Fraktur Dan Dislokasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FRAKTUR DAN DISLOKASI Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Non Menular Dosen Pengampu: drg. Yunita Dyah Puspita Santik



Nama Anggota: 1. Jony Saputra



(6411412163)



2. Siti Qoniatul L



(6411412168)



3. Marsya Savitri R



(6411412176)



4. Nurul Ristiana



(6411412199)



Rombel: 5 (Lima)



JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014



BAB I PEMBAHASAN FRAKTUR DAN DISLOKASI 1.1 Definisi 1.1.1 Definisi Fraktur Fraktur (patah tulang) merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, lempeng epifisis, atau tulang rawan sendi baik yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma. Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di sekitar tulang. Secara diklasifikasikan



umum,



keadaan



patah



tulang



secara



klinis



dapat



sebagai fraktur terbuka, fraktur tertutup dan fraktur dengan



komplikasi. Fraktur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar. Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion, delayed union, nounion dan infeksi tulang. Berdasarkan lokasinya fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau), diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang



panjang tediri dari diafisis (corpul/shaft)



yang berasal dari pusat



penulangan sekunder. Epifisis, terletak di ujung tulang panjang. Bagian dari diafisis yang terletak paling dekat dengan epifisis



disebut



metafisis,



yaitu



bagian dari korpus yang melebar. Fraktur dapat terjadi pada bagian-bagian tersebut. Klasifikasi Fraktur Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).



1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. b. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur. 1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. 2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang



seperti: a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c.



Berdasarkan



bentuk



garis



patah



dan



hubungannya



dengan



mekanisme trauma. 1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. d. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.



2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. 2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a)



Dislokasi



ad



longitudinam



cum



contractionum



(pergeseran



searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). 1.1.2 Definisi Dislokasi Dislokasi adalah kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplit atau lengkap. Dislokasi merupakan keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Dislokasi dapat terjadi satu sisi (unilateral) atau dua sisi (bilateral) dan dapat bersifat akut atau emergency, kronis atau long standing, serta kronis yang bersifat recurrent yang dikenal dengan dislokasi habitual, sehingga penderita akan mengalami kelemahan yang sifatnya abnormal dari kapsula pendukung dan ligamen. Pada sebagian besar kasus, dislokasi terjadi secara spontan saat membuka mulut terlalu lebar, misalnya menguap, berteriak, makan, bernyanyi atau pada saat perawatan gigi. Dislokasi dapat pula terjadi pada saat manipulasi airway dalam tindakan anesthesia, dan pada kasus trauma pada rahang yang umunya terjadi oleh



karena kekuatan benturan kearah bawah dari mandibula pada saat membuka mulut sebagian. Klasifikasi Dislokasi Klasifikasi dislokasi menurut penyababnya terdiri atas: 1. Dislokasi congenital, terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul. 2. Dislokasi spontan atau patologik, akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang 3. Dislokasi traumatic, kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Dislokasi berdarsarkan tipe kliniknya dapat dibagi menjadi : 1. Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi 2. Dislokasi Berulang/Kronis Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.



1.2 Epidemiologi 1.2.1 Epidemiologi Fraktur 1. Distribusi Frekuensi a) Berdasarkan Orang Fraktur lebih sering terjadi pada laki – laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah raga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor. Mobilisasi yang lebih banyak dilakukan oleh laki – laki menjadi penyebab tingginya risiko fraktur. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada laki – laki yang berhubungan dengan meningkatnya insidens osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause. Tahun 2001, di Amerika Serikat terdapat lebih dari 135.000 kasus cedera yang disebabkan olahraga papan selancar dan skuter. Dimana kasus cedera terbanyak adalah fraktur 39% yang sebagian besar penderitanya laki – laki dengan umur di bawah 15 tahun. Di Indonesia, jumlah kasus fraktur yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas 4 kali lebih banyak terjadi pada laki – laki daripada perempuan. b) Berdasarkan Tempat dan Waktu Di negara maju, masalah patah tulang pangkal paha atau tulang panggul merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mendapat perhatian serius karena dampak yang ditimbulkan bisa mengakibatkan ketidakmampuan penderita dalam beraktivitas. Menurut penelitian Institut Kedokteran Garvan tahun 2000 di Australia setiap tahun diperkirakan 20.000 wanita mengalami keretakan tulang panggul dan dalam setahun satu diantaranya akan meninggal karena komplikasi. Di negara – negara Afrika kasus fraktur lebih banyak terjadi pada wanita karena peristiwa terjatuh berhubungan dengan penyakit Osteoporosis. Di Kamerun pada tahun 2003, perbandingan insidens fraktur pada kelompok umur 50 – 64 tahun yaitu, pria 4,2 per 100.000 penduduk, wanita 5,4 per 100.000 penduduk. Angka yang lebih tinggi di Maroko pada tahun 2005 insidens fraktur pada pria 43,7 per 100.000 penduduk dan wanita 52 per 100.000 penduduk.



