Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Advokat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UJIAN AKHIR SEMESTER ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI ADVOKAT Kelas Etika da Tanggung Jawab Profesi – J Dosen Pengampu: Lapon Tukan Leonardo, S.H., M.A.



Disusun oleh: Sekar Novi Rahmawati 11000120120085 / No. Ujian 22



Fakultas Hukum Universitas Dipnegoro Semarang 2022



DAFTAR ISI I. II.



Etika dan Tanggung Jawab Profesi Secara Umum



3



Etika dan Tanggung Jawab Profesi Advokat



4



A. Real Execution Terhadap Thinking Big-Dreaming Big untuk Menjadi Seorang Advokat



4



B. Kode Etik Profesi Advokat



6



C. Jabatan Profesi



7



D. Ekspektasi dan Harapan Seorang Klien Kepada Seorang yang Berprofesi Sebagai Advokat



7



E. How To Be A Great Lawyer



12



F. Istilah Lawyer Dalam Lingkup Nasional dan Internasional



15



G. Perbedaan dan Persamaan Profesi Advokat dengan Bisnis



19



H. Lawyer as a Officium Nobile



22



I. Kode Etik Advokat



27



J. Keahlian dan Kepribadian Seorang Advokat yang Wajib untuk Ditaati 29 K. Hubungan-Hubungan yang Terjalin Antara Advokat dengan Klien dan Teman Sejawat



33



L. Hak Imunitas Advokat



37



M. Pengawasan Terhadap Profesi Advokat



40



2



ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI ADVOKAT I.



Etika dan Tanggung Jawab Profesi Secara Umum Untuk meraih kesuksesan di masa depan, kita harus memiliki pola pikir Thinking Big, Dreaming Big. Definisi dari Thinking Big adalah kemampuan berpikir secara positif dan terbuka dalam memvisualisasikan hal-hal yang besar serta mencari peluang yang lebih baik dalam hidup. Sedangkan Dreaming big memiliki kebebasan mental untuk memikirkan apa yang benar-benar Anda inginkan dari kehidupan dan melupakan semua alasan mengapa Anda tidak dapat mewujudkannya. Seseorang dapat menggunakan bermimpi besar untuk memotivasi diri mereka sendiri untuk melihat gambaran yang lebih besar dari apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup. Kita perlu memberi diri kita sesuatu yang besar untuk dipikirkan—tantangan berupa gunung yang bisa kita daki. Namun, pada saat yang sama, buat sistem yang memungkinkan sehingga kita dapat memindahkan gunung itu secara berurutan, dengan cara memindahkan batu satu demi satu. Dunia ini sangat luas dan terbuka sehingga konsep Thinking Big, Dreaming Big sangat penting dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam mengisi luas dan terbukanya dunia ini, kita harus merancang dan mengeksekusinya melalui analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan singkatan dari Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat yang dijadikan strategi untuk menganalisa beberapa variable sehingga dapat membantu kita dalam mengetahui kelebihan dan kekurangan serta mampu mencari solusi yang tepat. Ketika Anda meluangkan waktu untuk melakukan analisis SWOT, Anda akan dipersenjatai dengan strategi yang solid untuk memprioritaskan pekerjaan yang perlu Anda lakukan untuk mengembangkan bisnis Anda. Pertama, Strength atau keunggulan pada poin analisis ini kita harus menguraikan hal-hal yang merupakan keunggulan yang ada pada dalam diri. Kekuatan adalah atribut positif internal perusahaan Anda. Ini adalah hal-hal yang berada dalam kendali Anda. Contoh: kamu memiliki kemampuan komunikasi yang unggul dan telah memenangkan perlombaan debat maka ketika kamu memiliki cita-cita untuk menjadi seorang pengacara, kamu akan menjadi pengacara yang terampil. Kedua, Weakness atau kelemahan, kriteria yang dikategorikan ialah kekurangan atau kelemahan yang ada pada diri sendiri.



3



Kelemahan tersebut terdiri atas kelemahan yang dapat diasah kemudian menjadi keunggulan dan kelemahan yang sulit untuk diubah menjadi kelebihan sehingga kamu harus mencari solusi agar kelemahan ini tidak menimbulkan keresahan. Contoh: kamu memiliki kekurangan dalam berbicara di depan umum sehingga hal tersebut membuatmu kesulitan untuk menjadi seorang pengacara yang handal dalam bersidang oleh karenanya kamu harus mencari solusi dengan melakukan terapi dan pelatihan dalam berbicara. Ketiga, Opportunity atau kesempatan, Peluang adalah faktor eksternal dalam meraih impian Anda yang cenderung berkontribusi pada kesuksesan Anda. Contoh: Anda tumbuh dan dibesarkan



dari



orang



tua



yang



berprofesi



di



bidang



hukum



(jaksa/pengacara/hakim/lainnya) dan Anda memiliki mimpi untuk berprofesi seperti orang tua Anda, dengan adanya privilege tersebut dapat menjadi faktor peluang bagi anda untuk mendapatkan ilmu dan informasi mengenai profesi di bidang hukum. Keempat, threat atau tantangan, Ancaman dalam SWOT mengacu pada area yang berpotensi menimbulkan masalah. Ancaman berbeda dari kelemahan karena ancaman bersifat eksternal dan umumnya di luar kendali. Contoh: persaingan untuk menjadi seorang pengacara Anda harus bersaing dengan jutaan mahasiswa lulusan hukum yang ada di Indonesia, oleh karenanya dengan adanya tentangan ini Anda harus memiliki pembeda dari yang lain sehingga Anda mampu bersaing dan menjadi pengacara yang berkompeten dibidangnya. Konsistensi adalah kunci untuk perubahan yang berkelanjutan dan tahan lama. Jadi jangan mencoba memindahkan gunung, sebaliknya, cukup bawa batubatu kecil, satu demi satu batu. Jangan menjadi kelinci, jadilah kura-kura karena lambat dan mantap memenangkan perlombaan. Sesuai tweet baru-baru ini oleh pakar pembentuk kebiasaan modern James Clear: “When making plans, think big. When making progress, think small”.



II.



Etika dan Tanggung Jawab Profesi A. Real Execution Terhadap Thinking Big-Dreaming Big Untuk Menjadi Seorang Advokat



4



Setelah melakukan analisis SWOT sebagai refleksi terhadap diri sendiri, langkah selanjutnya dalam merealisasikan Thinking Big, Dreaming Big kita harus mempersiapkan beberapa aspek: 1.



Legal Aspect Untuk menjadi seorang pengacara, Anda harus mempersiapkan baik secara kemampuan maupun legalitas untuk berpraktek. Anda harus memiliki izin yang diberikan oleh negara melalui sumpah yang dilaksankan di pengadilan dalam pengangkatan menjadi pengacara. Selain itu pula, anda harus memiliki kartu tanda anggota dari organisasi pengacara/advokat yang kredibel.



2. Capital Ketika Anda hendak membuka praktek dalam memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan, Anda harus mempersiapkan modal untuk memenuhi keperluan dalam menunjang pemberian pelayanan tersebut. Untuk membuka praktek, anda harus memiliki kantor yang nyaman, aman, dan dapat diakses oleh semua orang. 3. Human Resources Dalam memberikan pelayanan harus memiliki sumber daya manusia yang berkualitas unggul dan memiliki ciri khas yang dapat dibedakan dari lawyer lainnya. 4. Market Development/Networking Dalam membangun karir sebagai lawyer, Anda harus mampu menjalin relasi dengan siapa saja sehingga Anda dapat dikenal dengan banyak orang yang mana hal tersebut membawa dampak positif dalam membangun kepercayaan publik dan integritas. 5. Client Loyalty Hal utama selain persiapan internal, Anda harus dapat membangun ikatan batin atau chemistry dengan klien sehingga klien merasa puas atas pelayanan yang Anda berikan. Hal tersebut dapat membantu Anda dalam mendapatkan klien yang setia dalam menggunakan jasa Anda. Dalam memberikan pelayanan kepada klien, kita harus memperhatikan etika dan moral. Secara etimologi, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang



5



diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya pada kehidupan masyarkat. Etika sangat berkaitan erat dengan moral atau moralitas yang berarti sikap manusia mengenai ajaran baik-buruk terhadap kehidupan di masyarakat. Sikap manusia yang berbeda-beda sehingga pandangan seseorang mengenai suatu norma berbeda dengan pandangan dari orang lain. Dengan adanya perbedaan itu perlu dibuatkan standar yang ideal secara normatif yang disebut sebagai tata atau aturan. Tata itu berbentuk aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara. Tata aturan tersebut berisikan norma-norma yang memiliki 2 macam isi yaitu berupa perintah dan larangan. Perintah adalah suatu keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik. Sedangkan larangan adalah keharusan seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang buruk B. Kode Etik Profesi Kode berarti tanda atau symbol berupa kata-kata, tulisan, atau benda yang disepakati untuk maksud tertentu. Etik merupakan bagian dari etika yang memuat nilai dan norma baik-buruk. Di dalam kode etika terdapat sistem norma, nilai, dan aturan professional tertulis secara tegas menyatakan apa yang baik dan benar, serta tidak benar dan tidak baik bagi profesionalitas. Dapat disimpulkan bahwa kode etik merupakan serangkaian nilai yang oleh organisasi profesi melalui anggotanya disepakati untuk menjadi sebuah pedoman yang memberika arah dan bimbingandalam menjalankan profesinya yang apabila dilanggar akan menimbulkan akibat berupa penjatuhan sanksi baik administratif dan/atau pidana. Kode etik profesi berfungsi: 1. Sebagai sarana kontrol sosial 2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain 3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik 4. Sebagai self regulation organisasi profesi



6



5. Sebagai pemberi arah atau petunjuk bagi profesi tertentu sekaligus menjamin mutu moral profesi tersebut dalam masyarakat.



