E-Book Parasitologi I [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ISBN : 978-623-7684-67-1



PARASITOLOGI I



Rafika, S.Si.M.Kes



PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN KURIKULUM POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR 2020 ii



BUKU AJAR PARASITOLOGI I Penulis



: Rafika, S.Si.,M.Kes



ISBN



: 978-623-7684-67-1



Editor : Rafika, S.Si.,M.Kes Penyunting : Rafika, S.Si.,M.Kes Desain Sampul dan Tata Letak : Rafika, S.Si.,M.Kes Penerbit : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Kurikulum Poltekkes Kemenkes Makassar Jl. Wijaya Kusuma Raya No. 46 Makassar 90222 Telp (0411) 869826, fax (0411) 869742 Email : [email protected] Redaksi : Jl. Wijaya Kusuma Raya No. 46 Makassar 90222 Telp (0411) 869826, fax (0411) 869742 Distributor Tunggal : Pusat Pengembangan Pendidikan dan Kurikulum Poltekkes Kemenkes Makassar Cetakan Pertama,



Nopember 2020



Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulisan dalam bentuk dan dengan apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.



iii



GAMBARAN UMUM RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER 1) CAPAIAN PEMBELAJARAN 



Mahasiswa mampu menjelaskan pengantar Parasitologi







Mahasiswa mampu memahami tentang Helmintologi







Mahasiswa mampu menjelaskan Nematoda usus







Mahasiswa mampu menjelaskan Nematoda jaringan







Mahasiswa mampu menjelaskan Trematoda Hati







Mahasiswa mampu menjelaskan Trematoda Usus







Mahasiswa mampu menjelaskan Trematoda Paru







Mahasiswa mampu menjelaskan Trematoda Darah







Mahasiswa mampu menjelaskan Cestoda







Mahasiswa



mampu



menjelaskan



vektor



penyakit



kecacingan dan filariasis 2) DESKRIPSI SINGKAT MATA KULIAH Mata kuliah ini memberikan kemampuan kepada mahasiswa untuk memahami parasit cacing yang menimbulkan penyakit



iv



pada manusia. Metode pembelajaran yang digunakan melalui perkuliahan di kelas menggunakan metode ceramah, diskusi, penugasan. Indikator evaluasi keberhasilan mahasiswa berupa kehadiran, karakter,penugasan, kuis, UTS dan UAS. 3) MATERI PEMBELAJARAN/POKOK BAHASAN a. Pengantar Parasitologi I b. Helmintologi c. Nematoda Usus d. Nematoda Jaringan e. Trematoda f. Cestoda g. Vektor penyakit kecacingan dan filariasis



v



KATA PENGANTAR Alhamdulillah Puji Syukur Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan begitu banyak nikmat kehidupan salah satunya nikmat kesehatan dan diberikan kemudahan dapat membuat dan menyelesaikan Buku Ajar Parasitologi I. Buku ini sesuai kurikulum dalam Jurusan Analis Kesehatan yang dibuat untuk mendukung pembelajaran mahasiswa agar lebih memahami tentang parasit yang berhubungan dengan manusia. Buku ini menguraikan materi teori Helminth atau cacing yang parasit



pada



manusia,



sehingga



mahasiswa



Teknologi



Laboratorium Medis atau mahasiswa Program Studi lain, agar dapat memanfaatkan untuk menambah wawasan dan informasi pengetahuan untuk memahami morfologi dan diagnosis parasit cacing, sehingga membantu dalam identifikasi parasit pada saat praktikum di Laboratorium.



vi



Penulis menyadari buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis merasa membutuhkan saran dan masukan untuk perbaikan buku ini kedepannya. Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam proses pembuatan serta penerbitan buku ini.



Makassar, 4 Nopember 2020



Rafika, S.Si.,M.Kes



vii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ........................................................................ ii IDENTITAS BUKU ........................................................................ iii GAMBARAN UMUM RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER ..... iv KATA PENGANTAR ...................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix BAB 1 LATAR BELAKANG ............................................................. 1 BAB 2 MATERI ............................................................................. 4 A.



RUANG LINGKUP PARASIT................................................ 4



B.



HELMINTHOLOGI............................................................ 11



C.



NEMATODA .................................................................... 18



D. TREMATODA................................................................... 72 E.



CESTODA ........................................................................ 98



F.



VEKTOR PENYAKIT KECACINGAN DAN FILARIASIS ....... 107



BAB 3 EVALUASI ...................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 128



viii



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Cacing dewasa Ascaris lumbricoides ..................... 20 Gambar 2.2 Jenis Telur Ascaris lumbricoides ............................ 22 Gambar 2.3 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides ........................ 23 Gambar 2.4 Trichuris A. Dewasa Jantan, B. Dewasa Betina .... 29 Gambar 2 .5 Telur Trichuris trichiura ........................................ 30 Gambar 2.6 Siklus Hidup Trichuris trichiura.............................. 30 Gambar 2.7 Telur dan cacing dewasa Hookworm ................... 37 Gambar 2.8 Larva rhabditiform dan filariform Hookworm ...... 38 Gambar 2.9 Siklus Hidup Cacing Hookworm ............................ 40 Gambar 2.10 Telur dan Cacing dewasa E. vermicularis ............ 45 Gambar 2.11 Strongyloides stercoralis bentuk parasitik ......... 51 Gambar 2.12 S. stercoralis bentuk bebas betina dan jantan .... 52 Gambar 2.13 Larva Rhabditiform dan Filariform S. stercoralis. 53 Gambar 2.14 Struktur mikrofilia .............................................. 59 Gambar 2.15 Mikrofilaria Whuchereria bancrofti.................... 61 Gambar 2.16 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti...................... 62 Gambar 2.17 Mikrofilaria Brugia malayi dan Brugia timori ..... 69 Gambar 2.18 Cacing dewasa dan telur Fasciola hepatica ........ 74 Gambar 2.19 Siklus Hidup Fasciola hepatica ............................ 75



ix



Gambar 2.20 Cacing Dewasa dan Telur Fasciolopsis buski ....... 80 Gambar 2 21 Telur Paragonimus westermani .......................... 83 Gambar 2.22 Telur dan Cacing Schistosoma ............................ 88 Gambar 2.23 Siklus Hidup Schistosoma .................................... 88 Gambar 2.24 Cacing dewasa dan telur S. mansoni ................... 93 Gambar 2.25 Telur dan cacing dewasa S. haematobium .......... 96 Gambar 2.26 Proglotid gravid Taenia saginata ...................... 100 Gambar 2.27 Siklus Hidup Taenia sp. ...................................... 102 Gambar 2.28 Proglotid gravid dan telur Taenia solium .......... 106 Gambar 2.29 Musca domestica betina ................................... 113 Gambar 2.30 Comb teeth Aedes ............................................. 119 Gambar 2.31 Bulu Thoraks Aedes .......................................... 120



x



BAB 1 LATAR BELAKANG Parasitologi merupakan ilmu yang mempelajari organisme yang hidup untuk sementara atau menetap di dalam atau pada permukaan organisme lain dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh kebutuhan makanannya serta mendapat perlindungan dari organisme lain tersebut. Parasit adalah makhluk hidup (hewan atau tumbuhan) yang hidup di atas atau dalam tubuh makhluk hidup lain dan hidupnya tergantung pada makhluk hidup tersebut serta memperoleh keuntungan darinya.. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak memunculkan kelainan terutama oleh cacing parasitik serta protozoa parasitik. Hal ini paling utama diakibatkan parasit senantiasa berupaya beradaptasi sebisa mungkin, sehingga orang yang dihinggapi tidak mengenali terdapatnya parasit tersebut. Meski demikian, bisa jadi pula terjalin kerusakan jaringan oleh parasit ini,



1



sehingga timbul indikasi klinis. Kerusakan jaringan oleh parasit ini bergantung sebagian hal diantaranya parasit yang menyerang ( spesies, stadium, jumlah, zat toksik atau enzim yang dikeluarkan), kondisi hospes (hospes yang cocok atau tidak, kondisi umum, daya tahan tubuh, penyakit lain yang menyertai), organ yang dikenai. Infeksi parasit usus merupakan salah satu permasalahan kesehatan masyarakat untuk negara berkembang misalnya wilayah tropis serta subtropis, termasuk Indonesia. Keadaan ini menjadikan Indonesia sebagai tempat endemik berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang prevalensinya masih besar merupakan penyakit kecacingan. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih kategori besar pada penduduk miskin serta hidup di area padat penduduk dengan sanitasi yang kurang baik, tidak memiliki jamban serta sarana air bersih tidak memadai. Hasil survei Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di



2



sebagian provinsi di Indonesia menampilkan prevalensi kecacingan untuk seluruh umur di Indonesia berkisar antara 40%- 60%. Sebaliknya prevalensi kecacingan pada anak di seluruh Indonesia pada umur 1- 6 tahun ataupun umur 7- 12 tahun terletak pada tingkatan yang tinggi, ialah 30% sampai 90%. Berdasarkan uraikan tersebut, maka penulis membuat buku ini untuk menguraikan



mengenai



mempengaruhi kesehatan manusia.



3



parasit



cacing



yang



BAB 2 MATERI A. RUANG LINGKUP PARASIT Ruang lingkup parasit yang menginfeksi manusia dan hewan terdapat tiga golongan besar yaitu(Staf Pengajar, 2016) 1. Helminth atau Cacing Parasit cacing mempunyai tubuh simetrik bilateral dan tersusun banyak sel. Parasit ini yang memiliki dua Filum yaitu Pada Filum Nemathelminthes terdapat



Kelas Nematoda,



sedangkan Filum Platyhelminthes terdiri dari Kelas Trematoda dan Cestoda. 2. Protozoa Parasit memiliki tubuh terdiri dari satu sel yang sudah memiliki fungsi lengkap makhluk hidup yaitu alat reproduksi, alat pencernaan makanan, sistem pernapasan, organ ekskresi dan organ untuk hidup lainnya. Pembagian Kelas protozoa



4



berdasarkan alat geraknya yaitu Rhizopoda, Mastigophora, Ciliata, Sporozoa. 3. Arthropoda Serangga dapat mempengaruhi kesehatan manusia dengan bertindak sebagai penular penyakit atau sebagai penyebab langsung penyakit. Kelas Arthropoda terdapat dua Kelas adalah Arachnida dan Insecta. PEMBAGIAN PARASIT Pembagian parasit dibedakan dari peran binatang atau tumbuhan, sifat ketergantungan keparasitannya dan tempat hidupnya, antara lain: 1. Berdasarkan peran binatang atau tumbuhan a. Zooparasit adalah parasit yang bertindak adalah hewan dibagi dalam yaitu protozoa adalah hewan bersel satu seperti amoeba. Metazoa adalah hewan bersel banyak yang



5



dibagi dalam



Helminthes (cacing)



dan Arthropoda



(serangga). b. Fitoparasit adalah parasit berupa tumbuh-tumbuhan dan yang terdiri atas bakteri dan fungus. 2. Berdasarkan sifat ketergantungan keparasitannya a. Parasit Obligat atau permanen Parasit dalam hidupnya sepenuhnya tergantung pada hospes. Contoh: cacing Ascaris lumbricoides. b. Parasit fakultatif (Idehma and Pusarawati, 2007 Organisme yang hidup bebas, tetapi suatu waktu dapat menjadi parasit (oportunis) atau parasit temporer adalah parasit yang sebagian masa hidupnya, hidup bebas sewaktuwaktu akan menjadi parasit contohnya Strongyloides stercoralis.



6



c. Parasit insidental Parasit yang secara kebetulan atau sebagai suatu kecelakaan terdapat pada Inang yang tidak wajar, contoh cacing pita Diphyllobothrium caninum sebagai cacing dewasa biasanya terdapat dalam inang anjing. Tetapi secara kebetulan terdapat pada manusia terutama anak-anak. 3. Berdasarkan tempat hidup a. Endoparasit: Parasit yang hidup di dalam tubuh host/inang. Contoh: cacing tambang, cacing Ascaris lumbricides, Plasmodium spp. b. Ektoparasit: Parasit yang hidup di atas tubuh host / inang. Contoh: kutu rambut (Pediculus humanus, tungau, caplak). ISTILAH DALAM MEMPELAJARI PARASITOLOGI 1. Parasitisme



7



Hubungan timbal balik antara parasit dengan hospes yang berguna untuk kelangsungan hidup parasit tersebut (hospes menderita kerugian). 2. Hospes Hospes



atau



host



atau



inang



yang



mengandung



parasit. Jenis hospes dapat dibagi menjadi yaitu a. Host definitif Makhluk hidup di mana parasit dapat bermetamorfosis, mencapai kematangan dan melakukan reproduksi seksual, dan inang menjadi sakit akibat keberadaan parasit. Contoh: Manusia dan mamalia merupakan host definitif cacing Schistosoma japonicum. b. Hospes perantara atau intermediate host Makhluk hidup di mana parasit dapat bermetamorfosa dan tumbuh menjadi stadium tertentu dalam tubuhnya. Parasit tidak bisa menjadi dewasa dalam host perantara, tetapi



8



dapat melakukan multiplikasi atau perbanyakan (reproduksi aseksual).



