Farrelnabil Guslan Tugas Argumentasi Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Peran Penalaran Dalam Pemahaman Hukum



Farrel Nabil Guslan FH Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto, Tembalang, Kec. Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah 50275 [email protected]



Abstrak : Saat ini pemahaman dan pengetahuan tentang penalaran, dan argumentasi hukum semakin dibutuhkan tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam bidang filsafat dan hukum melainkan terutama bagi para praktisi hukum,akademisi,bahkan seluruh anggota masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum karena melihat fenomena yang berkembang saat ini juga semakin kompleksnya masalah hukum sebagai contoh yang tentunya dalam begawan hukum masih tersimpan jelas memori isi putusan hakim bismar yang melakukan perluasan penafsiran terhadap benda yang menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Maka sebagai bagian dari penalaran pada umumnya, penalaran hukum, meskipun memiliki sejumlah karakteristik yang berbeda tetap harus memiliki batasan ideal dan penalaran hukum bukahlah jenis penalaran yang berbeda dan terpisah dari logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat melainkan bagaimana menerapkan kaidah-kaidah berpikir menurut ketentuan logika dalam bidang hukum. Maka tujuan artikel ini adalah mengupas bagaimana peran ideal penalaran terhadap pemahaman hukum. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini pemahaman dan pengetahuan tentang penalaran, dan argumentasi hukum semakin dibutuhkan tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam bidang filsafat dan hukum melainkan terutama bagi para praktisi hukum,akademisi,bahkan seluruh anggota masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan persoalan-persoalan hukum karena melihat fenomena yang berkembang saat ini juga semakin kompleksnya masalah hukum. Ilmu hukum seperti kita tahu sebagai ilmu sui generis, artinya ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum. Kekhasan dalam ilmu hukum itu terletak pada karakternya yang bersifat normatif. Sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang sui generis. Dengan karakternya yang bersifat normatif, maka ilmu hukum merupakan ilmu yang mempelajari norma. Dalam terminologi ilmu hukum maka kita akan menelusuri kembali asal kata dasi suatu istilah. Dalam bahasa Belanda, Jerman dan bahasa Inggris digunakan istilah berikut Rechtswetenschap (Belanda), Rechtstheorie (Belanda), Jurisprudence (Inggris), Legal science (Inggris), Jurisprudenz (Jerman). Apabila ditinjau dari segi objeknya dikenal ada dua jenis ilmu hukum yaitu Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu



Hukum Empiris. Dalam ilmu hukum normatif, objek kajiannya adalah norma. Dengan demikian, norma menjadi fokus kajian dari ilmu normatif. Dalam penelitian terhadap norma, baik norma tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dapat diartikan luas melalui penalaran dan logika dan hukum dapat dilihat pula melalui berbagai konstruksi pemikiran hukum yang berbeda pula. Penalaran Hukum adalah pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng- argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.22 Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara meng-argumentasi-kan hukum? Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun norma tertulis yang dibuat secara resmi dan diundangkan oleh pemerintah dari suatu masyarakat. Disamping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma di dalam masyarakat yang tidak tertulis tetapi secara efektif mengatur perilaku para anggota masyarakat. Adapun pembagian dari lapisan ilmu hukum yaitu filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum dan praktek hukum. KATA KUNCI : (Penalaran Hukum adalah pencarian “reason”) B.TUJUAN PENULISAN Tujuan dari pembuatan karya ilmiah ini adalah Mahasiswa memahami dan 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



menguasai konsep-konsep dasar dalam menggunakan logika hukum. Melalui partisipasi pada mata kuliah Penalaran dan argumentasi hukum ini mahasiswa diharapkan mampu memperoleh capaian pembelajaran dengan cara dapat menganalisa isu-isu hukum dengan menggunakan penalaran hukum dan mampu memberikan argumentasi hukum yang benar. Maksudnya, dalam melakukan penalaran hukum, mahasiswa diharapkan dapat mengkaji isu-isu hukum dengan menggunakan hukum yang berlaku, baik hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis serta dapat menganalisa berbagai perkembangan dalam hukum positif di Indonesia.