C. Jabatan Profesi Tidak semua aktivitas pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang dikatakan sebagai profesi. Terdapat perbedaan antara pekerjaan biasa (common job) dengan pekerjaan profesi (professional job). Perbedaan tersebut ialah pada pekerjaan profesi terdapat kode etik profesi yang mengatur perintah dan larangan perbuatan dari profesi tersebut. Sedangkan pada pekerjaan umum (common job) tidak ada tata aturan mengenai kode etik. Misalnya, kita bandingkan antara seorang pengacara dan sopir angkot. Pada kedua pekerjaan tersebut memiliki beberapa kesamaan: -



Knowledge in position: untuk menjadi seorang pengacara harus memiliki pengetahuan di bidang hukum, sedangkan untuk menjadi seorang sopir angkot harus memiliki pengetahuan mengenai cara mengemudikan mobil angkot,



-



Skills: untuk menjadi pengacara anda harus ahli dalam penyelesaian sengketa sehinga dibutuhkan kompetensi-kompetensi layaknya seorang pengacara, sedangakan untuk menjadi sopir angkot anda harus ahli dalam mengemudikan mobil angkot selayaknya.



-



Permanent: menjadi seorang pengacara adalah sebuah profesi permanen yang tidak memiliki batas waktu, begitu pula dengan menjadi seorang sopir angkot tidak ada batas masa selama masih adanya yang membutuhkan.



-



Social service: menjadi seorang pengacara atau soopir angkot samasama bergerak dalam bidang pelayanan jasa.



D. Ekspektasi dan Harapan Seorang Klien Kepada Seorang yang Berprofesi Sebagai Advokat



7



Jabatan profesi merupakan implementasi dari sebuah pekerjaan profesi dimana pekerjaan tersebut diberikan oleh negara melalui organisasinya kepada seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, karena dianggap telah memiliki kompetensi dan kapasitas untuk menjalankan jabatan dan pekerjaan tadi harus dijalankan berdasaran peraturan perundang-undangan dan kode etik. Implementasi dari pekerjaan profesi harus berdasarkan peraturan perundangundangan khususnya bagi profesi pengacara mengacu pada UU Nomo 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik yang disahkan pada 20 Mei 2002. Berdasarkan posisi jabatan sebagai seorang pengacara, terfapat harapan dan ekspektasi yang diberikan oleh para kliennya: 1. Tujuan/fungsi dari suatu profesi (Goals of The Role): -



Law Enforcement Sebagai seorang pengacara yang memiliki kompetensi di bidang hukum harus memiliki jiwa yang berintegritas tinggi dalam menegakkan hukum materiil.



-



Public Service Tujuan dari jabatan atas profesi harus dipusatkan sebagai bentuk pelayanan publik, bukan sekedar untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.



-



Member of an organization Harus terdaftar sebagai anggota dari suatu organisasi advokat sehingga kredibelitas sebagai seorang lawyer dapat dijalankan sebagaimana yang diatur dalam dasar hukumnya.



2. Gambaran dan Harapan Seorang Klien terhadap Seorang Advokat yang akan menjadi kuasanya (Image and Dream of The Role): 2.1 Gambaran seorang klien terhadap Advokat (image): -



A flamboyant person adalah orang yang dapat memikat lawan bicaranya melalui gaya penampilan, tindakan dan bertutur kata;



-



A friendly person adalah orang yang ramah dalam berperilaku dan bertutur kata;



8



-



An easy person to talk with adalah orang yang mudah diajak bicara dan tidak mudah tersulut amarah;



-



An energic person adalah orang yang energik dan memiliki semangat untuk menyelesaikan kasus;



-



An open person adalah seorang advokat yang memiliki pemikiran terbuka dalam menerima suatu sengketa kliennya dan tidak menghakiminya;



-



A person willingly to hear adalah seorang advokat yang bersedia untuk mendengarkan persoalan/permasalahan yang dihadapi oleh kliennya; serta



-



A trusty person adalah seorang advokat yang mampu untuk dipercayakan dalam menyimpan rahasia kliennya.



2.2 Harapan/ekspektasi



seorang



Klien



terhadap



Advokatnya



(Dream/expactations): -



Abble to settle case adalah seorang advokat mampu menyelesaikan kasus kliennya;



-



Able to keep the secret adalah seorang advokat mampu menjaga rahasia kliennya sehingga tidak merugikannya;



-



Able to be working in group adalah seorang advokat yang mampu bekerja dengan individu lain atau suatu kelompok agar memudahkan dalam mendapatkan informasi atau bukti dalam mengupayakan penyelesaian sengketa klien;



-



Able to bring a legal solution adalah seorang Advokat yang mampu memberikan solusi hukum namun tidak boleh atau dilarang untukmenjanjikan kemenangan atas suatu perkara dari kliennya;



-



Able to bring a legal enlightment adalah seorang Advokat yang mampu membawa pencerahan hukum dengan bahasa yang mudah untuk dipahami oleh orang awam.



3. Paradigma/bentuk hubungan antara Seorang Advokat dengan Kliennya (Model of Relationship):



9



3.1 Menurut Robert Veath, terdapat 4 tipe atau model dalam hubungan antra lawyer dan kliennya: a) Engineering model 



Hubungan antara lawyer dank lien seperti hubungan antara dokter dan pasiennya. Seorang pasien yang merasakan sakit di dada sebelum ia memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter ia telah melakukan penyembuhan alternative yang berdasarkan pengetahuannya. Namun dikarenakan sakit yang tak kunjung sembuh, pasien berinisiatif untuk berkonsiultasi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut yang berupa diagnose. Disini dokter tidak dapat memaksakan keputusannya kepada pasien bahwa pasien harus di operasi, namun pilihan untuk jadi atau tidaknya operasi harus berdasarkan keputusan pasien itu sendiri.







Berdasarkan contoh tersebut, pada model ini, lawyer menganggap bahwa kliennya memiliki pengetahuan yang cukup dan mampu untuk mengambil keputusan sendiri atas perkaranya setelah lawyer memberikan saran atau legal opinion. Lawyer tidak dapat serta merta meminta klien untuk menandatangani surat kuasa.



b) Priestly model 



“Priestly” berarti pendeta, diambil contoh dari hubungan antara pendeta denga n umatnya yang melakukan pengakuan dosa dengan harapan orang yang telah berbuat dosa dapat diampuni dosa-dosanya dan merasa lega.







Pada model ini, hubungan lawyer dengan klien ialah klien yang datang dan meminta kepada lawyer merupakan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan kurang mampu untuk mengatasi perkaranya sendiri dan tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri oleh karenanya lawyer sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan atas perkara yang dialaminya.



10







Pada hubungan ini, lawyer tidak diperkenankan untuk melempar kembali keputusan apa yang harus diambil kepada klien karena klien tidak berdaya untuk mengambil keputusan dengan sendirinya.



c) Collegial model 



Pada model ini, hubungan antara klien dan lawyer ialah sebagai kolega atau kerabat atau teman yang cukup dekat.







Proses pembahasan hingga pengambilan keputusan didasarkan pada diskusi yang terjadi antara kedua pihak



d) Contractual/covenant model 



Pada model ini, hubugan antara lawyer dan klien didasarkan kepada perjanjian yang telah disepakati antara kedua belah pihak







Lawyer hanya dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaiman ruang lingkup yang diperjanjikannya dengan klien begitu pula dengan klien, ia dapat melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian dan selama ia melakukan konsultasi



terlebih



dahulu



kepada



lawyernya



sebelum



mengambil suatu tindakan yang memiliki akibat hukum 



Apabila salah satu pihak melanggar atas apa yang telah diperjanjikan maka hubungan antara keduanya dapat dibatalkan.



