Fraktur Dentoalveolar Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPANITERAAN KERUMAHSAKITAN (BEDAH MULUT)



PENGELOLAAN FRAKTUR DENTOALVEOLAR



Disusun oleh : Wahyu Septian Erliani Tantri Harsono Euis Sugiarti



09/280097/KG/8381 09/280502/KG/8403 09/280649/KG/8415



BAGIAN ILMU BEDAH MULUT FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015



I. PENDAHULUAN Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik (Banks dan Brown, 2001). Menurut Tiwana epidemiologi fraktur dentoalveolar serupa dengan epidemiologi fraktur maksilofasial. Puncak insidensi terjadi pada anak usia 2 - 3 tahun, sebagai akibat sekunder perkembangan koordinasi neuromuskular. Pada gigi tetap, puncak insidensi terjadi pada anak usia 10 tahun saat dimulainya aktivitas atletik. Etiologi yang paling sering dilaporkan adalah akibat jatuh dan kecelakaan olahraga. Seiring pertambahan usia, etiologi paling banyak adalah kecelakaan lalu lintas dan perkelahian (Sirait dkk, 2008).



Insidensi fraktur dentoalveolar sering terjadi di Indonesia, maka dari itu penting untuk memahami berbagai hal mengenai fraktur dentoalveoar seperti definisi dari pengertian, etiologi, insidensi, klasifikasi, tanda-tanda klinis, perawatan/penanggulangan trauma ecara umum, perawatan segera, perawatan fraktur mahkota/akar gigi, avulsi gigi dan perawatan, alat restorasi semi tetap, penanggulangan gigi sulung yang terkena trauma, dan macam-macam alat stabilisasi.



1



II. TINJAUAN PUSTAKA



A. Pengertian Fraktur Dentoalveolar Fraktur dentoalveolar didefinisikan sebagai fraktur yang meliputi avulsi, subluksasi, atau fraktur gigi yang berkaitan dengan fraktur tulang alveolar. Fraktur dentoalveolar dapat terjadi tanpa atau disertai dengan fraktur bagian tubuh lainnya, biasanya terjadi akibat kecelakaan ringan seperti jatuh, benturan saat bermain, berolahraga atau iatrogenik (Banks dan Brown, 2001).



Trauma dentoalveolar terdiri dari fraktur, subluksasi atau terlepasnya gigi-gigi (avulsi), dengan atau tanpa adanya hubungan dengan fraktur yang terjadi di alveolus, dan mungkin terjadi sebagai suatu kesatuan klinis atau bergabung dengan setiap bentuk fraktur lainnya. Salah satu fraktur yang umum terjadi bersamaan dengan terjadinya trauma wajah adalah kerusakan pada mahkota gigi, yang menimbulkan fraktur dengan atau tanpa terbukanya saluran pulpa (Baumann dkk, 2004). B. Insidensi Insidensi fraktur adalah sekitar 5%, Ellis melaporkan suatu insidensi 4,2%, dan Grundy melaporkan suatu insidensi sebesar 5,1%. Hal itu berarti apabila terdapat 100 orang, maka 5 diantaranya mengalami fraktur dentoalveolar. Anak laki-laki mempunyai sekitar 2 sampai 3 kali lebih banyak gigi yang patah daripada anak perempuan. Karena begitu banyak kecelakaan gigi yang berhubungan dengan olah raga,maka sebaiknya tiap usaha perlindungan diadakan untuk melindungi gigi anak-anak terhadap kecelakaankecelakaan tersebut dengan menggunakan program pendidikan di samping menggunakan pelidung mulut. C. Etiologi Penyebab terjadinya fraktur dentoalveolar diantaranya adalah karena trauma facial seperti trauma athletik, terjatuh, kecelakaan industri, kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. Penyebab lainnya adalah akibat dari prosedur iatrogenik pada pencabutan gigi. D. Gambaran klinis fraktur dentoalveolar Fraktur dentoalveolar biasanya berupa fraktur terbuka sehingga rentan terhadap infeksi. Fraktur yang terjadi pada tulang alveolar dapat meluas sampai keperbatasan 2



tulang. Pada segmen yang fraktur sering ditemukan pergerakan, pergeseran segmen, dan dislokasi. Terjadi perubahan oklusal akibat ketidaksejajaran dari segmen alveolar yang fraktur. Tes sensitivitas pada gigi di daerah fraktur dapat positif atau negatif. Pada fraktur tulang alveolar, gigi dapat mengalami perubahan posisi, gigi dapat menjadi luksasi, avulsi, atau impaksi. E. Gambaran radiografis Pada fraktur dentoalveolar garis fraktur dapat terlokalisasi, dari tepi tulang alveolar sampai apeks akar. Teknik panoramik sangat membantu dalam menentukan bagian dan posisi garis fraktur. Garis fraktur dapat terlihat dengan atau tanpa adanya pemisahan fragmen. Periapical dental radiographs dapat memberikan informasi mengenai status gigi geligi di daerah tulang alveolar yang mengalami fraktur. F. Klasifikasi 1. Klasifikasi fraktur gigi Ellis berdasarkan kerusakan struktur gigi : a)



Klas I



: Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa



b)



perubahan tempat, menunjukkan luka kecil chipping dengan kasar. Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau tanpa perubahan tempat. Pasien mungkin mengeluh rasa sakit untuk menyentuh dan kepekaan terhadap udara. Mengakibatkan paparan kuning



c)



pucat sebagai proses dentinal yang berkomunikasi langsung dengan pulpa. Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa perubahan tempat. pasien mengeluh sakit dengan manipulasi, udara, dan suhu. Tanda merah muda atau kemerahan di sekitar dentin sekitarnya atau darah di tengah-tengah gigi dari pulpa terkena mungkin hadir.



