Fiqh Muammalah (Ijarah) [PDF]

  • Author / Uploaded
  • nafis
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IJARAH MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah Dosen Pengampu : Bpk. Muhammad Ulin Nuha



Disusun Oleh: 1. Ahmad Kholidun (1702056060) 2. Sandicka Niar (1702056061) 3.



Ahmad Nafis Syahbana (1702056062)



PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO 2018



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sewa (Ijarah) berasal dari kata al-ajru artinya ganti, upah atau menjual manfaat. Zuhaily (1989: 729) mengatakan, transaksi sewa (ijarah) identik dengan jual beli, tetapi dalam sewa (ijarah) pemilikan dibatasi dengan waktu. Secara istilah syariah, menurut ulama fiqih, antara lain disebutkan oleh Al-Jazairi (2005: 523), sewa (ijarah) dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga tertentu. Menurut Sabiq (1983: 194), sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989: 729), ia mengatakan bahwa sewa (ijarah) adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak pemilikan atas barang. Selanjutnya Zuhaily (1989: 729) mengemukakan pendapat mazhab Hanafiyah bahwa sewa (ijarah) adalah transaksi atas manfaat adanya transaksi atas kompensasi tertentu. Malikiyah mengatakan, sewa (ijarah), adalah pemindahan pemilikan manfaat tertentu yang diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah definisi Ijarah? 2. Bagaimanakah dasar hukum Ijarah? 3. Bagaimanakah rukun dan syarat Ijarah? 4. Macam macam Ijarah 5. Hikmah Ijarah



BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Ijarah Ijarah secara etimologi adalah masdar dari kata (ajara- ya’jiru), yaitu upah yang diberikan sebagai kompensasi sebuah pekerjaan. Al-ajru berarti upah atau imbalan untuk sebuah pekerjaan. Al-ajru makna dasarnya adalah pengganti, baik yang bersifat materi maupun immateri.1 Al-Syarbini mendefinisikan ijarah adalah akad untuk menukar manfaat suatu barang dengan sesuatu, dimana manfaat tersebut merupakan manfaat yang halal dan diperbolehkan oleh syara.2 Ulama Malikiyah dan Hanbaliyah mendefinisikan ijarah adalah pemilikian manfaat suatu barang yang mubah dengan penggantian.3 Ensiklopedia Fiqih mendefinisikan Ijarah adalah akad penukaran terhadap manfaat suatu barrang dengan harga atau dengan barang tertentu.4 Berbagai pernyataan diatas intinya memberikan pemahaman bahwa ijarah adalah akad untuk memberikan pengganti atau kompensasi atas penggunaan manfaat suatu barang. Ijarah merupakan akad kompensasi terhadap suatu manfaat barang atau jasa yang halal dan jelas.5 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 mendefinisikan ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran. Akad ijarah ada dua macam, yaitu ijarah atau sewa barang dan sewa tenaga atau jasa (pengupahan). Sewa barang pada dasarnya adalah jual beli manfaat barang yang disewakan, sementara sewa jasa atau tenaga adalah jual beli atas jasa atau tenaga yang disewakan tersebut. Keduanya boleh dilakukan bila memenuhi syarat ijarah.



Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016) h.101 Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Mukhtaj ila Ma’rifah al-Alfaz), (Digital Library, al-Maktabah alSyamilah al-Isdar al-Sani, 2005), IX/363. 3 Al-Syaikh al-Dardir, al-Syarh al-Kabir, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005) IV/2; lihat juga Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), V/398. 4 Anonim, al-Mausu’ah al-Fiqihiyah, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), II/229; lihat juga Anonim, al-Mausu’ah al-Fiqihiyah al-Kuwaitiyah, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), I/299. 5 Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar SyanqitI, Syarh Zad…, IX/61. 1 2