3.2 Menurut Letty Russel, terdapat 2 (dua) model hubungan yang dapat terjadi antara seorang Advokat dengan kliennya yakni sebagai berikut: a) Partnertship  Hubungan yang terjalin antara seorang advokat dengan kliennya berupa kemitraan yang mengakui otonomi klien yang dilayani dan mengedapankan rasa solidaritas kepadanya. b) Combination of Collegial and Contructual model  Hubungan yang terjalin antara seorang advokat dengan kliennya merupakan gabungan dari model kolega dan model kovenan yang artinya dalam menyelesaikan kasus kedua pihak tersebut



11



selayaknya kerabat yang mendiskusikan permasalahan bersama denga memerhatikan batasan-batasan yang tertuang di dalam suatu perjanjian yang telah disetujui oleh klien dan advokatnya. 3.3 Menurut David Switzer, terdapat 1 (satu) model hubungan yang dapat terjadi antara seorang Advokat dengan kliennya yakni sebagai berikut: a) Clown Model =



trained professional with a high sense of



humanity  Hubungan yang terjalin antara seorang Advokat dengan kliennya didasarkan pada tindakan professional yang tumbuh dari



rasa



kemanusiaan



dan



pemahamannya



terhadap



kemanusiaan orang lain. Seorang advokat harus terbuka dan jelas dalam berkomunikasi.



E. How To be A Great Lawyer Tantangan datang dari perkembangan revolusi industry 4.0. Revolusi industri 4.0 memiliki efek yang besar di berbagai bidang dan sektor, termasuk sektor penegakan hukum terutama eksistensi profesi advokat dalam pemberian jasa hukum kepada kliennya. Perkembangan teknologi mesin-mesin cerdas buatan manusia (Artificial Intelliegence) ini diyakini tidak berhenti dan terus berkembang menuju kesempurnaan.



Robotik ini akan semakin mampu



menghasilkan karya-karya layanan jasa hukum yang bersifat analitis, taktis, dan situasional dengan hasil yang lebih akurat, lebih cepat, lebih murah ketimbang menggunakan jasa profesi advokat. Belum lagi, persaingan di kalangan para advokat tentu akan semakin ketat dan meningkat seiring pesatnya perkembangan teknologi ini. Menjadi advokat selain menyenangkan juga memiliki tantangan yang cukup unik. Karenanya dibutuhkan dedikasi serta komitmen yang teguh untuk berhasil. Meskipun seorang advokat pasti adalah orang yang berpendidikan, namun juga harus hati-hati, sebab ada banyak tantangan yang harus dihadapi selama masa karirnya.



Adapun tantangan menjadi seorang lawyer ialah



Pertama, tantangan dengan jam kerja yang tinggi. Seorang advokat biasanya



12



akan menghabiskan waktu berjam-jam di meja untuk mempelajari perkara hukum yang ditangani. Dengan membaca bertumpuk-tumpuk berkas dan mempelajari kronologi perkara, tentu akan menghabiskan banyak waktu. Kedua, mampu menjadi pembaca yang teliti dan update tentang berbagai aturan hukum terbaru. Seorang advokat dituntut untuk gemar membaca. Sebab mempelajari berkas perkara dengan baik adalah kemampuan yang sangat mahal, dan mengetahui informasi terbaru tentang peraturan-peraturan yang berlaku adalah kunci utama. Sehingga kemampuan membaca dengan teliti menjadi prioritas penting. Ketiga, siap belajar menjadi penulis yang baik. Selain kuat membaca, seorang advokat juga dituntut untuk dapat menyampaikan apa yang ada dipikirannya dalam bentuk tulisan, dengan bahasa yang baik dan benar, dan sesuai dengan kaidah hukum. Jangan sampai penjelasan yang disampaikan berputar-putar dan para pihak yang terlibat dalam suatu perkara ataupun proyek hukum tidak mudah mencerna informasi yang anda berikan. Keempat, mampu menguasai bahasa hukum dengan baik. Advokat juga harus mampu menguasai bahasa hukum dan menyampaikannya dengan yang baik, dan disesuaikan dengan kondisi. Saat berhadapan dengan klien, kamu harus menerjemahkan bahasa hukum ke dalam bahasa keseharian yang digunakan. Tujuannya tentu agar klien dapat mengerti dengan perjalanan perkara. Kemudian ketika sidang, kamu juga dituntut untuk dapat berbahasa dengan menggunakan istilah-istilah hukum yang baik. Kelima, siap melindungi hak orang lain. Advokat juga harus melindungi hak-hak mereka yang tidak mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri. Tak jarang seorang advokat juga sering berbicara atas nama orang, kelompok, atau tujuan lain, dan dalam beberapa kasus, seorang advokat juga bisa menjadi mediator yang baik. Keenam, siap menjadi orang yang memiliki etika yang baik. Menjadi advokat juga berarti bertanggung jawab untuk memberi tahu klien mereka tentang risiko yang terlibat dalam suatu kasus. Tanggung jawab advokat adalah untuk menyediakan klien dengan semua informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan. Seorang advokat juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa klien mereka memahami apa yang mereka



13



tandatangani. Advokat juga harus berhati-hati, agar tidak menciptakan situasi di mana klien mereka ditempatkan dalam resiko yang tinggi. Pada posisi ini, advokat juga diharapkan mampu memberikan nasihat kepada klien tentang cara menghindari masalah hukum dan membantu mereka mengatasi masalah saat muncul. Ketujuh, siap bermental baja. Karena sebagai advokat yang andal, tentunya harus siap untuk menghadapi tekanan dari klien, kolega, maupun mitra. Jangan sampai tekadmu runtuh dengan gertakan dari pihak lain. Atau jangan sampai kejujuranmu runtuh akibat tawaran-tawaran yang tidak baik dari pihakpihak lainnya. Persaingan antar lulusan fakultas hukum semakin ketat, namun tetap ada peluang bagi mereka yang mampu menyesuaikan diri. Selain adaptif, lulusan hukum diharuskan kreatif jika ingin mampu bersaing di dunia global. Peluang memasuki pasar global jasa hukum tetap terbuka bagi lulusan hukum khususnya advokat Indonesia. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Achmad Zen Umar Purba menyebut salah satu kunci agar mampu bersaing di dunia global ialah kepekaan advokat atas perkembangan isu hukum mulai dari skala lokal hingga global. Perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi justru ikut membantu lulusan hukum untuk menembus pasar internasional. Penguasaan bahasa internasional menjadi kunci penting untuk suksed dan punya daya tawar apabila berkeinginan untuk bersaing di dunia global. Due diligence adalah pasar utama yang dimasuki para lulusan hukum yang menjalankan profesi corporate lawyer. Kemampuan melakukan due dellignence bagi pengacara yang ingin go international



semakin penting setelah



Intertnational Bar Association (IBA) menerbitkan pratical on business and human rights for business lawyers atau IBA practical guide . Sejak 2015, IBA practical guide menjadi pedoman bagi advokat lintas negara melakuka due diligence bisnis dan hak asasi manusia atas permintaan korporasi kliennya. IBA practical guide merupakan turunan dari United Nations Guiding Princioles on Business and Hman Rights (UNGPS), merupakan sebuah produk hukum tak mengikat dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di Indonesia melalui kementerian hukum dan HAM sedang menyusun



14



parameter impelmentasi dari UNGPS dalam konteks hukum Indonesia. Meskipun tak mengikat secara hukum, pemerintah berharap kalangan professional hukum mengikuti due diligence bisnis dan hak asasi yang sudah disepakari lintas negara. Kebutuhan atas para pengacara handal di level dunia sebenarnya tidak hanya terkait dengan klien perusahaan multinasional namun juga sengketa bisnis yang melibatkan pemerintah. Pemerintah Indonesia telah berulang kali menghadapi sengketa di forum arbitrase internasional. Menteri hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, tegas menyataka bahwa Indonesia masih kekurangan lawyer yang handal. Oleh karena itu, pemerintah pernah menyewa lawyer asing untuk mewakili Indonesia di forum arbitrasi Internasional. Kesempatan untuk bersaing di dunia akan tetap terbuka sepanjang Advokat Indonesia selalu mengasah dirinya dan memanfaatkan peluang. Mungkin pertemuan tahunan IBA pada Oktober 2017 di Sydney menjadi salah satu kesempatan untuk mencoba bagi para Advokat Indonesia. Dengan kesempatan tersebut diharapkan Advokat Indonesia semakin memahami IBA Practical Guide serta membangung jaringan dengan advoka dan perusahaan luar negeri. Seperti kata Martin Solic, Presidan IBA saat ini, tapat tahunan kali ini menghadirkan ‘an unparalleled opportunity to exchange knowledge and to create and renew a global network of colleagues and business contracts’.



F. Beberapa Istilah Lawyer Dalam Lingkup Nasional dan Internasional 1) Di Indonesia menggunakan istilah: Di Indonesia, terdapat beberapa istilah lawyer yang memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda dalam pelaksanaan penegakan hukumnya. -



Istilah pengacara atau advokat Secara historis, profesi advokat termasuk salah satu profesi tertua. Pada zaman dahulu, profesi ini telah dikenal sebagai officium nobile atau sebuah jabatan yang mulia karena adanya aspek kepercayaan dari negara untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak publik di pengadilan.