http://dentalbooksdrbassam.blogspot.in/ d)



Klas



IV



Gigi mengalami trauma



3



:



sehingga gigi menjadi non vital dengan atau e)



tanpa hilangnya struktur



mahkota Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma



http://dentalbooksdrbassam.blogspot.in/ f) Klas



VI



:



Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota http://dentalbooksdrbassam.blogspot.in/ g) Klas



VII



Perpindahan atau



: gigi



tanpa



fraktur



mahkota atau akar gigi http://dentalbooksdrbassam.blogspot.in/ h) Klas



Fraktur



VIII



:



mahkota



sampai akar http://dentalbooksdrbassam.blogspot.in/ i)



Klas



Fraktur



IX



pada



: gigi



desidui (Ellis,1970)



2.



Berdasarkan sistem



WHO a.



Fraktur terhadap jaringan keras gigi dan pulpa



Injury Enamel infraction



Criteria Fraktur mahkota yang tidak sempurna pada



4



enamel tanpa kehilangan substansi gigi Enamel fracture (uncomplicated) Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel Enamel-Dentin fracture Fraktur dengan kehilangan substansi gigi (uncomplicated) pada enamel dan dentin Complicated crown fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin hingga pulpa terbuka Uncomplicated crown-root Fraktur yang melibatkan enamel, dentin fracture dan sementum, tapi tidak membuka pulpa Complicated crown-root fracture Fraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, dan membuka pulpa Root fracture Fraktur yang melibatkan dentin dan sementum, dan pulpa b. Fraktur terhadap jaringan periodontal Injury



Criteria Luka pada jaringan pendukung gigi tanpa pelepasan abnormal atau perpindahan dari gigi, tetapi bereaksi terhadap perkusi Subluxation (loosening) Luka pada jar.pendukung gigi dengan pelepasan abnormal, tetapi dengan perpindahan gigi Extrusive luxation (peripheral Perpindahan sebagian dari gigi dari dislocation, partial avulsion) soketnya Lateral luxation Perpidahan gigi dengan arah selain aksial. Diikuti dengan fraktur soket alveolar Intrusive luxation (central Perpindahan gigi ke tulang alveolar. Diikuti dislocation) dengan fraktur soket alveolar Avulsion (exarticulation) Perpindahan gigi sepenuhnya keluar dari soket c. Fraktur terhadap tulang pendukung Concussion



Injury Comminution (pengurangan secara bertahap partikel kecil) of the maxillary alveolar socket Comminution of the mandibular alveolar socket Fraktur dinding soket alveolar maksila Fraktur dinding soket alveolar mandibula Fraktur prosesus alveolar maksila Fraktur prosesus alveolar mandibula Fraktur maksila dan Mandibula



Criteria Hancurnya dan penekanan pada soket alveolar. Kondisi ini ditemukan dengan terjadinya intrusive dan lateral luxation Fraktur yang terbatas pada bagian fasial atau oral dinding soket Fraktur prosesus alveolar, dengan/ tidak melibatkan soket alveolarnya Fraktur yang melibatkan dasar maksila



5



atau mandibula dan prosesus alveolaris (fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/ tidak melibatkan soket alveolar d. Fraktur pada gingival atau mukosa oral Injury Laserasi gingiva atau mukosa oral Contusion gingiva atau mukosa oral



Criteria Luka yang dangkal/ dalam pada mukosa akibat robekan, biasanya oleh benda tajam Luka memar akibat tekanan oleh benda tumpul, tidak diikuti robeknya mukosa, biasanya menyebabkan hemoragi submukosa Abrasi gingiva atau mukosa Luka pada superfisial akibat gosokan atau oral kikisan pada mukosa, menghasilkan suatu lecet dan permukaan yang berdarah G. Tanda – Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi. Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisaa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.



H. Prinsip Penanganan pada Pasien Fraktur a. Reposisi dan reduksi Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar secara anatomi. Dapat dialkukan dengan berbagai instrumen saat operasi, seperti manual dengan tangan, dengan raspatorium, tang reposisi Rowe (seperti pada operasi ortognatik) atau perkutan dengan elevator stromeyer. b. Retensi Dapat menggunakan miniplat, sekrup, maupun kawat (sudah jarang digunakan). Pada pasien anak, penggunaan plat pada tahap retensi harus dilakukan tanpa merusak benih gigi permanen. Plat sebaiknya diletakkan pada posisi kaudal dari benih gigi permanen. c. Fiksasi



6



Tujuan dari fiksasi adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat retensi tidak bergerak selama masa awal penyembuhan. Fiksasi dapat menggunakan metode MMF (fiksasi maksilomandibular). MMR dapat dilakukan baik menggunakan splin, arch bar, ligatur kawat, maupun miniscrew(Budiharjo dan Rahmat, 2011). Penyembuhan tulang pada daerah fraktur membutuhkan aposisi fragmen fraktur yang tertutup dan imobilitas fragmen selama kurang lebih 6 minggu. Waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan tulang ini dapat menjadi lebih cepat pada anak-anak, ataupun menjadi lebih lama pada pasien usia lanjut. (Coulthard et al.,2003) d. Mobilisasi Mobilisasi dini setelah fraktur tidak hanya penting untuk kenyamanan pasien, melainkan juga penting untuk mencegah ankilosis pada sendi rahang pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan napas orofaringeal pada fungsi normal dan mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat beraktifitas dengan normal (fungsi sosial) (Budiharjo dan Rahmat, 2011) F. Terapi Fraktur