B. Dasar Hukum Ijarah Ulama bersepakat bahwa ijarah diperbolehkan. Ulama memperbolehkan ijarah berdasarkan legitimasi dari Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijma’. Legitimasi Al-Qur’an diantaranya: 1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 233: َّ ‫َّللاَ َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬ َّ ‫وف ۗ َواتَّقُوا‬ َ‫َّللاَ ِب َما ت َ ْع َملُون‬ ِ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َما آت َ ْيت ُ ْم ِب ْال َم ْع ُر‬ َ ‫ضعُوا أ َ ْو ََلدَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم ِإذَا‬ ِ ‫َو ِإ ْن أ َ َردْت ُ ْم أ َ ْن ت َ ْست َْر‬ ‫صير‬ ِ ‫َب‬ “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” 2. Firman Allah dalm surat At-Talaq ayat 6: ‫وره َُّن‬ َ ‫فَإ ِ ْن أ َ ْر‬ َ ‫ض ْعنَ لَ ُك ْم فَآتُوه َُّن أ ُ ُج‬ “…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya…” 3. Firman Allah dalam Surat Al-Qasas ayat 26-27: ْ َ‫قَال‬ ُ‫ت ا ْست َأ ْ ِج ْرهُ ۖ إِ َّن َخي َْر َم ِن ا ْستَأ ْ َج ْرتَ ْالقَ ِوي ْاْل َ ِمين‬ ِ َ‫ت إِحْ دَا ُه َما يَا أَب‬ ْ ‫ي ِح َججٍ ۖ فَإ ِ ْن أَتْ َم ْمتَ َع ْش ًرا فَ ِم ْن ِع ْندِكَ ۖ َو َما أ ُ ِريد ُ أَ ْن‬ َّ َ ‫قَا َل ِإنِي أ ُ ِريد ُ أ َ ْن أ ُ ْن ِك َحكَ ِإحْ دَى ا ْبنَت‬ َ ِ‫ي هَاتَي ِْن َعلَ ٰى أَ ْن ت َأ ُج َرنِي ث َ َمان‬ ُ َ‫أ‬ َّ ‫ست َِجدُنِي ِإ ْن شَا َء‬ َ‫صا ِل ِحين‬ َّ ‫َّللاُ ِمنَ ال‬ َ ۚ َ‫ش َّق َعلَيْك‬ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” Sementara legalitas dari al-Sunnah ada beberapa riwayat yang menyatakan disyariatkannya ijarah, antara lain: 1. Hadis riwayat dari Abdullah bin Umar:



“Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah saw. bersabda: Berikanlah upah orang yang bekerja sebelum keringatnya mongering”6 2. Hadis riwayat Abu Hurairah: “Allah SWT berfirman: “Ada tiga kelompok yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia menghianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang mempekerjakan seseorang, lalu pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan orang itu tidak membayarkan upahnya.”7 Selain legalitas dari ayat dan hadis diatas, ijarah diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama atau ijma’. Ijarah juga dilaksanakan berdasarkan qiyas. Ijarah diqiyaskan dengan jual beli, dimana keduanya sama-sama ada unsur jual beli, hanya saja dalam ijarah yang menjadi objek jual beli adalah manfaat barang.8 Praktik ijarah di Indonesia juga mendapat legitimasi dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 251-277.9 C. Rukun dan Syarat Ijarah Rukun Ijarah 1. Sighat ijarah, yaitu ijab qabuk berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak) 2. Pihak-pihak



yang



berakad



terdiri



atas



pemberi



sewa/pemberi



jasa



dan



penyewa/pengguna jasa. 3. Objek akad ijarah adalah: a. Manfaat barang dan sewa b. Manfaat jasa dan upah10 Adapun syarat-syarat sewa-menyewa meliputi hal-hal sebagai berikut:



Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Majah, Sunan Ibni Majah, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah alIsdar al-Sani, 2005), VII/398, hadis nomor 2537: Lihat juga Jalaluddin al-Suyuti, Jami’ a-Ahadis, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), V/61, hadis nomor 3738. 7 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), VIII/214, hadis nomor 2227; ‘Abu Abdullah bin Yazid al-Quzwaini Ibnu Majah, Sunan Ibni…, Jilid VII/397, hadis nomor 2536; Imam Ahmad, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), XVII/457, hadis nomor 8926. 8 Fahd bin ‘Ali al-Hasun, al-Ijarah al-Muntahiyah bil Tamlik fi al-Fiqih al-Islami, (Maktabah Misykah alIslamiyyahh, 2005), h.14. 9 Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, h. 103-105 10 Ghufron Ajib, Fiqih Muamalah II Kontemporer-Indonesia, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015)h. 130 6