C.PEMBAHASAN ILMU HUKUM Ilmu hukum merupakan ilmu yang memiliki jenis tersendiri. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ilmu hukum memiliki sesuatu yang khas. Kekhasannya itu terletak pada karakternya yang bersifat normatif. Sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang suigeneris. Ilmu hukum mempunyai tiga lapisan , jika dalam tataran dogmatik hukum dapatlah dikatakan bahwa ilmu hukum termasuk ilmu praktis, karena bertujuan untuk problem solving. Tetapi dalam tataran teori hukum, ilmu hukum masuk ilmu normatif. Dalam tataran filsafat, tidak dapat ilmu hukum dipertanyakan masuk apa karena filsafat bukan ilmu, tetapi filsafat adalah induk dari ilmu. Tidaklah cukup suatu penelitian hukum hanya melihat adanya perbedaan antara norma dan kenyataan di masyarakat. Di dalam kajian Ilmu Hukum haruslah mementingkan metode penelitian yang berlaku di dalam Ilmu Hukum sendiri.



Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, artinya ilmu



hukum merupakan ilmu jenis sendiri karena ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Sifat khas ilmu hukum sebagai ilmu sui generis, yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum. Kekhasan dalam ilmu hukum itu terletak pada karakternya yang bersifat normatif. Sulit untuk mengkategorikan ilmu hukum ke dalam kelompok ilmu yang mana, sehingga lebih tepat jika ilmu hukum adalah ilmu yang sui generis. Dengan karakternya yang bersifat normatif, maka ilmu hukum merupakan ilmu yang mempelajari norma. Dalam terminologi ilmu hukum maka kita akan menelusuri kembali asal kata dasi suatu istilah. Dalam bahasa Belanda, Jerman dan bahasa Inggris digunakan istilah [Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



berikut Rechtswetenschap (Belanda), Rechtstheorie (Belanda), Jurisprudence (Inggris), Legal science (Inggris), Jurisprudenz (Jerman). Apabila ditinjau dari segi objeknya dikenal ada dua jenis ilmu hukum yaitu Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu Hukum Empiris. Dalam ilmu hukum normatif, objek kajiannya adalah norma. Dengan demikian, norma menjadi fokus kajian dari ilmu normatif. Dalam penelitian terhadap norma, baik norma tertulis maupun tidak tertulis. Hukum dapat diartikan sebagai norma tertulis yang dibuat secara resmi dan diundangkan oleh pemerintah dari suatu masyarakat. Disamping hukum yang tertulis tersebut terdapat norma di dalam masyarakat yang tidak tertulis tetapi secara efektif mengatur perilaku para anggota masyarakat. Adapun pembagian dari lapisan ilmu hukum yaitu filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum dan praktek hukum. LOGIKA kemudian pengertian dari Logika itu sendiri berasal dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda”. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa “alasannya tidak logis, argumentasinya logis, kabar itu tidak logis”. Yang dimaksud dengan “logis” adalah masuk akal dan tidak logis adalah tidak masuk akal. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi empat yaitu : 1. Asas identitas atau principium identitatis atau law of identity. 2. Asas kontradiksi atau principium contradictoris atau law of contradiction. 3. Asas penolakan kemungkinan ketiga atau principium exclusi tertii atau law of excluded middle. 4. Principium rationis sufficientis atau law of sufficient reason. Cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk memperoleh kebenaran yaitu melalui metode induksi dan deduksi. Metode induksi yaitu suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan. Sedangkan metode deduksi yaitu suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat ini, atau (b) reasoning yang diambil dari substansi hukum yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang dihadapkan kepada hakim saat ini.24 Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



apakah dalam memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang ada termasuk isu mengenai moral dan lain-lain? Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal reasoning yaitu: -Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang terjadi. -Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus diambil atas suatu perkara yang terjadi. Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan mempertimbangkan semua aspek. Unsur-unsur Dalam Penalaran Hukum Penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataanpernyataan itu terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti. Unsur-unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian. Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti atau definisi. Mendefinisikan sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan pembagian merupakan dua hal yang saling melengkapi.