Secara umum, perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed atau konservatif) atau terbuka (open atau operatif). Pilihan antara terapi fraktur konservatif dan operatif dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: jenis fraktur, tingkat keparahan fraktur, kondisi umum pasien, dan keadaan sosioekonomi pasien. Pada fraktur tertutup dan simpel dapat dilakukan terapi konservatif dengan MMF. Fraktur tanpa displacement umumnya juga tidak memerlukan intervensi bedah. 1. Terapi Konservatif Terapi fraktur konservatif dilakukan tanpa operasi terbuka (open reduction), dan umumnya dicapai dengan melakukan fiksasi maksilofasial mandibular (MMF). MMF dilakukan setelah reposisi fraktur ke posisi yang benar secara anatomis, secara tertutup (umumnya dipakai oklusi gigi sebagai patokan). Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan 3 metode :



7



a. Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur dental, splint dental,



arch bar) - Ligatur dental pada umunya hanya bersifat sementara dan hanya pada kasus-kasus tertentu digunanakan sebagai alat terapi yang definitif



karena kurangnya



stabilitas dalam jangka waktu lama. Ada beberapa tipe yang sering digunakan seperti ligatur dental dari Ernst, Ivy, maupun Stout.



8



9



Ligatur Stout Ligatur Ivy -



Ligatur Essig Arch bar umumnya dipasang pada gigi-gigi rahang atas dan bawah untuk Maxillo Mandibular Fixation (MMF). Setelah proses ligasi baru dilakukan MMF. MMF dapat dilakukan dengan menggunakan karet (rubber) maupun menggunakan kawat berukuran 0.04 mm. Selain itu, dapat juga digunakan ligatur gilmer sebagai pengganti arch bar untuk MMF. 10



Arch bar (https://www2.aofo undation.org) b.



Splin protesa digunakan pada rahang yang tidak bergigi (edentulou s),



dapat



dicekatkan dengan sekrup



osteosintesis ke tulang atau circumferential wiring. c. Yang bertumpu ke struktur tulang ekstraoral. (Head-chin Splint dan gips pada fraktur hidung) Pada beberapa keadaan tertentu sering kali pemakaian peralatan intraoral ini harus dikombinasikan dengan peralatan ekstraoral. Tipe-tipe splinting a. Suture splint



11



Pemasangan suture splint pada gigi incisive 1 regio 2 Tipe paling simple adalah letak suture pada incisal edge dari palatal/lingual gingival menuju buccal gingival. Fiksasi seperti ini dapat digunakan, contohnya, dalam mencegah reposisi incisor dari ekstruding, tapi hanya akan efektif untuk jangka waktu pendek. Setelah autotransplantasi pada premolar, suture diletakkan pada permukaan oklusal pada transplant. Suture splint ditemukan untuk meningkatkan prognosis gigi autotransplanted dibandingkan rigid splint. b. Arch bar Penggunaan Arch Bar yang mengiritasi jaringan periodontal disekitar tempat pemasangan. Beberapa decade yang lalu, rigid splinting dari gigi luxasi dianggap perlu, dan jenis splint yang digunakan adalah arch bar atau cap splint. Splint ini menyebabkan kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang dapat menekan jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Selanjutnya, terdapat resiko invasi bakteri ke dalam jaringan periodontal karena dekatnya letak splint dan wire terhadap margin gingival. c. Orthodontic appliance



12



Penggunaan Orthodontic splint pada anterior rahang atas Orthodontic ligature wire bonded dengan composite atau attached pada bracket telah dianjurkan. Bagaimanapun, orthodontic bracket wire dan composite dapat mengakibatkan iritasi pada mukosa oral, gangguan pada oral hygiene dan ketidaknyamanan, terutama pada awal dari periode splinting. Selanjutnya, permintaan untuk splinting pasif (dengan gigi pada posisi netral) terancam jika bracket bersatu dengan rectangular orthodontic wire. Maka dari itu, direkomendasikan untuk menggunakan malleable steel wire. d. Composite Splint yang sepenuhnya terdiri dari composite resin bersifat estetik dan mudah untuk dibuat, tetapi telah ditemukan untuk fraktur pada daerah interdental, sebagaimana material tersebut fragile. Splint bersifat rigid dan dengan demikian melanggar permintaan untuk splinting pada kebanyakan kasus. Terlebih lagi, karena kecocokan warna dan bonding strength pada goresan enamel, hal ini sulit untuk mengembalikannya tanpa merusak underlying tooth structure. Jika splint dengan material ini harus digunakan, maka dianjurkan untuk splint pada gigi luxasi dengan hanya satu gigi yang berdekatan. e. Wire-composite



Pemasangan Wire Composite pada gigi anterior rahang atas Satu dari keuntungan utama adalah splint CONSTRUCTED dari material yang secara rutin tersedia di kantor dental. Mudah dimodifikasi menjadi rigid splint oleh perubahan dimensi dari wire atau oleh penambahan composite selama labial wire up pada ruang interdental. Bagaimanapun, terdapat masalah yang sama pada resiko kerusakan potensial pada underlying enamel sebagaimana dengan composite splint. Pada studi comparative baru pada berbagai tipe dari splint pada sukarelawan, wire-composite splint terbukti dapat diterima dengan baik, tidak



13



mengakibatkan kerusakan besar pada mukosa oral dan memperbolehkan sukarelawan mempertahankan oral hygiene yg bagus. Pada beberapa studi yang menggunakan fiber glass daripada wire telah dideskripsikan dan secara berkala digunakan. Fiber glass ribbon dibasahkan dengan composite resin dan tidak ada material pengisi yang digunakan. Fleksibilitas dapat divariasikan dengan sejumlah layer dan extention pada splint. f. Resin