15



Kata advokat berasal dari bahasa latin yaitu advocare yang berarti to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant. Artinya advokat adalah untuk membela, untuk meminta bantuan seseorang, untuk menjamin atau menjamin. Sedangkan di dalam bahasa Inggris menggunakan istilah Advocate yang berfungsi to speak in favor of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly. Yang berarti advokat berfungsi untuk untuk berbicara mendukung atau membela argumen, untuk mendukung, menunjukkan atau merekomendasikan publik. Dalam



perkembangannya,



penggunaan



istilah



advokat/avocaat/advocet atau lawyer digunakan hampir di seluruh negara. Begitu juga di Indonesia yang menyesuaikan dengan menggunakan istilah advokat atau lawyer dalam menyebut profesi pengacara. Dalam praktek hukum di Indonesia, istilah advokat dan lawyer memiliki perbedaan arti yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut terletak pada peran yang dijalankan antara advokat dan lawyer. Secara umum, advokat atau pengacara mempunyai peran sebagai penasihat hukum, sedangkan lawyer atau ahli hukum berperan memberikan konsultasi hukum. Sebelum diundangkan dan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, istilah antara advokat, pengacara, penasihat hukum, hingga konsultan hukum memeliki pengertian yang berbeda-beda sehingga mengandung pemaknaan yang berbeda pula. Seperti pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggunakan istilah Penasehat Hukum, begitu juga di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP menggunakan istilah Penasehat Hukum, sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menggunakan penyebutan pengacara atau advokat. Sebelum ada UU Advokat, pengacara diartikan sebagai seseorang yang berprofesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktik



16



beracara yang dimilikinya. Jika ingin memberikan jasa di luar wilayah kerjanya, maka pengacara tersebut harus mendapatkan izin dari wilayah lain yang akan ditanganinya. Sedangkan, penasehat hukum diartikan sebelum adanya UU Advokat adalah seseorang yang memberikan bantuan atau nasihat hukum, baik dengan bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan penasihat hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai pengacara/advokat dan pengacara praktek. Dalam Surat Edaran No. 8 Tahun 1987 tentang Penjelasan Mahkamah



dan



Petunjuk-Petunjuk



Agung



dan



Keputusan



Menteri



Bersama



ketua



Kehakiman



No



KMA/005/SKB/VII/1987 dan No: M.03-PR.08.05 Tahun 1987, membagi dua kategori penasehat hukum, yaitu: (1) Para pengacara advokat yang telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh izin melakukan kegiatan berpraktek hukum di manapun. (2)



Para pengacara praktek yang diberi izin oleh para Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Kedua profesi ini sama-sama pemberi bantuan jasa hukum. Di



dalamnya termasuk memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan



kuasa,



mewakili,



mendampingi,



membela,



dan



melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dan dapat ditemukan dalam suatu wadah yang bernama firma hukum. Namun perbedaan penggunaan istilah tersebut sudah tidak lagi terjadi saat ini sejak diundangkan dan diberlakukannya UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mana telah menguraikan definisi dari advokat sebagaimana tertuan di dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini.” Pengertian di atas secara tegas telah memberikan batasan mengenai pengertian Advokat dan Jasa Hukum.



17



2) Istilah yang digunakan di Luar Negeri: Dalam bahasa Belanda, kata Advocaat berarti procereur yang artinya pengacara sedangkan dalam bahasa Perancis, advokat berarti barrister atau counsel, pleader yang mana dalam bahasa Inggris semua terminology tersebut diartikan sebagai aktivitas di pengadilan. Luhut M.P menerangkan di dalam bukunya yang berjudul Advokat and Contempt of Court



kata advocaat yakni seorang yang telah resmi



diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar mester in de rechten (Mr.). Pada zaman Belanda kata advokat selalu bersamaan penyebutannya dengan prosureur (pengacara), tetapi menurut Subekti ia membedakan istilah advokat dengan prosureur. Menurutnya advokat adalah seorang pembela dan penasihat sedangkan prosereur adalah seorang ahli hukum acara yang memberikan jasa-jasa dalam mengajukan perkara ke Pengadilan dan mewakili orang-orang yang berpekara di muka pengadilan. ABA (American Bar Association) sendiri mendefinisikan: adalah orang yang memenuhi syarat dengan pendidikan dan pelatihan atau pengalaman kerja di kantor pengacara, kantor hukum, korporasi, badan pemerintah, atau badan lainnya yang melakukan pekerjaan legal substansif yang didelegasikan kepadanya namun dibawah tanggung jawab



langsung



pengacara.



Definsi



ini



menyatakan



bahwa



tanggungjawab hukum untuk pekerjaan paralegal bersandar langsung di bawah pengacara. Di Inggris terdapat perbedaan antara Solicitor dengan Barrister. Pengertian solicitor menurut Legal Profession Uniform Law (NSW), adalah praktisi hukum yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana hukum dan memiliki sertifikat praktik. Sertifikat ini diperoleh setelah menjalani Pelatihan Praktek Hukum (PLT) dan diterima praktik hukum. Pengacara kemudian harus menyelesaikan 18-24 bulan praktik yang diawasi sebelum mereka menerima sertifikat praktik. Untuk pengacara yang menangani perselisihan, sebagian besar waktunya dihabiskan di luar pengadilan dan berurusan dengan hal-hal persiapan litigasi seperti



18



menyiapkan klaim dan bukti atau melakukan negosiasi penyelesaian. Namun, pengacara akan muncul di pengadilan kecuali pengacara diperlukan. Jika masalah pengadilan melibatkan masalah yang kompleks, seorang pengacara dapat menginstruksikan seorang pengacara untuk hadir di pengadilan atas nama klien mereka. Klien tidak dapat mempertahankan pengacara secara langsung. Seorang pengacara adalah advokat ahli. Mereka memberikan nasihat hukum spesialis di bidang hukum tertentu. Pengacara menghabiskan banyak waktu mereka mewakili individu dan bisnis di pengadilan. Pengacara menjadi pengacara setelah memenuhi ujian dan persyaratan untuk otoritas Pengacara negara bagian mereka yang relevan. Hubungan antara pengacara dan pengacara mirip dengan dokter umum (GP) Anda dan spesialis yang mereka rujuk kepada Anda. GP Anda akan menilai masalah Anda, melakukan beberapa tes pendahuluan dan memberi Anda nasihat mereka. Namun, mereka kemudian dapat merujuk Anda ke seorang spesialis untuk mempelajari saran itu dan mendapatkan pendapat ahli mereka. Dokter umum dan spesialis Anda akan sering bekerja sama untuk membantu Anda. Seorang pengacara akan membantu pengacara pengajar mereka dengan menyusun dokumen pengadilan. Mereka juga akan fokus memberikan saran strategis tentang bagaimana kasus ini akan berjalan. Pengacara juga dapat menyiapkan pengajuan ketika kasus tersebut dilanjutkan ke persidangan. Dengan kata lain, seorang pengacara melibatkan seorang pengacara untuk item pekerjaan tertentu yang membutuhkan keterampilan dan saran khusus mereka, dan klien tidak perlu khawatir tentang duplikasi pekerjaan.



G. Perbedaan dan Persamaan Profesi Advokat dengan Bisnis Apabila dilihat dengan kacamata awam, profesi advokat dan bisnis bagaikan 2 (dua) sisi dalam sebuah koin. Terdapat persamaan yang mendasar namun perbedaan dari keduanya perlu ditegaskan. Apabila ditelaah dari sisi



19



persamaannya, bisnis dan profesi advokat sama-sama membutuhkan sebuah jaringan sosial yang luas untuk meningkatkan kualitas kerjanya sehingga menghasilkan penilaian yang baik di publik. Sedangkan perbedaan antara keduanya ialah bahwa profesi advokat merupakan pelayanan publik dalam memberikan jasa bantuan hukum yang didasarkan pada peraturan perundangundangan dan kode etik advokat. Bisnis juga memberikan pelayanan kepada publik namun ia tidak memiliki kode etik yang mengikat dalam memberikan pelayanan. Selain itu pencapaian target atau goals antara profesi advokat dan bisnis berbeda, profesi advokat memiliki tujuan utama yaitu memberikan pelayanan hukum yang baik dan prima sedangkan bisnis lebih mengedepankan keuntungan atau profit. Selain itu dalam menjalankan tugasnya, profesi advokat memiliki kewajiban-kewajiban yang tidak boleh dilanggar dalam memberikan pelayanan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Profesi Advokat. Adapun kewajiban profesi advokat berdasarkan UU Advokat sebagai berikut: a) Pasal 18, bahwa: (1) Advokat



dalam



menjalankan



tugas



profesinya



dilarang



membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. (2) Advokat tidak dapat diidentikan dengan klienya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat. b) Pasal 19, bahwa: (1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. (2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan



atau



pemeriksaan



adan



perlindungan



terhadap



penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. c) Pasal 20, bahwa:



20



(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. (2) Advokat



dilarag



memegang



jabatan



lain



yang



meminta



pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. (3) Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut. d) Pasal 22, bahwa: (1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. e) Pasal 25, bahwa Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila mengacu pada Kode Etik Advokat, terdapat kewajiban yang harus ditaati oleh advokat yakni sebagaimana yang tertuan di dalam Pasal 8 bahwa: a) Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebihan. b) Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat. c) Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau



mengizinkan



orang



yang



bukan



Advokat



tersebut



untuk



memperkenalkan dirinya sebagai Advokat. d) Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan. e) Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan/atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakantindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu



21



bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat. f) Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selam 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut. H. Lawyer as a Officium Nobile Pembukaan Kode



Etik



Advokat



Indonesia



2002



(selanjutnya



KEAI) menyatakan bahwa advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kata ”nobile officium” mengandung arti adanya kewajiban yang mulia atau yang terpandang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Serupa dengan ungkapan yang kita kenal ”noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible) yang dimiliki oleh mereka yang ingin dimuliakan. Hal ini berarti bahwa seorang anggota profesi advokat, tidak saja harus berprilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus juga mendapat kepercayaan publik, bahwa advokat tersebut akan selalu berperilaku demikian. Dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 2 dan 3 UU Advokat, maka seorang sarjana hukum dapat diangkat sebagai seorang advokat dan akan menjadi anggota organisasi advokat (admission to the bar). Dengan diangkatnya seseorang menjadi advokat, maka ia telah diberi suatu kewajiban mulia melaksanakan pekerjaan terhormat (nobile officium), dengan hak eksklusif: (a) menyatakan dirinya pada publik bahwa ia seorang advokat, (b) dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili kliennya, dan (c) menghadap di muka sidang pengadilan dalam proses perkara kliennya. Akan tetapi jangan dilupakan bahwa hak dan kewenangan istimewa ini juga menimbulkan kewajiban advokat kepada masyarakat, yaitu: menjaga agar mereka yang menjadi anggota profesi advokat selalu mempunyai kompetensi pengetahuan profesi untuk itu, dan mempunyai integritas melaksanakan profesi terhormat ini, serta,



22



oleh karena itu bersedia menyingkirkan mereka yang terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (to expose the abuses of which they know that certain of their brethren are quilty) Kewajiban advokat kepada masyarakat tersebut di atas, dalam asas-asas etika (canons of ethics) American Bar Association (1954; selanjutnya ABA) termasuk dalam asas mengenai ”Menjunjung Kehormatan Profesi” (upholding the honor of the profession), di mana dikatakan (terjemahan bebas) bahwa advokat itu harus selalu berusaha menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi dan berusaha untuk tidak saja menyempurnakan hukum namun juga penyelenggaraan sistem peradilannya (the administration of justice). Lebih lanjut lagi disebutkan olehnya Bagian dari kewajiban advokat kepada masyarakat, adalah telah memberi bantuan jasa hukum kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu (miskin). Dalam KEAI Pasal 3 dinyatakan bahwa seorang advokat ”tidak dapat menolak dengan alasan…kedudukan sosial” orang yang memerlukan jasa hukum tersebut dan juga di Pasal 4 kalimat: ”mengurus perkara cuma-cuma” telah tersirat kewajiban ini. Dan asas ini dipertegas lagi dalam Pasal 7 KEAI alinea 8: ”…..kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu”. Asas etika ini dalam ABA dikenal sebagai ”Kewajiban Mewakili Orang Miskin” (duty to represent the indigent). Meskipun di Indonesia telah ada lembaga-lembaga yang membantu kelompok ekonomi lemah ini, khususnya dengan nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH atau yang serupa) dan Biro Bantuan Hukum (BBH atau yang serupa), namun kewajiban advokat atau kantor advokat memberi jasa hukum kepada klien miskin, tetap harus diutamakan oleh profesi terhormat ini. Mengurus perkara ”cuma-cuma” tidak saja untuk perkara pidana (criminal legal aid) tetapi juga untuk perkara perdata (civil legal aid). Dengan adanya di indonesia lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer, maka tentunya bantuan hukum ini harus juga mencakup perkara mempergunakan media massa untuk mencari publisitas. Tetapi contoh di atas untuk ”contempt of court” adalah berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa KEAI belum mengatur kemungkinan



23



adanya pelecehan terhadap pengadilan yang dilakukan seorang advokat dengan mempengaruhi pengadilan melalui media massa (obstruction of justice). Dalam hal kewajiban advokat kepada pengadilan, ABA canon 22 menyatakan bahwa perilaku advokat di muka sidang pengadilan dan dengan para teman sejawatnya harus bercirikan ”keterbukaan” (candor, frankness) dan ”kejujuran” (fairness). Inti dari asas ini adalah melarang advokat berperilaku curang (mislead, deceive) terhadap (majelis) hakim dan advokat lawannya. Memang kewajiban advokat mempunyai dua sisi : dia berkewajiban untuk loyal (setia) pada kliennya, tetapi juga wajib beritikad baik dan terhormat dalam berhubungan dengan pengadilan. Yang pertama adalah ”the duty of fidelity” kepada kliennya dan ini belum ada dalam Pasal 4 KEAI tentang ”hubungan (advokat) dengan klien”. Kewajiban kepada pengadilan tersebut di atas adalah ”the duty of good faith” dan ”the duty of honorable dealing”. Menurut pendapat saya KEAI juga harus menyediakan suatu bab khusus tentang hubungan advokat dengan pengadilan. Bab baru ini harus berbeda dengan bab VI KEAI yang mengatur tentang “cara bertindak menangani perkara”. Jabatan advokat sebagaimana dalam kode etik advokat dikatakan bahwa profesi advokat adalah suatu profesi atau jabatan yang mulia atau Nobile Officium. Pertanyaanya kenapa disebut demikian, karena jabatan advokat dalam kenyataannya berdiri diatas dua kaki yang kaki yang kokoh yaitu diatas jabatan profesional dengan kriteria sebagaimana disebutkan diatas, juga beridi tegak diatas jabatan kepercayaan. Dalam menjalankan pekerjaanya seorang lawyer harus berpijak pada jabatan profesi yang memiliki keahlian profesi, pelayanan kepada publik, terikat pada kode etik profesi yang mengatur tentang perilaku dan etika yang harus dijalankan selama memangku jabatan tersebut, juga harus memiliki



suatu



kemampuan



yang istimewa



yaitu



memegang jabatan



kepercayaannya. Klien memberikan pekerjaan kepada seorang lawyer artinya dia memberikan kepercayaan penuh kepada lawyer untuk menangani perkaranya termasuk disana adalah menjaga semua kerahasiaan informasii yang diberikan. Ini suatu pekerjaan yang sangat mulia. Karena itu profesi advokat disebut sebagai jabatan yang mulia.



24



Etika profesi bagi seorang profesiaonal yang bergerak di bidang tertentu dituangkan dalam suatu bentuk yang disebut "kode etik". Kode etik merupakan suatu sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis tentang apa yang benar dan baik serta apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Hal ini menegaskan bahwa kode etik adalah sebagai suatu dasar acuan tentang perbuatan apa yang dianggap benar dan salah serta perbuatan apa yang harus dilakukan dan harus dihindari. Dalam bidang hukum khususnya profesi Advokat memiliki suatu aturan profesional yang dituangkan dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002. Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa Advokat adalah orang yang berpraktek memeberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi syarat persyaratan perundangundangan yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Prektek ataupun Konsultan Hukum. Sebagai seseorang yang bergerak di bidang hukum Advokat dituntut agar dapat menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Keadilan harus terwujud dalam semua lini kehidupan dan semua produk manusia harus mengandung nilai-nilai keadilan. Adapun keadilan menurut hukum adalah (legal justice) keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum dalam bentuk hak dan kewajiban dimana pelanggaran terhadap pelanggaran ini akan ditegaskan lewat proses hukum (Fuady, 2007: 118). Aristoteles menganggap bahwa keadilan dapat tercipta ketika kita mematuhi hukum, karena pada dasarnya hukum tercipta demi kebahagia masyarakat. Konsep keadilan yang digagas oleh Aristoteles terbagi menjadi dua, yaitu keadilan distributif (iustitia distributive) dan keadilan remedial atau korektif. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa sesuai kedudukannya, sedangkan keadilan korektif lebih menekankan pada penggantian kerugian atau pemulihan pada keadaan semula sebagai sebuah sarana untuk menyeimbangkan ketidakseimbangan karena keadilan. Masyarakat sebagai konsumen hukum harus dapat menikmati cita rasa keadilan sehingga masyarakat dapat merasakan kebahagian. Dalam menciptakan keseimbangan antara penegakkan hukum dengan cita rasa keadilan maka komponen aparat hukum baik sebagai produsen hukum