Contoh



Cacing



Schistosoma



japonicum



memerlukan keong Oncomelania hupensis lindoensis sebagai host perantara, karena didalamnya terjadi perkembangan mirasidium menjadi sporokista membentuk serkaria dan menembus kulit manusia atau mamalia. a) Hospes paratenik Tuan rumah potensial dan didalamnya tidak terjadi perkembangan parasit muda atau hospes itu tidak mendukung



atau



menghalangi



parasit



itu



dalam menyelesaikan siklus hidupnya misalnya Toxocara cati. b) Transport Host/Reservoir Host Makhluk hidup yang bagian dalam atau permukaan tubuhnya digunakan oleh parasit untuk berpindah tempat



9



dari satu host ke host yang lain. Contoh: Tikus sebagai reservoar bakteri Pes, Leptospira. 3. Zoonosis Penyakit pada hewan yang dapat ditularkan kepada manusia contoh Balantidiosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh Balantidium coli, suatu parasit babi yang kadang-kadang ditularkan kepada manusia. 4. Vektor (Natadisastra, 2009) Arthropoda (serangga) yang menularkan penyakit pada manusia dan hewan secara aktif. Contoh nyamuk Anopheles sp. yang menularkan parasit malaria dan Culex sp. sebagai vektor filariasis. Vektor tersebut ada dua jenis vektor yaitu vektor mekanis (phoretik) dan vektor biologis. Vektor biologis adalah sebagian siklus hidup parasitnya terjadi pada tubuh vektor tersebut, sedangkan jika dalam tubuh vektor tersebut tidak terjadi sebagian siklusnya disebut vektor mekanis.



10



5. Infeksi dan infestasi Infeksi adalah proses masuknya endoparasit ke dalam tubuh hospes. Sedangkan menempelnya ektoparasit pada tubuh hospes disebut infestasi. B. HELMINTOLOGI Kata Helminth berasal dari bahasa Yunani yang berarti cacing, semula ditujukan pada cacing usus, tetapi lebih umum dimaksudkan meliputi keduanya, baik spesies yang bersifat parasit maupun spesies yang hidup bebas dari cacing bulat atau Filum Nemathelminthes



dan cacing pita atau Filum



Platyhelminthes. (Staf Pengajar, 2016) PEMBAGIAN HELMINTH Penggolongan cacing yang penting dalam bidang kesehatan yaitu :



11



a. Filum Nemathelminthes Karakteristik cacing dewasa ini merupakan kelompok cacing dengan bentuk bulat memanjang seperti benang. Ini juga sering disebut cacing gilik. Cacing jantan lebih kecil dari cacing betina. Kulit luar tidak bersegmen kutikula licin kadang-kadang bergaris dan tidak berwarna, memiliki rongga badan serta jenis kelamin terpisah. Pada ujung tubuh belakang terdapat anus. Belum memiliki sistem peredaran darah dan jantung. Bersifat parasit bagi hewan dan manusia termasuk termasuk kelas nematoda. Kelas nematoda menurut habitat adalah: 1) Nematoda Usus Berdasarkan cara transmisi (penyebaran), nematoda usus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu nematoda usus yang ditularkan melalui tanah Soil Transmittes Helminths (STH) yaitu kelompok cacing nematoda yang membutuhkan tanah untuk pematangan dari bentuk non-infektif menjadi bentuk infektik.



12



Jenis cacing ini antara lain Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, cacing tambang (Necator americanus, Ancylostoma duodenale), Strongyloides stercolaris serta Trichostrongylus colubriformis. Sedangkan kelompok nematoda usus yang tidak membutuhkan tanah dalam siklus hidupnya Non Soil Transmittes Helminths (Non-STH) yaitu Enterobius vermicularis, Trichinella spiralis dan Capillaria philippinensis. 2) Nematoda Jaringan Nematoda yang hidup sebagai parasit di dalam darah dan jaringan manusia terdiri atas 1) cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, Loa loa, Achanthocheilonema perstans, Mansonella ozzardi dan Drancuculus medinensis. 2) Larva Mirgrans, yakni terjadi migrasi larva cacing nematoda terutama nematoda binatang dalam tubuh manusia seperti Gnatostoma spinigerum, Ancylostoma



13



caninum, Ancylostoma braziliense 3) Nematoda yang jarang didapat yaitu Toxocara canis dan Toxocara cati. b. Filum Platyhelminthes Platyhelminthes merupakan cacing berbentuk pipih seperti daun atau pipih panjang seperti pita. Tidak mempunyai sistem peredaran darah, tidak bersegmen tidak memiliki rongga badan, alat pencernaan buntu, bersifat hermaprodit karena testis dan ovarium terdapat bersama-sama dalam satu spesies. Tubuh cacing ini berbentuk simetri bilateral. Umumnya telur memiliki operkulum



bentuk



pipih.



Cacing



pipih



yang



berbentuk seperti daun disebut cacing daun dimasukkan dalam kelas Trematoda. Cacing pipih berbentuk pita masuk dalam kelas Cestoda. Cacing pipih hidup parasit pada manusia dan hewan. Berdasarkan pembagian kelompok terdiri dari:



14



Platyhelminthes



1) Kelas Trematoda Menurut habitat ialah trematoda usus terdiri dari Fasciolopsis buski, Metagonimus yokogawai, Gastrodiscoides hominis, Heterophyes heterophyes dan Watsonius watsoni. Trematoda hati antara lain Clonorchis sinensis, Fasciola hepatica, Opistorchis felineus, Opistorchis viverrini. Yang termasuk trematoda paru-paru adalah Paragonimus westermani. Dan trematoda darah yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium, Schistosoma mekongi. 2) Kelas Cestoda Cestoda terdiri dari: 1) Cestoda intestinal adalah timbulnya gejala intestinal oleh cacing dewasa. parasitik



pada



manusia



yaitu



Ada 2 ordo cestoda Pseudophyllidea



dan



Cyclophyllidea. 2) Cestoda Ekstraintestinal merupakan larva cestoda yang dapat menimbulkan masalah ekstraintestinal yaitu sparganum (larva plerocercoid) dari Diphyllobothrium latum,



15



Diphyllobothrium caninum, cysticercus cellulosae larva dari Taenia solium, Taenia saginata, cysticercoid larva dari Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta, kista hydatid larva dari Echinococcus granulosus dan coenurus larva dari Multiceps multiceps. c. Filum Annelida Cacing gelang adalah golongan cacing yang paling rendah tingkatannya yang membedakan yaitu adanya rongga tubuh, segmentasi berupa sistem saraf. Sistem peredaran darahnya tertutup dan sistem pencernaannya sempurna. Cacing gelang mempunyai mulut di ujung anterior



(ujung depan atau kepala),



dan anus di ujung posterior (ujung belakang, ekor). Cacing gelang ada yang hidup di darat di air tawar dan di air laut. contoh cacing tanah, pacet dan lintah. Annelida jenis lintah merupakan ektoparasit penghisap darah yang hidup di air.



16



MORFOLOGI DAN SIFAT Cacing (vermes) pada umumnya berbentuk hewan kecil yang bertubuh memanjang dan bulat (cacing gelang), panjang dan berbentuk pipih serta bentuk daun. Ukurannya ada yang panjang, cacing pita sekitar 12 – 18 cm dan kecil panjang kirakira 1 mm. Tidak mempunyai kaki simetris bilateral pipi atau gilik dan ada yang beruas-ruas. Dapat bergerak pindah karena mengandung jaringan otot khusus. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit cacing bukan hanya pemeriksaan gejala klinik saja, namun perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium, untuk menemukan salah satu stadium dari cacing antara lain telur, larva dan cacing dewasa. Metode pemeriksaan laboratorium bukan hanya dengan pemeriksaan pemeriksaan rutin, tetapi dilakukan teknik-teknik pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan tinja secara langsung, konsentrasi ataupun biakan,



17



pemeriksaan usapan anus metode selotip, kuantitatif kato-katz, biopsi, atau autopsi, pemeriksaan darah urin ataupun sputum serta reaksi imunologis. C. NEMATODA Nematoda memiliki jumlah spesies paling banyak di antara cacing yang hidup sebagai parasit. Nematoda yang menginfeksi manusia terdiri dari nematoda usus dan nematoda jaringan. NEMATODA USUS Jenis-jenis nematoda usus yang menginfeksi manusia dijelaskan uraikan berikut mulai hospes, penyakit yang ditimbulkan, morfologi dan siklus hidup, diagnosis, epidemiologi, pengobatan dan pencegahan. Ascaris lumbricoides a. Hospes dan Penyakit (Zulkoni, 2010)



18



Hospes definitif Ascaris lumbricoides hanya manusia dan tidak memiliki hospes perantara. Penyakit yang disebabkan cacing itu disebut Ascariasis. Distribusi geografi secara kosmopolit terutama daerah tropis. b. Morfologi Cacing Dewasa 



Cacing Ascaris lumbricoides berbentuk silindris mirip cacing tanah dan disebut cacing gelang.







Cacing betina berukuran lebih besar dengan ukuran panjangnya 200-350 x 4-6 mm, cacing jantan ukuran panjangnya 150-200 x 2-4 mm.







Tubuhnya berwarna kuning kecoklatan kutikulum halus yang bergaris-garis lembut.







Ekor cacing jantan melengkung ke arah ventral papil kecil, dilengkapi dengan dua spekulum yang masing-masing berukuran panjang 2 mm dan ujung posteriornya meruncing.



19



Ekor cacing betina lurus dan ujung posteriornya membulat (conical). Cacing betina mempunyai cincin kopulasi terletak kira-kira 1/3 anterior panjang badan. 



Mulutnya mempunyai tiga bibir yakni satu bagian dorsal ventral.







Memiliki eseofagus, uterus dan ovarium yang melingkar, usus, anus, testes melingkar.







Tanah liat kelembaban tinggi dan suhu 25oC sampai 30oC merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif.



Gambar 2.1 Cacing dewasa Ascaris lumbricoides Sumber: (Prasetyo, 2003)



20



Telur 



Berbentuk oval sampai bulat berukuran sekitar 60 x 45 µm. Berkulit ganda dengan batas jelas.







Kulit bagian luar kortika bergerigi terdiri dari lapisan luar albuminoid berwarna coklat karena menyerap warna albumin dan juga yang tidak berkortika. Kulit bagian dalam halus tebal tidak berwarna sampai berwarna kuning pucat dilapisi hialin.







Telur berisi masa bulat bergranula, pada bagian kutub terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk mirip bulan sabit.







Jenis telur cacing betina terdiri dari:



a. Telur fertil corticated (dibuahi, berkortika) b. Telur fertil decorticated (dibuahi, tidak berkortika) c. Telur unfertil corticated (tidak dibuahi, berkortika) d. Telur unfertil decorticated (tidak dibuahi, tidak berkortika)



21



e. Telur berembrio



a



b



c



d



e Gambar 2.2 Jenis Telur Ascaris lumbricoides Sumber: (Prasetyo, 2003) c. Siklus hidup (Jeffrey, 1993) Ukuran telur tergantung kesuburan makanan dalam usus hospes, telur keluar bersama tinja dalam keadaan belum



22



membelah. Untuk menjadi infektif diperlukan pematangan di tanah yang lembab dan teduh selama 20 sampai 24 hari dengan suhu optimum 25o-30oC.



Gambar 2.3 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides Sumber: (Muslim, 2009) Cacing dewasa hidup dalam lumen usus halus. Satu ekor cacing betina dapat memproduksi kira-kira 200.000 telur/hari, yang dikeluarkan bersama feses. Telur tidak subur dapat ditemukan namun tidak infektif. Telur subur berembrio akan infektif sesusah 18 hari sampai beberapa minggu, dapat bertahan di lingkungan dengan kondisi optimum yaitu lembab,



23



hangat, tanah gembur. Sesudah telur infektif tertelan, larva menetas, menginvasi mukosa usus dan diangkut melalui portal (hati), kemudian ke system sirkulasi (jantan kanan) sampai ke paru. Untuk sampai ke paru-paru membutuhkan waktu 1 sampai 7 hari setelah infeksi. Selanjutnya larva matang di paru (10-14 hari), larva keluar dari kapiler darah masuk ke dalam alveolus terus ke bronkiolus, bronkus, trakea sampai ke laring yang kemudian akan tertelan masuk ke dalam esofagus, ke lambung dan kembali ke usus halus untuk kemudian menjadi dewasa. Keluarnya larva dari kapiler alveolus untuk masuk ke dalam alveolus disebabkan karena diameter kapiler sekitar 0,01 mm, sedangkan larva berdiameter 0,02 mm. Selama di dalam paruparu larva mengalami penyilihan kulit kedua dan ketiga. Masuk ke usus halus, dan selanjutnya berkembang sampai menjadi cacing dewasa. Dibutuhkan waktu antara 2-3 bulan sejak telur



24



infektif tertelan sampai cacing betina dewasa menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat hidup antara 1 dan 2 tahun. d. Aspek klinis Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru-paru pada orang yang rentan terjadi peredaran kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru-paru yang disertai batuk demam dan eosinofilia. Pada foto thorax tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu keadaan tersebut disebut Sindrom loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan, kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga



25



terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operasi. e. Diagnosis Pada fase migrasi dapat ditemukan larva dalam sputum atau bilas lambung, sedangkan pada fase intestinal dapat ditemukan telur dan cacing dewasa di feses. Pemeriksaan laboratorium secara mikroskopis dilakukan dengan memeriksa sediaan basah secara langsung atau sedimen konsentrasi. Cacing dewasa dapat ditemukan pada pemberian antihelmintik atau keluar sendirinya melalui mulut atau muntahan atau feses. Petugas mikroskopis



pada



pemeriksaan



laboratorium



perlu



memperhatikan bahwa telur yang tidak dibuahi pada sediaan metode konsentrasi flotasi dengan ZnSO4 dapat mengapung karena berat molekul pelarutnya lebih besar. Telur dapat



26



diinkubasi dalam formalin 0,5% pada erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas telur berkembang menjadi larva dalam waktu 2 sampai 3 minggu. f. Epidemiologi Distribusi cacing Ascaris lumbricoides di seluruh dunia prevalensi pada negara beriklim tropis dan subtropis dan daerah yang sanitasinya tidak baik. Indonesia prevalensi cacing ini tinggi terutama pada anak-anak frekuensinya 60 sampai 90%. Penyebaran kosmopolit terutama di daerah tropis dengan udara yang lembab serta sangat erat hubungannya dengan keadaan higienis dan sanitasi. Cacing ini terutama menyerang anak-anak usia 5 sampai 9 tahun. g. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal. Pengobatan massal dengan pemberian albendazol 400 mg dua kali setahun. Obat-obat baru yang efektif dipakai



27



diantaranya



pirantel



pamoat,



piperasin,



mebendazol,



albendazole dan levamisol. h. Pencegahan Kesadaran penggunaan jamban keluarga oleh masyarakat masih rendah dan perlu penyuluhan kesehatan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam penggunaan jamban keluarga yang benar. Pencemaran feses pada tanah, di sekitar halaman rumah, di bawah pohon dan tempat pembuangan sampah harus dihindari. Pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan mencuci tangan sebelum makan, memasak makanan sayuran dan air dengan baik. Trichuris trichiura a. Hospes dan Penyakit Cacing Trichuris trichiura disebut juga cacing cambuk. Penyakit yang ditimbulkan oleh cacing ini disebut Trikuriasis. b. Morfologi Cacing Dewasa 28







Ciri-ciri khas Trichuris trichiura adalah cacing cambuk jantan panjangnya mencapai 45 mm, yang betina 50 mm.