Pemasangan Resin Splint penuh pada permukaan gigi anterior rahang atas Protemp dan Luxatemp merupakan multi-fase material resin digunakan dalam restorasi temporary prosthetic dan untuk lining prefabricated crown. Protemp merupakan chemical cured; sedangkan Luxatemp merupakan dual cured (chemical dan light cured).bhal ini memungkinkan untuk menerima material dalam tahapannya, keuntungan dengan multiple displaced dan reposition teeth. Material ini tidak menggunakan tenaga pada gigi selama aplikasi dan secara estetik dan hygiene dapat diterima. Selanjutnya, keduanya telah menunjukkan untuk memperbolehkan penggunaan semi-rigid splinting. Pada kasus kehilangan gigi atau dalam mixed dentition, dimana gigi yang bersebelahan tidak sepenuhnya erupsi, hal ini diperlukan untuk merentangkan area edentulous. Pada kasus ini, diperlukan reinforcement. Hal ini dapat dicapai dengan metal bars, orthodontic wire, nylon line, glass fiber, atau synthetic fiber atau tape yang terdapat di market (Kevlar, Dupont Corp., Fiber-splint, Polydent Corp., Mezzovico, Switzerland) dan yang dapat dipadukan dengan resin. Jika tidak tersedia, bahkan paperclip dapat diluruskan untuk mencapai tujuannya. Diperbolehkan beberapa material yang bersifat fleksibel dan splint diterima secara direct pada etched crown surface. g. Metal (TTS) splint



14



Pemasangan Metal Splint yang mampu beradaptasi dengan baik menggunakan bahan titanium Secara komersial, dental splint yang tersedia telah diperkenalkan. Prefabricated splint yang terbuat dari titanium telah dilaporkan oleh von Arx dan co-author. Prefabricated titanium trauma splint (TTS) mempunyai ketebalan hanya 0,2 mm dan dapat dengan mudah dibengkokan dengan jari dan beradaptasi pada dental arch. Karena desain rhomboid dari splint, dapat juga beradaptasi dengan panjangnya. TTS berikatan pada enamel dengan light cured composite resin dan dikembalikan dengan ‘peeling’ pada permukaan gigi. Splint ini telah ditemukan



agar



dapat



bertoleransi



dengan



baik



dan



mengakibatkan



ketidaknyamanan hanya pada sebagian kecil pasien. 2. Terapi Operatif Terapi fraktur modern mengharuskan terjadinya penyembuhan tulang yang cepat sehingga pasien dapat kembali menjalankan aktivitas dengan normal. Terapi fraktur secara terbuka atau terapi operatif merupakan terapi fraktur yang memerlukan intervensi bedah misalnya lewat insisi ataupun luka yang terdapat pada jaringan lunak untuk melakukan eksplorasi dan reposisi dari fraktur dibawah pengamatan langsung. Terapi fraktur operatif diindikasikan pada :       



Fraktur multiple dan comminuted Fraktur dengan defek Fraktur panfasial Fraktur terbuka Fraktur midfasial dengan displacement Fraktur pada rahang yang atrofi Fraktur yang terinfeksi Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada



pasien epilepsi, ketergantungan alkohol, keterbelakangan mental.



15



I. Perawatan/ Penanggulangan Trauma Secara Umum dan Segera  Kondisi Saluran Pernapasan Pasien yang mengalami trauma orofasial harus diperhatikan benar-benar mengenai pernapasannya. Tindakan pertama adalah aspirasi darah, pengambilan serpihan gigi atau protesa. Dasar dari usaha mempertahankan jalan napas adalah dengan mengontrol perdarahan dari mulut/hidung dan membersihkan orofaring. Gigi yang sangat goyang yang dikhawatirkan akan terlepas sendiri, atau terhisap sebaiknya dicabut. Frakturfraktur tertentu misalnya fraktur bilateral melalui region mentalis atau fraktur maksilla dengan pergesaran ke arah posteroinferior menuju faring, cenderung menyumbat saluran pernapasan. Jika fragmen symphysis mandibulae bergeser ke posterior, maka dukungan ke arah anterior terhadap lidah akan hilang, sehingga mengakibatkan kolaps lidah ke arah posterior (ke faring). Pergeseran maksilla ke arah inferoposterior bisa mengakibatkan penyumbatan mekanis langsung pada orofaring. Lidah bisa dikontrol dengan melakukan penjahitan menggunakan benang sutera tebal pada ujung lidah dan menahan lidah untuk tetap pada posisi anterior. Keterlibatan maksila tidak mudah diatasi dan mungkin tergantung pada reduksi dari fraktur, atau paling tidak pada imobilisasi sementara yang dilakukan dengan jalan mengfiksasinya terhadap mandibula 



yang masih utuh. Sumbatan Jalan Napas yang Tertunda Sumbatan tertunda dari jalan napas bisa disebabkan karena pembengkakan atau edema lidah atau faring yang diakibatkan oleh hematom sublingual, luka-luka lingual, menghisap udara panas atau menelan bahan kausatik. Hematom bisa menyebabkan elevasi dan penempatan lidah ke arah posterior. Luka-luka dan luka bakar sering menyebabkan terjadinya edema lidah yang besar dan juga menyebabkan lidah tergeser ke arah posterior. Cedera pada saraf sering mempersulit masalah yang sudah ada, yakni berupa gangguan dalam melakukan kontrol gerakan lidah. Apabila diperkirakan akan terjadi edema lingual atau faringeal, maka penggunaan fiksasi maksilomandibular ditunda. Fiksasi interdental yang kaku menyebabkan lidah tidak dapat diprotrusikan, sehingga membuat lidah cenderung bergerak ke arah posterior dan berakibat fatal. Apabila kondisi saluran pernapasan diragukan, bisa dilakukan pemasangan alat bantu pernapasan oro- atau nasofaringeal, intubasi endotracheal dan tracheostomi pada kasus