Di Indonesia jumlah kasus fraktur akibat kecelakaan lalu lintas meningkat seiring pesatnya peningkatan jumlah pemakai kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan penelitian dari Depkes RI tahun 2000, di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung terdapat penderita fraktur akibat kecelakaan lalu lintas sebanyak 444 orang. 2. Determinan Fraktur a) Faktor Manusia Beberapa faktor yang berhubungan dengan orang yang mengalami fraktur atau patah tulang antara lain dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, aktivitas olah raga dan massa tulang. 1. Umur Pada kelompok umur muda lebih banyak melakukan aktivitas yang berat daripada kelompok umur tua. Aktivitas yang banyak akan cenderung mengalami kelelahan tulang dan jika ada trauma benturan atau kekerasan tulang bisa saja patah. Aktivitas masyarakat umur muda di luar rumah cukup tinggi dengan pergerakan yang cepat pula dapat meningkatkan risiko terjadinya benturan atau kecelakaan yang menyebabkan fraktur. Insidens kecelakaan yang menyebabkan fraktur lebih banyak pada kelompok umur muda pada waktu berolahraga, kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dari ketinggian. Berdasarkan penelitian Nazar Moesbar tahun 2007 di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan terdapat sebanyak 864 kasus patah tulang, di antaranya banyak penderita kelompok umur muda. Penderita patah tulang pada kelompok umur 11 – 20 tahun sebanyak 14% dan pada kelompok umur 21 – 30 tahun sebanyak 38% orang. 2. Jenis Kelamin Laki – laki pada umumnya lebih banyak mengalami kecelakaan yang menyebabkan fraktur yakni 3 kali lebih besar daripada perempuan. Pada umumnya Laki – laki lebih aktif dan lebih banyak melakukan aktivitas daripada perempuan. Misalnya aktivitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera. Cedera patah tulang umumnya lebih banyak terjadi karena kecelakaan lalu lintas. Tingginya kasus patah tulang akibat kecelakaan lalulintas pada laki –laki dikarenakan laki – laki mempunyai perilaku