Ujung posterior yang betina lurus tumpul, pada yang jantan melengkung.







Spikula atau spikulum yang jantan tunggal,



mempunyai



selubung yang lentur. 



Bagian anterior mengandung esofagus yang panjang dan sempit.



usus dan organ reproduksi terletak di ujung



posterior tubuh. 



Habitat menempel pada mukosa coecum.



A



B



Gambar 2.4 Trichuris A. Dewasa Jantan, B. Dewasa Betina



29



Telur 



Bentuk telur dari cacing ini adalah berbentuk seperti tempayan atau tong dengan 2 tutup berbentuk operculum pada ujung. Berukuran kurang lebih 50 x 22 mikron







telur akan menjadi matang masak di tanah dan infektif (mengandung larva) setelah berumur 3 – 6 minggu.



Gambar 2 .5 Telur Trichuris trichiura c.



Siklus Hidup



Gambar 2.6 Siklus Hidup Trichuris trichiura Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/trichuriasis/index.html



30



Telur tanpa embrio cacing akan keluar bersama dengan tinja penderita. Di dalam telur tersebut akan berkembang embrio cacing (stadium 2 sel) sehingga telur akan menjadi matang (infeksi) ketika berada di dalam tanah (telur menetas dalam tanah 3-5 minggu). Selanjutnya tertelan (kontaminasi dari tanah melalui tangan dan makanan, atau telur dibawa oleh vektor mekanik yaitu lalat rumah hinggap pada makanan. Sesudah tertelan (kontaminasi dari tanah melalui tangan dan makanan), telur menetas dalam usus halus, dan mengeluarkan larva, kemudian matang dan cacing dewasa menetap dalam usus halus, dan mengeluarkan larva, kemudian matang dan cacing dewasa menetap dalam kolon (maturasi telur sampai cacing dewasa selama 3 bulan. Cacing dewasa (panjang berkisar 4 cm) hidup di sekum dan kolon asenden. Cacing dewasa menetap di tempat tersebut dengan cara bagian anteriornya menusuk ke dalam mukosa. Cacing betina mulai bertelur 60-70 hari sesudah



31



infeksi. Cacing betina dalam sekum bertelur antara 3.000-20.000 per hari. Jangka hidup cacing dewasa sekitar 1 tahun. d. Aspek Klinis Cacing dewasa menyebabkan kerusakan mekanik mukosa kolon karena memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus. Pada tempat perlekatannya terjadi perdarahan, dan di samping itu menghisap darah hospes, sehingga menyebabkan anemia. Pada infeksi berat dan menahun terutama pada anak-anak menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum akibat mengejannya penederita pada waktu defekasi. e. Diagnosis Diagnosis ditetapkan dengan menemukan telur dan cacing dewasa di tinja penderita rektal, terutama pada anak. Telur mudah ditemukan pada sediaan basah dengan metode langsung



32



dan konsentrasi (sedimentasi dan flotasi), telur dapat dieramkan dalam formail 0,5% pada erlermeyer yang ditutup dengan kapas. f. Epidemiologi Penyebaran



geografisnya



sama



dengan



Ascaris



lumbricoides sehingga sering ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Penyebaran bagi cacing ini terjadi di seluruh dunia (kosmopolit) dan lebih banyak pada daerah tropis. Sebagaimana di Indonesia, prevalensi Trichuriasis masih begitu tinggi daerah pedesaan (60-90%) dengan sanitasi buruk, biasanya penyakit ini menyerang pada anak-anak. g. Pengobatan dan Pencegahan Penderita kecacingan ini dapat diobati menggunakan albendazole, mebendazole, pirantel pamoate dan piperazin kurang efektif. Upaya pencegahan seperti kasus askariasis dengan pengobatan masal, perbaikan sanitasi lingkungan, kebersihan perorangan.



33



Hookworms a.



Hospes dan Penyakit



Cacing ini biasa disebut cacing kait/tambang yang terdiri dari Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Penyakit disebabkan Necator americanus adalah nekatoriasis, sedangkan Ancylostoma duodenale menyebabkan penyakit ankilostomiasis. b. Morfologi Cacing Dewasa 



Cacing tambang berbentuk silindris, berwarna keputihan dan bermulut besar.







Cacing betina berukuran panjang 9-11 mm, dan cacing jantan berukuran panjang 5-11 mm.







Bagian ujung posterior cacing jantan melebar (bursa kopulatriks) berfungsi memegang cacing betina pada saat kopulasi. americanus



Kedua dan



spesies



cacing



Ancylostoma



34



tambang



(Necator



duodenale)



berbeda



morfologinya dalam bentuk tubuh, rongga mulut, bursa kopulatriks (jantan) dan spina kaudal (betina). a. Necator americanus 1) Bentuk tubuh ujung anterior menekuk ke arah dorsal sehingga tampak seperti huruf S. 2) Bagian mulut (Buccal capsule) terdapat bentukkan semilunar plat pemotong (cutting plate). 3) Cacing dewasa mempunyai ukuran 7-9 mm dengan diameter 0,3 mm dan cacing betina 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm. 4) Dorsal ray bursa kopulatriks bercabang dua dan lekukannya dalam. 5) Ekor cacing betina tidak berspina kaudal.



35



b. Ancylostoma duodenale 1) Bentuk tubuh bagian anterior lebih langsing dan bagian servikal melengkung ke arah dorsal-anterior, sehingga tampak seperti huruf C. 2) Bagian mulut (Buccal capsule) terdapat dua pasang gigi ventral. 3) Cacing jantan panjangnnya 8-11 mm, diameter 0,4-0,5 mm dan betina panjangnya 10-13 mm dengan diameter 0,6 mm. 4) Bagian posterior cacing jantan melebar terdapat dorsal ray bursa kopulatriks bercabang tiga dan lekukannya dangkal (Idehma and Pusarawati, 2007) 5) Ekor cacing betina berspina kaudal Telur 



Telur cacing tambang besarnya ± 60 x 40 µ.







Berbentuk bujur dan dinding tipis.



36







Di dalamnya terdapat beberapa sel mengandung 2-8 sel.







Cacing betina memproduksi telur Ancylostoma duodenale sekitar 20.000 butir per hari, sedangkan Necator americanus sekitar 10.000 butir per hari.



Gambar 2.7 Telur dan cacing dewasa Hookworm Larva cacing Hookworm 



Larva rhabditiform merupakan larva keluar dari telur mempunyai ukuran panjang 250 mikrometer berbentuk gemuk pendek. Rongga mulut (buccal cavity)



panjang



dan sempit esofagus berbentuk seperti tabung (bulbus oeshophagus) terletak 1/3 anterior panjang tubuhnya.



37







Larva filariform berbentuk halus, langsing panjang, berukuran panjang 600 mikrometer, mulut tertutup, esofagusnya tidak berbulbus dengan 1/4 panjang badan memanjang, ekor lancip dan tubuhnya diliputi oleh sheat (selubung), larva pada fase ini tidak makan (fase nonfeeding mulut). Dikenal sebagai Larva stadium 3 (stadium infektif pada manusia. Pada larva filariform A. duodenale selubungnya polos, tidak bergaris melintang, sedangkan selubung larva N. americanus bergaris melintang.



Gambar 2.8 Larva rhabditiform dan filariform Hookworm Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/index.html



38



c. Siklus Hidup Manusia



merupakan



satu-satunya



hospes



untuk



Ancylostoma duodenale maupun Necator americanus. cacing dewasa habitatnya di daerah yeyunum dan duodenum. Telur yang dihasilkan oleh cacing keluar bersama tinja ke lingkungan luar,



dan



bila



kondisi



lingkungan



optimal



(lembab, hangat, leduh) larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform berkembang di dalam tinja dan atau, setelah 5-10



hari larva mengalami dua kali pergantian kulit



(moulting)



jadi larva filariform (L-3)



merupakan



stadium



infektif. Larva infektif dapat tetap hidup selama 3 sampai 4 minggu pada kondisi lingkungan yang cocok. Jika kontak dengan hospes manusia atau tempat masuk larva filariform melalui selasela jari kaki atau bagian lateral punggung kaki dan pada petani, melalui larva menembus kulit yang utuh atau melalui folikel rambut dengan melepaskan kutikulanya. Larva masuk ke



39



subkutan dan mencapai vena-vena kecil superfisial melalui aliran darah ke jantung dan paru-paru larva menembus alveoli pulmonum percabangan bronkus ke faring dan selanjutnya tertelan. Setelah mencapai usus halus mengalami pergantian kulit dan menjadi larva stadium 4 (L-4) dan menjadi dewasa jantan dan betina. Diperlukan waktu 5 minggu atau lebih, dari infeksi L-3 sampai menjadi dewasa yang menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat menetap 1 sampai 2 tahun atau lebih.



Gambar 2.9 Siklus Hidup Cacing Hookworm Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/



40



d. Aspek Klinis Necator americanus dapat menyebabkan kehilangan darah pada penderita kurang lebih 0,1 cc perhari, sedangkan Ancylostoma duodenale dapat menyebabkan kehilangan darah pada penderita kurang lebih 0,06-0,34 cc perhari sehingga dapat menyebabkan anemia dan eosinophilia. Kelainan karena migrasi larva, gejala yang tampak pada tempat masuknya larva yang bisa berupa dermatitis lokal dan diikuti inflamasi. e. Diagnosis Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja segar secara mikroskopis. Telur Necator americanus tidak dapat dibedakan dengan Ancylostoma duodenale, sehingga perlu dibiakan selama 5-7 hari untuk pemeriksaan stadium larva dengan cara Harda-Mori.



41



f. Epidemiologi Infeksi ini menyebar secara kosmopolit terutama di area tropis da subtropis. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitatnya larva yaitu daerah dengan suhu dan kelembapan tinggi (perkebunan dan pertambangan). Suhu optimum untuk perkembangan larva Necator americanus berkisar 28o-32oC, sedangkan Ancylostoma duodenale berkisar 23o-25oC. g. Pengobatan dan Pencegahan Pemberian obat piranteal pamoat (combantrin dan pyrantin). Pencegahan dengan menggunakan alas kaki (sendal atau sepatu) dan pencegahan penularan infeksi cacing tambang dilakukan dengan menghindari defekasi di sembarang tempat. Enterobius vermicularis a. Hospes dan Penyakit Cacing Enterobius vermicularis atau Oxyuris vermicularis mirip jarum (pinworm) disebut cacing kremi. Manusia merupakan



42



satu-satunya hospes dan penyakit disebut enterobiasis atau oksiuriasis. b. Morfologi Cacing Dewasa 



Cacing ini berukuran kecil, berwarna putih mirip parutan kelapa







Cacing betina berukuran panjang 13 mm x 0,4 mm







Di bagian ujung anterior ada sekitar leher melebar kutikulum menyerupai sayap (cervical alae)







Mulut tidak berongga, tetapi dilengkapi tiga bibir.







Bulbous esophagus ganda dan jelas .







Cacing betina ekornya panjang dan runcing.







Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur.







Cacing jantan berukuran 2-5 mm mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya,



43



memiliki spikulum. Cacing jantan jarang ditemukan karena setelah kopulasi mati. 



Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum.







Cacing betina gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur biasanya pada malam hari, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya.



Telur 



Telur Enterobius vermicularis berbentuk oval, tetapi tampak asimetris (membulat pada satu sisi, mendatar pada sisi yang lain mirip kue pukis)







Berukuran 50-60 mikrometer.







Dinding telur bening dan agak tebal, kulit halus tipis, tampak sebagai garis ganda.







Telur berisi masa bergranula kecil-kecil teratur atau berisi larva cacing yang melingkar.



44







Telur tidak berwarna dan transparan telur berembrio (berisi Larva) merupakan bentuk infektif.



