembuktian yang dimaksud dalam ayat 1, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya menguntungkan baginya. Dalam hal kemudian penuntut umum tetap mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang berlawanan. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat 1, maka keterangan tersebut, dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memberi pembuktian, bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.



M



M



Politik hukum kebijakan legislasi mengenai pembalikan beban pembuktian diatur dalam ketentuan Pasal 38B (1) UU No. 20 Tahun 2001, yakni; ”Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3,4,13, 14, 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU ini, wajib membuktikan sebaliknya, terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.” Pada hakikatnya ketentuan pasal ini, merupakan pembalikan beban pembuktian, yang dikhususkan pada perampasan harta benda, yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi.93



D



U



Justice Collaborator dan Whistle Blower Dalam Proses Pembuktian Pidana. Istilah “justice collaborator” relatif baru, “whistle blower” dalam referensi hukum pidana internasional dan telah digunakan di beberapa negara. Ada perbedaan besar antara sebutan keduanya, yaitu whistle blower adalah setiap orang lazimnya korban yang kemudian bersaksi memberikan keterangan kepada penyidik mengenai seluk-beluk tindak pidana yang ia ketahui dan



93



58



Lilik Mulyadi. Pembalikan Beban. Op.Cit., hlm. 20.



Dinamika Hukum Pembuktian



dengar sendiri bahkan ia alami sendiri. Dengan itu dia mendapatkan jaminan perlindungan atas keamanan (fisik) di bawah supervisi kepolisian. Caranya dengan mengubah identitas, menempatkan di suatu lokasi tertentu dan berada di bawah pengawasan superketat dari pihak intelijen kepolisian. Tujuan dari keberadaan whistle blower adalah memudahkan tugas penyidikan sehingga suatu perkara dapat diungkap tuntas sampai kepada intelectual-dader dan pimpinan organisasi kejahatan. Sementara justice collaborator adalah setiap tersangka yang terlibat organisasi kejahatan dan telah melakukan suatu tindak pidana baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan aparatur hukum untuk bekerja sama dengan penegak hukum menemukan alat-alat bukti dan barang bukti sehingga penyidikan dan penuntutan dapat berjalan efektif. Perlindungan hukum terhadap whistle blower berbeda dengan justice collaborator.94



M



Y



Whistle blower dalam Hukum Acara Pidana di Belanda. Salah satu alat bukti yang menjadi poros dalam peradilan pidana adalah keterangan saksi. Apabila ditinjau dari perbandingan dengan negara-negara Eropa, maka peluang untuk memanfaatkan keterangan saksi dalam proses pembuktian merupakan salah satu hal yang populis khususnya di Belanda sejak kurun waktu 1990-an. Peluang untuk penegak hukum dalam hal ini kejaksaan (Openbaar Ministrie) untuk membuat kesepakatan dengan saksi untuk atas imbalan tertentu, misalnya pengurangan hukuman, memberi kesaksian dalam kasus pidana di mana ia sendiri berkedudukan sebagai saksi sekaligus terdakwa.95



U



M



Posisi ini lebih dikenal sebagai justice collaborator. Opsi ini menjadi populis dikarenakan melalui kesepakatan dengan saksi tertentu, saksi yang bersangkutan dapat didorong lebih jauh khususnya dalam memberikan keterangan mengenai tindak pidana yang hendak dibuktikan dan sesuatu kemungkinan untuk menggali lebih dalam keterangan yang berpotensi untuk mengkriminalisasi atas dirinya itu sendiri sukar untuk dapat terjadi apabila tanpa adanya sebuah kesepakatan khusus.96



D



Romli Atmasasmita, Justice Collaborator, Mungkinkah?, Harian Seputar Indonesia, 24 Mei 2012. 95 Jan Crins, “Kesepakatan dengan Saksi dalam Peradilan Pidana Belanda dan Pelajaran yang mungkin dapat dipetik oleh Indonesia”, dalam, Hukum Pidana dalam Perspektif, Editor: Agustinus Pohan, Topo Santoso, dkk., (Bali: Pustaka Larasan Bekerjasama dengan Universitas Indonesia, Universitas Leiden, dan Universitas Gronigen, 2012), hlm. 155. 96 E. W. Thomas, The Judicial Process, (New York: Cambridge Press, 2005), hlm. 231-232. 94



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



59



Namun, di dalam kenyataannya instrumen kesepakatan sebagaimana digambarkan tersebut jarang sekali digunakan, dalam berbagai alasan bahwa secara faktual metode demikian banyak pula sistem negatifnya. Kesepakatan yang dimaksudkan di sini adalah afspraak atau dapat pula dinyatakan sebagai konsensus, bukanlah yang dimaksudkan membuat perjanjian atau dalam artian overkomst, namun dapat pula dinyatakan kesepakatan yang berbentuk perjanjian apabila terdapat kondisi tertentu yang memaksa untuk itu. 97 Sesungguhnya yang menjadi titik lemah utama mengapa opsi seperti ini jarang dilakukan di sistem penegakan hukum pidana Belanda dikarenakan penggunaan opsi ini akan mempertaruhkan nama kejaksaan (Openbaar Ministrie) itu sendiri. Posisi yang tampak dari luar bahwa penegak hukum justru berkerja sama dengan orang yang dinyatakan kriminal terkadang mengusik rasa keadilan itu sendiri.



M



Y



Selain itu, terdapat pula pertimbangan bahwa munculnya keragu-raguan yang beralasan apabila dalam penegakan hukum pidana dengan mengandalkan keterangan-keterangan saksi yang telah diiming-imingi suatu imbalan, padahal di sisi lain saksi tersebut secara tidak langsung dicurigai pula sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana yang diselidiki. Namun apa pun yang menjadi pertimbangan atas suatu keberatan yang timbul, terdapat pula pertimbangan yang lebih penting dari beberapa anggapan yang timbul yakni adanya tingkat kebenaran dari keterangan yang diberikan akibat adanya kesepakatankesepakatan yang timbul, maka dapat dipastikan proses pembuktian akan berjalan lebih mudah. Namun pada kesimpulannya Openbaar Ministrie akan sangat berhati-hati dalam membuat kesepakatan dengan saksi mahkota.98



U



M



Di Belanda, sampai pada medio tahun 1960-an, hanya sedikit perhatian pada suatu opsi pembuatan kesepakatan dengan saksi yang nantinya akan menjadi justice collaborator dalam pengungkapan suatu kejahatan dalam skala besar dan terorganisir. Namun, situasi ini berubah total seiring meningkatnya keperluan untuk memberantas kejahatan skala besar atau yang terorganisir. Selain itu polisi ataupun Openbaar Ministrie seringkali berhadapan dengan saksisaksi yang enggan memberikan kesaksian yang memberatkan atau keterangan yang melawan sesama tersangka/terdakwa. Apalagi pada saat yang sama pula, saksi-saksi yang demikian tersebut memiliki hak ingkar atau hak untuk tidak



D



97 98



60



Jan Crins, Op.Cit., hlm. 156­. Ibid.



Dinamika Hukum Pembuktian



memberikan kesaksian (verschoningsrechts), tidak dapat dipaksa memberikan kesaksian yang diperlukan. Maka untuk menerobos kebuntuan tersebut, maka kerapkali digunakan instrumen kesepakatan dengan saksi. Meskipun pada saat itu belum ada perundang-undangan yang dapat memberikan landasan hukum bagi kesepakatan dengan saksi, kejaksaan berpendapat bahwa kewenangan tersebut dimiliki dikarenakan berbasiskan kepada adanya asas oportunitas (the principles of discretional powers) yang dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 167 (2) dan Pasal 242 (2) dari Wetboek van Strafvordering (KUHAP Belanda). Baru setelah Hoge Raad berulang kali mengingatkan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu regulasi yang jelas mengenai praktik tersebut, maka tahun 2006 peraturan yang demikian tersebut diberlakukan. Sejak saat itu di dalam KUHAP Belanda dapat ditemukan pengaturan mengenai justice collaborator dalam Pasal 226g sampai 226l.99



M



Y



Seluruh pihak yang terlibat dalam pengadilan berhak atas penghormatan privasi dan keamanan dan tidak dapat menjadi subjek atas perlakuan yang merendahkan martabat. Di dalam proses pembuktian, keterangan saksi memiliki posisi yang khusus dalam menentukan proses pembuktian atas suatu tindak pidana. Saksi dapat dikatakan sebagai alat bukti penting, dikarenakan sulit sekali menegakkan dakwaan tanpa kesaksian, walaupun terdapat alat bukti lain yang saling mendukung dalam suatu kasus.100



U



M



KUHAP sesungguhnya telah mengatur tentang hak-hak terhadap saksi di antaranya adalah hak atas penerjemah (Pasal 177), hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan (Pasal 117), hak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat (Pasal 166), hak untuk mendapatkan penggantian biaya (Pasal 229). Pengaturan ini kemudian diperkuat oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur bahwa saksi dan korban berhak untuk: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiaan yang akan, sedang, atau telah diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; mendapat



D



Ibid., 162. Jenny Mc Ewan, The Testimony of Vulnerable Victims and Witnesses in Criminal Proceedings in the European Union, (Era Forum, 2009), hlm. 369-389. 99



100



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



61



penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus/mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; mendapatkan identitas baru; mendapatkan tempat kediaman baru; memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan; mendapat nasihat hukum; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.



Y



Lebih lanjut lagi, dalam Pasal 6 dikatakan bahwa korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Perlindungan terhadap justice collaborator dan whislte blower di Indonesia sendiri diatur lebih lanjut melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011. Pada Pasal 10 UU tentang Perlindungan Saksi dan korban menyatakan bahwa: saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang bersangkutan.



U



M



M



Hingga saai ini, perlindungan hukum terhadap whistle blower sebatas perlindungan fisik sedangkan perlindungan terhadap justice collaborator tidak sebatas fisik melainkan juga “keringanan-keringanan” yang bisa ditawarkan. Keringanan itu baik dalam menentukan besarnya tuntutan penuntut atau hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim di persidangan atau bahkan kemungkinan untuk dibebaskan dari penuntutan. Keringanan-keringanan bagi justice collaborator telah diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dan Konvensi PBB tentang Tindak Pidana Terorganisasi 2000 yang telah diratifikasi Indonesia. Dalam RUU Tipikor 2011, justice collaborator telah diatur dalam Pasal 52 ayat (1): ”Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia dapat membantu mengungkap “tindak pidana korupsi tersebut”. Pasal 52 ayat (2): “Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana korupsi maka yang membantu mengungkap tindak pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.” Namun dalam



D



62



Dinamika Hukum Pembuktian



Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) belum mengatur ketentuan mengenai baik whistle blower maupun justice collaborator kecuali UU RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi/Korban. UU ini pun tidak memberikan “hak istimewa” kepada seorang justice collaborator, kecuali “peniup peluit”. Persamaan whistle blower dan justice collaborator adalah keduanya bertujuan untuk memudahkan pembuktian dan penuntutan serta dapat mengungkap tuntas suatu tindak pidana terutama yang berkaitan dengan organisasi kejahatan. Dalam konteks ini, kasus korupsi di Indonesia yang tidak pernah dilakukan sendirian melainkan bersifat kolektif, keberadaan ketentuan whistle blower dan justice collaborator merupakan celah hukum yang diharapkan memperkuat pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan. Namun demikian, celah hukum baik bagi whistle blower maupun justice collaborator bukan tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang fair and impartial sejak proses penyidikan sampai pada proses pemasyarakatan. Kedua risiko tersebut tergantung dari kesiapan dan kejelian penyidik untuk mencegah upaya yang bersangkutan “mengail di air keruh” atau bahkan pihak penguasa yang memanfaatkan hal tersebut.101



M



M



Y



Di dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 jenis kejahatan yang disebutkan adalah korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Keseluruhan kejahatan yang disebutkan hingga saat ini telah memiliki pengaturan, namun khusus mengenai kejahatan yang terorganisir belum mendapatkan penjelasan yang mendalam yang diberikan oleh SEMA No. 4 Tahun 2011, namun hal ini jelas memberikan keuntungan untuk memberikan pengaturan bagi tindak pidana yang baru pada masa yang akan datang. Namun apabila merujuk kepada instrumen hukum internasional, maka kejahatan terorganisir yang dianut di dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 merupakan jenis kejahatan yang diakui dalam United Nations Conventions Against Transnasional Organized Crime, Palermo pada tahun 2000.



D



U



Konvensi tersebut pada akhirnya diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 2009, dan beberapa undang-undang lain yang secara tidak langsung memiliki substansi yang sama dengan undang-undang ini, antara lain: Undang-Undang



101



Romli Atmasasmita, Op.Cit.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



63



Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggannti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undangundang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana; Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Maka berdasarkan penjelasan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tersebut, tindak pidana terorganisir dapat ditentukan berdasarkan lingkup, karakter, modus operandi dan pelakunya.



M



Y



Pembuktian dalam perkara korupsi, terus menuai permasalahan, karena para penegak hukum, masih bekerja, dengan kerangka tebang pilih, dengan menafsirkan pembuktian secara subjektif. Padahal kunci pokok yang paling utama dalam penegakan tindak pidana korupsi, adalah suatu komitmen dari penegak hukum untuk bekerja secara profesional, memberikan penelusuran alat alat bukti dengan cerdas. Sehingga pengungkapan alat-alat bukti, sangat mudah untuk ditelusuri, karena peraturan perundang-undangan yang terkait, sudah cukup memadai. Karenanya komitmen penegakan hukum oleh aparatur, harus dalam semangat moral yang tinggi dan harus jauh dari dimensi dan pernik-pernik politis.



U



M



Penegakan hukum, dengan fokus pada penggunaan beban pembuktian, masih menjadi alat rekayasa, dengan pertautan pada kepentingan dan tekanan politis. Tekanan politis, adalah suatu benturan dari suatu konfigurasi kekuatan politik, dengan pengaruh-pengaruh dan tekanan kekuatan politik, untuk mencapai tujuannya. Kebebasan aparatur penegak hukum dari intervensi kekuasaan apa pun dalam artian yang luas, masih menyisahkan, persoalan yang belum terpecahkan. Padahal peraturan perundang-undangan telah cukup ketat dan sangat limitatif, menentukan jalan dan proses pembuktian, guna pencapaian tujuannya, untuk membantu sistem peradilan pidana, guna menentukan pelaku kejahatan terhadap ragam pembuktian juga, bersamaan dan terdapat perbedaan dengan sistem serta jenis peradilan lainnya.



D



64



Dinamika Hukum Pembuktian



F. Pembuktian dalam Peradilan Militer Peradilan Militer, adalah peradilan khusus, yang menyangkut kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer, ataupun yang melibatkan anggota militer, atas terjadinya kejahatan. Peradilan ini berlaku sejak adanya kemerdekaan, dan berlanjut serta berkembang hingga sekarang dengan menyesuaikan prinsipprinsip negara hukum Indonesia.



Y



Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, maka sejak saat itu berakhirlah penjajahan di seluruh Indonesia, dan hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa kita mampu untuk mengatur diri sendiri. Guna mengatur kehidupan bernegara, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, mengadakan sidang khusus untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Maka, setelah diadakan perubahan-perubahan, kemudian naskah tersebut disahkan sebagai Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.



M



M



Di dalam UUD 1945, terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang kehidupan peradilan di Indonesia, di antaranya Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi; “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan ayat (2); “susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Walaupun telah ada ketentuan di atas, sebagai negara yang baru berdiri, maka tidak mungkin melengkapi dan mengatur segala sesuatu dengan serentak. Oleh karena itu, di dalam UUD 1945, terdapat ketentuan dalam Pasal II Aturan Peralihan yang menentukan “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.



D



U



Dalam konteks Peradilan Ketentaraan, sebenarnya dapat saja mengambil alih Peradilan Ketentaraan yang berlaku pada masa penjajahan Jepang. Namun hal itu tidak dilakukan, sebaliknya Peradilan Ketentaraan baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Ketentaraan.102



102 Dalam bagian menimbang UU No. 7 Tahun 1946 tentang Peradilan Ketentaraan ditentukan: “bahwa dianggap perlu di samping pengadilan biasa diadakan pengadilan ketentaraan”.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



65



Selanjutnya, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer. Adanya 2 (dua) undangundang di atas, menunjukkan bahwa Hukum Acara Pidana Militer merupakan produk hukum Bangsa Indonesia asli (orisinil) dan bukan diambil alih dari hukum bangsa lain atau warisan dari hukum zaman penjajahan di Indonesia.103 Berbeda dengan hukum acaranya, KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer) dan KUHDM (Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer) sebagai hukum pidana militer materiil, adalah hukum yang diwariskan dari pemerintah kolonial. Hukum Pidana Militer di Indonesia merupakan turunan dari wetboek van militair strafrecht (WvMS) dari Belanda. WvMS diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi Pasal 132 I.S, yang menentukan pelaksanaan hukum pidana militer dicantumkan dalam ordansi-ordansi yang sejauh mungkin bersesuaian dengan Undang-Undang yang ada di negeri Belanda. Karena Perang Dunia 1, WvMS baru dapat diberlakukan pada 1923. Atas dasar asas konkordansi, maka pada tahun 1933 rancangan WvMSvNI (Wetboek van Militair Strafrecht voor NederlandschIndi) diajukan ke Volksraad Nederland Indie oleh Gubernur Jenderal De Jonge bersamaan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), dan kemudian diberlakukan oleh pemerintah kolonial dengan Stbl. 1934 No. 167 dan 168 pada 1 Oktober 1934.104



M



M



Y



Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, KUHPM dan KUHDM dinyatakan berlaku bagi seluruh Indonesia. KUHPM dan KUHDM inilah yang kemudian setelah diadakan perubahan, pengurangan, dan penambahan, terhadap kedua undangundang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 dan UndangUndang Nomor 40 Tahun 1947.105



D



U



Pada waktu itu, keadaan negara dalam keadaan terancam karena pemerintah kolonial Belanda dengan membonceng kepada tentara sekutu bermaksud menjajah kembali negara Republik Indonesia, maka untuk menyesuaikan dengan situasi dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan



Moch. Faisal Salam. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 8. 104 Tri Andrisman. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, (Bandar Lampung: Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung, 2005), hlm. 34. 105 Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: PETEHAEM, 1985), hlm. 15. 103



66



Dinamika Hukum Pembuktian



Ketentaraan, yang mencabut keberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara. Selanjutnya untuk melakukan penyesuaian, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948 yang mengubah pasal-pasal yang tidak sesuai lagi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Militer. Setelah terbentuk pemerintah Republik Indonesia Serikat, maka terjadi lagi perubahan baik undang-undang mengenai Susunan dan Kekuasaan Kehakiman dengan disahkannya Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Pengadilan Ketentaraan. Begitu juga dengan Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1950 ditetapkan sebagai Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara.



M



Y



Dalam penerapannya, ketentuan di atas menimbulkan persoalan, karena Susunan dan Kekuasaan/Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan diisi oleh personel dari pengadilan umum, seperti Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara, begitu pula Jaksa pada Pengadilan Negeri menjadi Jaksa pada Pengadilan Tentara. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa Pengadilan Tentara dalam arti formalnya sudah ada, sedangkan dalam arti materiilnya masih dijalankan oleh personel non militer yang telah terdidik dalam bidang hukum.106



U



M



Persoalan lainnya adalah komandan selaku Ankum (Atasan yang Berhak Menghukum) sebagai penanggung jawab daripada kesatuannya merasa dilampaui kewenangannya dan akan menimbulkan salah pengertian antara komandan selaku penanggung jawab keamanan dan ketertiban kesatuan di satu pihak, dengan jaksa yang bertanggung jawab menegakkan hukum di lain pihak. Dapat saja seorang tersangka sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan tanpa sepengetahuan dari Ankum yang bersangkutan. Menyadari persoalan ini, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia, yang dalam Pasal 35 dikatakan; ”Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan mempunyai hak penyerah perkara”. Sebagai realisasi dari Pasal 35 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1954 tersebut, kamudian lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958



D



106



Ibid., hlm. 9.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



67



tentang Hukum Acara Pidana Tentara yang mengubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950, Jaksa Tentara yang pada waktu itu dipegang oleh Jaksa Sipil dari Pengadilan Negeri bertindak sebagai pengusut, penuntut dan penyerah perkara, maka dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 maka wewenang jaksa tersebut berpindah ke tangan komandan. Oleh karena itu, kewenangan jaksa yang sebelumnya aktif, maka berubah pasif.



Y



Kemudian didirikanlah Akademi Militer dan Perguruan Tinggi Militer, untuk menghasilkan tenaga ahli hukum di kalangan militer. Upaya edukatif ini, kemudian diikuti dengan penandatanganan Surat Keputusan Bersama KASAD dan Menteri Jaksa Agung No. MK/KPTS-189/9/1961 pada tanggal 19 September 1961, di mana Menteri Jaksa Agung mengalihkan wewenang, kekuasaan, dan tanggung jawabnya yang berhubungan dengan kejaksaan tentara. Maka sejak saat itu, pengadilan tentara sudah terwujud dalam arti baik formal maupun materiilnya.



M



M



Pengadilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer, yang meliputi Pengadilan Militer,107 Pengadilan Militer Tinggi, 108 Pengadilan Militer Utama, 109 dan Pengadilan Militer



U



107 Pasal 40 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer memeriksa n memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah: (a) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; (b) mereka sebagaimana dimaksud Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan, (c) mereka yang berdasarkan Psal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengdilan Militer”. 108 Pasal 41 UU No. 31 Tahun 1997: “(1) Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama: (a) memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah: 1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas; 2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Mayor ke atas; dan, 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi; (b) Memeriksa memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata; ayat (2) Pengadilan Mliter Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding; ayat (3) Pengadilan Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.” 109 Pasal 42 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer Utama memerikasa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.



D



68



Dinamika Hukum Pembuktian



Pertempuran.110 Menjadi pertanyaan yang penting adalah, mengapa perlu dibedakan antara pengadilan pada umumnya dengan Pengadilan Tentara/ Militer. Pada kenyataannya, setiap tentara merupakan warga negara Republik Indonesia dan bukan merupakan kelas tersendiri, akan tetapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan negara, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan tugas pokoknya, dan karenanya diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan Umum. Di samping berlaku khusus untuk tentara, kekhususan Pengadilan Militer juga terletak pada kewenangan penuntutan dan penyidikan yang tidak dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi oleh Atasan Yang Berhak Manghukum (ANKUM),111 Polisi Militer, dan Oditurat,112 ditambah Penyidik Pembantu yang terdiri dari Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Provos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Provos Kepolisian Nasional Indonesia. Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memerhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.



U



M



M



Y



Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pengadilan di lingkungan peradilan militer memiliki kewenagan untuk:



D



110 Pasal 45 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran.” 111 Atasan yang berhak menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang ini. 112 Pasal 1 angka (2) UU No. 31 Tahun 1997: “Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



69



1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: (1) Prajurit; (2) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit; (3) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; (4) Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.



Y



2. Dalam persidangan perkara-perkara di peradilan militer, dikenal beberapa acara pelaksanaan persidangan yang terdiri dari: Acara Pemeriksaan Biasa; Acara Pemeriksaan Koneksitas; Acara Pemeriksaan Khusus; Acara Pemeriksaan Cepat.113



M



3. Dalam pemeriksaan biasa, dikenal beberapa alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 172 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, yakni: Keterangan Saksi;114 Keterangan Ahli;115 Keterangan Terdakwa;116 Surat;117 dan, Petunjuk.118 Dilihat dari urutan penyebutan alat bukti, terdapat perbedaan dengan susunan alat-alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 KUHP, di mana dalam Hukum Acara Pidana Militer keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan ke-3, sedangkan dalam KUHAP keterangan terdakwa ditempatkan pada urutan ke-5.



U



M



Perbedaan ini berkenaan dengan cara menyampaikan alat-alat bukti kepada Hakim di Pengadilan (bewijis Voering), di mana dalam peradilan militer, yang diutamakan adalah kesaksian.119 Keterangan saksi, tidak bisa hanya dilakukan



D



Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer. Op.Cit., hlm. 175. Pasal 173 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan Saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan saksi di sidang pengadilan”. 115 Pasal 173 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “Keterangan ahli sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan.” 116 Pasal 175 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri.” 117 Pasal 176 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “Surat sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.” 118 Pasal 177 UU No. 31 Tahun 1997: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa sudah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” 119 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer, Op.Cit., hlm. 205. 113



114



70



Dinamika Hukum Pembuktian



oleh 1 (satu) orang saksi karena dianggap tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi jika keterangan dari satu orang saksi disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya, maka keterangan seorang saksi tersebut dianggap cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.



Y



Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memerhatikan: (1) persesuaian antara keterangan saksi satu dan yang lain; (2) persesuaian antara keterangan saksi dan alat bukti lain; (3) alasan yang mungkin dipergunakan oleh untuk memberikan keterangan yang tertentu; dan, (4) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Bagi saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, tetapi apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.



U



M



M



Keterangan ahli sebagai alat bukti adalah keterangan ahli yang disampaikan dalam persidangan. Dalam penjelasan Pasal 174 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan bahwa, keterangan ahli dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Oditur yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah yang diucapkan pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau Oditur pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan sesudah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.



D



Keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah keterangan dalam persidangan. Adapun keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dalam persidangan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



71



digunakan terhadap dirinya sendiri, akan tetapi hal ini saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi keterangan tersebut harus disertai dengan alat bukti yang lain. Surat sebagai alat bukti yang sah, adalah yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.120 Bila disimak, ketentuan dalam Pasal 176 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, maka dibedakan berbagai macam surat, yakni: (a) akta autentik; (b) akta di bawah tangan; dan, (c) surat biasa. Akta autentik berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, juru sita, hakim, dan lain-lain, yang dibuat dengan sengaja untuk menjadi alat bukti. Akta autentik ini disebutkan dibuat “oleh” atau dibuat ”dihadapan” pejabat umum. Akta autentik yang dibuat dihadapan pejabat umum, seperti akta jual beli notariel. Ada juga akta jual beli yang dibuat di bawah tangan. Nilai kekuatan pembuktian pada akta yang dibuat di bawah tangan tidak sama dengan akta yang dibuat oleh notaris. Akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum, mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.



M



M



Y



Akta di bawah tangan, berupa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya. Akta di bawah tangan dapat didelegasikan dihadapan pejabat umum, sehingga mempunyai kekuatan hukum seperti akta autentik. Surat biasa atau surat lain jika ada hubungannya dengan isi alat bukti yang lain. Surat ini tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, akan tetapi karena isinya ada hubungannya dengan alat bukti lain, dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain.



D



U



Petunjuk sebagai alat bukti, hanya dapat diperoleh dari: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Terdakwa; dan, (c) Surat. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan 120 Pasal 176 UU No. 31 Tahun 1997: “(a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; (b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.; (c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; (d) Surat lain yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat pembuktian yang lain.



72



Dinamika Hukum Pembuktian



oleh hakim dengan arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Petunjuk pada hakikatnya bukan alat bukti yang sebenarnya, karena petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Kata “diperoleh” berarti diambil dari cara menyimpulkan atas keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (de waarneming van de rechter). Keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa itu sendiri, secara expressis verbis telah disebut sebagai alat bukti yang sah oleh Pasal 172.121



Y



Acara pemeriksaan koneksitas adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap tindak pidana koneksitas, yakni tindak pidana yang dilakukan oleh orang sipil bersama-sama dengan seorang atau beberapa orang anggota ABRI.122



M



Di mana orang sipil tersebut seharusnya yang berwenang mengadilinya adalah peradilan umum, sedangkan anggota ABRI diadili oleh Pengadilan Militer. Dengan adanya peraturan mengenai koneksitas, maka perkara pidana dapat diadili oleh pengadilan umum, dan dapat juda diadili oleh Pengadilan Militer, dengan melihat pada titik berat atau kepentingan dari perkara tersebut.123



M



Dalam hal penyidikan yang diusulkan masuk dalam TIM penyidik dalam tindak pidana koneksitas, apabila penyidik berasal dari Polisi Milter dan Oditur, maka perlu terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM) karena pada dasarnya yang berwenang mengadakan penyidikan terhadap seorang anggota ABRI adalah ANKUM. Setelah mendapat persetujuan, barulah dibentuk tim yang kemudian diusulkan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Hukum dan Ham untuk mendapat persetujuan. Sedangkan penyidik dari lingkungan peradilan umum, maka



D



U



Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer, Op.Cit., hlm. 208. Ibid., hlm. 216. 123 Pasal 198 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Tindak pidana yang dilakukan bersamasama oleh mereka yang termasuk yustisiable peradilan militer dan yustisiable peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”. Ayat (2): “penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.” 121 122



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



73



yang duduk dalam TIM akan tergantung pada tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka. Apabila yang dilakukan adalah tindak pidana ekonomi, maka yang duduk di dalam tim itu adalah jaksa, sedangkan jika yang dilakukan oleh para tersangka adalah tindak pidana biasa, maka yang duduk di dalam tim penyidik adalah polisi. Dalam menentukan suatu perkara diselesaikan dalam lingkungan peradilan militer atau dalam lingkungan peradilan umum, maka penentuannya dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian adalah pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diselesaikan di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.124 Sebaliknya, jika titik berat kerugian tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer, maka yang mengadili adalah Pengadilan Militer.125



M



Y



Di samping acara pemeriksaan koneksitas, dikenal pula acara pemeriksaan khusus.126



Riwayat lahirnya acara pemeriksaan khusus tidak lepas dari situasi Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan. Ketika Pemerintah Indonesia berusaha mengembalikan Irian Barat dari Belanda, maka pada tahun 1975 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1957 yang mulai berlaku sejak 14 Maret 1957. Indonesia dalam usahanya itu ternyata mendapat rongrongan pula dari dalam negeri, berupa pemberontakan oleh PRRI dan Permesta, sehingga kita dihadapkan pada 2 (dua) medan pertempuran, yaitu keluar melawan penjajah di wilayah Irian Barat, dan ke dalam menghadapi pemberontakan. Pemberontakan dalam negeri ternyata lebih merepotkan,



D



U



M



124 Pasal 200 UU No. 31 Tahun 1997 ditentukan: “(1) Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan umum dan kerenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang berwenang. 125 Apabila menurut pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal untuk mengusulkan kepada menteri, agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan menteri yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 126 Pasal 204 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Acara Pemeriksaan Khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran.”



74



Dinamika Hukum Pembuktian



karena melibatkan tokoh-tokohnya yang beberapa adalah tentara. Maka pemerintah kemudian menyatakan seluruh wilayah dalam keadaan bahaya, yang kemudian disusul dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1957 tentang Kedadaan Bahaya dan peraturan pelaksananya Keputusan Presiden Nomor 225 Tahun 1957. Dengan dasar UU inilah dibentuk badan peradilan di lingkungan TNI-AD, yakni Mahkamah Angkatan Darat Daerah Pertempuran (MAHADPER), dan disusul pula di lingungan Angkatan Udara dan Angkatan Laut, di samping peradilan militer yang sudah ada berdasarkan UU No. 5 Tahun 1950. Selanjutnya, UU Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957, dicabut dan diganti dengan PERPU No. 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.



M



Y



Dengan dikeluarkannya UU No. 31 Tahun 1997, maka Pengadilan Militer Pertempuran ditegaskan sebagai bagian dari badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan militer.127 Pengadilan Militer Pertempuran melaksanakan kewenangan memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dan terkhir, yang dilakukan di medan pertempuran. Di sinilah kekhususan Pengadilan Militer Pertempuran, di mana kedudukannya yang bersifat “mobile”, yakni mengikuti di mana wilayah yang terjadi pertempuran. Kekhususan yang lainnya jupa pada konteks pembuktian yang menggunakan acara pemeriksaan khusus, di mana pengetahuan hakim dan surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat, merupakan alat bukti.128



U



M



Dimaksudkan dengan pengetahuan hakim adalah apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh hakim di luar sidang mengenai hal-hal yang bersangkut-paut dengan perkara yang disidangkannya dan karenanya diyakini kebenarannya. Hakim Pengadilan Pertempuran, selain berdasarkan data-data yang disampaikan kepadanya, juga mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap kejadian tindak pidana itu, sehingga apa yang dilihat, didengar dan dialami dalam penelitian itu, menimbulkan keyakinan tentang kebenaran dari tindak pidana tersebut.



D



Pasal 1 angka (1) UU No. 31 Tahun 1997: “Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.” 128 Pasal 205 UU No. 31 Tahun 1997: “Pembuktian dalam acara pemeriksaan khusus berlaku ketentuan bahwa: (a) pengetahuan hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti; (b) barang bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah pejabat yang bersangkutan”. 127



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



75



Sedangkan yang dimaksud dengan barang bukti yang cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat oleh pejabat di bawah sumpah, maka dalam hal ini barang-barang buktinya tidak perlu di bawah kemuka sidang. Surat keterangan pejabat di bawah sumpah yang berisi keterangan tentang jenis barang, jumlah barang, tempat serta waktu penyitaan dan/ atau ditemukan, dianggap telah mewakilkan barang bukti yang disebutkan. Adapun upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa maupun ditur adalah kasasi.



Y



Pada acara pemeriksaan cepat, yakni pemeriksaan yang dilakukan terhadap perkara tindak pidana lalu lintas dan angkutan jalan.129 Dalam hal pemeriksaan, terdapat perbedaan sistem pemeriksaan cepat pada pengadilan negeri dengan pengadilan militer, karena tindak pidana ringan yang diperiksa dengan acara cepat pada Pengadilan Negeri,130 dalam militer masuk dalam kategori tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya dan diselesaikan menurut hukum disiplin Prajurit ABRI.131



M



M



Pasal 211 UU No. 31 Tahun 1997: “(1)yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat adalah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan; (2) untuk perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, tidak diperlukan berita acara pemeriksaan, cukup berita acara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan; (3) pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi mengadili dengan hakim tunggal yang dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran diterima; (4) putusan dapat dijatuhkan meskipun terdakwa tidak hadir di sidang; (5) dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat mengajukan banding; (6) dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan; (7) dalam hal 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu; (8) dengan perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur; (9) sesudah Panitera memberitahukan kepada Oditur tentang perlawanan itu, hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu; (10) apabila putusan sudah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud ayat (6), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding”. 130 Pasal 205 KUHAP: “yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”. 131 Pasal 5 UU No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI: “(3) Pelanggaran hukum disiplin tidak murni merupakan setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin prajurit”. 129



D



76



U



Dinamika Hukum Pembuktian



Dimaksud dengan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya adalah: tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp6.000.000,- (enam juta rupiah); perkara sederhana dan mudah dibuktikan; dan, tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan/atau kepentingan umum.132



Y



Di samping pembuktian perkara pidana dalam peradilan militer, dikenal juga pembuktian dalam hal Sengketa Tata Usaha Militer.133



Orang atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan supaya Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti dan/atau rehabilitas. Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. Dalam pembuktian tata usaha militer, dikenal 5 (lima) alat bukti, yang terdiri dari: (a) surat atau tulisan;134 (b)



U



M



M



Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer. Op.Cit., hlm. 227. 133 Pasal 265 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1997: “Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana pada ayat (1) adalah: (a) keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; (c) Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesudah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.” 134 Pasal 312 UU No. 31 Tahun 1997: “Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: (a) akta autentik, adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; (b) akta di bawah tangan, adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; dan, (c) surat-surat lain yang bukan akta.” 132



D



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



77



keterangan ahli;135 (c) keterangan saksi;136 (d) pengakuan para pihak;137 € pengetahuan hakim.138 Dalam persidangan, hakim harus menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.



G. Pembuktian dalam Peradilan Perikanan



Y



Dalam perkembangan hukum yang dinamis, maka upaya-upaya untuk menegakkan kejahatan kelautan, sebagai negara kepulauan adalah suatu keharusan, guna mengatur berbagai kejahatan yang baru, maka penegak hukumnya juga fokus pada masalah perikanan, yang sebenarnya sekaligus mengatur tata kelola pelaksanaan negara hukum.



M



Peranan Pengadilan Perikanan dalam penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di perairan Indonesia. Sistem peradilan pidana pada hakikatnya menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. Criminal justice system diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sementara itu, proses peradilan pidana merupakan setiap tahapan yang dilewati oleh pelaku tindak pidana dalam rangka membuat terang tindak pidana yang telah terjadi sampai dengan penjatuhan hukuman untuk pelaku. Perbedaan tentang sistem peradilan pidana dan proses peradilan pidana dalam penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia akan difokuskan pada peran dari lembaga-lembaga yang ada dalam penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia.



D



U



M



Lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan, penuntutan, peradilan, sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan, dapat dikatakan sebagai



135 Pasal 313 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamannya.” 136 Pasal 315 UU No. 31 Tahun 1997: “Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat dan/atau didengar oleh saksi sendiri.” 137 Pasal 316 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim.” 138 Pasal 317 UU No. 31 Tahun 1997: “Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.”



78



Dinamika Hukum Pembuktian



komponen dari sistem peradilan pidana. Pengadilan Perikanan merupakan pengadilan khusus yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan dan berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Ragam pembuktian pada peradilan perikanan, juga memiliki perbedaan dan persamaan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dan ciri ciri sistem pembuktiannya yang bersifat khusus.



Y



Di Indonesia sendiri, telah terdapat beberapa Pengadilan Perikanan, yakni:139 Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual;140 Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai;141 Pengadilan Perikanan di Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke.142



M



Berdasarkan kajian perundang-undangan yang terkait dengan perikanan menunjukkan adanya kekhususan dalam proses pidananya. Khusus untuk tindak pidana di bidang perikanan ternyata telah ditetapkan sistem peradilan pidana yang bersifat khusus. Dalam artian bahwa undang-undang perikanan telah menetapkan adanya sistem dan proses peradilan pidana khusus untuk pemeriksaan perkara yang berhubungan dengan tindak pidana perikanan.



M



Dalam hal ini terdapat penyidik khusus, dan peradilan khusus dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan. Terkait dengan kekhususan ini, dalam undang-undang perikanan telah mengatur secara khusus hukum acara pidana. Hal-hal yang telah diatur mengenai hukum acara pidana tersebut adalah mengenai penyidikan, barang bukti, penuntutan, dan



D



U



Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 149. 140 Dasar pembentukan kelima Pengadilan Perikanan ini adalah Pasal 71 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan: “(1) Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan; (3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.” 141 Dasar pembentukan kedua Pengadilan Perikanan ini adalah “Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai”. 142 Dasar pembentukan ketiga Pengadilan Negeri ini adalah “Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke”. 139



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



79



pengadilan di bidang perikanan. Sepanjang belum diatur dalam UU Perikanan masih tetap berlaku peraturan umum yang ada dalam KUHAP. Jadi, hukum acara pidana di bidang perikanan yang berlaku adalah Undang-Undang Perikanan dan KUHAP yang mengikuti asas lex spesialis derogate lex generalis.143 Berkenaan dengan barang bukti dalam tindak pidana di bidang perikanan, memang diatur secara khusus terkait perampasan, penggunaan, dan pemusnahan barang bukti dalam UU No. 45 Tahun 2009. Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua Pengadilan Negeri. Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



M



Y



Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak. Benda dan/ atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan. Terhadap selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing sebagaimana dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal.144



D



U



M



Dalam Pengadilan Perikanan, pemeriksaan sidang dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang perikanan. Hakim 143 Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditentukan: “Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”. Pasal 75 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditentukan: ”Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sbb: a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun; b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan, c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.” 144 Pasal 76A, 76B, 76C, dan 83A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.



80



Dinamika Hukum Pembuktian



pada Pengadilan Perikanan terdiri dari Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc yang diangkat dan ditugaskan pada Pengadilan Perikanan, untuk mengadili tindak pidana perikanan. Di samping itu, ada Majelis Kehormatan Hakim Majelis yang memeriksa dan menerima pengajuan pembelaan diri dari Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri, serta memberikan pertimbangan, pendapat dan saran atas pembelaan diri tersebut.



Y



Mahkamah Agung dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan seleksi administratif dan tes tertulis untuk menetapkan daftar nominasi calon Hakim Ad Hoc. Mahkamah Agung juga melakukan seleksi kompetensi calon Hakim Ad Hoc. Terhadap Calon Hakim Ad Hoc yang telah dinyatakan lulus seleksi kompetensi diwajibkan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung. Calon Hakim Ad Hoc yang dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada presiden untuk diangkat sebagai Hakim Ad Hoc.



M



Hakim Ad Hoc diberi kesempatan untuk membela diri dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya pemberitahuan hasil pemeriksaan. Pembelaan diri dilakukan di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Hakim Ad Hoc sebelum diberhentikan tidak dengan hormat, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. Pemberhentian sementaras dilakukan untuk kelancaran pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan Hakim atau karena perintah penangkapan yang tidak diikuti dengan penahanan. Pemberhentian sementara Hakim Ad Hoc ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Mahkamah Agung memutuskan untuk mengabulkan atau menolak usulan tersebut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak usul Ketua Pengadilan Negeri diterima.



D



U



M



Apabila alasan pemberhentian tidak dengan hormat tidak terbukti, pemberhentian sementara tersebut harus dicabut. Apabila alasan pem­ berhentian tidak dengan hormat terbukti, maka pemberhentian tidak dengan hormat ditetapkan oleh presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.Pegawai Negeri Sipil yang diangkat menjadi Hakim Ad Hoc diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Hakim Ad Hoc tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dapat dinaikkan pangkatnya setiap kali setingkat lebih tinggi tanpa terikat jenjang pangkat sesuai peraturan perundang-undangan.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



81



Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pengawasan, para petugas Pengawas Perikanan sebagian telah dididik menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), sehingga petugas pengawas yang terkualifikasi PPNS tidak saja dibekali pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan di bidang perikanan tetapi juga diberikan keterampilan dan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran tindak pidana di bidang perikanan. Pelaksana pengawasan:145.



Y



Instansi penanganan tindak pidana perikanan diatur dalam Pasal 73 Ayat 1 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang mengatur: “Penyidikan Tindak Pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TN-AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.” Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mempunyai kewenangan sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 73 UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang: Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi. Membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana. Melakukan penghentian penyidikan. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.



D



U



M



M



Peranan TNI AL dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut. Secara universal TNI AL mengemban tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh kenyataan bahwa laut merupakan wahana kegiatan laut. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan 145 Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Standar Operasional dan Prosedur Pengawasan Penangkapan Ikan, (Jakarta, 2004), hlm. 6-7.



82



Dinamika Hukum Pembuktian



hukum di laut, melindungi sumber daya dan kekayaan laut nasional, memelihara keamanan dan ketertiban di laut serta mendukung pembangunan bangsa. Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui perundang-undangan nasional secara yuridis formal memberikan kewenangan penegak hukum bagi kapal perang terhadap setiap bentuk kejahatan yang dilakukan di/dari lewat laut, terutama kejahatan yang bersifat internasional. Di samping itu, dalam peraturan perundangan nasional juga memberikan kewenangan kepada perwira TNI AL untuk melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu di laut.



Y



Salah satu tugas TNI AL adalah menegakkan hukum dan ketertiban di laut sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang mengaturnya serta kebiasaan internasional, agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara profesional dan proporsional untuk itu diperlukan suatu prosedur tetap (protap) tentang langkah-langkah penanganan terhadap tindak pidana di laut oleh unsur operasional TNI AL. Dasar Kewenangan Penyidikan oleh TNI AL146



M



M



Pasal 13 Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie) 1939 Stbl. 1 939 Nomor 442 menyatakan bahwa: “Untuk memelihara dan mengawasi pentaatan ketentuan-ketentuan dalam ordonansi ini ditugaskan kepada komandan Angkatan Laut Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan kamp-kamp penerbangan dari angkatan laut”. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Pangab sebagai aparat penegak hukum di bidang penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1) undang-undang ini menyatakan:



D



U



“Aparat penegak hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang ini di perairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal 146



Ibid., hlm. 5-6.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



83



perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 107, 110, 111, dan Pasal 224 UNCLOS 1982. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 39 ayat (2) kewenangan penyidik Kepolisian Negara RI, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.



Y



Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran ditetapkan dalam pasal 99 ayat (1): “Selain penyidik pejabat Polisi Negara RI, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran dan perwira Tantara Nasional Indonesia Angkatan Laut tertentu diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran yang dimaksud dalam undang-undang ini”. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP Pasal 17 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa: “bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya”. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pasal 24 ayat (3): “Penegakan hukum dilakukan oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masing-masing instansi terkait tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional maupun hukum internasional.



D



U



M



M



Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ayat (5) tentang Lingkungan Hidup: “Bahwa penyidikan tindak pidana di lingkungan hidup di perairan Indonesia dan zona ekonomi eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. (lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 14 beserta penjelasannya menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat pertahanan negara termasuk di dalamnya mempertahankan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan bangsa dan



84



Dinamika Hukum Pembuktian



negara, melaksanakan operasi militer selain perang dan ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dimaksudkan melaksanakan Operasi Militer selain perang antara lain bantuan kemanusiaan, bantuan kepada pemerintahan sipil, pengawasan pelayaran dan/ atau penerbangan, bantuan pencarian dan pertolongan, bantuan pengungsian dan korban bencana alam berdasarkan permintaan dan/atau peraturan perundang-undangan. Kewenangan TNI AL di perairan Indonesia:147 (1) Mempertahankan eksistensi/keberadaan Negara Kesatuan RI dari segala bentuk ancaman dan gangguan. (2) Memelihara stabilitas nasional dan turut serta memelihara stabilitas regional dan internasional. (3) Menegakkan hukum terhadap tindak pidana di wilayah perairan Indonesia, meliputi: illegal entry/ pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing; imigran gelap; pelanggaran hak lintas damai; pelanggaran hak lintas kepulauan; pelanggaran hak lintas transit; pelanggaran hak akses komunikasi; tindakan provokasi oleh kapal-kapal asing di sekitar wilayah perairan di Indoneia; sabotase objek vital dan tindakan terorisme lainnya. (4) Melindungi sumber daya alam dan buatan, meliputi: pengamanan sumber daya alam hayati dari kegiatan penangkapan/ eksploitasi tanpa izin, antara lain: perikanan; kehutanan; benda cagar budaya; pasir laut; pencemaran laut. (5) Pengamanan sumber-sumber mineral dan sumber daya alam non hayati lainnya dari kegiatan eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin. (6) Perlindungan terhadap pulau buatan atau instansi buatan maupun industri lainnya di laut.



U



M



M



Y



Mengamankan pelayaran, meliputi: Mencegah dan manindak kegiatan pelayaran yang dilakukan di luar jalur pelayaran yang telah ditentukan; Mencegah dan menindak penggunaan bendera negara yang tidak sesuai dengan ketentuan penggunaan oleh kapal di laut. Mencegah dan menindak perbuatan yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran dan keselamatan jiwa di laut. Memberi bantuan dan pengamanan kegiatan SAR di laut. Mengamankan pipa-pipa dan kabel-kabel bawah/dasar laut dan sarana komunikasi lainnya. Mencegah dan menindak kegiatan dan penelitian kelautan tanpa izin. Mencegah dan menindak kegiatan pemetaan atau survei hidrooseanografi tanpa izin. Mencegah dan menindak perampokan/pembajakan di laut.



D



147



Ibid., hlm. 8-9.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



85



Dalam hukum acara pidana mendatang, seiring dengan KUHP baru, maka hukum acara pidana juga mengalami pembaruan, maka akan terjadi perubahan yang mendasar, dan disesuaikan dengan keadaan global, maka pembaruan hukum acara pidana, menegaskan beberapa hal dalam model pembuktian dalam kebaruannya.



H. Pembuktian dalam Pembaruan Acara Pidana



Y



Hukum acara pidana yang baru, sedang dalam pembahasan, seiring dengan pembahasan RUU KUHP (2017), dan sebagai satu kesatuan hukum pidana formal dan materiil, maka akan terjadi suatu perubahan dalam memaknai pembuktian pada hukum acara pidana mendatang.



M



Adapun RUU KUHAP, yang telah mendapatkan berbagai masukan dari Robert R. Strang, terdapat sembilan perubahan yang mendasar, yakni:148



1. Memperlakukan adanya suspects right to remain silent and the presumtion of innocence. Aturan ini memberikan hak kepada tersangka, untuk tidak bisa menjawab pertanyaan penyidik.



M



2. Adanya protect citezens liberty and privacy interest in the area of pretrial detention. Hal ini berkaitan dengan penahanan. Yakni dalam waktu 5X24 jam tersangka harus dihadapkan pada hakim komisaris, diselaraskan dengan ketentuan Internasional Covenant Civil and Political Right (ICCPR).



U



3. Adanya remove the preliminary investigation stge and ensure better police/ prosecutor cooperatin. Persoalan hubungan penyidikan dan penuntutan, sejak awal terjalin, di mana jaksa memberikan petunjuk sehingga memenuhi persyaratan formal dan substansi berita acara yang ada.



D



4. Adanya Develop a pretrial stage and clarify the role of the commissioner judge to preside over it. Perubahan yang penting pada tahap prapersidangan dan pembentukan lembaga baru yakni hakim komisaris, memiliki tanggung jawab pemberian otorisasi atas surat perintah penggeledahan. Hakim komisaris melakukan hearing secara khusus pada penuntut umum. Hakim komisaris dapat meniadakan dan memerintahkan untuk membebaskan penangkapan kepada tersangka secara sewenang-wenang. Sehingga Syaiful Bakhri. Sejarah Pembaharuan KUHP dan KUHAP, (Jakarta: P3IH-FH UMJ bekerja sama dengan Total Media, 2011), hlm. 105-106. 148



86



Dinamika Hukum Pembuktian



hakim komisaris dapat melindungi kebebasan individu pada tahap prapersidangan. 5. Adanya Simplity indicment (penyederhanaan dakwaan) surat dakwaan yang ringkas, terfokus, surat dakwaan yang diteliti oleh jaksa terutama persoalan apakah dakwaan akan bertanggung jawab sesuai dakwaannya. 6. Adanya Promote adversarial trial procedures. Memperkenalkan adversarial khususnya pada tahap persidangan. Adanya kesempatan untuk memberikan pertanyaan dari pihak jaksa dan penasihat hukum, dan kesempatan untuk menghadirkan saksi, untuk memperkuat dan memperjelas dakwaan. Peran pengadilan menentukan pencarian fakta secara aktif. RUU KUHAP memperluas alat bukti, yakni bukti elektronik dan barang bukti physical evidence, bertujuan untuk mempermudah dengan cara meninggalkan segala fleksibilitas bagi jaksa dan penasihat hukum, dengan menampilkan alat bukti baru yang potensial di pengadilan. Terhadap alat bukti atas kejahatan transnasional, alat bukti yang diperoleh di luar negeri, dianggap sebagai alat bukti yang sah, jika diperoleh secara sah, berdasarkan hukum di negara hukum tersebut, dengan tidak melanggar konstitusi, hukum dan perjanjian kerja sama dengan Indonesia.



M



M



Y



7. Adanya Case dismissal, guity pleas, and cooperating dependants. Adanya kemungkinan penghentian kasus-kasus yang tidak berdasarkan kepentingan umum, biasanya semua kasus pidana, bahkan tuntutan pidana yang kecil diserahkan pada pengadilan. Terutama adanya perdamaian antara pelaku dan korban, perhatian pada adanya pengurangan hukuman, pengakuan bersalah dari terdakwa. Tetapi dalam hal tertentu hakim dapat membatalkan atau menarik putusannya. Terdakwa tidak secara otomatis menjadi saksi mahkota, kesemuanya di bawah kontrol jaksa.



D



U



8. Adanya Rights of Victims. Dengan memperkuat hak korban dengan adanya tuntutan perdata yang paralel dengan pidana, untuk menerima ganti rugi. Karenanya RUU KUHAP. Menentukan keputusan pidana secara final atas tuntutan perdata yang memiliki paralitas dengan perkara pidana. Urgensi pembaruan KUHAP, karena penyesuain dengan pembaruan KUHP, sebagai konsekuensinya. Karenanya akan terjadi perubahan yang sangat pesat di lapangan hukum pidana, dimaksudkan sebagai perubahan watak hukum bangsa Indonesia, dari pengaruh kolonialis, dan secara nyata, adalah nuasa



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



87



kemerdekaan, yang dipengaruhi oleh peradaban maju hukum Indonesia, yang diwarnai oleh hukum dan pengaruh para ahli filsafat hukum, serta berbagai ahli lainnya. Hukum pidana Indonesia, yang lebih progresif, setara dengan hukum pidana negara maju di dunia, walaupun masih memerhatikan nuansa kearifan lokal, yang dapat diterima oleh masyarakat hukum Indonesia yang pluralistis. Terjadi perubahan makna alat bukti dan barang bukti dalam pembaruan hukum acara pidana mendatang, di mana dalam konsep ditentukan:



Y



Dalam Pasal 175 RUU KUHAP diatur berkenaan dengan alat bukti, yakni: (1) Alat bukti yang sah mencakup: a. barang bukti; b. surat-surat; c. bukti elektronik; d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; f.



keterangan terdakwa; dan



g. pengamatan hakim.



M



M



(2) Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh secara tidak melawan hukum;



U



(3) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Sedangkan berkenaan dengan barang bukti, diatur dalam Pasal 176 RUU KUHAP, yakni:



D



“Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) huruf a adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau yang menjadi objek tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau materiil yang dapat menjadi bukti dilakukannya tindak pidana.” Terhadap barang bukti, terjadi perbedaan, dengan KUHAP yang sekarang berlaku. Maka akan terjadi perubahan watak dalam berhukum, dan akan terjadi perubahan fundamental, dalam hukum acara pidana Indonesia, dengan suatu semangat global.



88



Dinamika Hukum Pembuktian



I. Pembuktian Pidana dalam Hukum Islam Hukum Islam, adalah bagian yang sangat penting, diyakini oleh pemeluk agama Islam, karena menyangkut Keimanan, Ketauhidan, sebagai suatu jalan untuk mncapai derajat yang tinggi dalam kepatuhan terhadap agama, dan juga untuk melakukan ketaatan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Bahkan lebih jauh adalah tangga untuk mencapai Ridho Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya dalam pembuktian dan menemukan ketaatan pembuktian dalam hukum pidana islam mesti perlu diketahui.