mengemudi dengan kecepatan yang tinggi sehingga menyebabkan kecelakaan yang lebih fatal dibandingkan perempuan. Berdasarkan penelitian Juita, pada tahun 2002 di Rumah Sakit St. Elisabeth Medan terdapat kasus fraktur sebanyak 169 kasus dimana jumlah penderita laki–laki sebanyak 68% dan perempuan sebanyak 32%. 3. Massa Tulang Massa tulang yang rendah akan cenderung mengalami fraktur daripada tulang yang padat. Dengan sedikit benturan dapat langsung menyebabkan patah tulang karena massa tulang yeng rendah tidak mampu menahan daya dari benturan tersebut. Massa tulang berhubungan dengan gizi tubuh seseorang. Dalam hal ini peran kalsium penting bagi penguatan jaringan tulang. Massa tulang yang maksimal dapat dicapai apabila konsumsi gizi dan vitamin D tercukupi pada masa kanak – kanak dan remaja. Pada masa dewasa kemampuan mempertahankan massa tulang menjadi berkurang seiring menurunnya fungsi organ tubuh. Pengurangan massa tulang terlihat jelas pada wanita yang menopause. Hal ini terjadi karena pengaruh hormon yang berkurang sehingga tidak mampu dengan baik mengontrol proses penguatan tulang misalnya hormon estrogen. b) Faktor Perantara Agent yang menyebabkan fraktur sebenarnya tidak ada karena merupakan peristiwa penyakit tidak menular dan langsung terjadi. Namun bisa dikatakan sebagai suatu perantara utama terjadinya fraktur adalah trauma benturan. Benturan yang keras sudah pasti menyebabkan fraktur karena tulang tidak mampu menahan daya atau tekanan yang ditimbulkan sehingga tulang retak atau langsung patah. Kekuatan dan arah benturan akan mempengaruhi tingkat keparahan tulang yang mengalami fraktur. Meski jarang terjadi, benturan yang kecil juga dapat menyebabkan fraktur bila terjadi pada tulang yang sama pada saat berolahraga atau aktivitas rutin yang menggunakan kekuatan tulang di tempat yang sama atau disebut juga stress fraktur karena kelelahan. c) Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya fraktur dapat berupa kondisi jalan raya, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang, lantai yang



licin dapat menyebabkan kecelakaan fraktur akibat terjatuh. Aktivitas pengendara yang dilakukan dengan cepat di jalan raya yang padat, bila tidak hati – hati dan tidak mematuhi rambu lalu lintas maka akan terjadi kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas yang terjadi banyak menimbulkan fraktur. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis Makmal Terpadu Imunoendokrinologi FKUI di Indonesia pada tahun 2006 dari 1690 kasus kecelakaan lalu lintas proporsi yang mengalami fraktur adalah sekitar 20%. Pada lingkungan rumah tangga, kondisi lantai yang licin dapat mengakibatkan peristiwa terjatuh terutama pada lanjut usia yang cenderung akan mengalami fraktur bila terjatuh. Data dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2005 terdapat 83 kasus fraktur panggul, 36 kasus fraktur tulang belakang dan 173 kasus pergelangan tangan, dimana sebagian besar penderita wanita >60 tahun dan penyebabnya adalah kecelakaan rumah tangga. 1.2.2 Epidemilogi Dislokasi Ras bukan merupakan faktor risiko untuk dislokasi. Dislokasi lebih sering terjadi pada laki-laki muda dari pada orang yang karena cedera yang berhubungan dengan perilaku berisiko.Dislokasi akibat cedera traumatik lebih umum pada mereka yang lebih muda dari 35 tahun dibandingkan orang tua. Dislokasi akibat jatuh lebih umum pada mereka dari 65 tahun lebih tua. Dislokasi sering terjadi pada atlet. Seorang peneliti mengidentifikasi distribusi dimodal dislokasi sendi bahu primer dengan puncak dalam dekade kedua dan keenam. Dalam 95% kasus keseluruhan, dislokasi bahu yang terjadi mengarah ke anterior. Terdapat beberapa fraktur yang berhubungan dengan dislokasi bahu anterior yaitu kelainan Hill-Sachs dengan kasus sebanyak 35-40% dari kasus yang ada, lesi Bankart dan fraktur dari greater tuberosity dengan kasus sebanyak 10-15% dari kasus yang ada. Sekitar 4% dari kasus yang ada, dislokasi terjadi ke arah posterior. Sekitar 0,5% dari semua dislokasi yang ada, terjadi dislokasi ke arah inferior (luxatio erecta). Dan dislokasi ke arah superior jarang sekali ditemukan, angka kejadiannya lebih kecil dari dislokasi ke arah inferior.