Gambar 2.10 Telur dan Cacing dewasa E. vermicularis Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/enterobiasis/ c. Siklus Hidup Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Daur hidup parasit ini mulai telur disimpan di sekitar perianal. Infeksi sendiri terjadi karena penularan telur infektif melalui tangan ke mulut setelah menggaruk daerah perianal. Transmisi dari orang ke orang lain terjadi melalui alat-alat tidur yang terkontaminasi seperti selimut, sarung bantal, dan lain-lain.



45



Enterobiasis



dapat



juga



terjadi



karena



lingkungan



terkontaminasi oleh telur cacing (misalnya karpet). Telur yang kecil dapat diterbangkan melalui udara dan dapat menginfeksi melalui saluran napas. Setelah telur infektif tertelan, larva keluar dari telur di dalam usus kecil, dan bentuk dewasanya menetap dalam usus besar. Jangka waktu dari tertelannya telur infektif sampai cacing betina mengeluarkan telur membutuhkan waktu kira-kira 1 bulan. Masa hidup dewasa kira-kira 2 bulan. Cacing betina gravid bermigrasi pada malam hari ke luar dari anus dan bertelur di kulit pada daerah perianal. Telur berkembang berisi larva (telur akan infektif) dalam 4-6 jam pada kondisi optimal. Retroinfection atau larva baru dapat bermigrasi kembali dari kulit anal ke rektum, namun frekuensinya jarang diketahui. d. Aspek Klinis Gejala penyakit ini mengalami iritasi di sekitar perianal yang menyebabkan penderita sering menggaruk (anus atau vagina)



46



sehingga terjadi luka.



Gangguan tidur atau lemah, mimpi



buruk,enuresis, gigi menggertak, penurunan nafsu makan, cepat tersinggung dan marah. Terjadi insomnia, gelisah dan berakhir dengan melakukan mastrubasi, infeksi sering terjadi pada anak dan wanita. Infeksi berat pada wanita dapat menyebabkan keluarnya cairan mukoid dari vagina uterus tuba fallopi. e. Diagnosis Infeksi cacing dapat diduga pada anak yang menunjukkan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum Anak buang air besar dan mencuci pantat ( cebok). Metode pemeriksaan Anal swab merupakan suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya dilekatkan scoth adhesive tape. Apabila adhesive tape



47



ditempelkan di daerah sekitar anus telur cacing akan menempel pada perekatnya. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan 3 hari berturut-turut. f.



Epidemiologi



Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain penularan sering terjadi pada suatu keluarga atau kelompok hidup di lingkungan yang sama. Telur cacing dapat diisolasi dari debu di ruangan Sekolah atau kafetaria sekolah dan menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang mengandung cacing kremi telur cacing dapat ditemukan 92% di lantai, meja kursi, bufet tempat duduk kakus bak mandi alas kasur pakaian dan tilam. Penularan dapat dipengaruhi oleh penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (autoinfeksi) atau tangan dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun kepada diri sendiri karena memegang benda-



48



benda maupun pakaian yang terkontaminasi. Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan oleh angin, sehingga telur melalui debu dapat tertelan. Retrospeksi melalui anus Larva dari telur yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke usus. g. Pengobatan Enterobiasis sering menyebabkan infeksi berulang sehingga perlu dilakukan pengobatan kembali dan dilakukan pada seluruh keluarga apabila ditemukan salah satu anggota keluarga mengandung cacing kremi. Obat yang dianjurkan diantaranya piperazine



sangat



efektif



bila



diberikan



waktu



pagi,



Mebendazole dan pirivinium yang efektif untuk semua stadium. h. Pencegahan Perorangan penting dilakukan kuku hendaknya selalu dipotong pendek, tangan dicuci bersih sebelum makan dan anak yang mengandung cacing kremi sebaiknya memakai celana



49



panjang,



jika



hendak



tidur



supaya



alas



kasur



tidak



terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang mengandung telur. Pakaian dan alas kasur hendaknya dicuci bersih dan diganti setiap hari. Strongyloides stercoralis a. Hospes dan Penyakit Hospes pada cacing Strongylodes stercoralis adalah manusia. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut Strongiloidasis. b. Morfologi Terdapat



dua



bentuk cacing



dewasa



Strongyloides



stercoralis yaitu: 1. Bentuk parasitik 



Diperankan oleh cacing betina bentuk filariform.







Parasitik berukuran panjang 2,2 mm berbentuk seperti benang, disebut cacing benang.



50







Tubuhnya tidak berwarna, semitransparan dan kulitnya kutikula yang halus.







Rongga mulutnya (buccal cavity ) pendek, esofagus panjang langsing dan silindrik, kurang 1/3 panjang badan, ekor lancip, dilengkapi pula dengan sepasang uterus berisi telur.







Bentuk berada dalam mukosa usus halus.







Telur



bentuknya



lonjong



mirip



dengan



telur



hookworm, berukuran 55 x 30 mikron berdinding tipis yang tembus sinar. 



Cacing dewasa bentuk parasit pada manusia hanya ditemukan betina saja.



Gambar 2.11 Strongyloides stercoralis bentuk parasitik Sumber: (Prasetyo, 2003)



51



2. Bentuk non parasitik atau bentuk bebas 



Cacing berbentuk bebas berada di luar tubuh inang (tanah),







Bentuknya lebih gemuk, pendek dibanding bentuk parasitik, dan esofagus berbulbus.







Cacing betina lebih besar, panjang dibanding yang jantan, berukuran 1x0,06 mm dengan ekor lurus, uterus berisi telur dan vulva ½ panjang badan.







Cacing jantan berukuran 0,75x0,04 mm, dengan ekor melengkung yang dilengkapi dengan spikulum.



Gambar 2.12 S. stercoralis bentuk bebas betina dan jantan 



Telur Strongyloides stercoralis berbentuk lonjong, dinding tipis dan berukuran 50-58 x 30.34 mikron.



52







Larva rhabditiform merupakan fase makan, bentuk halus, pendek dan gemuk dengan ukuran 225 x 15 mikron, rongga mulut (buccal cavity) lebar dan pendek, esofagus panjang 1/3 panjang badan.







Larva filariform merupakan stadium infektif pada manusia bentuknya halus langsing, panjang 700 x 16 mikron, ekor bercabang dan esofagus panjangnya 1/2 panjang badan.



Gambar 2.13 Larva Rhabditiform dan Filariform S. stercoralis Sumber: (Prasetyo, 2003) c. Siklus Hidup Telur disimpan di dalam mukosa usus, menetas menjadi larva rhabditiform, menembus sel epitel dan lewat ke lumen usus, keluar bersama tinja. Telur kadang-kadang ditemukan juga



53



dalam tinja. Parasit ini memiliki 3 macam siklus hidup diantaranya: 1. Siklus hidup bebas (direct cycles) Seperti pada cacing tambang, dalam waktu singkat 2-3 hari larva rhabditiform bertukar kulit menjadi larva filariform yang panjang, ramping, dan tidak infeksius berukuran 700 mikron. Larva filariform menembus kulit manusia, masuk ke dalam sirkulasi vena melewati jantung kanan sampai ke paru-paru dan menembus alveoli. Dari paru-paru naik ke trakea glottis, tertelan sampai usus halus dan disitu menjadi dewasa. Betina dewasa menghasilkan telur 28 hari setelah infeksi. 2. Daur tidak langsung (indirect cycles) Larva rhabditiform menjadi dewasa bebas di tanah. Setelah pembuahan yang betina menghasilkan telur yang bertumbuh menjadi Larva rhabditiform. Larva ini dapat menjadi larva



54



filariform yang infektif dalam beberapa hari dan masuk ke dalam hospes baru atau mengulang generasi hidup bebas. 3. Autoinfeksi Sewaktu-waktu larva dapat bertumbuh menjadi stadium filarifrom dalam usus dan menembus dinding mukosa usus dinamakan endo-autoinfeksi atau di daerah kulit perianal masuk kembali ke dalam hospes (ekso-autoinfeksi). d. Aspek Klinis Gejala klinis meliputi terdiri dari: 1.



Kulit Saat larva masuk terjadi reaksi ringan. Pada kasus lain terjadi



eritema dan pruritis, jika banyak larva yang masuk. Infeksi berulang, dapat menimbulkan reaksi alergi yang dapat mencegah cacing melengkapi siklus hidupnya, sehingga larva hanya dapat bermigrasi pada kulit saja. Peristiwa ini disebut larva migrans atau creeping eruption (cutaneous larva migrans)



55



yang ditandai dengan adanya satu atau lebih alur urtikaria progresif memanjang (umumnya dibagian dada). 2. Paru Migrasi larva ke paru bergantung pada jumlah larva dan intensitas respon imun hospes. Dapat asimtomatik atau timbul pneumonia. Pada kasus hiperinfeksi terjadi gejala batu, pernapasan pendek, mengi, demam dan nampak Sindrom Loffler. 3. Usus Masuknya cacing dalam mukosa usus halus menyebabkan timbulnya simptom abdominal, berbeda-beda sesuai dengan berat ringannya infeksi. Sering terjadi rasa sakit di perut, rasa mual dan diare. e. Diagnosis Ditemukan larva rhabditiform pada pemeriksaan tinja dengan cara sedimentasi. Menemukan larva dengan cara



56



kontentrasi Baermann, kultur menggunakan metode HaradaMori atau agar plate. Telah tersedia teknik EIA yang sensitif untuk serum. f. Epidemiologi Di lingkungan bebas cacing ini memerlukan suhu rata-rata sekurang-kurangnya



±15oC



dengan



kelembapan



tanah.



Penyebaran cacing ini terdapat di daerah tropis, subtropis dan daerah pertambangan. Larva S. stercoralis berkembang lebih cepat dalam waktu 34-38 jam terbentuk larva filariform yang infektif. Larva ini hidup bertahan pendek di tanah yaitu 1-2 minggu, tetapi mempunyai siklus bentuk bebas di tanah yang terus menerus menghasilkan bentuk infektif, sehingga dapat mencapai endemisitas tinggi. g. Pengobatan dan Pencegahan Pengobatan adalah tiabendazol. Pencegahan dengan menggunakan alas kaki atau sarung tangaan pada saat



57



berkebun. Membersihkan dengan baik daerah perianal setelah buang air besar untuk mencegah terjadinya autoinfeksi. Melakukan pendidikan kesehatan untuk program sanitasi lingkungan di daerah endemik. NEMATODA JARINGAN Nematoda yang cacing dewasa hidup dalam sistem limfatik, subkutan dan jaringan ikat dalam pada tubuh manusia. Di Indonesia ditemukan jenis parasit nematoda penyebab filariasis limfatik pada manusia yaitu dari Superfamili Filariaoidea yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Pada umumnya manusia sebagai hospes defenitif nematoda jaringan dan darah, sedangkan hospes perantaranya melalui vektor artropoda (nyamuk) sebagai hospes perantara yaitu genus Culex, Anopheles, Aedes, dan Mansonia merupakan vektor Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori.



58



Anatomi dan morfologi mikrofilaria cacing filaria penting diketahui untuk membedakan penyebab filariasis, karena bentuknya yang khas, dan lebih mudah ditemukan dibandingkan dengan cacing dewasa. Ruang kosong di kepala



Sarung



Inti badan



Lekuk badan



Gambar 2.14 Struktur mikrofilia Siklus hidup tiap spesies memiliki pola kompleks (larva infektif berkembang menjadi dewasa dan memerlukan waktu bertahun-tahun agar dapat menimbulkan patologis nyata manusia). manusia



Adanya mikrofilaria dalam darah perifer pada pada



tiap



spesies



berbeda-beda



diantaranya



mikrofilaria yang ada pada malam hari di darah perifer disebut 59



periodisitas nokturnal. Siang hari di darah perifer disebut periodisitas diurna dan tidak memiliki periode yang tetap disebut nonperiodik. Di Indonesia kasus filaria tahun 2010-2017 provinsi tertinggi urutan pertama Papua, kemudian Nusa Tenggara Timur, disusul Sulawesi dan Papua Barat. Whuchereria bancrofti a. Hospes dan Penyakit (Irianto, 2013) Cacing ini memiliki hospes defenitif manusia. Pada manusia cacing dewasa menimbulkan filariasis bancrofti,



sedangkan



larva cacing mikrofilaria dapat menimbulkan occult filariasis. b. Morfologi 



Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan kelenjar limfe.







Yang betina berukuran 80-100 x 0,24-0,3 mm. Yang jantan berukuran kira-kira 40 x 0,1 mm.



60



Gambar 2.15 Mikrofilaria Whuchereria bancrofti 



Ekornya melengkung ke arah ventral, dengan 2 spikula dan memiliki 3 papil.







Bentuknya halus seperti benang dan warnanya putih susu.







Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria. Mikrofilaria yang bersarung memiliki panjang 200 – 300 x 7 – 8 mikron.







Mikrofilaria memeliki sarung (sheathed) kurang mengambil zat warna Giemsa.







Lekukan badan halus, panjang kepala (cephalic space) sama dengan lebar kepala (1:1) kecil.