Y



Pembuktian dalam hukum pidana Islam, sangat terinci ditentukan pada Al-Qur’an dan Hadis, serta beberapa pendapat ulama, dari berbagai kasuskasus konkret, sepanjang peradaban. Hukum Pidana Islam, adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal, yang dilakukan oleh orang-orang yang dibebani kewajiban, sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadis. Sehingga hukum pidana Islam merupakan syariat Allah Swt. yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban syariat, yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya sebagai pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.149



U



M



M



Ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang sahih, maka dapat mengetahui tujuan hukum Islam. Secara umum, sering dirumuskan, bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Ada lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta. Kelima tujuan hukum Islam ini dalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah.150



D



Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 1. Mohammad Daud Ali. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 61. 149



150



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



89



Agama yang ditetapkan untuk manusia disebut syariah, bentuk kesamaan syariah dengan jalannya air, adalah siapa yang mengikuti syariah, akan bersih jiwanya. Allah menjadikan air penyebab kehidupan bagi setiap makhluk, sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan yang insani.151 Syariat merupakan wahyu Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Fikih merupakan hasil istijah manusia dalam memahami Al-Qur’an dan AsSunnah yang memenuhi syarat. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada hukum-hukum yang mengatur perbuatan manusia yang disebut juga perbuatan hukum. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya karena ia berlaku abadi, sedangkan fikih adalah hasil ijtihad manusia yang bersifat sementara, karenanya dapat berubah sesuai kondisinya.152



M



Y



Pidana adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf, yang melanggar, perintah atau larangan Allah, yang dikhitbahkan kepada orang-orang mukallaf, yang dikarenakan ancaman hukuman, sanksi itu harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa maupun Allah Swt., baik tempat pelaksanaan hukuman itu di dunia maupun akhirat.153



M



Asas-asas hukum pidana Islam, mengenal juga asas legalitas.154 Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tidak bersalah. Tentang ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan termasuk homoseksual dan lesbian, menuduh orang baik-baik



U



151 Abdul Manan. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Tinjauan Aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 39-42. 152 A.Rachmat Rosyadi dan H.M.Rais Ahmad. Formalisasi Syariat Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonsia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 39. 153 Abdul Halim Berkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2006), hlm. 256. 154 Surat Al Israa (17: 15). Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk kemaslahatan dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi kerugian didrinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul. Surat Al Anaam (7: 119). Katakanlah, siapakah yang lebih kuat persaksiannya. Katakanlah Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu, dan Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an kepadanya. Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan yang lain di samping Allah?. Katakanlah, aku tidak mengakui. Katakanlah sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan ALLAH).



D



90



Dinamika Hukum Pembuktian



yang berzina, meminum minuman yang memabukkan, membunuh dan/atau melukai seseorang, merusak harta seseorang, melakukan gerakan kekacauan. Hukum pidana jenis ini dikenal juga sebagai Jarimah yang terdiri dari jarimah tazir dan hudud. Jenis hukumannya adalah rajam, atau dera, potong tangan, kurungan, pengasingan, deportasi dan disalib.155 Ahkam al-bayyinat (hukum-hukum pembuktian) sama seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, merupakan hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadangkadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), kadang-kadang terjadi pula pada kasus-kasus perdata (mu’amalat). Namun demikian, para ulama fikih tidak membedakan hukum-hukum bayyinat dalam perkara mu’amalat (perdata) dengan hukum bayyinat pidana dalam perkara ‘uqubat (pidana). Semuanya mereka bahas dalam kitab Syahadat (kitab tentang Kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka cantumkan dalam kitab Aqdliyyah (kitab Peradilan), dan dalam kitab ad-Da’awiy wa alBayyinaat (kitab Tuduhan dan Pembuktian). Sebagian pembahasan mengenai hukum bayyinat juga mereka jelaskan dalam sebagian kasus-kasus ‘uqubat, sebab, al-bayyinat (pembuktian) merupakan salah satu syarat dari ‘uqubat (pidana), di samping sebagai bagian juga terpenting dari pembahasan mengenai perkara-perkara ‘uqubat.



U



M



M



Y



Dalam hukum Islam, mengenai prinsip-prinsip pembuktian tidak banyak berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku di zaman modern sekarang ini, dari berbagai macam pendapat tentang arti pembuktian, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu proses mempergunakan atau mengajukan atau mempertahankan alat-alat bukti di muka persidangan. sesuai dengan hukum acara yang berlaku, sehingga mampu meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan atau dalildalil yang dipergunakan untuk menyanggah tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Perbedaannya dalam hukum acara Islam dasar hukum pembuktian ialah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijtihad.



D



Ayat-ayat Al-Qur’an seluruhnya adalah qath’i (pasti) dari segi turunnya dan lafaznya, keasliannya dan pemindahannya dari Rasulullah sampai ke tangan umat Islam sekarang ini. Artinya diyakini kebenarannya datang dari 155



Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Op.Cit., hlm. 9-12.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



91



Allah. Sedangkan dari segi penunjukannya terhadap hukum, sebagian adalah qath’i dan sebagian adalah zanni.156 Bukti (al-bayyinat) adalah semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Alat bukti, adalah alat untuk menjadikan pegangan hakim, sebagai dasar memutus suatu perkara, sehingga dengan berpegang kepada alat bukti tersebut dapat mengakhiri sengketa di antara pihak yang berperkara. Sehingga alat bukti, adalah suatu upaya yang dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan, dan dipergunakan oleh hakim untuk memutus suatu perkara, sehingga alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya.



M



Y



Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi Saw. bersabda yang artinya: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang didakwah.”



M



Imam Baihaki juga meriwayatkan sebuah hadis dengan isnad shahih dari Nabi Saw., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”



U



Dalam hukum Islam dikenal empat macam alat bukti, dan tidak lebih dari itu, yakni:157 (1) Pengakuan; (2) Sumpah; (3) Kesaksian; dan, (4) Dokumendokumen tertulis yang meyakinkan. Adapun berkenaan dengan indikasi (qarinah), secara syar’i tidak termasuk bukti. Berdasarkan pada pendapat Roihan A. Rsyid, Samir Aliyah, Abdul Karim Zaidan, Sayyid Sabiq, Ibnu Qayyim alJauziyyah, Nasyir Farid Washil, di dalam hukum Islam alat bukti terdiri dari:158



D







Al Iqrar. Adalah suatu bentuk keterangan, ataupun pengakuan. Yang dilakukan oleh tersangka.







Al Bayyinah. Adalah saksi dari pihak pendakwa, yang disampaikan secara lisan.



Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam: Menjawab Tantangan Zaman. Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 7-10. 157 Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad ad-Da’ur. Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian Dalam Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2004), hlm. 8. 158 Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo. Hukum Islam. Op.Cit., hlm. 55-59. 156



92



Dinamika Hukum Pembuktian







Al Yamin. Bermakna mempunyai kekuatan.







An Nukul. Bermakna sebagai alat bukti penolakan sumpah.







AL Qosamah. Bermakna kuat, segala sesuatu yang dinyatakan secara khidmat atau diberikan dengan sumpah.







Ilmu pengetahuan hakim. Artinya adalah bahwa hakim boleh memutuskan suatu perkara karena pengetahuannya dalam perkara pidana secara mutlak.







Qorinah. Bermakna petunjuk yang dapat menimbulkan keyakinan.







Qosamah. Bermakna sebagai sumpah, tetapi biasanya dipergunakan untuk peradilan pidana islam, karena dimintakan oleh wali si terbunuh, karena tidak diketahui siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut, sehingga atas permintaan keluarga korban untuk bersumpah, sebanyak 50 orang yang taat beragama, bahwa mereka bukan pembunuhnya.







Qiyaffah. Qurah. Bukti berdasarkan indikasi yang tampak. Pengakuan bermakna menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkarinya.







Saksi. Adalah suatu pemberitaan yang pasti, yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain, karena beritanya telah tersebar, semuanya diyakini bukan karena dugaan atau perkiraan.



U



M



M



Y



Pengakuan sendiri telah ditetapkan (sebagai bukti), berdasarkan dalil, baik yang tercantum di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah (2): 84, yang artinya:



D



“Dan (ingatah) ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu) kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.” Maksudnya, kemudian kalian berikrar (memberikan pengakuan) dengan isi perjanjian tersebut dan kebenarannya. Dan Allah Swt. telah menetapkan ikrar (pengakuan) mereka, lalu ikrar (pengakuan) mereka menjadi hujjah bagi mereka. Dalam hadis tentang Ma’iz telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi Saw. bertanya kepada Ma’iz bin Malik, yang artinya:



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



93



“Apakah benar apa yang telah disampaikan kepadaku tentang dirimu? Ma’iz balik bertanya, ‘Apa yang disampaikan kepada engkau tentang diriku?’ Nabi Saw. menjawab, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa engkau telah berzina dengan budak perempuan keluarga si fulan’. Ma’iz menjawab, ‘Benar’. Kemudian bersaksilah empat orang saksi. Lalu, Rasullulah Saw. memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Maka dirajamlah al-Ma’iz.”



Y



Seorang qadliy (hakim) tidak boleh mencukupkan pengakuan hanya dari terdakwa. Pengakuan itu harus bisa dibuktikan untuk mengetahui apakah orang yang memberi pengakuan tersebut memahami bahwa dengan pengakuannya itu, berarti ia menjadi orang yang mendakwa, atau dirinya berhak untuk dikenai sanksi (jika pengakuannya keliru atau berdusta). Oleh karena itu, seorang qadliy (hakim) harus bertanya secara teliti kepada orang yang mengaku itu, tentang apa yang diakuinya. Jika kita lihat hadis di atas, ketika Ma’iz mengaku berzina, Rasullulah Saw. menanyainya hingga tiga kali atas pengakuannya tersebut. Beliau juga bertanya kepada keluarganya tentang diri Ma’iz. Rasullulah Saw. juga meminta penjelasan kepada orang yang memberi pengakuan tentang apa yang diakuinya. Bahkan beliau bertanya dengan bentuk pertanyaan yang sangat jelas. Dari Abu Huraira ra. berkata yang artinya:



M



M



“Al-Aslami mendatangai Rasullulah Saw., kemudian ia bersaksi dengan dirinya sendiri bahwasanya ia telah menyetubuhi seorang wanita yang diharamkan (baginya). Pengakuan tersebut diulang-ulang sebanyak empat kali. Akan tetapi beliau tetap menolak kesaksian tersebut. Baru setelah pengakuan kelima, Rasullulah Saw. menerima (pengakuannya)-nya. Kemudian beliau bertanya: ‘apakah engkau telah menyetubuhinya?’ ia menjawan: ‘Ya’. Nabi bertanya lagi: ‘Apakah seperti anak celak masuk ke dalam celak, dan seperti timba masuk ke dalam sumur?’ Ia menjawab: ‘Ya’. Nabi bertanya lagi: ‘Apakah engkau tahu tentang zina?’ Ia menjawab: ‘Ya, aku tahu, yaitu aku telah melakukan perbuatan haram seperti halnya yang dilakukan seorang laki-laki (suami) melakukan perbuatan halal dengan istrinya.”



D



U



Hadis di atas menunjukkan sejauh mana investigasi yang harus dilakukan seorang qadliy kepada orang yang memberikan pengakuan. Ia (qadliy) harus membuktikan bahwa pengakuan tersebut meyakinkan. Sumpah sebagai bukti, telah pula ditetapkan dalilnya baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah. Yang dimaksud dengan sumpah adalah sumpah atas apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan bukan yang akan dilakukan di masa akan datang. Terhadap sumpah yang akan dilakukan di masa yang akan datang –yang di dalamnya berhak dikenai kafarat—tidak termasuk



94



Dinamika Hukum Pembuktian



perkara bayyinat (pembuktian). Sumpah yang merupakan bukti dalam perkara bayyinat adalah sumpah atas apa yang telah dilakukan di masa biasa disebut dengan sumpah palsu (al-yamin al-ghumus). Lalu Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Maidah, (5): 89, yang artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).”



M



Y



Adapun kedudukan sumpah sebagai alat bukti dalam pembuktian hukum islam, adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasullulah Saw., yang artinya: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya.”



M



Sumpah sebagai bukti, hanyalah sumpah yang diminta oleh qadliy (hakim) baik dari pendakwa maupun terdakwa. Artinya, sumpah harus didasarkan pada niat orang yang meminta sumpah, dalam hal ini adalah niat dari hakim itu sendiri. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Muslim ra., yang artinya:



U



“Sumpah itu wajib didasarkan pada niat orang yang meminta.”



D



Dalil di atas menunjukkan bahwa sumpah yang diakui hanyalah sumpah yang didasarkan pada niat orang yang meminta sumpah, dan bukan atas dasar inisiatif dari yang bersumpah. Selain daripada pengakuan dan sumpah sebagai alat bukti, maka dikenal juga bukti kesaksian. Secara istilah, kata asy-syahadah merupakan bentuk musytaq (pecahan) dari al-musyahadah, yang memiliki arti al-mu’ayanah (sesuatu yang disaksikan secara langsung). Kadang-kadang juga disebut dengan memberikan kesaksian (al-ada asysyahadah). Al-mu’ayanah merupakan sebab bagi pemberian kesaksian (alada asy-syahadah). Kesaksian hanya akan terwujud bila ada al-mu’ayanah, atau hal-hal yang serupa dengan al-mu’ayanah, seperti mendengar, melihat dan hal-hal lain yang serupa. Oleh karena itu, sebab satu-satunya untuk



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



95



menyampaikan kesaksian dinamakan dengan memberi sebuah kesaksian. Hal ini sebagaimana dalam Hadis Nabi Saw: “Jika engkau melihat, (maka) seperti engkau melihat matahari, maka bersaksilah. Jika tidak, tinggalkanlah.” Hadis di atas menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak membolehkan seseorang untuk memberi kesaksian, kecuali jika kesaksian tersebut didasarkan atas ilmu, yang dibangun di atas landasan keyakinan. Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian di hadapan sidang pengadilan. Kesaksian tidak boleh didasarkan pada dzan. Semua bukti yang berasal dari jalan al-mu’ayanah atau yang serupa dengan al-mu’ayanah, seperti bukti meyakinkan yang berasal dari pengindraan, maka masyarakat dibolehkan bersaksi dengan bukti-bukti semacam itu. Kesaksian tidak boleh ditetapkan dengan jalan as-sama’ (mendengar dari orang lain). Dalam hal ini, tidak diperbolehkan seseorang memberikan kesaksian dengan menyatakan: “saya mendengar dari orang” atau “saya mendengar bahwa orang-orang berkata”, atau yang sejenisnya. Jika kesaksian dengan jalan as-sama’ ini disampaikan kepada qadliy, maka kesaksian tersebut tidak akan diterima, karena seorang qadliy tidak diperbolehkan menerima kesaksian yang didasarkan pada “mendengar informasi dari orang lain”.



U



M



M



Y



Hakikat dan maksud dari kesaksian adalah menyampaikan kebenaran, yaitu berita yang benar dan meyakinkan yang disampaikan oleh orang yang jujur/benar, karena kesaksian merupakan upaya untuk membuktikan kebenaran. Dengan mendasarkan kepada hakikat dan maksud dari kesaksian, maka kesaksian dengan penyangkalan murni tidak akan diterima, sebab hal ini tidak sesuai dengan definisi dari kesaksian itu sendiri. Akan tetapi, jika pengingkaran itu lebih dulu diawali dengan sebuah pembuktian, maka kesaksian dengannya diperbolehkan. Hal ini dikarenakan kesaksian itu secara otomatis bukan lagi kesaksian dengan pengingkaran, melainkan kesaksian di dalam pembuktian. Kesaksian harus disampaikan dengan ucapan ‘saya bersaksi’ dengan bentuk kalimat sekarang. Jika tidak menyatakan ‘saya bersaksi’, maka hal tersebut tidak mengantarkan pada kesaksian. Alasan lain dari keharusan mengucapkan ‘saya bersaks’ adalah, bahwa ucapan orang yang bersaksi dengan lafadz-lafadz kesaksian, posisinya tidak bisa digantikan oleh



D



96



Dinamika Hukum Pembuktian



orang lain. Selain itu, di dalam kesaksian itu terkandung sumpah, artinya kesaksian merupakan bagian dari lafadz-lafadz sumpah. Jadi, pengertian sumpah juga harus diperhatikan dalam perkara ini. Disyaratkan dalam bentuk mudlari’ (bentuk waktu sekarang), agar mengandung pengertian bahwa orang yang bersaksi sedang memberikan kesaksian pada sebuah kondisi tertentu. Kesaksian yang diakui adalah kesaksian yang terjadi di dalam sidang pengadilan. Sidang pengadilan merupakan syarat pokok bagi absahnya sebuah kesaksian. Kesaksian di depan pengadilan diperbolehkan, meskipun tidak di depan sidang pengadilan. Kesaksian yang diberikan di depan pengadilan, di manapun tempatnya-, maka kesaksian tersebut tetap diakui, sebab pengadilan keputusannya tidak terikat pada sebuah sidang tertetu. Kesaksian diperuntukkan untuk memperkuat dakwaan atas orang yang didakwa. Namun, bukan berarti bahwa kesaksian harus didahului dengan dakwaan. Harus dibedakan dalam dakwaan tersebut, antara hak yang menyangkut anak Adam, dan hak yang menyangkut Allah Swt. Jika menyangkut hak anak Adam, seperti hak tentang harta, pernikahan, jual beli dan lain sebagainya, maka disyaratkan ada dakwaan terlebih dahulu, sebagai syarat-syarat kesaksian. Sebab, kesaksian merupakan hujjah atas dakwaan, artinya kesaksian tidak boleh mendahului dakwaan.



M



M



Y



Adapun kesaksian menyangkut hak-hak anak Adam yang (bersifat) tidak tentu, seperti wakaf bagi fakir miskin, atau jalanan yang diperuntukkan bagi orang masyarakat, ataupun hak-hak yang merupakan bagian dari hak-hak Allah Swt., maka saksiannya tidak memerlukan dakwaan terlebih dahulu. Atas dasar itu Abu Bakar dan para sahabat telah memberi kesaksian atas Mughira, demikian Jarrud dan Abu Huraira telah memberi kesaksian atas Qudamah bin Madz’un dalam kasus minum khamar. Dalam kasus-kasus tersebut tidak harus didahului oleh adanya dakwaan, sehingga kesaksian mereka diperbolehkan.159



D



U



Syarat-syarat yang sama dalam berbagai perkara taklif, yakni baligh dan berakal. Allas Swt. berfirman dalam QS Al-Baqarah (2): 282, yang artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu, jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.



159



Ibid., hlm. 326.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



97



Diutamakan menjadi saksi adalah laki-laki atau baligh, dan juga orang yang adil. sifat adil menjadi penting, karena telah diindikasikan oleh Allah Swt. pada diri saksi dalam banyak ayat. Hal ini menunjukkan pula bahwa adil merupakan salah satu syarat kesaksian. Allah Swt. berfirman, yang artinya: “Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasia, maka hendaklah (wasiat) itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu. (QS Al-Maidah, [5]: 106)”



Y



“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu. (QS AthThalaq, [65]: 2)”



Memang terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan keadilan. Adil adalah orang yang tidak menunjukkan sifat kefasikan. Orang fasik yang menunjukkan kefasikannya, maka kesaksiannya tidak diterima. Sebaliknya jika orang tersebut tidak menampakkan kefasikannya, kesaksiannya tetap dapat diterima. Definisi keadilan yang lebih tepat adalah “setiap orang yang dapat mencegah dirinya dari perbuatan yang dianggap masyarakat tidak keluar dari jalan istiqamah (yang lurus dan benar)”.160



M



M



Lafadz adil termasuk bagian dari lafadz-lafadz Al-Qur’an. Apabila dikaji secara mendalam, kata adil yang dilekatkan dengan kesaksian tidak memiliki makna khusus yang ditetapkan oleh syara, selain hanya makna bahasa saja. Dengan demikian, kata adil harus ditafsirkan dengan makna bahasanya. Jadi, kata adil jika dilekatkan dengan kesaksian, secara literal berarti “setiap orang yang dikenal masyarakat bahwa secara umum dia adalah orang yang lurus”.



U



Akan tetapi, kata al-‘adl masih dimungkinkan untuk ditafsirkan secara literal. Kemudian maknanya ditetapkan berdasarkan penunjukan (kaidah ilmu) tafsir. Adapun pernyataan mereka, “sifat-sifat lurus yang terdapat dalam jiwa seseorang”, bermakna, “orang-orang yang secara terang-terangan diketahui mampu menghindarkan dirinya dari sesuatu yang dianggap oleh masyarakat tidak pantas”. Oleh karena itu, al-‘adl lebih tetap didefinisikan dengan, “orang-orang yang mampu menghindari hal-hal yang dianggap oleh masyarakat telah keluar dari jalan yang lurus (istiqamah), baik dia muslim maupun kafir”. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Maidah, [5]: 106, yang artinya:



D



160



98



Ibid., hlm. 329.



Dinamika Hukum Pembuktian



“Apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat) itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu.” Berdasarkan dalil di atas, maka syarat adil itu tidak harus dari kalangan kaum muslimin, akan tetapi juga dari kalangan non-muslim. Pada dasarnya, asalnya seorang muslim adalah adil, maka asalnya pembuktian kesaksian seorang muslim tidak diperlukan. Pembuktian hanya disyariatkan bagi orang yang menyalahi ‘asalnya’. Jika seorang muslim bersengketa dan dalam persengketaan itu ada dakwaan atas ketidakadilan, atau ada tuduhan bahwa dirinya orang yang fasik, kemudian dakwaan itu terbukti dengan sebuah pembuktian yang menjadikan dirinya dijatuhi had (sanksi) syar’i, maka secara otomatis kesaksian dirinya ditolak. Kecuali bila kemudian dalam persengketaan itu tidak terbukti cacat dirinya dalam memberikan kesaksian, maka pernyataannya harus diperhatikan dan kembali pada asalnya, yaitu bahwa dirinya adil. Adapun untuk orang kafir, jika dirinya dikenal mampu menghindar dari hal-hal yang dianggap masyarakat telah keluar dari jalan yang lurus, maka pada dasarnya dirinya adalah adil, sehingga keadilan dirinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebaliknya jika kesaksiannya memperoleh celaan, maka orang yang mencela kesaksiannya harus membuktikan celaannya itu. Dalam hal ini, qadliy harus menyelidiki dirinya, dan tidak harus meminta orang yang mencela kesaksian orang tersebut untuk membuktikan celaannya. Namun yang harus dipahami terkait dengan kesaksian dari seorang nonmuslim adalah, bahwa kesaksian mereka dibolehkan hanya untuk kasus-kasus tertentu, seperti misalnya pembunuhan, pencurian, qadzaf, minum khamar, dan perkara-perkara hudud (delik kejahatan) lainnya. Sebaliknya pada kasus tertentu seperti pada kasus harta, maka yang dapat memberikan kesaksian haruslah seorang muslim. Memang tidak disyaratkan secara mutlak bagi orang yang memberikan kesaksian itu harus seorang muslim, begitu pula sebaliknya, tidak boleh memutlakkan kebolehan kesaksian non-Muslim secara umum.



D



U



M



M



Y



Saksi non-Muslim, adalah saksi-saksi yang dapat mengungkapkan tabir yang menutup kebenaran, orang-orang yang dapat mengungkapkan kebenaran itu, adakalanya dari orang-orang yang bukan Islam dan orang-orang itu dapat dijamin kepercayaannya, maka dalam hal ini kesaksian dapatlah diterima. Misalnya pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter tersebut bukan Islam.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



99



Pemeriksaan setempat. Dalam Islam pemeriksaan setempat diperlukan terhadap perkara-perkara yang membutuhkan kejelasan, dari hakim yang sedang memutus perkara dalam rangka mencari kebenaran, isi suatu gugatan, dan dibolehkan untuk melakukan sidang di tempat. Permintaan para pihak yang bersengketa. Berdasarkan berita mutawir. Berdasarkan berita tersebar. Berdasarkan hasil penelusuran.



Y



Di mana dikemukakan bahwa Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang non-Muslim berkuasa terhadap orang-orang Islam. Demikian juga tersebut dalam surat At-Thalaq ayat 2 di mana Allah Swt. memerintahkan agar dalam menyelesaikan segala masalah hendaknya dipersaksikan dengan dua orang saksi yang adil dari golonganmu (Orang Islam).161



M



Demikian juga dalam hal pembuktian yang harus diberikan dokter yang kebetulan dokter tersebut bukan Islam, menurut Ibnu Qayyim tidak ada salahnya untuk diterima asalkan keterangan dokter tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pendapat Ibnu Qayyim, sejalan dengan perkembangan zaman saat ini, di mana pengaruh globalisasi dunia mengakibatkan kehidupan masyarakat menjadi membaur satu sama lain, yang tidak terikat dengan satu agama saja. Apabila terjadi permasalahan di antara mereka bukan suatu hal yang mustahil peristiwa dan kejadian yang terjadi itu justru disaksikan oleh orang-orang yang beragama selain Islam. Para praktisi hukum di beberapa negara Islam, pendapat Ibnu Qayyim ini banyak dipergunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, para praktisi hukum harus dapat membedakan saksi sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian, kalau syarat hukum berkenaan dengan syarat materiil dan berhubungan dengan diyanatan, sedangkan saksi sebagai alat pembuktian berhubungan dengan syarat formal yang berkaitan dengan qadlaan.162



D



U



M



Kesaksian juga dapat diberikan oleh wanita. Ada banyak nash-nash yang menjadi dalil atas kesaksian wanita, yaitu bahwa kesaksian wanita separuh dari kesaksian laki-laki. Kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki. Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 282, terhadap ayat ini para fuqaha telah mendiskusikan satu aturan umum. Yaitu satu saksi laki-laki setara nilainya dengan dua orang saksi perempuan dan karena itu laki-laki 161 162



100



Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Op.Cit., hlm. 160. Ibid., hlm. 133.



Dinamika Hukum Pembuktian



lebih unggul dari perempuan. Juga ayat ini menyebutkan dua saksi perempuan dan satu saksi laki-laki dalam kaitannya hanya dalam kontrak keuangan saja. Tidak ada penyebutan tentang kontrak-kontrak jenis lain, namun para fuqaha menyimpulkan dari ayat ini bahwa dalam masalah apa pun, baik keuangan ataupun yang lain seorang perempuan akan diperlakukan sebagai separuh saksi. Sikap yang benar pandangan ini harus diperlakukan sebagai hasil interpretasi dan kajian mereka atas surat Al-Baqarah ayat 282.163



Y



Hal ini dapat dilihat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra., Rasullulah Saw. bersabda, yang artinya: “Kesaksian dua orang wanita sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki.”



M



Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasullulah Saw. bersabda, yang artinya: “Bukankah kesaksian seorang wanita itu separuh kesaksian laki-laki? Kami menjawab: benar ya Rasullulah”.



M



Dalam memahami dalil di atas, yang penting adalah bahwa walaupun dua saksi perempuan diajukan sebagai pengganti seorang saksi laki-laki hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian fungsi yang lain tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang (karena kurangnya pengalamannya dalam masalah keuangan). Ungkapan Al-Qur’an surat AlBaqarah (2): 282 adalah:



U



“jika salah seorang di antara keduanya membuat kesalahan yang lain akan mengingatkan.164



D



Pada masa itu selalu ada kemungkinan bagi saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah keuangan karena mereka tidak berpengalaman dan bukan karena rendahnya kemampuan kecerdasan. Ayat ini harus dikategorikan sebagai ayat kontekstual dan bukan normatif. Al-Qur’an tentu saja tidak menetapkan suatu norma bahwa dalam masalah kesaksian dua orang perempuan diperlakukan sebagai setara dengan satu laki-laki. Jika itu yang dimaksudkan Al-Qur’an maka di manapun masalah kesaksian muncul, Al-Qur’an akan memperlakukan perempuan dengan cara yang sama. Namun



163 164



Ibid., hlm. 96. Ibid., hlm. 70.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



101



kenyataannya tidak begitu. Ada tujuh ayat lain tentang pencatatan kesaksian dalam Al-Qur’an, tetapi tidak satu pun yang menetapkan syarat dua orang saksi perempuan sebagai pengganti satu saksi laki-laki. Ayat-ayat tersebut antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 106, ada kalimat yang digunakan untuk dua orang saksi. Dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 6 sampai dengan ayat 9. Ayat ini berkenaan dengan masalah li’an yakni mengutuk diri sendiri jika berbicara dusta. Dari ayat ini ternyata seorang perempuan mempunyai hak untuk membatalkan kesaksian seorang laki-laki (dalam hal ini suaminya), dan bersumpah dapat memastikan suaminya sebagai pendusta. Dengan demikian, seorang perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk menjadi saksi tetapi juga hak untuk membantah kesaksian laki-laki. Di sini pengambilan sumpah dilakukan karena tidak ada saksi-saksi dan bahwa sumpah itu berlaku juga dalam hukuman hudud, walaupun para fuqaha mengatakan bahwa perempuan tidak dapat memberikan kesaksian dalam hukuman hudud. Ibnu Qayyim, seorang murid Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang perempuan jika dia dapat dipercaya dapat diterima sebagai saksi. Dia mengatakan dalam bukunya bahwa “jika perempuan tersebut sempurna ingatannya tentang apa yang dia lihat, adil dan juga cenderung religius maka hukum ditetapkan atas dasar kesaksiannya saja”.165



U



M



M



Y



Dalam hukum Islam bukti tulisan adalah merupakan satu alat bukti, selain pengakuan dan saksi, bukti tulisan merupakan akta yang kuat sebagai alat bukti di pengadilan dalam menetapkan hak atau membantah suatu hak. Pentingnya bukti tulisan berdasarkan QS Al-Baqarah (2): 282. “Hai orang orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah, telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berutang itu, mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah”.



D



Alat bukti tulisan surat dipersamakan dengan saksi, sebagaimana Nabi Muhammad, telah mengirimkan surat-suratnya kepada Raja-Raja lainnya, dan menyampaikan argumentasi melalui surat-surat, dan beliau, tidak memperlihatkan isi suratnya kepada orang yang diperintah untuk mengirimnya.



165



102



Ibid., hlm. 71.



Dinamika Hukum Pembuktian



Tidak pernah terjadi sekalipun sepanjang sejarah hidup beliau, menyerahkan surat yang telah disegelnya, dan memerintahkan untuk diserahkan ke alamat yang dituju. Karenanya penulisan wasiat, merupakan bukti tulisan. Sehingga bukti tulisan dapat dinilai oleh hakim, untuk dijadikan dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan, sehingga secara imperatif sebagai bukti yang mengikat, sehingga bukti tulisan dapat dipandang sebagai bukti yang mengikat.166



Y



Ikrar atau pengakuan, adalah menetapkan dan mengakui sesuatu hak dengan tidak mengingkarinya. Dasar hukum pengakuan adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa, (4): 135. “Wahai orang orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri”. “Dan hendaklah orang yang berutang itu, menyatakan dengan tertulis, dan hendaklah bertakwa kepada Allah, bahwa dalam pengakuannya itu tidak boleh berbohong”. QS Al-Baqarah, (2): 282. Karenanya terhadap pengakuan, dalam praktik peradilan Islam, tidak dapat dijadikan dasar yang utama. Adapun persyaratan pengakuan adalah orang yang berakal, baliq dan tidak dipaksa, serta bukan orang yang berada di bawah pengampuan. Pengakuan adalah suatu alat bukti yang terbatas, dan berlaku bagi yang memberikan pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain, walaupun dipandang sebagai alat bukti yang paling kuat, sehingga berbeda dengan saksi, persaksian mengenai orang lain dengan kaidah menyatakan.167



U



M



M



Beban pembuktian, menurut hukum Islam di Malaysia, berdasarkan pada prinsip-prinsip, hukum pidana Islam, yakni; Pertama. Ke atas siapakah beban pembuktian, terletak pada yang mendakwakan kesalahan tersangka. Kedua. Apakah tahap pembuktian diperlukan oleh pendakwa. Sehingga menurut undang-undang AKMSWP 1997, yakni yang memikul beban pembuktian adalah pihak pendakwa, sehingga menjadi tugas hakim, untuk menilainya.168



D



Hakim menurut Islam, memiliki kewenangan yang luas, dalam melaksanakan keputusan hukum dan bebas dari pengaruh siapa pun. Hakim



Ibid., hlm. 64-66. Ibid., hlm. 95-96. 168 Azam Moh. Shariff. Prosedur Pendakwaan Jenayah Syariah; Analisis Keats Peruntukan Undang-Undang di Bawah Akta Prosedur Jenayah Syariah (wilayah-wilayah Persekutuan) 1997 dan akta keterangan mahkamah syariah. Dalam Jurnal Undang-Undang dan Masyarakat. (Bangi, Selangor, D.E. Malaysia, 2011), hlm. 8. 166 167



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



103



wajib menerapkan prinsip keadilan dan persamaan terhadap siapa pun.169 Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Karenanya hakim harus menjaga segala tingkah lakunya dan menjaga kebersihan pribadinya dari perbuatan yang dapat menjatuhkan martabatnya sebagai hakim, sehingga hakim dalam persidangan, harus bebas dari pengaruh orang lain, persidangan terbuka untuk umum, tidak membedakan orang, dan selalu memberikan nasihat untuk berdamai, dan memberikan hak untuk berbicara kepada orang lain, untuk berbicara kepada orang lain yang menuntut keadilan, setiap putusannya wajib untuk bertawakkal, dan setiap putusan, berdasarkan syariat, melindungi pencari keadilan, memandang sama kepada para pihak, dan memulai persidangan dengan ucapan yang sopan.170



M



Y



Keadilan yang dikaitkan dengan hukum, dan peradilan Islam, dianggap sebagai interdependentie. Lahirnya hukum dituntut adanya rasa keadilan, terwujudnya keadilan, melahirkan teori keadilan, dan teori keadilan perlu diwujudkan dalam hukum, dan hukum harus melahirkan keputusan hukum yang mencerminkan rasa keadilan. Islam merupakan sendi yang fundamental dalam rangka penegakan supremasi hukum. Maka dalam tatanan masyarakat sangat memerlukan lembaga peradilan yang menciptakan rasa dan nilai keadilan. Lembaga peradilan merupakan tempat memutar roda keadilan guna menjaga keseimbangan hidup dalam masyarakat.171



U



M



Dengan demikian, maka terjadi banyak persamaan dalam pembuktian, dalam perkara pidana maupun perdata. Hukum Islam memandang sangat penting membuktikan dalam proses acaranya, yang digunakan oleh hakim dalam mengakhiri peristiwa hukum secara konkret.



D



J. Pembuktian dalam Hukum Adat Sebagai hukum asli bangsa Indonesia, yang tersebar di seluruh nusantara, adalah suatu fakta sejarah, bahwa kerajaan kesultanan itu, telah mengatur tata kelola Monarki dengan prinsip-prinsip hukum, guna diterapkan pada



169



219.



Makhrus Munajat. Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm.



Abdul Manan. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian Dalam Sistem Pradilan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 34-36. 171 Makhrus Munajat. Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 221. 170



104



Dinamika Hukum Pembuktian



masyarakatnya, agar masyarakat dapat secara teratur tunduk dan taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh Raja atau para Sultan. Maka hukum adat yang dikenal dalam berbagai literatur ilmu hukum, telah menentukan, bahwa sistem hukum adat memang benar berlaku pada berbagai era dan zamannya. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu, atau dalam hal bertentangan kepentingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa. sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senapas, dan seirama dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi.



Y



Hukum Adat adalah Hukum Non-Statutair, yakni. Hukum adat pada umumnya memang belum/tidak tertulis. Oleh karena itu, dilihat dari mata seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi di mana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum. Hukum Adat Tidak Statis. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Aspek Sosiologis.172



U



M



M



Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lainnya karena manusia adalah mahluk sosial dan memiliki naluri. Karena hidup manusia membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dan dari interaksi tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan didapatkan sistem nilai yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk.



D



Dari sistem nilai ini, akan melahirkan suatu pola pikir/asumsi yang akan menimbulkan suatu sikap yaitu kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat. Bila sikap ini telah berkecenderungan untuk berbuat maka akan timbul perilaku. Kumpulan perilaku-perilaku yang terus berulang dapat dilahirkan/diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman perilaku untuk bertindak. Norma-norma tersebut dapat dibagi dua, yaitu: norma pribadi yaitu



172



Laksanto Utomo, Hukum Adat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 5-7.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



105



kepercayaan dan kesusilaan; norma antar pribadi yaitu kesopanan dan hukum (sanksinya memaksa). Aspek Yuridis, yakni aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud perilaku adalah cara yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara jual beli, cara bagi waris, cara menikah, dan sebagainya. Bila ada penyimpangan atau ada sanksi namun lemah. Dari cara tersebut akan tercipta suatu kebiasaan, dan sanksi cara/usage. Kebiasaan yang berulang-ulang dalam masyarakat akan melahirkan standar kelakuan atau mores di mana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan custom yang terdiri dari adat istiadat dan hukum adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.173



Y



Alam pikiran dalam masyarakat hukum, memandang segala-galanya dalam kehidupan ini sebagai kesatuan yang homogen, di mana kedudukan manusia adalah sentral. Manusia merupakan sebagian dari alam besar (kosmos), tidak terpisah dari dunia lahir dan dunia gaib dan malahan berpadu dengan alam hewan dan tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu kesatuan, jadi segala sesuatu bercampur-baur, bersangkut-paut serta saling pengaruh memengaruhi satu sama lain.



M



M



Semuanya berada dalam suatu keseimbangan dan senantiasa harus dijaga, dan jika pada suatu saat terganggu, harus dipulihkan. Dalam hubungan ini, maka memproyeksikan delik-delik hukum adat dengan alam pikiran yang kosmis-komunalistis itu. Alam pikiran ini merupakan latar belakang delik hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat di Indonesia. Di dalam alam pikiran tradisional itu, senantiasa masyarakat hukum atau persekutuan sebagai suatu kesatuan didahulukan atau dipentingkan. Juga pemeliharaan hukum harus mementingkan persekutuan lebih dari orang-orang tertentu secara individual; ada orang-orang tertentu yang dipentingkan, diberi penghargaan lebih di hadapan hukum, hal itu di dalam hukum adat adalah disebabkan oleh kedudukannya di dalam masyarakat; jadi bertambah penting kedudukan seseorang di dalam masyarakat, lebih penting pula artinya orang itu sebagai subjek hukum di dalam masyarakat tersebut.174



D



U



Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan, bersifat materiil atau immateriil, terhadap orang 173 174



106



Ibid., hlm. 7. R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), hlm. 61.



Dinamika Hukum Pembuktian



seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan, memotong hewan besar/kecil, dan lain-lain. Sebagaimana yang telah lazim diketahui bahwa hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis, sehingga sukar untuk menentukan bilamana dan apa unsur dari suatu delik adat. Untuk menentukan suatu perbuatan merupakan delik adat atau bukan, maka hal ini tergantung dari representations collectives, yakni alam pikiran dalam masyarakat, merupakan perpaduan dari nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, selalu bersifat partisipasi dan analisis.



M



Y



Di dalam hukum adat, tidak mengenal sistem prae-existente, artinya bahwa hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran atau perbuatan kejahatan yang telah ditetapkan lebih dulu, untuk dapat dikenakan hukuman atau tindakan balasan atau perbuatan pengembalian keseimbangan. Artinya, delik hukum adat tidak mengenal semacam Pasal 1 KUHP, melainkan dipahami bahwa seluruh kehidupan ini di dalam totalitasnya, yaitu seluruh lapangan kehidupan menjadi buku terbuka yang memuat hal apa yang dilarang dan hal apa yang diperbolehkan.175



M



Dalam hukum adat, di mana hal pembuktian diatur oleh masyarakatnya, dan melalui kepala atau ketua adat, menentukan keyakinan, terhadap barang bukti dan alat bukti, yang dilakukan atau diterapkan secara sosiologis magis, sehingga menemukan suatu kesimpulan atas keyakinan berdasarkan adat istiadat.



D



U



Ada beberapa hal yang membedakan antara hukum pidana pada umumnya dengan hukum ada yang juga memiliki implikasi dalam konteks pembuktian, di antaranya: Pertama, dalam hukum pidana yang dapat dipidana hanyalah seorang manusia, sedangkan dalam hukum adat, persekutuan hukum umumnya dapat dibebani tanggung jawab pidana, seperti Batak, Minangkabau, Nias, Gayo, Ambon, dan lain-lain; Kedua, dalam hukum pidana, dikenal adanya unsur sengaja (dolus/opzet) atau khilaf (culpa/alpa), artinya orang tersebut bertanggung jawab karena adanya kesalahan. Sedangkan dalam hukum adat, sebagaimana yang juga dikatakan oleh Vollenhoven, cara pembuktian yang



175



Ibid., hlm. 62.



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



107



demikian tidak diperlukan, yakni yang berkenaan dengan adanya unsur kesengajaan atau kekhilafan. Artinya, dalam membuktikan perbuatan pidana seseorang, maka dalam hukum adat tidak perlu dibuktikan apakah dalam perbuatan tersebut terdapat unsur kesengajaan atau kekhilafan.176 Ketiga, dalam hukum pidana, seseorang yang dapat dipidana hanyalah bila ia cukup sifat psikis untuk bertanggung jawab. Sedangkan dalam literatur, terutama di daerah Minangkabau, bahwa di daerah itu seseorang yang gila dan membunuh orang, disamakan perlakuannya dengan orang biasa atau orang normal, artinya gilanya seseorang tidak memengaruhi berat ringannya daya upaya yang harus dilakukan terhadap delik yang telah dilakukan orang gila itu. Namun di daerah lain seperti Bali, menurut Dr. V. E. Korn, bahwa orang gila dan anak yang belum dewasa (8 tahun) tidak boleh dihukum, kecuali bila ia melakukan delik yang termasuk berat, yang disebut sadta taji, seperti melakukan pembakaran, meracun orang, menghina Raja, dan lain sebagainya.



M



Y



Keempat, hukum pidana tidak membedakan orang yang satu dengan yang lain, sedangkan dalam hukum adat, besar kecil kepentingan hukum seseorang sebagai individu, tergantung pada kedudukan atau fungsinya di dalam masyarakat. Misalnya di masyarakat Bugis atau Makassar, terdapat tingkattingkat (standen) di dalam masyarakat. Kelima, hukum pidana melarang orang bertindak sendiri menegakkan hukum atas perbuatan orang lain terhadap dirinya (eigenrichting = tindakan hukum sendiri atau main hakim sendiri), karena segala tindak pidana harus diselesaikan melalui pengadilan pidana, yang di dalamnya dilakukanlah serangkaian pembuktian untuk menentukan apakah seseorang terbukti sehingga dihukum, ataukah sebaliknya. Sebaliknya dalam sistem hukum adat, terdapat suatu keadaan di mana seseorang yang terkena dampak suatu perbuatan pidana, diperbolehkan bertindak sebagai hakim. Sebagai contoh, seorang melarikan gadis, melakukan zina atau mencuri. Atas perbuatan ini dia tertangkap basah, maka pihak yang merasa terkena dan mendapat malu, menurut paham adat boleh bertindak menegakkan hukum. Hal ini terdapat di antaranya di masyarakat Batak dan Minangkabau.177



D



176 177



108



U



Ibid., hlm. 68. Ibid., hlm. 69.



Dinamika Hukum Pembuktian



M



Pada dasarnya, peradilan menurut hukum adat adalah: 1. Meneruskan dengan rasa tanggung jawab pembinaan segala hal yang terbentuk sebagai hukum di dalam msyarakat. 2. Jika tidak ada ketetapan terhadap soal yang serupa/jika ketetapan dari waktu lampau ada, tetapi tidak dapat dipertahankan lagi, hakim menurut keyakinannya wajib memberikan putusan yang akan berlaku sebagai hukum di dalam daerah hukumnya. Jadi hakim harus memberi bentuk (vorm) kepada hal yang dikehendaki oleh sistem hukum, oleh kenyataan sosial dan oleh dara perikemanusiaan.



Y



Pembuktian dalam hukum adat, keberlakukannya ditentukan oleh kepala adat, yang sangat mempunyai kewibawaan, untuk dipatuhi oleh masyarakatnya, maka kepala adat sebagai pemangku adat yang berkuasa, mesti mempunyai keadilan yang berhimpitan dengan keadilan pada masyarakat adatnya. Karena itu pembuktian pada masyarakat yang dikenal pada masingmasing persekutuan adat, adalah suatu makna historis yang tersimpan dalam naskah-naskah, dan pernah diberlakukan pada masyarakatnya.



D



U



M



M



Bagian Kedua — Membuktikan dalam Ranah Peradilan Pidana



109



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BAGIAN KETIGA



JALAN BERLIKU PEMBUKTIAN PERADILAN PERDATA & NIAGA



Dalam rentang sejarah yang panjang, di mana hukum pidana dan hukum perdata, menjadi satu kesatuan, tetapi setelah perkembangan atas kebutuhan manusia, maka ilmu pengetahuan hukum, memisahkan hukum publik dan privat, dalam perbedaan yang fundamental, maka senada dengan ajaran pemisahan kekuasaan, terjadilah pemisahan doktrin dan kepentingankepentingan hukum bagi warga masyarakat. Objek dari ilmu hukum acara perdata, adalah keseluruhan peraturan, yang bertujuan untuk melaksanakan dan mempertahankan, atau menegakkan hukum perdata materiil, dengan perantaraan kekuasaan negara. Hal demikian terjadi dalam peradilan, untuk melaksanakan hukum, dalam hal konkret, adanya tuntutan hak, fungsi itu dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, yang diadakan oleh negara, serta bebas dari pengaruh apa saja, dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan untuk mencegah perbuatan yang melawan hukum. Hukum acara perdata dimulai dengan pendahuluan, yakni persiapan untuk menuju kepada penentuan atau pelaksanaan, tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai pada putusannya, dan tahap pelaksanaan terhadap putusan. Pada hakikatnya hakim perdata, hanya diminta untuk mempertimbangkan, benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Guna mengetahui hukumnya dapat ditanyakan kepada ahlinya. Pada umumnya, hukum acara perdata dimungkinkan untuk



111



melakukan penafsiran. Hakim bertindak sebagai stabilator hukum, serta harus sungguh-sungguh menguasai hukum acara perdata.1 Dalam suatu proses gugatan perdata, tugas hakim adalah untuk menyelidiki, suatu hubungan hukum, yang menjadi dasar gugatan. Adanya hubungan hukum inilah, yang harus terbukti, apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Maka pembuktian menjadi sangat penting, sebagai dasar diterima atau ditolaknya suatu gugatan. Walaupun tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi.2



Y



Hukum perdata sebagai hukum privat, tentu ranahnya, adalah mengadili atau menyelesaikan persoalan para individu dengan berbagai kepentingankepentingannya, untuk dapat menyelesaikan sengketa para pihak untuk mendapatkan keadilannya. Perjuangan keadilan dalan peradilan perdata, hanya bergantung pada kebenaran materiil, yakni suatu hal, yang sangat diyakini, atas dasar-dasar perjanjian yang telah disepakati antarindividu ataupun oleh badan hukum, juga berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, yang bermakna sangat luas, maka kebenaran atas pembuktiannya bertumpu pada hal-hal yang bersifat objektivitas atas bukti tertulis, persaksian, sumpah, pengakuan, sehingga hakim perdata, sampai pada suatu kesimpulan untuk mengakhiri perkara di pengadilan. Tentunya hakim sangat terikat pada asas-asas, yang patut dalam peradilan yang wajar dan objektif.



U



M



M



Hukum acara perdata yang baik, adalah menjamin bahwa roda pengadilan dapat berjalan lancar, agar penetapan atau keputusan pengadilan, tentang masalah hukum, dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat. Dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat dan murah. Hukum acara itu bersifat mengabdi pada kepentingan hukum materiil.3



D



Tetapi dalam praktiknya hukum acara perdata memiliki jalan berliku sendiri, tidak memandang keadilan sebagai tujuannya, tetapi lebih jauh pada pengaruh-pengaruh tertentu, yang kemudian menimbulkan problematika yang berkepanjangan.



Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 5-6. 2 Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 51. 3 Subekti. Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1982), hlm. 8. 1



112



Dinamika Hukum Pembuktian



Sumber hukum acara perdata adalah undang-undang, Tentang Mahkamah Agung. HIR, untuk Jawa dan Madura, RBg, untuk luar Jawa dan Madura. Selanjutnya sumber hukum acara perdata, dilakukan dalam Undang-undang Kepailitan, Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen. Yurisprudensi, adat kebiasaan yang dianut oleh hakim dalam melaksanakan pemeriksaan perkara perdata, termasuk Perjanjian Internasional. Doktrin. Instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung.4



Y



Pembuktian dalam hukum acara perdata, menyisahkan persoalanpersoalan yang bersentuhan dengan kepastian dan keadilan, dalam proses pemenuhannya. Maka sebagai bangsa yang merdeka, sepatutnya mempertimbangkan berbagai hal tentang pembuktian yang lebih rasional, dan selalu memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian di wilayah hukum privat, dan selalu menghindari pintu pintu belakang dalam jalan yang ditempuh, serta tetap berdasarkan pada keadilan atas dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”.



M



M



A. Pergulatan Keadilan dalam Hukum Perdata



Terhadap pergulatan di peradilan keperdataan, yang mengandalkan pembuktian secara formal, maka bukti-bukti atas akta menjadi sangat penting, dan para pihak yang dirugikan selalu berinisiatif untuk melakukan gugatan di peradilan perdata, guna capaian keadilan yang dipersengketakan, dan menegakkan hak dan kewajiban para pihak, antarindividu dengan segala konsekuensi hubungannya dalam tata pergaulan masyarakat.



D



U



Hakim perdata selalu terikat pada kepentingan-kepentingan perorangan, karena hukum perdata melindungi kepentingan dan hukum perorangan, antara penggugat dan tergugat merupakan atau memiliki batas-batas sendiri, untuk diadili oleh hakim perdata. Sehingga hakim perdata dibolehkan mengabulkan apa yang digugat, dan tidak diperkenankan untuk memenuhi apa yang tidak digugat. Maka pembuktian dalam acara perdata, hanyalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.5 4 5



Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 10-14. R. Subekti. Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 14-15.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



113



Perselisihan ataupun persengketaan keperdataan, berbasis pada gesekan pergaulan di masyarakat yang sangat bersifat pribadi, antarpergaulan dan kemudian menentukan batas-batas hak serta kewajiban yang tidak dilaksanakan, ataupun suatu keadaan-keadaan yang merugikan kepentingan para pihak. Inisiatif untuk melakukan tuntutan hak, diserahkan sepenuhnya kepada para pihak. Hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak (iudex ne procedat ex officio), Pasal 118 HIR6, 142 RBg.7



Y



Berbagai asas yang penting dari suatu permohonan gugatan para pihak, adalah bahwa pengadilan perdata tidak dibenarkan untuk menolak permohonan gugatan yang diajukan salah satu pihak, akibat dari perjanjian ataupun perbuatan melawan hukum. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, karena hukum tidak ada atau kurang jelas mengaturnya. Hakimnya harus dianggap tahu hukumnya (ius corea novit). Hakim wajib untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakatnya.



M



Dalam pemeriksaan acara perdata, hakim bersikap pasif, dimaksudkan, bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa, yang diajukan kepada hakim, untuk diperiksa pada asasnya, ditentukan oleh para pihak, yang berperkara dan bukanlah oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan. Hakim secara aktif memimpin sidang, membantu kedua pihak dalam mencari kebenaran, dan bersikap tutwuri handayani. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak dan para pihak dapat secara bebas untuk mengakhiri sengketa. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut.8



D



U



M



Pasal 118 ayat (1) HIR: “Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang Pengadilan Negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangani oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada ketua Pengadilan Negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua Pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya.” 7 Penjelasan Pasal 142 ayat (1) RBg: “Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 147, dengan suatu permohonan yang ditandatangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua Pengadilan Negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau, jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.” 8 Pasal 178 HIR: “(1) Pada waktu bermusyawarah, hakim, karena jabatannya, wajib melengkapi segala alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak; (2) 6



114



Dinamika Hukum Pembuktian



Pemeriksaan sidang di pengadilan, pada asasnya terbuka untuk umum, bermakna, bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini, yakni untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam bidang peradilan, serta untuk menjamin objektivitas peradilan, dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.9 Bilamana putusan diucapkan tidak terbuka untuk umum, maka putusan itu tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Asas ini memberikan manfaat untuk adanya sosial kontrol. Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, yang dimuat dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka peradilan dilakukan secara tertutup. Perkara perceraian, atau perzinaan, dinyatakan pintu tertutup, walaupun harus dibuka dan dinyatakan terbuka.



M



Y



Di dalam hukum acara perdata, kedua pihak, haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum, dengan tidak membedakan orang.10 Dalam pemeriksaan acara perdata, yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Audi et alteram paartem. Hal ini berarti, hakim tidak boleh menerima keterangan, dari salah satu pihak, sementara yang lain tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Penjelasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 184(1), 319 HIR, Pasal 195, 618 RBg.11



U



M



Alasan atau argumentasi itu dimaksudkan, sebagai pertanggungjawaban hakim, dari segala putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan



D



Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan; (3) Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut.” 9 Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004: “(1) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain; (2) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.” 10 Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” 11 Pasal 184(1) HIR: “Keputusan harus berisi keterangan ringkas, jelas gugatan dan jawaban, serta dasar alasan-alasan keputusan, ongkos perkara para pihak yang hadir dalam berperkara, harus disebutkan dasar undang-undang, terdapat tanda tangan hakim dan panitera.”



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



115



yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah, maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu, yang menjatuhkannya. Putusan yang tidak ada alasan, akan menimbulkan masalah subjektivitas hukum, yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum sebelumnya. Berperkara di pengadilan, pada umumnya dikenakan biaya. Biaya itu meliputi biaya kepaniteraan, biaya surat panggilan, biaya materai. Bagi setiap warga negara yang tidak mampu mengeluarkan biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo), dengan mendapatkan izin, untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu, yang dibuat oleh polisi, atau dalam praktik surat keterangan itu, cukup dibuat oleh camat, di mana domisili yang bersangkutan. Permohonan perkara prodeo akan ditolak oleh pengadilan, apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.