Komplikasi penting dari dislokasi primer adalah dislokasi berulang. Berdasarkan studi yang dilakukan, sekitar 70% dari mereka yang telah mengalami dislokasi memiliki kemungkinan untuk mengalami dislokasi berulang dalam waktu 2 tahun sejak cedera pertama. Penderita yang lebih muda dan lebih tua memiliki insiden dislokasi bahu primer yang sebanding. Namun keadaan dislokasi berulang sangat bergantung pada usia dan lebih sering terjadi pada populasi remaja dibandingkan dengan populasi yang lebih tua. Telah dilaporkan bahwa dislokasi rekuren pada 66% sampai 10% pada individu berusia 20 tahun atau lebih muda, 13% sampai 63% dari individu berusia antara 20 tahun dan 40 tahun. Dan 0% sampai 16% dari individu berusia 40 tahun atau lebih. (Donnateli, 1991) Dislokasi bahu cenderung lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena tipe olahraga yang dilakukan. 1.3 Etiologi 1.3.1 Etiologi fraktur Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma (kekerasan) dan peristiwa patologis. 1. Peristiwa Trauma (kekerasan) a) Kekerasan langsung Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring. b) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vector kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila



jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah. c) Kekerasan akibat tarikan otot Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. 2. Peristiwa Patologis a) Kelelahan atau stress fraktur Fraktur ini terjadi pada orang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya.Tulang akan mengalami perubahan structural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang. b) Kelemahan Tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolism tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur. 1.3.2 Etiologi Dislokasi Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh factor penyakit atau trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital). Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.



Dislokasi disebabkan oleh : 1. Cedera Olah Raga Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola, hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya: terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari kaki karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain. 2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga, benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. 3. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. 4. Patologis, terjadinya ”tear” ligament dan kapsul articuler yang merupakan komponen vital penghubung tulang. 1.4 Patofisiologi 1.4.1 Patofisiologi Fraktur Saat terjadi peristiwa trauma atau peristiwa patologis pembuluh darah pada lokasi cedera akan melebar (vasodilatasi) dengan maksud untuk mengirim lebih banyak nutrisi dan oksigen dalam rangka mendukung penyembuhan. Pelebaran pembuluh darah ini lah yang mengakibatkan lokasi cedera terlihat lebih merah (rubor). Cairan darah yang banyak dikirim di lokasi cedera akan merembes keluar dari kapiler menuju ruang antar sel, dan menyebabkan bengkak (tumor). Dengan dukungan banyak nutrisi dan oksigen, metabolisme di lokasi cedera akan meningkat dengan sisa metabolisme berupa panas. Kondisi inilah yang menyebabkan lokasi cedera akan lebih panas (kalor) dibanding dengan lokasi lain. Tumpukan sisa metabolisme dan zat kimia lain akan merangsang ujung saraf di lokasi cedera dan menimbulkan nyeri (dolor). Rasa nyeri juga dipicu oleh tertekannya ujung saraf karena pembengkakan yang terjadi di lokasi cedera. Baik rubor, tumor, kalor, maupun dolor akan menurunkan fungsi organ atau sendi di lokasi cedera yang dikenal dengan istilah functiolaesa.



1.4.2 Patofisiologi Dislokasi Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus terdorong kedepan, merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadangkadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid). Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi. 1.5 Gejala 2.5.1 Gejala Fraktur Gejala umum fraktur menurut Reeves (2011) adalah rasa sakit, pembengkakan dan kelainan bentuk. Gejala



klasik



fraktur



adalah



adanya



riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Adapun tanda dan gejala fraktur secara umum adalah sebagai berikut: a. Deformitas (perubahan struktur atau bentuk) b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan pembuluh darah c. Ekimosis (perdarahan subkutan) d. Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur e. Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur f. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan syaraf, dimana syaraf ini terjepit atau terputus oleh fragmen tulang



g. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau spasme otot h. Pergerakan abnormal i. Krepitasi (adanya bunyi derik karena sendi/fragmen tulang yang bergeser) yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakan j. Hasil foto rontgen yang abnormal 2.5.2 Gejala Dislokasi a. Deformitas - Hilangnya tonjolan tulang yang normal, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu. - Pemendekan atau pemanjangan (misalnya dislokasi anterior sendi panggul) - Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan endorotasi, fleksi dan aduksi. b. Nyeri Rasa nyeri terdapat sering terjadi pada dislokasi Sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi pangkal paha servikal. c. Functio Laesa Dislokasi menimbulkan perubahan, keterbatasan atau kehilangan dari fungsi yang seharusnya, misalnya bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu. d. Pembengkakan Pembengkan ini dapat parah pada kasus trauma dan dan dapat menutupi deformitasnya 2.6 Diagnosa 2.6.1 Dianosa Fraktur Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak



di bagian tulang



diskrepansi),



gangguan



yang



patah,



deformitas



(angulasi,



rotasi,



fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya



kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada,



secara



klinis



diagnose



fraktur



dapat



ditegakkan walaupun jenis



konfigurasinya belum dapat ditentukan. 1. Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obatobatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Bila tidak ada riwayat trauma berat fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma ditempat lain secara sistemik dari kepala, muka, leher, dada dan perut. 2. Pemeriksaan Fisik Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti polafraktur multiple, fraktur pelvis, fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi. Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni : a. Inspeksi/look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. b. Palpasi/feel (nyeri tekan, krepitasi) Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. c. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi. Pemeriksaan gerakan/moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur. Pemeriksaan trauma di tempat lain abdomen, pelvis.



meliputi kepala, toraks,



2.6.2 Diagnosa Dislokasi Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis. 1. Anamnesis - Ada trauma - Mekanisme trauma yang sesuai, misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu. 2. Pemeriksaan klinis. - Deformitas. Terdapat kelainan bentuk misalnya hilangnya tonjolan tulang normal, misalnya deltoid yang rata pada dislokasi bahu, Perubahan panjang ekstremitas, Kedudukan yang khas pada dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan sendi panggul endorotasi, fleksi dan abduksi. - Nyeri - Funtio laesa gerak terbatas. 3. Pemeriksaan radiologis. Untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur, pada dislokasi lama pemeriksaan radiologis lebih penting oleh karena nyeri dan spasme otot telah menghilang 2.7 Penatalaksanaan 2.7.1 Penatalaksaan Fraktur  Terapi Prinsip



penanganan



fraktur



meliputi



reduksi,



imobilisasi,



dan



pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya. Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan



manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi



merupakan



salah



satu



pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan beban keduanya untuk menyokong tulang dengan



tujuan mencegah



reposisi deformitas,



mengurangi



fraktur dan



dislokasi, mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot, mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan mengimobilisasi area spesifik tubuh. Besarnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Reduksi



terbuka



diindikasikan jika reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat, skrup dan plat. Reduction interna fixation (orif) yaitu dengan pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara bersamaan. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, skrup, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahapan



selanjutnya



setelah



fraktur



direduksi



adalah



dengan



mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang dapat dilakukan dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau status meurovaskular, latihan isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.  Pencegahan Untuk mencegah terjadinya fraktur dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:



1. Mengkonsumsi makanan yang tinggi kalsium. Para ahli gizi merekomendasikan jumlah konsumsi kalsium sebagai berikut: a. b. c. d.



Laki-laki dewasa dibawah 65 tahun: 1000 mg kalsium/hari Laki-laki dewasa diatas 65 tahun: 1500 mg kalsium/hari Perempuan dewasa sebelum menopause: 1200 mg kalsium/hari Perempuan dewasa setelah menopause: 1500 mg kalsium/hari 2. Berhenti merokok Merokok tidak hanya menimbulkan bahaya bagi paru-paru kita namun juga mrupakan faktor resiko yang penting dalam terjadinya osteoporosis. Merokok akan meningkatkan resiko seseorang mengalami osteoporosis sampai 10%. 3. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol Konsumsi alkohol berlebihan juga akan meningkatkan resiko seseorang terkena osteoporosis. Selain mnghambat penyerapan kalsium dan



menghambat



pembentukan



vitamin



D,



alkohol



juga



dapat



meningkatkan resiko patah. Konsumsi alkohol dianjurkan untuk dibatasi satu gelas sehari untuk wanita dan dua gelas sehari untuk pria. 4. Olahraga teratur Olahraga yang tepat dan teratur akan meningkatkan kepadatan tulang serta membuat tubuh lebih segar. Ketika masih muda (usia