61







Inti badan tersusun teratur dan kasar, ujung ekor tidak mempunyai inti tambahan (caudal nuclei) dengan ujung runcing. c. Siklus Hidup



Gambar 2.16 Siklus Hidup Wuchereria bancrofti Sumber: (Prasetyo, 2003) Parasit ini memerlukan waktu sangat panjang, Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui



62



secara pasti, tetapi di duga kurang lebih 7 bulan. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di anatara otot-otot toraks. Mula-mula parasit memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Pada hari ke sepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut stadium III. Gerakan larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengaandung larva stadium III (infektif) menggit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami



63



dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva sradium IV, lalu stadium V atau cacing dewasa. d. Aspek Klinis Cacing dewasa maupun larva cacing dapat menimbulkan gangguan patologik.



Cacing dewasa dapat menimbulkan



stadium akut yaitu limfadenitis dan limfangitis retrograd disertai demam, akibat terjadinya iritasi mekanik dan sekresi toksik yang dikeluarkan cacing betina. Cacing yang mati selain menimbulkan limfangitis juga dapat menimbulkan obstruksi limfatik menahun 10 sampai 15 tahun kemudian, hal ini akibat terjadinya Fibrosis saluran limfa dan proliferasi retikulo endoteal saluran limfe. Obstruksi ini menyebabkan terjadinya varises saluran limfe, elefantiasis dan hidrokel. Apabila saluran limfe kandung kemih, varises saluran limfa atau ginjal pecah, melalui membrane mukosa traktus urinarius cairan limfe masuk ke dalam aliran urine penderita. Akibatnya



64



urine menjadi berwarna putih susu dan mengandung lemak, albumin, dan fibrinogen. Keadaan ini disebut kiluria,



yang



kadang-kadang juga mengandung mikrofilaria. Elefantiasis yang kronis dapat mengenai kedua lengan, tungkai, payudara, buah zakar atau vulva, yang hanya dapat diperbaiki melalui tindakan operasi. e. Diagnosis Diagnosis untuk pemeriksaan mikrofilaria yaitu mendeteksi parasit untuk menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau kiluria pada pemeriksaan sedian darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (pukul 22.00-4.00 pagi) mengingat periodisitas mikrofilaria umumnya nokturna. Pemeriksaan histopatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Pemeriksaan teknik biologi molekuler untuk mendeteksi DNA



65



parasit melalui Polymerase Chain Reaction (PCR). Secara serologis dapat dilakukan uji intradermal antigen Dirofilaria, reaksi komplemen, hemaglutinasi dan flokulasi. f. Epidemiologi Parasit tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa. Di Indonesia penyebaran parasit ini masih tinggi. Parasit ini tersebar di perkotaan (urban type) atau di pedesaan (rural type), Filariasis di perkotaan disebarkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus, yang tempat perindukannya pada air got (polluted water). Di pedesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau Aedes. g. Pengobatan Obat yang sampai saat ini dianggap baik adalah dietilkarbamazin (Hetrazan) dan Ivermektin. Hasil pengobatan yang terbaik adalah bila pengobatan dilakukan pada penderita yang masih stadium awal, bilamana sudah mencapai stadium



66



kronis maka pengobatan tersebut harus disertai dengan tindakan pembedahan. h. Pencegahan Prinsip pencegahan filariasis adalah pengobatan massal pada Penduduk daerah endemik filariasis, pengobatan pencegahan terhadap pendatang yang berasal dari daerah non endemik filariasis,



dan memberantas nyamuk yang menjadi vektor



penularannya, sesuai dengan daerah targetnya. Brugia malayi dan Brugia timori a. Hospes dan penyakit Hospes cacing Brugia malayi dan Brugia timori adalah manusia (walaupun bisa kucing , kera , dan lain – lain). Vektor Brugia malayi berupa Anopheles barbirostris dan Mansonia sp. Sedangkan



Brugia



timori



vektornya



barbirostris.



67



adalah



Anopheles



b. Morfologi 



Cacing dewasa Brugia malayi dalam tubuh manusia terdapat dalam saluran dan kelenjar limfe







Cacing ini berbentuk seperti benang, bersarung dengan Giemsa berwarna jelas, lekukan badan tidak teratur dan terpilin.







Ukuran cacing betina dewasa 55 x 0,16 mm dan jantan dewasa 22 x 0,09 mm (B. malayi). Sedangkan cacing betina berukuran (21-39 mm x 0,1 mm dan jantan dewasa 13-23 mm x 0,08 mm (B. timori).







Ekor melingkar dengan papil 3-4 papil. Di belakang anus ada 1 papil, ujung ekor 4-6 papil kecil dan 2 spikula dengan panjang tidak sama.



68



Gambar 2.17 Mikrofilaria Brugia malayi dan Brugia timori Sumber: (Prasetyo, 2003) c. Siklus Hidup Vektor dari B. malayi dan B.timori adalah spesies nyamuk dari genus Mansonia dan Anopheles. Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva stadium tiga (L3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka bekas gigitan. Larva berkembang menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada kelenjar limfatik. Cacing dewasa menghasilkan mikrofilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi darah perifer. Nyamuk mengingesti mikrofilaria selama mengisap darah (mikrofilaria tertelan).



69



Setelah masuk dalam tubuh



nyamuk, selubung (sheath) dari mikrofilaria terlepas dan melalui dinding proventrikulus dan ke usus bagian tengah (midgut) kemudian mencapai otot toraks nyamuk. Mikrofilaria berkembang menjadi larva stadium 1 (L-1). dan selanjutnya menjadi larva stadium 2 (L3). Larva stadium tiga migrasi kepala, menuju ke probosis nyamuk dan dapat menginfeksi penderita yang lain ketika mengisap darah. d. Aspek klinis Berbeda dengan filariasis bancrofti, stadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan saluran limfe yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis pada Brugia malayi yang terjadi pada satu kelenjar inguinal dapat menjalar ke bawah (limfangitis retrograd). Selain itu limfadenitis dapat menjadi ulkus yang jika sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang khas.



70



Elefantiasis pada Brugiasis malayi hanya mengenai tungkai bawah yang terletak di bawah lutut. Hanya kadang-kadang terjadi di lengan bawah di bawah siku. Pada penyakit ini juga tidak pernah terjadi limfangitis dan elefantiasis pada alat kelamin dan payudara. e. Diagnosis Untuk menetapkan diagnosa menemukan mikrofilaria. Diagnosis sama dengan W. bancrofti. f. Epidemiologi Penyebaran B. malayi dan B. timori hanya terdapat di pedesaan. Karena vektornya tidak dapat berkembang biak di perkotaan. Brugia malayi tersebar di Asia, mulai dari India, Asia Tenggara, sampai ke Jepang. Brugia timori hanya dijumpai di Indonesia bagian timur, yaitu di Nusa Tenggara Timur.



71



g. Pengobatan dan Pencegahan Dietilkarbamazin



(DEC).



Tindakan



pencegahan



yaitu



pengobatan penderita, pengobatan massal penduduk di daerah endemik pengobatan pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis malayi. D. TREMATODA Kelas Trematoda atau cacing daun adalah cacing yang termasuk filum Platyhelminthes dan hidup sebagai parasit. Pada umumnya cacing ini bersifat hermafrodit kecuali Schistosoma sp. Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas Digenea, yang hidup sebagai endoparasit. Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitf cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, babi, tikus, burung, musang, harimau, dan manusia. TREMATODA HATI Fasciola hepatica



72



a.



Hospes dan Penyakit



Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi. Kadang-kadang parasite ini dapat ditemukan pada manusia. Hospes perantara I adalah keong / siput air tawar dari genus Lymnea dan hospes perantara II adalah tumbuhan air. Penyakit yang ditimbulkan disebut fasioliasis. b. Morfologi Cacing dewasa berbentuk pipih seperti daun, pipih dorsoventral. Berukuran panjang 20 – 30 mm x lebar 8 – 13 mm (3:1) dengan ujung anterior yang berbentuk kerucut (Cephalic cone) yang terlihat jelas, sehingga cacing tersebut seolah-olah mempunyai bahu. Faring bercabang menjadi 2 caecum yang masih bercabang lagi. Testisnya dendritik, terletak diantara dua caecum yang bercabang. Telur berbentuk oval, ukuran 130 -150 μm x 60 – 90 μm, dengan operculum di salah satu ujungnya. Oral dan vetral sucker



73



berukuran sama. Kelenjar vitelaria pada sepanjang sisi lateral tubuh sampai ujung posterior. Telur berukuran besar, panjang 130-150 mikron dan lebarnya 60-90 mikron. Berbentuk ovoid (bulat lonjong), mempunyai operkulum kecil. Berwarna coklat kekuningan dan dikeluarkan tidak bersegmen.



Gambar 2.18 Cacing dewasa dan telur Fasciola hepatica Sumber: https://www.cdc.gov/parasites/fasciola/ c. Siklus Hidup Manusia dan herbivore merupakan hospes definitif cacing ini, sedangkan siput air tawar genus Lymnea bertindak sebagai hospes perantara. Untuk melengkapi daur hidupnya diperlukan hospes perantara yang keduam yaitu tanaman air atau rumput,



74



tempat



berkembangannya



stadium



infektif,



yaitu



kista



metaserkaria (metacercarial cyst).



Gambar 2.19 Siklus Hidup Fasciola hepatica Sumber: (Muslim, 2009) Telur cacing yang keluar beserta tinja penderita dan masuk kedalam air, dalam wakti 9-15 hari terjadi pertumbuhan mirasidium. Setelah menetas mirasidium yang dapat berenang mencari siput yang menjadi hospes perantara pertama. Didalam tubuh siput mirasidium tumbuh menjadi sporokista, redia, dan 75



selanjutnya berkembang menjadi serkaria (cercaria). Serkaria akan keluar dari tubuh siput dan berenang untuk mencari tumbuhan air atau rumput dan berubah menjadi kista metaserkaria yang infektif. Jika manusia termakan stadium infektif (kista metaserkaria) yang terdapat pada tumbuhan air, didalam duodenum metaserkaria akan lepas dari jaringan tanaman aie, melakukan migrasi melalui dinding usus dan mencapai hati melalui aliran darah, dan sebagian besar mencapai saluran dan kandung empedu, kemudian tumbuh menjadi cacing dewasa. d. Aspek Klinis Migrasi



cacing



dewasa



muda



ke



saluran



empedu



menimbulkan kerusakan parenkim hati. Selama migrasi (fase akut) dapat tidak bergejala atau menimbulkan gejala seperti demam, nyeri pada bagian kanan atas abdomen, hepatomegali, malaise, urtikaria, eosinophilia. Saluran empedu mengalami



76



peradangan, penebalan san sumbatan, sehingga menimbulkan sirosis periportal. Sekresi prolin oleh cacing dewasa diduga menjadi penyebab penebalan dinding saluran empedu. Migrasi cacing dewasa muda dapat terjadi di luar hati dewasa muda dapat terjadi di luar hati (ektopik) seperti pada mata, kulit, paru, otak. Gejala yang timbul bergantung pada organ tempat migrasi larva. e. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam tinja atau dalam empedu penderita. Uji serologi (ELISA), Ultrasonografi



digunakan



untuk



menegakkan



diagnosis



fasioliasis bilier. Penemuan cacing dewasa pada operasi, autopsi atau setelah pengobatan sebagai diagnosis konfirmasi. TREMATODA USUS Fasciolopsis buski a.



Hospes dan Penyakit (Zaman, 1997)



77



Cacing trematoda usus ini merupakan trematoda yang terbesar ukurannya yang menginfeksi manusia. Karena itu disebut cacing trematoda usus raksasa (giant intestinal fluke). Penyakit ini disebut fasiolopsiasis. Hospes perantara pertama F. buski adalah siput genus Segmentina, Hipeutis dan Gyraulus. Kista metaserkaria pada tanaman air tawar yakni pada umbi water chestnut, water lily dan tanaman air lainnya. b. Morfologi Telur berbentuk agak lonjong, berdinding tipis transparan, dengan sebuah operculum yang nyaris terlihat pada dinding tipis transparan, dengan sebuah operculum yang nyaris terlihat pada sebuah kutubnya, berukuran panjang 130-140 mikron dan lebar 80-85 mikron. Setiap ekor cacing dapat mengeluarkan 15.00048.000 butir telur sehari. Telur-telur tersebut dalam air bersuhu 27°-32°C, menetas setelah 3 sampai 7 minggu.



78



Cacing dewasa berbentuk bulat panjang seperti daun, mempunyai ukuran panjang antara 20-70 mm dan lebar badan antara 8-20 mm. Biasanya kutikulum ditutupi duri-duri kecil yang letaknya melintang. Duri-duri tersebut sering rusak karena cairan usus. Batil isap kepala berukuran kira-kira seperempat ukuran batil isap perut. Saluran pencernaan terdiri dari prefaring yang pendek, faring yang menggelembung, esophagus yang pendek, serta sepasang sekum yang tidak bercabang dengan dua indentasi yang khas. Dua buah testis yang bercabang-cabang letaknya agak tandem dibagian posterior cacing. Vitelaria letaknya lebih lateral dari sekum, meliputi badan cacing setinggi batil isap perut sampai ke ujung badan. Ovarium bentuknya agak bulat. Uterus berpangkal pada ootip, berkelok-kelok kearah anterior badan cacing, untuk bermuara pada atrium genital, pada sisi anterior batil isap perut.