M



Y



HIR tidak mewajibkan, para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung, terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya, kalau dikehendakinya. Dengan demikian, hakim tetap wajib, memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan pada kuasanya. Pada hakikatnya seorang kuasa adalah Sarjana Hukum.12



U



M



Adapun prinsip-prinsip pembagian beban pembuktian dalam praktik peradilan, yakni; Pertama, yang harus dibuktikan adalah hal yang positif, maknanya di dalamnya terdapat fakta atau terkandung suatu peristiwa hukum. Kedua, hal yang negatif negatif tidak perlu dibuktikan, karenanya sesuatu yang tidak patut membebani bukti kepada tergugat mengenai hal negatif, karena tidak mungkin dapat dibuktikan hal yang tidak diketahui atau yang diperbuatnya. Ketiga, pembebanan secara profesional, bahwa masing-masing pihak dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil gugatan dan dalil bantahan. Tetapi pihak penggugat dibebani wajib bukti, bilamana tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, maka cukup beralasan untuk membebaskan tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya. Keempat, siapa yang menguasai suatu hak atas barang tidak dibebani wajib bukti. Hal ini didasarkan pada asas kepatutan. Dianggap tidak patut membebani pembuktian kepada seseorang untuk membuktikan barang yang dikuasainya,



D



12



116



Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 16.



Dinamika Hukum Pembuktian



karenanya siapa yang menguasai atau memiliki hak atas suatu barang, tidak perlu membuktikannya.13 Pembuktian merupakan masalah yang paling penting, dalam hukum acara perdata, kepada para pihak dipikulkan beban pembuktian bilamana terjadi suatu proses berperkara. Beban pembuktian dapat menimbulkan kesewenangan, terhadap pihak yang dibebani, dan memberi keuntungan gratis kepada pihak yang lain. Karenanya diperlukan pemahaman beban pembuktian, prinsip dan praktik yang berkenaan dengan penerapannya, yakni prinsip beban pembuktian, tidak bersikap berat sebelah.



Y



Makanya hakim dalam memikulkan pembebanan pembuktian harus bersikap adil sesuai dengan prinsip fair trial, dan tidak berat sebelah atau tidak bersikap parsial, tetapi imparsialitas. Menegakkan risiko alokasi pembebanan. Artinya risiko yang harus ditanggung oleh masing-masing pihak. Beban pembuktian ditujukan kepada pihak dan mendapatkan alokasi untuk membuktikan, bilamana tidak mampu membuktikan, maka risikonya adalah kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan. Beban pembuktian adalah masalah yuridis, maknanya dalam penerapan dapat diperjuangkan hingga sampai ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Adanya pedoman beban pembuktian, yakni berdasarkan undang-undang, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg,14 Pasal 1865 KUH Perdata.



U



M



M



Berdasarkan teori hak, yakni beban pembuktian bertitik tolak dan mempertahankan hak, siapa yang mengemukakan hak, wajib membuktikan haknya tersebut, berarti yang lebih dahulu memikul wajib bukti dibebankan pada, yang mengajukan mengenai haknya. Beban pembuktian, berdasarkan teori hukum, hakim harus berdasarkan pada hukum dan menjalankan peraturan perundang-undangan, setiap sengketa yang terjadi di pengadilan. Beban pembuktian berdasarkan kepatutan, maknanya memberikan keseimbangan untung dan ruginya kepada para pihak, kepatutan sebagai bagian untuk menambah atau memperkuat ketentuan hukum.15



D



M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 530-531. 14 Pasal 163 HIR: “Barang siapa yang mengatakan hak, dan mempunyai hak, atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya, atau untuk memantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau adanya kejadian itu.” 15 M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 518-535. 13



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



117



Pembuktian yang dilakukan oleh hakim dalam mengadili perkara, adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak, juga dapat dibuktikan. Karenanya yang dapat dibuktikan di depan pengadilan adalah hal-hal yang menjadi perselisihan dalam perkara perdata, meliputi bukti tulisan, bilamana bukti ini kurang cukup, maka dilihat bukti saksi, persangkaan, bilamana dianggap kurang cukup maka ditambah lagi dengan bukti sumpah. Sehingga dapat diketahui, bahwa guna mendapatkan keputusan akhir, maka hakim memerlukan fakta-fakta, tentang adanya bukti.16



Y



Hukum pembuktian adalah sebagian dari hukum acara perdata pada umumnya. Dalam praktik di pengadilan, di mana hukum pembuktian dari HIR dan RBg, maupun pembuktian dari BW. Maka dapat diketahui beberapa prinsip-prinsip yakni hal-hal yang harus dibuktikan (bewijsobject) dan hal pembagian beban pembuktian (bewijlslastverdeeling).



M



Dengan demikian, maka pembuktian merupakan tahap yang menentukan, dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian, dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan. Sehingga setidaknya ada dua unsur yang memegang peranan dalam pembuktian, yakni, Pertama, unsur alat bukti, yakni membuktikan dengan alat bukti yang sah, dan tidak boleh dengan setiap alat. Adapun alat-alat bukti menurut Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBg,17 ada lima macam alat bukti, yakni bukti tulisan/surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah. Kedua, peraturan pembuktian, dari kelima macam bukti, maka dapat digunakan sebagai alat bukti, maka peraturan perundang-undangan mengatur cara pembuatan, penggunaan dan kekuatannya, atau nilainya sebagai alat bukti.18



D



U



M



Hukum acara perdata yang bersifat nasional, belum dimulai pembahasannya, seiring dengan KUHPerdata, maka hukum acara ini, masih sepenuhnya memakai hukum perdata formiil maupun materiil, dengan nuansa kolonial. Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 9-10. 17 Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesi, (Bandung: Sumur Bandung, 1992), hlm. 101-105. 18 Bambang Sugeng dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata, (Jakarta: Prenada Media Grouf, 2011), hlm. 7. 16



118



Dinamika Hukum Pembuktian



B. Pembuktian dalam Dinamika Hukum Perdata Dinamika hukum pembuktian dalam peradilan keperdataan, selau mengacu pada asas-asas hukum acara perdata pada umumnya, tetapi tafsir atas alat dan barang bukti, memberikan suatu penilaian tersendiri, ketika proses beracara di depan peradilan, dimana pada khususnya hakim bersifat pasif, dan selalu memberikan keleluasaan, pada para pihak yang bersengketa untuk memberikan alasan-alasan yang rasional, mendasarkan pada buktibukti yang meyakinkan, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran tentang duduk perkaranya, dan memudahkan bagi hakim untuk mengakhiri sengketa dengan adil.



M



Y



Tentang beban pembuktian dalam praktik peradilan perdata, adalah adanya keseimbangan kepentingan para pihak yang berperkara demi tercapainya ketenteraman masyarakat. Asas umum beban pembuktian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 163 HIR dan 1865, 1244, 1394, 1769, 1977 (1), 252, 489, 533, 535,, 468 (2) KUH Perdata.19



M



Pembuktian dalam praktik peradilan dapat diketahui yakni;20



1. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak diajukan oleh para pihak. Hal-hal yang diajukan oleh penggugat yang tidak disangkal oleh penggugat, dapat dianggap telah terbukti. Dengan adanya pengakuan tergugat, dianggap pengakuan gugatan penggugat telah terbukti. Dalam hukum acara perdata, tidak perlu adanya keyakinan



U



KUH Perdata. Pasal 1244. Keadaan yang memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur. Pasal 1365. Pihak yang menuntut penggantian kerugian akibat perbuatan yang melanggar hukum harus membuktikan adanya kesalahan. Pasal 1394. Adanya kuitansi yang berturut-turut tanggal pembayarannya sebanyak tiga kuitansi membebaskan debitur untuk membuktikan pembayaran-pembayaran yang lebih dulu.Pasal 1769. Adanya bukti pembayaran pokok uang pinjaman dianggap terbukti telah membayar bunga dari pinjaman tersebut. Pasal 252. Seorang suami dapat menyangkal seorang anak yang lahir dari istrinya, sebagai anaknya yang sah, apabila ia dapat membuktikan bahwa dalam waktu antara 300 hari dan 180 hari sebelum lahirnya anak itu, tidak bersetubuh dengan istrinya. Pasal 489. Seorang yang menyatakan mempunyai hak yang didapat dari orang yang tidak karuan tempat tinggalnya, dan tidak karuan apakah orang itu masih hidup, maka harus dibuktikan, harus dapat dibuktikan tentang orang tersebut. Pasal 533. Seorang yang telah menguasai barang tidak perlu membuktikan iktikad baiknya, tetapi orang yang mengemukakan adanya iktikad buruk itu harus membuktikannya. Pasal 535. Seseorang yang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain, maka ia selalu dianggap meneruskan penguasaan itu, kecuali yterbukti sebaliknya. 20 Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 159-160. 19



D



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



119



hakim. Oleh pengadilan Negeri dipertimbangkan bahwa menurut hukum dan keyakinan kami, perlawanan harus ditolak. Belumlah merupakan pembuktian karena cara-cara pemindahan harta terperkara termasuk posita yang mengharuskan pembuktian dari penggugat. Adalah wewenang judex facti, untuk menentukan diterima atau tidaknya permohonan pembuktian. Sebagai contoh, keberatan yang diajukan penggugat untuk kasasi, bahwa permohonan penggugat asal untuk membuktikan, bahwa sawah perkara telah diserobot oleh tergugat asal ditolak oleh hakim yang memimpin pemeriksaan tidak dibenarkan.



Y



2. Beban Pembuktian,21 Persoalan ada tidaknya onhellbare tweespalt, adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang merupakan penghargaan dari suatu kenyataan. Hal mana menjadi wewenang sepenuhnya dari juddex facttie, karena itu tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi.22



M







Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, ganti rugi harus dibuktikan dan tergugat dalam kasasi, ini tidak dapat membuktikan hal itu, tetapi oleh karena penggugat untuk kasasi baik di muka Pengadilan Negeri maupun dalam memorie kasasinya bersedia untuk membayar ganti rugi sebesar 2% setiap bulan, maka mengenai presentasi ganti rugi ini perlu diperbaiki.23







Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara oleh sebab kesimpulan-kesimpulan oleh Pengadilan Tinggi, tidak berdasarkan pada pembuktian yang diajukan dalam persidangan sebagaimana tercantum dalam berita acara. 24 Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum acara, karena telah memerintahkan agar sita jaminan (conservatoir beslag), diangkat tanpa disertai pertimbangan.25



D



U



M



3. Bukti Tertulis,26 walaupun dalam perkara, cap dagang, tidak diperlukan peraturan perundang-undangan pembuktian di muka pengadilan biasa tidak tepat, satu affidavit, dianggap sama kuat dengan keterangan saksi di muka hakim. Ibid., hlm. 160-162. R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 1-10. 23 Ibid., hlm. 39-51. 24 Ibid., hlm. 94-106. 25 Ibid., hlm. 111-132. 26 Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 162-168. 21 22



120



Dinamika Hukum Pembuktian







Pada umumnya, dalam suatu perkara perdata, salah satu pihak meng­ ajukan suatu putusan pidana untuk membuktikan sesuatu, pihak lawan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan bukti alasan, tetapi dalam hal ini pemberian bukti pembalasan tersebut, tidaklah perlu karena faktafaktanya terang dan tidak merupakan perselisihan antara kedua pihak, sedang perselisihan paham antara pengguat untuk kasasi di satu pihak dan Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi di lain pihak, adalah mengenai kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta itu, yang menurut penggugat ia beriktikad baik.







Surat bukti pinjam uang yang diakui tanda tangannya, tetapi disangkal jumlah uang pinjamannya, dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian tertulis. Surat “patuk” pajak bumi bukan merupakan suatu bukti mutlak, bahwa sawah sengketa adalah milik orang yang namanya tercantum dalam patuk pajak bumi tersebut.







Surat-surat yang ditandatangani oleh orang-orang yang tidak cakap berbuat dalam hukum (onberkwan personen), tidak dapat diajukan sebagai alat bukti. Surat bukti yang tidak diberi materai, tidak termasuk alat bukti yang sah.27 Surat keterangan pajak bukan merupakan tanda bukti yang mutlak, karena sering terjadi bahwa pada surat keterangan pajak, masih tercantum nama pemilik tanah yang lama, padahal tanahnya sudah menjadi milik orang lain. Suatu akta perjanjian jual beli yang dilaksanakan di hadapan seorang pejabat akta tanah menurut UU No. 10 Tahun 1961, dianggap sebagai akta yang mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.



U



M



M



Y







Akta jual beli di bawah tangan yang disangkal oleh pihak lawan dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, dianggap sebagai alat bukti yang lemah. Dalam hal tanda tangan yang dibuat oleh orang yang sama, terdapat sedikit perbedaan, disebabkan oleh perbedaan jangka waktu, maka hakim dapat mengambil kesimpulan sendiri tentang suatu alat bukti, tanpa perlu mendengarkan saksi ahli.







Surat-surat bukti yang diajukan penggugat untuk kasasi, berupa keterangan keputusan desa Andir tanggal 9 Oktober 1968, yang dikuatkan oleh camat IPD, tanggal 3 Desember 1966 No. 282/18; feta form 332 A/410/69, tanggal 24 April bukan merupakan akta autentik seperti yang



D



27



Putusan MA, tgl 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



121



dimaksudkan oleh undang-undang (ptusan MA. Tgl 20 agustus 1975 No. 907K/Sip/1972). Kuitansi yang diajukan oleh penggugat sebagai bukti, karena tidak bermaterai oleh hakim dikesampingkan.



Suatu putusan hakim pidana mempunyai kekuatan bukti yang sempurna dalam perkara perdata, baik terhadap orang yang dihukum pada putusan hakim pidana, maupun terhadap pihak ketiga. Dengan membolehkan adanya pembuktian perlawanan. Apabila penggugat sudah dapat membuktikan dalil- dalilnya, maka surat-surat bukti tergugat dianggap tidak mempunyai nilai lagi.







Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain tidak dapat diterima sebagai pembuktian. Pengakuan tergugat yang dikaitkan oleh akta notaris, harus dianggap bukti cukup untuk membenarkan keadaan yang diakui tergugat itu.28







Apabila pembantah dapat membuktikan bahwa tanah sengketa dibeli oleh pembantah di depan pejabat pembuat akta tanah, dan tanah itu masih tercatat atas nama si penjual, maka pembantah adalah yang beriktikad baik.29







Apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihakpihak dalam perkara yang sudah diputuskan lebih dahulu, maka tidak ada Nebis in idem. Prinsip yang terkandung dalam Pasal 1970 BW, yakni bahwa putusan pengadilan mengenai status seseorang berlaku penuh, terhadap setiap orang dianggap juga berlaku dalam hukm adat, karena prinsip demikian pada hakikatnya melekat pada tiap putusan pengadilan yang berisikan pencantuman tentang status seseorang. 30







Surat bukti yang merupakan pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, tidak mempunyai kekuatan pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan pembuktian kesaksian).31



D



U



M



M



Y



R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit., hlm. 15-30. 29 Ibid., hlm. 176. 30 Ibid., hlm. 198- 216. 31 Ibid., hlm. 295-308. 28



122



Dinamika Hukum Pembuktian



4. Bukti-bukti Saksi,32 Bagi Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak ada keharusan untuk mendengar seorang saksi ahli berdasarkan Pasal 138(1) jo Pasal 164 HIR. Tidak ada keberatan menurut hukum untuk meluluskan permintaan salah satu pihak agar kuasa dari lawannya didengar sebagai saksi. Testominium de audite, tidak dapat digunakan sebagai bukti langsung, tetapi penggunaan kesaksian yang bersangkutan, sebagai persangkaan, yang dari persangkaan itu dibuktikan sesuatu, tidaklah dilarang.



Y



Berapa banyak saksi ahli yang harus didengar dan penilaian atas keterangan para saksi tersebut, terserah kepada kebijaksanaan hakim yang bersangkutan, dan hal ini tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi. Pengetahuan saksi-saksi yang hanya didengarnya dari orang lain, tidak perlu dipertimbangkan oleh pengadilan, sehingga keterangan-keterangan seperti itu tidak merupakan alat pembuktian yang sah. Keterangan-keterangan saksi yang hanya mengetahui tentang barang-barang sengketa dan tidak disertai dengan pengetahuan asal usul dari barang sengketa (niet metrederen van watenschap omkleed), tidak dapat dipergunakan sebagai bukti yang sempurna. Seseorang yang ada hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga, dengan salah satu pihak yang berperkara, tidak dapat menjadi saksi yang sah, tetapi hanya dapat memberikan keterangan. Saksi yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkara pengadilan dapat menguatkan atau membenarkan dalildalil pihak lawannya.



U



M



M







Keterangan saksi de audite, bukan merupakan alat bukti. Persaksian dari ibu tiri, sesuai dengan Pasal 145 (1) HIR,33 harus dikesampingkan.







Saksi bekas ipar tidak termasuk yang disebut dalam Pasal 146(1) HIR,34 sedangkan saksi keponakan ada hak untuk mengundurkan diri.



D



Teguh Samudera. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 169-172. Pasal 146 ayat (1) HIR: “yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah: (a) keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus; (b) istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai; (c) anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia lima belas tahun; (d) orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang”. 34 Pasal 146 ayat (1) HIR: “Yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian adalah: (a) saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan; (b) keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak; (c) sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.” 32 33



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



123







Bekas suami menurut hukum acara yang berlaku Pasal 172 Rbg,35 tidak boleh didengar sebagai saksi.







Keterangan tergugat yang bertentangan dengan keterangan saksi tergugat sendiri tanpa disertai bukti-bukti lain, tidak dapat dinilai kbenarannya. Tidak mempunyai nilai yuridis.







Keterangan-keterangan yang, jika dihubungkan satu sama lain, mempunyai arti dan maksud yang sama, dapat menghasilkan bukti yang sah dan penuh.







Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena keterangan saksi tidak saling menguatkan dan tidak bersesuaian.36



M



Y



5. Dugaan atau Persangkaan,37 dengan tidak menggunakan alat pembuktian berupa saling tidak disangkalnya, isi surat-surat bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Yudic facti, tidak melakukan peradilan menurut cara yang diharuskan oleh undang-undang, maka putusannya harus dibatalkan.



Dugaan Pengadilan Tinggi tentang adanya hubungan dagang tersebut, tidak sesuai dengan dugaan yang dibolehkan oleh undang-undang, karena Pengadilan Tinggi hanya mendasarkan dugaan tersebut pada keterangan keterangan saksi yang tidak sempurna dan pula saksi-saksi tersebut memberi keterangan tidak di bawah sumpah.



M



6. Pengakuan atau Dugaan,38 dalam pengakuan disertai tambahan yang tidak ada hubungannya dengan pengakuan itu, yang oleh doktrin dan yurisprudensi dinamakan gekwalificeerde bekentenis. Pengakuan dapat dipisahkan dari tambahannya.



U



Penggugat asli menuntut kepada tergugat asli, penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli kepada kedua anaknya, atas alasan bahwa sawah tersebut adalah budel warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh tergugat asli tanpa hak, yang atas gugatan tersebut, tergugat asli menjawab bahwa, sawah itu kira-kira lima belas tahun yang lalu, sudah dibeli dari penggugat asli oleh marhum suami tergugat asli.



D



Pasal 172 RBg: “Tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka: (c) suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai;” 36 R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit., hlm. 15-30. 37 Teguh Samudera. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 173. 38 Ibid., hlm. 173-174. 35



124



Dinamika Hukum Pembuktian



Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban yang tidak dapat dipisahkan (onsplitssbaar aveu), maka sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk membuktikan kebenaran dalilnya, bahwa sawah sengketa adalah milik almarhum suaminya.



Perkembangan yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR (pengakuan yang terpisah-pisah), ialah bahwa dalam hal ada pengakuan yang terpisahpisah Hakim bebas menentukan untuk pada siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian. Dalam hal pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian.39



Y



7. Bukti Sumpah,40 pengangkatan sumpah harus dilakukan oleh orang yang bersangkutan sendiri dan tidak dapat dibuktikan, oleh orang lain meskipun ahli waris. Kecuali apabila ada surat kuasa khusus untuk itu. Bahwa tergugat tidak dapat mengajukan alat-alat bukti untuk membuktikan kebenaran bantahannya, sehingga hanya sumpahlah satu-satunya, sarana untuk menggantungkan putusan dalam sengketa kedua belah pihak. Pembuktian dengan surat, dimaksudkan dengan surat adalah akta autentik, yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti, atau dimuka pejabat umum notaris. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 165 HIR,41 dan 285 Rbg, bahwa suatu-surat atau akta autentik, merupakan bukti yang sempurna bagi para pihak, ahli waris, dan orang yang mendapatkan suatu hak. Kekuasaan pembuktian tersebut, sebagai kekuatan dari keterangan notaris. Selanjutnya akta atau surat di bawah tangan Pasal 1875 BW, sama dengan surat biasa, karena tidak ditujukan khusus untuk pembuktian, hanya untuk menunjukkan sesuatu hal saja, sehingga pengadilan leluasa untuk menilainya, mesti ditambah dengan bukti lainnya.



D



U



M



M



Alat bukti tulisan mengandung segi yuridis, dengan ciri adanya tanda baca, kalimat disusun dalam suatu pernyataan, ditandatanganani oleh pihak disertai tanggal, berfungsi sebagai formalitas kausa, maksudnya surat atau akta berfungsi sebagai syarat atau keabsahan sebagai tindakan



R.Soeroso. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 Tentang Pembuktian. Op.Cit., hlm. 67-83. 40 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 176-180. 41 Pasal 165 HIR: “Surat (akte) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum, yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup, bagi kedua pihak dan ahli warisnya, dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu, dan juga tentang yang ada surat itu sebagai pemberitahuan.” 39



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



125



hukum. Berfungsi juga sebagai probationis causa, yakni surat atau akta merupakan satu-satunya alat bukti, yang sah dan membuktikan suatu hal atau peristiwa. Fungsi utama surat atau akta, adalah sebagai bukti pada urutan pertama, karena tujuan utama dari setiap surat atau akta, adalah diperuntukkan untuk bukti, maka sejak semula diperuntukkan, bilamana terjadi sengketa, guna membuktikan kebenaran transaksi dalam masyarakat. Sehingga maksud dari surat atau akta, merupakan satusatunya alat bukti, yang dapat sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Sehingga keperluan alat bukti ini merupakan dasar untuk membuktikan.



Y



Bilamana tidak sesuai dengan maksud tersebut, maka notaris dapat menolak untuk membuatkan akta yang diminta.42 Surat-surat dapat diminta oleh suatu pihak, agar diserahkan kepada hakim, penyerahan surat-surat dapat dimintakan, apabila surat itu mengenai soal yang menjadi pokok perselisihan para pihak. Bilamana ada penyangkalan terhadap surat-surat tersebut, maka hakim wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal tersebut. Apabila dalam penyelidikan, terdapat suatu sangkaan yang beralasan, bahwa surat tersebut adalah palsu atau dipalsukan, maka surat tersebut dikirimkan kepada jaksa untuk dilaksanakan tuntutan. Maka pemeriksaan perdata untuk sementara ditangguhkan. Hal ini disebabkan dalam perkara perdata bukti surat merupakan bukti yang penting dan utama.43



U



M



M



Pembuktian dengan saksi. Pembuktian dengan saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR dan Pasal 306 sampai dengan 309 RBg, serta Pasal 1895, 1902 sampai dengan Pasal 1908 BW. Pasal 168 HIR, menunjuk pada hukum adat. Pasal 1895 BW, menunjuk pada undang-undang lain, di mana terdapat ketentuan pembuktian dengan saksi tidak diperbolehkan. Hal demikian tidak begitu berarti, karena dengan dicabutnya Pasal 1896, 1899, 1900, 1901 BW, melalui Stb 1925-525, serta pencabutan Pasal 1897 BW, melalui Stb 1938-276, sehingga pembuktian dengan saksi, selalu diperbolehkan.



D



Adapun kekuatan pembuktian dengan saksi, hanya diatur dalam Pasal 169 HIR,44 atau Pasal 306 RBg atau Pasal 1905 BW. Bahwa kesaksian seorang



M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 559-565. Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. Op.Cit., hlm. 56-57 44 Pasal 169 HIR: “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada alat bukti lain, di dalam hukum tidak dapat dipercaya.” 42 43



126



Dinamika Hukum Pembuktian



saksi tidak cukup untuk membuktikan hal sesuatu. Dalam praktik diketahui, bahwa apabila beberapa orang saksi. Masing-masing menceritakan suatu keadaan yang berlainan tetapi dapat dihubungkan satu dengan yang lain, maka hakim leluasa untuk menganggap terbukti suatu keadaan-keadaan tersebut. Hakim harus percaya pada kebenaran keterangan saksi, dalam hal dua orang menentukan secara minimum. Hakim harus waspada dan bijaksana terhadap keterangan saksi, dengan mencocokannya satu dengan yang lain, bahkan memeriksa cara hidup dan kesusilaan, adat istiadat, martabat yang pada umumnya segala hal ikhwal yang dapat berpengaruh, sehingga saksi dengan keterangannya itu, dapat dipercaya atau tidak. 45



Y



Alat bukti saksi, menjangkau segala bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang-undang menentukan sendiri sengketa, hanya dapat dibuktikan dengan akta atau tulisan, maka alat bukti saksi tidak dapat diterapkan. Posisi saksi adalah menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan, dan menjadi saksi merupakan suatu kewajiban yang bersifat memaksa. Tidak selamanya sengketa perdata, dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam praktik dapat terjadi, bahwa penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan, untuk membuktikan dalil gugatan, atau alat bukti tulisan yang ada, tidak mencukupi batas minimal pembuktian, karena alat bukti tulisan yang ada, hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan.. Sehingga jalan keluarnya adalah penggugat untuk membuktikan gugatannya, dengan jalan menghadirkan saksi-saksi, yang melihat, mengalami, mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan, dan sengaja diminta, untuk hadir menyaksikan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi, sangat relevan menghadirkannya sebagai saksi, sebagaimana hal alat bukti tulisan.



D



U



M



M



Dalam perkara pidana, setiap saksi sekaligus dianggap cakap dan dapat dipaksa, berarti menjadi saksi dalam perkara pidana merupakan kewajiban hukum, dan bagi yang tidak taat, dapat dipaksa dengan jalan membawanya ke persidangan. Sedangkan dalam perkara perdata, menjadi saksi adalah kewajiban hukum, tetapi tidak imperatif dalam segala hal, karena yang wajib menyediakan saksi adalah pihak yang berperkara. Adapun syarat menjadi saksi, memenuhi syarat formal yang melekat, yakni cakap untuk menjadi saksi, tidak ada hubungan keluarga, suami atau istri, meskipun sudah bercerai. Anak yang belum cukup berusia 15 tahun, 45 Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1992), hlm. 101-105.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



127



Orang gila meskipun terkadang terang ingatannya. Orang yang berada dalam tahanan. Sedangkan syarat materiil, yakni keterangan satu saksi saja menjadi tidak sah, karenanya perlu ditambah dengan alat bukti yang lain. Selanjutnya keterangan saksi harus mempunyai landasan pengetahuan berdasarkan sebab yang diterangkannya, berdasarkan pengalaman, penglihatan, pendengaran, dan tidak diperkenankan untuk memberikan keterangan berdasarkan pada pendapat pribadi, berupa dugaan, kesan, dan tidak saling bersesuaian, ataupun saling bertentangan, adanya persesuaian antara keterangan saksi, persesuaian dengan alat bukti lain. Hal yang penting diperhatikan adalah cara hidup kesusilaan saksi menjadi sangat penting dan menjadi dasar kepercayaan, saksi yang tidak diperkenankan adalah pihak yang langsung berperkara, tidak dibolehkan utuk menjadi saksi, karena dapat dipastikan akan memihak pada dirinya sendiri. 46



M



Y



Pembuktian dengan saksi dalam praktik disebut sebagai kesaksian. Hal ini sangat penting dikaitkan dengan perjanjian-perjanjian hukum adat, karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat perjanjian, maka dalam perselisihan, para pihak mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan ke pengadilan. Saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan, karena hal itu, adalah tugas hakim. Saksi harus disumpah atau berjanji untuk memberikan keterangan yang benar. Bilamana dengan sengaja memberikan keterangan palsu, saksi dapat dituntut dan dihukum karena melakukan sumpah palsu, menurut hukum pidana.47



U



M



Persangkaan, adalah suatu kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim, ditarik dari suatu peristiwa, yang terang dan nyata. Karenanya persangkaan hanya merupakan suatu kesimpulan saja. Kesimpulan yang dijadikan alasan oleh hakim, adalah suatu hal yang layak, karena dalam pemeriksaan perdata, juga berlaku dari suatu yang belum terang, menjadi sesuatu yang terang. Persangkaan semata-mata, untuk membantu hakim, agar berhati-hati, agar hanya memperhatikan hal yang penting dan yang tepat saja. Hal demikian digunakan oleh hakim di atasnya untuk menilai kehati-hatian oleh hakim yang di bawahnya.48



D



Dalam praktik persangkaan ini, bilamana sulit ditemukan saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum yang



M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 623-682. Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. Op.Cit., hlm. 63. 48 Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 190. 46 47



128



Dinamika Hukum Pembuktian



harus dibuktikan, diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan. Persangkaan ini mirip dengan atau menyerupai petunjuk dalam hukum acara pidana. Persangkaan berarti suatu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang dianggap terbukti atau tidak terbukti, dan yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang.49 Persangkaan dirumuskan dalam pasal 1915 KUH Perdata. Alat bukti ini disebut sebagai suatu kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau oleh hakim, dari suatu peristiwa yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum diketahui.Persangkaan merupakan suatu uraian, tentang fakta fakta atau alat bukti fisik yang bersipat langsung yang diajukan diperesidangan, atau setidaknya disebut sebagai bukti langsung., dan persangkaan merupakan titik sentral dalam dalam persidangan dan berfungsi sebagai perantara, fungsi ini menghantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian kearah yang lebih konkret mendekati kepastian.



M



Y



Dalam kehidupan sehari-hari, di mana masyarakat selalu berada dalam lingkaran persangkaan, sehingga para ahli maupun praktisi, ada yang berpendapat, bahwa persangkaan (vermoden/presumtion) tidak termasuk rumpun alat bukti, lebih tepat disebut sebagai uraian, dalam arti fakta atau alat bukti fisik, yang bersifat langsung diajukan dalam persidangan, ditarik kesimpulan yang lebih konkret kepastiannya, untuk membuktikan suatu peristiwa hukum yang belum diketahui. Setidaknya persangkaan tidak dapat dikategorikan sebagai bukti langsung, ataupun fakta langsung, tetapi hanya merupakan kesimpulan yang ditarik dari bukti atau fakta langsung tersebut. Persangkaan sebagai alat bukti perantara, menjadi sangat penting dalam praktik, karena fungsinya akan menghantarkan atau menyeberangkan alat bukti dan pembuktian ke arah yang lebih konkret, mendekati kepastian. Adapun klasifikasi persangkaan, yakni persangkaan menurut undang-undang, yakni persangkaan berdasarkan pada ketentuan khusus undangundang berkenaan atau berhubungan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu, yakni yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena adanya putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap, karena adanya pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.



D



U



M



Selanjutnya persangkaan oleh hakim, hal ini berdasarkan pada kenyataan, atas pertimbangan hakim, dengan syarat-syarat adanya suatu fakta yang 49 Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Op.Cit., hlm. 70.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



129



telah terbukti dalam persidangan, cara pengungkapannya, dengan jalan menarik kesimpulan dari fakta yang sudah ada dan yang telah terbukti tersebut. Persangkaan harus dipertimbangkan oleh hakim, dengan berbagai pertimbangan dan kewaspadaan untuk menarik persangkaan, karenanya terdapat tingkat gradasi kualitas persangkaan, yakni suatu persangkaan yang benar-benar mendekati kepastian. Kekuatan nilai pembuktian persangkaan hakim, adalah bebas, yakni persesuaian yang terjalin dari fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan, dan tidak boleh memperhitungkan fakta-fakta yang bersumber dari fakta fakta yang saling berlawanan.50



Y



Pengakuan dari satu pihak. Sumber hukum pengakuan adalah Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg, Pasal 1923-1928 KUH Perdata.51 Tentang pengakuan, dapat dilakukan di muka hakim dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan. Pengakuan di muka hakim menurut Pasal 174 HIR,52



M



Pasal 311 R.Bg, Pasal 1925 BW, merupakan bukti yang sempurna, terhadap hal-hal yang diakui itu. Pengakuan dapat mengenai keadaan-keadaan yang kenyataannya diakui benar atau mengenai suatu hak, yang diakui sebagai dimiliki oleh pihak lawan berdasar atas hukum. Pengakuan suatu pihak di hadapan hakim tidak dapat ditarik kembali. Sehingga kekuatan pembuktiannya, diserahkan sepenuhnya kepada hakim, dan hakim dapat saja memakai pengakuan itu, sebatas sebagai alat pembuktian permulaan saja. Selanjutnya dapat disempurnakan dengan alat-alat bukti lainnya. Karenanya dalam praktik peradilan perdata, perlu dilihat tentang pengakuan yang dilakukan oleh penggugat, baik seluruhnya maupun sebagian, dalam jawaban juga, diketahui seolah-olah mengandung penyangkalan, semua hal-hal yang diajukan oleh penggugat, karenanya semua hal itu, harus dibuktikan oleh penggugat, dan hal-hal yang sudah diakui kebenarannya oleh tergugat.53



D



U



M



M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 683-688. HIR Pasal 174: “Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu. Pasal 176. Tiap tiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima sebagian, dan menolak sebagian, sehingga merugikan orang yang mengaku tersebut. Kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti, ternyata berbohong.” 52 HIR Pasal 174: “Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti, untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu.” 53 Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 194. 50 51



130



Dinamika Hukum Pembuktian



Pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan, mempunyai kekuatan bukti yang sempurna. Sedangkan yang dilakukan di luar sidang, kekuatan pembuktiannya diserahkan pada kebijaksanaan hakim, atau merupakan suatu bukti bebas, berarti hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian, atau disebut juga sebagai bukti permulaan.54 Sumpah. Pengertian sumpah sebagai suatu alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan dengan tujuan agar orang yang beresumpah dalam memberi keterangan, atau pernyataan itu, takut akan Tuhan bilamana berbohong. Ketakutan itulah yang mendorong untuk menerangkan yang sebenarnya.55



Y



Tentang sumpah diatur dalam Pasal 155 sampai dengan Pasal 158 dan 187 RBg serta Pasal 182 sampai dengan Pasal 185 BW. Sumpah dapat digolongkan, sumpah yang diperintahkan oleh hakim, dan yang dimohonkan oleh pihak lawan. Sumpah diyakini dapat membuktikan sesuatu hal, karena penyumpahan ini didasarkan atas kepercayaan agama yang dianutnya, bahwa seseoang yang disumpah tidak akan berbohong, kareana akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.



M



M



Kepercayaan ini menimbulkan anggapan, bahwa biasanya seseorang yang meneguhkan perkataannya dengan sumpah, akan takut melakukannya, bilamana berbohong. Karenanya perselisihan dalam perkara, harus selesai dengan penyumpahan, karenanya keterangan dengan sumpah, mestinya bersifat menyelesaikan tentang perselisihan. Adapun syarat formal sumpah dilakukan atau diucapkan secara lisan di muka hakim dalam persidangan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1929 KUH Perdata, maupun Pasal 154 (1) HIR.



D



U



Jika terjadi halangan yang sah, yang mengakibatkan pelaksanaan sumpah tidak dapat dilakukan di ruang sidang pengadilan, pengucapan dapat dilakukan di rumah orang yang harus mengangkat sumpah. Praktik peradilan memperluas penafsiran rumah menurut pasal 1944 KUH Perdata, maupun pasal 186(1) HIR, membolehkan pelaksanaan sumpah di mesjid, gereja dan klenteng. Syarat lain, pengucapan sumpah dilakukan di hadapan pihak lawan, karena bilamana hal demikian dilanggar, maka sumpah sebagai alat bukti tidak sah, dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Jenis sumpah yakni sumpah pemutus 54 Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. Op.Cit., hlm. 79-80. 55 M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 745.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



131



(deciiosoir eed), yakni sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah pihak lawan. Selanjutnya sumpah penaksir, yakni merupakan salah satu alat bukti sumpah, yang secara khusus diterapkan, untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi, atau harga barang yang digugat oleh penggugat, apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa harga barang yang dituntutnya.. Taksiran itu dilakukan melalui pembebanan sumpah penaksir.. Nilai pembuktian sumpah penaksir, bersifat sempurna, mengikat dan menentukan.56



Y



Dalam praktik sumpah ini, dapat dibebankan pada hakim dan sumpah yang dimohonkan oleh salah satu pihak. Sumpah ini dikenal juga sumpah penambah dan sumpah pemutus. Keterangan yang dikuatkan dengan sumpah bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan. Sumpah berfungsi untuk melengkapi, menambah bukti yang belum lengkap57



M



Pemeriksaan setempat. Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan setempat, walaupun secara formal tidak termasuk sebagai alat bukti, namun pemeriksaan setempat, berfungsi untuk membuktikan, kejelasan dan kepastian tentang lokasi, ukuran, dan batas batas objek sengketa. Dalam praktik, dapat dilakukan pemeriksaan setempat dengan bantuan panitera, untuk membuat berita acara, pemeriksaan persidangan dilakukan tidak di ruang sidang, tetapi dipindahkan dan dilakukan di tempat lain, yakni di tempat objek yang berperkara.



U



M



Persidangan tersebut, bertujuan untuk melihat keadaan objek perkara, dsn memeriksanya, dengan dilakukan pengukuran setiap batas, serta membuat gambar situasi tanah. SEMA No. 7 Tahun 2001, mementukan bahwa, hasil pemeriksaan setempat berfungsi memperjelas objek gugatan, guna pelaksanaan eksekusi riil, atas putusan yang dijatuhkan. Nilai pembuktian pemeriksaan setempat, melekat pada hasil pemeriksaan setempat, dijadikan sebagai keterangan oleh hakim, yang menjelaskan tentang kepastian definitif atas barang yang disengketakan. Sehingga dapat mempunyai daya yang mengikat bagi hakim, walaupun tidak mutlak. Hakim bebas menentukan nilai kekuatan pembuktiannya.58



D



Wirjono Projodikoro. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 190. Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik. Op.Cit., hlm. 77-78. 58 M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 781-782. 56



57



132



Dinamika Hukum Pembuktian



Memeriksa barang bergerak oleh hakim, pada umumnya tidak mengalami kesukaran, oleh karena barang bergerak itu mudah dibawa atau diajukan di persidangan yang berlangsung di pengadilan. Pemeriksaan barang tetap, maka hakim mengalami kesukaran dalam pemeriksaannya. Hakim dalam hal ingin memperoleh kepastian, dan tidak hanya menggantungkan kepada keterangan saksi atau surat, maka dapat diadakan pemeriksaan setempat, yang dimungkin oleh Pasal 90 RO. Dimaksudkan dengan pemeriksaan setempat, ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim, karena jabatannya, yang dilakukan di luar pengadilan, agar hakim dengan melihat sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian, tentang peristiwa peristiwa yang menjadi sengketa. Pemeriksaan setempat dalam praktik biasanya dilakukan, berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah.59



M



Y



Keterangan ahli. Pemeriksaan saksi ahli, diatur dalam Pasal 154 HIR, maupun Pasal 215-229 Rv. Pasal ini, tidak menyebutkan saksi ahli, tetapi mengangkat ahli, tetapi praktik peradilan menentukannya sebagai saksi ahli, tetapi sebenarnya disebut sebagai keterangan ahli. Maksud pemeriksaan ahli, dikaitkan dengan perkara, secara umum dipahami sebagai pengertian ahli, yakni orang yang memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu. Menurut hukum, bahwa seorang ahli itu, memiliki pengetahuan khusus di bidang ilmu pengetahuan tertentu, sehingga orang itu benar-benar kompeten.



U



M



Keahlian itu bisa dalam bentuk skill, karena hasil latihan atau hasil pengalaman, sehingga keterangannya, dapat membantu menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa. Pengajuan ahli dapat dimintakan oleh hakim, atau atas permintaan salah satu pihak. Pemeriksan ahli di persidangan, didasarkan pada keahliannya di bidang perkara yang disengketakannya, dan bukan atas dasar pengalaman, penglihatan atau pendengarannya. Menurut Pasal 154 (1) HIR,60



D



Ahli diperlukan, karena terdapat hal-hal yang belum jelas, sehingga satusatunya cara yang dianggap dapat memperjelasnya, hanya berdasarkan pada laporan atau keterangan ahli, yang benar-benar kompeten, memberi opini



Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Op.Cit., hlm. 194-195. HIR Pasal 154 (1): “Jika menurut pendapat ketua Pengadilan Negeri, perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan atau penjelasan ahli, maka karena jabatannya itu, atau katrena permintaan para pihak dapat mengangkat ahli tersebut. (2) Hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika berlawanan dengan keyakinannya.” 59 60



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



133



atau pendapat, mengenai kasus yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang dimilikinya. Adapun bentuk pendapat ahli dilakukan secara lisan, tulisan, dan disampaikan dalam persidangan, dan dikuatkan dengan sumpah. Nilai kekuatan pembuktian pendapat ahli, secara formal berada di luar alat bukti, oleh karenanya menurut hukum pembuktian, tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Karena hakim atau pengadilan, tidak wajib mengikuti pendapat ahli, jika pendapat itu berlawanan dengan keyakinannya.. Karenanya pendapat ahli tidak dapat berdiri sendiri, tempat dan kedudukannya, hanya untuk menambah, memperkuat, memperjelas permasalahan perkara, sehingga fungsi dan kualitasnya, menambah alat bukti yang sah lainnya.61



Y



Pada akhirnya suatu sengketa dalam peradilan keperdataan, akan berakhir pada keyakinan hakim, dan memformulasikan putusannya, dengan kaidah kaidah yang pasti, serta memuat berbagai dalil-dalil yang menguatkan para pihak, dan lebih jauh sangat memerhatikan berbagai pembuktian yang digelar dalam suatu peradilan yang terbuka untuk umum, serta memberikan keseimbangan yang sama, kesempatan yang sama, dalam menentuikan dan mengolah pembuktian dalam makna keperdataan. Walaupun dalam praktik masih menyisahkan problematika keadilan, yang tentu menimbulkan ketidakpuasan para pihak yang sangat subjektif.



U



M



M



C. Keyakinan Hakim dan Problematikanya



Hakim dengan segala liku-liku keyakinannya, bertugas untuk memberikan kepastian dan keadilannya, dalam memutuskan perkara para pihak, yang diyakininya benar, atas dasar pergulatan pergulatan kepentingan dalam praktik peradilan, asas-asas hukum keperdataan, serta interpretasi atas pasal-pasal sebagai alasan dari gugatan para pihak, yang kemudian diyakini kebenarannya. Maka tugas hakim berakhir dalam sengketa konkret, dan tentunya putusan hakim perdata, akan terus terbuka untuk dikaji, ditelaah oleh para pihak yang mencari keadilan, dan bahkan untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum.



D



Sebagaimana yang ditentukan menurut Pasal 178 HIR, Pasal 189 Rbg. Apabila pemeriksaan perkara selesai, maka hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan dijatuhkan. 61



134



M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 789-795.



Dinamika Hukum Pembuktian



Proses pemeriksaan dianggap selesai, apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dengan Pasal 121 HIR,62 Dibarengi dengan replik dari penggugat, maupun duplik dari penggugat, dan dilanjutkan dengan proses pembuktian dan konklusi. Semua tahap dilaksanakan maka pengadilan menyatakan selesai, selanjutnya pengadilan menjatuhkan atau pengucapan putusan. Dimaksudkan dengan putusan adalah, putusan pada tingkat pertama, yang berisi keyakinan hakim atas perkara, terhadap objek perkara yang disengketakan.63



Y



Putusan yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan, harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Bilamana putusan tidak memenuhi hal demikian, maka dapat dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemontiveerd/lnsufficient judgement. Alasan hukum itu harus berdasarkan pada pertimbangan pasal-pasal tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum. Adapun asas-asas putusan dikenal dalam hukum acara perdata, yakni; Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci (onvoldoendegemontiveerd/ insufficientjudgement).Wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Putusan harus secara total dan menyeluruh, memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan (ultra petitum partium). Maknanya hakim yang melebihi posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires, yakni bertindak melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority), sehingga putusan harus dinyatakan cacat, meskipun dilakukan oleh hakim yang beriktikad baik, maupun sesuai dengan kepentingan umum. Hakim yang memutuskan hal demikian, sama saja hakim telah melakukan pelanggaran prinsip rule of law.



D



U



M



M



Diucapkan di muka umum, dan bersifat imperatif, mengandung prinsip dan asas fair trial, pemeriksaan peradilan harus dilakukan berdasarkan proses yang jujur, sehingga proses peradilan terhindar dari perbuatan yang tercela.64



HIR Pasal 178: “Hakim karena jabatannya, melalui musyawarah, wajib mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak ditentukan oleh kedua pihak. Hakim wajib mengadili atas semua bagian dari gugatan, dan hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan keputusan, atas perkara ynga tidak digugat, atau memberikan lebih dari yang digugat.Pasal 121. Surat gugatan ditujukan kepada Pengadilan Negeri, selanjutnya ditetapka hari dan tanggal sidang, dilanjutkan dengan jawaban yang berisi tangkisan.” 63 M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 797. 64 Ibid., hlm. 797-803. 62



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



135



Tujuan suatu proses pengadilan, adalah memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. Karenanya hubungan kedua pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya, dengan maksud supaya ditaati secara sukarela, atau dipaksakan dengan bantuan alat-alat negara. Suatu putusan diambil untuk memutusi suatu perselisihan atau sengketa, sedangkan penetapan berdasarkan pada suatu permohonan, disebut juga sebagai yurisdiksi voluntair. Menurut sifatnya amar putusan atau diktum dapat dibedakan dalam tiga macam, yakni:65



Y



1. Putusan condemnatoir, yaitu amarnya berbunyi menghukum atau seterusnya. Berupa penghukuman untuk menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah, serta melakukan suatu perbuatan tertentu, meng­hentikan suatu perbuatan/keadaan, serta membayar sejumlah uang. Putusan ini memerlukan eksekusi.



M



2. Putusan declaratoir, yaitu amarnya berbunyi suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini menegaskan tentang penggugat sebagai pemilik sah atas tanah sengketa atau yang menyatakan penggugat adalah ahli waris. Putusan ini tidak memerlukan eksekusi dalam pelaksanaannya.



M



3. Putusan yang konstitutif, yaitu amarnya menciptakan suatu keadaan baru. Yakni dalam amarnya membatalkan suatu perjanjian, memutuskan ikatan perkawinan, atau pernyataan pailit.



U



Suatu putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan, yakni:66 1. Kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan kekuatan umum terhadap pihak yang tidak menaatinya secara sukarela. Kekuatan ini dinamakan kekuatan eksetorial.



D



2. Harus diperhatikan, bahwa putuan hakim itu sebagai dokumen merupakan suatu akta autentik, menurut pengertian undang-undang, sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat, tetapi juga ke luar. Artinya terhadap pihak ketiga dalam hal membuktikan, bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu, mengenai perkara yang dijatuhkan dalam putusan.



65 66



136



R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 124-127. Ibid., hlm. 128.



Dinamika Hukum Pembuktian



3. Sesuatu yang melekat pada suatu putusan hakim, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, adalah kekuatan untuk menangkis, suatu gugatan baru mengenai hal yang sama yaitu berdasarkan asas nebis in idem, yang berarti, bahwa tidak boleh dijatuhkan putusan lagi, dalam perkara yang sama. Karena itu beban pembuktian dalam hukum acara perdata, yang diperlukan untuk mengakhiri sengketa keperdataan.



D. Nilai Beban Pembuktian Hukum Perdata



Y



Keyakinan hakim perdata, selalu mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang, selalu menjadi pertimbangan, tentu dengan memberikan nilai-nilai dalam makna pembuktian, atas alat-alat dan barang barang bukti. Berbagai ragam pembuktian, serta pembagian beban-bebannya, yang mendapatkan nilai-nilai tersendiri oleh keyakinan Hakim perdata.



M



Suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian, adalah masalah pembagian beban pembuktian, karena harus dilakukan dan diterapkan secara adil dan tidak berat sebelah. Suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung.67



U



M



Dengan demikian, hakim dalam memikulkan beban pembuktian harus bersikap adil sesuai dengan prinsip fair trial dan tidak berat sebelah atau imparsialitas, bukan bersikap parsial. Dalam menegakkan risiko pembebanan, berarti risiko tersebut harus ditanggung oleh masing-masing pihak. Beban pembuktian ditunjukkan kepada pihak dan mendapatkan alokasi untuk membuktikan. Bila tidak mampu membuktikan, maka risikonya adalah kehilangan hak atau kedudukan atas kegagalan memberi bukti yang relevan. Pedoman pembagian beban pembuktian, secara tersirat telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh Pengadilan Negeri berkenaan dengan pembuktian dan menerima atau menolak menerima alat-alat bukti dalam perkara perdata.68 Berdasarkan teori hak yang beban



D



R. Subekti. Hukum Pembuktian. Op.Cit., hlm. 19. Pasal 163 HIR; “Barangsiapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak, atau mengajukan suatu peristiwa (feit) untuk menegaskan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain haruslah membuktikan tentang adanya hak atau peristiwa tersebut.” 67



68



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



137



pembuktiannya bertolak belakang dan dapat mempertahankan hak bahwa yang mengemukakan hak tersebut wajib untuk membuktikannya, berarti yang terlebih dahulu memikul wajib bukti akan dibebankan mengenai pengajuan haknya.69 Dalam perspektif keadilan, maka jelas pula betapa berat tugas yang diemban pengadilan untuk menjaga kepentingan kedua belah pihak/para justiciable, agar kedua belah pihak itu tidak ada yang dirugikan. Tugas ini harus benar-benar dijalankan oleh hakim dengan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak, untuk mengajukan alat bukti secara bebas dan memuaskan. Beban pembuktian haruslah berjalan secara objektif, adil dan seimbang agar masing-masing dapat membuktikan sesuatu yang benar dan dimungkinkan pula seseorang dapat membuktikan apa yang tidak benar. Berkaitan dengan itu, maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat diberikan kepada penggugat, tergugat ataupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Prinsip utama yang digunakan bahwa barangsiapa yang mendalilkan sesuatu, maka ia wajib membuktikannya.70



M



M



Y



Pembuktian yang dilakukan oleh hakim dalam mengadili perkara perdata, adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihakpihak yang berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang dapat dibuktikan, adanya suatu hak juga dapat dibuktikan. Oleh sebab itu, hal-hal yang dapat dibuktikan di depan pengadilan adalah hal-hal yang menjadi perselisihan dalam perkara perdata, yang dibuktikan dengan alat bukti yang meliputi bukti tulisan. Bila bukti ini dipandang kurang cukup, maka akan dilihat bukti saksi persangkaan atau ditambah lagi dengan bukti sumpah. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan keputusan akhir, hakim memerlukan fakta-fakta tentang adanya pembuktian tersebut.71



D



U



Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara karena dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan dari hasil pembuktian tersebut. Ada dua unsur yang memegang peranan dalam pembuktian:



Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm. 108. 70 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), hlm. 99. 71 Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian. Op.Cit., hlm. 109. 69



138



Dinamika Hukum Pembuktian



1. Unsur alat bukti, yakni membuktikan dengan alat bukti yang sah dan tidak boleh dengan setiap alat. Menurut Pasal 146 HIR dan Pasal 1866 BW, telah dijelaskan bahwa ada lima macam alat bukti, yakni bukti tulisan/surat, bukti saksi, bukti persangkaan, bukti pengakuan, dan bukti sumpah. 2. Peraturan pembuktian yang dapat digunakan sebagai alat bukti, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur cara pembuatan, penggunaan, kekuatannya, atau nilainya sebagai alat bukti.72



Y



Dalam peradilan perdata, maka masing-masing alat bukti yang diajukan oleh para pihak memiliki kekuatannya masing-masing, yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun kekuatan alat bukti terdiri dari:



M



1. Bukti lemah. Dalam hal ini, alat bukti yang diajukan penggugat maupun tergugat sangat lemah, sehingga sedikitpun tidak memberikan pembuktian, serta tidak memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk menerima dalil-dalil gugatan, artinya alat bukti ini hanya mempunyai daya bukti permulaan (kracht van begin bewijs). Karena nilai kualitatif alat bukti yang ditampilkan belum tercapai oleh karenanya gugatan harus ditolak dan penggugat sebagai pihak yang kalah. Jelaslah bahwa alat bukti permulaan saja tidak dapat menjadi dasar hakim bagi penerimaan suatu gugatan.