tertentu. Perdarahan



16



Perdarahan yang menyertai trauma orofasial jarang berakibat fatal. Penekanan, baik langsung dengan jari atau secara tidak langsung dengan menggunakan kasa, bisa menghentikan sebagian besar kasus perdarahan rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan pengikat pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksillaris, a. lingualis, a. karotis eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah yang serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah pada waktu selanjutnya, maka pada sebagian besar trauma orofasial 



mayor harus dilakukan pemeriksaan golongan darah untuk keperluan tranfusi. Antibiotik Terapi antibiotic profilaksis diberikan berdasarkan pada kondisi individu. Terapi ini diperuntukkan pada individu resiko tinggi, terutama untuk pasien di mana daerah yang mengalami fraktur terbuka (berhubungan dengan permukaan kulit atau mukosa) dan







kemungkinan besar terkontaminasi, atau apabila perawatan definitif harus ditunda. Kontrol Rasa Sakit Terapi untuk menghilangkan rasa sakit biasanya minimal, karena pasien yang mengalami cedera yang relatif berat, tidak terlalu menderita seperti kelihatannnya. Karena analgesic narkotik cenderung menimbulkan edema serebral dan menyulitkan penentuan tingkat kesadaran, pemberiannya ditunda sampai pasien jelas mengalami cedera kranioserebral. Pada mulanya obat-obatan narkotik untuk pemberian intravena atau intramuscular sering digunakan. Namun selanjutnya, kombinasi narkotik/ non narkotik mulai dapat diberikan secara oral dan sering terdapat dalam bentuk cairan. Aplikasi dingin pada bagian yang mengalami cedera bisa mengurangi ketidaknyamanan,







dan sekaligus mengontrol edema. Perawatan Pendukung Karena pasien biasanya tidak bisa makan secara normal, terapi pendukung untuk pasien orofasial terdiri atas pemberian cairan yang cukup. Di rumah sakit hal ini dilakukan dengan pemberian cairan intravena (biasanya larutan elektrolit yang seimbang). Untuk perawatn di rumah, maka pemberian cairan bisa dilakukan lewat mulut. Pasien diberi diet cairan, kadang ditambah dengan protein atau vitamin. Seringkali pasien trauma orofasial harus berpuasa selama menunggu pembedahan.



17



III. PENGELOLAAN FRAKTUR DENTOAVEOLAR



A. Penegakan Diagnosis Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan intra oral. 1. Anamnesa Dari anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian tubuh lain. Keadaan umum pasien dengan fraktur dentoalveolar yang berdiri sendiri biasanya baik, dengan kesadaran kompos mentis. Apabila disertai cedera kepala dan fraktur serta vulnus di bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan pernafasan, sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat menurun (Ellis, 2005). 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir, hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat, seperti duktus kelenjar parotis atau nervus fasialis (Ellis, 2005). Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma di anterior biasanya mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi. Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi. Selain itu bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang alveolar. Pada anterior mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal di sulkus labialis pada perbatasan attached dan free gingiva, bila pasien jatuh tertelungkup dan terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf mentalis dapat terbuka (Killey, 1977). Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser ke segala arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat menimbulkan maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur yang paling sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak



vertikal mahkota gigi posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi 18



dan tekan. Bila ada gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar gigi yang tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang atas oleh rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertikal. Serpihan gigi dapat tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau terinhalasi pada pasien yang kehilangan kesadaran. Pada keadaan demikian perlu dibuat foto toraks (Ellis, 2003). Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur tulang alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit mandibula, sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang terdapat dalam fragmen fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang alveolar dapat terbuka atau tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu dilakukan semakin baik prognosis gigi geliginya. Setiap fragmen harus diperiksa untuk melihat apakah lengkap atau tidak lengkap. Fraktur alveolar di maksila paling sering terjadi di regio insisif. Fraktur tuberositas maksilaris dan dasar antrum merupakan komplikasi ekstraksi gigi molar atas yang sering terjadi (Radford, 2012). 3. Pemeriksaan radiografis Pemeriksaan radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi fraktur dentoalveolar adalah foto dental dan panoramik (Ellis, 2003). B. Penatalaksanaan Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, karena penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius, perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum pasien terlebih dahulu. Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan senormal mungkin. Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien serta kompleksitas fraktur (Kruger, 1974). Langkah-langkah perawatan yang harus dilakukan untuk memperbaiki fraktur sehingga gigi bisa berfungsi kembali dengan normal. 1. Fraktur Email



19



Perawatan yang dapat diberikan antara lain dengan menghaluskan bagian email yang kasar 2.



akibat fraktur tersebut atau dengan memperbaiki struktur gigi tersebut. Fraktur Makhota dengan Pulpa Masih Tertutup Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan material komposit untuk mengembalikan struktur gigi atau dengan cara yang lebih konservatif lagi yakni menempelkan kembali fragmen fraktur tersebut pada jaringan gigi setelah sebelumnya



3.