25



maupun para penegak hukum garus mampu menjadi produsen keadilan (justice producer) dengan cara menempatkan dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan ke dalam suatu produk hukum. Artinya keadilan harus dimasukkan dalam perundang-undangan sebagai roh daripada hukum itu sendiri, tidak hanya itu para penegak hukum harus memperjuangkan rasa keadilan bagi masyarakat dengan cara mengasah kemampuan dan harus menumbuhkan integritas moral yang tinggi. Salah satu pilar penegak hukum yang dituntut untuk memperjuangan keadilan bagi masayarakat adalah profesi Advokat. Pasal 3 huruf (g) Kode Etik Advokat Indonesia menyatakan bahwa Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile). Dapat kita lihat pada aturan profesional tersebut bahwa ini menjadi dasar moral atau pedoman seorang Advokat untuk mengabdi kepada masyarakat, bagi orang-orang miskin dan buta hukum. Penulis berpendapat bahwa sebagai seorang profesional di bidang hukum seorang Advokat tidak dapat memperjuangkan keadilan apabila dalam mengemban tugas sebagai seorang Advokat hanya mengharapkan imbalan materi semata, keadilan tidak dapat diraih dengan seberapa besar materi yang diberikan, tetapi bagaimana kemampuan dan hati nurani dalam memberikan jasa hukum terbaik dengan ingat bahwa perjuangan mencari keadilan adalah sebuah perjuangan yang mulia dan terhormat. Apabila Advokat bisa menerapkan prinsip tersebut dalam mengemban tugas, maka tidak mungkin ada anggapan dalam masyarakat bahwa profesi Advokat adalah profesi yang materialisme hanya mementingkan uang semata dan menghalalkan segala cara serta rela membela yang salah demi hanya untuk mendapatkan uang yang banyak. Kesimpulanya, bahwa officium nobile adalah profesi mulia dan terhormat yang dijalankan oleh seorang Advokat, dengan mengaharuskan bersikap sopan terhadap semua pihak. Sehingga profesi terhormat ini sudah semestinya menjadi acuan dan pedoman bagi seseorang yang menjalankan tugas sebagai Advokat untuk



memperjuangkan



nilai-nilai



keadilan



bagi



masyarakat.



Dengan



berpedoman pada Kode Etik Advokat Indonesia, seorang Advokat diharapkan mampu menjalankan tugas yang terhormat serta perjuangan yang mulia demi



26



terciptanya penegakkan hukum yang menempatkan keadilan sebagai roh daripada hukum itu sendiri.



I. Kode Etik Advokat Untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, maka memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, agar terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Seorang advokat harus dapat merasakan kebebasan sebagai bagian pekerjaannya, dia tidak merasa takut dan tidak merasa terikat kepada suatu kekuasaan yang mengintervensi inheren dengan hak kebebasan tersebut, oleh karena itu pada profesi ini melekat hak imunitas advokat . Dalam hukum internasional dikenal ada tiga ketentuan yang berhubungan dengan masalah hak imunitas advokat, yaitu: 1) Basic Principles on The Rule of Lawyers, yang menyatakan bahwa pemerintah wajib menjadi advokat dalam menjalankan tugas profesinya bebas dari segala bentuk intimidasi dan intervensi, termasuk tuntutan secara hukum. 2) International Bar Association (IBA) Standards for Independence of Legal Profession lebih luas mendefinisikan bahwa advokat tidak hanya kebal dari tuntutan hukum secara pidana dan perdata, tetapi juga administratif,



ekonomi,



intimidasi,



dan



lain



sebagainya



dalam



melaksanakan tugas profesinya membela dan memberi nasihat hukum kepada kliennya secara sah. 3) The World Conference of Independence of Justice di Montreal pada tahun 1983 yang mendeklarasikan menuntut adanya sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang dapat menjamin independensi advokat. Pemerintah sendiri mengeluarkan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang memberi perlindungan kepada advokat sebagai hak imunitas. Pada Pasal 16 UU Advokat tertulis bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik



27



secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Namun pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan atas pengujian Pasal 16 UU Advokat mengenai hak imunitas advokat. Menurut MK, peran



advokat



berupa pemberian



konsultasi



hukum,



bantuan



hukum,



menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. UU Advokat yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dimana MK menemukan perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil di antara kedua profesi tersebut. Oleh karena itu MK pada Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 26/PUU-XI/2013 menyatakan, bahwa Pasal 16 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Artinya pasca putusan MK tersebut telah memberikan



perluasan



ruang



lingkup



imunitas



advokat



sehingga



menjadi advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien baik di dalam sidang pengadilan maupun di luar sidang pengadilan atau Advokat memiliki hak imunitas baik di dalam maupun luar pengadilan. Dalam hal ini, imunitas advokat juga dibatasi oleh iktikad baik, yang didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU Advokat, yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan



28



berdasarkan hukum untuk membela kepentingan klien. Iktikad baik yang bersifat objektif dalam hal ini adalah sebuah tindakan harus berpedoman pada



norma



kepatutan,



yaitu



pada



apa



yang dianggap



patut pada



masyarakat. Dalam perspektif subjektif artinya pada kejujuran dan sikap batin seorang advokat saat melakukan tugasnya. Selain itu, Itikad baik erat kaitannya dengan kode etik/kaidah-kaidah profesi. Keberadaan kode etik profesi sangat vital untuk menjaga agar advokat dalam beracara selalu berpedoman pada nilai-nilai etika profesi. Kode etik profesi juga memiliki kapasitas yang penting dalam menjaga advokat agar mengabdi pada masyarakat serta menjaga kepercayaan masyarakat yang telah diberikan kepadanya. J. Keahlian dan Kepribadian Seorang Advokat yang Wajib untuk Ditaati Berdasarkan Pasal 2 Kode Etik Advokat seorang Advokat harus memiliki kepribadian yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya. Melalui Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015, MA intinya menyatakan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) memiliki kewenangan untuk melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi syarat dari organisasimanapun. Terdapat delapan butir yang termaktub dalam Surat Ketua MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015. Pertama, bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya. Kedua, bahwa berdasarkan Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus PERADI sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010, ternyata kesepakatan tersebut tidak dapat diwujudkan sepenuhnya, bahkan PERADI yang dianggap sebagai



29



wadah tunggal sudah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah. Di samping itu, berbagai pengurus advokat dari organisasi lainnya juga mengajukan permohonan penyumpahan. Ketiga, bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (tidak terkecuali advokat) sesuai ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2). Keempat, bahwa di beberapa daerah tenaga advokat dirasakan sangat kurang karena banyak advokat yang belum diambil sumpah atau janji sehingga tidak bisa beracara di pengadilan sedangkan pencari keadilan sangat membutuhkan advokat. Kelima, bahwa advokat yang telah bersumpah atau berjanji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sebelum maupun sesudah terbitnya UU Advokat, tetap dapat beracara di pengadilan dengan tidak melihat latar belakang organisasinya. Keenam, bahwa terhadap advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat atas permohonan dari beberapa organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI dan pengurus organisasi advokat lainnya hingga terbentuknya UU Advokat yang baru. Ketujuh, setiap kepengurusan advokat yang dapat mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat selain yang ditentukan dalam angka 6 tersebut di atas. Kedelapan, dengan diterbitkannya surat ini, maka Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 perihal Penyumpahan Advokat dan Surat Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011 perihal Penjelasan Surat Ketua MA Nomor 089/KMA/VI/2010 dinyatakan tidak berlaku. 1.



Professional Skill of Lawyer 1) Indonesia Citizen, diatur di dalam:



30



o Pasal 3 ayat (1) huruf a UU Advokat berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. warga negara Republik Indonesia. o Pasal 2 Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat Indonesia adalah Warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, UndangUndangn Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya”. 2) Law Granted (Graduate from school of Law), diatur di dalam: o Pasal 3 ayat (1) huruf e UU Advokat berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 3) Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), diatur di dalam: o Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: f. lulusan ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat. 4) Job Training Granted, diatur di dalam: o Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat berbunyi “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: g. magang sekurang-kurangnya 2 tahun terus menerus pada kantor Advokat. 5) National Selection Test Pass, diatur di dalam Pasal 2.



Personality of Lawyer 1) No double job, diatur di dalam:



31



o Pasal 20 ayat (1) UU Advokat berbunyi “Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya”. o Pasal 3 huruf f Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat, dan martabat Advokat”. 2) Keeping tightly secret information of client, diatur di dalam: o Pasal 19 ayat (1) UU Advokat berbunyi “Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang”. o Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu”. 3) Respect to client, diatur di dalam: o Pasal 6 huruf c UU Advokat berbunyi “Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan: c. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyatan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.” o Pasal 3 huruf h Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat Advokat”. 4) Entitle to reject a case, diatur di dalam: o Pasal 3 huruf a Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan/atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetap tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,



32



keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya”. 5) Having a personal integrity, diatur di dalam: o Pasal 3 huruf b,c, dan g Kode Etik Advokat berbunyi: b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebeneran dan keadilan. c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia. g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile). K. Hubungan-Hubungan yang Terjalin Antara Advokat dengan Klien dan Teman Sejawat 1.