M



2. Bukti sempurna. Hal ini terjadi ketika dalam suatu perkara, salah satu pihak memiliki dan mengajukan alat bukti berupa akta autentik yang dibuat oleh seorang notaris serta mengajukan sertifikat hak milik tanah atas namanya. Maka bukti-bukti autentik tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang sempurna. Bukti sempurna itu artinya pihak yang memiliki surat autentik itu tidak perlu lagi melengkapi pembuktiannya dengan alat bukti lain yang derajatnya lebih lemah dari dokumen autentik itu. Dengan alat bukti sempurna itu dapat membantu para hakim dan menambah keyakinan yang cukup bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Dengan demikian, bukti sempurna mengakibatkan suatu pendapat hakim bahwa tuntutan penggugat benar dan harus diterima, kecuali tergugat dengan bukti sangkalannya (tegen bewijs) berhasil mengemukakan alat bukti yang berdaya bukti cukup guna menyangkal apa yang dianggap oleh hakim telah benar.73



D



72 73



U



Ibid. Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Op.Cit., hlm. 114.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



139



3. Bukti pasti/menentukan (Beslissend Bewijs). Jenis alat bukti yang pasti hampir mirip dengan alat bukti yang sempurna. Jika dalam alat bukti yang sempurna masih bisa diadakan penyangkalan, maka dalam alat bukti yang pasti ini tidak ada upaya untuk mengajukan sangkalan. Misalnya jika seorang anak mengajukan gugatan harta warisan dengan dalil bahwa dirinya sebagai anak atau ahli waris dengan mengajukan bukti akta kelahiran. Maka akta kelahiran yang dibuat oleh Kantor Catatan Sipil tidak terbantahkan lagi dengan alat bukti lain tentang kedudukannya sebagai anak sah dan berhak mewarisi harta warisan orang tuanya. Pembuktian dengan alat bukti pasti/menentukan, mengakibatkan bagi penggugat atau tergugat yang mengemukakan alat bukti tersebut, berada dalam suatu posisi yang tidak dapat diganggu gugat lagi. Dengan demikian, tuntutan yang diajukan dianggap benar, beralasan dan dapat diterima. Peluang pihak lawan untuk mengajukan bukti sangkalan tidak ada lagi.74



M



Y



4. Bukti yang mengikat (Verplicht Bewijs). Dalam suatu perkara acap kali hakim memiliki keraguan atas alat-alat bukti yang diajukan oleh penggugat maupun tergugat. Maka kemudian hakim memerintahkan salah satu pihak untuk mengucapkan sumpah pemutus. Sumpah pemutus (decissoir) mempunyai daya bukti mengikat, oleh karenanya hakim wajib untuk menyesuaikan keputusannya dengan pembuktian tersebut.



U



M



5. Bukti sangkalan (Tengen Bewijs). Bukti sangkalan adalah alat bukti yang digunakan dalam bantahan terhadap pembuktian yang diajukan oleh lawan dalam persidangan. Pembuktian ini bertujuan untuk menggagalkan gugatan pihak lawan. Pada prinsipnya segala bukti dapat dilemahkan dengan bukti sangkalan, kecuali undang-undang sendiri secara tegas melarang diajukannya suatu alat bukti sangkalan, misalnya terhadap sumpah pemutus (sumpah decissoir) yang diatur dalam Pasal 1963 KUH Perdata.75



D



Kesemua beban-beban pembuktian, akan mendapatkan penilaian, atas ukuran-ukuran yang adil, sehingga hakim akan sampai pada alasan-alasan hukum formal, dan akan mempunyai alasan-alasan, setelah meyakini berbagai perhelaan di depan pengadilan, dengan berbagai fakta-fakta yang dipotret, guna mendapatkan objektivitas dalam putusannya. 74 75



140



Ibid. Ibid., hlm. 115.



Dinamika Hukum Pembuktian



E. Pembuktian Peradilan Niaga Ragam peradilan perdata, yang sangat khusus, di antaranya adalah peradilan niaga atau dikenal juga sebagai peradilan kepailitan, di mana dalam beberapa hal sistem pembuktiannya sama dengan hukum acara perdata, adapun bagian khususnya ditentukan oleh perundang-undangan.



Y



Salah satu hal yang baru dan merupakan andalan dari UUK-PKPU adalah diintrodusirnya pengadilan khusus (pengadilan perdata khusus) dengan hakim-hakim khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara-perkara di bidang perniagaan, termasuk tidak terbatas pada pemeriksaan perkara kepailitan.76



M



Sebagai pengadilan yang bersifat sangat khusus, hal mana mengadili sengketa-sengketa perniagaan, bahkan tentang utang-piutang dalam arti yang sangat luas, dengan syarat-syarat pengajuannya sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Pengadilan Niaga, adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan umum, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap perkara kepailitan, Penundaan dan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), serta sengketa-sengketa komersial lainnya seperti sengketa di bidang kekayaan intelektual (HKI) dan sengketa dalam proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).



U



M



Sesuai dengan penjelasan atas Pasal 284 ayat (1) UUK-PKPU, maka Ketua MA mempunyai kewajiban untuk membimbing dan mengawasi jalannya peradilan niaga ini agar terpenuhinya prinsip-prinsip hukum dari peradilan niaga sebagai berikut:



D



1. Prinsip Kesinambungan. Dalam hal ini Ketua Mahkamah Agung harus menjamin terselenggaranya persidangan secara berkesinambungan; 2. Prinsip Persidangan yang Baik. Yang dimaksud adalah tersedianya prosedur peradilan niaga yang cepat, efektif, dan terekam; 3. Prinsip Putusan Baik. Dalam hal ini kepada masyarakat pencari keadilan harus tersedia putusan yang tertulis dengan memuat pertimbanganpertimbangan yang cukup yang mendasari putusan yang bersangkutan; 76 Erna Widjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Jalur, 2014), hlm. 88.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



141



4. Prinsip Kearsipan yang Baik. Untuk itu setiap putusan harus diberi arsip dengan baik dan diterbitkan secara berkala;77 Hakim pada Pengadilan Niaga adalah hakim-hakim yang secara khusus diberi tugas untuk memeriksa dan memutus permohonan kepailitan atau perkara perniagaan tertentu. Pada Pengadilan Niaga, diinginkan ada hakim ad-hoc yang diangkat presiden atas usul Mahkamah Agung. Dalam putusan pailit, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas yang bertugas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Bagi seorang hakim pengawas memberikan putusan terhadap permohonan-permohonan yang diajukan oleh kurator dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap asset/harta pailit.78



M



Y



Adapun perkara-perkara yang merupakan bagian dari ruang lingkup Pengadilan Niaga adalah: (a) Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);79 (b) Perkara di bidang Hak Kekayan Intelektual yang terdiri dari: Desain Industri;80 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;81 Paten;82 Merek:83 Hak Cipta:84 (c) sengketa dalam proses likuidasi dan tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.85



M



Pengadilan Niaga yang pertama kali dibentuk adalah Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1998 berdasarkan Pasal 306 Undang-



U



Erna Widjajati, Hukum Perusahaan dan Kepailitan. Op.Cit., hlm. 89. Ibid. 79 Pasal 1 angka (7) UU Nomor 37 Tahun 2004: “Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum,” 80 Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2000: “Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 4 kepada Pengadilan Niaga.” 81 Pasal 30 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2000: “Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atau Pasal 3 kepada Pengadilan Niaga.” 82 Pasal 117 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2001: “Jika suatu Paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak berdasarkan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, pihak yang berhak atas Paten tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Niaga.” 83 Pasal 51 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2001: “Keberatan terhadap keputusan penghapusan pendaftaran Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga.” 84 Pasal 56 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002: “Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.” 85 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 77 78



D



142



Dinamika Hukum Pembuktian



Undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 4 Tahun 199 tentang Kepailitan.86 Selanjutnya secara berturut-turut dibentuk di empat kota besar lainnya yakni di Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan. Kini peradilan niaga, menjadi suatu model peradilan yang sudah biasa, dan semakin matang, karena kekhususannya dalam praktik peradilan, dan menjadi kebutuhan para pihak yang mengalami sengketa dagang, selain perdilan keperdataan umumnya. Walaupun dinamika peradilan niaga, selalu menjadi tumpuan tentang akses keadilan yang sangat formal.



F. Dinamika Pembuktian Peradilan HAKI



M



Y



Pembuktian pada Peradilan Haki, sesungguhnya, adalah bagian dari sistem pembuktian dalam kaidah hukum acara perdata, yakni memerhatikan pada kebenaran materiil. Dengan adanya beberapa perubahan-perubahan yang ditentukan oleh perundang-undangan.



Perubahan yang sangat penting dalam sistem peradilan di Indonesia di bidang Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property right), atau yang biasa dan selanjutnya disebut HaKI dalam tulisan ini, adalah dibentuknya Pengadilan Niaga yang dapat menyelesaikan sengketa perdata di bidang HaKI. Penyelesaian sengketa perdata di bidang HaKI melalui Pengadilan niaga dengan hakim-hakim yang khusus merupakan hal yang baru yang dapat diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tepat waktu dengan tetap menjunjung tinggi penegakan hukum dan bersikap adil serta dapat memenuhi harapan masyarakat. Dalam Undang-undang HaKI telah mengatur time frame untuk kepastian hukum dalam interval waktu penyelesaian sengketa. Hal ini guna untuk mengimplimentasikan hasil kesepakatan-kesepakatan internasional di bidang HaKI yang diikuti oleh Indonesia. Kesepakatan internasional merekomendasikan bahwa penyelesaian sengketa di bidang HaKI harus dilakasanakan dalam waktu yang singkat.87



D



U



M



Pasal 306 UU No. 37 Tahun 2004: “Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.” 87 Tri Rusti Maydrawati, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Kekayaan Intlektual (HaKI) Di Pengadilan Niaga, Jurnal YUSTIKA Volume 7 Nomor 2 Desember. 2004, hlm. 415. 86



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



143



Indonesia telah mempraktikkan kesepakatan itu, di mana dalam penyelesaian sengketa di bidang HaKI diselesaikan melalui Pengadilan Niaga. Pengadilan Niaga adalah pengadilan khusus yang mengadili permasalahan dalam bidang ekonomi dan bisnis. Tidak seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Niaga mempunyai tahap penyelesaian yang lebih cepat karena terdapat pemangkasan tahapan. Tahapan yang dipangkas adalah tahap banding. Dalam Pengadilan Niaga tidak dikenal upaya banding, akan tetapi langsung upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Selain itu juga, tiap tahapan dalam penyelesaian sengketa terdapat limitasi waktu atau yang disebut dengan time frame, misalnya dari awal memasukkan perkara sampai dengan putusan di Pengadilan Niaga diberikan waktu 90 hari untuk Hak Citpa dan Merek dan 180 hari atau setengah tahun untuk paten.



M



Y



Ketentuan tersebut memberikan gambaran bahwa sistem penyelesaian sengketa bisnis melalui litigasi telah menganut asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Oleh karenanya tentu para hakim dituntut untuk lebih profesional dalam penanganan kasus di bidang bisnis ini. Selain itu alasan pemangkasan proses penyelesaian sengketa di bidang HaKi karena HaKI juga mempunyai limitasi waktu perlindungan. Misalnya Merek dilindungi hanya 10 tahun, paten biasa 20 tahun, paten sederhana hanya 10 tahun. Jika penyelesaian sengketa yang berlarut-larut maka tentu para pihak tidak akan merasa kebutuhannya untuk memproleh keadilan terpenuhi, meskipun sudah ke pengadilan tapi jika prosesnya lama tentu para pihak, dalam hal ini adalah pengusaha, akan berpikir seribu kali untuk menyelesaikan permasalahannya melalui Pengadilan Niaga. Dunia bisnis adalah dunia yang berpacu dengan waktu untuk meraih keuntungan sehingga diperlukan pengadilan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itulah maka pengadilan diharapkan menyelesaikan permasalahan dalam kurun waktu yang sesingkat-singkatnya.



D



U



M



Pengadilan Niaga merupakan salah satu produk reformasi hukum kepailitan di Indonesia. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat, termasuk juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, terutama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) pengadilan umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga. Saat ini



144



Dinamika Hukum Pembuktian



perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan untuk memeriksa masalahmasalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam masing-masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga di luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene Indonesisch Reglement/Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG).88



M



Y



Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitan dan paket UU tentang HaKI. Berkenaan dengan kepailitan, maka Pengadilan Niaga mempunyai kekhususan, yakni: (1) pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung;89 (2) jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 60 hari;90 (3) jangka waktu penjatuhan putusan kasasi di Mahkamah Agung harus diputus dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari, sejak Mahkamah Agung menerima Permohonan Kasasi;91 (4) jangka waktu penjatuhan putusan kasasi di Mahkamah Agung harus diputus dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari, sejak Mahkamah Agung menerima Permohonan Kasasi.92



D



U



M



Pasal 299 UU No. 37 Tahun 2004: “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.” 89 Pasal 11 UU No. 37 Tahun 2004: “(1) Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung: (2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.” 90 Pasal 8 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004: “Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.” 91 Pasal 13 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004: “Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.” 92 Pasal 14 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 berlaku mutatis mutandis bagi peninjauan kembali.” 88



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



145



Berkaitan dengan hukum acara di bidang kepailatan, maka merujuk Pasal 284 UU Kepailitan menyebutkan bahwa sepanjang tidak ditentukan dalam undang-undang ini, maka yang berlaku adalah hukum acara perdata (HIR/ RBg). Pengaturan tentang kekhususan hukum acara Pengadilan Niaga sampai saat ini belum dilakukan secara tegas dan khusus. Hukum acara Pengadilan Niaga yang ada saat ini terpisah-pisah sesuai dengan objek sengketa yang diajukan. Sampai saat ini, ada dua masalah dan dua UU yang mengatur tentang penunjukan Pengadilan Niaga sebagai lembaga penyelesaian sengketa, yaitu UU tentang Kepailitan dan paket UU tentang HaKI Kekhususan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah: 6 (1) pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hokum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung; (2) jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu 30 hari 7; (3) jangka waktu Kasasi di Mahkamah Agung adalah selama 34 hari. Dalam hukum acara perkara kepailitan terdapat terobosan waktu berperkara yang sangat cepat.



M



M



Y



Dari waktu yang biasanya dua sampai dengan empat tahun berperkara melalui Pengadilan Negeri (dari gugatan di Pengadilan Negeri sampai dengan upaya khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung), turun drastis menjadi 154 hari. Dengan perincian; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan kepailitan di tingkat Pengadilan Niaga; maksimal waktu 30 hari untuk memutuskan permohonan Kasasi di tingkat Kasasi; dan maksimal 30 hari untuk memutuskan permohonan upaya hukum khusus Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Selebihnya adalah perhitungan waktu pendaftaran permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali.8 Namun dalam beberapa kasus, para hakim niaga, khususnya majelis hakim tingkat Mahkamah Agung tampaknya kurang memperhatikan jangka waktu tersebut, seperti dalam beberapa putusan, majelis hakim kasasi ataupun Peninjauan Kembali memberikan putusan pailit melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa akibat hukum apa pun.93



D



U



Contohnya adalah kasus Bank Niaga Tbk. Cs lawan Dharmala Agrifood Tbk. No. 7/K/N/1998. Dalam perkara ini Majelis Hakim Kasasi memutuskan permohonan kasasi tersebut dalam waktu 40 hari. Jawaban majelis hakim terhadap keberatan yang diajukan pemohon kasasi terhadap ketidakdisiplinan waktu tersebut adalah: “Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan karena tidak ada sanksi hukum yang menentukan bahwa putusan menjadi tidak sah, batal atau dapat dibatalkan apabila putusan kasasi diucapkan melampaui jangka waktu 30 hari...” Tentu saja ketidakpatuhan terhadap ketentuan tersebut 93



146



Dinamika Hukum Pembuktian



Pembuktian untuk perkara kepailitan di Pengadilan Niaga lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu bersifat sederhana. Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 UUK, yang menyatakan bahwa debitur dapat dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitur tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya. Sifat pembuktian yang sederhana dapat digunakan hakim niaga sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit yang diajukan kepadanya. Hakim dapat menyatakan bahwa perkara yang diajukan itu adalah perkara perdata biasa. Jika suatu perkara dikategorikan hakim niaga sebagai perkara yang pembuktiannya berbelit-belit, maka hakim dapat menyatakan bahwa kasus itu bukan kewenangan Pengadilan Niaga, melainkan Pengadilan Perdata.



M



Y



Sistem pembuktian yang sederhana pada perkara kepailitan dirasakan tidak dapat diterapkan pada Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa HaKI, sehingga jangka waktunya diperpanjang. Namun dalam kenyataannya, untuk beberapa kasus perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga, pembuktiannya pun tidak sesederhana seperti yang seharusnya.11 Pada perkara kepailitan, yang dibuktikan hanyalah kebenaran tentang ada atau tidaknya suatu “utang” yang dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak permohonan pailit yang diajukan ke Pengadilan Niaga. Pada praktiknya, kebenaran yang akan dibuktikan pada beberapa kasus kepailitan adalah kebenaran tentang hubungan hukum yang menyebabkan terjadinya permasalahan hukum yang perlu diselesaikan secara adil, bukan untuk dipailitkan.



D



U



M



Berkerkaitan dengan pembuktian pada perkara HaKI. Kini terdapat lima UU HaKI yang mengatur gugatan pembatalan pendaftaran yang harus yang sesungguhnya diperintahkan UUK terhadap status pailit suatu debitur yang berupa Perseroan Terbatas akan memengaruhi perdagangan sahamnya di Bursa Efek, baik Bursa Efek Jakarta maupun Surabaya. Sebab, saham perusahaan debitur yang dipailitkan tersebut, sampai saat jatuhnya putusan masih diperdagangkan di kedua Bursa Efek tersebut. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar isi UUK adalah khusus mengenai hukum acara kepailitan. Untuk itu, perlu kejelasan mengenai ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut, apakah harus diatur tersendiri, ataukah bab ketiga tentang Pengadilan Niaga harus dikeluarkan dari sistematika UUK. Hal ini berkaitan erat dengan amanat perluasan kompetensi Pengadilan Niaga sebagaimana tercantum dalam Pasal 280 ayat 2 UUK.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



147



diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal tergugat. Namun dalam lima UU tersebut, tidak ada satu pasal pun yang mengatur pembuktian seperti yang terdapat pada HIR dan RBg. Dalam hukum acara tertulis, setelah replik dan duplik diterima, hendaknya majelis hakim mempertimbangkan untuk menerima atau tidak gugatan tersebut, kemudian mengeluarkan putusan akhir. Namun apabila masih belum jelas dan perlu ada pembuktian, maka para pihak yang bersengketa diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti.



Y



Dalam penyelesaian perkara HaKI di Pengadilan Niaga, peraturanperaturan tersebut tidak berlaku. Hal ini mengakibatkan timbulnya ketidakjelasan, sehubungan dengan adanya bukti yang berbentuk faksimile, mikro film, internet, multi media lain dan sebagainya. Selain itu terdapat ketentuan mengenai Penetapan sementara merupakan mekanisme baru dalam paket UU HaKI, sebagai pelaksanaan dari Article 50 Trade Related Intelectual Property (TRIPs), yang dikenal dengan istilah “injunction”. Sebagai contoh, jika ada pihak yang merasa Hak Desain Industrinya dilanggar, maka sebelum perkaranya disidangkan di pengadilan, yang bersangkutan dapat meminta hakim melarang barang yang dianggap mengandung unsur pelanggaran tersebut memasuki pasar. Dalam hal ini, hakim dalam waktu 30 hari harus mengambil keputusan, apakah telah terjadi pelanggaran hak atau tidak. Kalau hakim berpendapat telah terjadi pelanggaran hak, maka hakim menetapkan larangan terhadap barang tersebut untuk memasuki pasar. Sebaliknya, atas permintaan penetapan sementara yang terbukti terjadi pelanggaran hak, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Namun ketentuan tentang penetapan sementara ini tidak mengatur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara.94



D



U



M



M



Sebenarnya keterangan yang diberikan oleh pihak yang terkena tindakan penetapan sementara sebagaimana tersebut di atas dapat diartikan pula bahwa pihak tersebut diberi kesempatan untuk mengajukan bantahan (verzet) terhadap penetapan sementara dimaksud. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, maka dalam hal penetapan sementara dibatalkan, termohon dapat



Pasal 126 Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa: “Dalam hal penetapan sementara tersebut telah dilakukan, para pihak harus segera diberi tahu mengenai hal itu, termasuk mengenai hak untuk didengar bagi pihak yang dikenai penetapan sementara tersebut”. 94



148



Dinamika Hukum Pembuktian



menuntut ganti rugi kepada pihak yang meminta penetapan sementara tersebut. Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka menunjukkan bahwa proses bantahan atau perlawanan (verzet) secara implisit diatur pula di dalam ketentuan Undang-undang HaKI.



G. Prinsip Keadilan dalam Kepailitan



Y



Bila ditelusuri secara lebih mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Di dalam bahasa Prancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa Prancis disebut lefailli. Untuk arti yang sama dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failliet. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal istilah “to fail”, dan di dalam bahas Latin dipergunakan istilah “fallire”. Pailit di dalam khazanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utangutangnya. Hal ini tercermin di dalam Pasal ayat (1) Peraturan Kepailitan (PK), yang menentukan: “Pengutang yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas pelaporan sendiri maupun atas permohonan seorang penagih atau lebih, dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.95



U



M



M



Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditorkreditornya (orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan dapat diartikan sebagai suatu penyitaan semua aset debitur yang dimasukkan ke dalam permohonan pailit. Debitur pailit tidak serta-merta kehilangan kemampuannya, untuk melakukan tindakan hukum, tetapi kehilangan untuk menguasai dan mengurus keyakinannya yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan kepailitan itu. Pengertian kepailitan secara definitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-undang Kepailitan. Namun, para sarjana hukum kebanyakan memberikan definisi kepailitan dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai pasal di dalam undang-undang itu sendiri.



D



95 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia. (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013), hlm. 23.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



149



Pengertian kepailitan secara definitif tidak ada pengaturannya atau penyebutannya di dalam Undang-undang Kepailitan. Namun, para sarjana hukum kebanyakan memberikan definisi kepailitan dari berbagai sudut pandang dan dari berbagai pasal di dalam undang-undang itu sendiri. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang-orang yang berutang) untuk kepentingan semua kreditor-kreditornya (orang-orang berpiutang). Pengertian kepailitan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.



Y



Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1),96 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kreditor dalam ayat ini adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Dari definisi di atas tampak bahwa kepailitan merupakan perbuatan yang berbentuk penyitaan maupun eksekusi terhadap harta debitur untuk pemenuhan kepada debitur. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit adalah debitur telah berhenti membayar utangnya, bukan karena tidak sanggup. Dengan kata lain, berhenti karena debitur tidak berkeinginan untuk membayar utangnya.97



U



M



M



Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kepailitan dikenal dua prinsip utama, yakni prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrecht). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur, baik yang berupa barang yang bergerak maupun barang tidak bergerak ataupun harta yang sekarang telah dimiliki debitur dan barang-barang pada kemudian hari akan dimiliki debitur terkait kepada penyelesaian kewajiban debitur. Adapun prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka,



D



Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” 97 Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 25. 96



150



Dinamika Hukum Pembuktian



kecuali apabila di antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.98 Dalam hukum kepailitan Indonesia, prinsip paritas creditorium dianut dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Hal tersebut termuat dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseroan.99 Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan.100



M



Y



Di samping dua prinsip di atas, dikenal juga beberapa prinsip-prinsip hukum lainnya dalam kepailitan dalam berbagai sistem hukum, di antaranya adalah:



M



1. Prinsip Structured Creditors, adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya masingmasing. Dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam: (1) kreditor separatis; (2) kreditor preferen; (3) kreditor konkuren. Pembagian kreditor menjadi tiga klasifikasi tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditor pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata umum pembedaan kreditor hanya dibedakan dari kreditor preferen dengan kreditor konkuren, namun ketiga kreditor tersebut diakui eksistensinya.



D



U



2. Prinsip Utang. Dalam proses acar kepailitan konsep utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi Beni Ahmad Saebani dan Dewi Mayaningsi, Perbandingan Hukum Perdata, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), hlm. 346. 99 Pasal 1131 KUH Perdata: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatanperikatan perorangan debitur itu.” 100 Pasal 1132 KUH Perdata: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.” 98



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



151



kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utangutangnya terhadap para kreditornya. Dengan demikian, utang merupakan raison d’etre dari suatu kepailitan.



H. Struktur Pembuktian dalam Peradilan Arbitrase



Y



Pengadilan bukanlah satu-satunya cara yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan sengketa, karena selain melalui pengadilan ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa yang populer dengan sebutan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)/Alternatif Dispute Resolution (ADR).101



M



Definisi atau pengertian yang jelas dan konprehensif tentang apa yang dimaksud dengan lembaga APS, bukanlah hal yang mudah. Di antara pengertian tersebut adalah; Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas, dan meniadakan pemeriksaan berlarut-larut.



M



Istilah Arbitrase berasal dari kata Arbitrate (latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.102 Penggunaan kata kebijaksanaan apabila dihubungkan dengan arbitrase dirasa kurang tepat, karena asumsinya arbiter dalam menyelesaikan sengketa hanya berdasarkan pada kebijaksanaan tanpa memerhatikan norma-norma hukum. Hal ini jelas salah, karena arbiter menerapkan hukum sebagaimana juga hakim di pengadilan dalam memutus perkara. Sehingga seorang arbiter juga memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang menang dan yang kalah.103



D



U



Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” 102 Menurut Blacks Law Dictionary (terjemahan): “Arbitrase. Referensi dari sengketa bahwa pihak (ketiga) yang tidak memihak dipilih oleh para pihak yang sepakat didepan untuk mematuhi putusan arbiter setelah sidang yang sebelumnya para pihak diberikan kesempatan untuk didengar. Kesepakatan untuk mengambil dan mematuhi putusan dari orang yang dipilih dalam menyelesaikan sengketa, daripada membawanya ke persidangan, dan dimaksudkan untuk menghindari formalitas, penundaan, biaya dan frustasi dari litigasi yang biasa. 103 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999; “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. 101



152



Dinamika Hukum Pembuktian



Di Indonesia sendiri terdapat lembaga/badan independen bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang memberikan jasa yang beragam berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.104 Pembentukan BANI pada tahun 1977 tidak lepas dari kebutuhan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan bisnis atau ekonomi (dalam arti luas) secara cepat dan lebih memenuhi apa yang diharapkan oleh dunia perdagangan, bisnis atau ekonomi yaitu efisiensi dalam waktu dan biaya dan tetap terpeliharanya profesionalisme dan kepercayaan dalam penanganan masalah sengketa perdagangan.105



Y



Undang-undang Arbitrase dan APS mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Undang-undang ini merupakan produk hukum yang dihasilkan pemerintah indonesia di samping lembaga litigasi yang telah ada. Ada beberapa tawaran yang justru menjadi daya tarik alternatif penyelesaian sengketa, yakni:



M



M



Pertama; dipercaya dapat menghasilkan win-win solution bagi para pihak yang bersengketa. Kedua; apa yang diharapkan para pihak yang bersengketa adalah cepat memberikan keputusan, sehingga tidak berlarut-larut masalahnya.



U



Ketiga; dalam hal keadilan yang dicari oleh kedua belah pihak adalah rasa keadilan kedua belah pihak dan bukan keadilan menurut hukum atau undang-undang belaka.



D



Pengelompokan yang jelas dan berbeda antara bentuk-bentuk APS dengan proses melalui pengadilan umum ini, menjadilan APS sebagai suatu proses penyelesaian yang sifatnya khusus, dan sangat berbeda dengan proses peradilan umum (litigasi). Sehingga, APS memerlukan pengaturan yang



104 Pasal 1 ayat (1) Statuta Badan Arbitrase Nasional Indonesia ditentukan: “Badan Arbitrase Nasional Indonesia disingkat BANI adalah sebuah badan yang didirikan yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat atas beda pendapat dan masalahmasalah sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industri dan keuangan dalam arti seluas-luasnya baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional.” 105 M. Husseyn Umar, BANI dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2013), hlm. 3.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



153



khusus (lex specialis) sehingga dapat mengesampingkan asas-asas hukum umum (lex generalis).106 Penting untuk dipahami dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah bahwa para pihak yang telah menyetujui bahwa penyelesaian sengketa mereka diselesaikan melalui jalur arbitrase dan telah memberikan wewenang kepada arbiter, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka. Hal ini memiliki konsekuensi sebagai berikut:



Y



1. Arbitrase dilaksanakan dalam menyelesaikan kasus perdata, hal ini dilihat dari rumusan kata-kata “mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu”. Hubungan hukum tertentu dimaksud adalah hubungan hukum perdata, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999.



M



2. Perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak berdasarkan asas kesepakatan bahwa mereka telah memilih lembaga ini untuk menyelesaiakn sengketa di antara mereka. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.107



M



Perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Hal ini berkaitan dengan bentuk perjanjian yang dibuat para pihak di mana harus berbentuk tertulis mengingat dalam klausul kontrak harus dicantumkan bahwa para pihak akan memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi di antara mereka; Arbiter diberi tugas dan kewenagan dalam bentuk “keputusan”. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan kata-kata “abiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dengan demikian, arbiter mempunyai kewenangan untuk menentukan putusan sebagaimana layaknya sebuah putusan pengadilan. Uraian di atas merupakan konsekkuensi bagi para pihak yang telah memilih lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hal ini



D



U



Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan. Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan, (Bandung: Alumni Bandung, 2013), hlm. 3. 107 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999; “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.” 106



154



Dinamika Hukum Pembuktian



sesuai dengan bunyi Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999, “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.108 Semua ini uraian di atas menunjukan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan penyelesaian melalui litigasi (pengadilan).109



Y



Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasarkan atas kesepakatan bersama (mutual consent). Keabsahan perjanjian arbitrase harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai klausul pilihan hukum, para pihak bebas menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau timbul di antara pihak. Ada 2 (dua) jenis perjanjian arbitrase, yaitu: Pactum de Compromittendo,110 artinya para pihak mengikatkan diri untuk menyelesaikan sengketa (disputes) yang timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikatkan diri, belum terjadi perselisihan. Dalam hal ini, klausul arbritase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa datang. Pembuatan Pactum de Compromitendo ada dua cara, yaitu:



M



M



1. Mencantumkan kalusul Pactum de Compromittendo dalam perjanjian pokok, sebagai cara yang paling lazim digunakan; dan 2. Klausul Pactum de Compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri.



U



Akta Kompromis,111 merupakan suatu akta yang dibuat para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa yang timbul melalui lembaga arbitrase.



D



108 Pasal 11 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999: “Adanya suatu perjanjian arbritase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri”. Selanjutnya dalam ayat (2) ditentukan: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.” 109 Susilawatty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Prespektif Peraturan Perundang-Undangan. (Jakarta: Gramata Publishing, 2013), hlm. 3. 110 Klausul Pactum de Compromittendo diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yakni: “Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. 111 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Dalam hal para pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



155



Perbedaannya dengan Pactum de Compromittendo adalah terletak pada saat pembuatan. Jika Pactum de Compromittendo dibuat sebelum sengketa terjadi, maka Akta Kompromis dibuat setelah sengketa terjadi. Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase, dilakukan oleh Arbiter, yakni orang yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi dan wewenang arbitrase.112 Jumlah arbiter yang dipilih bergantung kepada keinginan para pihak, bisa satu (tunggal), bisa juga misalnya 3 (tiga) orang, satu dipilih oleh masing-masing pihak, dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga jumlahnya ganjil. Jika para pihak tidak memilih, maka dapat diserahkan pada lembaga arbitrase yang dicantumkan dalam perjanjian ataupun oleh Ketua Pengadilan Negeri.113



Y



Adapun syarat untuk dapat diangkat sebagai arbiter, ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999: “yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat: Cakap melakukan tindakan hukum; berumur paling rendah 35 tahun; Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa;Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun”. Ayat (2): “Adapun untuk hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat diangkat sebagai arbiter”.



U



M



M



I. Dinamika Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hubungan industrial, semua pihak memiliki peran masing-masing.114



D



112 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase”. 113 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999: “Dalam hal para pihak tidak mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbiter”. 114 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 4.



156



Dinamika Hukum Pembuktian



Pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya. Adapun pemerintah dalam melaksanakan hubungan industrial mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap peraturan perundang-undangan.



M



Y



Dengan adanya hubungan industrial tersebut, maka terjadilah hubungan hukum, khususnya antara pengusaha dan pekerja untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Hubungan hukum tersebut menimbulkan hak dan kewajiban, yang kadangkala dilanggar oleh salah satu pihak, maka timbullah perselisihan atau persengketaan, yang mana perselisihan ini disebut perselisihan hubungan industrial atau sengketa perburuhan.115



M



Perselisihan hubungan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan, baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Hal ini terjadi karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Apabila salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja tersebut, sulit bagi para pihak untuk mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu, perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian,



D



U



Pasal 1 angka (22) UU No. 13 Tahun 2003: “Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.” 115



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



157



sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.116 Dikenal 4 (empat) jenis perselisihan dalam perselisihan hubungan industrial, yakni:



Y



1. Perselisihan hak karena tidak dipenuhinya hak; di mana hal ini timbul karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan pernafsiran terhadap ketentuan UU, PK, PP atau PKB.



2. Perselisihan kepentingan karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK, PP, atau PKB.



M



3. Perselisihan PHK apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak.



4. Perselisihan antara SP/SB dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.117



M



Terhadap keempat jenis perselisihan hubungan industrial di atas, maka dikenal 3 (tiga) mekanisme yang harus ditempuh dalam penyelesaian perselisihan dimaksud, yakni: (a) bipartit;118 (b) mediasi,119 konsiliasi120 dan/ atau arbitrasi.121



U



Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 178. 117 Joni Bambang S., Hukum Ketenagakerjaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 310. 118 Pasal 1 angka (10) UU No. 2 Tahun 2004: “Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.” 119 Pasal 1 angka (11) UU No. 2 Tahun 2004: “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.” 120 Pasal 1 angka (13) UU No. 2 Tahun 2004: “Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.” 121 Pasal 1 angka (15) UU No. 2 Tahun 2004: “Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar 116



D



158



Dinamika Hukum Pembuktian



Berkenaan dengan pengadilan hubungan industrial, merupakan lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis perselisihan, karena masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi semakin kompleks, maka dalam rangka memenuhi kebutuhan peradilan yang bebas dari intervensi pihak manapun, dibutuhkan suatu pengadilan yang khusus untuk menangani, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hubungan industrial. Maka dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) pada tahun 2004, maka dibentuklah pengadilan khusus yang diberi nama Pengadilan Hubungan Industrial. Susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri atas: (1) Hakim; (2) Hakin Ad Hoc; (3) Panitera Muda; (4) Panitera Pengganti. Sedangkan susunan Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri atas: (1) Hakim Agung; (2) Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung; (3) Panitera.122



M



Y



Pangadilan Hubungan Industrial adalah bentuk pengadilan khusus dari Pengadilan Negeri. Kompetensi Pengadilan Negeri berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah perkara perdata dan pidana. Terhadap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri, hakim hanya memutus sesuai dengan yang dituntut oleh penggugat. Tidak boleh memberikan putusan lebih dari yang dituntut. Perselisihan hubungan industrial adalah bagian dari perkara ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan merupakan cabang dari bidang ilmu perdata. Prinsip dari norma hukum perdata adalah bersifat mengatur, dalam arti hukum pihak-pihak bebas untuk membuat suatu aturan yang tertuang dalam klausul perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan, dan kesopanan yang ada di masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin hakim Pengadilan Hubungan Industrial menyelesaikan sengketa yang merupakan perkara doelmatigheid? Tentunya hakim PHI lebih tepat jika hanya menangani perkara yang rechtsmatigheid saja. Untuk perkara rechtsmatigheid yang berupa perselisihan kepentingan hendaknya dikeluarkan dari kompetensi PHI selanjutnya untuk diberikan kepada lembaga arbitrase saja.123



D



U



M



Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final;” 122 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 93. 123 Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Op.Cit., hlm. 196.



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



159



Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: 1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan. 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.



Y



4. Di tingkat pertama dan terkahir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.



Untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, harus didahului dengan upaya mediasi dan konsiliasi.124 Dengan kata lain, untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, para pihak terlebih dahulu harus menyelesaikan perselisihannya melalui mediasi atau konsiliasi. Jadi, salah satu syarat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial adalah dilampirkannya risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, tanpa itu, maka pengadilan akan menolaknya.



M



Dengan diajukannya gugatan dan diterima oleh pengadilan, maka dimulailah tahapan acara di Pengadilan Hubungan Industrial, yang di antaranya adalah pembuktian. Berkenaan dengan pembuktian di pengadilan, hal ini merupakan bagian yang sangat penting untuk dilakukan, karena dengan pembuktian maka dalil-dalil yang dikemukakan para pihak dalam sidang-sidang sebelumnya menjadi kuat dan meyakinkan. Pembuktian adalah tahapan penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara, guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. Pembuktian bertujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukakan oleh para pihak.125



D



U



M



Mengingat kedua belah pihak yang berperkara mempunyai kepentingan yang sama untuk memenangkan perkaranya, maka pembuktian dibebankan kepada kedua belah pihak secara adil. Prinsip yang berlaku dalam pembuktian adalah “barangsiapa mendalilkan bahwa dirinya mempunyai sesuatu hak atau membantah hak orang lain, maka dia harus membuktikan dalil tersebut”. Halhal yang perlu dibuktikan adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian Pasal 83 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004: “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.” 125 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 142. 124



160



Dinamika Hukum Pembuktian



yang dianggap paling relevan dan menentukan dalam suatu perselisihan, termasuk dalil yang tidak diakui atau dibantah oleh lawan. Sedangkan dalil yang tidak dibantah atau diakui oleh lawan, maka tidak perlu untuk dibuktikan lagi. Dalam rangka pembuktian, maka dikenal alat-alat bukti berdasarkan Pasal 164 HIR jo. 284 RBg jo.1866 KUH Perdata. Mengapa dalam KUH Perdata, karena seperti yang diuraikan sebelumnya, perselisihan hubungan industrial adalah bagian dari perkara ketenagakerjaan, dan perkara ketenagakerjaan merupakan cabang dari bidang ilmu perdata. Adapun alat-alat bukti dimaksud adalah:126 1. Bukti tertulis/surat; 2. Bukti saksi; 3. Persangkaan; 4. Pengakuan; 5. Sumpah; 6. Keterangan ahli.



M



M



Y



Alat bukti tertulis/surat, adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan atau tulisan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai bahan bukti. Bukti tertulis ini merupakan alat bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering kali orang dengan sengaja menyediakan suatu alat bukti yang dapat dipakai kalau timbul perselisihan, dan bukti yang disediakan itu berupa bukti tulisan. Bukti tertulis ini terdiri dari akta dan bukan akta. Yang dimaksud dengan akta adalah tulisan yang memang sengaja dibuat untuk digunakan sebagai bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Sedangkan bukti tertulis yang bukan akta adalah tulisan yang dalam pembuatannya tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai bukti, namun sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai bukti dalam acara pembuktian. Berkenaan dengan akta, maka dibagi menjadi dua, yakni akta autentik dan akta yang bukan akta autentik. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang, antara lain notaris, panitera, hakim, PPAT, dan lain-lain, sedangkan akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang.127



D



U



Ibid., hlm. 29. Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 92. 126



127



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



161



Dilihat dari sudut kekuatan pembuktian, maka akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya hakim harus menganggapnya benar dan tidak memerlukan alat bukti lain. Sedangkan akta yang bukan akta autentik atau yang disebut juga akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya sangat tergantung pada hakim menilainya atau disebut kekuatan bukti bebas, namun apabila para pihak yang membuatnya mengakui tanda tangan yang ada dalam akta, maka akta tersebut juga mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan akta autentik.



Y



Nilai kekuatan pembuktian akta autentik yang melekat padanya adalah sempurna (volledig bewijskracht) dan mengikat (bidende bewijskracht), artinya apabila alat bukti akta autentik yang diajukan memenuhi syarat formal dan materiil, kemudian bukti lawan yang dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaannya, pada dirinya sekaligus melekat kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Dengan demikian, kebenaran isi dan pernyataan yang tercantum di dalamnya, sempurna dan mengikat kepada para pihak mengenai apa yang disebut dalam akta, dan juga sempurna dan mengikat kepada hakim, sehingga hakim harus menjadikannya sebagai dasar fakta yang sempurna dan cukup untuk mengambil putusan atas penyelesaian perkara yang disengketakan.128 Batas minimal pembuktian dengan akta autentik adalah cukup dengan akta autentik itu saja, artinya tidak diperlukan alat bukti lain. Adapun nilai kekuatan pembuktian akat dibawah tangan, maka harus terpenuhi terlebih dahulu syarat formal dan materiilnya, yakni: (1) dibuat secara sepihak atau para pihak (sekurang-kurangnya dua pihak), tanpa campur tangan pejabat yang berwenang; (2) ditandatangani oleh pembuatnya; (3) sis dan tanda tangan diakui. Jika syarat ini dipenuhi, maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta autentik, sehingga akta di bawah tangan tersebut dapat berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain.129



D



U



M



M



Alat Bukti Saksi, adalah bukti berupa keterangan seseorang tentang apa yang ia lihat sendiri, yang ia alami sendiri atau yang ia dengan sendiri. Alat bukti saksi ini dapat digunakan apabila alat bukti surat tidak ada, juga dapat Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. Pasal 1875 BW: “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta autentik bagi orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.” 128



129



162



Dinamika Hukum Pembuktian



digunakan untuk memperkuat alat bukti lain yang nilai pembuktiannya belum sempurna. Jadi, walaupun telah ada bukti surat, tidak ada salahnya untuk memperkuat dalil-dalil yang dikemukakan diajukan alat bukti lagi berupa alat bukti saksi, atau jika alat bukti surat nilai kekuatan pembuktiannya belum sempurna, sehingga dibutuhkan lagi alat bukti saksi, untuk memperkuat dalil-dalilnya.



Y



Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, hakim harus memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain. Pada persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang hal yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong seorang saksi untuk mengutarakan perkaranya secara begini atau begitu, pada cara hidup, kesusilaan, dan kedudukan para saksi, dan pada umumnya pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat dipercayainya para saksi itu.130



M



Nilai pembuktian alat bukti saksi bersifat bebas atau vrij bewijskracht.131 Artinya, hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasarkan kesamaan atau saling berhubungannya antara saksi yang satu dengan saksi yang lainnya. Yang dimaksud dengan nilai kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi adalah:132



M



1. Kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan dianggap:



U



a. Tidak sempurna dan tidak mengikat;



b. Hakim tidak wajib terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya; 2. Dengan demikian, hakim bebas sepenuhnya menerima atau menolak kebenarannya, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pembuktian.



D



Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 41. Pasal 1908 BW: “Dalam mempertimbangkan suatu kesaksian, hakim harus memberikan perhatian khusus; pada kesesuaian kesaksian-kesaksian satu sama lain; pada persamaan antara kesaksian-kesaksian dan apa yang diketahui dan sumber lain tentang pokok perkara; pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk menerangkan duduknya perkara secara begini atau secara begitu; pada peri kehidupan, kesusilaan dan kedudukan para saksi; dan umumnya, ada apa saja yang mungkin ada pengaruhnya terhadap dapat tidaknya para saksi itu dipercaya.” 132 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Op.Cit., hlm. 40-41. 130



131



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



163



Persangkaan, yakni kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah terkenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal, artinya belum terbukti. Ada 2 (dua) macam persangkaan, yaitu persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan yang ditarik oleh hakim berdasarkan fakta-fakta persidangan. Persangkaan menurut undangundang adalah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undangundang, yang dihubungkan dengan perbuatan atau peristiwa tertentu.133



Y



Adapun persangkaan yang ditarik oleh hakim berdasarkan fakta-fakta persidangan adalah persangkaan yang diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim.



Berkenaan dengan nilai kekuatan pembuktian, maka di antara persangkaan menurut undang-undang dan persangkaan berdasarkan faktafakta persidangan memiliki perbedaan. Dalam persangkaan menurut undangundang, maka memiliki nilai kekuatan pembuktiannya: “(a) bersifat sempurna (volledig), mengikat (bindende), dan memaksa (dwingend); (b) kebenaran yang melekat pada alat bukti ini bersifat imperatif bagi hakim untuk dijadikan sebagai dasar penilaian dalam mengambil keputusan.” Namun, yang penting juga dipahami tentang nilai kekuatan pembuktian menurut undang-undang adalah sifat nilai kekuatan pembuktian yang mutlak ini hanya berlaku pada persangkaan menurut undang-undang yang tidak dapat dibantah. Sebaliknya, terhadap persangkaan menurut undang-undang yang dapat dibantah, sifat nilai kekuatannya tidak absolut karena dapat dibantah dengan bukti lawan.



U



M



M



Adapun nilai pembuktian persangkaan yang ditarik berdasarkan faktafakta persidangan, memiliki nilai kekuatan pembuktian:134



D



Pasal 1916 BW: “Persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang. Persangkaan semacam itu antara lain adalah; (1) perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang, karena perbuatan itu semata-mata berdasarkan dari sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menghindari suatu ketentuan undang-undang; (2) pernyataan undang-undang yang menyimpulkan adanya hak milik atau pembebasan utang dari keadaan tertentu; (3) kekuatan yang diberikan oleh undangundang kepada suatu putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti; (4) kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.” 134 Pasal 1922 KUH Perdata: “Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memerhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian 133



164



Dinamika Hukum Pembuktian



1. Nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakik. 2. Dengan demikian, sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht), karena itu hakim bebas untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam persangkaan itu. Pengakuan, adalah keterangan sepihak (khususnya yang di depan pengadilan) baik tertulis maupun lisan, yang tegas dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara persidangan yang membenarkan baik seluruhnya maupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim menjadi tidak perlu lagi.



M



Y



Pengakuan merupakan keterangan sepihak karena tidak memerlukan persetujuan pihak lawan. Pengakuan yang dilakukan di depan hakim tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila dibuktikan bahwa pengakuan itu adalah dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan di depan hakim dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:135 (a) pengakuan murni, yakni pengakuan yang sifatnya sederhana dan seluruhnya sesuai dengan tuntutan pihak lawan; (b) pengakuan dengan kualifikasi, yakni pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan; dan, (c) pengakuan dengan klausul, yakni pengakuan yang disertai dengan tambahan yang bersifat membebaskan.



U



M



Nilai kekuatan pembuktian pengakuan juga berbeda antara pengakuan murni dan bulat dengan pengakuan berklausul. Dalam pengakuan murni dan bulat, memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig), mengikat (bindende), dan memaksa (dwingend).136 Artinya nilai pengakuan ini merupakan kekuatan yang bersifat mutlak, para pihak dan hakim terikat untuk menerima kebenaran tersebut, dan karenanya hakim mesti mempergunakannya sebagai dasar penyelesaian dalam pengambilan keputusan. Adapun nilai kekuatan pembuktian pengakuan berklausul adalah: (1) memiiliki nilai pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht);



D



dengan saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya iktikad buruk atau penipuan.” 135 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 154. 136 Pasal 1925 KUH Perdata: “Pengakuan yang diberikan di hadapan hakim, merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.”



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



165



(2) tidak sempurna dan tidak mengikat; (3) sifat pembuktiannya hanya berkualitas sebagai alat bukti permulaan.137 Sumpah, sebagai alat bukti memiliki dua fungsi, yakni untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, dan sebagai janji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir.138 Secara umum, sumpah sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis, yakni Sumpah decisoir (sumpah pemutus), sumpah supletoir (sumpah pelengkap), dan sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).



Y



Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan kepada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya. Sumpah decisoir ini dapat dibebankan walaupun tidak ada pembuktian sama sekali, dan dapat dilakukan pada setiap saat selam pemeriksaan persidangan. Adapun sumpah supletoir adalah sumpah pelengkap, yang bersifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup. Sumpah supletoir diperintahkan oleh hakim karena jabatannya (ex officio). Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk bersumpah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sumpah ini masih memungkinkan pembuktian lawan. Yang terakhir adalah sumpah aestimatoir, yakni sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang gati rugi yang dituntutnya. Sumpah ini baru dibebankan hakim kepada penggugat, jika penggugat telah berhasil membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih simpang siur. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir bersifat sempurna, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan.139



U



M



M



Sumpah sebagai alat bukti terbagi dua, yakni sumpah pemutus (decisoir edd) dan sumpah penambah (aanvullende eed).140 Pada dasarnya keduanya memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sama, yang membedakan adalah landasan dasar dalam penerapannya. Kekuatan pembuktian sumpah pemutus adalah sempurna, mengikat, dan menentukan (volledig bindende en beslissende bewijskracht). Sedemikian kuatnya nilai pembuktian sumpah



D



Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 155. Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asas Pembuktian Perdata. Op.Cit., hlm. 96. 139 Ibid., hlm. 97. 140 Pasal 1929 KUH Perdata: “Ada dua macam sumpah di hadapan hakim: (1) sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus; (2) sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak.” 137 138



166



Dinamika Hukum Pembuktian



pemutus, sehingga menurut Pasal 177 HIR, tidak dapat diminta bukti lain untuk menguatkan kebenaran yang disumpahkan pihak yang mengucapkan. Pengguguran sumpah ini hanya mungkin dilakukan berdasar putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap atas kejahatan sumpah palsu. Adapun untuk sumpah penambah, pada dasarnya adalah sumpah yang oleh hakim diperintahkan untuk diucapkan kepada salah satu pihak, ketika baik penggugat maupun tergugat, dalam mengajukan bukti, sama-sama hanya bernilai bukti permulaan. Sehingga dipahami bahwa nilai kekuatan pembuktian sumpah tambahan adalah: (1) tidak dapat berdiri sendiri; (2) hanya boleh ditegakkan di atas alat bukti pemulaan; (3) berfungsi untuk menambah kesempurnaan alat bukti permulaan yang ada.141



M



Y



Keterangan Ahli, adalah alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.142



Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang di muka sidang pengadilan berdasarkan pengetahuan atau keahlian yang dimiliki.143 Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah kekuatan pembuktian bebas (vrijbewijskracht), yang berarti penilaiannya diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Dalam menilai keterangan ahli, hakim perlu berhati-hati, karena pada umumnya keterangan yang diberikan oleh saksi berupa pendapat yang didasarkan pada pengetahuan dan keahliannya. Hakim perlu melakukan penilaian secara objektif dan mempelajari relasi dan relevansi keterangannya dengan pokok permasalahan dalam sengketa yang sedang diadili.144



U



M



Majelis Hakim wajib memberikan putusan dalam waktu selambatlambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak sidang pertama. Putusan Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, serta mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan. Putusan setidak-tidaknya harus memuat: “(a) kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (b) nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih; (c) ringkasan pemohon/penggugat dan jawaban



D



Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. Pasal 90 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004: “Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.” 143 Ugo dan Pujiyo, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan. Op.Cit., hlm. 159. 144 Asri Wijatanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Op.Cit., hlm. 100. 141 142



Bagian Ketiga — Jalan Berliku Pembuktian Peradilan Perdata & Niaga



167



termohon/tergugat yang jelas; (d) pertimbangan terhadap setiap bukti dan data yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; (e) alasan hukum yang menjadi dasar putusan; (f) amar putusan tentang sengketa; (g) hari, tanggal putusan, nama hakim, Hakim Ad-Hoc yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.” Apabila salah satu poin diatas tidak dipenuhi, hal ini dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.



Y



Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi. Terhadap perkara mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. Adapun Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, dapat diajukan upaya hukum kasasi. Namun pengajuan upaya hukum kasasi harus diajukan sebelum 14 (empat belas) hari sejak putusan dibacakan, jika lewat 14 (empat belas) hari, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.145



D



U



M



M



Pasal 110 UU No. 2 Tahun 2004: “Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja: (a) bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang Majelis Hakim; (b) bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.” 145



168



Dinamika Hukum Pembuktian



BAGIAN KEEMPAT



BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PRAKTIK PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PAJAK



Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara merupakan syarat mutlak dalam konsep negara hukum (rechtstaat), karena menjadi indikator kualitas demokrasi dalam pembagian kekuasaan negara (machtsverdeling). Tidak perlu ditolak pendapat yang menyatakan bahwa kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dipengaruhi oleh konsep conseil de’etat Prancis dan Administraieve Rechtspraak Nederland, yang di negaranya juga dipengaruhi oleh kultur budaya dan sejarah hukum negara asalnya. Namun juga tidak perlu dimunculkan superioritas kekhasan Peradilan Tata Usaha Negara yang seakan-akan terlepas dari pengaruh negara lain, karena akan menutut studi komparasi bagi perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun badan atau pejabat tata usaha negara di Indonesia harus berdasarkan hukum. Dalam negara hukum, hubungan penguasa dengan rakyat tidak didasarkan atas dasar kekuasaan, tetapi hubungan yang sederajat atau setara yang diatur oleh atau berdasarkan hukum. Rakyat bukan hamba dan raja bukan tuan, sehingga rakyat dapat meminta pertanggungjawaban secara yuridis dari penguasa jika penguasa melakukan kesalahan dan menjalankan kekuasaannya. Dalam rangka menyeimbangkan pengaturan kepentingan individu, kelompok, sering



169



dijumpai perselisihan tersebut terjadi antara kelompok atau individu dengan badan atau pejabat tata usaha negara.1 Peradilan harus diselenggarakan secara profesional oleh hakim yang berkompeten, mandiri (independent), dan tidak memihak. Peradilan harus benar-benar berdiri di atas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. peradilan demikian akan menghadirkan terjadinya kesewenang-wenangan (arbitrariness) yang dapat merugikan kepentingan para pihak. Hakim wajib menjaga independensi dan profesionalismenya dalam mengadili setiap perkara. Adanya benturan kepentinagn (conflict of interest) hakim dengan para pihak mewajibkan hakim tersebut untuk mundur atau menyatakan mundur dari mengadili perkara dimaksud dan digantikan oleh hakim lain yang terbebas dari konflik dimaksud. Bila tidak mundur atau menyatakan mundur, maka sangat besar kemungkinan proses peradilan dan putusan atas perkara tersebut menjadi bias (deviatif) dan merugikan salah satu pihak.



M



Y



Secara kelembagaan, pengadilan wajib terbebas dari bias kepentingan pengaruh dan kepentingan pihak eksekutif dan legislatif, sebagaimana dalam konsep separation of power-nya trias politica. Pengadilan harus benar-benar terbebas dari pengaruh apa pun yang dapat mencederai prinsip fair trial. Meski pengadilan sebagai lembaga yudikatif tidak dapat melepaskan diri dari hubungan antar lembaga (eksekutif dan yudikatif), namun hal tersebut tidak boleh menjadi preseden bagi pengadilan untuk masuk dalam konflik kepentingan yang mungkin saja ada.2



U



M



Sejatinya peradilan tata usaha negara adalah, sebagai persyaratan untuk memenuhi negara hukum modern. Hukum pembuktiannya mengikuti model-model yang sudah dikenal, dan disesuaikan dengan model berhukum masyarakat Indonesia.