1. Kedua belah pihak yang melakukan persetujuan sewa-menyewa haruslah berakal (waras). Maka tidak sah akadnya orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz. Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan syarat yang lebih ketat lagi, yaitu kedua belah pihak haruslah mencapai usia dewasa (balig). Menurut mereka tidak sah akadnya anak-anak, meskipun mereka telah dapat membedakan mana yang baik dari yang buruk (mumayyiz). 2. Ridla kedua belah pihak. Apabila salah satu pihak dipaksa menyewakan barangnya, maka sewa-menyewa itu tidak sah, berdasarkan Firman Allah: ‫اض ِم ْن ُك ْم‬ ِ َ‫يَا أَي َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬ ٍ ‫ارة ً َع ْن ت ََر‬ َ ‫اط ِل إِ ََّل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu” 3. Objek sewa-menyewa haruslah jelas manfaatnya. Hal ini perlu untuk menghindari pertengkaran di kemudian hari. Barang yang akan disewa itu perlu diketahui mutu dan keadaanya. Demikian juga mengenai jangka waktunya, misalnya sebulan, setahun atau lebih. persyaratan ini dikemukakan oleh fuqaha berlandaskan kepada maslahat, karena tidak sedikit terjadi pertengkaran akibat dari sesuatu yang samar. 4. Objek sewa-menyewa haruslah dapat dipenuhi (dilaksanakan) baik secara ril maupun formil. Karena itu segolongan fuqaha membenarkan persewaan barang-barang pengikut tanpa induknya, karena hal itu tidak dapat terpenuhi. Demikian pandangan madzhab Abu Hanifah. Adapun jumhur fuqaha, membenarkan persewaan barangbarang pengikut, justru menurut mereka, barang-barang pengikut itu bermanfaat dan dapat dipisahkan (dibagi) dari induknya, sebagimana halnya dalam jual beli. Tetapi jika manfaatnya itu kabur, maka sewa-menyewa itu rusak. 5. Barang sewaan haruslah dapat diserahkan dan dapat dimanfaatkan. Maka tidak sah menyewakan binatang yang lari (terlepas), tanah gersang untuk pertanian, dan lainlain yang tidak dapat dipergunakan sesuai dengan bunyi persetujuan (akad), untuk keperluan apa barang itu disewa. 6. Objek sewa-menyewa haruslah barang yang halal, bukan yang diharamkan dan bukan pula ibadah. Yang haram misalnya menyewa tukang pukul (algojo) untuk menganiaya



seseorang dan lain-lain perbuatan munkar. Demikian juga sewa-menyewa orang untuk mengerjakan sholat atau shaum. 7. Pembayaran (uang) sewa itu haruslah bernilai dan jelas. Jumlah pembayaran sewa itu hendaklah dirundingkan terlebih dahulu atau kedua belah pihak mengembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku, misalnya sewa mobil, sewa kapal, dan sebagainya, yang menurut kebiasaan sudah tertentu jumlahnya. D.Contoh Ijarah. Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam: Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewamenyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.11 Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.12 Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu: 13 Ijarah Khusus Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga. Ijarah Musytarak Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik.. Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan14 Wahbah al-Zuhailiy, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al Fikr, 1989), Jilid IV, h. 759 Ibid, h. 766 13 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), h. 133-134 14 Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995.), Juz II, h.184 11 12



E. Penentuan Upah dan Pembayaran Ijarah Masalah yang paling penting dalam ijarah adalah menyangkut pemenuhan hakhak musta’jir, terutama sekali hak untuk diperlakukan secara baik dalam lingkungan pekerjaan, hak-hak atas jaminan social, dan hak atas upah yang layak. Untuk itu perlu dikaji tentang ketentuan hak-hak musta’jir terutama tentang upah. Pembayaran upah adalah suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang menyewa/mengupah seseorang untuk melakukan pekerjaan. Upah adalah hak yang harus diterima oleh orang yang dipekerjakan setelah pekerjaan itu selesai dilakukan. Dalam ketentuan Islam dikatakan apabila seseorang menyewa atau mengupah seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan maka hendaklah pembayaran upah itu mereka tentukan terlebih dahulu. Sedangkan pembayaran upahnya yang tidak ada aturan yang mengaturnya perlu ada perjanjian dan dilaksanakan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk itu dalam perjanjian ijarah, penyewa dan yang memberikan jasa harus menetapkan kapan dan berapa jumlah upah atau sewa yang akan diterima, agar terjadi kesepakatan dan kerelaan diantara kedua belah pihak baik orang yang di sewa maupun orang yang menyewa, sehinga pekerjaan akan dilakukan dengan ihklas dan senang hati serta dapat mencegah terjadinya perselisihan. Pembayaran ini dapat dipercepat dan dapat pula ditangguhkan. Menurut Mazhab Hanafi mensyaratkan mempercepat upah dan menangguhkan upah boleh dengan syarat adanya kesepakatan dan kerelaan dari kedua belah pihak.15 Jika dalam akad tidak terdapat kesepakatan untuk mempercepat dan menangguhkan pembayaran upah, sekiranya upah itu bersifat dikaitkan dengan waktu tertentu, maka wajib dipenuhi sesudah berakhirnya masa tersebut. Misalnya seseorang memyewa sebuah toko untuk selama satu bulan, apabila masa satu bulan telah berakhir maka ia wajib membayar sewaan tersebut. Jika akad ijarah untuk pekerjaan, maka kewajiban untuk pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan tersebut.16 Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal, sesungguhnya ia berhak sesuai dengan akad itu sendiri, jika orang yang meyewakan menyerakan ‘ain kepada orang yang menyewa , ia berhak menerima seluruh bayaran karena si penyewa sudah memiliki kegunaan (manfaat) dengan sistem ijarah dan ia wajib menyerahkan bayaran agar dapat menerima ‘ain (agar ‘ain dapat diserahkan kepadanya).17 Dalam pembayaran upah dianjurkan untuk mempercepat pembayarannya dan jangan menundanunda pembayaran upah tersebut. Salah satu norma ditentukan islam adalah memenuhi hakhak musta’jir. Islam tidak membenarkan jika seorang pekerja mencurahkan jerih payah dan keringatnya sementara upah tidak di dapatkan dikurangi atau ditunda18



Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1971), Jilid III, h. 188-189 Ibid, h. 189 17 Ibid 18 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Perekonomian Islam, Penerjemah. Didin Hafidhuddun, dkk., Judul asli ”Daural Qiyam Wal Akhlaq fil Istishadil Islami”, (Jakarta: Robbani Press,1997), h. 403 15 16



Selanjutnya, perlu diketahui juga kapan upah harus dibayarkan oleh para mu’jir. Untuk menjawab itu Nabi saw mengatakan dalam haditsnya sebagai berikut: 19 ُ ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم أ َ ْع‬ َّ ‫سو ُل‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬ .)‫ع َرقُهُ (رواه ابن ماجه‬ ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ ُ ‫ع َم َر قَا َل قَا َل َر‬ َّ ‫ير أَجْ َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن يَ ِج‬ َ ‫ف‬ َ ‫طوا اْل َ ِج‬



Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .



Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi SAW memerintahkan, bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya, artinya upah musta’jir dibayarkan secepatnya atau dengan kata lain selesai bekerja langsung menerima upahnya. Jika menyewa barang, maka barang sewaan di bayar ketika akad sewa, kecuali jika di dalam akad ditentukan lain manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung. Jadi Allah melarang penindasan dengan mempekerjakannya tetapi tidak membayar upahnya. Di samping itu Rasulullah sendiri pernah melakukan pengupahan terhadap seorang bekam, namun Nabi karena telah menggunakan jasanya tetap menunaikan upahnya, sebagaimana yang terdapat dalam hadist sebagai berikut: ‫حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال احتجم النبى صل هللا عليه وسلم‬ 20



) ‫واعطى الحجام اجره (رواه البخاري‬



Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas r.a keduanya berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari) Dalam hadits berikutnya juga dijelaskan bahwa di akhirat ada tiga golongan yang diancam dan di musuhi oleh Allah kelak. Salah satu diantaranya adalah majikan yang mempekerjakan seorang buruh kemudian tidak memberikan haknya secara layak, tidak membayar upahnya padahal buruh telah memenuhi kewajibannya dengan semestinya. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut: ‫حد ثنا يوسف بن محمد قال حد ثني يحي بن سليم عن إسما عيل بن أمية عن سعيد بن أبي سعيد عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬ ‫ ورجل باع حرا فأ‬،‫ رجل اعطى بي ثم غدر‬:‫ ثَل ثة انا خضمهم يوم القيامة‬:‫عن النبي صل هللا عليه و سلم قال قال هللا تعالى‬ 21 ‫ ورجل استأ جر أجيرا فاستوفى منه ولم يعطه اجره (رواه البخاري‬،‫كل ثمنه‬



Muhammad bin Yazid Abu ‘Abdullah al-Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar al- Fikr, 2004), Jilid II, h. 20 uhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, 2007), Ed.5 h. 407 21 Ibid, h. 405 19 20



Artinya: ”Dari Yusuf bin Muhammad berkata: menyampaikan kepadaku Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah R.A dari Nabi SAW bersabda:”Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang aku musuhi di hari kiamat yaitu: orang yang berjanji dengan nama-Ku, kemudian dia berkhianat, orang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh lalu ia ambil tenaganya dengan cukup tetapi tidak memberikan upahnya” (H.R. Bukhari) F. Hikmah Ijarah Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.22[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain: Membina ketentraman dan kebahagiaan Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah. Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.23 Memenuhi nafkah keluarga Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. 1.Memenuhi hajat hidup masyarakat Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama. 2.Menolak kemungkaran Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.24 Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hamzah Ya’qup, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung: Diponegoro,1992), Cet. 2. h. 319 Helmi Karim, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), Cet. 1 24 Hamzah Ya’qup, op .cit., h. 47 22 23