Lawyer-Client Relationship 1) Protection of client diatur di dalam: o Pasal 19 ayat (2) UU Advokat, berbunyi “Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat”. o Pasal 4 huruf h dan I Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan Klien itu”. o Pasal 3 huruf c Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat dalam menjalankan profesiya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia”. 2) No withdrawal from job handling of a client case without any accountable reason, diatur di dalam:



33



o Pasal 10 ayat (1) UU Advokat, berbunyi “Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan: a. Permohonan sendiri; b. Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 tahun atau lebih; c. Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat. o Pasal 4 huruf i Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan keadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3 huruf a”. 3) No profit goals with client, diatur di dalam: o Pasal 22 ayat (1) UU Advokat , berbunyi “Advokat wajib memberikan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. o Pasal 3 huruf d Kode Etik Advokat, berbunyi “Dalam menentukan besarnya



honorarium



Advokat



wajib



mempertimbangkan



kemampuan klien”. 4) No guarantee for win to client but guarantee for freedom to client, diatur di dalam: o Pasal 4 huruf c Kode Etik Advokat, berbunyi “Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang”. Hubungan antara Advokat dan Klien selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 4 Kode Etik Advokat tentang Hubungan dengan klien terdapat 11 bentuk hubungan antara lain: a) Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.



34



b) Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien dengan perkara yang sedang diurusnya. c) Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang. d) Dalam



menentukan besarnya honorarium Advokat wajib



mempertimbangkan kemampuan klien. e) Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu. f) Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa. g) Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya. h) Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu. i) Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf a. j) Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan. k) Hak retetnsi advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan lain. 2.



Lawyer-Lawyer Relationship 1) Keeping colleague’s reputation, respect and trust each other, diatur di dalam:



35



o Pasal 5 huruf c Kode Etik Advokat berbunyi “Keberatan-Keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain”. 2) No cheating client from professional colleague, diatur di dalam: o Pasal 5 huruf d Kode Etik Advokat berbunyi “Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat”. 3) Friend in job not enemy, diatur di dalam: o Pasal 5 huruf a Kode Etik Advokat berbunyi “hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai”. 4) Respect to colleague when client moving to, diatur di dalam: o Pasal 5 huruf e Kode Etik Advokat berbunyi “Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memunhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula”. Hubungan antara Advokat dengan teman sejawat selain yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 5 Kode Etik Advokat tentang Hubungan dengan klien terdapat 11 bentuk hubungan antara lain: a) Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai. b) Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis. c) Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan



36



kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain. d) Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat. e) Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula. f) Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.



L. Hak Imunitas Advokat Advokat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penegak hukum memiliki hak imunitas. Secara umum hak imunitas dapat diartikan sebagai hak kekebalan atas yurisdiksi hukum. Latar belakang diakuinya bahwa advokat memiliki hak imunitas ialah karena profesi advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan sebagai unsur penegak hukum kedudukan advokat setara dengan penegak hukum lain untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kebebasan dan kemandirian advokat senantiasa melekat dalam fungsi yang harus dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Kebebasan yang dimaksudkan ialah tanpa tekanan, ancaman hambatan dan tanpa rasa takut atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi. Dalam konteks fungsi, kebebasan yang dimiliki advokat merupakan kewenangan fungsi negara berasal dari kekuasaan



yudikatif, hak kebebasan itu disebut sebagai kewenangan



konstitusional. Hak imunitas advokat secara tersirat dituangkan di dalam Pasal 14 sampai Pasal 17 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang



37



mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh advokat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Adapun hak-hak tersebut antara lain: (1) Pasal 14 bahwa Advokat bebeas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggng jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (2) Pasal 15 bahwa Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan. (3) Pasal 16 bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya denga itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. (4) Pasal 17 bahwa dalam menjalankan profesinya Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan



tersebut



yang



diperlukan



untuk



pembelaan



kepentingan



kliennya



sesuai



dengan



peraturan



perundang-



undangan. Selain diatur di dalam pasal tesebut, hak imunitas juga diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 50 bahwa orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak boleh dipidana. Perihal hak imunitas advokat yang tertuang di dalam Pasal 16 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terdapat pembatasan. Pembatasan terhadap pasal tersebut dilakukan melalui uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi yang mana dikeluarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013. Para pemohon uji materiil Pasal 16 UU Advokat mendalilkan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada advokat untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan klien di dalam persidangan padahal pemberian jasa hukum oleh advokat juga dilaksanakan di luar pengadilan. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor



38



006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, mempertimbangkan, “UU Nomor 18/2003 Tentang Advokat adalah Undang-Undang yang mengatur syaratsyarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan Undang-Undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat”. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, antara UU yang dimohonkan diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dijadikan salah satu argumentasi pemohon, terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut. Mahkamah melihat keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Keadaan tersebut juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, juga untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dengan pendapat tersebut maka Mahkamah menyatakan, Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas



39



profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Pengertian lebih luas dijabarkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi dengan tambahan frasa kata di luar Pengadilan sehingga maksud dari itikad baik dalam menjalankan profesi harus ditafsir sebagai: (1) Advokat tidak boleh disamakan dengan kliennya (2) Advokat tidak dapat dituntut perdata maupun pidana dalam tugasnya. (3) Secara teori Nisbi, seorang advokat dapat membuka rahasia jabatan sangat tergantung pada konsidi yang dipertimbangkan secara rasio itikad baik. (4) Instrumen hak ingkar merupakan kewajiban hukum dalam jabatan advokat dia hanya kalah jika undang-undang memanggil untuk kewajiban memberi keterangan dimuka pengadilan. (5) Berkaitan dengan proses penyidikan bagi Profesi Advokat dilakukan pemaggilan melalui organisasi setempat. Penerapan hak imunitas dalam membela kepentingan klien harus ditafsir sebagai menjalankan tugas profesi yang dikaitkan dengan itikad baik untuk mengukur benar atau salahnya perbuatan Advokat. Advokat tidak dapat langsung diidentifikasikan secara subjektif sebagi telah melakukan perbuatan kejahatan atau pelanggaran pidana sebagaimana yang telah dilakukan oleh perbuatan kliennya.



M. Pengawasan Terhadap Profesi Advokat Dalam mewujudkan profesi advokat yang berfungsi sebagai penegak hukum dan keadilan juga ditentukan oleh peran pengawasan Organisasi Advokat. Berdasarkan UU Advokat Pasal 1 ayat (5) pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat. Dalam Ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakan-tindakan terhadap pelanggaran, dan



40



pemberhentian advokat yang pelaksanaannya dijalankan oleh Organisasi Advokat. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat misalnya menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan: (1) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya; (2) Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; (3) Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan atau pengadilan; (4) Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya; (5) Melakukan



pelanggaran



terhadap



peraturan



perundang-undangan



dan/atau perbuatan tercela (6) Melanggar sumpah atau janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat. Sebelum



berlakunya



Undang-Undang Advokat,



yang punya hak



mengawasi Advokat adalah Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi yang mewilayahi para Advokat, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman, (Keputusan Bersama Antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor 005 Tahun 1987) hanya yang perlu dijawab, sejauhmana pula para pengawas itu menjalankan tugasnya sebagai pengawas dan sejauhmana ketaatan para Advokat tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 36 disebutkan bahwa: “ Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan Notaris”. Pasal 54 (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menyebutkan bahwa: “Ketua Pengadilan Negeri mengadakan pengawasan atas pekerjaan penasehat hukum dan notaris di daerah hukumnya dan melaporkan hasil



pengawasannya



kepada



Ketua



Mahkamah



Agung



dan



Menteri



Kehakiman”.