D



A. Hukum Publik dan Peradilan TUN Objek dari Peradilan TUN adalah Keputusan Administrasi Negara, yang merugikan antar lembaga, maupun masyarakat secara langsung. Karenanya



Ali Abdullah. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara PascaAmandemen, (Jakarta: Prenada Media, 2015), hlm. 10. 2 M. Natsir Asnawi. Hukum Acara Perdata Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Preradilan Agama, (Yogyakarta; UII Press, 2017) hlm. 5. 1



170



Dinamika Hukum Pembuktian



beberapa doktrin dalam hukum administrasi negara, memberikan petunjuk atas doktrin maupun asas-asas hukum adminitrasi, yang menjadi perhatian para pihak dalam perkara, maupun model Hakim TUN dalam memutuskan sengketa. Ilmu hukum merupakan bagian dari ilmu sosial, yang mempelajari hukum sebagai objek kajiannya. Hukum administrasi negara sebagai suatu pengkhususan atau salah satu bagian dari hukum tata negara. Hukum administrasi negara mengatur hubungan hukum antara pemerintah/penguasa dengan masyarakat atau anggota masyarakat yang dilayaninya. Semakin modern suatu negara, semakin banyak campur tangan pemerintah, terhadap kegiatan-kegiatan di bidang politik, di bidang ekonomi, sosial budaya, keluarga, dan sebagainya. Agar supaya terjadi keharmonisan di dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau anggota masyarakat, maka perlu adanya kontrol terhadap pemerintah/penguasa, dimana salah satu teori tersebut, adalah kontrol yuridis, yang diserahkan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Kontrol yuridis dalam kehidupan organisasi, terutama negara, adalah salah satu fungsi manajemen, yakni fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi pemantauan.3



M



M



Y



Kontrol terhadap tindakan pejabat tata usaha negara, adalah suatu mekanisme dari wujud negara hukum modern, karena untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan negara, yang berlebihan terhadap warga negara, maka kontrol yuridis, dalam suatu Peradilan Tata Usaha Negara sangat diperlukan, guna penguatan, perlindingan hak asasi manusia. Negara hukum modern, mengharuskan adanya Peradilan Tata Usaha Negara, yang merupakan suatu sarana, yang sangat penting, dan sekaligus, menjadi ciri yang menonjol pada negara hukum. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, merupakan suatu kehendak konstitusi, dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal. Indonesia yang sedang melaksanakan kesejahteraan bagi seluruh warganya, dalam segala bidang. Kesejahteraan itu dapat dicapai dengan melakukan aktivitas pembangunan, yang multikompleks sifatnya, tidak dapat dipungkiri, bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang besar. Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut, adalah munculnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan, seperti korupsi, penyalahgunaan kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-



D



U



3 Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No. 5/1986 jo.UU NO. 6 Tahun 2004), (Jakarta: Percetakan Negara, 2009) hlm. 18-21.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



171



wenang, pemborosan, dan sebagainya. Penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah itu, tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Maka diperlukan sarana hukum, untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Perlindungan hukum itu ditampung dalam Peradilan Tata Usaha Negara.4 Pengaturan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas dalam konstitusi, dipengaruhi oleh gagasan mengenai, perlunya peningkatan kualitas pengawasan terhadap pemerintah, sejalan dengan semakin meningkatnya tugas tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham negara kesejahteraan (welfare state). Paham negara kesejahteraan, merupakan sintetis dari paham individualisme yang menekankan pada kebebasan individu, dan paham sosialisme, yang menekankan pada besarnya kekuasaan negara di satu sisi, dan disisi lain, adanya pembatasan terhadap kebebasan individu. Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap negara, dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan tersebut, dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara menguasai benda-benda publik dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak, namun mengakui hak-hak individu.5



M



M



Y



Perlindungan hukum masyarakat di bidang administrasi, disebabkan suatu birokrasi pemerintahan yang tidak taat asas, dan tidak taat pada peraturan perundang-undangan, karena itu, sangat penting mewujudkan birokrasi yang rasional, menciptakan efisiensi dan efektivitas, serta produktivitas, sehingga diharapkan tercapainya organisasi yang kaya, fungsi, ramping struktural, efisien dan efektif. Tujuan pelayanan prima bagi masyarakat, dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, birokrasi haruslah mengembangkan. Pertama, etika yang syarat dengan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam menjalankan fungsinya, mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial (social equity). Kedua, etika yang mengacu pada nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara, yang merujuk pada konstitusi. Ketiga, etika yang menyangkut nilai nilai kemanusiaan yang bersifat universal, yang harus menjadi pegangan bagi para birokrat.6



D



U



Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 11-18. 5 W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya; 2009), hlm. 1-2. 6 Akhmad Sumargono. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan Yang Bersih Telaah Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi Di Indonesia, (Jakarta: Pusat Kajian Strategi Politik dan Pemerintahan PKSPP, 2009), hlm. 14-15. 4



172



Dinamika Hukum Pembuktian



Pengaturan kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara, secara tegas ditentukan dalam konstitusi, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca amandemen, dalam Pasal 24 (2), menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Hal demikian dipengaruhi oleh gagasan mengenai perlunya peningkatan kualitas, pengawasan terhadap pemerintah. Sejalan dengan semakin meningkatnya, tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, yang dipengaruhi oleh paham negara kesejahteraaan.



Y



Paham ini merupakan sintetis dari paham individualisme yang menekankan pada kebebasan individu, dan paham sosialisme, yang menekankan pada besarnya kekuasaan negara di satu sisi, adanya pembatasan terhadap kebebasan individu. Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap negara dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan tersebut, dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara menguasai benda-benda publik dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, serta yang menguasai hajat hidup orang banyak, namun mengakui hak hak invidu, berkaitan dengan paham negara kesejahteraan. Paham negara kesejahteraan, meskipun memberikan kekuasaan yang besar terhadap negara, dalam melaksanakan fungsinya, namun menghendaki agar kekuasaan tersebut dibatasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.7



U



M



M



Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai perwujudan dari paham negara modern, dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia, memberikan keleluasaan, kelenturan dalam proses beracaranya, dengan basis pada kekuatan pembuktian secara formal, sebagaimana yang ditentukan dalam hukum acara perdata. Walaupun tidak selamanya sengketa administrasi itu, harus melalui pengadilan. Malahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan sedapat mungkin dihindari, sebab begitu masuk ke dalam proses pengadilan, sengketa tersebut akan terjebak kepada suatu penyelesaian yang sangat berkepanjangan, dan memakan waktu yang sangat lama. Hal ini bertentangan dengan konsep welfare state, yang mengutamakan kemakmuran atau kesejahteraan masyarakat dalam pelayanan. Hanya dalam hal-hal yang sangat terpaksa saja, dan tidak ada jalan lain lagi, haruslah diselesaikan melalui pengadilan.8



D



7 8



W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 1-2. Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amademen. Op.Cit., hlm. 30. Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



173



Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai pranata khusus berlangsung melalui perdebatan yang panjang dalam kurun waktu yang cukup lama. Berbagai alasan dikemukakan, tetapi yang lebih konkret, adalah suatu alasan atau kerinduan untuk memperoleh keadilan di bidang sengketa tata usaha negara. Indonesia terlalu lama mengalami masa penjajahan di bawah pemeritahan kolonial. Tidak ada suatu kontrol ketika itu. Adapun dalam perkembangan, berlangsungnya sengketa tata usaha negara, dapat diketahui dalam undang-undang, yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan yang menjadi pertikaian dan perselisihan, bahkan hingga menjadi perkara di pengadilan. Sengketa di bidang hukum administrasi negara, adalah sengketa yang lahir dari atau sebagai akibat pelaksanaan hukum administrasi negara materiil oleh pemerintah, atau kompetensi peradilan administrasi negara, menyangkut perkara-perkara administrasi negara. Berbagai perkembangan dalam praktik. Hakim tata usaha negara, para hakimnya berusaha untuk memperluas pengertian, dengan menafsirkan, urusan pemerintahan, guna mengakomodir gugatan-gugatan yang masuk, di mana ketentuan perundang-undangan belum mengaturnya secara jelas.9



M



M



Y



Peradilan Tata Usaha Negara, pada dasarnya menegakkan hukum publik adiministrasi, sebagaimana ditegakkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1946, bahwa sengketa yang termasuk lingkup kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, adalah sengketa tata usaha negara, dan mensyaratkan adanya tindakan hukum tata usaha, untuk adanya keputusan tata usaha negara. Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara, tidak hanya melindungi hak individu, tetapi juga hak masyarakat.10



U



Peradilan administrasi, telah menjadi persyaratan bagi negara hukum modern, untuk memberikan kontrol terhadap masuknya kesewenangwenangan penguasa. Adapun beban pembuktiannya, pada para pihak yang berperkara, dan hakim secara aktif mengikuti dan menggiring ke arah kebenaran materiil, sebagaimana yang dikenal dalam peradilan pidana. Hal ini dimaklumi karena Peradilan Administrasi bagian dari hukum publik, sehingga hakim lebih aktif dalam persidangan, dan berbeda dengan peradilan perdata, di mana hakim lebih bersifat pasif dan menunggu para pihak. Pada



D



Ibid., hlm. 45-47. Philipus. M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 313-314. 9



10



174



Dinamika Hukum Pembuktian



proses peradilan TUN, hakim memberikan kesempatan untuk memperbaiki permohonan gugatan, sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundangundangan.



B. Dinamika Pembuktian



Y



Hukum pembuktian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Bab IV, bagian ketiga dari pasal 100 sampai dengan Pasal 107, Pasal 100: (1) Alat bukti ialah: a. surat atau tulisan; b. keterangan ahli; c. keterangan saksi; d. pengakuan para pihak; e. pengetahuan hakim. (2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan;



M



Pasal 101: Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah: a. akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; b. akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; c. surat-surat lainnya yang bukan akta;



M



Pasal 102: (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (2) Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli;



U



Pasal 103: (1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya;



D



Pasal 104: Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri; Pasal 105: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh hakim; Pasal 106: Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya;



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



175



Pasal 107: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, merupakan bagian hukum acara tata usaha negara. Dalam hukum pembuktian tata usaha negara dapat digolongkan; Pertama. ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya atau dengan susunan, kompetensi dari bahan yang melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya; Kedua. ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya. Tujuan pembuktian menurut Peradilan Tata Usaha Negara, adalah menyusun putusan atas dasar pembuktian.11



M



Y



Penilaian pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara, adalah berarti memberikan nilai atau memberikan harga atau mutu, apa yang dibuktikan itu, adalah suatu peristiwa atau fakta, sehingga penilaian atas pembuktian berarti memberikan penghargaan atas suatu kenyataan peristiwa atau fakta, yang disengketakan dan telah diajukan pembuktian, dan harus dinilai, diberikan harga, kadar atau mutu. Guna kelancaran proses pemeriksaan perkara, maka penggugat, semestinya mempersiapkan alat-alat bukti, yang dapat menerangkan perkara pembuktian menurut Peradilan Tata Usaha Negara, yakni: –



U



M



Surat atau tulisan, sebagai alat bukti, meliputi, akta autentik, yang dibuat oleh pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan, berwenang membuat surat, dengan maksud, untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.Termasuk juga akta di bawah tangan, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani, oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dengan maksud untuk dapat dipergunakan, sebagai alat bukti tentang peristiwa, atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Selanjutnya surat surat lain yang bukan akta, diserahkan pertimbangannya oleh hakim. Karena surat-surat itu, sejak dibuatnya, bukan secara sengaja, untuk dijadikan sebagai alat bukti, tetapi, guna menjaga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Alat bukti surat dalam praktik, dapat juga berupa penolakan atau



D



11 Martiman Prodjohamidjojo. Hukum Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 4-5.



176



Dinamika Hukum Pembuktian



pencabutan keputusan tata usaha negara, termasuk resi, kwitansi, yang diterima oleh penggugat dari pegawai, instansi yang bersangkutan.12 –



Sengketa tata usaha negara, selalu dikaitkan dengan adanya suatu keputusan tata usaha negara, sehingga selalu yang dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah surat atau tulisan, yang merupakan salah satu bukti yang penting dalam pemeriksaan sengketa, sedangkan keterangan saksi, dianggap sebagai bukti, bilamana keterangan saksi tersebut, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi tersebut.13







Surat sebagai akta autentik, terdiri dari tiga jenis, yakni akta autentik, akta di bawah tangan dan surat surat lain yang bukan akta.14







Keterangan ahli sebagaimana ditentukan dalam Pasal 102 UU No. 3 Tahun 1986, yakni, pendapat orang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang diketahuinya menurut pengalaman dan pengetahuannya. Ahli memberikan jawaban atas pertanyaan terhadap apa yang terjadi. Kedudukan ahli dipersidangan atas permintaan kedua pihak, atau salah satu pihak, atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli, untuk memberikan keterangan baik dengan surat maupun dengan tulisan.15







Keterangan ahli, adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah, dalam persidangan, tentang hal yang diketahui, menurut pengalaman dan pengetahuannya. Atas permintaan kedua pihak atau salah satu pihak, atau karena jabatannya. Maka ketua majelis dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli, termasuk keterangan ahli, adalah keterangan yang diberikan oleh juru taksir.16







Di dalam Hukum Acara Peradilan PTUN, keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti mempunyai arti dan kedudukan yang cukup penting. Karenanya tidak berlebihan apabila pembuat undang-undang menempatkannya pada urutan kedua, setelah alat bukti surat atau tulisan. Hal ini berbeda dengan



D



U



M



M



Y



Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 120-121. Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,2002), hlm. 69. 14 S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. (Yogyakarta: FH-UII Press,2011), hlm. 321. 15 Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 71. 16 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 122. 12 13



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



177



hukum acara perdata, yang tidak menjadikan keterangan ahli sebagai alat bukti yang mutlak, sebab keterangan ahli baru didengar, apabila kebutuhan untuk itu benar-benar sangat diperlukan seperti halnya pemeriksaan setempat. Mereka yang dilarang bertindak sebagai ahli, adalah mereka yang mempunyai hubungan karena keluarga, sedarah atau semenda, menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat kedua dari satu pihak yang bersengketa; istri atau suami salah satu pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai, anak yang belum berusia 17 tahun dan orang yang sakit ingatan. Saksi ahli yang memberikan keterangannya dalam persidangan, dapat dilakukan dengan surat atau tulisan yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan yang sebaik-baiknya, untuk memperoleh keterangan saksi ahli itu dapat ditunjuk seseorang atau beberapa orang ahli, tergantung permintaan kedua pihak atau salah satu pihak atau hakim ketua sidang karena jabatannya. Manfaat keterangan ahli, dapat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa, karena akan mendapatkan keterangan secara objektif, lebih dari itu sangat berguna bagi hakim dalam memutuskan sengketa yang diperiksanya.17



M



M



Y







Keterangan saksi menurut Pasal 104 UU No. 5 Tahun 1986, dianggap sebagai alat bukti, apabila keterangan itu, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Kehadirannya dipengadilan atas kehendak dan permintaan, salah satu pihak atau karena jabatannya. Dengan kewajiban untuk mengucapkan sumpah atau janji, menurut agama dan kepercayaannya, dengan dihadiri oleh pihak yang bersengketa.18







Permintaan menghadirkan seorang saksi di persidangan untuk didengar kesaksiannya, dapat merupakan inisiatif para pihak, dan dapat pula merupakan inisiatif hakim karena jabatannya. Dalam pemeriksaan dan penentuan saksi peranan hakim sangat aktif, sehingga seorang saksi yang sengaja tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun telah dipanggil dengan patut, dan hakim cukup punya alasan, serta menduga bahwa saksi tersebut sengaja tidak datang. Hakim ketua sidang dapat memberi perintah, agar saksi dibawa oleh polisi dengan paksa ke persidangan. Karena menjadi saksi merupakan kewajiban hukum setiap orang. Maknanya bilamana seorang saksi menolak menunaikan kewajibannya, untuk itu saksi dapat dipaksa



D



17 18



178



U



S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 323-325. Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 72-73.



Dinamika Hukum Pembuktian



untuk melaksanakan kewajibannya, sehingga saksi berkenan untuk hadir memeberi kesaksiannnya.19 –



Keterangan saksi, dianggap sebagai alat bukti, apabila keterangan itu, berkenaan dengan hal-hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Dengan demikian, pendapat, dugaan, anggapan atau keterangan yang diperoleh dari orang lain, menjadi tidak relevan dijadikan kesaksian saksi, yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah keluarga sedarah atau semenda garis lurus atas dan bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang berperkara. Istri atau suami, salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun. Orang yang sakit ingatan.20



M



Y



Pengakuan para pihak, tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan kuat dan dapat diterima oleh hakim. Dalam proses perkara tata usaha negara, suatu perkara harus diterima secara bulat atau utuh, hakim tidak diperkenankan, hanya menerima sebagian dari pengakuan dan menolak sebagian yang lain. Pengakuan adalah keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan, dengan maksud untuk segera menyelesaikan perkara. Dengan demikian, pengakuan dapat menjadi alat bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan di luar sidang, baik tertulis maupun lisan, dan masih harus dibuktikan di persidangan, karenanya bukanlah menjadi bukti yang sempurna, dan menjadi alat bukti yang bebas. Pengakuan tidak diperkenankan dilakukan secara terpaksa atau di bawah tekanan dari pihak-pihak tertentu, terutama pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak di luar persidangan, baik secara lisan maupun tulisan.



D



U



M



Suatu pengakuan, akan diterima, sebagai suatu bukti yang sempurna, bilamana diberikan di muka hakim dalam persidangan, sedangkan pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat diterima, sebagai suatu bukti yang mengikat, tetapi hanya sebagai alat bukti bebas, terserah kepada hakim, untuk menerima atau menolaknya. Pengakuan yang diberikan dihadapan hakim tidak dapat ditarik kembali, kecuali dapat dibuktikan adanya suatu kekhilafan.21 Dalam praktik Peradilan PTUN, peranan hakim bersifat aktif, maka penilaian terhadap pengakuan yang disampaikan atau diucapkan di luar persidangan, dapat S.F. Marbun. Peradilan AdministrasiNegara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 326-327. Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 122-123. 21 Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 75. 19 20



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



179



sepenuhnya diserahkan kepada hakim untuk menilainya, sebab lebih dari itu hakim dapat juga menentukan alat-alat bukti lainnya yang diperlukan.22 Pengetahuan hakim, adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Pengetahuan hakim, yang dialami oleh hakim, selama pemeriksaan perkara dalam sidang, maupun dalam sidang setempat, tentang dugaan-dugaan, dalam pemeriksaan, guna dapat menilai, termasuk barang barang yang diajukan sebagai bukti, serta orang-orangnya. Pengetahuan hakim, adalah pengetahuan yang objektif, dan tidak diperkenankan untuk mengesampingkan alat-alat bukti yang lain.23



Y



Pengetahuan hakim dan atau keyakinan ini, dalam hukum acara pidana terdapat teori pembuktian berdasarkaan keyakinan hakim melulu dan/atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis.24



M



Beban pembuktian dalam perkara tata usaha negara, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 107 UU Pengadilan Tata Usaha Negara, diperlukan sekurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya hakim tata usaha negara dapat menerima sendiri, tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian, hak apa saja yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara, dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim. Alat bukti mana saja, yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian, serta kekuatan pembuktian dari bukti yang diajukan. Karenanya berdasarkan pada Pasal 107 UU Peradilan Tata Usaha Negara, hukum acaranya, menganut ajaran pembuktian bebas. Namun terdapat batas-batas tertentu terhadap kebebasan dalam hukum acaranya. Misalnya syarat-sayarat sekurang-kurang dua alat bukti secara limitatif. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yang dipersoalkan adalah sah tidaknya sebuah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).



D



U



M



Persoalan rechtmatigheid menyangkut alat ukur, sehingga yang diperlukan adalah alat ukur yang diperlukan oleh hakim, untuk menyatakan suatu keputusan tata usaha negara sah atau tidak sah, keabsahannya itu, diukur dengan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis, berupa asas-asas umum pemerintahan yang baik, sehingga aspek yang diukur adalah wewenang, prosedur serta subtansi.25 S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. Op.Cit., hlm. 330-331. Zairin Harahap. Hukum Cara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 128-129. 24 S.F. Marbun. Op.Cit., hlm. 331. 25 Philipus M Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 330. 22 23



180



Dinamika Hukum Pembuktian



C. Asas-Asas Terkait dalam Pembuktian Asas berarti landasan, dasar, fundamen, prinsip, jiwa serta cita-cita, sehingga asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas dapat juga disebut sebagai pengertian-pengertianan nilai nilai yang menjadi titik tolak berpikir tentang sesuatu.26



Y



Asas hukum sebagai jantungnya peraturan hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas, bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas-asas. Asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan aturan perundang-undangan, dan putusan putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan keputusan individual dipandang sebagai penjabarnnya. Asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:27



M



1. Asas Praduga Rechmatig. Asas ini, berdasarkan atas tindakan pemerintah selalu dianggap rechmatig sampai terdapat pembatalan.Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara, yang diperesengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat.



U



M



2. Asas Para Pihak Harus Didengar. Para pihak mempunyai kedudukan yang sama, dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja. 3. Asas Kesatuan Beracara Dalam Perkara Sejenis. Dalam pemeriksaan di peradilan judex fakti, maupun Kasasi di Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Atas dasar kesatuan hukum bedasarkan wawasan nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak relevan.



D



4. Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka. Maksudnya segala tindakan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang bermaksud untuk memengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. 26 27



S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara di INdonesia. Op.Cit., hlm. 202. Philipus M Hadjon. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 25-29.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



181



5. Asas Perdilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sederhana adalah hukum acara yang mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami, maka peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat, dan biaya semakin menjadi ringan. 6. Asas Hakim Aktif. Sebelum dilakkan pemeriksaan terhadap pokok perkara sengketa, hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan, apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan, dikenal juga sebagai masa persiapan, bahkan hakim dapat memerintahkan kepada suatu adan pejabat negara sebagai pihak tergugat itu, untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan.



M



Y



7. Asas Sidang Terbuka untuk Umum. Asas ini, membawa konsekuensi, bahwa semua putusan pengadilan hanya sah, dan mempunyai kekuatan hukum, apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 8. Asas Peradilan Berjenjang. Peradilan berjenjang dimaksudkan Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung. Dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan lebih rendah, dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi.



M



9. Asas Pengadilan sebagai Upaya Terakhir untuk Mendapatkan Keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimum remedium. Sengketa tata usaha negara, sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya dengan musyawarah, untuk mencapai mufakat hukum secara konfrontatif.



D



U



10. Asas Objektivitas. Guna pencapaian keputusan yang adil, maka hakim atau panitera, wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga, semenda sampai derajat ketiga. Dalam pekembangannya asas hukum acara peradilan Administrasi, meliputi;28 1. Asas Negara Hukum. Asas ini, mempunyai korelasi erat dengan peradilan administrasi negara, karena salah satu unsur negara hukum Indonesia, adalah peradilan administrasi, sehigga secara yuridis, empiris, jaminan



28



182



S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 331.



Dinamika Hukum Pembuktian



eksistensi peradilan administrasi itu menemukan landasannya, serta perwujudan dari cita-cita negara hukum Indonesia. 2. Asas Demokrasi. Demokrasi yang selalu dikaitkan dengan konstitusional, yakni dengan gagasan terwujudnya cita-cita pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, terdapat larangan pemerintah bertindak sewenangwenang, terjaminnya hak asasi manusia, dan dihindarinya terpusatnya kekuasaan pada satu tangan, yang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.



Y



3. Asas Kekeluargaan. Adanya hubungan kekeluargaan dengan kesatuan sosial yang didasari oleh rasa cinta kasih, sayang, rasa seia sekata dan simpati. Solidaritas melahirkan sikap saling asah, asih dan asuh serta kewajiban dan tanggung jawab timbal balik, akhirnya melahirkan masyarakat gotong-royong.



M



4. Asas serasi seimbang selaras. Asas ini merupakan suatu rangkaian dari jiwa Pancasila, dengan formulasinya ke dalam cita-cita negara hukum, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib, menjamin kedudukan warga negara dalam hukum.



M



5. Asas Persamaan di hadapan Hukum. Melahirkan suatu ketentuan, setiap tindakan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, dapat dituntut pertanggungjawabannya dihadapan pengadilan, tidak terkecuali tindakan yang menimbulkan kerugian itu dilakukan oleh Pemerintah.



U



6. Asas Peradilan Netral. Dimaksud dengan peradilan netral adalah peradilan administrasi negara yang bebas dan merdeka, karena peradilan ini adalah salah satu peradilan yang penting dikaitkan dengan unsur negara hukum.



D



7. Asas Sedehana, Cepat, Adil Mudah dan Murah. Bahwa prosedur beracara dirumuskan dengabn sederhana dan murah, dan mengurangi hal-hal formalitas yang tidak perlu, dengan tetap memperhatikan kepastian hukum dan nilai nilai keadilan. 8. Asas Kesatuan Beracara. Adanya keberagaman beracara bagi peradilan administrasi di seluruh Indonesia. 9. Asas Keterbukaan Persidangan. Maksudnya agar setiap proses acara persidangan dapat terjaga dari aspek kejujuran, keterbukaan, sehingga peradilan berjalan dengan objektif.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



183



10. Asas Musyawarah dan Perdamaian. Prinsip musyawarah harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang harus dilandasi oleh jiwa persaudaraan sesuai dengan prinsip negara hukum, dengan memberikan kemungkinan adanya perdamaian para pihak. 11. Asas Hakim Aktif. Dalam merapkan beban pembuktian, maka hakim secara aktif, guna menemukan kebenaran materiil terhadap sengketa yang diperiksanya.



Y



12. Asas Pembuktian Bebas. Hakim diberi peluang untuk melaksanakan pembuktian bebas, sebagai suatu konsekuensi logis dari pemberian peran aktif hakim adminstrasi. 13. Asas Audi Et Altream Partem. Asas ini adalah implementasi dari asas persamaan, di mana hakim tidak boleh membedakan antara penggugat dengan tergugat dan hakim harus bersifat adil, terhadap kedua pihak.



M



14. Asas Het Vermoden Van Rechtmatigheid atau Asas Presumtio Justea Causa. Bahwa demi kepastian hukum, setiap keputusan administrasi tata usaha negara, yang dikeluarkan harus dianggap benar menurut hukum, karenanya dapat dilaksanakan terlebih dahulu, selama belum dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh Hakim Administrasi sebagai keputusan yang bersifat melawan hukum.



M



15. Asas Rechmatigheid dan Larangan Doelmatigheid. Segi pemeriksaan adminstrasi dilakukan oleh peradilan administrasi murni, hanya terbatas dari segi Rchmatig dari keputusan tata usaha negara yang disengketakan, karenanya yang dilakukan pengujiannya dari segi yuridis saja.



U



16. Asas Pengujian Ex-tunc. Pengujian yang dimaksudkan adalah hanya terbatas pada fakta-fakta atau keadaan hukum, pada saat putusan tata usaha negara disengketakan akan dinyatakan batal dan berakibat tidak sah, sehingga pernyataan batal berlaku surut, terhitung dari saat dikeluarkannya.



D



17. Asas Konvensasi atau Asas Ongelijkheids Compentatie. Asas ini berkaitan dengan rehabilatrsi, yakni pemulihan hak-hak penggugat dalam kemampuan dan kedudukan harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri sipil semula, sebelum adanya sengketa. Karenanya penggugat dapat diangkat dalam jabatan lainnya, sekiranya jabatan itu telah diisi oleh orang lain. 18. Asas Hak Uji Materiil. Yakni pengujian dapat dilakukan oleh badan peradilan terhadap suatu peraturan perundang-undangan di bawah



184



Dinamika Hukum Pembuktian



undang-undang yang dikeluarkan oleh badan/pejabat administrasi negara. Pengujian meliputi segi formal dan materiil. 19. Asas Ultra Petita. Hal ini adalah suatu konsekuensi dari hakim aktif, karena hakim dapat melakukan penyempurnaan terhadap objek sengketa, dengan cara melengkapi objek sengketa yang diajukan para pihak. Penggunaan ultra petita ini, diupayakan semaksimalnya, dan terbatas pada memperbaiki fakta-fakta yang tidak didalilkan oleh penggugat dan menambahkan dengan yang tidak diminta oleh penggugat.



Y



20. Asas Putuan Bersifat Erga Omnes. Sengketa TUN, adalah sengketa hukum publik, maka putusan peradilannya akan menimbulkan konsekuensi mengikat umum, dan mengikat terhadap sengketa yang mengandung persamaan yang mungkin timbul pada masa akan datang.



M



Adapun ciri dari hukum acara peradilan tata usaha negara, terletak pada asas asas hukum yang melandasinya, yaitu:29



Pertama. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid/praesumptio iustae causa. Asas ini mengandung makna, bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechmatig sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang digugat (Pasal 67 (1) UU No. 5 Tahun 1986).



U



M



Philipus. M.Hadjon, vdkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 313. Pasal 67 (1) UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Pasal 58 Apabila dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa. Pasal 63 (1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. (2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim, wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya, dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Pasal 80. Demi kelancaran pemeriksaan sengketa, Hakim ketua sidang berhak di dalam memberikan petunjuk kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti, yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa. Pasal 85.(1) untuk kepentingan pemeriksaan, dan apabila hakim ketua sidang memandang perlu, dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap surat, yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa. 29



D



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



185



Kedua. Asas Pembuktian Bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam Pasal 107, hanya saja, masih dibatasi ketentuan Pasal 100. Ketiga. Asas Keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak, karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara, sedangkan penggugat adalah orang atau badan hukum perdata. Penerapan asas ini, terdapat dalam ketentuan Pasal 58, 63 (1),(2), 80, 85.



Y



Keempat. Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat erga omnes, sengketa TUN, adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan TUN,berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa



M



Dalam praktik, tidak semua hal, kputusan tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut, harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pengadilan baru berwenang, memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, jika seluruh upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan.



M



Dengan demikian terdapat dua jalur penyelesaian, yakni dalam hal tidak terdapat upaya administrasi, maka jalur Pengadilan Tata Usaha Tingkat pertama yang ditempuh, sedangkan melalui jalur administrasi, maka jalur yang tersedia adalah gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 53 (1),30 yang dapat bertindak sebagai penggugat, adalah orang atau badan hukum perdata, yang berkepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dengan kerugian/kepentingan. Petitum pokoknya adalah agar Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, dinyatakan tidak sah atau batal, Petitum tambahan adalah ganti rugi dan rehabilitasi.31



D



U



Pasal 53 (1): “Seseorang atau badan hukum perdata, yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berweang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu, dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.” 31 Philipus. M. Hadjon, dkk. Pengantar Hukum Adiminstrasi Indonesia. Op.Cit., hlm. 325. 30



186



Dinamika Hukum Pembuktian



D. Karakter Aneka Putusan Hakim Unsur-unsur objek sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, berdasarkan pasal 1(3) UU No. 5 Tahun 1986, terdiri dari, penetapan tertulis, oleh badan atau pejabat tata usaha negara; tindakan hukum tata usaha negara; Konkret individual dan final; akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.32



Y



Unsur Penetapan Tertulis.33 Istilah penetapan tertulis, terutama ditujukan kepada isi dan bukan kepada bentuk formasi, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis, dan akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini.



M



Unsur Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, terkesan adalah orang yang menduduki jabatan, padahal yang menduduki jabatan, bukanlah orang tetapi jabatannya. Setiap badan atau pejabat tata usaha negara, meliputi setiap badan, organisasi atau perorangan yang mendapat limpahan wewenang, untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.



M



Unsur Tindakan Hukum Tata Usaha Negara. Unsur ini membedakan perbuatan-perbuatan pemerintah, yang merupakan tindakan hukum dan perbuatan pemerintah yasng merupakan tindakan faktual. Hanya perbuatanperbuatan pemerintah yang merupakan tindakan hukum yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, selebihnya adalah gugatan ganti kerugian.



D



U



Unsur Konkret, Individual dan Final. Unsur konkret, hanya sekadar membedakan antara perbuatan pemerintah, yang konkret dengan yang abstrak. Sedangkan individual maksudnya bahwa perbuatan pemerintah tersebut ditujukan kepada individu tertentu atau seseorang atau badan hukum perdata tertentu. Dalam praktik unsur individual mengalami perkembangan. Lintong O. Siahaan. Teori Hukum dan Wajah PTNU Setelah Amandemen. Op.Cit., hlm. 68. Pasal 1 (3): “Keputuan Tata Usaha Negara, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara, yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” 32



33



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



187



Unsur final, berarti keputusan pemerintah tersebut sudah dapat langsung menimbulkan akibat hukum apabila dilaksanakan. Tidak memerlukan persetujuan lagi, dari atasan maupun instansi sejajar. Unsur Akibat Hukum. Artinya keputusan pemerintah tersebut, apabila dilaksanakan langsung, menimbulkan akibat hukum, bagi seseorang atau badan hukum perdata. Akibat hukum berupa kerugian yang timbul, yang diderita oleh orang yang terkena keputusan.



Y



Peraturan perundang-undangan, dan keputusan-keputusan tata usaha negara yang memuat pengaturan bersifat umum. Sebagaimana ditentukan dalam penjelasan pasal 1 angka 1, 2. Pasal 2 huruf b.34



M



Peraturan peraturan Kebijaksanaan. Para pejabat pelaksana pemerintahan sehari-hari, menunjukan betapa badan atau pejabat tata usaha negara, acpkalai menempuh berbagai langkah kebijaksanaan tertentu, antara lain menciptakan, apa yang yang disebut sebagai peraturan kebijakan (beleidsregel, policy rule). Produknya tidak terlepas dari peraturan kebijakan, yang berkaitan dengan freis emerssen, yaitu berdasarkan atau pejabat tata usaha negara, yang bersangkutan merumuskan kebijakan, dalam berbagai bentuk jurische regela, Suatu kebijaksanaan pada hakikatnya, merupakan produk dari peraturan tata usaha negara, yang bertujuan, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara, yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan kebijaksanaan dimaksud, pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan. Saat ini peraturan kebijaksanaan telah menjadi hal yang penting, dalam hukum administrasi Belanda, atau disebut juga sebagai perundang-undangan semu (pseudo-wetgeving). Peraturan kebijaksanaan ini tidak mengikat hukum secara langsung, namun mempunyai relevansi hukum, karena telah memberi ruang, bagaimana suatu badan tata usaha negara, menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikingbevoegdheid).



D



U



M



34 Pasal 1 angka 1: “Yang dimaksudkan dengan urusan pemerintahan, ialah kegiatan yang bersifat eksekutif. Angka 2, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini, ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara,baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum. Pasal 2 huruf b, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum, ialah pengaturan yang memuat norma norma hukum yang dituangkan, dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat tiap orang.”



188



Dinamika Hukum Pembuktian



Bentuk Gugatan dan Kepentingan.35 Gugatan adalah, adalah suatu permohonan berisi tunutan terhadap badan/pejabat TUN yang diajukan ke pengadilan administrasi untuk mendapatkan putusan, suatu gugatan dibuat dalam bentuk tertulis. Dasar atau Alasan Gugatan.36 Dasar atau alasan diajukannya gugatan terhadap suatu keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN, karena keputusan yang dikeluarkan tersebut oleh penggugat dianggap;



Y



Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik bersifat prosedural/formal dan bersifat materiil/substansial. Maupun karena dikeluarkan oleh badan/pejabat TUN yang tidak berwenang (onbevoegheid), yang berkaitan dengan ratione materiae atau ratione loci atau ratione temporis; Bersifat prosedural berarti berkaitan dengan hukum acara dilingkungan pemerintah (non kontentiosa) atau prosedur dikeluarkannya keputusan (beschikking) yang disengketakan. Bersifat formal berkaitan dengan atribusi atau dasar hukum dikeluarkannya keputusan yang disengketakan.



M



M



Dikeluarkan atas dasar penyalahgunaan wewenang (de tournement de pouvoir); Dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang (a bus de droit/ wilikeur). Dalam hukum acara PTUN, peranan hakim bersifat aktif (nielijkeheid van de rechter). Hal ini berbeda dengan hukum acara perdata, di mana hakim bersifat pasif (lijdelijk). Timbulnya hakim aktif dalam PTUN dilandasi pertimbangan yakni; karena keputusan tata usaha negara yang disengketakan merupakan bagian dari hukum positif, yang harus sesuai dengan tertib hukum (rechtsorde) yang berlaku dan sengketa berada dalam wilayah hukum publik. Karena itu hakim dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil.



D



U



Kecuali peran aktif hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat dengan tergugat, di mana kedudukan tergugat jauh lebih kuat, daripada kedudukan penggugat, baik berupa pasilitas dan keuangan serta kemampuan pengetahuan. Hakim tidak lagi tergantung sepenuhnnya kepada dalil dan bukti yang diajukan para pihak kepadanya.37 Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah seluruh rangkaian proses pemeriksaan sengketa. S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 247. Ibid., hlm. 253-254. 37 S.F.Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 333-334. 35 36



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



189



Maka hakim terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan kesimpulan masing-masing. Selanjutnya hakim akan bermusyawarah, dalam ruang tertutup guna mempertimbangkan putusan. Permufakatan dilakukan dengan sungguh sungguh, dengan mufakat bulat, atau dengan suara terbanyak, dan diupayakan untuk mufakat, bilamana tidak tercapai nufakat, maka hakim ketua sidang akan menentukan.38



Y



Selanjutnya berdasarkan Pasal 109 UU No. 5 Tahun 1986,39 Bahwa putusan pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat; Kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama jabatan, Kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersangkutan. Ringkaan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan, dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. Amar putusan yang tentang sengketa dan biaya perkara. Hari tanggal putusan, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Semua putusan yang tidak memuat hal-hal tersebut, akan mengakibatkan batalnya putusan tersebut. Amar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa;40 Gugatan dinyatakan gugur, apabila penggugat tidak hadir. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Gugatan dinyatakan ditolak. Gugatan dinyatakan dikabulkan.



M



M



Dalam hal gugatan dinyatakan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut, dapat diterapkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, yang disengketakan itu, yakni berupa kewenagan; Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan atau Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan Putusan Tata Usaha Negara yang baru, atau Penerbitan keputusan tata usaha negara, dalam hal gugatan didasarkan pasal 3 UU No. Tahun 1986.41



D



U



Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 79-80. Pasal 109: “(1)Putusan pengadilan harus memuat Kepala putusan, nama jabatan, pertimbangan hukum, alasan hukum, amar putusan, hari, tanggal, nama hakim, panitera.(2) Tidak dipenuhi salah satunya mengakibatkan putusan batal demi hukum.(3) selambatnya tiga puluh hari, setelah diucapkan putusan hari ditandatangani. (4) Dalam hal hakim ketua majelis berhalangan, maka putusan ditandatangani oleh ketua pengadilan. (5) Dalam hal anggota berhalangan, maka hakim ketua yang menandatangainya, dengan menyatakan hakim anggota berhalangan hadir.” 40 Rozali Abdullah. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 80. 41 Pasal 3: “(1) Apabila badan atau pejabat tata usaha negara, tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal itu disamakan dengan keputusan tata usaha negara. (2) Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak 38 39



190



Dinamika Hukum Pembuktian



Setiap orang yang bersengketa di pengadilan mengharapkan adanya suatu putusan, dan putusan itu merupakan tujuan akhir dari setiap orang yang bersengketa. Putusan akhir ini dikenal sebagai suatu putusan yang sifatnya mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu. Siatnya dapat bersifat menghukum (condemnatoir), putusan yang bersifat menciptakan (constitutif) dan putusan yang bersifat menerangkan (declaratoir). Sedangkan putusan sela atau schorsing adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim, sebelum mengeluarkan putusan akhir, dengan maksud mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam rangka memberikan putusan akhir. Putusan ini dibedakan menjadi putusan praeparatoir. Yakni putusan yang menggabungkan dua perkara menjadi satu atau putusan untuk menetapkan tenggang waktu, di mana para pihak harus bertindak. Putusan interlucutoir adalah putusan berisi perintah kepada salah satu pihak untuk membuktikan sesuatu hal. Adapun putusan peradilan berisi tentang:



M



Y



Pertama, Gugatan Gugur. Putusan Hakim PTUN dapat berisi menyatakan suatu gugatan gugur karena penggugat atau kuasa hukumnya tidak hadir di persidangan pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan, baik pada hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan penggugat setiap kali telah dipanggil dengan patut. Terhadap gugatan yang dinyatakan gugur tersebut, penggugat atau kuasa hukumnya masih diberikan kesempatan untuk memasukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar uang muka biaya perkara dan diberikan nomor register perkara baru.42 Kecuali itu perkara dapat pula dinyatakan gugur karena uang muka biaya perkara habis, sedangkan penggugat tidak menambahnya. Umumnya setelah pengadilan memperingatkan agar penggugat menambah uang muka biaya perkara dan penggugat tetap mengabaikannya, sidang pemeriksaan gugatan akan berhenti. Dalam batas waktu tertentu jika penggugat tidak juga memenuhi kewajibannya membayar tambahan uang muka biaya perkara, hakim dapat dan akan menggugurkan perkara, kecuali apabila pihak tergugat bersedia membayar kekurangan



D



U



M



mengeluarkan putusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, dimaksud telah lewat, Maka badan atau pejabat tata usaha negara dianggap tidak menolak mengeluarkan keputusan dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.” 42 Pasal 71 UU Nomor 5 tahun 1986.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



191



tambahan uang muka biaya perkara. Kemungkinan penggugat tidak bersedia membayar tambahan biaya perkara, karena penggugat menemukan kesalahan yang cukup esensial dalam gugatannya, sehingga apabila gugatan diteruskan penggugat memperkirakan bahwa putusan terhadap gugatannya akan dinyatakan gugur atau tidak diterima atau bahkan ditolak, sedangkan untuk memperbaikinya sudah tidak dimungkinkan menurut hukum acara administrasi. Sebaliknya apabila tergugat mengetahui kelemahan gugatan tersebut, ada kemungkinan tambahan uang muka biaya perkara akan dibayar oleh tergugat, dengan harapan pemeriksaan perkara diteruskan dan Hakim akan memutuskan serta menyatakan gugatan ditolak.



Y



Kedua, Gugatan Tidak Diterima (niet onvankelijk). Suatu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima dapat terjadi karena: keputusan yang digugat tidak termasuk pengertian keputusan menurut hukum positif.43 Atau karena keputusan dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, keadaan luar ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku,44 atau karena syaratsyarat gugatan tidak dipenuhi,45 atau karena gugatan tidak berdasar.46



M



M



Ketiga, Gugatan di tolak.(BersepwordtVerwapen/Ofoongonground). Suatu gugatan dinyatakan ditolak berarti keputusan badan/pejabat TUN dikuatkan atau dibenarkan, sehingga gugatan tidak dapat diajukan kembali. Keempat, dikabulkan (Geground/of teoegewezen).47 Menurut Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor MA/Kumdi/ 213/VII/K/1991,48 suatu gugatan dikabulkan dapat berarti Hakim PTUN menetapkan:



U



Mengabulkan gugatan penggugat; menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan atau yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara (hendaknya disebutkan tanggal, nomor. perihal) atau menyatakan tidak sah keputusan TUN yang disengketakan atau yang dikeluarkan badan/pejabat TUN (tanggal nomor. dan perihal).



D



Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986. Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. 45 Pasal 56 jo Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986. 46 Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986. 47 S.F. Marbun. Peradilan Administrasi Negara Indonesia. Op.Cit., hlm. 356-358. 48 Lihat Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung/ Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Nomor MA/ Kumdi/ 213/ VII/ K/ 1991 tanggal 9 Juli 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1986. 43 44



192



Dinamika Hukum Pembuktian



Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat dilaksanakan, adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu suatu putusan yang tak dapat diubah lagi, melalui suatu upaya hukum, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986.49 Adapun proses pelaksanaan Peradilan TUN oleh pejabat tata usaha negara di beberapa daerah, dipengaruhi oleh kesadaran kolektif dan interaksi di antara faktor-faktor, yang terkait dengan penyelengaraan pemerintahan dalam arti luas meliputi; DPRD, Pemerintah daerah, Ombudsmen, masyarakat dan pers/media massa, guna mendorong tumbuhnya self respect dari pejabat tata usaha negara di beberapa daerah, untuk senantiasa mematuhi peradilan TUN. Kendala itu meliputi pemahaman pejabat administrasi di daerah dalam memahami teori negara hukum. Kendala peraturan perundang-undangan, kendala pelaksanaan, sehingga langkah yang diperlukan, yakni peningkatan kesadaran dari pemerintah, peningkatan kapasitas kemampuan Peradilan TUN, pengawasan dari DPR atau DPRD, menjaga upaya keseimbangan kekuasaan dalam rangka pembagian kekuasaan negara dalam sistem negara hukum demokratis, agar dapat memberikan ruang yang memadai bagi Peradilan TUN, untuk melakukan fungsi pengawasan (yudicial control) guna mencegah terjadinya perbuatan pemerintah yang melanggar peraturan perundangundangan yang berlaku, dan memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik. Diperlukan peran Ombudsman.50



U



M



M



Y



E. Pembuktian Pada Peradilan Pajak



Pajak adalah bagian dari pemasukan keuangan negara, yang bermanfaat untuk kelanjutan pembangunan fisik negara. Karena iu, terdapat suatu kekhususan, terhadap peradilan pajak, yang dipusatkan pada kurang atau lebih bayar kewajiban perpajakan perorangan maupun badan hukum.



D



Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara (Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Pajak merupakan dan/atau kutipan secara resmi oleh pemerintah terhadap rakyatnya yang dilindungi oleh undang-undang dan dibuat oleh pemerintah sendiri. Pajak dapat dikelompokan menjadi 2 bagian



49 Pasal 115: “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.” 50 W. Riawan Tjandra. Peradilan Tata Usaha Negara. Op.Cit., hlm. 429-432.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



193



besar, yaitu: (1) Pajak tahun berjalan yang bersumber dari dalam dan luar negeri; dan, (2) Pajak yang berasal dari tuntutan pemerintah kepada wajib pajak yang berada di Peradilan Pajak.51 Kata pajak sering diidentikkan dengan kosa kata fiskal, begitu juga pegawai pemerintah di bidang pajak disebut juga dengan fiskus. Oleh karena itu, dalam konteks hukum, apabila hukum pajak disebut juga hukum fiskal, maka tidak perlu diperdebatkan karena sudah menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan teknis perpajakan di Indonesia. Kedudukan hukum pajak dalam hukum adalah sebagai Hukum Publik, yang terdiri atas: (a) Hukum Tata Negara; (b) Hukum Administrasi (Hukum Tata Usaha Negara); (c) Hukum Pajak; dan Hukum pidana.



Y



Dalam praktik perpajakan, sering kali terjadi timbul persoalan hukum antara wajib pajak (WP) atau penanggung pajak (PP) dengan pejabat perpajakan, yang lazim disebut sengketa pajak. 52 Sengketa yang timbul akibat suatu keputusan yang dikeluarkan Dirjen Pajak sesuai kewenangan yang dimilikinya berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Ketentuan (KUP), maka terhadap keputusan tersebut Wajib Pajak merasa yang tidak puas, selanjutnya mengajukan upaya hukum sesuai dengan UU KUP. Penyelesaian sengketa Pajak tersebut hanya bermuara pada banding dan gugatan di Pengadilan Pajak bukan di Peradilan Umum (pengadilan) dan terakhir di peninjauan kembali atas sebagian putusan pengadilan pajak di Mahkamah Agung.



U



M



M



Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan suatu perangkat dan sarana hukum yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa perpajakan antara pembayar pajak dengan aparat pajak. Ditinjau dari struktur dan muatan pada undang-undang tersebut terasa adanya ketidakseimbangan posisi antara para wajib pajak pencari keadilan dengan petugas pajak dalam hal terjadinya sengketa perpajakan. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan ketidakseimbangan posisi tersebut, yakni; Pertama,



D



Rositua Pandiangan, Hukum Pajak. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 5. Di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”. 51 52



194



Dinamika Hukum Pembuktian



dari segi bentuk formal pengadilan pajak yang berada di bawah kewenangan administratif eksekutif. Kedua, dari segi substansi di mana pengadilan pajak tidak mengenal upaya banding untuk memberi kesempatan bagi para pencari keadilan untuk menemukan kebenaran hakiki. Ketiga, adanya kewajiban bagi para pencari keadilan untuk terlebih dahulu menyetor sejumlah 50% dari nilai uang yang dipersengketakan.



Y



Persyaratan berupa kewajiban melunasi 50% dari jumlah pajak yang terutang seperti yang disebutkan di atas, menjadi tidak berlaku lagi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU KUP yang mulai berlaku 1 januari 2008.53 Hukum yang adil adalah hukum yang memberi ruang kepada para pencari keadilan untuk didengar dan dipertimbangkan keberatan-keberatannya manakala hak-haknya dilanggar orang lain atau kepadanya dibebankan suatu kewajiban melebihi yang sepatutnya diembannya. Hukum yang adil adalah hukum yang memihak secara seimbang kepada keadilan dan yang dari semula dikonstruksikan memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mempertahakan hak-haknya.54



M



M



Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.55 Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak, yang terdiri atas banding56 dan gugatan.57 selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa



D



U



53 Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait Dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 213 54 Adrian Sutedi, Hukum Pajak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 222 55 Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Selanjutnya dalam Pasal 3: “Dengan Undang-undang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Ibukota negara”. 56 Pasal 31 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 57 Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002: “Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku”.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



195



dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak, dan untuk selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua. Berdasarkan Pasal 23 UU KUP, Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat dilakukan terhadap: 1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; 2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;



Y



3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau, 4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitanya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.58



M



Dalam acara Peradilan Pajak, dikenal dua cara pemeriksaan yang terdiri dari Pemeriksaan dengan Acara Biasa dan Pemeriksaan dengan Acara Cepat.59 Secara prinsipil, perbedaan d iantara kedua jenis pemeriksaan ini adalah pada formasi hakim yang memimpin sidang, jika pada pemeriksaan dengan acara biasa harus dilakukan oleh Majelis Hakim, maka dalam pemeriksaan dengan acara cepat dapat dilakukan baik oleh Majelis maupun Hakim Tunggal. Di samping perbedaan pada formasi hakim, pada umumnya pemeriksaan dilakukan adalah pemeriksaan dengan acara biasa. Adapun yang dilakukan dengan acara cepat adalah terhadap:



U



1. Sengketa Pajak tertentu;



60



M



2. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2);61



D



Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan Pemer iksaan, Penyidikan, dan Penaguhan Pajak. Op.Cit., hlm. 234. 59 Dalam Pasal 49 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan: “Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh Majelis”, selanjutnya dalam Pasal 65 ditentukan: “Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim Tunggal”. 60 Dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan: “Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah Sengketa Pajak yang Banding atau Gugatannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6).” 61 Dalam Pasal 81 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan: “Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Gugatan diambil dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Surat Gugatan Diterima.” 58



196



Dinamika Hukum Pembuktian



3. Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, dalam Putusan Pengadilan Pajak;62 4. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang Pengadilan Pajak.



Y



Dalam upaya untuk mencari keadilan dalam beracara di Pengadilan Pajak, maka untuk kepentingan pembuktian, dikenal jenis-jenis alat bukti yang dapat dihadirkan dalam persidangan. Alat bukti tersebut terdiri atas:63 1. Surat atau tulisan; 2. Keterangan ahli;64 3. Keterangan para saksi;65 4. Pengakuan para pihak; dan/atau 66



5. Pengetahuan hakim.67



M



Dimaksud dengan surat atau tulisan yang dapat dijadikan alat bukti dalam peradilan pajak adalah: Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-



M



62 Dalam Pasal 84 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, ditentukan: “Putusan Pengadilan Pajak harus memuat: (a) kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; (b) nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya dari pemohon Banding atau Penggugat; (c) nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat; (d) hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan; (e) ringkasan Banding atau Gugatan, dan ringkasan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan, atau Surat Bantahan, yang jelas; (f) pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; (g) Pokok sengketa; (h) alasan hukum yang menjadi dasar putusan; (i) amar putusan tentang sengketa; dan, (j) hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.” 63 Pasal 69 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 64 Pasal 71 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.” 65 Pasal 73 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi”. 66 Pasal 74 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat, dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.” 67 Pasal 75 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.”



D



U



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



197



undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang; Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan banding atau gugatan;



Y



Setelah melalui rangkaian pembuktian, maka dijatuhkanlah Putusan Pengadilan Pajak.68 Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan hakim. Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh majelis, Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dalam hal ini, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan pajak. Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa: 1. Menolak;



U



M



M



2. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya; 3. Menambah Pajak yang harus dibayar;



4. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau, 5. Membatalkan.



D



Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Sebagai putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan Pengadilan Pajak tersebut tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut kewenangan/ kompetensi. Putusan Pengadilan Pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak terpenuhinya ketentuan tersebut putusan Pengadilan 68 Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ditentukan: “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.”



198



Dinamika Hukum Pembuktian



Pajak tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan karena itu putusan dimaksud harus diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila tidak puas dengan putusan pengadilan pajak, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.69 Pembuktian dalam peradilan pajak, juga mengikuti doktrin pembuktian dalam acara perdata, dan tata usaha negara, dilengkapi dengan perhitungan akuntansi, dalam model menghitung peradilan perpajakan.



D



U



M



M



Y



69 Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait dengan pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan. Op.Cit., hlm. 240.



Bagian Keempat — Beban Pembuktian dalam Praktik Peradilan



199



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BAGIAN KELIMA



RAGAM PEMBUKTIAN PADA PERADILAN ETIK



Sebagai perkembangan dari berbagai profesi, dan keharusan menjalankan profesi dengan standar-standarnya, maka etika profesi diatur, pada berbagai kebijakan hukum. Etika profesi mengharuskan adanya model peradilan tersendiri, sehingga putusan peradilan etika tidak mengarah pada peradilan dalam arti yang sebenarnya dikenal. Tetapi lebih pada makna yang sangat mulia, dari etika profesi itu. Sistem etika di zaman pasca modern sekarang ini, dikembangkan tidak saja sebagai sistem norma yang abstrak yang biasa dikhotbahkan dalam ritual-ritual keagamaan, tetapi juga sebagai sistem norma yang lebih konkret untuk kepentingan mengendalikan dan mengarahkan perilaku warga suatu komunitas, atau anggouta suatu masyarakat ke arah nilai-nilai yang diidealkan bersama. Sebagaimana tahap-tahap perkembangan sistem norma hukum dalam sejarah, sistem etika juga mengikuti alur perkembangan sejarah yang serupa, meskipun tidak persis sama. Dahulu kala hukum bukanlah suatu sistem norma yang biasa dituliskan dalam bentuk undang-undang, seperti di zaman sekarang. Sistem norma hukum baru dituliskan setelah umat manusia berkenalan akrab dengan tradisi baca- tulis, dan munculnya kebutuhan yang lebih konkret untuk mengatur perikehidupan bersama dalam masyarakat dan dalam kerangka organisasi bernegara.1 1 Jimly Asshiddiqie. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. vii.