79



Gambar 2.20 Cacing Dewasa dan Telur Fasciolopsis buski Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/fasciolopsiasis/ c. Siklus Hidup Telur imatur yang dihasilkan oleh cacing dewasa, keluar bersama tinja, telur akan mengalami embrionasi dan menetas didalam air (3-7 minggu pada suhu hangat), dan melepaskan mirasidium. Selanjutnya akan menginvasi hospes perantara yang cocok. Pada tubuh siput parasit berkembang menjadi beberapa stadium (sporokista, redia, dan serkaria). Serkaria keluar dari tubuh siput dan berenang bebas dalam air dan selanjutnya menjadi kista metaserkaria pada tanaman air. Mamalia terinfeksi karena memakan tanaman air mentah yang mengandung kista metaserkaria. Kemudian akan mengalami



80



eksistasi di dalam duodenum dan melekat pada dinding usus. Berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu kurang lebih 3 bulan, melekat pada dinding usus hospes mamalia (manusia dan babi) sebagai hospes definitif. Jangka hidup cacing dewasa kurang lebih satu tahun. d. Aspek Klinis Gejala klinis yang dini pada akhir masa inkubasi, adalah diare dan nyeri ulu hati (epigastrium). Diare yang mulanya diselingi konstipasi, kemudian menjadi persisten. Warna tinja menjadi hijau kuning, berbau busuk dan berisi makanan yang tidak dicerna. Pada beberapa pasien, nafsu makan cukup baik atau berlebihan, walaupun ada yang mengalami mual, muntah, atau tidak mempunyai selera, semua ini tergantung berat ringannya penyakit.



81



e. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan telur cacing di dalam tinja penderita, atau jika dijumpai adanya cacing dewasa pada muntahan atau tinja penderita. TREMATODA PARU Paragonimus westermani a.



Hospes dan Penyakit



Manusia dan binatang yang memakan ketam / udang batu, seperti kucing, musang, anjing, harimau, serigala, dan lain-lain. Paragonimus westermani dikenal juga dengan nama Oriental Lung Fluke. b. Morfologi Telur berbentuk lonjong atau ovoidal berwarna coklat keemasan, berukuran 80-118 mikron x 40-60 mikron dengan operculum agak tertekan ke dalam atau relatif datar. Dinding telur menebal. Telur pada waktu dikeluarkan dari tubuh cacing



82



dalam keadaan belum matang. Telur keluar bersama tinja atau sputum dan berisi sel telur. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 16 hari, lalu menetas. Tubuh cacing dewasa tertutup duri, berbentuk seperti biji kopi, coklat kemerahan warna-warni, pada sediaan awetan berwarna abu-abu atau coklat keabu-abuan, ukuran 7,5 – 12 mm x 4 – 6 mm. Sebanyak 2-3 cacing dewasa bisa ditemukan di dalam satu kista atau kapsul fibrotic di jaringan paru. Tegumen (kutikula) tertutup dengan sisik seperti duri. Oral sucker (batil isap) dan ventral sucker mempunyai diameter hampir sama. Testis berlobus terletak di bagian tengah tubuh, ovari besar, berlobus terletak di belakang asetabulum.



Gambar 2 21 Telur Paragonimus westermani



83



c.



Siklus Hidup



Manusia merupakan hospes definitif. Hospes perantara I adalah siput air tawar Brotia asperata. Di dalam tubuh siput mirasidium tumbuh menjadi 1 stadium sporosis dan 2 stadium redia. Hospes perantara II adalah arthropoda dari golongan decapoda seperti Sundathelpusa philippina atau Parathelpusa grapsoides, yang membawa metaserkaria yang infektif untuk hospes definitif. Infeksi bisa terjadi bila manusia makan kepiting/udang mentah atau tidak dimasak dengan baik dan mengandung metaserkaria. Telur yang belum berisi embrio dieksresikan dalam dahak, atau mungkin tertelan sehingga juga ditemukan di feses . Dalam alam bebeas, telur menjadi matang dan berisi embrio, kemudian menetas di air, mirasidia mencari hospes perantara pertama yaitu siput, dan menembus jaringan lunak tubuhnya. Di dalam tubuh siput miracidia tumbuh melalui beberapa tahap



84



perkembangan, yaitu sporosis, rediae, dan akhirnya menjadi serkaria, yang keluar dari tubuh siput. Serkaria mencari hospes perantara II, yaitu krustasea seperti kepiting atau udang karang. Disitu serkaria mengalami ensistasi dan menjadi metaserkaria yang



merupakan



bentuk



infektif.



Manusia



terinfeksi



P. westermani karena makan acar kepiting atau udang karang yang tidak mengandung metaserkaria.



Metaserkaria yang



tertelan keluar dari kista yang pecah di usus/duodenum, menembus usus dinding usus, masuk ke dalam rongga peritoneum, kemudian menembus diafragma ke paru. Di jaringan paru mereka dienkapsulasi dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing juga dapat mencapai organ-organ dan jaringan lain, seperti otak dan otot bergaris. Waktu dari infeksi ke oviposisi adalah 65 - 90 hari. Infeksi pada manusia dapat bertahan selama 20 tahun. Hewan seperti babi, anjing, dan berbagai spesies kucing juga dapat menjadi hospes.



85



d. Aspek Klinis Patologi umum terjadi karena adanya cacing dewasa di jaringan paru, baik yang sudah encapsulated. Manifestasi klinis utama berupa batuk, kadang-kadang disertai hemoptysis. Kadang-kadang gejalanya mirip pulmonary tuberculosis sehingga terjadi misdiagnosis dengan tuberkulosis paru. e. Diagnosis Diagnosis definitif adalah dengan ditemukan telur pada sputum atau feses pasien. Kadang-kadang telur juga ditemukan dalam tinja. Imunodiagnosis menggunakan complemen fixation atau ELISA. TREMATODA DARAH Trematoda darah pada manusia Schistosoma (Blood fluke) yaitu ditemukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, dan Scistosoma haematobium. Pada



86



manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis. Schistosoma japonicum a. Hospes Hospes defenitif adalah manusia dan beberapa mamalia lainnya, hospes perantara adalah siput spesies Oncomelania hupensis. b. Morfologi Telur berbentuk oval berukuran 67 mikron x 50 mikron Mempunyai spina telur berupa tonjolan lateral (lateral knob). Cacing dewasa ditemukan dalam vena porta dan vena mesenterika superior. Ukuran cacing jantang 12-20 mm, betina 26 mm. Tuberkel kulit halur, memiliki testis 6-8 buah dengan ovarium dipertengahan tubuh. sistem ekskresi berupa sel api (Flame cell) beserta dengan saluran-salurannya.



87



Gambar 2.22 Telur dan Cacing Schistosoma c. Siklus hidup



Gambar 2.23 Siklus Hidup Schistosoma Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/ Telur Schistosoma keluar dari tubuh hospes definitif bersama tinja atau urine. Telur harus masuk ke dalam air agar



88



dapat menetas menjadi larva mirasidium. Larva ini berenang mencari hospes perantara yaitu siput. Di dalam tubuh siput mirasidium berkembang menjadi sporokista, dan akhirnya tumbuh menjadi serkaria yang infektif. Infeksi pada hospes melalui penetrasi kulit, serkaria melepaskan bagian ekor yang bercabang, dan dengan bantuan enzim proteolitik lalu masuk dalam sirkulasi yang selanjutnya menjadi skistosomula. Parasit masuk kapiler dan sistem limfatik, migrasi melalui beberapa jaringan (paru-paru, janting kiri, hati) dan menuju sirkulasi vena menjadi dewasa dan berpasangan. Cacing dewasa habitanya pada vena mesenterika pada berbagai tempat, yang spesifik pada tiap-tiap spesies. Pada S. japonicum lebih sering ditemukan pada vena mesenterika superior yang menuju ke usus halus. Telur diletakkan pada vena porta dan sistem perivesikal. Telur migrasi secara progresif ke arah lumen usus, selanjutnya keluar bersama tinja atau urine.



89



d. Aspek Klinis Perubahan patologi pada penderita dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa, serkaria maupun telur cacing. Pada masa inkubasi biologik, yaitu antara waktu masuknya serkaria menembus kulit sampai saat terjadinya cacing dewasa, terjadi kelainan kulit dan gatal-gatal (dermatitis), secara mekanik dan sekresi enzim bersifat litik. Serkaria masih menetap selama 4-5 hari sebelum masuk sistem hemolimfatik. Kulit menjadi eritema, pruritus dan edema lokal. Reaksi infiltrasi pada paru yaitu perkembangan serkaria selanjutnya menjadi skistosomula yang migrasi melalui sirkulasi ke jantung, paru-paru sering sekali tidak menimbulkan perubahan patologi. Pada infeksi berat, skistosomula dapat menyebabkan pneumonitis deengan infiltrasi eosinofil. Hepatitis akibat reaksi terhadap larva, hiperemia pada dinding usus halus selama maturasi cacing. Trauma dan



90



perdarahan mukosa usus akibat perletakan telur (oviposisi). Eosinofilia akibat absorpsi metabolisme cacing karena adanya reaksi terhadap bahan toksik. e. Diagnosis Pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing secara langsung (direct smear), cara Kato (Kato thick smear) atau konsentrasi formol eter. Biopsi jaringan usus (rectal snips) untuk S. japonicum dan S. mansoni. Pemeriksaan serologis. f. Epidemiologi Penyebaran S. japonicum di Timur jauh (Cina), Filipina dan Indonesia di Sulawesi Tengah tepatnya di Danau Lindu dan Lembah Napu. Manusia terinfeksi karena kontak dengan air mengandung serkaria dan telur Schistosoma. Adanya siput perantara tempat perkembangan telur menghasilkan serkaria.



91



g. Pengobatan dan Pencegahan Prasikuantel dosis tunggal. Melakukan promosi kesehatan dengan menggalakkan pengunaan jamban, memakai sepatu pada saat berada di sawah, pemberantasan siput. Schistosoma mansoni a. Hospes Cacing ini biasa disebut juga S. americanus karena banyak ditemukan di Afrika dan Amerika Selatan. Hospes defenitif adalah manusia. Cacing dewasa ditemukan pada vena mesenterika di daerah usus besar, segmen distal ileum dan kadang-kadang juga didapatkan dalam vena intrahepatik. Hospes perantara adalah siput Biomphlaria. b. Morfologi Telur berbentuk oval berukuran 114-175 mikron x 45-60 mikron, mempunyai spina telur lateral dan berwarna coklat kekuningan.



92



Cacing dewasa jantan berukuran 6,4-12 mm, betina 7,2-17 mm. Mempunyai tuberkel kulit kasar, alat reproduksi testis terdapat 8-9 buah. Ovarium terletak dipertengahan tubuh bagian anterior. Sistem ekskresi berupa sel api (Flame cell) beserta dengan saluran-salurannya.



Gambar 2.24 Cacing dewasa dan telur S. mansoni Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/ c. Siklus Hidup Siklus hidup S. mansoni sama dengan S. janonicum, hanya S. mansoni pada vena mesenterika inferior yang ke usus besar selanjutnya keluar bersama tinja atau urin. Periode inkubasi antara 7-8 minggu. Infasi melalui kulit dan migrasi melalui



93



pembuluh darah ke dalam sistem vena porta intrahepatik sama seperti S. haematobium. d. Aspek Klinik Lesi yang ditimbulkan oleh S.mansoni pada organ sama seperti S. japonicum, hanya derajatnya lebih ringan karena produksi telur yang lebih sedikit. Organ yang paling sering terkena adalah kolon dan rektum. Masa inkubasi gejala yang timbul berupa papula kemerahan dan gatal, demam, urtikaria dan hepatomegali. Periode perletakkan telur kelainan banyak ditemukan pada dinding usus, hati dan limpa meskipun telur dapat terbawa ke organ lain. Gejala yang timbul berupa diare dengan darah dan lendir disertai nyeri abdomen. Masa proliferasi jaringan terjadi fibrosis dan penebalan dinding usus, fibrosis hati, pembesaran limpa, asites dan varises esofagus.



94



e. Diagnosis Diagnosis sama dengan S. japonicum dengan pemeriksaan klinis, tinda, biopsi jaringan usus dan pemeriksaan serologis. Schistosoma haematobium a. Hospes Cacing ini disebut juga vesical blood fluke karena habitat pada pembuluh darah vena di vesika urinaria dan plekus venosus di daerah pelvis. Penyebaran di Afrika dan Timur Tengah. b. Morfologi Telur parasit ini berukuran 112-179 mikron x 40-70 mikron mempunyai spina terminalis. Cacing dewasa jantan berukuran 10-15 x 0,8-1 mm, betina 20 mm. Kutikula diliputi bintil-bintil



95



halus dengan jumlah testis 4-5 buah, ovarium berada Dipertengahan tubuh bagian posterior



Gambar 2.25 Telur dan cacing dewasa S. haematobium Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/ c. Siklus Hidup Siklus hidup Schistosoma haematobium sama dengan S. japonicum dan S. mansoni, yang mempunyai hospes defenitf adalah manusia. Namun Schistosoma haematobium mempunyai hospes perantara adalah siput Bulinus (Physopsis), Planorbarius dan Ferrissia. Oviposisi (peletakan telur) biasanya terjadi pada vena-vena kecil di daerah vesical pleura venosus di daerah pelvis, rekturm dan lebih jarang di arteri paru dan sistem portal. Akibat tekanan



96



dalam venule dan tusukan spina terminalis keluar menembus dinding vena masuk ke dalam lumen vesica urinaria kemudian telur akan keluar bersama urine. d. Aspek Klinis Reaksi bersifat lokal dan sistemik terhadap metabolit yang dihasilkan oleh cacing. Periode inkubasi mulai dari kontak pertama dengan serkaria sampai perletakkan telur oleh cacing betina. Gejala berupa iritasi kulit, anoreksia, nyeri kepala, malaise, deman dan urtikaria. Gambaran sitologi darah adalah leukositosis dan eosinofilia. Periode peletakan telur gejala yang timbul berupa hematuria pada akhir kencing dan disuria, nteri di supra punlik dan lokik vesival. Periode proliferasi jaringan terjadi pembentukan pseudoabses dan pseudotuberkel yang diikuti dengan hiperplasia dan fibrosis dinding kandung kencing dan infeksi sekunder dengan gejala menyerupai cystitis chronis.