Konsep dan Terminologi Dalam Penalaran Hukum



Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng- argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum.22 Namun pengertian sederhana ini menjadi tidak lagi sederhana apabila pertanyaan dilanjutkan kepada: apakah yang [Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



dimaksud dengan hukum dan bagaimana sebenarnya atau seharusnya seorang hakim memutuskan suatu perkara/ kasus hukum dan bagaimana seorang pengacara mengargumentasi-kan hukum? Pengertian lainnya yang sering diberikan kepada Legal Reasoning adalah: suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut.23 Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya yang hakiki. Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (a) reasoning untuk mencari dasar tentang substansi hukum yang ada saat membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi sering juga dibutuhkan. Dalam proses pemikiran yang berbentuk penalaran, antara pengertian satu dengan yang lain dapat dihubungkan dan seterusnya diungkapkan dalam bentuk kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut kalimat tertutup atau disebut juga dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah merupakan bentuk terakhir yang akan di perbandingkan dalam penalaran. Oleh karena itu, dalam bab ini sebagai awal pembicaraan logika akan diuraikan berturut-turut tentang pengertian dan term, pembagian dan definisi, serta tentang pernyataan dan penalaran. Hubungan Antara Konsep, Proposisi dan Penalaran Hukum Untuk dapat berbuat lebih lanjut terhadap sesuatu, maka tindakan “mengerti” 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



merupakan langkah awal yang perlu dilakukan. Untuk mengkomunikasikan lebih lanjut apa yang dimengerti tersebut digunakan “bahasa”, digunakan “kata-kata”. Untuk dapat berpikir lebih lanjut secara tepat diperlukan pengertian-pengertian yang tepat pula. Akal budi yang memanfaatkan panca indra untuk menangkap gambaran tentang sesuatulah yang menimbulkan pengertian. Jadi, pengertian adalah tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dimengertinya melalui tangkapan pancaindra. Pengertian disebut pula sebagai konsep. Kemudian konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial yang dinyatakan dalam “istilah atau kata”. Untuk bisa mengkomunikasikan pengertian yang diperolehnya secara lebih bermakna maka



diperlukan alat pemikiran lebih lanjut yaitu “pernyataan atau



proposisi”. Contoh : a. Dalam Pasal 362 KUH Pidana ditentukan bahwa : “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. b. Dalam Pasal 372 KUH Pidana ditentukan bahwa : “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”. Sehubungan dengan pengertian dapat terjadi beberapa kemungkinan sebagai berikut : a. sinonim. b. istilah bermakna ganda. c. pengertian yang kabur.



Sinonim adalah istilah yang menyatakan pengertian yang sama. Sinonim terdapat baik dalam bahasa pergaulan (misalnya, goal = tujuan) maupun bahasa hukum misalnya vonis sama artinya dengan putusan hakim. Kemudian istilah bermakna ganda, misalnya desa di Bali dapat bermakna desa adat (desa pakraman) dan desa dinas (desa administrasi). Pengertian yang kabur maksudnya, pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara persis sehingga lingkupannya tidak jelas. Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa [Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



“Peraturan Daerah dapat dibatalkan jika bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi”. Kepentingan umum mempunyai makna yang kabur. Penalaran dalam hukum beranjak dari pengertian atau konsep. Salah satu cara yang seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah definisi. Definisi lazimnya dibedakan atas definisi nominal dan definisi riil. Definisi nominal terdiri atas tiga macam definisi yakni definisi leksikal, presisi dan definisi stipulatif. Dalam bidang hukum definisi yangpopuler adalah definisi presisi dan stipulatif. Namun demikian, ketiga definisi ini akan diuraikan sebagai berikut : a. Definisi leksikal. Ini adalah penentuan isi suatu pengertian berdasarkan pemakaian yang lazim dari istilah itu. Kebanyakan hal ini berkenaan dengan pemakaian istilah itu dalam bahasa pergaulan, tetapi juga dalam bahasa- bahasa teknikal pemakaian yang mapan (ajeg) dari istilah-istilah tertentu dengan isi yang khusus adalah mungkin. Definisi jenis ini sering ditemukan dalam kamus-kamus. b. Definisi presisi. Dalam bahasa sehari-hari sebuah kata atau frase seringkali mempunyai lebih dari satu arti dalam rumusan leksikal. Untuk kepastian hukum dan penegakan hukum secara fair dibutuhkan suatu batasan yang pasti tentang suatu konsep hukum. Sebagai contoh “keputusan tata usaha negara”. Rumusan KTUN harus pasti sehingga tidak menyulitkan dalam penetapan apakah suatu tindak pemerintahan termasuk kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Unsur kepastian tercermin dalam elemen-elemen yang mendukung konsep itu. Sebagai contoh, rumusan KTUN menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 didukung oleh enam unsur sebagai berikut :