201



Pada abad ke-9 H atau awal abad ke-13 M, dapat dikatakan bahwa pengertian umat manusia tentang etika sudah berkembang dalam waktu yang panjang. Jika ditelusuri, pengertian umat manusia tentang etika itu, sudah berkembang sejak lama dalam sejarah dan tumbuh dinamis melalui 5 (lima) tahap perkembangan. Tahap-tahap perkembangan sistem etika itu, yakni (i) tahap teologis, (ii) tahap ontologis, (iii) tahap positivist, (iv) tahap fungsional tertutup, serta (v) tahap fungsional terbuka atau tahap peradilan etika. Tahap perkembangan etika fungsional tertutup adalah yang terus berkembang di dunia sampai sekarang. Di Indonesia pun, perkembangan etika fungsional tertutup masih terus menjadi kebiasaan. Akibatnya, proses penegakan kode etik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara independen dan terbuka kepada publik yang di zaman sekarang menurut keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas publik yang lebih luas di semua bidang kehidupan sebagai prasyarat untuk terwujudnya prinsip good governance.2



M



Y



Selama ini, semua kasus dugaan pelanggaran kode etik di pelbagai organisasi profesi, di pelbagai lembaga-lembaga kenegaraan, instansi pemerintahan, dan organisasi kemasyarakatan, cenderung bersifat melindungi dan tidak sungguh-sungguh menegakkan kode etik. Yang berlaku adalah kultur ewuh-pekewuh. Misalnya, Majelis Kehormatan Dokter, cenderung melindungi dan membela kepentingan para dokter sendiri, dibandingkan melindungi dan membela apa yang dituntut pasien. Begitu juga dengan organisasi profesi lainnya seperti akuntan, advokat, dan sejenisnya, biasanya hanya melindungi teman-temannya sendiri daripada kliennya. Akibatnya, penegakan etika menjadi tidak efektif, etika profesi menjadi tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman, sementara tuntutan akan pelayanan profesional yang semakin baik, dan kesadaran konsumen dan klien akan hak-haknya tumbuh menjadi lebih kritis dan terbuka, menyebabkan munculnya tuntutan untuk mengembangkan pendekatan kriminalisasi terhadap kasus-kasus mal-praktik dalam pelayanan profesional.



D



U



M



Dalam sejarah, tradisi membangun etika positif berupa prinsip-prinsip etika dan perilaku yang dirumuskan sebagai standar yang diidealkan bagi anggota suatu komunitas profesi atau jabatan tertentu yang membutuhkan kepercayaan publik, pada mulanya muncul dalam praktik di Inggris, dan kemudian dikembangkan dalam arti yang lebih modern di Amerika Serikat. 2



202



Ibid., hlm. 92.



Dinamika Hukum Pembuktian



Bidang profesi yang pertama kali memperkenalkan sistem etika positif ini adalah di dunia kedokteran (medical ethics), kemudian yang menyusul berikutnya adalah profesi akuntan, kemudian yang ketiga adalah profesi hukum, dan terus berkembang selama abad ke-20, berkembang pesat di semua bidang profesi, di dunia bisnis, dan bahkan di lingkungan kekuasaan pemerintahan negara. Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang dalam praktik di semua bidang kehidupan, baik di ranah dunia usaha (market), di ranah masyarakat (civil society), maupun di sektor publik dan dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara (state). Dalam ranah negara pun, sistem kode etik dan infrastruktur etik ini berkembang, baik di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun judikatif, serta di lembaga-lembaga atau agencies yang bersifat independen.



M



Y



Gejala pembentukan komisi-komisi atau institusi-institusi penegak kode etik ini, baik yang bersifat permanen ataupun yang bersifat adhoc (sewaktuwaktu diperlukan), mencerminkan makin berkembangnya kesadaran umat manusia mengenai pentingnya sistem etika profesional itu ditegakkan secara efektif. Hal inilah yang mendorong United Nations menetapkan secara resmi rekomendasi Sidang Umum (General Assembly) pada tahun 1996, yang menganjurkan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang disebut infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik (ethics infra-structure in public offices). Hal ini tentu sangat berpengaruh ke seluruh dunia, sehingga semua negara terus mengadakan upaya pembentukan kode etik di pelbagai bidang dengan didukung oleh institusi-institusi penegakannya dalam praktik. Dengan demikian, sistem kode etik yang sudah dikenal sejak awal abab ke-19 sampai akhir abad ke-20, mengalami revitalisasi lebih lanjut dengan dukungan kelembagaan yang memungkinkan sistem etika benar-benar diterapkan secara fungsional dan ditegakkan secara efektif. Namun, dalam perkembangan mutakhir, fungsionalisasi sistem kode etik profesi dan etika jabatan publik ini belum dikonstruksikan sebagai suatu proses peradilan (norma etika), seperti yang dikenal dalam sistem norma hukum yang dilengkapi dengan mekanisme peradilan yang efektif. Pengertian etika itu sendiri masih dipahami sebagai sistem norma yang bersifat privat, sebagai norma yang pemberlakuannya didasarkan pada kesadaran internal yang bersifat sukarela (volutair).3



D



3



U



M



Ibid., hlm. 99-100.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



203



Beban pembuktian pada sistem peradilan etika, diatur pada kebutuhan, organisasi masyarakat etika, dan disesuaikan pula dengan kaidah-kaidah umum sistem peradilan dengan model pembuktiannya, juga ditentukan oleh norma-norma dan etika profesi yang bersifat universal.



A. Falsafah Etika



Y



Filsafat sebagai sumber utama hukum dan etika, baik atas dasar normanorma agama, maupun standar kepatutan dalam kehidupan pergaulan masyarakat. Maka filsafat juga mengenal norma-norma etika, yang berasal dari asas-asas umum dan universal.



M



Menggabungkan pemikiran filsafat, moral, budaya, etika, dan estetika, adalah suatu hasil seni yang bermakna kehalusan budi pekerti dalam sikap tindak. Sehingga memberikan sumbangan untuk keilmuan, dengan dasardasar berpikir terstruktur, maka akan ditemukan cara berpikir dan berperilaku etika dalam bertindak. Aksiologi ilmu pengetahuan, yang menyelidiki hakikat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan, bahwa cabang pengetahuan yang diketahui merupakan masalah-masalah nilai yang khusus, seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat, agama dan epistemologi yang berkaitan dengan kebenaran dalam arti kesusilaan, dan estetika yang bersangkutan dengan masalah keindahan. Etika yang berarti adat atau budi pekerti, pada umumnya mengajarkan bahwa setiap pribadi manusia mempunyai “otonomi moral”. Artinya, mempunyai hak dan kewajiban untuk menentukan sendiri tindakan-tindakannya, dan mempertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.



D



U



M



Keberadaan etika dalam strata kehidupan sosial tidak terlepas dari sistem kemasyarakatan, manusia yang terdiri atas aspek jasmaniah dan aspek rohaniah. Aspek rohaniah terdiri atas kodrat alamiah, kodrat budaya, serta dunia nilai. Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur menilai baik atau buruk. Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan khusus. Etika khusus dapat dibagi menjadi dua, yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan



204



Dinamika Hukum Pembuktian



sikap manusia terhadap diri sendiri. Etika sosial mengenai kewajiban sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota masyarakat.4 Pada hakikatnya, pelaksanaan suatu profesi merupakan penerapan reflektif kritis atas kaidah-kaidah etika kedalam kenyataan. Pelaksanaan pekerjaan profesi dipagari oleh kaidah-kaidah etika. Dengan etika profesi dapat diukur apakah suatu profesi dilakukan secara benar dan wajar. Esensi yang sangat penting dalam etika profesi adalah integritas, yaitu berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara terbaik untuk mendapatkan hasil terbaik. Istilah etika berhubungan dengan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Sedang profesi adalah adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian, keterampilan, dan kejujuran tertentu. Sedangkan kode etik adalah asas dan norma yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.5



M



Y



Etika profesi sebagai sikap hidup merupakan kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan pelayananprofessional dari pasien atau klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya disertai dengan refleksi yang seksama. Dalam menjalankan profesinya, hanya pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Kepatuhan pada etika profesi akan sangat bergantung pada ahlak pengemban profesi yang bersangkutan. Dalam lingkungan pengemban profesi dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi, yang disebut kode etik profesi atau disingkat kode etik. Setiap profesi, mengenal pendidikan/pelatihan yang khusus, dan harus mengabdi pada masyarakat, dan memiliki suatu kode moral dan suatu kode etik tersendiri. Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisikan garis-garis besar. Kode etik harus memiliki sifat-sifat antara lain: (1) harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi, (2) harus konsisten, tetapi tidak kaku, dan (3) harus bersifat universal.6



D



U



M



Syaiful Bakhri, Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam, (Tanggerang Selatan: UMJ Press, 2017), hlm. 200. 5 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia dalam Dimensi Ide dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 446. 6 Syaiful Bakhri, Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam. Op.Cit., hlm. 201. 4



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



205



Sejatinya filsafat adalah standar yang paling tinggi, di samping normanorma agama, dalam mengatur tata pergaulan di masyarakat tertentu sesuai dengan profesi, maupun kemuliaan klehidupan, yang memerlukan normanorma dalam kaidah berprilaku yang pantas, baik harmonis. Karenanya dalam membuktikan terhadap larangan-larangan etika, mesti disusun model kode etika profesi, dan sebagai bagian dari legalitas, dalam kehidupan



B. Berbagai Etika Profesi



Y



Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau pelbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku manusia. Ada tiga pendekatan dalam kajian ilmiah tentang moralitas ini, yaitu:



M



Etika Deskriptif, yakni etika yang melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas yang erat hubungannya dengan antropologi, sosiologi dan psikologi, dan bersandar pada ketiganya. Etika deskriptif mempelajari dan menguraikan moral sesuatu masyarakat, kebudayaan dan bangsa tertentu dalam suatu periode sejarah ia melukiskan adat istiadat, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Ia juga membandingkan dan menghadapkan sistem moral, kode-kode, praktik, dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ia hanya melukiskan, tidak memberikan nilai. Pendekatan Etika Deskriptif dipastikan oleh fakta moral, yang menggambarkan bagaimana bentuknya dibandingkan dengan bentuknya dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan, diselidiki sejarahnya, jangkauannya dan seterusnya.



U



M



Etika Normatif, ialah etika yang secara sistematis berusaha menyajikan serta membenarkan suatu sistem moral. Di sini para ahli tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti dalam etika deskriptif tapi ia melibatkan diri dengan memberikan penilaian tentang perilaku manusia. Etika normatif tidak deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan, melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Etika normatif berusaha mengembangkan serta membenarkan prinsip dasar moral atau nilainilai dasar sesuatu sistem moral. Sistem itu sendiri terdiri dari prinsip atau nilai-nilai dasar moral dan aturan-aturan moral yang khusus menguasai perilaku manusia dalam arti menghapuskan tindakan-tindakan yang buruk atau tidak bermoral, tetapi juga menganjurkan perilaku yang bermoral. Perilaku dan nilainilai inilah yang membentuk norma-norma moral sesuatu masyarakat.



D



206



Dinamika Hukum Pembuktian



Metaetika, yakni etika yang erat hubungannya dengan etika normatif. Sampai taraf tertentu etika normatif dan etika deskriptif mencakup juga kegiatan meta etika. Meta etika adalah studi tentang etika normatif. Ia kadang kala disebut etika analitis, karena ia menganalisis. Metaetika mengkaji makna istilah-istilah moral dan logika dari penalaran moral. Misalnya ia menyatakan apakah yang dimaksud dengan istilah “baik” dan “buruk” dalam arti moral dan apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab moral, kewajiban moral dan pengertian-pengertian sejenis itu. Di samping dari segi pendekatan ilmiah, etika juga dapat dilihat dari segi wilayah berlakunya, yakni etika umum dan etika khusus.



Y



Etika Umum. Yakni etika yang memandang tema-tema umum seperti, apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma moral mengikat kita? apa itu nilai dan apakah kekhususan nilai moral, dan sebagainya. Etika umum menyajikan suatu pendekatan yang teliti mengenai norma-norma yang berlaku umum bagi setiap warga masyarakat. Norma itu umpamanya dibedakan menjadi tiga bagian, yakni norma sopan santun, norma hukum, dan norma moral. Etika umum adalah suatu ilmu praktis dengan sasaran yang praktis pula. Ia bukan suatu disiplin yang sudah lengkap, melainkan berkembang terus dengan terus mengkaji isu-isu yang sedang diperdebatkan. Ia mengembangkan dan menganalisis bentuk argumentasi moral kehidupan, problema-problema moral yang dihadapi masyarakat dan perorangan, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang serasi dan selaras.



U



M



M



Etika Khusus menerapkan etika umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Wilayah pertama etika khusus terbagi 2 (dua). Wilayah pertama adalah wilayah untuk memecahkan masalah-masalah khusus dan meneliti moral dari wilayah-wilayah kegiatan manusia yang khusus, atau sering disebut kasuistik. Sedangkan wilayah kedua dari etika khusus adalah wilayah yang mencakup penerapan etika umum dalam bidang-bidang khusus, seperti etika bisnis, etika profesi, etika sosial, dan sebagainya. Etika khusus sering juga disebut etika terapan (applied ethics).7



D



Di dalam wilayah etika khusus inilah tempatnya etika profesi yang terbagi dalam berbagai bidang profesi yang digeluti oleh manusia dewasa ini. 7 Anang Mury Kurniawan, Upaya Hukum Terkait Dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 26-27.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



207



C. Dinamika Etika Hukum Etika hukum, adalah suatu etika yang mendasarkan pada profesi hukum yang terdiri dari para penegak hukum, serta organisasi profesi. Dalam profesi di bidang hukum, dikenal berbagai profesi yang masingmasing memiliki kode etiknya sendiri, di antaranya Profesi Hakim,8



Y



Profesi Advokat,9 dan Profesi Notaris.10 Pengertian Hakim di Indonesia dalam kaitannya dengan penegakan kode etik hakim, maka harus dibedakan antara hakim di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dengan hakim di Mahkamah Konstitusi. Jika hakim di Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya terikat pada mekanisame pengawasan oleh Komisi Yudisial,11 maka hakim di Mahkamah Konstitusi tidak terikat pada mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial. KY tidak bisa mengawasi MK dikarenakan telah ada Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Badan Pengawas atau Panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan KY ini sudah dinyatakan inkonstitusional pada tahun 2006 silam, sehingga pengawasan hakim konstitusi oleh KY dianggap melanggar UUD 1945.



M



M



Di lingkungan Mahkamah Agung, hakim diikat oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009. Kode etik ini disusun dengan kesadaran bahwa pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum, dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah



D



U



Untuk Hakim dalam Lingkungan Mahkamah Agung, diatur Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, sedangkan untuk Hakim Mahkamah Konstitusi, diatur dalam 9 Kode Etik Profesi Advokat diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. 10 Kode Etik Notaris diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 11 Pasal 24B ayat (1) UUD 1945: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. 8



208



Dinamika Hukum Pembuktian



negara yang berdasarkan hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai-nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara. Hakim sebagai aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.12



M



Y



Pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sin equanon atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas negara, dengan hakim sebagai aktor utama atau figur sentral.



U



M



Dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua



D



12



Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 159.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



209



manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.13 Ada 10 standar etika bagi hakim dalam melaksanakan kewenangannya, atau yang sering disebut Prinsip-prinsip Dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yakni: (1) Berperilaku Adil; (2) Berperilaku Jujur; (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana; (4) Bersikap Mandiri; (5) Berintegritas Tinggi; (6) Bertanggung jawab; (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri; (8) Berdisiplin Tinggi; (9) Berperilaku Rendah Hati; (10) Bersikap Profesional.



Y



Berperilaku adil,14 merupakan hal paling mendasar yang harus ada pada diri hakim. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap



M



M



Muqaddimah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 14 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan imbalan.; (2) Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dan tetap menjaga serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.; (3) Hakim wajib menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan.; (4) Hakim dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk penutut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk memengaruhi hakim yang bersangkutan.; (5) Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin, agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia, atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan maupun tindakan.; (6) Hakim dalam suatu proses persidangan wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses persidangan untuk menerapkan standar perilaku sebagaimana dimaksud dalam butir (5).; (7) Hakim dilarang bersikap, mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi, dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan.; (8) Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan tidak beriktikad semata-mata untuk menghukum.; (9) Hakim dilarang menyuruh / mengizinkan pegawai pengadilan atau pihak-pihak lain untuk memengaruhi, mengarahkan, atau mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.” 13



D



210



U



Dinamika Hukum Pembuktian



orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Berperilaku Jujur,15 bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakikat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun di luar persidangan. Berperilaku arif dan bijaksana,16 bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memerhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana



M



Y



15 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.; (2) Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan (impartiality). (3) Hakim tidak boleh meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas; (4) Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, dan Ketua Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (5) Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum, selama, dan setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama dan setelah menjabat.” 16 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim wajib menghindari tindakan tercela. (2) Hakim, dalam hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan. (3) Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara tersebut. (4) Hakim dilarang mengizinkan tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-anggota lainnya dari profesi hukum tersebut. (5) Hakim dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya. (6) Hakim dilarang menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya. (7) Hakim dilarang mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam proses peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang dan tugas yudisialnya.”



D



U



M



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



211



mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun. Bersikap Mandiri,17 bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apa pun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Berintegritas Tinggi, 18bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.



M



Y



Bertanggung jawab19 bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaikbaiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki



M



Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1) Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak mana pun. (2) Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) Hakim dan Badan Peradilan. (3) Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Badan Peradilan.” 18 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “(1) Hakim harus berperilaku tidak tercela; (2) Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.; (3) Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihakpihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh hakim yang bersangkutan.; (4) Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum pengadilan tempat hakim tersebut menjabat.; (5) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.” 19 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “ (1) Hakim dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain. (2) Hakim dilarang mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.” 17



D



212



U



Dinamika Hukum Pembuktian



keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut. Menjunjung tinggi harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur peradilan.20



Y



Berdisiplin Tinggi,21bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidahkaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.Berperilaku rendah hati,22bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap



M



M



Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “ (1) Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.; (2) Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim.; (3) Hakim dilarang menjadi advokat, atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.” 21 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“(1)Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.; (2) Hakim harus menghormati hakhak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.; (3) Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.; (4) Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki konflik kepentingan.” 22 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009:“ (1) Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.; (2) Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapa pun juga.” 20



D



U



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



213



tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas. Yang terakhir adalah bersikap profesional,23 yang bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.



Y



Untuk menegakkan prinsip-prinsip dari perilaku hakim di atas, maka hal ini merupakan kewenangan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, termasuk juga dapat mengajukan usul penjatuhan Sanksi terhadap hakim.24Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial berpedoman pada Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung, yang dalam realisasinya dituangkan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.



U



M



M



Adapun tahapan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:



D



23 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Ketua Komisi Yudisial No. 047/KMA/SKB/IV/2009: “(1) Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.; (2) Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.; (3) Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain secara professional.; (4) Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.” 24 Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011: “Komisi Yudisil mempunyai wewenang: b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan, d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.”



214



Dinamika Hukum Pembuktian



1. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; 2. menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; 3. melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;



Y



4. memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/ atau Pedoman Perilaku Hakim; dan,



5. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.



M



Dalam lingkungan Peradilan Konstitusi, hakim konstitusi bukanlah merupakan bagian dari objek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Hal ini dipertegas dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Badan Pengawas atau Panel ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Pada tahun 2006, 9 (sembilan) orang hakim konstitusi mendeklarasikan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Deklarasi ini dilakukan dengan merujuk pada “The Bangalore Principles”, sebagaimana yang diuraikan dalam Pembukaan Deklarasi bahwa, penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini merujuk kepada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “Civil Law” maupun “Common Law”, kemudian disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai hakim konstitusi.



D



U



M



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



215



Dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kode atik dan perilaku Hakim Konstitusi, maka dibentuklah Dewan Etik Hakim Konstitusi25 dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.26 Menjadi tugas dari Dewan Etik Hakim Konstitusi pada pokokya adalah: 1. melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/ atau informasi tentang dugaan pelanggaran27yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi; dan,



Y



2. menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi memiliki tugas:



M



1. malakukan pengelolaan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;



M



2. menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi. 25 Pasal 1 angka (2) PMK No. 2 Tahun 2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi: “Dewan Etik Hakim Konstitusi, yang selanjutnya disebut Dewan Etik, adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi, serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.” 26 Pasal 1 angka 2 PMK No. 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi: “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Majelis Kehormatan, adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim terlapor atau hakim terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.” 27 Pasal 21 ayat (2) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “yang dimaksud pelanggaran yang dilakukan Hakim Konstitusi adalah: (a) melakukan perbuatan tercela; (b) tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (c) melanggar sumpah atau janji; (d) dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (e) melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi; (f) melanggar larangan sebagai Hakim Konstitusi: (1) merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri; (2) menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung; (3) mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan; (g) tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim Konstitusi”



D



216



U



Dinamika Hukum Pembuktian



Baik Dewan Etik maupun Majelis Kehormatan, keduanya diberikan tugas dan wewenang untuk menegakkan Etika Hakim Kostitusi dan menindak setiap pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mendasarkan diri pada prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip Independensi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara;



Y



2. Prinsip Objektivitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menggunakan kriteria, parameter, data, informasi, dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan;



M



3. Prinsip Imparsialitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak memihak kepada siapa pun dan kepentingan apa pun;



M



4. Prinsip Penghormatan kepada profesi Hakim Konstitusi, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Hakim Konstitusi; 5. Prinsip Praduga Tidak Bersalah, yaitu Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dianggap tidak bersalah sampai dengan dibuktikan sebaliknya berdasarkan Keputusan Dewan Etik atau Keputusan Majelis Kehormatan;



U



6. Prinsip Transparansi, yaitu masyarakat dapat mengakses data, informasi, Keputusan Dewan Etik, dan Keputusan Majelis Kehormatan, kecuali halhal yang ditentukan lain dalam peraturan ini; dan,



D



7. Prinsip Akuntabilitas, yaitu Dewan Etik dan Majelis Kehormatan harus dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Penangan pelanggaran Etik yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, pertama-tama ditangani oleh Dewan Etik, setelah didahului oleh adanya laporan dan/ atau informasi mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik kepada Dewan Etik. Dugaan pelanggaran yang diperoleh melalui laporan masyarakat harus disampaikan oleh pelapor dalam bentuk tertulis,28 sedangkan 28 Pasal 56 ayat (2) PMK RI NO. 2 Tahun 2014: “Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: (a) Nama lengkap dan alamat pelapor; (b) Nama lengkap Hakim terlapor; dan, (c) Uraian mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor.”



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



217



dugaan yang diperoleh melalui informasi adalah dugaan pelanggaran yang diperoleh melalui pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik dan/atau dari masyarakat luas. Dalam hal dugaan pelanggaran diperoleh melalui laporan, maka Dewan Etik akan memanggil Pelapor maupun Hakim Terlapor untuk memberikan keterangan dalam Rapat Dewan Etik. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga wajib hadir sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada pihak lain termasuk tidak dapat didampingi kuasa hukum dalam setiap Rapat Dewan Etik.29 Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak memenuhi panggilan yang telah dilayangkan sebanyak 3 (tiga) kali, maka Rapat Dewan Etik dilaksanakan tanpa kehadiran Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.



M



Y



Rapat Dewan Etik dilaksanakan tertutup untuk umum dan dilakukanlah dalam rangka pemeriksaan yang meliputi: (a) mendengarkan keterangan pelapor; (b) mendengarkan keterangan saksi dan/ atau ahli; (c) memeriksa alat bukti; dan, (d) mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.



M



Pemeriksaan dalam Rapat Dewan Etik, bertujuan untuk melakukan pembuktian terhadap dugaan pelanggaran kode etik itu sendiri, sehingga untuk kepentingan tersebut, maka dikenal Alat Bukti berdasarkan Pasal 62 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014, sebagai berikut:



U



1. Surat atau tulisan; 2. Keterangan saksi; 3. Keterangan ahli;



4. Alat bukti lain berupa data dan/atau informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan,



D



5. Putunjuk.



Pasal 24 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rapat Dewan Etik dilaksanakan untuk: (a) merumuskan pendapat tertulis Dewan Etik atas pertanyaan Hakim Konstitusi mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a; (b) melakukan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b; dan, (c) mengambil keputusan Dewan Etik.” 29



218



Dinamika Hukum Pembuktian



Alat bukti surat atau tulisan adalah alat bukti yang dapat diperoleh dari Pelapor, Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, dan Pihak Lain. Alat bukti berupa keterangan saksi disampaikan di bawah sumpah, dan memberikan sebatas pada apa yang dilihat, didengar dan/atau dialami sendiri. Berbeda dengan alat bukti surat, keterangan saksi selain diajukan oleh Pelapor, Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, juga dapat diajukan oleh Majelis Kehormatan atau Dewan Etik. Keterangan Ahli adalah keterangan yang disampaikan oleh seseorang yang dipandang memiliki kemampuan di bidang tertentu, yang menyampaikan keterangan berdasarkan ilmu pengetahuan, keahlian, dan/ atau pengalamannya di bawah sumpah. Alat bukti pentunjuk adalah alat bukti yang diperoleh baik oleh Majelis Kehormatan atau Dewan Etik berdasarkan penilaian terhadap alat bukti dengan memerhatikan penyesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Berkenaan dengan alat Bukti, maka Rapat Dewan Etik menilai apakah suatu bukti dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah ataukah sebaliknya, dengan mendasarkan pada cara perolehannya dapat dipertanggaungjawabkan secara hukum.



M



M



Y



Setelah pemeriksaan alat bukti, maka Hakim Terlapor atau Hakum Terduga diberikan hak untuk melakukan pembelaan melalui klarifikasi dalam Rapat Dewan Etik.30 Akan tetapi, jika Hakim Terlapor atau Hakim Terduga memilih untuk tidak menggunakan Hak Pembelaannya, maka Dewan Etik tetap melanjutkan rapat untuk mengambil keputusan tanpa klarifikasi dan/ atau pembelaan dari yang bersangkutan. Hasil pemeriksaan Dewan Etik menghasilkan kesimpulan Dewan Etik yang di antaranya menyatakan:



U



1. Tidak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang diduga dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;



D



2. Terdapat pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; 3. Terdapat dugaan pelanggaran berat terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga;



30 Pasal 68 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Klarifikasi dan/ atau pembelaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada pihak lain.”



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



219



4. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali. Apabila Dewan Etik menyimpulkan terdapat pelanggaran ringan yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, maka Dewan Etik Mengambil Keputusan menjatuhkan Sanksi berupa teguran lisan, yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik.31



Y



Dalam hal Dewan Etik menyimpulkan terdapat dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga atau telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali, maka Dewan Etik mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan dugaan pelanggaran berat ini, disertai dengan usul pembentukan Majelis Kehormatan dan pembebastugasan hakim dimaksud.32



M



Majelis Kehormatan berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur: (a) 1 (satu) orang Hakim Konstitusi; (b) 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial; (c) 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; (d) 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan, (e) 1 (satu) orang tokoh masyarakat.33 Persidangan Majelis Kehormatan terdiri atas:



M



1. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;



U



2. Sidang Pemeriksaan Lanjutan; dan, 3. Rapat Pleno Majelis Kehormatan.



Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dilaksanakan untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat dan membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.34 Sidang pemeriksaan



D



Pasal 31 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik ditandatangani.” 32 Pasal 2 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Majelis Kehormatan dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi atas usul Dewan Etik.” 33 Pasal 9 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Susunan majelis kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.” 34 Pasal 35 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Sidang Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a tertutup untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh Majelis Kehormatan.” 31



220



Dinamika Hukum Pembuktian



pendahuluan meliputi: (a) mendengarkan keterangan Dewan Etik; (b) mendengarkan keterangan pelapor; (c) memeriksa alat bukti; (d) mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Sidang pemeriksaan pendahuluan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang menyatakan bahwa: 1. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran;



Y



2. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan; 3. Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat.



M



Apabila sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran, maka Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi Hakim yang bersangkutan.35 Sebaliknya jika sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, Majelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran ringan dan menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan. Lebih lanjut, apabila sidang pemeriksaan pendahuluan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat, maka Majelis Kehormatan mengambil keputusan melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang Pemeriksaan lanjutan, disertai dengan rekomendasi pemberhentian sementara.36



D



U



M



Pasal 41 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rehabilitasi Haki Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya Keputusan Majelis Kehormatan.” 36 Pasal 46 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “(1) Mahkamah Kosntitusi mengajukan permintaan pemberhentian sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak diterimanya Keputusan Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2); (2) Pemberhentian sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja dan dapat diperpanjang dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hri kerja.; (3) Sejak Mahkamah Konstitusi mengajukan permintaan pemberhentian sementara kepada Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak menangani perkara.” 35



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



221



Sidang pemeriksaan lanjutan dilaksanakan untuk: (a) melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran berat; (b) melakukan pemeriksaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali; (c) membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait hasil pemeriksaan pada point a dan b. Sidang pemeriksaan lanjutan dilaksanakan setelah Presiden mengeluarkan Keputusan (KEPPRES) tentang pemberhentian sementara Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Adapun Pemeriksaan pada pemeriksaan lanjutan meliputi:37 1. Mendengarkan keterangan Dewan Etik; 2. Mendengarkan Keterangan pelapor; 3. Memeriksa alat bukti;



M



Y



4. Mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.



Terhadap hasil sidang pemeriksaan lanjutan yang menyatakan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran, maka diambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan memberikan usul merehabilitasi hakim yang bersangkutan.38



U



M



Sebaliknya, jika sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, maka Mejelis Kehormatan mengambil keputusan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan dan sekaligus memuat penjatuhan sanksi berupa teguran lisan.



D



Lebih lanjut, jika sidang pemeriksaan lanjutan menyimpulkan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran berat, maka



Pasal 50 PMK RI No. 2 Tahun 2014: “ (a)Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran; (b) Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan; dan, (c) Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat.” 38 Pasal 51 ayat (3) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Mahkamah Konstitusi.” 37



222



Dinamika Hukum Pembuktian



diambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan ini disertai juga dengan sanksi berupa teguran tertulis atau pemberhentian dengan tidak hormat. Khusus untuk Sanksi pemberhentian dengan tidak hormat, maka keputusan tersebut disampaiakn kepada Mahkamah Konstitusi untuk selanjutnya diajukan pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga kepada Presiden.



Y



Segala keputusan yang diambil oleh Majelis Kehormatan, diputuskan dalam Rapat Pleno yang tertutup untuk umum.39



Keputusan Majelis Kehormatan bersifat final dan mengikat, oleh karena itu maka dalam mengambil keputusan Dewan Etik dan Majelis Kehormatan mendasarkan pada: 1. Asas kepatutan, moral, dan etika; 2. Fakta yang terungkap dalam sidang dan rapat; 3. Kode Etik Hakim Konstitusi; dan,



M



M



4. Keyakinan anggota Dewan Etik dan anggota Majelis Kehormatan. Pengambilan keputusan berkenaan dengan penegakan etik oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan dilakukan secara musyawarah mufakat dalam rapat tertutup untuk umum. Namun jika dalam musyawarah tidak mencapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.



U



D. Dinamika Etika Kedokteran



D



Dalam konteks Indonesia, organisasi profesi yang dapat dikatakan pertama menyusun dan memberlakukan sistem kode etik itu bagi para anggotanya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang sering disebut Kode Etik Kedokteran Indonesia atau disingkat Kodeki.40



39 Pasal 54 ayat (1) PMK RI No. 2 Tahun 2014: “Rapat Pleno Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c dilaksanakan untuk mengambil keputusan Majelis Kehormatan.” 40 Kode Etik Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pada 19 April 2002 di Jakarta.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



223



Dalam kodeki, 4 (empat) macam kewajiban dalam profesi kedokteran, yakni: Kewajiban umum;41 Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;42 Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat:43 Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.44



Y



41 Pasal (1) setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter; Pasal (2) Seorang dokter senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tinggi; Pasal (3) dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi; Pasal (4) setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri; Pasal (5) tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien; Pasal (6) setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat; Pasal(7) seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya; Pasal (7a) seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia; Pasal (7b) seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien; Pasal (7c) seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien; Pasal (7d) setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani; Pasal (8) dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memerhatikan kepentingan masyarakat dan memerhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya; Pasal (9) setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. 42 Pasal (10) Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalm hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut; Pasal (11) Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya; Pasal (12) Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; Pasal (13) Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 43 Pasal (14) Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan; Pasal (15) Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. 44 Pasal (16) Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik; Pasal (17) Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.



D



224



U



Dinamika Hukum Pembuktian



M



M



Di samping empat jenis kewajiban di atas, dalam dunia kedokteran terdapat 6 (enam) sifat dasar yang harus dijadikan pegangan oleh setiap dokter dalam menjalankan tugas profesionalnya, yaitu: (1) sifat ketuhanan; (2) kemurnian niat; (3) Keluhuran budi; (4) kerendahan hati; (5) kesungguhan kerja; dan, (6) integritas (ilmiah dan sosial).45 Dalam menjalankan enam sifat dasar diatas, ada beberapa prinsip etika yang harus dijadikan rujukan, yaitu: (a) Autonomy, yakni hak untuk menentukan atau memilih sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan bagi pasien; (b) Beneficience, yakni prinsip memberikan bantuan atau melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain; (c) Nonmaleeficence, yakni tidak membahayakan atau menimbulkan rasa sakit fisik maupun emosional; (d) Justice,yakni berperilaku secara adil; (e) Veracity, yakni berperilaku jujur atau tidak berbohong; dan (f) Fidelity, yakni memiliki komitmen terhadap pelayanan sehingga menimbulkan rasa saling percaya.46



M



Y



Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Terhadap pelanggaran yang terbukti dilakukan, tersedia ancaman sanksi yang tergantung berat ringannya kesalahan atau pelanggaran kode etik. Perbuatan atau tindakan yang termasuk kategori pelanggaran itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yakni pelanggaran yang bersifat etika murni dan pelanggaran yang bersifat etikolegal. Pelanggaran yang bersifat etika murni adalah perbuatan atau tindakan yang hanya melanggar norma etika seperti yang diatur dalam KODEKI.47



U



M



Adapun pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah tindak atau perbuatan yang melanggara norma etika dan sekaligus memenuhi unsur pelanggaran hukum.48



D



Mukadimah Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 152. 47 Contoh pelanggaran yang bersifat etika murni adalah: (i) menarik imbalan yang tidak wajar, atau menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat sendiri (sejawat dokter atau dokter gigi); (ii) mengambil alih pasien tanpa persetujuan dokter sejawat; (iii) memuji diri sendiri di depan pasien, apalagi dengan membandingkan dengan keburukan dokter lan; (iv) memberikan perlakuan khusus kepada pasien tertentu dengan mengabaikan pasien lain yang berdekatan yang menghadapi masalah yang sama. 48 Contoh pelanggaran yang bersifat etikolegal adalah: (i) memberikan pelayanan kedokteran di bawah standar; (ii) menerbitkan surat keterangan palsu; (iii) membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter lain; (iv) melakukan tindakan abortus provokatus yang dilarang menurut undang-undang; (v) melakukan pelecehan seksual terhadap pasien. 45 46



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



225



Di samping itu, setiap pelanggaran yang memenuhi unsur pelanggaran hukum secara otomatis tergolong juga sebagai pelanggaran etika, tetapi sesuatu pelanggaran etika, belum tentu melanggar hukum. Dalam upaya untuk mengimplementasikan KODEKI secara efektif, maka ditetapkanlah Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia.49



Y



Adapun tujuan ditetapkannya Pedoman iniadalah sebagai aturan yang harus diikuti sebagai tata laksana pembinaan penerapan etik kedokteran dalam pengabdian profesi dan penyelesaian dugaan pelanggaran etik kedokteran oleh MKEK di Indonesia dalam rangka penyempurnaan berkelanjutan praktik kedokteran yang peduli terhadap pasien/publik.



M



MKEK bertugas melakukan pembinaan etika kedokteran yang dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etiva Provesi MKEK, untuk meningkatkan profesionalisme dokter, serta meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan, pengamalan kaidah dasar bioetika dan etika kedokteran oleh para dokter dan calon dokter di Indonesia dalam menyelenggarakan pengabdian profesi kedokteran. Selain pembinaan, MKEK juga berwenang untuk menangani pelanggaran etik kedokteran, yang dilakukan oleh Divisi Kemahkamahan MKEK.50



U



M



49 Mejalis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah badan otonom Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bertanggung jawab mengoordinasikan kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran, yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing. 50 Pasal 20 Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: (1) Menilai keabsahan dan meneliti pengaduan, menetapkan persidangan, memeriksa dan menilai bukti-bukti, memanggil dan memeriksa saksi-saksi, menyidangkan kasus dokter teradu atau diadukan akibat dugaan penyimpangan sikap, tindak, perilaku, kesalahan dan pelanggaran praktik profesi kedokteran, menetapkan adanya pelanggaran etik atau tidak, kemudian menjatuhkan sanksi etik bagi yang terbukti melanggarnya sesuai ketentuan yang berlaku dari sengketa medik yang diperiksanya; (2) Menilai keabsahan pengaduan, memeriksa, menilai bukti-bukti, memanggil dan memeriksa saksi-saksi, menyidangkan, menetapkan putusan dugaan konflik etikolegal antara dokter – dokter, antar sesama perangkat dan jajaran IDI serta antara dokter – tenaga kesehatan lainnya; (3) Melakukan pemeriksaan, penyidangan, penjatuhan sanksi dan penilaian banding kasus konflik etikolegal dan atau sengketa medik yang telah diperiksa, disidangkan dan dijatuhi sanksi etik oleh lembaga-lembaga etika atau disiplin dalam perangkat dan jajaran IDI setingkat, apabila terdapat ketidakpuasan para pihak.; (4) Menyidangkan kasus etika yang dikirim oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia setingkat atau lembaga disiplin tenaga kesehatan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku;



D



226



Dinamika Hukum Pembuktian



Penanganan pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang dokter, dimulai setelah adanya aduan yang diajukan pada pada MKEK.51 Pengaduan dapat disampaikan melalui IDI Cabang/Wilayah atau langsung ke MKEK Cabang/Wilayah tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut. Pengaduan diajukan secara tertulis dan sekurang-kurangnya harus memuat: (i) identitas pengadu; (ii) nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan; (iii) alasan sah pengaduan; dan,(d) bukti-bukti atau keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran etika tersebut. Terhadap pengaduan yang tidak memenuhi syarat di atas, maka permohonan tersebut dapat ditolak oleh Ketua MKEK setempat.52



Y



Setelah proses pengaduan dinilai sah, selanjutnya dilakukan proses penelahaan. Penelaahan dilakukan oleh MKEK Wilayah/ Cabang setempat dimana pengaduan tersebut pertama kali diterima atau sesuai dengan yurisdiksinya dan dilakukan dalam bentuk sidang MKEK dengan atau tanpa Divisi Pembina Etika Profesi MKEK Wilayah/Cabang yang dinyatakan khusus untuk itu. Dalam tahap penelaahan sampai dengan penjatuhan sanksi etik MKEK menggunakan asas praduga tak bersalah. Berdasarkan hasil penelaahan, Ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa. Terhadap aduan yang dinyatakan layak untuk disidangkan, maka aduan tersebut kemudian dilanjutkan ke proses pemeriksaan oleh Divisi Kemahkamahan MKEK.



U



M



M



Pembuktian dalam persidangan di Mahkamah Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, mengenal jenis-jenis barang bukti yang terdiri dari: (1)



D



Pasal 22 ayat (1) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Pengaduan dapat berasal dari: (a) Langsung oleh pengadu seperti pasien, teman sejawat, tenaga kesehatan lainnya, institusi kesehatan, dan organisasi profesi.:(b) Rujukan/banding dari MKEK Cabang untuk MKEK Wilayah atau rujukan/ banding dari MKEK Wilayah untuk MKEK pusat:(c) Temuan IDI setingkat:(d) Temuan dan atau permintaan Divisi Pembinaan Etika Profesi MKEK setingkat; (e) Hasil verifikasi MKDKI atau lembaga disiplin profesi atau lembaga pembinaan etika yang menemukan adanya dugaan pelanggaran etika sesuai ketentuan yang berlaku.;(f) Hal-hal lain yang akan ditentukan kemudian oleh MKEK Pusat sesuai dengan asas keadilan dan pencapaian tujuan pembinaan etika profesi. 52 Pasal 22 ayat (6) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Dalam hal pengaduan tidak lengkap atau tidak sah atau berisi keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian profesi, Ketua MKEK setempat dapat menolak atau meminta pengadu memperbaiki atau melengkapinya.” 51



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



227



Barang bukti surat-surat; (2) rekam medik; (3) obat atau bagian obat; (4) alat kesehatan; (5) benda-benda; (6) dokumen; (7) kesaksian-kesaksian;53 (8) kesaksian ahli;54 (9) petunjuk yang terkait langsung dalam pengabdian profesi atau hubungan dokter – pasien yang masing-masing menjadi teradu – pengadu atau para pihak.55 Pada saat penelaahan atau persidangan, MKEK dapat meminta diperlihatkan, diperdengarkan, dikopi, difoto, digandakan atau disimpankannya barang bukti asli. Akan tetapi, pengadu dan atau teradu diberikan kebebasan untuk menolak melakukan permintaan MKEK tersebut, dan selanjutnya penolakan tersebut dicatat sebagai bahan pertimbangan MKEK dalam menjatuhkan putusan.Yang menarik dalam pembuktian oleh mahkamah MKEK adalah bahwa MKEK tidak berwenang melakukan penyitaan atas barang bukti asli yang baik oleh pengadu dan teradu. Apabila barang-barang bukti tersebut mengandung sesuatu yang diduga memiliki unsur pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku, MKEK berhak meneruskannya kepada pihak yang berwenang.



M



M



Y



Berdasarkan hasil pembuktian dalam persidangan Mahkamah MKEK, maka majelis pemeriksa kemudian menjatuhkan Putusan.56 Apabila dijatuhkan Putusan bersalah, maka hal ini harus diikuti dengan sanksi sekaligus cara, ciri dan lama pembinaan dokter terhukum/pelanggar dari Majelis Pemeriksa atau Divisi Kemahkamahan MKEK terhadap hasil penelaahan dan persidangan dugaan pelanggaran etika kedokteran terhadap dokter teradu oleh pasien/keluarga pengadu.



D



U



53 Pasal 27 ayat (2) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Saksi adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, pimpinan sarana kesehatan, komite medik, perorangan atau praktisi kesehatan lainnya yang mendengar atau melihat atau yang ada kaitan langsung dengan kejadian/perkara atau dokter yang diadukan” 54 Pasal 27 ayat (3) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Saksi ahli adalah dokter yang memiliki keahlian dan keilmuan yang tidak terkait langsung dengan kejadian/perkara dan tidak memiliki hubungan keluarga atau kedinasan dengan dokter teradu atau dengan pasien pengadu.” 55 Pasal 27 ayat (2) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Petunjuk sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dapat berupa rekomendasi atau temuan badan advokasi/pengkajian profesi/badan lain sejenis di perangkat dan jajaran IDI yang dapat ditentukan lebih lanjut oleh keputusan Ketua MKEK Pusat.” 56 Pasal 28 ayat (1) Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia: “Putusan adalah ketentuan akhir berupa ketetapan bersalah atau tidak bersalah dokter teradu, dengan berupa dinyatakannya melanggar atau tidak melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia.”



228



Dinamika Hukum Pembuktian



E. Dinamika Etika Politik Selama abad ke-20, ide tentang kode etik berkembang pesat disemua bidang profesi, di dunia bisnis, bahkan di lingkungan kekuasaan pemerintahan negara. Di Amerika misalnya, sekarang dari 50 negara bagian Amerika Serikat, sudah ada 42 negara bagian yang membangun infrastruktur etik berupa kode etik dan kode perilaku, dilengkapi dengan terbentuknya Komisi Etik yang bersifat permanen dalam rangka mengembangkan dan menegakkan kode etik tersebut sebagai institusi yang bersifat mandiri (independent oversight commission). Sistem kode etik dan kode perilaku terus berkembang dalam praktik di semua bidang kehidupan, baik di ranah dunia usaha (market), di ranah masyarakat (civil society), maupun di sektor publik dan dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara (state). Dalam ranah negara pun, sistem kode etik dan infrastruktur etik ini berkembang, baik di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun judikatif, serta di lembaga-lembaga atau agencies yang bersifat independen.57



M



M



Y



Di lingkungan cabang kekuasaan legislatif, berdasarkan Undang-Undang MD3, telah dibentuk Mahkamah Kehormatan Dewan.58 Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Kehormatan 59 untuk Dewan Perwakilan Daerah, sebagai bagian dari alat kelengkapan dewan, yang bertugas untuk menegakkan kode etik bagi setiap anggota DPR dan anggota DPD.



U



Kode etik DPR adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota DPR selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Setidaknya ada 16 (enam belas) kode etik yang harus dijadikan pedoman oleh setia anggota Dewan Perwakilan Rakyat selama menjalankan tugasnya, yakni: (1) Kode etik pada kepentingan



D



Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm. 100. Pasal 1 angka (4) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Mahkamah Kehormatan Dewan, selanjutnya disingkat MKD adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.” 59 Pasal 89 Peraturan DPD RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib: “Badan kehormatan merupakan Alat Kelengkapan DPD yang bersifat tetap dalam pelaksanaan fungsi untuk menjaga kehormatan dan menegakan kode etik.” 57 58



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



229



umum; 60 (2) Integritas; 61 (3) Hubungan dengan mitra kerja; 62 (4) Akuntabilitas;63 (5) Keterbukaan dan Konflik Kepentingan;64 (6) Rahasia;65 (7) Kedisiplinan;66 (8) Hubungan dengan konstituen atau masyarakat;67 (9) Perjalanan Dinas;68 (10) Independensi:69 (11) Pekerjaan lain di luar negeri; 70 (12) Hubungan dengan wartawan;71 (13) Hubungan dengan



Y



60 Kode etik pada kepentingan umum di antaranya, Pasal 2 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.” 61 Kode etik pada Integritas di antaranya, Pasal 3 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “ (1) Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.” 62 Kode etik Hubungan dengan mitra kerja di antaranya, Pasal 4 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan dengan Mitra Kerja; (2) Anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.” 63 Kode etik Akuntabilitas di antaranya, Pasal 5 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya demi kepentingan negara.” 64 Kode etik Keterbukaan dan Konflik Kepentingan di antaranya, Pasal 6 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “ (1) Sebelum mengemukakan pendapatnya dalam pembahasan suatu permasalahan tertentu, Anggota harus menyatakan di hadapan seluruh peserta Rapat jika ada suatu keterkaitan antara permasalahan yang sedang dibahas dengan kepentingan pribadinya di luar kedudukannya sebagai Anggota.” 65 Kode etik Rahasia diantaranya, Pasal 7 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Anggota wajib menjaga Rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil Rapat yang dinyatakan sebagai Rahasia sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan atau sampai dengan masalah tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum.” 66 Kode etik Kedisiplinan diantaranya, Pasal 8 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota harus hadir dalam setiap Rapat yang menjadi kewajibannya; (4) Anggota harus aktif selama mengikuti Rapat terkait dengan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya.” 67 Kode etik Hubungan dengan konstituen atau masyarakat di antaranya, Pasal 9 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota harus memahami dan menjaga kemaje­ mukan yang terdapat dalam masyarakat, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, maupun pilihan politik.” 68 Kode etik Perjalanan Dinas di antaranya, Pasal 10 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(3) Anggota tidak boleh membawa Keluarga dalam suatu Perjalanan Dinas, kecuali dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau atas biaya sendiri.” 69 Kode etik Independensi di antaranya, Pasal 11 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota MKD harus bersikap independen dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.” 70 Kode etik Pekerjaan lain di luar tugas kedewanan di antaranya, Pasal 12 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Anggota wajib mendahulukan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebagai Anggota.” 71 Kode etik Hubungan dengan wartawan di antaranya, Pasal 13 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(2) Anggota dapat menjelaskan kepada wartawan mengenai data dan



D



230



U



Dinamika Hukum Pembuktian



M



M



tamu di lingkungan DPR;72 (14) Hubungan antara-anggota dengan alat kelengkapan DPR;73 (15) Etika Persidangan;74 (16) Hubungan dengan Tenaga Ahli, Staf Administrasi Anggota, dan Sekretariat Jenderal.75 Hak yang menarik dalam pengaturan tentang etika dalam UU MD3 adalah,pelanggaran etik didefinisikan sebagai pelanggaran Peraturan Perundang-undangan ataupun sebaliknya, pelanggaran Peraturan Perundangundangan oleh anggota merupakan pelanggaran kode etik.76



Y



Pelanggaran etik oleh anggota Dewan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat. Yang dimaksud dengan pelanggaran ringan adalah pelanggaran kode etik dengan kriteria: 1. tidak mengandung pelanggaran hukum;



M



2. tidak menghadiri Rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi;



M



3. menyangkut etika pribadi dan Keluarga; atau,



U



4. menyangkut tata tertib Rapat yang tidak diliput media massa. informasi yang didapatkan dalam Rapat, kecuali yang bersangkutan tidak menghadiri Rapat, serta data dan informasi Rapat yang bersifat Rahasia” 72 Kode etik Hubungan dengan tamu di lingkungan DPR di antaranya, Pasal 14 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota wajib menjaga hubungan profesional dengan tamu.” 73 Kode etik Hubungan antar-anggota dengan alat kelengkapan DPR di antaranya, Pasal 14 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “Sesama Anggota harus saling menghormati dan menghargai fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing sesuai dengan penugasan pada alat kelengkapan DPR.” 74 Etika persidangan diantaranya, Pasal 16 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota wajib mematuhi tata cara rapat sebagaimana diatur dalam peraturan DPR yang mengatur mengenai tata tertib.” 75 Hubungan dengan Tenaga Ahli, Staf Administrasi Anggota, dan Sekretariat Jenderal diantaranya, Pasal 18 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2015: “(1) Anggota dilarang melakukan diskriminasi dalam hal penentuan tenaga ahli dan staf administrasi Anggota serta pemberian kompensasi yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.” 76 Pasal 20 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014: “Pelanggaran peraturan perundangundangan oleh Anggota merupakan pelanggaran Kode Etik.”



D



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



231



Dimaksud dengan pelanggaran sedang adalah pelanggaran kode etik dengan kriteria sebagai berikut: 1. mengandung pelanggaran hukum; 2. mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD; 3. mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi setelah sebelumnya mendapatkan sanksi ringan; atau,



M



Y



4. menyangkut pelanggaran tata tertib Rapat yang menjadi perhatian publik.



Terhadap pelanggaran berat, yakni pelanggaran kode etik dengan kriteria sebagai berikut; 1. mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD;



M



2. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undangundang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 3. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;



U



4. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota yang diatur dalam undang–undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;



D



5. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 6. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau, 7. terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.



232



Dinamika Hukum Pembuktian



MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.77 Susunan dan keanggotaan MKD berasal dari anggota DPR yang secara keseluruhan berjumlah 17 (tujuh belas) orang, yang pengisiannya dilakukan dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. MKD adalah alat kelengkapan yang bertugas menegakkan etik, baik melaui upaya pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan dilakukan melalui sosialisasi, pelatihan, mengirimkan surat edaran dan memberikan rekomendasi, atau cara lain yang ditetapkan oleh MKD. Adapun upaya penindakan dilakukan oleh MKD dengan merujuk pada peraturan DPR yang mengatur mengenai tata beracara MKD. Dalam rangka pencegahan, maka MKD bertugas melakukan pemantauan terhadap perilaku anggota agar tidak melakukan pelanggaran atas kewajiban anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib dan Kode Etik.



M



M



Y



Perkara yang diajukan ke MKD, dapat berupa perkara pengaduan, maupun perkara tanpa pengaduan. Yang dimaksud perkara dengan pengaduan adalah: (a) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (b) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah; (c) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang–undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan/atau, (d) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.



D



U



77 Pasal 119 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014: “Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.”



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



233



Sedangkan yang dimaksud dengan perkara tanpa pengaduan adalah: (a) tidak menghadiri rapat paripurna 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi; (b) tidak menghadiri rapat alat kelengkapan DPR 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat alat kelengkapan DPR dalam 1 (satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi; (c) pelanggaran terhadap undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan DPR yang mengatur mengenai tata tertib dan Kode Etik yang menjadi perhatian publik; (d) tertangkap tangan melakukan tindak pidana; dan, (f) terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.