97



e. Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan patologi urine penderita, pemeriksaan sitologi, pemeriksaan serologid dan pemeriksaan radiologi. E. CESTODA Kelas cestoda merupakan cacing pita. Cacing dewasanya menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing dewasa



memanjang



menyerupai



pita,



biasanya



pipih



dorsoventral, tidal mempunyai alat pencernaan dan terbagi dalam segmen-segmen disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina. Badan cacing memiliki skoleks yaitu kepala merupkan alat untuk melekat, dilengkapi dengan batil isap (sucker) dengan lekuk isap. Leher tempat pertumbuhan badan dan strobila berupa badan terdiri dari segmen-segmen proglotid. Tiap proglotid dewasa mempunyai susunan alat



98



kelamin jantan dan betina yang lengkap, keadaan ini disebut hermafrodit. Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. CESTODA EKSTRAINTESTINAL



Taenia saginata a. Hospes dan Penyakit (Soedarto, 2011) Hospes defenitif cacing pita ini adalah manusia. Hospes perantara adalah sapi, kerbau, dan jerapah. Penyakit taeniasis saginata. b. Morfologi Panjang tubuhnya 4-10 m (tergantung jumlah proglotid dan tingkat relaksasi dari tubuh). Jumlah proglotid 1000-2000 segmen. Pada kondisi menguntungkan strobila dapat mencapai panjang 25 m atau lebih. Cacing ini mempunyai skoleks tetapi



99



tidak dilengkapi rostelum dan pengait. Skoleks dibenamkan pada mukosa yeyenum dan strobili berada bebas di dalam rongga usus. Skoleks pada potongan melintang berbentuk persegi empat, terdapat 4 buah batil isap (sucker) tanpa pengait. Batil isap berbentuk seperti mangkuk terletak pada 4 sudut kepala. Leher mempunyai ukuran lebar setengah dari kepala, diikuti dengan proglotid imatur, proglotid matang dan proglotid gravid.



Gambar 2.26 Proglotid gravid Taenia saginata Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis Proglotid matang, ukuran lebih lebar dibandingkan dengan panjangnya (lebar maksimum 12 mm). Proglotid gravid panjangnya 20-30 mm dan lebar 5-7 mm, uterus mempunyai cabang lateral sebanyak 15-20 pada satu sisi.



100



c. Siklus Hidup Pada infeksi T.saginata dan T. solium rata-rata 6 segmen gravid dikeluarkan tiap hari melalui anus yang masing-masing mengandung 80.000-100.000 telur. Telur akan menyebar ke lingkungan luar



karena terbawa air, angin atau invertebrata.



Jika telur termakan oleh sapi (hospes perantara) dan mencapai duodenum akan menetas, onkosfer dibebaskan, heksakan embrio mengalami penetrasi pada dinding usus. Larva yang dibebaskan akan menembus dinding usus dan mencapai vena mesenterika atau sistem limfatik selanjutnya terbawa melalui sirkulasi menuju ke jaringan otot bergaris dan otot jantung. Dalam waktu 60-75 hari mengalami metamorphosis menjadi cysticersus bovis. Pada sistiserkus ini calon skoleks tidak mempunyai kait, berbentuk bulat lonjong, berwarna putih



101



seperti susu dan berukuran panjang 7,5 sampai 10 mm dan lebarnya 4 sampai 6 mm.



Gambar 2.27 Siklus Hidup Taenia sp. Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis/ d. Aspek Klinis Kasus ringan biasanya asimptomatik. Pada beberapa pasien mungkin terjadi rasa tidak enak di perut, muntah atau diare. Apendisitis dan sumbatan usus.



102



e. Diagnosis Identifikasi telur dan proglotid yang aktif bergerak pada tinja. Proglotid diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. f. Epidemiologi Parasit ini sering ditemukan di negara yang penduduknya banyak makan daging sapi atau kerbau. Manusia terinfeksi karena mengkonsumsi daging mentah atau setengah matang yang mengandung larva sistiserkus. Sapi terinfeksi karena memakan telur pada waktu merumput yang terkontaminasi tinja manusia. Telur dapat tetap infektif beberapa bulan sampai tahun di padang ternak dan tidak tahan terhadap kekeringan atau pemanasan 56oC. g. Pengobatan dan Pencegahan Pengobatan terdapat obat lama yaitu kuinakrin, amodiakuin, niklosamid. Obat baru adalah prazikuantel dan albendazol.



103



Pencegahan dilakukan diantaranya mendinginkan daging sampai -10oC, iradiasi dan memasak daging sampai magang. Taenia solium a. Hospes dan penyakit Manusia merupakan hospes definitif Taenia solium, sedangkan hospes perantara adalah babi. Penyakitnya teniasis solium yang disebabkan stadium larva adalah sistiserkosis. b. Morfologi Cacing dewasa T. solium habitatnya pada dinding intestine dan panjangnya dapat mencapai 2-7 m. Tubuh terdiri dari kepala (skoleks), leher dan strobili yang terdiri dari segmen-segmen proglotid. Skoleks berbentuk bulat persegi empat dengan diameter kurang lebih 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap (sucker) berdiameter 0,5 mm dan mempunyai rostelum yang dilengkapi pengait (hooklet) yang tersusun dalam dua deret berjumlah 2232. Leher pendek dan kecil dengan lebar setengah kali lebar 104



kepala. Strobila terdiri dari proglotid imatur yang mempunyai ukuran lebih lebar daripada panjangnya proglotid matang berbentuk hamper persegi empat dan proglotid gravid lebih panjang dibandingkan dengan ukuran lebar. Jumlah total proglotid kurang dari 800-1000 ruas proglotid. Proglotid matang terdapat organ reproduksi terdiri dari testis berupa folikel yang jumlahnya 150-200, tersebar diseluruh bagian dorsal tubuh. Lubang genital terletak pada sisi yang tidak beraturan dari proglotid ke proglotid lainnya. Ovari terletak pada bagian posterior terdiri dar 2 lobus yang simetris dan uterus terletak ditengah yang bentuknya seperti gada. Proglotid gravid berukuran panjang 13 mm dan lebarnya 8 mm, terdiri dari percabangan uterus sebanyaj 7-13 (pada satu sisi). Ujung terminal akan terlepas ari strobili dan keluar bersama tinja. Telur keluar dari uterus pada saat sebelum dan sesudah proglotid terlepas.



105



Gambar 2.28 Proglotid gravid dan telur Taenia solium Sumber: (https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis) Telur Taenia solium berbentuk bulat (sphericall), ukuran 3040 x 20-30 mikron, warna kekuning-kuningan atau coklat, berdinding tebal dengan garis radial (embryophore). Telur berisi embrio matang disebut inkosfer (hexacanth embrio) dan didalamnya terdapat tiga pasang kail. Telur T. solium sukar dibedakan dengan telur T. saginata. Tubuh cacing dewasa T.saginata dapat mencapai 1000-2000 proglotid, sedangkan pada T.solium rata-rata 1000 proglotid. Telur pada segmen gravid terlepas dari proglotid dan keluar bersama tinja. T.saginata dapat menghasilkan telur sebanyak 100.000 dan T.solium 50.000 butir telur per proglotid.



106



c. Aspek Klinis Gejala paling umum adalah nodul subkutaneus yang bisa diraba dan serangan epileptiform. Dalam 3-6 tahun kista mulai mati dan dikalsifikasi. Kista yang mengalami pengapuran ini bisa dilihat dengan rontgen. d. Diagnosis Diagnosis T. solium dilakukan dengan menemukan telur dan proglotid. Diagnosis sistiserkosis dapat dilakukan dengan cara: Ekstirpasi



benjolan



yang



kemudian



diperiksa



secara



histopatologi, Radiologis dengan CT scan atau Magnetic Resonance Imaging (MRI), Deteksi antibodi dengan teknik ELISA, uji hemaglutinasi, Counter Immuno Elektrophoresis (CIE), Deteksi coproantigen pada tinja, Deteksi DNA dengan teknik PCR. F. VEKTOR PENYAKIT KECACINGAN DAN FILARIASIS PENGERTIAN VEKTOR Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada 107



manusia. Vektor yang berperan sebagai penular penyakit dikenal sebagai arthropoda borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector borne diseases merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai kematian. (Staf Pengajar, 2016) JENIS VEKTOR Jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit antara lain: 1. Vektor potensial adalah vektor yang secara aktif berperan dalam penyebaran penyakit. a.



Vektor mekanis yaitu arthropoda mengambil bagian dalam daur hidup arthropoda. Organisme penyebab penyakit dapat berkembang biak dengan stadium lanjut, dengan cara: hanya berkembang biak misalnya Yersinia pestis dalam pinjal, hanya tumbuh misalnya Wucheria bancrofti dalam nyamuk, berkembang biak dan tumbuh misalnya Plasmodium dalam nyamuk. 108



b. Vektor mekanik adalah organisme penyebab penyakit tidak berkembang biak dalam arthropoda atau hanya sebagai



pembawa



misalnya penularan



agen



penyakit,



Ascaris lumbricoides oleh lalat



rumah. Arthropoda tidak mengambil bagian dalam daur hidup mikroorganisme tersebut 2. Vektor pasif, artinya secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa dalam tubuh vektor ada agen patogen dan dapat menularkan agen tersebut kepada hospes lain, tetapi vektor ini tidak aktif mencari mangsanya. Dengan adanya perubahan lingkungan, kemungkinan vektor tersebut dapat berubah menjadi aktif. SERANGGA YANG BERPERAN SEBAGAI VEKTOR 1. Morfologi Serangga Kelas Insekta dikenal sebagai serangga mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:



109



a) Tubuhnya



terdiri



atas



tiga



bagian



yaitu



kepala



(cephala), dada (thorax) dan perut (abdomen) b) Pada terdapat sepasang antena (antena) c)



Serangga dewasa mempunyai 3 pasang kaki



d)



Mempunyai dua pasang sayap walaupun kadang-kadang sayapnya ada yang mengecil



e) Bagian-bagian mulut, mandibula, maxilla, hipofaring dan labium. 2. Siklus Hidup Serangga Selama pertumbuhannya serangga mengalami perubahan bentuk yang disebut metamorphosis. Metamorphosis sempurna mempunyai stadium telur-larva–pupa–dewasa. Antara tingkat muda dan dewasa terdapat perbedaan morfologi yang jelas, disertai perbedaan biologi (tempat hidup dan makanan). Pada metamorphosis tidak sempurna dijumpai telur-(larva)-nimfa-



110



dewasa. Morfologi serta biologi bentuk muda dan dewasa hampir sama. 3. Peranan Serangga Peran serangga dalam kehidupan antara lain: a) Menular penyakit, mereka dapat bertindak sebagai vektor maupun hospes perantara.



Sebagai contoh nyamuk



Anopheles menularkan penyakit malaria. b) Menyebabkan penyakit, beberapa serangga tidak hanya sebagai



penular,



tetapi



sebagai



penyebab



penyakit



(agent). Contoh larva lalat menyebabkan myasis. c) Mengeluarkan racun (toxin), sehingga dapat menyebab alergi.



Tawon mengeluarkan racun ketika menyengat



manusia. d) Menyebabkan entomofobia,



yaitu rasa ketakutan yang



sangat, terutama dikalangan wanita terhadap serangga.



111



4. Penggolongan kelas insekta Jenis serangga yang menularkan parasit cacing dan protozoa yaitu: Lalat rumah (Musca domestica) Musca (lalat) dari family Muscidae. Musca domestica dapat berperan sebagai vektor mekanik dari Ascaris, Trichuris, Taenia dan Ankylostoma, Entamoeba histolytica, Toksoplasma dan penyakit cacing usus. Lalat ini mudah berkembangbiak, tempat perindukannya ditimbunan sampah, tinja manusia dan binatang. Setiap 3-4 hari seekor lalat betina bertelur dalam 5-6 kelompok yang masing-masing berisi 75-150 butir telur. Jarak terbangnya dapat sampai 10 km, umur lalat dewasa 2-4 minggu. Karena mudah membiak, maka untuk mengurangi populasinya perlu dilakukan pemberantasan dengan cara membersihkan rumah dan pekarangan dari tumpukan sampah, memasang



112



kawat kasa untuk mencegah lalat masuk rumah, menutup makanan dengan tudung saji dan mengadakan samijaga.



Gambar 2.29 Musca domestica betina Nyamuk Serangga ordo Cullicidae (nyamuk) dari famili diptera. Nyamuk dapat mengganggu manusia dan binatang melalui gigitannya serta berperan sebagai vektor penyakit pada manusia dan perbatasan yang menyebabkannya terdiri atas berbagai macam parasit.



Di dalam tubuh nyamuk parasit



penyebab filariasis berubah bentuk tanpa berkembang biak, sedangkan Plasmodium berkembangbiak, berubah bentuk dan tumbuh menjadi infektif sebelum ditularkan dari penderita kepada orang yang sehat.