dilakukan etsa asam dan dengan bantuan bonding agent. Fraktur Mahkota dengan Pulpa Terbuka Fraktur jenis ini adalah tipe fraktur yang bisa dikatakan complicated, karena fraktur melibatkan daerah email, dentin dan juga pulpa. Hal yang harus diperhatikan saat menangani kasus ini adalah maturasi gigi, apakah apeks gigi sudah menutup sempurna atau belum karena akan membedakan langkah perawatan yang akan diberikan. a. Gigi dengan apeks yang masih terbuka Kondisi ini sangat tidak memungkinkan dilakukan pulpektomi, karena dinding akar masih tipis, vitalitas gigi harus tetap dipertahankan demi kelangsungan hidup gigi selanjutnya. Hal yang bisa dilakukan pada tahap ini adalah dengan melakukan pulpotomi dangkal dengan formokresol. Tahap yang bisa dilakukan: o Anestesi lokal dan pemasangan isolator karet o Pembuangan jaringan pulpa bagian koronal sampai garis serviks dengan bur bulat steril. o Kemudian lakukan irigasi dengan akuades steril atau garam fisiologis (NaOCl) dan keringkan dengan cotton pellet steril. o Letakkan cotton pellet yang sudah diberi formokresol di atas sisa jaringan pulpa (3 menit) o Setelah tiga menit, angkat dan letakkan adukan encer pasta Zn oksid dan formokresol di atas jaringan pulpa. o Tambahkan adukan kental semen ZOE o Tutup kavitas dengan semen Zn oksifosfat o Lakukan pemeriksaan radiografis selang 6 bulan sampai penutupan apeks memungkinkan untuk dilakukan perawatan saluran akar. Namun jika ingin hasil restorasi yang lebih estetik dapt dilakukan restorasi komposit, dengan tahapan: o Lakukan langkah a-c seperti di atas. o Diberikan pelapis CaOH. o Tambahkan semen glass ionomer o Lakukan restorasi komposit sesuai dengan aturan yang berlaku. Pada perawatan dengan CaOH ini , jika memungkinkan dilakukan pembukaan gigi kembali sekitar 6-12 bulan kemudian untuk membuang lapisan kalsium hidroksida



20



dan menggantinya dengan material adhesif. Hal ini dikarenakan CaOH adalah bahan yang semakin lama akan makin terdisintegrasi. Pembongkaran kembali ini diharapkan dapat meminimalisir kebocoran mikro yang nantinya akan menyebabkan adanya rongga antara jembatan dentin yang baru dengan restorasi yang menutupinya. Lain halnya jika kita menggunakan MTA (mineral trioksid agregat), jika menggunakan material ini maka tidak diperlukan pembukaan gigi kembali setelah 612 bulan. Namun ada tahapan yang berbeda yakni, pengaplikasian MTA harus pada keadaan gigi yang lembab diletakkan sedikit demi sedikit pada pulpa lalu biarkan mengeras selama 6-12 jam (tidak perlu ditutupi restorasi, pada saat ini pasien diharapkan tidak menggunakan gigi tersebut). Setelah itu barulah diberikan tambalan komposit. b) Gigi dengan apeks yang sudah menutup sempurna Perawatan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan pulpektomi disertai dengan perawatan saluran akar. Perawatan saluran akar biasanya dilakukan jika fraktur yang terjadi sudah mencapai daerah margin ginggiva dan diperlukan pembuatan mahkota pasak dan inti. Perawatan saluran akar tentunya akan sangat membantu sebagai tahap persiapan. Lain halnya jika fraktur dengan pulpa terbuka ini terjadi pada gigi sulung. Ada dua hal yang diindikasikan yakni pencabutan dan pulpotomi. Semua ini bergantung pada usia pasien, jika setengah bagian apeks sudah resorpsi maka pencabutan adalah indikasi utama. Namun, jika akar belum mengalami resorpsi bisa dilakukan perawatan saluran akar dengan pasta OSE yang bisa diresorpsi, mahkota yang fraktur kemudian bisa direstorasi menggunakan komposit. 4. Fraktur Mahkota dengan pulpa nekrotik dan terbuka Perawatan untuk kasus seperti ini juga dibedakan berdasarkan keadaan di derah apeks, jika apeks sudah tertutup maka perawatannya sama seperti perawatan abses alveolar akut. Namun jika apeks masih terbuka maka perawatan yang bisa dilakukan: o Perawatan seperti abses alveolar akut o Jika terjadi drainase maka biarkan terbuka dan pasien diminta datang 5-7 hari kemudian o Pada kunjungan berikutnya, dilakukan pembersihan saluran akar o Kemudian dikeringkan dengan kertas isap steril o Pasta campuran CaOH dan CMCP diletakkan di saluran akar o Penutupan kavitas dengan semen ZnOe dan Zn oksifosfat. o Pasien diminta datang 6 bulan kemudian untuk pemeriksaan klinis dan radiografik. 5. Fraktur Akar



21



Fraktur pada akar tidak selalu memerlukan perawatan saluran akar, hal terpenting yang harus dilakukan adalah dengan menempatkan kembali segmen koronal dan distabilkan dengan splin selama kurang lebih 12 minggu. Kemudian pasien diminta datang untuk melakukan pemeriksaan apakah fraktur sudah membaik serta mengetahui kevitalan pulpa. a) Fraktur Sepertiga Serviks dengan Pulpa Nekrotik o Perawatan yang bisa dilakukan antara lain: o Melakukan anestesi lokal o Melepaskan segmen korona Lakukan ginggivektomi dan alveoplasti agar akar terlihat sehingga bisa dilakukan perawatan saluran akar dan preparasi untuk pasak dan mahkota. b) Fraktur Sepertiga Tengah Perawatan yang bisa dilakukan antara lain dengan stabilisasi fragmen fraktur, implan endosseous atau pengambilan kedua fragmen fraktur. o Stabilisasi fragmen fraktur Kunjungan pertama  Penstabilan gigi dengna menggunakan splin  Preparasi kedua segmen saluran akar dan lakukan pembersihan.  Preparasi saluran akar dengan file  Tutup kavitas dengan cotton pellet dan semen ZnOE.  Pasien diminta datang 1-2 minggu kemudian. Kunjungan kedua  Lakukan irigasi dan pembersihan saluran akar  Keringkan dengan kertas isap (paper point)  Pilih pin chrome-cobalt yang sesuai dengan panjang saluran akar, dapat di cek dengan bantuan rontgen.  Jika letaknya sudah sesuai maka pada bagian pin kita beri takik kira-kira pada bagian orifis agar bisa dipisahkan ketika sementasi.  Sterilkan pin dan kemudian dimasukkan ke dalam saluran akar dengan bantuan semen saluran akar, sambil ditekkan ke arah apeks dilakukan