M



Y



Pengaduan dapat disampaikan baik oleh Pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota, anggota terhadap Pimpinan DPR atau Pimpinan AKD, maupun masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota,78



M



Pimpinan DPR, atau Pimpinan AKD.Pengaduan disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani atau diberi cap jempol oleh Pengadu, serta setidak-tidaknya memuat: (a)identitas Pengadu;79 (b) identitas Teradu;80 dan, (c) uraian peristiwa yang diduga pelanggaran. Berkenaan dengan uraian peristiwa yang diduga pelanggaran, maka yang disampaikan adalah uraian singkat meliputi fakta perbuatan yang dilakukan oleh Teradu dengan kejelasan tempat dan waktu terjadinya disertai bukti awal. Setelah aduan diterima, maka sekretariat kemudian melakukan verifikasi



D



U



Pasal 6 ayat (3) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Dalam hal Pengadu adalah kelompok atau organisasi, identitas Pengadu dilengkapi akta notaris, struktur organisasi, atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi beserta domisili hukum yang dapat dihubungi.” 79 Pasal 6 ayat (2) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Identitas Pengadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi identitas diri yang sah paling sedikit meliputi: (a) nama lengkap; (b) tempat tanggal lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; (e) kewarganegaraan; dan, (f) alamat lengkap/domisili. 80 Pasal 6 ayat (4) Peraturan DPR RI No. 2 Tahun 2015: “Identitas Teradu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: (a) nama lengkap; (b) nomor anggota; (c) daerah pemilihan; dan, (d) fraksi/partai politik.” 78



234



Dinamika Hukum Pembuktian



terhadap kelengkapan berkas dan bukti yang diajukan. Apabila telah selesai tahap verifikasi, maka sekretariat menyampaikan hasilnya kepada MKD, untuk selanjutnya diadakan rapat untuk memutuskan tindak lanjut Perkara Pengaduan dimaksud. Keputusan tindak lanjut dari suatu aduan, didasarkan pada kelengkapan alat bukti. Dalam hal penanganan perkara tanpa pengaduan, maka pelaksanaannya didasarkan pada: (a) usulan anggota MKD atau pimpinan MKD; atau (b) hasil Verifikasi oleh Sekretariat dan Tenaga Ahli terhadap pelanggaran yang tidak memerlukan Pengaduan. Berbeda dengan perkara yang didahului pengaduan, dalam perkara tanpa pengaduan, maka keputusan untuk melanjutkan perkara tidak didasarkan pada kelengkapan alat bukti, melainkan cukup dengan diputuskan dalam Rapat MKD. Apabila rapat memutuskan untuk menindaklanjuti perkara, maka perkara dimaksud kemudian dicatat secara administratif oleh Sekretariat dengan memberi nomor register perkara.



M



Y



Sidang MKD dilaksanakan setelah rapat MKD memutuskan terhadap suatu perkara untuk ditindaklanjuti. Pada dasarnya Sidang MKD bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka oleh Sidang MKD. Dalam pengaturan Acara Sidang, Ketua Sidang memberikan kesempatan yang sama bagi semua, baik Pengadu, Teradu, bahkan Saksi dan juga Ahli selama proses persidangan.81 Pengadu diberikan kesempatan untuk menjelaskan pokok-pokok aduannya, begitu pula Teradu diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan, tanggapan, dan pembelaan atas aduan yang disampaikan oleh pengadu. Begitu pula halnya terhadap Saksi dan Ahli, oleh ketua sidang diberikan kesempatan yang sama untuk menyampaikan keterangan dan pendapatnya, serta memberikan



D



U



M



Pasal 18 Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “(7) Ketua Sidang memeriksa identitas, baik keadaan fisik maupun psikis Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli.; (8) Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli mengucapkan sumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing sebelum menyampaikan keterangan dan pendapatnya yang dipandu oleh Ketua atau anggota Sidang.; (9) Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Pengadu untuk menjelaskan pokok-pokok aduannya.; (10) Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Teradu untuk menyampaikan keterangan, tanggapan, dan/atau pembelaan atas Pengaduan dari pihak Pengadu.: (11) Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Saksi untuk menyampaikan keterangan dan Ahli untuk menyampaikan pendapatnya sesuai dengan pokok Pengaduan. (12) Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada Pengadu dan Teradu untuk saling mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan atas keterangan Saksi dan/atau pendapat Ahli jika dibutuhkan; (13) Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota Sidang untuk mengajukan pertanyaan kepada Pengadu, Teradu, Saksi, dan/atau Ahli.” 81



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



235



kesempatan terhadap Pengadu dan Teradu untuk memberikan tanggapan dan/ atau menanggapi terhadap keterangan atau pendapat Saksi dan Ahli. Hal yang sama juga berlaku dalam hal pengajuan alat bukti, di mana Pengadu dan Teradu diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan alat bukti. Untuk kepentingan pembuktian dalam persidangan MKD, maka dikenal alat bukti menurut 27 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015, yakni: 1. Keterangan Saksi; 2. Keterangan Ahli; 3. Surat;



Y



4. Data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna;



M



5. Keterangan Pengadu dan Teradu; dan/atau, 6. Petunjuk lain.



M



Saksi dapat diajukan baik oleh Pengadu, Teradu, maupun oleh Majelis Kehormatan Dewan Sendiri. Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib disumpah menurut agama dan/atau kepercayaannya. Pemeriksaan terhadap saksi meliputi pemeriksaan atas identitas 82 dan pemeriksaan terhadap pengetahuan Saksi tentang materi aduan yang sedang diverifikasi. Yang dimaksud dengan pengetahuan saksi adalah pengetahuan yang terbatas pada apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Sama halnya dengan Saksi, Ahli juga dapat diajukan baik oleh Pengadu, Teradu, maupun Majelis Kehormatan Dewan sendiri dan sebelum memberikan keterangan, Ahli wajib disumpah menurut agama dan/atau kepercayaannya. Pemeriksaan Ahli meliputi pemeriksaan atas identitas83 dan pengetahuan ahli. Yang dimaksud dengan



D



U



Pasal 29 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015: “Identitas Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: (a) nama lengkap; (b) tempat tanggal lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; dan, (e) alamat/domisili yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau identitas resmi lainnya.” 83 Pasal 31 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Identitas Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: (a) nama lengkap; (b) tempat, tanggal lahir/umur; (c) jenis kelamin; (d) pekerjaan; (e) alamat/domisili; dan, (f) keahlian.” 82



236



Dinamika Hukum Pembuktian



pengetahuan Ahli adalah Pengetahuan yang didasarkan pada pendidikan, keahlian, dan pengalamannya. Alat bukti surat adalah surat asli atau salinan surat asli yang harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. jika alat bukti surat bukan merupakan surat asli atau salinan yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang, maka surat tersebut hanya bernilai sebagai alat bukti petunjuk. Alat bukti elektronik dapat berupa data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Khusus untuk alat bukti elektronik, maka untuk menilai kebenarannya, dapat diminta keterangan ahli yang di bidangnya. Berdasarkan alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka majelis menilai untuk menentukan sah atau tidaknya alat bukti, serta menilai alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan dengan memerhatikan penyesuaian antara alat bukti yang satu dan alat bukti yang lain, untuk mendapatkan keyakinan bagi majelis dalam menjatuhkan putusan.



M



M



Y



MKD dikenal juga penanganan khusus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, MKD harus membentuk Panel yang bersifat adhoc. Panel dibentuk untuk melaksanakan tugas menyelidiki dan memverifikasi dugaan pelanggaran kode etik yang bersifat berat serta melakukan persidangan secara tertutup.84



U



Guna melaksanakan tugasnya, maka Panel diberikan kewenangan, yakni: (a) memanggil para pihak, Saksi, dan Ahli; (b) mengambil sumpah Saksi dan/atau Ahli yang akan memberikan keterangan dan/atau pendapat dalam acara pemeriksaan; (c) meminta keterangan para pihak, Saksi, dan/atau pendapat Ahli; (d) memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan barang bukti yang disampaikan dalam acara pemeriksaan; dan (e) meminta alat bukti dan barang bukti lainnya.



D



Dalam melaksanakan tugasnya, Panel melakukan rapat, yang terdiri dari rapat persiapan Panel dan rapat akhir Panel. Rapat persiapan panel adalah 84 Pasal 46 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Tugas Panel meliputi: (a) melaksanakan acara pemeriksaan; (b) membuat resume pemeriksaan; dan, (c) membuat laporan Panel antara lain catatan rapat, risalah, pemeriksaan, dan berita acara pemeriksaan.”



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



237



rapat yang dilakukan sebelum dimulainya acara pemeriksaan, maka terlebih dahulu diadakan rapat persiapan yang bertujuan untuk: (a) memeriksa kesiapan pelaksanaan acara pemeriksaan; dan (B) mempersiapkan agenda acara pemeriksaan.85 Setelah Panel selesai melakukan acara pemeriksaan, maka dilaksanakanlah rapat akhir Panel.86 Rapat akhir Panel dilaksanakan dengan tujuan: (a) mengevaluasi pelaksanaan acara pemeriksaan; (b)menyusun resume pemeriksaan yang dituangkan pada formulir; dan, (c) menyusun putusan Panel untuk kemudian dituangkan dalam formulir sebagaimana yang dilampirkan dalam Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015.



F. Dinamika Etika di Penyelenggara Pemilu



M



Y



Sebagai negara hukum modern, maka pemilihan umum setiap lima tahunan, selalu berubah-ubah, disebabkan perkembangan demokrasi, dan kebutuhan model-model pemilihan umum, yang terus mengalami perkembangannya.



M



Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri di era reformasi yang kurang prospektif, bahkan begitu berharganya pemilu dibutuhkan sebuah lembaga khusus yang secara permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan pemilu yang tidak saja luber, jurdil, tapi meningkatkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat. Untuk itulah maka dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum atau yang disingkat DKPP, sebagai lembaga baru dalam praktik demokrasi di Indonesia.87 Keberadaan DKPP bukanlah hal yang sama sekali baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) sejak 2008. DK KPU adalah institusi etik yang difungsikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara. Namun, wewenangnya tidak begitu kuat,



D



U



Pasal 53 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Rapat persiapan Panel dilaksanakan sebelum dimulainya acara pemeriksaan.” 86 Pasal 54 ayat (1) Peraturan DPR RI Nomor. 2 Tahun 2015: “Rapat akhir Panel dilaksanakan setelah acara pemeriksaan selesai dan perkara dinyatakan ditutup.” 87 Pasal 1 angka (22) UU No. 15 Tahun 2011: “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu.” 85



238



Dinamika Hukum Pembuktian



lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat adhoc.88 DKPP secara resmi dibentuk tanggal 12 Juni 2012. Sejak dibentuk, DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Salah satu perubahan mendasar dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 menjadi UU No. 15 Tahun 2011 adalah terdapat upaya lembaga legislatif dan eksekutif melakukan penataan pada kualitas penyelenggaraan pemilu dengan meningkatkan status, tugas, fungsi, dan wewenang kelembagaan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU) menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang lebih kuat.



M



Y



Pada masa transisi mencari bentuk menjadi lembaga peradilan etika yang independen dan mandiri, DKPP menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang berdasarkan amanat UU No. 15 Tahun 2011, khususnya berkaitan dengan bagaimana membangun infrastruktur teknis operasional peraturan perundangundangan, sehingga disusunlah Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP No. 13 Tahun 2012, 11 Tahun 2012, dan 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara DKPP, Serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2013 tentang Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Daerah.89



U



M



DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di ibukota negara. DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. Untuk melaksanakan tugasnya, maka DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota seluruh unsur penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat Pusat sampai kepada pengawas pemilu lapangan, baik yang ada di dalam negeri, maupun yang ada di luar negeri. Kode etik ini bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh seluruh unsur penyelanggara pemilu.



D



88 89



Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi. Op.Cit., hlm., 278. Ibid., hlm., 280.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



239



Kode Etik Penyelenggara Pemilu adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara pemilihan umum yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan. Dalam menyelenggarakan pemilu, penyelenggara pemilu berpedoman pada asas-asas sebagai beriku: (a) Mandiri; (b) Jujur; (c) Adil; (d) Kepastian Hukum; (e) Tertib; (f) Kepentingan Umum; (g) Keterbukaan; (h) Proporsionalitas; (i) Profesionalitas; (j) Akuntabilitas; (k) Efisiensi; dan, (l) Efektivitas.Adapun yang menjadi prinsip dasar dan etika perilaku penyelenggara pemilu meliputi: Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap negara:90



Y



Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap lembaga penyelenggara pemilu:91 Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap masyarakat;92



M



Kewajiban penyelenggara pemilu terhadap penyelenggaraan pemilu;93



90 Pasal 6 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “ (a) menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan; (b) menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (c) menunjukkan penghargaan dan kerja sama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan, (d) menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 91 Pasal 7 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a) memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara Pemilu; (b) menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga Penyelenggara Pemilu; (c) menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (d) menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu; dan, (e) melakukan segala upaya yang dibenarkan etika sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan sehingga memungkinkan bagi setiap penduduk yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya.” 92 Pasal 8 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a) menjaga dan memelihara tertib sosial dalam penyelenggaraan Pemilu; (b) mengindahkan norma dalam penyelenggaraan Pemilu; dan, (c) menghormati kebhinnekaan masyarakat Indonesia.” 93 Pasal 9 Peraturan Bersama KPU, BAWASLU, dan DKPP, No. 1 Tahun 2012: “(a) beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) menjunjung tinggi sumpah/janji jabatan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggung jawabnya; (c) menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas, dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil, dan demokratis; (d) tidak mengikutsertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya; (e) melaksanakan tugas-tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu; (f)



D



240



U



Dinamika Hukum Pembuktian



M



Nilai-nilai etik yang diuraikan di atas, wajib dipatuhi dan dijadikan pegangan oleh setiap penyelenggara pemilu, demi mewujudkan pemilu yang dicita-citakan. Demikian pentingnya etika penyelenggra pemilu, dikarenakan pengaruhnya secara langsung terhadap kualitas dan hasil pemilu. Oleh karena itu, merupakan hal yang tidak bisa disangkal lagi akan pentingnya kehadiran DKPP untuk menegakkan etika penyelenggara pemilu.94 Dalam penegakan etik oleh DKPP, maka secara garis besar ada 4 (empat) tahapan yang meliputi: Pengaduan dan/atau Laporan;95 penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan:96 Persidangan dan Menetapkan Putusan;97 menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.



Y



Pengaduan dan/atau Laporan terhadap dugaan pelanggaran kode etik dapat diajukan langsung kepada DKPP atau melalui rekomendasi kepada DPR. Pengaduan dan/atau laporan dimaksud, dapat diajukan oleh: (a) Penyelenggara Pemilu; (b) Peserta Pemilu; (c) tim kampanye; (d) masyarakat; dan/atau



M



mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung; (g) menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberian lainnya yang apabila dikonversi melebihi standar biaya umum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari calon peserta pemilu, peserta pemilu, calon anggota DPR dan DPRD, dan tim kampanye; (h) mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu yang memiliki pertalian darah/semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami/istri yang sudah bercerai di bawah pengaruh, petunjuk, atau kewenangan yang bersangkutan, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apa pun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu; (i) menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta pemilu, atau tim kampanye.” 94 Pasal 111 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2011: “Tugas DKPP meliputi: (a) menerima pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara pemilu; (b) melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu; (c) menetapkan putusan; dan, (d) menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.” 95 Pasal 1 angka (3) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Pengaduan dan/atau Laporan adalah pengaduan dan/atau laporan tentang dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang diajukan secara tertulis oleh penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye, masyarakat, pemilih, dan rekomendasi DPR.” 96 Pasal 1 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “ayat (6) Verifikasi Administrasi adalah pemeriksaan formal dalam rangka pemeriksaan kelengkapan persyaratan pengaduan dan/ atau laporan; ayat (7) Verifikasi Materiil adalah pemeriksaan terhadap indikasi pelanggaran Kode Etik dari pengaduan dan/atau laporan.” 97 Pasal 1 angka (8) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Persidangan adalah sidangsidang yang dilakukan oleh DKPP untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik yang diadukan atau dilaporkan kepada DKPP.”



D



U



M



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



241



(e) pemilih.Pengaduan dan/atau laporan dugaan pelanggaraan kode etik disampaikan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 8 (delapan) rangkap, serta setidak-tidaknya harus memuat: Identitas lengkap Pengadu dan/atau Pelapor;98 Identitas Teradu dan/atau Terlapor;99 Alasan pengaduan dan/atau laporan;100 dan, Permintaan kepada DKPP untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik.



Y



Pengaduan dan/atau laporan kepada DKPP dapat dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.101 Secara langsung adalah pengaduan dan/atau laporan yang disampaikan langsung melalui petugas penerima pengaduan, sedangkan secara tidak langsung adalah pengaduan dan/atau laporan yang disampaikan melalui media elektronik ataupun media nonelektronik.102



M



Pengaduan dan/atau laporan dijukan dengan disertai sedikitnya 2 (dua) alat bukti. Adapun alat bukti dalam peradilan etik di DKPP, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013, adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli;



M



98 Pasal 6 ayat (1) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Pengaduan dan/atau Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diajukan dengan mengisi formulir dan melampirkan: (a) fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas lain Pengadu dan/atau Pelapor; (b) surat pernyataan yang ditandatangani oleh Pengadu dan/atau Pelapor; dan, (c) alat bukti.” 99 Pasal 5 ayat (4) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Identitas Teradu dan/atau Terlapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat: (a) nama lengkap; (b) jabatan; dan, (c) alamat kantor.” 100 Pasal 5 ayat (5) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Alasan Pengaduan dan/atau Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat uraian jelas mengenai tindakan atau sikap Teradu dan/atau Terlapor yang meliputi: (a) waktu perbuatan dilakukan; (b) tempat perbuatan dilakukan; (c) perbuatan yang dilakukan; dan, (d) cara perbuatan dilakukan.” 101 Pasal 9 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Jika Teradu dan/atau Terlapor adalah Penyelenggara Pemilu yang menjabat sebagai: (a) anggota KPU; (b) anggota Bawaslu; (c) anggota KPU Provinsi atau KIP Aceh; (d) anggota Bawaslu Provinsi; (e) anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri; atau, (f) anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. Pengaduan dan/ atau Laporan diajukan langsung kepada DKPP.” 102 Pasal 9 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Jika Teradu dan/atau Terlapor adalah Penyelenggara Pemilu yang menjabat sebagai: (a) anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota; (b) anggota Panwaslu Kabupaten/Kota; (c) anggota PPK; (d) anggota Panwaslu Kecamatan; (e) anggota PPS; (f) anggota Pengawas Pemilu Lapangan; atau, (g) anggota KPPS. Pengaduan dan/atau Laporan diajukan kepada DKPP melalui Bawaslu Provinsi.”



D



242



U



Dinamika Hukum Pembuktian



3. Surat atau tulisan; 4. Petunjuk; dan, 5. Data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.



Y



Dalam hal Pengaduan telah diterima oleh DKPP, maka tahapan selanjutnya adalah terhadap aduan tersebut dilakukan verifikasi yang meliputi verifikasi administrasi dan administrasi materiil. Dalam verifikasi administrasi, setiap berkas pengaduan akan dicek untuk menentukan apakah memenuhi syaratsyarat administrasi yang meliputi: (a) kelengkapan identitas lengkap Pengadu dan Teradu; (b) alasan pengaduan diajukan; (c) permohonan kepada DKPP untuk memeriksa dan memutus perkara yang diadukan; (d) uraian yang ringkas dan jelas mengenai tindakan, perbuatan, dan sikap Teradu; dan/atau (e) waktu perbuatan dimaksud dilakukan; (e) tempat perbuatan tersebut dilakukan; (f) lingkup perbuatan apa saja yang dilakukan atau disangkakan kepada Teradu; dan (g) bagaimana atau dengan cara apa perbuatan tersebut dilakukan.103



U



M



M



Terhadap Pengaduan yang belum lengkap secara administratif, maka DKPP dalam paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak pengaduan diterima, akan memberitahukan pengaduan dan/atau laporan dimaksud untuk diperbaiki. Perbaikan terhadap Pengaduan harus diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari sejak pemberitahuan diterima,apabila pengadu dan/atau pelapor tidak melengkapi atau memperbaiki pengaduan dan/atau laporan dalam batas waktu yang ditentukan, DKPP menyatakan Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pengaduan dan/atau laporan telah dinyatakan lengkap dan memenuhi syarat, maka terhadap pengadu dan/atau pelapor atau kuasanya diberikan surat tanda terima pengaduan dan/atau Laporan.



D



103 DKPP RI, Outlook 2016: Refleksi dan Proyeksi untuk Kemandirian, Integritas dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu. (Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia, 2016), hlm. 37.



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



243



Setelah verifikasi administratif selesai dan dinyatakan lengkap serta memenuhi syarat, maka verifikasi dilanjutkan pada tahap verivikasi materiil. Verifikasi Materiil merupakan langkah berikutnya setelah berkas pengaduan dinyatakan memenuhi dari verifikasi administrasi, sekurang-kurangnya memeriksa: (a) Konstruksi perbuatan yang dilakukan sehingga diadukan; (b) Unsur-unsur perbuatan yang dilakukan, apakah memenuhi kualifikasi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu?; (c) Apakah perbuatan yang diadukan tersebut memiliki kaitan dengan tempat (locus), waktu (tempus), dan perbuatan dilakukan (focus); (d) keterkaitan antara konstruksi perbuatan yang diadukan/disangkakan didukung bukti-bukti yang memadai dengan minimal terpenuhinya 2 (dua) alat bukti; dan (e) Relevansi antara perbuatan dengan setidaknya 2 (dua) alat bukti. Titik tekan (stressing) dalam verifikasi materiil ini adalah substansi dan materi keterpenuhan berkas yang diajukan pengadu.104



M



Y



Verifikasi materiil dilakukan untuk menentukan apakah pengaduan dan/ atau laporan memenuhi unsur pelanggaran Kode Etik. Hasil verifikasi materiil adalah: (a) terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik; atau (b) tidak terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik.Apabila verifikasi menentukan terdapat dugaan pelanggaran kode etik, maka terhadap pengaduan dan/atau laporan kemudian dicatat dalam buku registrasi perkara, dan untuk selanjutnya ditetapkan jadwal persidangan.105



U



M



Rangkaian penanganan Pengaduan dan/atau laporan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu bermuara pada sidang DKPP. Sidang berfungsi dan bertujuan untuk memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu terhadap pengaduan dan atau laporan yang dinyatakan memenuhi syarat baik syarat formal maupun syarat materiil.Setelah pengaduan dan atau laporan dinyatakan naik sidang, oleh Bagian Persidangan diregistrasi dalam buku perkara untuk selanjutnya persiapan dilakukan untuk melaksanakan suatu persidangan, di antaranya menyusun jadwal persidangan, mempersiapkan berkas dan resume pengaduan dan/atau laporan, konfirmasi majelis pemeriksa, undangan para teradu, undangan Pengadu serta berbagai kelengkapan teknis pelaksanaan sidang. Persidangan dimulai dengan sidang



D



Ibid., hlm. 41. Pasal 22 ayat (1) Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “DKPP menetapkan jadwal sidang dalam waktu paling lambat 2 (dua) Hari setelah Pengaduan dan/atau Laporan diverifikasi dan dicatat dalam buku registrasi perkara.” 104 105



244



Dinamika Hukum Pembuktian



pemeriksaan awal yang dipimpin oleh salah satu Majelis DKPP untuk mengecek dan perkenalan para pihak baik Pengadu dan atau Pelapor, saksi, pihak terkait. Dilanjutkan dengan penyampaian pokok-pokok dalil aduan, jawaban dan keterangan Para Teradu, pemeriksaan alat bukti, dokumen, saksi, keterangan pihak terkait serta segala hal terkait dengan proses pemeriksaan dan pembuktian di persidangan.106



Y



Pada garis besarnya terdapat 3 (tiga) jenis sidang yang dikenal di lingkungan DKPP, yakni sidang reguler, sidang jarak jauh melalui sarana dan prasarana video conference yang difasilitasi oleh Mabes Polri dan jajaran Polda se-Indonesia, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan jajaran Kejaksaan Tinggi, dan Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi serta sidang setempat yang dilakukan di Kantor KPU maupun Bawaslu Provinsi seTanah Air. Sidang Reguler adalah sidang yang digelar secara tatap muka antarpihak di Ruang Sidang DKPP, dengan Panel paling kurang terdiri atas 2 (dua) orang anggota DKPP dengan seorang di antaranya menjadi Ketua Majelis Sidang. Sedangkan Sidang Jarak Jauh Melalui Video Conference adalah sidang yang digelar secara jarak jauh melalui sarana dan prasarana video conference baik yang difasilitasi Mabes Polri dan jajaran Polda maupun Kejaksaan Agung dan jajaran Kejaksaan Tinggi, serta Bawaslu dan Bawaslu Provinsi. Adapun Sidang Setempat adalah sidang yang dikoordinasi secara teknik dengan mengutus 2 (dua) orang staf Bawaslu Provinsi yang diperbantukan sebagai staf DKPP di daerah. Dalam sidang ini DKPP telah membentuk dan melibatkan Tim Pemeriksa di Daerah (TPD) di setiap provinsi, terdiri atas seorang anggota unsur KPU provinsi, seorang anggota unsur Bawaslu provinsi, dan 2 (dua) tokoh masyarakat, serta dengan seorang anggota DKPP menjadi Ketua Majelis. Dengan demikian, dalam setiap persidangan akan terdapat 5 (lima) panel majelis sidang.107



D



U



M



M



Produk akhir dari rangkaian sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu oleh DKPP adalah putusan. Putusan diambil melalui



Pasal 34 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “Acara Pemeriksaan meliputi: (a) memeriksa kedudukan hukum Pengadu dan/atau Pelapor; (b) mendengarkan pokok Pengaduan dan/atau laporan yang diajukan oleh Pengadu dan/atau Pelapor; (c) mendengarkan keterangan dan/atau jawaban Teradu dan/atau Terlapor; (d) mendengarkan keterangan saksi; (e) mendengarkan pendapat ahli; (f) mendengarkan keterangan pihak terkait; dan, (g) memeriksa dan mengesahkan alat bukti dan barang bukti.” 107 DKPP RI, Op.Cit, hlm. 62. 106



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



245



Rapat Pleno anggota DKPP.108 Rapat Pleno pengambilan keputusan hanya dapat dilakukan terhadap perkara yang pemeriksaannya telah dinilai cukup dan dinyatakan selesai oleh Majelis Pemeriksa. Keputusan akhir terhadap suatu perkara dapat diambil secara musyawarah mufakat atau pemungutan suara (voting) manakala tidak memungkinkan tercapainya mufakat. Anggota DKPP yang tidak sependapat (dissenting opinion) dengan keputusan akhir terhadap suatu perkara dapat mencantumkan pendapatnya yang berbeda tersebut di dalam putusan. Satu dokumen putusan dapat memuat lebih dari satu nomor perkara. Sehingga antara jumlah dokumen putusan dengan jumlah perkara yang ditangani DKPP tidaklah sama. Amar putusan DKPP dapat menyatakan: 1. Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima;



M



2. Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar; atau, 3. Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti melanggar.



Y



Apabila dalan amar putusan DKPP menyatakan Pengaduan dan/atau Laporan tidak dapat diterima atau Teradu dan/atau Terlapor tidak terbukti melanggar, maka DKPP melakukan rehabilitasi kepada Teradu dan/atau Terlapor. Sebaliknya, jika amar putusan DKPP menyatakan Teradu dan/atau Terlapor terbukti melanggar, maka DKPP memberikan sanksi berupa: 1. teguran tertulis;



U



2. pemberhentian sementara; atau 3. pemberhentian tetap.



D



M



Pasal 41 Peraturan DKPP No. 1 Tahun 2013: “(1) Penetapan putusan dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah sidang pemeriksaan dinyatakan selesai; (2) Sidang pembacaan putusan dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak rapat pleno penetapan putusan; (3) Rapat pleno DKPP dilakukan secara tertutup yang diikuti oleh seluruh anggota DKPP dengan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP; (4) Rapat pleno DKPP mendengarkan penyampaian berita acara Persidangan; (5) DKPP mendengarkan pertimbangan atau pendapat tertulis para anggota DKPP untuk selanjutnya menetapkan putusan; (6) Penetapan keputusan dalam rapat pleno DKPP dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.; (7) Dalam hal tidak tercapai musyawarah untuk mufakat dalam penetapan keputusan bagaimana dimaksud pada ayat (5) maka dilakukan berdasarkan suara terbanyak secara langsung atau melalui pemungutan suara elektronik.; (8) Dalam hal terjadi perbedaan dalam pengambilan keputusan menyangkut hal ikhwal yang luar biasa, setiap anggota majelis yang berpendapat berbeda dapat menuliskan pendapat yang berbeda sebagai lampiran putusan.” 108



246



Dinamika Hukum Pembuktian



Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Penyelenggara pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP paling lama 7 (tujuh) hari sejak putusan dibacakan. Adapun yang melakukan pengawasan dalam pelaksanaan putusan DKPP adalah Bawaslu. Putusan DKPP disampaikan kepada Teradu dan/atau Terlapor dan Pengadu dan/atau Pelapor serta pihak terkait lainnya untuk ditindaklanjuti. Lebih jauh, jika selama pemeriksaan, DKPP menemukan dugaan pelanggaran di luar pelanggaran Kode Etik, DKPP menyampaikan rekomendasi kepada lembaga dan/atau instansi terkait untuk ditindaklanjuti.



D



U



M



M



Bagian Kelima — Ragam Pembuktian Pada Peradilan Etik



Y



247



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BAGIAN KEENAM



PERADILAN POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI



Negara dengan sistem konstitusi, yang terukur, menandakan suatu keharusan dalam suatu negara hukum modern. Sehingga setiap langkah, kewenangan apa pun dalam negara hukum, selalu dibatasi oleh konstitusi. Kedudukan, fungsi dan tujuan konstitusi dalam negara berubah dari zaman ke zaman. Pada masa peralihan dari negara feodal monarki atau oligarki dengan kekuasaan mutlak penguasa ke negara nasional demokrasi, konstitusi berkedudukan sebagai benteng pemisah antara rakyat dan penguasa, yang kemudian secara berangsur-angsur mempunyai fungsi sebagai alat rakyat dalam perjuangan kekuasaan melawan golongan penguasa. Sejak itu setelah perjuangan dimenangkan oleh rakyat, konstitusi bergeser kedudukan dan perannya, dari sekadar penjaga keamanan dan kepentingan hidup rakyat terhadap terhadap kezaliman golongan penguasa, menjadi senjata pamungkas rakyat untuk mengakhiri kekuasaan sepihak satu golongan dalam sistem monarki dan oligarki, serta untuk membangun tata kehidupan baru atas dasar landasan kepentingan bersama rakyat dengan menggunakan berbagai ideologi, seperti individualisme, liberalisme, universalisme, demokrasi dan sebagainya. Selanjutnya kedudukan dan fungsi konstitusi ditentukan oleh ideologi yang melandasi negara.1



1 Nimatul Huda. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara dalam Teori dan Praktik di Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2016), hlm. 1-2.



249



Berbagai rentang sejarah penerapan kontrol konstitusi terhadap kewenangan penguasa, selalu mendapatkan perlawanan, maka Mahkamah Konstitusi menjadi harapan masyarakat guna mencari keadilan, guna mewujudkan hak-hak politik masyarakat. Dalam catatan sejarah, judicial review kali pertama muncul dalam praktik hukum di Amerika serikat, melalui putusan supreme court Amerika serikat dalam perkara Merbury vs Madison tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam undang-undang dasar Amerika Serikat. Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK), secara teoretis diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), yakni pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin, hanya jika suatu organ selain badan legislatif, diberikan tugas untuk menguji. Apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan juga tidak diperlakukannya, jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.



M



Y



Ide Hans Kelsen, dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Selanjutnya dalam rentang sejarah, suatu momentum perubahan UUD pada era reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, diterima keberadaannya, sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan undang-undang dasar dalam bentuk undang-undang. Selain itu pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong oleh berbagai alasan, yakni sebagai negara hukum, terjadinya perubahan UUD, yang mengakibatkan pergeseran hubungan kekuasaan negara secara besar-besaran.2



U



M



Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), telah lama memperjuangkan agar Mahlamah Agung diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu strategi, yang dicetuskan sejak tahun 1970 –an, untuk memperdayakan Mahkamah Agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, untuk mengurangi beban tunggakan perkara yang terlalu besar, yang kebanyakana dilihat dari sudut hukum, sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah hukum penting yang harus diperiksa Mahkamah Agung, yang merupakan salah penerapan maupun melampaui wewenangnya. Strategi lain, adalah



D



2 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2008), hlm. 3-5.



250



Dinamika Hukum Pembuktian



mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan pada Mahkamah Agung, untuk menangani dan mengawasi, kewenangan dan dan organisasi, sehingga dapat menjamin kemandirian Mahkamah Agung, tuntutan tersebut tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dalam waktu yang cukup lama. Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi di tahun 1998, terjadi perubahan yang sangat drastis, dalam kehidupan sosial politik dalam kehidupan sosial, politik dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan UUD 1945.3



Y



Kehadiran lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi, adalah sebagai suatu kelengkapan pentingnya peran tersendiri, dari MK, untuk menentukan kontrol yudisial terhadap kerja perundang-undangan, yang bertentangan dan melahirkan korban konstitusional, juga berbagai sengketa pemilihan umum, serta sengketa antarlembaga, dan mengadili tentang Presiden yang diduga melanggar konstitusi. Semuanya dapat dipandang bahwa MK adalah suatu peradilan politik. Sebagai peradilan politik maka masalah-masalah yang ditemukan dalam praktiknya, menjadi suatu tantangan, terutama memaknai pembuktian, dengan berbagai misterinya.



M



A. Problematika Kewenangan Mengadili



U



M



Konstitusi merupakan aturan dasar ketatanegaraan, yang dibuat oleh masyarakat guna memberikan arah dalam penyelengaraan pemerintahan negara. Konstitusi merupakan realisasi, dari demokrasi yang berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat dan bukan sebaliknya. Kebebasan ditentukan oleh penguasa. Konstitusi sebagai alat pembatas penguasa, agar tidak melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) harus memuat. Pembatasan wewenang antarlembaga negara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai hasil perjanjian. Harus adanya lembaga yang menjaga, agar konstitusi tetap dapat dijalankan dengan baik, dan sesuai dengan cita cita negara.4



D



Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 3-4. 4 Syarif dan Achmad Rizky Pratama. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 13. 3



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



251



Pasal 24C ayat (1),(2) UUD 1945, telah menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut;5 Wewenang Mahkamah Konstitusi, secara khusus, diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yakni; Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lainnya, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.6



M



Y



Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk, dan terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, dengan parameter, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik, yakni dalam membentuk peraturan perundang-undangan, harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi; kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.



U



M



Tentang memutus sengketa kewenangan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, yakni dibatasi, oleh lembaga negara yang memperoleh kewenangannya menurut UUD 1945. Sehingga lembaga negara tersebut, harus merupakan organ konstitusi, yaitu yang dibentuk atas konstitusi, maupun secara langsung wewenangnya diatur dan diturunkan dari UUD 1945. Memutus pembubaran Partai Politik, yakni



D



5 Pasal (1): “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undangundang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. (2). Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.” 6 Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm. 11-12.



252



Dinamika Hukum Pembuktian



yang mempunyai standing untuk mengajukan pembubaran partai politik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah, yaitu pemerintahan pusat, sebagai satu kesatuan di bawah pimpinan Presiden. Dengan suatu kewajiban bagi pemerintah untuk menguraikan dengan jelas. Ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik. Yang kesemuanya bertentangan dengan UUD 1945.



Y



Pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi dengan membatalkan pendaftaran partai pada pemerintah. Pembubaran partai politik diatur juga dalam Undang-Undang tentang Partai Politik. Tentang Memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum. Sebagai pemohonnya adalah perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum, serta peserta partai politik. Menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum, meskipun asal perselisihan pada daerah tertentu, terutama mengenai salah perhitungan yang dilakukan oleh KPU, dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon. Selanjutnya adalah Impeachment Presiden/Wakil Presiden. Terutama adanya pengkhianatan, korupsi, tindak pidana berat, perbuatan tercela, serta tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden.7



M



M



Pembuktian yang dilakukan mengenai argumentasi atau dalil yang didasarkan atas alat-alat bukti yang diajukan, dalam pemeriksaan perkara, merupakan bagian yang paling penting dalam hukum acara di pengadilan. Di dalamnya terkait erat persoalan hak-hak hukum dan bahkan hak asasi manusia, setiap orang atau pihak pihak yang dipersangkakan telah melakukan pelanggaran hukum. Lebih-lebih dalam hukum pidana, dimana seseorang dapat didakwa telah melakukan perbuatan pidana tertentu, yang apabila berdasarkan alatalat bukti, yang diajukan disertai oleh keyakinan hakim menyatakan bersalah, padahal sebenarnya tidak bersalah. Sehingga putusan hakim berdasarkan pembuktian, yang dilakukan itu dapat menyebabkan orang yang bersalah bebas tanpa ganjaran. Sedangkan orang yang sama sekali tidak bersalah, menjadi terpidana, dengan cara yang sangat tidak adil. Karenanya pembuktian yang dikembangkan oleh hakim, haruslah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, sehingga dapat sungguh-sungguh menghasilkan keadilan.8



D



U



Ibid., hlm. 11-40. Jimly Asshiddihie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 201. 7



8



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



253



Proses peradilan konstitusi, dalam perkara pengujian undang-undang, diawali dengan persoalan konkret orang perorang, yang dinyatakan memiliki legal standing, untuk berperkara, tetapi substansi perkara yang dipermasalahkan, oleh pemohon, adalah menyangkut undang-undang, yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak. Oleh karena proses peradilan dalam perkara pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan kepentingan umum. Jika suatu norma dalam undang-undang terbukti, dengan UUD, dan karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka alasan yang dipakai untuk itu, haruslah didasarkan atas pertimbangan kepentingan umum, yaitu setidak-tidaknya untuk kepentingan umum, yang lebih besar dan lebih luas. Malahan jika dikaitkan dengan kenyataan, bahwa putusan Mahkamah konstitusi, sangat luas dampaknya, kepada tertib hukum, yang diharapkan melindungi kepentingan umum itu, maka mau tidak mau, hakim konstitusi haruslah membuat keputusan berdasarkan, pembuktian yang benarbenar sangat mendalam. Setiap undang-undang yang telah disyahkan, menjadi norma hukum yang mengikat untuk umum, dapat dikatakan mencerminkan kehendak mayoritas, suara rakyat yang berdaulat di suatu negara. Sebabnya ialah, setiap undang-undang yang disahkan, menjadi norma hukum yang berlaku mengikat untuk umum, adalah produk hukum yang telah mendapatkan persetujuan. Pembuktian dalam perkara pengujian undang-undang, haruslah diorientasikan, untuk menemukan kebenaran hakiki, dari pokok persoalan, yang sedang diuji nilai konstitusionalnya. Jika pembuktian hanya terpaku pada hal-hal yang bersifat formal. Niscaya para hakim konstitusi tidak dapat menemukan kebenaran yang terdapat di balik layar (the underlying truth). Karena itu, walaupun pihak tidak mengajukan bukti-bukti yang memadai. Para hakim karena jabatannya, secara ex-officio, wajib menggali sendiri, kebenaran materiil dimaksud, untuk sampai pada keyakinan dalam menjatuhkan putusan, yang bersifat final dan mengikat.9



D



U



M



M



Y



Tentang beban pembuktian berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang. Ditentukan, bahwa pembuktian dibebankan kepada pemohon. Bilamana dimungkinkan. Hakim dapat memerintahkan pembebanan pembuktian kepada Termohon Presiden dan atau DPR atau pihak yang terkait. Pasal 18 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/ 9



254



Ibid., hlm. 205.



Dinamika Hukum Pembuktian



PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undangundang.10 Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi, sesungguhnya memiliki karakter tersendiri, dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi sehari-hari oleh peradilan biasa. Hal ini disebabkan oleh adanya sifat kepentingan umum yang tersangkut di dalamnya, meskipun andai kata permohonan diajukan oleh seseorang atau individu tertentu, keputusan yang diminta oleh pemohon dan diberikan oleh Mahkamah Konstitusi, akan membawa akibat hukum yang tidak hanya mengenai orang seorang atau individu yang mengajukan permohonan, tetapi juga orang lain, lembaga negara, dan aparatur pemerintah atau masyarakat pada umumnya. Terutama tentang pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.



M



Y



Perselisihan hukum, diatur secara limitatif dalam aturan hukum, yang membolehkan dan melarang, dalam satu proses yang tertib, di mana pihakpihak yang dipanggil secara patut, serta pihak-pihak yang memberikan keterangan untuk didengar, menegakkan dan melindungi hak-haknya, sebelum pengadilan menggunakan haknya untuk memutus perkara.11



B. Dinamika Pembuktian



U



M



Mahkamah Konstitusi, dalam melaksanakan kinerjanya, harus tunduk pada asas-asas peradilan yang baik, dalam undang-undang hukum acara, kekuasaan kehakiman, serta asas-asas lainnya meliputi.12 Asas Persidangan terbuka untuk umum, sebagaimana ditentukan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, menentukan bahwa sidang terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di semua lingkungan peradilan. Pasal



D



10 (1) “Pembuktian dibebankan kepada Pemohon; (2) Apabila dipandang perlu, hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah/DPR dan/ atau pihak terkait; (3) Presiden/Pemerintah/DPR, dan/atau pihak lain, dapat mengajukan bukti sebaliknya (Tegen Bewijs); (4) Dalam hal Mahakamh Konstitusi menentukan perlu mendengar keterangan Presiden/Pemerintah dan DPR, keterangan ahli dan/atau saksi, didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah dan DPR, kecuali untuk kepentingan kelancaran persidangan, Mahkamah menentukan lain.” 11 Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm. 42. 12 Ibid., hlm. 42.,-56.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



255



40(1),13Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menentukan secara khusus, bahwa sidang terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. Keterbukaan sidang merupakan sosial kontrol, dan juga bentuk akuntabilitas hakim, transparansi dan akses publik secara luas yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, dengan dapat membaca transkrip, berita acara, dan putusan yang dipublikasikan lewat situs internet.



Y



Asas Indpenden dan Imparsial. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independen atau kemadirian, sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak. Sehingga larangan adanya intervensi dari pihak mana pun, dan hal demikian tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum dan keadilan yang didasarkan pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak dari rakyat yang dirumuskan dalam Pancasila. Kebebasan hakim disertai dengan dukungan keahlian, pertanggungjawaban serta ketaatan pada kode etik.



M



M



Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah. Dimaksudkan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif, sedangkan biaya murah, adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Keduanya tanpa mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau termohon dikenal dalam acara Mahkamah Konstitusi. Semua biaya yang menyangkut persidangan di Mahkamah Konstitusi dibebankan pada biaya negara. Hal ini dapat dipahami, karena tindakan-tindakan yang diminta dilakukan oleh badan peradilan, seperti di pengadilan umum, untuk sita dan eksekusi yang merupakan beban terbesar, tidak dikenal di Mhkamah Konstitusi. Karenanya dalam praktik, untuk melaksanakan asas ini, diperlukan sidang jarak jauh melalui fasilitas Teleconfrence.



D



U



Pasal 40 (1). Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat permusyawaratan hakim. (2) Setiap orang yang hadir dalam persidangan wajib menaati tata tertib persidangan. (3) Ketentuan mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Mahkamah Konstitusi.(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan penghinaan terhadap Mahkamah Konstitusi. 13



256



Dinamika Hukum Pembuktian



Asas Hakim Aktif dan juga Pasif dalam Proses Persidangan. Hal ini terjadi disebabkan oleh karakteristik khusus perkara konstitusi, yang kental dengan kepentingan umum, ketimbang kepentingan perorangan, telah menyebabkan proses persidangan, tidak dapat diserahkan melulu pada inisiatif para pihak. Mekanisme sosial kontrol, harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan, dan dalam hal demikian, hakim bersikap pasif, dan tidak boleh secara aktif melakukan, inisiatif untuk menggerakkan mekanisme Mahkamah Konstitusi, memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan, karenanya hakim juga aktif dalam memeriksa, terutama dalam menggali bukti, keterangan-keterangan, yang dianggap perlu, untuk membuat jelas dan terang, hal yang diajukan dalam permohonan tersebut.



M



Y



Asas Ius Curia Novit. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ini, merupakan suatu pintu masuk bagi hakim untuk menemukan hukum melalui penafsiran, konstruksi dan penghalusan hukum.



M



Dinamika pembuktian di MK, meliputi; alat bukti, yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; yakni berupa; surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain, berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau yang serupa dengan itu.



U



Alat bukti surat, atau tertulis, adalah segala dokumen yang bersifat tertulis, berisi huruf, tanda-baca, kata, anak kalimat atau kalimat, termasuk gambar, bagan, atau hal-hal yang memberikan pengertian tertentu, mengenai sesuatu hal, yang tertuang di atas kertas, ataupun bahan-bahan lainnya, yang bukan kertas. Salah satu bukti surat adalah dokumen resmi, seperti undangundang, lembaran negara dan tambahan berita negara. Lembaran daerah dan tambahan berita daerah. Risalah-risalah dan arsip. Surat atau akta autentik. Surat resmi lainnya yang dibuat oleh pejabat umum. Dibuat dan dibubuhi tanda tangan pejabat dan petugas yang bersangkutan. Dokumen tertulis yang bersifat resmi.14



D



Selanjutnya ditentukan, bahwa pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan, dimulai dengan menanyakan cara perolehannya, yang dapat 14



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 201.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



257



dipertanggungjawabkan secara hukum. Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan yang berupa foto kopi, meliputi; materai, legalisasi dan atau pencocokan dengan surat aslinya. Dalam hal, tidak dipenuhi, maka ketua sidang dapat mengembalikannya kepada pemohon, untuk dipenuhi sebelum atau pada sidang berikutnya. Selanjutnya bilamana dipenuhi, maka ketua sidang menyatakan sah alat bukti tersebut dalam suatu persidangan.15



Y



Dalam praktik peradilan tata usaha negara, alat bukti surat atau tulisan, dimaknai hampir bersamaan dengan praktik peradilan Mahkamah Konstitusi, demikian juga menurut praktik peradilan Perdata.



Surat sebagai alat bukti, meliputi, akta autentik, yang dibuat oleh pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan, berwenang membuat surat, dengan maksud, untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Termasuk juga akta di bawah tangan, yakni surat yang dibuat dan ditandatangani, oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dengan maksud untuk dapat dipergunakan, sebagai alat bukti tentang peristiwa, atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Selanjutnya, surat-surat lain yang bukan akta, diserahkan pertimbangannya oleh hakim. Karena surat-surat itu, sejak dibuatnya, bukan secara sengaja, untuk dijadikan sebagai alat bukti, tetapi, guna menjaga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari. Alat bukti surat dalam praktik, dapat juga berupa penolakan atau pencabutan keputusan tata usaha negara, termasuk resi, kuitansi, yang diterima oleh penggugat dari pegawai, instansi yang bersangkutan.16



U



M



M



Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal-hal yang penting dalam perubahan UU dimaksud, ialah Susunan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Pengawasan Hakim Konstitusi, Masa Jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, syarat pendidikan untuk dapat diangkat sebagai hakim konstitusi, serta kode etik dan atau pedoman perilaku hakim MK. Pasal 41 UU No. 8 Tahun 2011, menentukan bahwa dalam pemeriksaan persidangan, hakim konstitusi memeriksa permohonan beserta alat bukti yang diajukan.



D



Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Pasal 20. 16 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 199), hlm. 120-121. 15



258



Dinamika Hukum Pembuktian



Adanya kewajiban untuk memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan. Lembaga negara wajib menyampaikan penjelasannya dengan jangka waktu tujuh hari kerja sejak permintaan hakim konstitusi diterima. Pemeriksaan sidang meliputi pemeriksaan pokok perkara, pemeriksaan alat bukti tertulis, mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait, pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; dan pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti lain.



M



Y



Keterangan Saksi, adalah seseorang yang memberikan pernyataan atau menandatangani kesaksian, dalam suatu dokomen. Sebagai alat bukti di kemudian hari atau, seseorang yang memberikan keterangan berdasarkan kesaksiannya sendiri, mengenai sesuatu fakta yang dilihatnya sendiri, didengarnya sendiri, dirasakannya sendiri, atau dialaminya sendiri. Kesaksian itu merupakan keterangan-keterangan, yang dapat berisi fakta fakta yang dilihat, didengar, dialami oleh saksi yang bersangkutan. Karena itu siapa saja yang memenuhi syarat sebagai saksi, kecuali orang yang tidak sehat atau sakit jiwa dan untuk kasus-kasus tertentu, anak kecil yang belum dewasa. Sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, Pasal 171, yakni anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa, meskipun ingatannya baik kembali.



D



U



M



Pada umumnya saksi dapat dipaksa oleh hakim untuk memberikan keterangan berdasarkan kesaksiannya. Bilamana menolak setelah dipanggil dengan patut. Maka dapat dikenakan Pasal 38(1).17 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dapat dinilai melakukan penghinaan terhadap pengadilan (comtemp of court). Sehingga saksi wajib menjawab pertanyaan dengan di bawah sumpah. Saksi dilarang



Pasal 38 (1): “Para pihak saksi, dan ahli wajib hadir, memenuhi panggilan Mahkamah Konstitusi. Jika saksi tidak hadir, tanpa alasan yang sah, meskipun telah dipanggil secara patut menurut hukum. Mahkamah Konstitusi dapat meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan saksi tersebut secara paksa.” 17



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



259



untuk menyembunyikan informasi tentang kesaksiannya, atau menjawab pertanyaan dalam persidangan dalam persidangan terbuka menurut kesaksiannya. Kesaksian pada umumnya diberikan secara lisan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, dengan persetujuan majelis hakim, kesaksian dapat saja diberikan secara tertulis. Jika saksi yang sudah dipanggil secara patut, karena sakit, yang tidak memungkinkan untuk hadir. Setiap saksi memberikan keterangan yang faktual berdasarkan kesaksiannya di bawah sumpah, sehingga saksi harus menyampaikannya secara objektif dan apa adanya. Dalam pembuktian saksi dapat diajukan oleh pemohon, termohon, pihak lembaga negara yang terkait, dan pihak yang mempunyai kepentingan lainnya.18



M



Y



Pasal 21PMK.No.06/2005. Menentukan, bahwa saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, pihak terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah. Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas, nama, tempat, tanggal lahir/umur, agama, dan alamat, dan kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya, untuk menerangkan apa yang didengar, dilihat dan dialaminya sendiri. Lafal sumpah atau janji saksi adalah sebagai berikut;” Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi, akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya. Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah” untuk yang beragama Kristen, Protestan dan Katolik ditutup dengan: “semoga Tuhan menolong saya”. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “om atah parama wisesa”. Untuk yang beragama Budha. “Demi Hyang Budha”, saya bersumpah, diakhiri dengan “sadhu, sadhu, sadhu”. Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing masing.19



D



U



M



Saksi dapat dibedakan, antarmereka, yang diajukan oleh salah satu dari pihak-pihak tersebut. Posisi saksi atau para saksi itu, terhadap pokok perkara, pada dasarnya dapat dibedakan menjadi; Kelompok saksi, yang kesaksiannya turut memperkuat undang-undang yang diuji, serta kelompok saksi yang kesaksiannya memperlemah undang-undang yang sedang diuji. Sedangkan saksi yang dipanggil atas inisiatif majelis hakim sendiri, biasanya keterangan yang mereka berikan dalam persidangan sangat tergantung, kepada pihak mana 18 19



260



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 224-228. Pasal 21 PMK.No.06/2005.



Dinamika Hukum Pembuktian



yang mengajukan sebagai saksi dalam persidangan. Jika yang mengajukan pihak pemohon, biasanya mereka cenderung berpihak kepada pemohon. Sebaliknya, saksi yang diajukan oleh pemerintah, biasanya cenderung berpihak kepada kepentingan pemerintah semua saksi harus dapat ditanya oleh para pihak. Semua pihak yang berkepentingan dengan kesaksian atau keterangannya sebagai saksi, harus diberi kesempatan oleh majelis hakim untuk melakukan cross examination.20



Y



Kredibilitas saksi, dapat dipertanyakan oleh pihak-pihak dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, terutama oleh pihak yang berlawanan kepentingan dengan kesaksiannya. Majelis hakim harus memberikan kesempatan yang adil kepada pihak-pihak itu, untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi sebagaimana mestinya. Guna mendapatkan kejujuran dan kebenaran keterangan saksi, majelis hakim dapat mengadakan tanya jawab cross examination yang terbatas. Batasannya adalah materi pokok perkara dan hal- hal yang memang berkaitan dengan persoalan kredibilitas saksi. Kebijaksanaan yang ditempuh oleh majelis hakim mengenai soal ini, dapat mencakup pula permintaan, mengenai hal-hal yang bersifat tambahan, yang dianggap penting dalam tanya jawab, mengenai kredibilitas saksi tersebut. Dalam hal saksi mengeluarkan pernyataan yang berubah-ubah atau tidak konsisten, majelis hakim juga dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai hal itu. Pihak pihak yang berpekara dapat diberi kesempatan oleh majelis hakim, untuk mengajukan pertanyaan. Atas permintaan salah satu pihak, Majelis hakim dapat memerintahkan, seorang saksi atau saksi-saksi untuk mengeluarkan calon saksi dari ruang sidang, sehingga di antara mereka sendiri, tidak saling mendengarkan kesaksian masing-masing.21



D



U



M



M



Keterangan ahli, adalah keterangan seorang di bawah sumpah mengenai sesuatu hal, menurut pengetahuan dan pendapat berdasarkan bidang keahliannya yang bersangkutan (exspert testimony, verklaringen van een deskundege, ekspert witness). Kesaksian ahli di Mahkamah Konstitusi dibedakan secara tajam. Saksi didengar berdasarkan kesaksian yang dilihat, didengar, dialami. Kesaksian itu tidak hanya bersifat faktual, tetapi juga mengandung persepsi dan opini, orang biasa yang tidak hanya digolongkan sebagai ahli. Jika pengetahuan ilmiah, teknis, atau pengetahuan khusus lainnya dianggap, dapat 20 21



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 228-229. Ibid., hlm. 230-231.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



261



membantu pengetahuan pengadilan menilai bukti atau fakta yang sedang diperiksa, seorang saksi yang mempunyai kualifikasi sebagai ahli, karena pengetahuan, keterampilan, pengalaman, pelatihan atau pendidikan, dapat diminta untuk menilai hal tersebut. Penilaian itu dapat berupa pendapat atau bentuk lainnya. Sepanjang kesaksian itu didasarkan atas fakta atau data yang cukup. Merupakan hasil dari prinsip-prinsip dan atau metode yang terpercaya. Saksi yang bersangkutan, telah menerapkan prinsip-prinsip dan metode yang memang terpercaya, terhadap fakta-fakta yang terkait dengan perkara yang bersangkutan. Berdasarkan fakta-fakta itulah, pendapat ahli, dapat memberikan fakta yang diketahuinya di dalam persidangan.22



Y



Ahli dapat diajukan oleh pemohon Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, pihak terkait atau dipanggil atas perintah Mahkamah. Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah, adalah keterangan yang diberikan oleh seorang, yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan subjek dan atau objek perkara yang sedang diperiksa. Pemeriksa ahli dimulai dengan menanyakan identitas, dan riwayat hidup serta keahliannya, dan ditanyakan juga kesediaannya untuk disumpah atau janji menurut agamanya, untuk memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya. Terhadap ahli dalam bidang yang sama keahliannya, dapat diajukan oleh pihakpihak yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan.23



U



M



M



Dalam praktik di Mahkamah Konstitusi, biasanya pihak-pihak yang mengajukan ahli dari berbagai bidang, untuk didengar keterangannya dalam persidangan. Mereka dapat diajukan oleh pemohon oleh pemerintah atau pihak terkait, yang kepentingan langsung terkait dengan materi perkara. Jika undang-undang yang diuji berkenaan dengan materi yang kompleks dan menuntut pengetahuan yang multi atau lintas disiplin, kadang-kadang oleh pihak-pihak diajukan pula para ahli dari masing-masing bidang keahliannya yang diperlukan. Para ahli biasanya terdapat berbagai perbedaan. Keterangan para ahli sangat diperlukan, dalam rangka kualitas pembuktian, yang dapat membawa hakim pada kesimpulan yang tepat mengenai materi perkara, pengujian undang-undang yang bersangkutan. Biasanya ahli yang diajukan untuk memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi meliputi; ahli di bidang hukum tata negara, ahli di bidang hukum selain dari hukum tata negara,



D



22 23



262



Ibid., hlm. 232-234. Pasal 22. PMK No. 06/2005.