113



Famili Cullicidae dibagi menjadi 3 tribus, yaitu tribus anophelini (Anopheles), tribus culicini (Culex, Aedes, Mansonia). Morfologi 



Nyamuk berukuran kecil (4-13 mm) dan rapuh







Kepalanya mempunyai probosis halus dan panjang yang melebihi panjang kepala







Pada nyamuk betina probosis dipakai sebagai alat untuk mendengarkan darah, sedangkan pada nyamuk jantan untuk bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan, buahbuahan dan keringat. Probosis kiri kanan terdapat palpus yang terdiri atas 5 ruas dan pasang antena yang terdiri atas 15 ruas.







Memiliki sepasang antena, sepasang palpi yaitu pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose), dan sepasang mata majemuk.



114







Sebagian besar toraks yang tampak (mesonotum), meliputi bulu halus.



Bulu tersebut berwarna putih/kuning dan



membentuk gambaran yang khas untuk masing-masing spesies. 



Posterior dari mesonotum terdapat skutelum yang pada Anophelini bentuknya melengkung (rounded) dan pada Culicini membentuk tiga lengkungan (trilobus).







Dua pasang sayap walaupun satu pasang mengalami kemunduran (rudimenter) dan berubah fungsi sebagai penyeimbang (halter). Sayap nyamuk panjang dan langsing, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti vena. Pada pinggir sayap terdapat sederetan rambut disebut umbai (fringe). Abdomen berbentuk silinder terdiri atas 10 ruas.







Dua ruas terakhir berubah menjadi alat kelamin.



115







Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki (heksapoda) yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri atas 1 ruas femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas tarsus.



Pembagian Jenis Nyamuk Pembagian genus nyamuk yang menjadi vektor penyakit terutama filariasis antara lain: a) Anopheles Anggota Tribus Anopheline lebih dikenal sebagai vektor penyakit malaria sekalipun diantaranya berperan sebagai vektor filariasis. Di dunia ini lebih kurang 200 spesies Anopheles, empat spesies ini disamping sebagai vektor malaria juga bertindak sebagai vektor filaria, yaitu : An. ocinitus, An. subpictus, An. farauti, dan An. puntulatus, sedangkan An. brancofty hanya bertindak sebagai vektor filaria saja dan tidak malaria. Telur Anopheles mudah dibedakan dengan lainnya, karena sangat khas yaitu punya pelampung di kiri kanannya, sehingga



116



telur Anopheles selalu terapung. Pada stadium larvanya juga khas karena tidak ditemukan siphon. Pada spesies tertentu dilengkapi dengan kipas palmae, tergal plate dan spiracle. b) Aedes Morfologi ukuran tubuh nyamuk dewasa sedang serta dihiasi segmen-segmen, noda-noda atau garis-garis dengan scale (sisik) berwarna putih yang mencolok, sehingga nampak warna dasar hitam dengan belang-belang putih terdapat pada bagian-bagian badannya terutama tampak pada kaki seperti berpita putih. Pada tarsi terdapat dua atau lebih gelang putih yang lebar setidaknya pada satu pasang kakinya. Proboscis (belalainya) secara keseluruhan berwarna gelap berbentuk agak silinder dan lurus (kecuali Aedes vitatus dengan sisik berwarna kekuning-kuningan). Perindukan nyamuk yaitu telur Aedes diletakkan pada tepi dinding penampungan air atau genangan air (biasa disebut



117



container) satu persatu, di dalam rumah seperti tempayan, tong, drum, bak mandi, jamban bunga. Sedangkan yang diluar rumah tempat minum burung, ban mobil, kaleng bekas dan lainlainnya. Telur berukuran kecil, berwarna hitam berbentuk lonjong. Setelah menetas, jentik mengalami tiga kali pelupasan kulit, atau mempunyai 4 (empat) instar. Jentik instar keempat mempunyai ukuran lebih kurang 7x4 mm, mempunyai pelana terbuka dan satu pasang bulu siphon, selanjutnya jentik menjadi pupa (kepompong). Dari pupa akan muncul nyamuk dewasa. Nyamuk jantan dan betina akan berkopulasi (kawin). Maka nyamuk betina mencari / menghisap darah manusia. Jenis Aedes ada dua spesies, yaitu Aedes aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua nyamuk ini serupa, tetapi ada perbedaan bagian tubuhnya. Penyebaran kedua spiesies nyamuk ini di kota bahkan ke desa. Keberadaan nyamuk adalah sepanjang tahun



118



walaupun perkembangannya dipengaruhi oleh musim. Kedua jentik dari nyamuk ini dapat dibedakan karena perbedaan gigi sisirnya (comb teeth). Comb teeth adalah suatu bangunan yang secara berderet terletak pada shipon jentik. Comb teeth pada Aedes aegypti memiliki pertumbuhan duri lateral, sedangkan Aedes albopictus seperti gambar berikut ini.



Gambar 2.30 Comb teeth A. aegypty (A) dan A. albopictus (B) Sumber:(Hasyimi, 2018) Nyamuk Aedes aegypti dewasa mempunyai ciri terdiri dari pada bagian dorsal thoraks timbul bulu-bulu halus yang berwarna putih membentuk gambran lire. Perbedaan kedua terletak pada mesonolumnya tersebut, sebab pada Aedes albopictus



mempunyai



bulu-bulu



putih



yang



tumbuh



membentuk seperti garis tebal putih yang berjalan memanjang.



119



Gambar 2.31 Bulu Thoraks A. aegypti (A) dan A. albopictus (B) Sumber: (Hasyimi, 2018) c) Culex Bentuk telurnya mudah dibedakan dengan telur nyamuk lainnya, karena telur Culex menyerupai peluru senapan. Pada stadium jentik mengandung bulu-bulu siphon (siphonan turf) dan pecten. Pada siphon terdapat pula gigi sisir (comb teeth). Tipe segmen analnya dengan pelana (sadle) tertutup. Morfologi nyamuk dewasa mempunyai tanda-tanda sebagai berikut panjang belalai melebihi panjang palpusnya, tidak memiliki rambut post dan pre spiracle, ruas akhir perut tumpul, bulu sayap (scale) sempit panjang. Sebagai vektor cacing filaria Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Culex yang dapat bertindak sebagai 120



vektor utama filaria bancrofti adalah Culex quinquifasciatus, Cx. annulirostis dan Cx. bitaeniorhynchus. Sebagai vektor utama Japanese Brugia Enchepalitis, yaitu Cx. triaeniorhyncus dan Cx. gelidus. d) Mansonia Nyamuk ini lebih senang untuk menghisap darah binatang, namun menghisap juga darah manusia. Mansonia menggigit pada malam hari (nocturnal), walaupun juga menggigit pada siang hari jika suasana teduh. Nyamuk ini lebih senang di luar rumah dibanding di dalam rumah. Pada siang hari lebih senang di luar rumah kecuali Ma. anulifera. Tempat istirahat pada keteduhan tanaman dan rumput. Kepadatan nyamuk ini sesuai dengan curah hujan. Jarak terbangnya antara 1-4 km. Telur diletakkan di bawah permukaan daun tumbuhan air, misalnya eceng gondok, semanggi, genjer dan kubis-kubisan. Ciri khas dari jentik nyamuk ini adalah adanya kait yang berguna



121



untuk mengambil oksigen, mempunyai pentil pernapasan, antena jentik mempunyai cambuk yang selalu pendek. Habitat jentik pada rumput dan tanaman air sebagai tempat perindukan nyamuk ini. Kepompong memiliki terompet pernapasan yang mengeras dan kuat, sehingga mampu masuk ke dalam akar. Sedangkan morfologi nyamuk dewasa khas pada sayapnya dilengkapi dengan bulu yang halus, asimetrik gelap terang. Nyamuk ini menularkan penyakit filaria. Nyamuk Mansonia uniformis sebagai vektor filariasis malayi. Sedangkan nyamuk Ma. indiana, Ma. dives dan Ma. bonnae dapat menjadi vektor filaria Brugia malayi.



122



BAB 3 EVALUASI 1. Parasit yang dalam hidupnya sepenuhnya tergantung pada host atau inang adalah A. Obligat



D. Fakultatif



B. Endoparasit



E. Ektoparasit



C. Insidental 2. Sebuah spesimen tinja yang dilakukan pemeriksaan dengan metode langsung ditemukan telur cacing berbentuk tong, memiliki dinding tebal. Apakah hospes defenitif cacing tersebut adalah A. Kucing



D. Anjing



B. Kera



E. Manusia



C. Tumbuhan air



123



3. Sebuah specimen tinja dilakukan pemeriksaan makroskopis, ditemukan larva cacing berbentuk silidris, berwarna putih. Apakah jenis cacing yangs sesuai gambaran tersebut. A. Necator americanus



D. Trichuris trichiura



B. Enterobius vermicularis



E. Capillaria philippinensis



C. Taenia saginata 4. Parasit



ini



memiliki



bentuk



pipih



panjang



dan



penyebarannya melalui hospes perantara melalui keong. Cacing apakah yang hidupnya dalam jaringan dan darah sesuai gambaran tersebut. A. Fasciolopsis buski



D. Schistisoma japonicum



B. Fasciola hepatica



E. Fasciola gigantica



C. Paragonimus westermani 5. Seorang laki-laki usia 7 tahun mengeluhkan gatal di sekitar anus pada malam hari, tidak adanya sakit perut dan diare,



124



namun mengalami penurunan berat badan. Apakah spesies yang berpotensi menginfeksi anak tersebut? A. Ascaris lumbricoides



D. Trichuris trichiura



B. Necator americanus



E. Ancylostoma duodenale



C. Enterobius vermicularis 6. Sebuah sampel tinja dari laki-laki berusia 7 tahun mengalami gejala anemia dan nafsu makan menurun, dokter merujuk untuk pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan telur berbentuk tong, warna kuning tengguli, 2 lapisan dinding, terdapat kedua ujungnya. Apakah nama spesies yang sesuai gambaran tersebut? A. Necator americanus



D. Ascaris lumbricoides



B. Ancylostoma duodenale



E. Enterobius vermicularis



C. Trichuris trichiura 7. Sebuah sampel biopsi jaringan kulit dilakukan pemeriksaan ditemukan cacing dengan ciri-ciri terdapat bagian mulut



125



memiliki 2 pasang gigi ventral yang sama , ukuran 8 x 0,4 mm dan buccal kopulatriks bercabang tiga. Apa cacing yang menginfeksi pasien tersebut adalah A. Necator americanus



D. Ancylostoma duodenale



B. Ancylostoma braziliense



E. Ancylostoma caninum



C. Ancylostoma ceylanicum 8. Sebuah pemeriksaan sediaan hapus darah ditemukan mikrofilaria dengan ciri terlihat perbandingan panjang dan lebar rongga kepala 3:1, inti pada badan tidak teratur, bagian ekor terdapat inti berjumlah 2 inti. Apa spesies parasit pada sediaan hapus tersebut A. Loa loa



D. Brugia malayi



B. Brugia timori



E. Wuchereria bancrofti



C. Mansonella ozzardi 9. Serangga ini memiliki tempat perindukannya ditimbunan sampah, tinja manusia. Setiap 3-4 hari seekor lalat betina



126



bertelur dalam 5-6 kelompok. Apakah jenis serangga yang sesuai gambaran tersebut? A. Lalat rumah



D. Lalat hijau



B. Lalat kerbau



E. Lalat pasir



C. Lalat kandang



10. Nyamuk dewasa mempunyai ciri terdiri dari pada bagian dorsal thoraks timbul bulu-bulu halus yang berwarna putih membentuk gambaran lire. Apakah jenis nyamuk sesuai gambaran tersebut? A. Anopheles ocinitus



D. Mansonia uniformis



B. Aedes albopictus



E. Aedes aegypti



C. Culex quinquifasciatus



KUNCI JAWABAN 1. A



2. E



3. A



4. D



5.C



6. C



7. D



8. B



9. A



10.E



127



DAFTAR PUSTAKA



Hasyimi, M. (2018) Buku Pegangan ‘Mikrobiologi Parasitologi Untuk Mahasiswa Keperawatan’. Jakarta: Trans Info Media. https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/index.html https://www.cdc.gov/dpdx/trichuriasis/index.html https://www.cdc.gov/parasites/fasciola/ https://www.cdc.gov/dpdx/fasciolopsiasis/ https://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/ https://www.cdc.gov/dpdx/taeniasis Idehma, B. and Pusarawati, S. (2007) Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press. Irianto, K. (2013) Parasitologi Medis (Medical Parasitology). Bandung: Alfabeta. Jeffrey, H. . (1993) Atlas Helmintologi dan Protozoologi Kedokteran. 3rd edn. Edited by N. L. G. Y. Asih. Jakarta: EGC. Muslim, M. (2009) Parasitologi Untuk Keperawatan. Jakarta. Natadisastra, D. (2009) Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari



128



Organ Tubuh yang Diserang. Edited by D. Natadisastra. Jakarta. Prasetyo, H. (2003) Atlas Berwarna Helmintologi Kedokteran. I. Surabaya: Airlangga University Press. Sardjono, W. T. (2017) Helmintologi Kedokteran dan Veteriner. Malang: UB Media. Surya, A. 2011. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia. Soedarto (1996) Atlas Helmintologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Soedarto. 2010. Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press Soedarto (2011) Buku Ajar Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press. Staf Pengajar, D. P. (2016) Parasitologi Kedokteran. 4th edn. Jakarta: FK UI. Zaman, V. (1997) Parasitologi Kedokteran. I. Edited by C. Anwar. Jakarta: Hipokrates. Zulkoni, A. (2010) Parasitologi. 1st edn. Nuha Media.



129



1