o



pemutaran pin agar patah pada bagian takik yang sudah dibuat.  Periksa kedudukan pin, jika sudah pas bisa dilakukan restorasi tetap. Penempatan implant endosseous Pada perawatan jenis ini, diharapkan penyembuhan akan memungkinkan tulang baru terbentuk di sekitar pin dan gigi akan menjadi stabil. Tahapan yang dilakukan:  Preparasi saluran akar  Pengambilan bagian apeks dengan teknik bedah, bagian apeks dibuka dan 



fragmen akar diangkat. Pilih pin chrome-cobbalt yang sesuai, masukkan melalui lubang preparasi.



22







Usahakan posisi pin mencapai posisi ujung akar semula, namun jangan sampai menyentuh tulang. Setelah di dapat posisi yang pas, maka buat takik







pada pin. Ketika saluran akar sudah bersih dan sudah dikeringkan dapat dimasukkan adukan semen saluran akar, ulasi pin dengan adukan semen yang sama.



 



Masukkan pin ke dalam saluran akar. Tutup kavitas dengan restorasi kemudian flap dijahit. Selama periode penyembuhan dapat dipakai splin jika sesudah perawatan



gigi terlihat goyang. c) Fraktur sepertiga apeks Perawatannya bisa berupa stabilisasi kedua fragmen seperti pada kasus fraktur sepertiga tengah atau dengan preparasi fragmen korona secara konvensional dan diisi gutta perca, fragmen apeks dibiarkan dan jaringan pulpa mungkin tetap vital. Terapi lain yang mungkin diberikan adalah dengan preparasi fragmen korona dan mengisinya secara konvensional, fragmen apeks di angkat dengan cara bedah dan dilakukan pengisian retrogard dengan amalgam. 6. Fraktur Mahkota-Akar Fraktur mahkota akar sangat sulit dirawat dan keberhasilannya tergantung pada kedalaman garis fraktur di palatal. Bila pasien datang, fragmen korona sering sangat goyang dapat tetap melekat melalui ligament periodontal. Biasanya anestesi local perlu diberikan agar fragmen dapat dilepas dan dilakukan pemeriksaan dari luas fraktur. Bila fraktur terletak superficial, maka perawatan saluran akar dapat dilakukan dan dilakukan pembuatan mahkota pasak. Bila fraktur lebih dalam, akan lebih sulit untuk mengisolasi gigi untuk perawatan saluran akar dan ekstruksi ortodonti dari akar perlu dipertimbangkan sebelum merestorasi dengan mahkota pasak (Heithersay). Bila fraktur sangat dalam maka apa yang tertinggal terlalu kecil untuk mendukung restorasi bahkan setelah dilakukan ekstruksi ortodonti; gigi seperti ini juga cenderung tanggal (Feiglin).



7. Avulsi Gigi dan Perawatan Avulsi adalah berpindahnya gigi secara menyeluruh dari soketnya (dapat terasosiasi dengan fraktur dinding alveolar) (Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery) Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya trauma: (1). Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya sesegera mungkin.



23



(2). Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu. (3). Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.



Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek: (1). Lakukan anestesi lokal. (2). Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe. (3). Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis. (4). Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari. (5). Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan kembali gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada posisinya dan ulangi kembali replantasi. (6). Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah benar. (7). Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint. (8). Berikan antibiotika selama 4-5 hari. (9). Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan sesuatu. (10). Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin 0,1% sehari 2 kali selama 1 minggu.



24



(11). Lepaskan splint setelah 1-2 minggu. (12). Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan pada pulpa.



Avulsi gigi Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi: (1). Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atau setelah splint dilepas. (2). Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara. (3). Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akan terjadi revaskularisasi



pada



pulpa



sehingga



perawatan



saluran



akar



hendaknya



ditangguhkan. (4). Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya gambaran radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi akar eksternal maka perawatan saluran akar harus segera dilakukan. (5). Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan pembuatan foto rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak nekrosis dan penutupan apeks terjadi. Alat Restorasi Semi Tetap Jika restorasi akhirnya ditunda, restorasi sementaranya harus bisa bertahan selama mungkin (sampai satu tahun). Restorasi ini harus protektif, rapat, dan bagus estetik serta



25



fungsinya. Restorasi sementara semipermanen untuk gigi posterior yang baik adalah amalcore yang meng”onlay” cusp yang telah lemah, sehingga dapat melindungi fungsi dan kerapatannya. Jika dikemudian hari harus diganti dengan mahkota, preparasi mahkota akhirnya dapat diselesaikan tanpa membuang intinya. Restorasi anterior analognya biasanya lebih sukar karena adanya faktor estetik dan adanya kesukaran dalam memperoleh mahkota yang rapat. Suatu mahkota pasak sementara tidak menjamin adanya kerapatan yang adekuat. Lebih disukai untuk membuat pasak dan inti segera setelah perawatan (yang menjamin adanya kerapatan mahkota yang baik) jika gigi tersebut merupakan indikasi bagi pemasangan mahkota sementara. Prinsip dan Konsep Ada tiga prinsip praktis agar restorasi dapat berfungsi dengan baik dan bertahan lama, yakni: 1.