1. penetapan tertulis; 2. oleh badan atau pejabat tata usaha negara; 3. merupakan tindakan hukum tata usaha negara; 4. bersifat konkret dan individual; 5. final; 6. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. c. Definisi stipulatif. Definisi stipulatif dapat berupa pengenalan terminologi baru atau memberikan pengertian baru terhadap term yang sudah ada. Dalam perkembangannya agar semakin banyak memperoleh pengertian yang 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



berdasarkan pengamatan empirik, dalam pemikiran tidak hanya terbentuk pengertianpengertian saja tetapi juga terjadi penggabungan dan perangkaian terhadap berbagai pengertian tersebut. Rangkaian pengertian disebut “proposisi atau pernyataan”. Contoh : Si A dihukum penjara dua bulan karena ia mencuri ayam. Apa yang dinyatakan dalam preposisi di atas adalah fakta yakni pengamatan yang dapat diuji kecocokannya secara empirik dengan menggunakan indera. Karena proposisi ini didasarkan atas pengamatan empirik maka disebut proposisi empirik. Tidak semua proposisi merupakan proposisi empirik tetapi ada yang kebenaran atau kesalahannya langsung nampak dalam pikiran sehingga oleh karenanya harus diterima. Proposisi demikian disebut proposisi mutlak (absolute statement atau necessary statement). Proposisi mutlak adalah jelas benar dengan sendirinya (self evident). Misalnya : - Duda itu adalah laki-laki yang pernah kawin. Proposisi atau pernyataan itu lambangnya dalam bahasa adalah berupa kalimat berita. Hanya kalimat beritalah yang dapat “benar atau salah”. Kalimat tanya atau kalimat perintah bukan lambang proposisi. Kalimat tanya masih mencari apakah ada hubungan diantara subyek dan predikat. Kalimat perintah justeru menuntut adanya hubungan diantara subyek dan predikat yang belum ada. Kalimat tanya dan kalimat perintah tidak menyatakan adanya suatu kaitan diantara subyek dan predikat padahal itulah yang merupakan inti dari proposisi.



D.KESIMPULAN Berdasarkan uraian dalam pembahasan sebelumnya, di akhir tulisan ini penulis akan menarik beberapa simpulan sebagai berikut: dalam penalaran hukum yang merupakan inti dari penalaran hukum itu sendiri. Dengan mengetahui pokok-pokok mazhab-mazhab tersebut, sekaligus juga dapat diamati berbagai corak pemikiran tentang hukum. Dengan demikian, sadarlah kita betapa kompleksnya hukum itu dengan berbagai sudut pandangnya. Hukum dapat diartikan bermacam-macam, demikian juga tujuan hukum. Setiap mazhab berangkat dari argumentasinya sendiri. Akhirnya, pemahaman terhadap mazhab-mazhab tersebut dapat membuat wawasan kita makin kaya dan terbuka dalam memandang hukum dan masalah-masalahnya.



[Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



F.DAFTAR PUSTAKA 



Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati ,Argumentasi Hukum,Gajahmada University Press ,Yogyakarta ,2005







I Dewa Gede Atmaja ,Penalaran Hukum ,Denpasar 2006







Buku ajar penalaran dan argumentasi hukum universitas udayana ,Denpasar ,2006



1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



[Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



[Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22



[Type here] 1



Philipus M. Hadjon, dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, h. 1. 18



I Dewa Gede atmadja, Op. cit. h. 13.



19 20



I Dewa Gede Atmadja, Penalaran Hukum (Legal Reasoning), Pengertian, Jenis, Dan Penerapannya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2006, h. 22