Dinamika Hukum Pembuktian



yang berkaitan dengan materi undang-undang yang diuji. Ahli di luar hukum yang berkaitan dengan substansi undang-undang yang sedang diuji serta ahli lainnya, dari bidang-bidang yang bersifat menunjang dalam proses pembuktian terhadap substansi yang sedang diuji. Pengujian ahli itu, merupakan hak semua pihak yang terkait dengan pengujian undang-undang yang bersangkutan.24 Menurut Pasal 42A UU No. 8 Tahun 2011, menentukan, bahwa saksi dan ahli dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara, pihak terkait atau dihadirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Saksi dan ahli memberikan keterangan di bawah sumpah atau janji, saksi dan ahli masing masing berjumlah paling sedikit dua orang saksi.



Y



Keterangan para pihak. Para pihak yang terlibat langsung, dalam perkara pengujian undang-undang adalah, Pemohon, Pemerintah,25 Dewan Perwakilan Rakyat,26 Dewan Perwakilan Daerah,27 Lembaga negara yang terkait langsung sebagai pelaksana undang-undang yang bersangkutan. Pihak-pihak lain di luar organ negara yang mempunyai kepentingan, yang terkait langsung dengan undang-undang yang bersangkutan. Bahkan bilamana diperlukan Mahkamah konstitusi dapat memanggil pihak lain, di luar dari lembaga negara, termasuk MPR, untuk dimintai keterangan mengenai hal-hal, yang berkaitan dengan undang-undang dasar. Keterangan itu dapat dibagi; meliputi suatu keterangan yang bersifat informatif dan faktual. Selanjutnya juga berisi opini dan kepentingan masing masing.28



U



M



M



Pemeriksaan terhadap pihak terkait, dilalukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. Pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung diberikan kesempatan, untuk memberikan keterangan lisan dan atau tertulis. Mengajukan pertanyaan kepada ahli dan



D



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 238-239. Keterangan presiden atau pemerintah, adalah keterangan resmi baik secara lisan maupun tertulis, mengenai pokok permohonan, yang merupakan hasil koordinasi dengan menteri-menteri dan atau lembaga/badan pemerintah terkait. Presiden dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM, beserta para Menteri terkait dengan pokok permohonan. 26 Keterangan DPR, adalah keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis, yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. 27 Keterangan DPD, dalam hal undang-undang yang melibatkan DPD, atau UU tentang daerah. 28 Ibid., hlm. 243-246. 24



25



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



263



atau saksi. Mengajukan ahli-ahli dan atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal, yang dinilai belum mewakili dalam keterangan ahli dan atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan. Menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan atau tertulis.29 Petunjuk. Petunjuk, sebagai alat bukti yang dikenal dalam KUHAP,30 dalam perkembangannya, dimaknai sebagai pengamatan hakim. Petunjuk hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat dan barang-barang bukti. Karenanya dalam praktik, bahwa pengamatan hakim, tidak berbeda dengan petunjuk. Hanya berbeda dalam lingkup, kesimpulan yang ditarik dari alat alat bukti kesaksian, surat dan barang-barang bukti. Pengamatan hakim, hanya dibatasi pada pengamatan dalam persidangan dan tidak mencakup pada hal-hal yang dapat memberikan petunjuk di luar sidang, sehingga petunjuk dapat diperoleh dari alat-alat bukti lain, yang tidak dibahas dalam persidangan tetapi disertakan dalam berkas perkara.31Menurut UU No. 8 Tahun 2011, Pasal 41, Menentukan bahwa pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk



M



M



Y



Bukti Elektronik. Alat bukti lain, berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat bukti yang bersifat elektronik ini sebenarnya, memang sesuatu yang masih baru. Dalam praktik belum semua orang mengakuinya sebagai alat bukti, masih banyak yang meragukannya, karenanya merupakan suatu perkembangan baru. Akan tetapi setiap bukti elektronik, yang isinya sama saja dengan bukti surat atau dokumen yang berisi tulisan. Pada praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi pemeriksaan sidang dengan menggunakan bukti elektronik dapat diterima sah dalam rangka pembuktian.32



D



U



Pasal 23.PMK.No.06/2005. Pasal 188 (1) KUHAP: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” 31 Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 247-248 32 Ibid., hlm. 249-252. 29 30



264



Dinamika Hukum Pembuktian



UU No. 8 Tahun 2011, menentukan dalam Pasal 41, bahwa pemeriksaan alat bukti yang lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan alat bukti itu.



C. Model Pembuktian Formal ke Progresif Beban



Y



Adanya aspek keyakinan hakim, yang timbul dari alat-alat bukti, yang diajukan para pihak yang berperkara, sebagai dasar untuk mengambil keputusana di Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat dikemukakan bahwa hukum acara mahkamah konstitusi, untuk mencari kebenaran materiil. Keyakian hakim yang timbul dari alat bukti yang sah (beyond reasonable doubt) tentang kesalahan seorang terdakwa, merupakan ciri utama sikap hakim dalam acara pidana, standar pembuktian demikian justru diadopsi dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Hal itu dapat dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menentukan, bahwa apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya diperlukan sekurang kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Karenanya tujuan dari pembuktian dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, adalah untuk memberikepastian akan kebenaran secara materiil, adanya fakta peristiwa dan hukum, sebagaimana didalilkan pemohon, kebenaran materiil demikian, tidak dapat dikatakan mutlak, karena sikap keyakinan hakim tetap saja subjektif. Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dalam hukum acara peradilan Mahkamah Konstitusi, yakni;33Notoire Fiet. Peristiwa hukum atau keadaan yang telah diketahui secara umum, karena telah diketahui semua orang, atau telah dianggap diketahui orang, yang tidak memerlukan bukti lagi. Hal-hal yang sudah diketahui sendiri oleh hakim, baik karena pengalaman maupun karena melihat sendiri di depan persidangan, pengetahuan berdasarkan pengalaman. Adanya pengakuan yang tidak disangkal oleh pihak lawan, atas dalil yang dikemukakan oleh salah satu pihak, sehingga dipandang sebagai, hal tidak diperselisihkan.



D



U



M



M



33 Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm. 106-107.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



265



Alat Bukti Utama. Dari beberapa alat bukti yang dikenal dalam undangundang tentang Mahkamah Konstitusi, maka yang paling sering dipergunakan adalah keteranga tertulis maupun lisan dari pihak DPR dan Pemerintah. Bukti-bukti surat atau tulisan yang diajukan oleh pemohon dan keterangan ahli yang diajukan, baik oleh pemohon ataupun oleh pihak pemerintah dan DPR. Hal ini disebabkan,bahwa ketentuan umum yang terdapat dalam dokumen undang-undang tersebar bebas dalam ruang publik. Semua orang dapat memperoleh dan membacanya secara bebas yang harus diuji terhadap UUD Tahun 1945, yang juga merupakan dokumen milik publik. Karena itu dokumen yang diperlukan hanya tinggal keterangan-keterangan yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang merekam atau mendokumentasikan ideide dalam proses penyusunan, rumusan rumusan teks undang-undang dan Undang-Undang Dasar itu sendiri, yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang dikuasai oleh MPR, DPR dan pemerintah. Selebihnya bagi Mahkamah Konstitusi adalah, keterangan para ahli, yang terkait dengan persoalan yang sedang dipermasalahkan.



M



M



Y



Kadang-kadang diantara para ahli itu sendiri, terdapat ruang perbedaan pendapat yang tajam mengenai sesuatu masalah. Karena itu, penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak, yang saling berbeda atau saling bertentangan kepentingan, untuk samasama menghadirkan ahli dari perspektif yang berlainan. Bahkan mahkamah konstitusi bergerak sangat maju, karena menerima informasi elektronik, dan yang tersimpan dalam serat optik atau yang serupa dengan itu, sebagai alat bukti yang sah. Dengan cara dan perolehannya secara sah.34



U



Beban Pembuktian di MK. Dalam Sistem peradilan di manapun, pada umumnya, dianut prinsip bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikan. Namun dalam perkara-perkara tertentu, seperti pada perkara lingkungan, berlaku prinsip pembebanan terbalik atau yang biasanya disebut sebagai strict liability. Persoalannya adalah, dalam perkara pengujian undang-undang, di pihak manakah beban pembuktian berada. Menjawab hal ini, maka perlu diketahui teori-teori yang biasa dikembangkan oleh para ahli mengenai beban pembuktian. Yakni;35



D



34 35



266



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 255-256. Ibid., hlm. 260-261.



Dinamika Hukum Pembuktian



Teori Normatif.(Normatif theory). Siapa yang dibebani tanggung jawab pembuktian pada pokoknya secara normatif, dapat ditentukan tersendiri oleh undang-undang. Jika undang-undang sudah menentukan pihak mana yang diberi beban pembuktian, maka pihak itulah yang bertanggung jawab membuktikan. Teori Affirmatif (Affirnative theory). Beban pembuktian dipikulkan di pundak yang mendalilkan, yang harus membuktikan bukanlah orang dituduh, dengan cara mengingkari tuduhan, melainkan pihak yang menuduhlah yang harus membuktikan tuduhannya. Artinya proses pembuktian yang dilakukan haruslah mengafirmasikan kebenaran fakta atau data apa yang dipersangkakan atau didalilkan. Sehingga sangat tidak adil menurut teori ini, untuk membebankan kewajiban di pundak orang yang dituduh.



M



Y



Teori Kepatutan (Billijkheid). Menurut teori ini, bahwa yang seharusnya dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu dalil, bukanlah siapa yang mendalilkan ataupun siapa yang dituduh, melainkan pihak mana yang lebih kuat kedudukannya dalam pembuktian. Jika pihak yang lemah dibebani kewajiban pembuktian, tentulah tidak adil, karena itu siapa yang kuat dialah yang wajib membuktikan. Sebagai contoh adalah kasus pencemaran lingkungan oleh suatu industri. Masyarakat yang mendalilkan adanya pencemaran, melalui gugatan class action, maka pihak industrilah yang membuktikan adanya pencemaran tersebut. Beban pembuktian yang berada di pihak tertuduh pencemaran itulah, yang biasa dikenal dengan beban pembuktian terbalik sesuai dengan doktrin strict liability, atau tanggung jawab mutlak pencemar.



U



M



Teori Presumtion of Liberty. Teori ini, mendasarkan diri pada praanggapan, bahwa rakyat itu bebas sampai adanya pembatasan oleh undang-undang(presumtion liberty). Jika yang dianut adalah prinsip siapa yang mendalilkan inkonstitusionalitas undang-undang, dialah yang harus membuktikan, berarti pra-anggapan yang dianut adalah prinsip presumtion of constitutionality, bukan presumtion liberty. Dengan mengandaikan, bahwa setiap undang-undang semestinya dapat dianggap sudah baik, dan konstitusional berdasarkan prinsip presumtion of constutitionality, maka pembuktian dibebankan kepada yang mendalilkan insncontationalitas. Namun jika yang dianut adalah prinsip presumtion of liberty, berarti rakyat dianggap sebagai manusia bebas, sampai adanya undang-undang yang membatasi kebebasan itu. Oleh karena itu, beban pembuktian undang-undang itu, harus diletakkan di pundak negara, yang menetapkan undang-undang itu mengikat untuk umum.



D



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



267



Teori Hak (subjectieve rehtelijkeetheorie).Yakni siap yang mengemukakan hak yang dibantah pihak lain, harus membuktikannya, termasuk yang dibuktikan bukan hanya hak tetapi juga suatu keadaan.36 Teori Hukum Objektif (objectieve rechtelijkeetheorie). Pihak yang mendalilkan adanya peraturan hukum materiil tertentu, harus membuktikan kaidah hukum objektif yang dijadikan dasar tersebut. Bukan hanya harus dibuktikan bahwa hukum objektif tertentu telah memberi hak dan kewenangan. Jikalau undangundang tertentu yang dinyatakan berlaku menimbulkan kerugian pada haknya, harus dibuktikan juga kerugian yang ditimbulkan tersebut.



Y



Teori Pembebanan Berdasarkan Kaidah yang Bersangkutan (Pocess rechtelijketheorie). Bahwa pihak yang dibebani untuk membuktikan, telah ditentukan oleh kaidah hukum tertentu. Terkadang norma hukum tertentu hukum acara, ditentukan dalam pasal tertentu tentang siapa yang dibebani pembuktian.



M



Sebelum mengadakan penilaian terhadap alat-alat bukti, yang diajukan oleh pihak-pihak dalam persidangan, majelis hakim harus terlebih dahulu, mencocokkan alat bukti, yang diajukan dengan alat-alat bukti yang diajukan, dengan alat-alat bukti yang ada pada hakim. Maksudnya agar kelak di kemudian hari, tidak timbul kesalahan dalam menilai sesuatu bukti, yang diajukan oleh pemohon tetapi tidak terdapat dalam berkas perkara hakim, atau sebaliknya terdapat dalam berkas para hakim, padahal tidak diajukan atau sudah ditarik kembali oleh pemohon. Tentang sah atau tidaknya alat-alat bukti yang diajukan, akan dinilai oleh majelis hakim dalam suatu rapat tertutup, dalam suatu permusyawaratan yang bersifat rahasia.37



D



U



M



D. Kecenderungan Keyakinan Hakim



Putusan dalam peradilan, merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu, merupakan tindakan



36



110.



Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.



Jimly Asshiddigie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 270-271.



37



268



Dinamika Hukum Pembuktian



negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.38 Mahkamah konstitusi, dalam perkembangan putusan-putusannya, mencerminkan suatu kewenangan untuk mengawal konstitusi, mengawal demokrasi, serta pelindung hak konstitusional warga negara dan pelindung HAM. Dalam pelaksanaannya, maka praktik peradilan Mahkamah Konstitusi, berpegang pada hukum acaranya, yang ditentukan menurut Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003, untuk kelancarannya, MK membentuk peraturan MK (PMK) yang hingga kini, terdiri dari:39



Y



1. PMK RI No. 01/PMK/2003 tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.



M



2. PMK RI No. 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku. 3. PMK RI No. 03/PMK/2004 tentang Tata Tertib dalam Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi.



M



4. PMK RI No. 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu. 5. PMK RI No. 05/PMK/2005 tentang Prosedur Pengajuan Keberatan Atas Penetapan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004.



U



6. PMK RI No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 7. PMK RI No. 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.



D



8. PMK RI No. 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. 9. PMK RI No. 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. 10. PMK RI No. 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.



Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Op.Cit., hlm.



38



201.



39 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi.(Jakarta; Sekjen dan Kepaniteraan MK, 2008) hlm. 13-14.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



269



11. PMK RI No. 11/PMK/2006 tentang Pedoman Administrasi Yustisial Mahkamah Konstitusi. 12. PMK RI No. 12/PMK/2008 tentang Prosedur Beracara Partai Politik. 13. PMK RI No. 13/PMK/2008 tentang Pedoman Penulisan Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.



Y



14. PMK RI No. 14/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. 15. PMK RI No. 15/PMK/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. 16. PMK RI No. 16/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggouta DPR, DPD dan DPRD.



M



17. PMK RI No. 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.



18. PMK RI No. 18/PMK/2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Confrence).



M



19. PMK RI No. 19/PMK/2009 tentang Pedoman Tata Tertib Persidangan. 20. PMK RI No. 20/PMK/2009 tentang Pedoman Penulisan Putusan.



U



Putusan di Mahkamah Konstitusi, mengenal adanya bentuk produk hukum, yakni putusan, peraturan, ketetapan di bidang administrasi umum. Semuanya dijalankan dengan suatu prosedur yang tepat, dilaksanakan dengan cara yang tepat, dan diadministrasikan dengan cara yang tepat. Semua produk hukum, dapat diakses oleh semua pencari keadilan, dan dapat membantu upaya bangsa, untuk membangun keadilan yang lebih merata di setiap relungrelung kemanusiaan.40



D



Bentuk putusan, merupakan produk hukum utama, yang harus diproduksi oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga peradilan konstitusi. Pada putusan, memuat tujuh unsur, yakni; 1. Kepala putusan berbunyi“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 2. Identitas pihak;



40



270



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 279-280.



Dinamika Hukum Pembuktian



3. Ringkasan permohonan; 4. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; 5. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; 6. Amar putusan; 7. Hari, tanggal, putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.



Y



Putusan hakim selalu dengan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, selanjutnya pada bagian awal, harus diuraikan tentang identitas para pihak yang mengajukan permohonan, selanjutnya tentang duduk perkaranya, dengan memuat ringkasan yang jelas dalam rangka pengujian undang-undang, memuat tentang uraian rinci pertimbangan pertimbangan mengenai fakta-fakta, yang terungkap dalam persidangan, dan pertimbangan hukum, yang dijadikan dasar untuk mengambil putusan yang bersifat final dan mengikat.



M



Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon dan kuasanya, dalam dua belas rangkap, dengan memuat, identitas pemohon, yang meliputi nama, tempat tangal lahir/umur, agama, pekerjaan, kewarganegaraan, alamat lengkap, no. Telp/faksimile/email. Uraian hal yang menjadi dasar permohonan, yang meliputi kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon, pengujian undang-undang yang bersangkutan. Uraian mengenai hal-hal yang dimohonkan oleh pemohon, untuk diputus dalam permohonan pengujian undang-undang secara formal, atau uraian mengenai hal-hal yang dimohonkan dalam permohonan pengujian undangundang secara materiil, dan tanda tangan pemohon dan kuasanya.41



D



U



M



Pada bagian awal putusan, selalu diuraikan dengan jelas mengenai identitas para pihak yang mengajukan permohonan. Sebanyak apa pun jumlah pemohon, harus dimuat dengan jelas dalam permohonan mengenai identitas mereka. Identitas, seluruhnya berkaitan dengan dengan pokok perkara, masing-masingnya diterangkan dalam bukti surat yang mendukung yakni foto kopi kartu tanda penduduk, dokumen tanda daftar resmi sebagai badan hukum, untuk organisasi yang berstatus badan hukum. Selanjutnya tentang duduk perkaranya, yang memuat tentang ringkasan secara jelas, tentang persoalan yang dipermasalahkan dalam rangka pengujian 41



Pasal 5 PMK.No. 06//PMK/2006.



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



271



undang-undang, serta menentukan bagian mana yang menentukan dari undang-undang, yang dinilai bertentangan dengan norma hukum dari UUD Tahun 1945, serta kerugian yang dideritanya. Setelah itu diuraikan dengan rinci pertimbangan pertimbangan mengenai fakta-fakta, yang terungkap dalam persidangan, serta pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar untuk mengambil putusan yang bersifat final dan mengikat dalam perkara pengujian undang-undang bersangkutan. Pertimbangan hukum itulah, yang mengantarkan pada kesimpulan amar putusan yang ditulis pada bagian yang tersendiri. Setelah itu, pada bagian terakhir atau penutup putusan dimuat mengenai hari, tanggal putusan, nama hakim dan panitera.42



Y



Pendapat Berbeda. Dalam putusan peradilan Mahkamah Konstitusi, harus dimuat tentang pendapat hakim yang berbeda, tentang putusan yang bersangkutan. Hal ini ditentukan secara tegas dalam Pasal 45 (10) UU No. 24 Tahun 2003.43



M



Dimaksudkan dengan pendapat hakim yang berbeda itu, adalah pendapat hakim yang tidak mengikuti kesepakatan mayoritas hakim, yang menyusun keseluruhan isi putusan itu. Sebagaimana ditentukan menurut Pasal 48(7) UU No. 24 Tahun 2003. 44



M



Maknanya dari sembilan orang hakim konstitusi, atau sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang hakim konstitusi dapat terjadi silang pendapat, yang tidak dapat dipertemukan sama sekali. Meskipun sudah diusahakan semaksimal mungkin, perbedaan pendapat diantara para hakim, itu tidak juga dapat dipertemukan, maka putusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Pendapat hakim yang berbeda mencerminkan pendapat yang hidup yang juga berkembang di tengah-tengah masyarakat, karenanya pendapat tersebut harus dihormati, dan bahkan diberi kesempatan, untuk dibuka, sehingga masyarakat mengetahuinya secara transparan.45



D



U



Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 281-282. Pasal 45 (10) UU No. 24 Tahun 2003. Dalam hal putusan tidak tercapai mufakat jahat, sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), pendapat anggota majelis hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. 44 Pasal 48 (7) UU No. 24 Tahun 2003. Dalam hal musyawarah sidang pleno, setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. (8) Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi, sebagaimana dimaksud pada ayat (7), tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan. 45 Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Op.Cit., hlm. 284-285. 42



43



272



Dinamika Hukum Pembuktian



Dissenting, Concurrent, dan Concenting Opinion, pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas, yang menentukan putusan dapat dibagi menjadi dua macam, yakni Pertama, Dissenting Opinion, yakni suatu pendapat yang berbeda secara substantif, sehingga menghasilkan amar yang berbeda. Kedua, adalah Concurrent Opinion atau Consenting opinion, yakni suatu pendapat yang pada kesimpulan akhirnya sama, tetapi argumen yang diajukan berbeda. Karenanya dalam praktik sulit dibedakan pengertian-pengertian tersebut, tetapi, pendapat-pendapat yang diajukan itu, sama sekali berbeda argumennya, dan berbeda kesimpulannya terhadap pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan final dan mengikat.46



Y



Penuangan dalam Putusan. Penuangan pendapat berbeda, bersifat fakultatif, optional, tidak bersifat imperatif, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 45(10) UU No. 24 Tahun 2003. Pencantuman pendapat berbeda, selalu harus dimuat dalam putusan, akan tetapi dalam praktik, keharusan pencantuman itu tidaklah realistis. Lazimnya proses pembahasan suatu permohonan pengujian undang-undang, diperlukan tahapan-tahapan yang cukup panjang. Di dalamnya terdapat proses take and give, diantara pandangan pandangan yang saling berbeda diantara para hakim, yakni melalui tahap penyusunan pendapat hukum individual hakim yang bersifat resmi dan tertulis, sebagaimana ditentukan menurut Pasal 45 (5) UU No. 24 Tahun 2003.47



U



M



M



Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi sebagai negatif legislator, dapat saja mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya, akan tetapi, dapat saja suatu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim, jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.48



D



Ibid., hlm. 288-289. Pasal 45 (5) UU No. 24 Tahun 2003. Yang menentukan dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. 48 Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang dinyatakan bahwa undangundang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 46



47



Bagian Keenam — Peradilan Politik di Mahkamah Konstitusi



273



Sehingga putusan tersebut tidak berlaku surut, dan kekuatan mengikatnya adalah sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.49



E. Konsekuensi Politik dari Putusan MK



D 49



274



U



Maruarar Siahaan. Op.Cit hlm. 218.



Dinamika Hukum Pembuktian



M



M



Y



BAGIAN KETUJUH



EPILOG MAKNA FILOSOFIS TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN



Berhukum yang baik dan benar pada masyarakat modern, mesti mendapatkan respons dari demokrasi, serta makna yang terdalam dari perjuangan hak asasi manusia, disebabkan berhukum memerlukan kontrol dari berbagai kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, dan selalu berada di hadapan kehidupan sosial masyarakat. Hukum merupakan sesuatu yang kompleks dan teknis sehingga kita sering menjumpai orang yang menghadapi hukum dengan tidak sabar dan sinis. Lebih lanjut, hukum merupakan salah satu perhatian umat manusia beradab yang paling pokok di mana-mana, karena hukum itu dapat menawarkan pelindungan terhadap tirani, di suatu pihak dan terhadap anarki di lain hak. Hal ini merupakan pantulan dari sosok hukum dalam masyarakat, karena orang tidak akan mengerti hukum hanya dengan melihat undang-undangnya saja lalu membandingkannya dengan kenyataan, atau praktik hukum itu sendiri. Apalagi dalam kenyataan masyarakat sering ditemui penerapan hukum yang berbeda dari apa yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu sendiri. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan antara hukum dalam arti positif (rechts positiviteit) dengan hukum dalam kenyataan (rechts werkelijkheid). Penerapan hukum yang berbeda, kenyataannya di tengah masyarakat yang sering ditemui berbeda dari yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu sendiri. Hal demikian sering terjadi di semua bidang hukum, termasuk di dalamnya pada praktik atau implementasi dalam hukum pidana. Hukum pidana memberikan pedoman yang jelas tentang perlindungan terhadap manusia. Sebaliknya, juga



275



menghancurkan yang seharusnya dilindungi. Oleh karena itu, hukum pidana termasuk hukum acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana sering disorot, dianalisis, dan dikritik oleh berbagai pihak tidak hanya dari kalangan hukum, tetapi dari kalangan non-hukum. Hal ini memang benar karena hukum pidana mencakup seluruh kehidupan manusia baik perorangan, kelompok, maupun penguasa secara langsung atau tidak langsung.1



Y



Beban pembuktian dalam praktik berbagai pengadilan, hanya terjadi, bilamana suatu keadaan yang berbenturan kepentingan para pihak, baik dengan kepentingan publik maupun kepentingan privat, yang ditengarai telah mengganggu kepentingan hak-hak, serta dilanggarnya hak konstitusi perorangan, maupun kelompok warga negara. Maka Pengadilan akan melihat, mendengar, dan menilai tentang argumentasi yuridis, melalui serangkaian pembuktian dengan berbagai cara-cara yang logis, dan penuh keyakinan, agar Hakim yang memutuskan perkara yang diajukan menjadi yakin atas beban pembuktian yang ditunjukkannya.



M



Kekhasan dari Peradilan pidana, perdata, tata usaha negara, peradilan tata negara, maupun hukum Islam, sebagian besar mempunyai kemiripan, dalam pembebanan pembuktian, walaupun terdapat berbagai perbedaan yang hakiki. Tetapi seluruhnya, mempersilahkan kepada hakim, untuk menentukan, memberikan keyakinannya dalam memutus sengketa, yang ditanganinya. Karena itu suatu keputusan hakim adalah keadaan yang mengakhiri segala sengketa secara yuridis.



U



M



Tentang beban pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana, perdata, tata usaha negara maupun peradilan Mahkamah Konstitusi, serta peradilan etika semuanya memerlukan pembuktian, dengan beban pembuktian yang dianut dengan ciri-cirinya masing-masing. Beban pembuktian dalam hukum acara perdata, dikenal beberapa alat alat pembuktian sebagaimana ditentukan pada Pasal 1865 KUH Perdata, beban pembuktian diatur dalam Pasal 1244, 1365, 1394, 1769, 1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH Perdata. Sedangkan pembuktian dalam peradilan tata usaha negara meliputi; surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 hingga 107 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha



D



1 Kadri Husin dan Budi Rizki Husin. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 1-2.



276



Dinamika Hukum Pembuktian



Negara. Fungsi peradilan tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap administrasi lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan kontrol non yuridis meliputi, proses pembuatan perundang-undangan, keputusan, baik sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan. Pada Mahkamah Konstitusi ragam alat bukti diatur dalam Pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang sah, dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Alat bukti itu meliputi; suarat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Dalam suatu masyarakat yang teratur, di mana masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk mempertahankan hukumnya. Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan tugas untuk mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan kehakiman.



M



Y



Ajaran Trias Politika dari Montesquieu, didahului oleh perbedaanperbedaan yang lain. Perbedaan dalam kekuasaan-kekuasaan pembuatan undang-undang, pengadilan, dan eksekutif yang sampai sekarang lebih dari dua abad, ajarannya masih memadai, dan sudah menjadi milik umum. Tetapi belum merupakan titik terakhir. Pada suatu waktu, bersamaan dengan pertumbuhan terus-menerus dalam hubungan-hubungan masyarakat, menjelma pula pembagian yang lain, yang akan menggantikan ajaran Montesquieu. Permulaan perubahan itu sudah dapat dilihat dari sekarang.



U



M



Hukum pembuktian dengan menentukan bebannya, menjadi suatu perhatian yang utama, dalam praktik berbagai peradilan. Penerapan beban pembuktian, yang ditentukan dalam perundang-undangan secara ketat, dimaksudkan, agar terhindar dari kesewenang-wenangan, dari perilaku penguasa, maupun hakim dalam penerapannya. Karena itu, dalam pencarian keadilan dan kepastian hukum, dalam falsafahnya, berkeinginan untuk mengedapankan keadilan, di atas kepastian hukum, sehingga tercapai tujuan yang lebih jauh dari setiap sistem peradilan, yakni, mendekatkan keadilan yang sesungguhnya, yang tercermin dalam putusan-putusan peradilan. Karena itu rezim hakim dalam menutuskan suatu perkara, yang dipikulnya, adalah tercapainya tujuan terjauh dari hukum, yakni keadilan. Karena capaian keadilan, terus diperjuangkan oleh masyarakat, hingga tingkat yang tertinggi,



D



Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian



277



yakni kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keadilan adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dapat dirasakan dan bahkan diperjuangkan secara konkret. Praktik peradilan pidana korupsi, dalam era sekarang ini, terus menuai permasalahan, karena para penegak hukum, masih bekerja, dengan kerangka tebang pilih, dengan menafsirkan pembuktian secara subjektif. Padahal kunci pokok yang paling utama dalam penegakan tindak pidana korupsi, adalah, suatu komitmen dari penegak hukum, untuk bekerja secara profesional, memberikan penelusuran alat-alat bukti, dengan cerdas. Sehingga pengungkapan alat-alat bukti, sangat mudah untuk ditelusuri, karena peraturan perundang-undangan yang terkait, sudah cukup memadai, karenanya komitmen penegakan hukum oleh aparatur, harus dalam semangat moral yang tinggi dan harus jauh dari dimensi dan pernik-pernik politis. Penegakan hukum, dengan fokus pada penggunaan beban pembuktian, masih menjadi alat rekayasa, dengan pertautan pada kepentingan dan tekanan politis. Tekanan politis, adalah suatu benturan dari suaru konsfigurasi kekuatan politik, dengan pengaruh dan tekanan kekuatan politik, untuk mencapai tujuannya.



M



M



Y



Kebebasan aparatur penegak hukum dari intervensi kekuasaan apa pun dalam artian yang luas, masih menyisahkan, persoalan yang belum terpecahkan. Padahal peraturan perundang-undangan telah cukup ketat dan sangat limitatif, menentukan jalan dan proses pembuktian, guna pencapaian tujuannya, untuk membantu sistem peradilan pidana, guna menentukan pelaku kejahatan, yang selalu juga berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hukum pembuktian sangat relevan, untuk dikaji dan didalami, sehingga tidak hanya pengetahuan teknis yang meningkat, tetapi makna filosofis, pemanfaatan beban pembuktian dalam praktik peradilan, dipahami, dengan memerhatikan segi-segi kemanusiaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam beban pembuktian, semua pihak di pengadilan memerlukan pembuktian sebagai suatu argumentasi logis dan rasional, untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang tersangka, oleh hakim.



D



U



Prinsip-prinsip pembagian beban pembuktian dalam praktik peradilan perdata, harus dibuktikan adalah hal yang positif, maknanya di dalamnya terdapat fakta atau terkandung suatu peristiwa hukum. Hal yang negatif tidak perlu dibuktikan, karenanya sesuatu yang tidak patut membebani bukti kepada



278



Dinamika Hukum Pembuktian



tergugat mengenai hal negatif, karena tidak mungkin dapat dibuktikan hal yang tidak diketahuinya atau yang diperbuatnya. Pembebanan secara profesional, bahwa masing masing pihak dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil gugatan dan dalil bantahan. Tetapi pihak penggugat dibebani wajib bukti, bilamana tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, maka cukup beralasan untuk membebaskan tergugat untuk membuktikan dalil bantahannya. Siapa yang menguasai suatu hak atas barang tidak dibebani wajib bukti. Hal ini didasarkan pada asas kepatutan. Dianggap tidak patut membebani pembuktian kepada seseorang untuk membuktikan barang yang dikuasainya, karenanya siapa yang menguasai atau memiliki hak atas suatu barang, tidak perlu membuktikannya.



M



Y



Tentang beban pembuktian dalam perkara praktik peradilan pidana, perdata, tata usaha negara, hukum Islam maupun peradilan Mahkamah Konstitusi, semuanya memerlukan pembuktian, dengan beban pembuktian yang dianut dengan ciri-cirinya masing-masing. Beban pembuktian dalam hukum acara perdata, dikenal beberapa alat-alat pembuktian sebagaimana ditentukan pada pasal 1865 KUH Perdata, beban pembuktian diatur dalam Pasal 1244, 1365, 1394, 1769, 1977(1), 252, 489, 533, 535, 468(1), KUH Perdata. Sedangkan pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara meliputi; surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 hingga 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Fungsi peradilan tata negara, adalah sebagai kontrol yuridis, terhadap administrasi lembaga baik struktural maupun non struktural, sedangkan kontrol non yuridis meliputi, proses pembuatan perundang-undangan, keputusan, baik sebelum maupun setelah dibuatnya keputusan.2



D



U



M



Pada Mahkamah Konstitusi ragam alat bukti diatur dalam Pasal 36 (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai alat bukti yang sah, dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan setiap perkara konstitusi yang dimohonkan kepadanya. Alat bukti itu meliputi; surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang



2 Lintong O. Siahan. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No. 5/1986 jo.UU No. 6 Tahun 2004) (Jakarta: Percetakan Negara, 2009), hlm. 11-12.



Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian



279



diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.3 Adapun tempat hukum pembuktian dalam sistem hukum Indonesia. Dalam suatu tata hukum yang primitif, orang mempertahankan haknya dengan kekuatan sendiri. Siapa yang dipukul akan memukul kembali. Orang yang barangnya diambil akan mengejar si pencuri dan merebutnya kembali. Keadaan demikian dinamakan bertindak menjadi hakim sendiri. Dalam suatu masyarakat yang teratur, tidak akan dibiarkan orang bertindak menjadi hakim sendiri seperti ini, kecuali dalam keadaan yang luar biasa. Sejak zaman dahulu, masyarakat sudah memiliki sesuatu cara untuk mempertahankan hukumnya. Penguasa mewujudkan badan-badan yang diberikan tugas untuk mempertahankan hukum. inilah yang disebut kekuasaan kehakiman.



M



Y



Hukum Indonesia, hampir tidak pernah membiarkan orang bertindak menjadi Hakim sendiri. Di dalam B.W, kita akan menemukan hanya beberapa bekas tentang peradilan bentuk lama ini, misalnya dalam ayat kedua dari Pasal 613 dan ayat ketiga dari Pasal 714. Juga dalam hal berat lawan (overmacht: Pasal 40S) dapat dikatakan ada perbuatan bertindak menjadi hakim sendiri. Selain dalam hal-hal di mana peraturan di dalam peraturan hukum diizinkan bertindak menjadi hakim sendiri, maka perbuatan tersebut, merupakan perbuatan melanggar hukum. Pada masa lalu orang tidak membedakan antara kekuasaan membuat perundang-undangan, kekuasaan pengadilan dan kekuasaan pemerintah, menurut fungsinya atau menurut badannya.



U



M



Pada waktu, orang tidak membutuhkan perbedaan yang demikian, karena badan penguasa tunggal mencakup ketiga fungsi tersebut dalam pelaksanaannya. Kemudian datanglah tuntutan spesialisasi, yang disebabkan karena semakin menjadi berseluk-beluknya hubungan kemasyarakatan, sehingga diperlukan juga badan-badan kemasyarakatan yang berseluk-beluk. Badan-badan penguasa yang khusus dibebani dengan tugas yang khusus pula. Akan tetapi ini belum berarti bahwa pemisahan antara tugas pembuatan undang-undang (legislatif), tugas pengadilan (yudikatif), dan tugas pelaksanaan (eksekutif) langsung menjadi jelas. Baru setelah berkembang pikiran analistis ada perbedaan yang tegas. Dalam proses pertumbuhan yang berabad-abad lamanya, terjadilah bagian-bagian yang terpisah dari badan yang semula tidak terbentuk itu, dan



D



3 Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 214.



280



Dinamika Hukum Pembuktian



keluar dengan ciri-cirinya sendiri. Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, maka taraf yang terakhir dari proses tersebut, berubah dari tahun ke tahun.4 Di satu pihak orang memakai istilah itu dalam arti, bahwa hukum materiil adalah hukum dalam suasana damai dan hukum formal adalah hukum dalam suasana pertentangan. Dalam arti yang demikian, hukum pembuktian termasuk dalam hukum formal, karena ia adalah satu bagian dari hukum acara, dan hukum acara mengandung aturan tentang hukum dalam suasana pertentangan. Di lain pihak orang mengatakan, bahwa aturan hukum materiil adalah suatu aturan mengenai isi; aturan hukum formal adalah suatu aturan mengenai bentuk luar. Hukum pembuktian merupakan, bagian hukum yang sangat teknis, dalam capaian keadilan yang diperjuangkan masyarakat, atas, berbagai gesekan-gesekan kehidupan dalam tata pergaulan, maka perjuangan keadilan, dalam ranah hukum, diselesaikan secara yuridis, hal mana tata kelola hukum, ditentukan secara hukum, dengan berbagai tata cara dan kelola, untuk mencapaikan beberapa model pembuktian, hingga tercapai putusan hakim yang berkeadilan, berkepastian serta bermanfaat untuk kemanusiaan.



M



M



Y



Dalam hukum acara perdata, landasannya pemikiran yang tertuang dalam pasal demi pasal, tetapi sama-sama memiliki dasar pijakan. Hukum acara Islam dasar hukumnya dari Nash (Al-Hadis). Hukum acara perdata landasannya pemikiran yang tertuang dalam pasal demi pasal. Persamaannya, menganggap bahwa membuktikan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting. Tentang beban pembuktian sama-sama didahulukan pada penggugat yang mengaku memiliki hak Sistem pembuktian berimbang artinya tergugat juga harus membuktikan bantahannya. Baik hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, sama-sama menganggap mutlak diperlukan mengenai alat-alat itu, tidak hanya bersandar kepada keyakinan hakim saja, karena keyakinan hakim itu sangat subjektif, maka dari itu sewajarnyalah apabila dari dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa itu, menjadi dasar pertimbangan bagi hakim agar tercapainya suatu keputusan yang objektif.



D



U



Menurut hukum Islam bukti tertulis merupakan bukti yang penting dan pokok, sama halnya di dalam hukum acara perdata bukti tertulis merupakan bukti yang utama, hanya di dalam hukum acara Islam, setiap bukti tertulis tidak boleh mengorbankan hukum materiil Islam. 4 A.Pitlo. Pembuktian dan Daluarsa Menurut KUH Perdata Belanda, (Jakarta: Intermasa, 1968), hlm. 3-4.



Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian



281



Dalam hukum acara Islam, setiap alat bukti terutama bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah berdasarkan Nash, sedangkan selain itu, misalnya pengetahuan hakim, pemeriksaan setempat, keterangan ahli, qasamah, qiyafah, qur’ah, nukul dan lain-lain berdasarkan hasil ijtihad. Dalam hukum Islam tidak semua qarinah dapat dijadikan alat bukti, qarinah yang bisa dijadikan alat bukti walaupun tidak didukung oleh bukti lainnya disebut qarinah wadhlihah, yaitu qarinah yang jelas dan meyakinkan yang tidak bisa untuk dibantah lagi oleh manusia berakal. Qarinah itu tetap dijadikan sebagai bukti persangkaan, dan bisa menjadi alat pembuktian yang langsung jika tidak ada lagi bukti yang lain.



Y



Dalam hukum positif bukanlah (HIR, RBg, BW) bahwa persangkaan itu bukanlah sebagai alat bukti, atau disebut juga alat pembuktian tidak langsung karena hakim dalam mengambil kesimpulan, haruslah menghubungkan dan menyesuaikan dengan alat bukti lainnya. Bila dikomparasikan dengan hukum acara pidana, maka makna persangkaan/petunjuk dalam hukum Islam lebih luas. Karena dalam hukum Islam batasan dalam mengaplikasikan alat bukti persangkaan/petunjuk adalah yakinkan hakim. Sementara itu, dalam hukum acara pidana alat bukti persangkaan/petunjuk hanya dapat diaplikasikan bila didapat dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sehingga alat bukti ini terkesan sebagai alat pembuktian yang bersifat tidak langsung. bukti saksi merupakan alat bukti yang penting dan pokok, hanya berbeda dalam masalah.



U



M



M



Menurut hukum Islam, bahwa pembuktian seseorang harus mampu mengajukan bukti-bukti yang autentik, keharusan ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah (2); 282. Periksalah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantaramu, jika tidak ada dua orang saksi, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seseorang lupa maka seseorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil. Dan periksalah apabila kamu berjual beli, dan janganlah menulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu, dan bertakwalah kepada Allah. Dia mengajarmu dan Maha Mengetahui segala sesuatu.



D



Maka pembuktian dengan berbagai sistem, model penerapannya dalam sistem peradilan, adalah suatu upaya untuk meyakinkan peradilan, agar hakim



282



Dinamika Hukum Pembuktian



dalam mengakhiri sengketa privat maupun publik, dapat memperlakukan keadilan sosial sebagaimana amanah konstitusi, maupun tanggung jawab kepada Ketauhidan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sehingga capaian keadilan memberikan manfaat, berkeadilan dan berkepastian. “Keadilan dan hukum ditegakkan tanpa tekanan dan pengaruh kekuatan manapun”. Tetapi dengan keyakinan pada pembuktian yang objektif dan rasional.



D



U



M



M



Bagian Ketujuh — EPILOG Makna Filosofis Terhadap Beban Pembuktian



Y



283



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Rozali. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2002). Adji, Indriyanto Seno. KUHAP dalam Prospektif. (Jakarta: Diadet Media. 2011). Adji, Oemar Seno. KUHAP Sekarang. (Jakarta: Erlangga. 1985). Ali, Achmad dan Heryani, Wiwie. Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata. (Jakarta: Kencana. 2015). Ali, Akhmad. Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom dan Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum. (Jakarta: Prenada Media Group. 2008). Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika. 2007). Andrisman, Tri. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. (Bandar Lampung: Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung. 2005). Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004). Arief, Barda Nawawi. Kapita Selekta Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Adytia Bakti. 2003). Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk. Memahami Hukum, dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2012). Asikin, Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group. 2015).



285



. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia. (Bandung: Pustaka Reka Cipta. 2013). Asnawi, M. Natsir. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahanya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press. 2016). Asshiddigie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press. 2006).



Y



Astarini, Dwi Rezki Sri. Mediasi Pengadilan. Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan. (Bandung: Alumni. 2013). Atmasasmita, Romli. Perampasan Aset Melalui Pembuktian Terbalik Studi Perbandingan Hukum Pidana. (Jakarta: Mabes Polri, Focus Group Discusson. 10 Maret 2011).



M



. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. (Jakarta: Prenada Media Group. 2010).



Bakhri, Syaiful. Beban Pembuktian dalam Beberapa Praktik Peradilan. (Jakarta: Gramata Publishing. 2012).



M



. Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana. (Yogyakarta: Total Media, Bekerja Sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2009).



U



. Konstelasi Filsafat Ilmu dan Islam. (Tanggerang Selatan: UMJ Press. 2017). . Sejarah Pembaruan KUHP dan KUHAP. (Yogyakarta: Total Media, Bekerja Sama dengan P3IH Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2011).



D



. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam Prespektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2014). Bakir, Herman. Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan (Bandung: Refika Aditama. 2007). Bambang S., Joni. Hukum Ketenagakerjaan. (Bandung: Pustaka Setia. 2013). Berkatullah, Abdul Halim dan Prasetyo, Teguh. Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman yang Terus Berkembang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006) DKPP RI. Outlook 2016: Refleksi dan Proyeksi untuk Kemandirian, Integritas dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu. (Jakarta: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia. 2016). 286



Dinamika Hukum Pembuktian



Erwin, Muhamad. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia dalam Dimensi Ide dan Aplikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2015). Hadjon, Philipus M. dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005). Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2014).



Y



Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009).



. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2000).



M



Harahap, Zairin. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997). Hiariej, Eddy O,S. Teori dan Hukum Pembuktian. (Jakarta: Erlangga. 2012).



Hotmaulana, Rofinus. Perlindunan terhadap Hak-hak Tersangka/Terdakwa Atas Penerapan Beban Pembuktian Terbalik. (Jakarta: Mabes Polri, Focus Group Discusson. 10 Maret 2011).



M



Husin, Kadri dan Husin, Budi Rizki. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2016). Kaligis, OC. Pendapat Ahli dalam Perkara Pidana. (Bandung: Alumni. 2008).



U



. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka Terdakwa dan Terpidana. (Bandung: Alumni. 2006). Kuffal, H.M.A. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2004).



D



Kurniawan, Anang Mury. Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak. (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011). lamintang, P.A.F. dan Lamintang, Theo. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. (Jakarta: Sinar Grafika. 2010). Lebacqz, Karen. Teori-teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Yudi Santoso. (Bandung: Nusa Media. 1986). Loqman, Loebby. Perkembangan Azas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, (Semarang: Makalah. 2004). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi.(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MK. 2008).



Daftar Pustaka



287



Mahmudah, Nunung. Illegal Fishing, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Wilayah Perairan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2015). Makarim, Edmon. Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005). Manan, Abdul. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Pradilan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2007).



Y



. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Tinjauan Aspek Metodologis, Legalisasi dan Yurisprudensi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007). Manan, Baqir dan Maqnar, Kuntara. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. (Bandung: Alumni. 1997).



M



Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara di Indonesia. (Yogyakarta: FH-UII Press. 2011).



Mardjuki, Suparman. Tragedi Politik Hukum dan HAM. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011).



Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty. 1998).



M



Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer. (Yogyakarta: FH-UII Press. 2009). Mulyadi, Lilik. Bunga Rampai Hukum Pidana: Prespektif, Teoritik, dan Praktik. (Bandung: Alumni. 2008).



U



. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. (Bandung: Alumni. 2007). . Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya. (Bandung: PT Citra Adytia Bakti. 2007).



D



Munajat, Makhrus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. (Yogyakarta: Teras. 2009). Najih, Mokhammad. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana Sebagai Instrumen dalam Mewujudkan Tujuan Negara. (Malang: INTrans publishing. 2008). Pangaribuan, Luhut M. P. Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan (Jakarta: Papas Sinar Sinanti. 2014). Pillo, A. Pembuktian dan Daluarsa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Alih bahasa M.Isa Arief. (Jakarta: Intermasa. 1978).



288



Dinamika Hukum Pembuktian



Prasetyo, Teguh dan Barakatullah, Abdul Halim. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2016). Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Pembuktian dalam Sengketa Tata Usaha Negara (UU No. 5 Tahun 1986, LN, No. 77). (Jakarta: Pradnya Paramita. 1997). . Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktik. (Jakarta: Pradnya Paramita. 1989).



Y



Projodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia. (Bandung: Sumur Bandung. 1992).



Ramli, Akhmad M. Perkembangan Hukum dan Penegakan Hak Asasi Manusia., dalam Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia Kapita Selekta Hukum. Tim Penulis Pakar Hukum Universitas Padjadjaran. (Bandung: Widya Padjadjaran. 2009).



M



Rasjidi, Lili. et.all. Kapita Selekta Hukum, Tinjauan Kritis atas Perkembangan Hukum Seiring Perkembangan Masyarakat Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran. 2009).



M



Remmelink, Jan. Hukum Pidana Komentar atas Pasal-pasal Terrpenting dari KUH Pidana Belanda, dan Padanannya dalam KUH Pidana Indonesia. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2003).



U



Renggong, Ruslan. Hukum Acara Pidana, Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia (Jakarta: Kencana. 2014). Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. (Jakarta: Sinar Grafika. 2010). Rosyadi, A. Rachmat dan Ahmad, H.M. Rais. Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2006).



D



Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju. 2002). Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. Tinjauan Filsafat Hukum tentang Penegakkan Hukum di Indonesia. Dalam Kapita Selekta Hukum Tim Penulis Pakar Hukum Universitas Padjadjaran. (Bandung: Widya Padjadjaran. 2009). Samudera, Teguh. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. (Bandung: Alumni. 1992). Shariff, Azam Mohd. Prosedur Pendakwaan Jenayah Syariah; Analisis ke atas Peruntukan Undang-Undang di Bawah Akta Prosedur Jenayah Syariah (Wilayah-



Daftar Pustaka



289



wilayah Persekutuan) 1997 dan Akta Keterangan Mahkamah Syariah. Dalam Jurnal Undang-Undang dan Masyarakat. (Bangi, Selangor, D.E. Malaysia. 2011). Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.(Jakarta: Sinar Grafika. 2011). Siahan, Lintong O. Teori Hukum dan Wajah PTUN Setelah Amandemen 2004 (UU No. 5/1986 jo.UU NO. 6 Tahun 2004) (Jakarta: Percetakan Negara. 2009).



Y



Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: PETEHAEM. 1985).



Sidharta. Filsafat Hukum, Refleksi Kristis terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2015).



M



. Putusan Hakim; Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan. Dalam Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara. (Jakarta Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2010).



Soedirjo. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. (Jakarta: CV Akademika Pressindo. 1985).



M



Soepomo, R. Bab-bab tentang Hukum Adat. (Jakarta: Balai Pustaka. 2013). Soeroso, R. Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 4 tentang Pembuktian. (Jakarta: Sinar Grafika. 2010). Subekti, R. Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pradnya Paramita. 2008).



U



Subekti. Hukum Acara Perdata. (Bandung: Binacipta. 1982). Sugeng, Bambang dan Sujayadi. Hukum Acara Perdata dan Dokumen Litigasi Perkara Perdata. (Jakarta: Prenada Media Group. 2011). Suherman, Ade Maman.



D



Suhor, Syamsuddin. Jenayah Undang-undang Mengimbas Perkembangan. Dalam Undang-Undang Malaysia 50 Tahun Merentasi Zaman. (Fakulti UndangUndang; Universiti Kebangsaan Malaysia: Bangi Selangor. 2007). Sumargono, Akhmad. Reformasi Birokrasi Menuju Pemerintahan yang Bersih Telaah Kritis Terhadap Perjalanan Birokrasi di Indonesia. (Jakarta: Pusat Kajian Strategi Politik dan Pemerintahan PKSPP. 2009). Sungguh, As’ad. Kode Etik Profesi tentang Kesehatan: Kedokteran, Psikologi, Kebidanan, Keperawatan, Apoteker, dan Rumah Sakit. (Jakarta: Sinar Grafika. 2014).



290



Dinamika Hukum Pembuktian



Susanto, Anthon F. Wajah Peradilan Kita. Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: PT Rafika Aditama. 2004). Sutanto, Retnowulan dan Oeripkartawinata, Iskandar. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik. (Bandung: Mandar Maju. 1989). Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. (Bogor: Ghalia Indonesia. 2009). Sutedi, Adrian. Hukum Pajak. (Jakarta: Sinar Grafika. 2013). Syamsuddin, Aziz. Tindak Pidana Khusus. (Jakarta: Sinar Grafika. 2011).



Y



Syarif dan Pratama, Achmad Rizky. Mengungkap Wajah Peradilan Tata Negara Indonesia. (Yogyakarta: Genta Press. 2008).



M



Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial. (Yogyakarta: Genta Publishing. 2010).



Tjandra, W. Riawan. Peradilan Tata Usaha Negara Mendorong Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya. 2009).



M



Ugo dan Pujiyo. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (Jakarta: Sinar Grafika. 2012). Umar, M. Husseyn. BANI dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Fikahati Aneska. 2013).



U



Utomo, Laksanto. Hukum Adat. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2016). Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1958). Wasitaatmadja, Fokky Fuad. Filsafat Hukum Akar Religiusitas Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group. 2015).



D



Widjajati, Erna. Hukum Perusanaan dan Kepailitan di Indonesia. (Jakarta: Jalur. 2014). Wijatanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. (Jakarat: Sinar Grafika. 2014). Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2006).



Daftar Pustaka



291



[Halaman ini sengaja dikosongkan]



BIODATA PENULIS



M



Y



Prof. Dr. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. Guru B e s a r H u ku m P i d a n a U n i v e r s i t a s Muhammadiyah Jakarta, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Periode 2015-2019, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Periode 2015-2020, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2012-2015, telah menerbitkan publikasi ilmiah lebih dari 20 buku diantaranya Perkembangan Stelsel Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009), Korupsi dan Pidana Denda, (Yogyakarta: Total Media, 2009), Kebijakan Kriminal, (Yogyakarta: Total Media, 2010), Sejarah Pembaruan KUHP dan KUHAP, (Yogyakarta: Total Media 2010), Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media, 2009), Beban Pembuktian dalam beberapa Praktek Peradilan, (Jakarta: Gramata, 2012) dan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014) dan puluhan tulisan lainnya dalam berbagai jurnal ilmiah.



D



U



M



Biodata Penulis



293