41



Saat ini mengenai pengawasan terhadap penegakan tugas dan fungsi advokat dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Advokat yang diatur di dalam BAB IX Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Berdasarkan Pasal 26 UU Advokat, Dewan Kehormatan Advokat memiliki beberapa tugas dan fungsi yakni sebagai berikut: (1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat disusun kode etik advokat oleh Organisasi Advokat. (2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. (3) Kode etik profesi advokat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan. (4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. (6) Keputusan



Dewan



Kehormatan



Organisasi



Advokat



tidak



menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana. (7) Ketentuan



mengenai



tata



cara



memeriksa



dan



mengadili



pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Selain itu, pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Advokat diatur di dalam kode etik Pasal 10 bahwa: (1) Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat. (2) Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat yaitu: a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat



42



(3) Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir. (4) Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada: a. Dewan Pimpinan cabang/daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabag/Daerah. b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota. c. Pengadu/Teradu Apabila adanya pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh seorang advokat, maka pelanggaran tersebut dapat diadukan oleh pihak-pihak terkait sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11 Kode Etik Advokat yaitu antara lain: (1) Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan yaitu: a. Klien b. Teman Sejawat Advokat c. Pejabat Pemerintah d. Anggota Masyarakat e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota. (2) Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Daerah Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu. (3) Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat. Pengaduan harus diajukan secara tertulis yang disertai dengan bukti-bukti yang dianggap perlu. Setelah adanya pengaduan yang diterima oleh Dewan Kehormatan Daerah akan melakukan pemeriksaan tingkat pertama dengan prosedur yang telah diatur di dalam Pasal 13 Kode Etik Advokat. Setelah proses



43



pemeriksaan dengan pemanggilan pihak-pihak terkait, proses selanjutnya memasuki sidang yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 14 Kode Etik Advokat: (1) Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil. (2) Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi di bidang hukum serta mempuyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat. (3) Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehoramatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua. (4) Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu. (5) Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka. Setelah melakukan pemeriksaan yang diadukan oleh pihak yang memiliki kepentingan, adapun cara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Majelis Dewan Kehormatan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang advokkat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 15 Kode Etik Advokat berikut ini: (1) Setelah



memeriksa



dan



mempertimbangkan



pengaduan,



pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa: a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;



44



b. Menerima pengadan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu; atau c. Menolak pengaduan dari pengadu. (2) Keputusan



harus



memuat



pertimbangan-pertimbangan



yang



menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar. (3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuk dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal, dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan. (4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan di dalam berkas perkara. (5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana tersebut disebut dalam keputusan yang bersangkutan. Adapun sanksi-sanksi yang dimungkinkan untuk dikeluarkan di dalam Keputusan yang dilakukan oleh Majelis Dewan Kehormatan terhadap suatu pelanggaran kode etik Advokat ialah sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 16 bahwa: (1) Hukuman yang diberikan di dalam keputusan dapat berupa: a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan/atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan. c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilaman sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah



45



mendapat sanksi peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik. d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat. (2) Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan. (3) Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan/atau pemecatan keanggotan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat. Apabila adanya ketidakpuasan terhadap hasil keputusan atas penyelesaian perkara pelanggaran kode etik Advokat yang dilaksanakan di tingkat pertama melalui Dewan Kehormatan di tingkat Daerah dapat diajukan upaya tingkat banding dan menjadi upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh para pihak ke Dewan Kehormatan di tingkat Pusat. Adapun upaya banding dan terakhir ini diatur di dalam Pasal 18 Kode etik Advokat dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat. (2) Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan. (3) Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding



yang bersangkutan



selaku



pembanding



selambat-



lambatnya dalam waktu 14 hari sejak penerimaannya mengirimkan



46



salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding. (4) Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari sejak penerimaan Memori Banding. (5) Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu. (6) Pengajuan



permohonan



banding



menyebabkan



ditundanya



pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah. (7) Dewan kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat. Adapun setelah proses pemeriksaan banding sebagai upaya terakhir yang diajukan oleh pihak-pihak terkait, keputusan Dewan Kehormatan Pusat diatur di dalam Pasal 19 Kode Etik Advokat sebagai berikut: (1) Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri. (2) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan. (3) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun termasuk dalam MUNAS. (4) Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan



47



Pimpinan Pusat atau Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Advokat: 1) Contoh Kasus 1 Salah satu pelanggaran yang terjadi tampak dalam kasus Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. Dalam kasus tersebut terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Advokat Indonesia khususnya yang berkaitan dengan profesionalitas advokat dalam hal wewenang advokat dalam menerima perkara. Permasalahan ini dimulai pada tahun 2002 di mana saat itu Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., menjadi kuasa hukum pemerintah untuk melakukan audit terhadap keluarga Salim, diantaranya yaitu perusahaan Sugar Group Company, tetapi pada tahun 2006 Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M. malah beralih menjadi kuasa hukum dari keluarga Salim dalam perkara buntut 6 penjualan aset. Hal ini dianggap melanggar Kode Etik Profesi Advokat karena semestinya advokat tidak boleh menjadi penasehat hukum dari kedua belah pihak dalam perkara yang berbeda, dimana kedua belah pihak adalah pihak yang sama. Perbuatan yang dilakukan oleh DR. Todung Mulya Lubis,S.H., LL.M., dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu pasal 4 ayat (2) mengenai Sumpah Advokat dan pasal 6 mengenai alasan pemberian tindakan terhadap Advokat. Selain melanggar Undang-Undang Nomor18 tahun 2003 tentang Advokat, DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., juga melanggar Kode Etik Advokat Indonesia yaitu pasal 3 huruf (b) dan pasal 4 huruf (J) mengenai hubungan advokat dengan klien. Khusus pasal 4 huruf (J) yang berbunyi :” Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari



timbul



pertentangan



kepentingan



antara



pihak-pihak



yang



bersangkutan”,dari isi pasal 4 huruf (J) Kode Etik Advokat Indonesia dapat dilihat bahwa apa yang telah dilakukan oleh DR. Todung Mulya



48



Lubis,S.H., LL.M., memang telah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, dalam dunia advokat hal ini sering disebut dengan istilah conlict of interest. Setelah terbukti melanggar UndangUndang Nomor 18 tahun 2003 dan Kode Etik Advokat Indonesia DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., dijatuhi sanksi pemberhentian secara tetap dari advokat oleh Dewan Kehomatan Kode Etik Profesi Advokat organisasi advokat PERADI karena DR. Todung Mulya Lubis,S.H.,LL.M., merupakan anggota dari organisasi advokat tersebut, kemudian DR. Todung Mulya 7 Lubis,S.H.,LL.M., mengajukan banding ke organisasi advokat KAI dan beliau dijatuhi hukuman tidak dapat menjalankan profesi advokatnya selama satu setengah bulan oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Profesi Advokat KAI.



2) Contoh Kasus 2 Dewan Kehormatan Daerah (DKD) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta memutus Fredrich Yunadi diberhentikan tetap atau dipecat sebagai advokat. Dirinya dinyatakan terbukti bersalah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) karena menelantarkan klien setelah menerima honorarium sebesar Rp450 juta. Putusan ini dibacakan dalam sidang pembacaan putusan DKD Peradi Jakarta Jumat (2/2) tadi di kantor Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Grand Slipi Tower lantai 11, Jl S.Parman Kav. 22-24, Jakarta Barat 11480. Fredrich diadukan oleh pemilik Apartemen Kemanggisan Residence, Kebon Jeruk, Jakarta Barat yang menggunakan jasa Fredrich sebagai kuasa hukumnya. Para klien yang merupakan konsumen unit di apartemen tersebut menggunakan jasa Fredrich untuk mengurus upaya hukum praperadilan dan laporan pidana terhadap pengembang apartemen. Saat itu, pengembang Apartemen Kemanggisan dinyatakan pailit sehingga tidak bisa melanjutkan pembangunan. Para calon pemilik yang telah membayar lunas maupun mencicil pembelian melakukan upaya hukum karena merasa dirugikan.



49



Nahas bagi mereka, setelah dijanjikan kemenangan dan membayar honorarium advokat, Fredrich ternyata tidak memenuhi janji manisnya. Segala cara untuk membuka komunikasi dengan Fredrich atas nasib mereka ternyata berujung buntu. Fredrich susah dihubungi apalagi ditemui. Akhirnya mereka mengadu kepada Dewan Kehormatan Peradi dan dimulailah proses persidangan etik terhadap Fredrich. Ketua Majelis Kehormatan yang menyidangkan Fredrich dipimpin oleh Alex Rasi Wangge yang menjabat sebagai Sekretaris DKD Peradi Jakarta.



3) Contoh Kasus 3 Selain



kasus



DR.Todung



Mulya



Lubis,S.H.,LLM,



kasus



pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia dilakukan oleh M. Assegaf, SH dan Wirawan Adnan, SH di mana keduanya adalah Advokat yang menjadi kuasa hukum dari Pollycarpus Budihari Priyanto dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. M. Assegaf, SH dan Wirawan Adnan, SH terbukti melanggar Pasal 7 huruf (e) Kode Etik Advokat Indonesia yaitu : “ Advokat tidak dibenarkan mengajarkan dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana”. Kasus ini Kasus ini bermula ketika M Assegaf dan Wirawan Adnan selaku tim kuasa hukum Pollycarpus Budihari Priyanto pada 11 Agustus 2007 mengirimkan surat kepada Kepala Badan Intelijen Negara untuk 8 mengklarifikasi kebenaran pernyataan saksi agen BIN Raden Mohammad Padma Anwar dalam kasus pembunuhan Munir. Keduanya juga meminta BIN menjelaskan soal keterangan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setyawan yang mengaku pernah menerima surat dari BIN untuk menugaskan Pollycarpus ke bagian pengamanan dalam penerbangan Munir ke Belanda. Surat itu dinilai sebagai usaha mempengaruhi Raden Mohammad Padma Anwar karena secara struktural Raden adalah bawahan Kepala BIN, oleh sebab itu Dewan Kehormatan Peradi DKI Jakarta menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada M. Assegaf, SH dan Wirawan Adnan, SH.



50