Mempertahankan struktur gigi. Struktur gigi yang memerlukan perawatan biasanya sudah tidak baik sehingga



pengambilan dentin lebih lanjut sebaiknya diminimalkan. Sebaliknya, cusp mungkin perlu dikurangi dan diberi pelindung (capping). Tindakan, secara rutin membuang mahkota dan kemudian membangunnya kembali pada gigi yang telah dirawat saluran akarnya merupakan cara yang sudah tidak layak lagi. Fraktur gigi akibat pembuangan restorasi lama yang tidak sempurna. 2. Retensi



Restorasi korona memperoleh retensinya dari inti dan sisa dentin yang masih ada. Jika intinya memerlukan retensi, maka yang dimanfaatkan adalah sistem saluran akarnya yang memakai pasak. Namun pasak ini akan melemahkan dan mungkin menyebabkan perforasi sehingga hendaknya dipakai hanya jika diperlukan untuk retensi inti.



26



Retensi dengan memanfaatkan undercut pada kamar pulpa dan orifis saluran akar 3. Proteksi sisa struktur gigi. Proteksi sisa struktur gigi ini diaplikasikan pada gigi posterior untuk memproteksi cusp yang tidak terdukung supaya bisa menghindari terjadinya fleksur dan fraktur. Restorasi didesain sedemikian rupa sehingga beban fungsional dapat ditransmisikan melalui gigi ke jaringan penyangga. Penanggulangan Gigi Sulung yang Terkena Trauma Mengobati trauma pada gigi primer ditentukan oleh kemungkinan bahaya terhadap benih gigi permanen, sekunder ke posisi bukal - oklusal gigi primer terhadap benih gigi permanen.



. Posisi bukal - oklusal gigi primer terhadap benih gigi permanen



27



Transmisi gaya pada gigi yang berkembang memungkinkan terjadinya displacement yang dapat menyebabkan gangguan odontogenesis, sehingga menghasilkan perubahan warna enamel dan atau hyploplasia (Peterson, 2003). 1. Fraktur Mahkota Sebagian Pada fraktur mahkota sebagian, bagian runcing dari mahkota harus di haluskan atau restorasi morfologi mahkota dapat didapatkan dengan cooperation reasonable.



Andreasen dan Raven melaporkan tentang prognosis pada trauma gigi pengganti permanen, juga gaya yang diberikan oleh gigi primer. Mereka menemukan bahwa usia individu pada saat cedera dan jenis cedera berperan penting dalam pengembangan gigi permanen (Peterson, 2003). Diagnosis dan Assesment Dokter gigi harus memutuskan : 1. Waktu luka terjadi dan ketika kedatangan berikutnya untuk perawatan, hasil 2.



pengobatan adalah sangat tergantung pada waktu yang telah berlalu Penyebab luka



28



3. Dimana luka terjadi untuk menentukan apakan perlu diberikan injeksi tetanus 4. Apakah trauma cukup berat sehingga menyebabkan masalah medis seperti sakit kepala, muntah, dan simptom lainnya pada trauma kepala 5. Stimuli apa yang menyebabkan respon pada wilayah trauma (termal, tekanan, kimia).



1. Fraktur pada jaringan keras gigi dan pulpa a. Crown Fracture Dalam kasus fraktur yang tidak parah dengan tepian tajam dipinggirnya, abrasive disc atau



bur



dapat digunakan untuk menghaluskan fraktur jika pasien



menginginkan hasil yang estetis, dan pasien mampu, mahkota dapat diperbaiki dengan resin komposit. Fraktur mahkota yang parah merupakan kasus yang sulit untuk dihadapi jika kurangnya kerjasama dari anak dan karena perawatan (pulpotomi) adalah tekniksensitif. Pilihan perawatan parsial pulpektomi dengan kalsium hidroksida atau pulpotomi dengan formocresol atau seng oksida eugenol. b. Crown-Root Fracture Ekstraksi merupakan pilihan perawatan yang sering dilakukan c. Root Fracture Fraktur akar dengan sedikit perpindahan fragmen koronal dapat dibiarkan tidak diobati dan akan resorbsi pada waktu yang diharapkan. Ketika fragmen mahkota sangat longgar fragmen koronal yang ekstruksi harus diekstraksi untuk mencegah anak menghirup itu. Fragmen apikal dapat dibiarkan untuk resorpsi fisiologis. Jika anak mampu mengatasi dan fragmen koronal tidak berpindah, kawat-komposit splint telah dianjurkan selama 3 minggu. 2. Fraktur terhadap jaringan periodontal a. Concussio dan Subluxasi Cedera ini tidak memerlukan perawatan akut, namun harus memberitahukan orangtua untuk menjaga kebersihan mulut anak untuk mencegah kontaminasi bakteri melalui ligamentum periodontal. Chlorhexidine dapat diaplikasi ke gingiva gigi dua kali sehari selama 7 hari dapat direkomendasikan. b. Ekstrusi



29



Ekstrusi gigi primer dapat mangalami reposisi dan stabil untuk waktu yang singkat jika anak segera diobati jika ada cedera. Jika bekuan darah sudah masuk ke dalam soket alveolar dan tidak terjadi reposisi, gigi dapat kembali normal secara spontan atau diekstraksi tergantung pada tingkat ekstrusi dan mobilitas. c. Lateral Luxation Dalam beberapa kasus lateral luksasi mungkin terdapat gangguan occlusal. dalam kasus ini, setelah penggunaan anestesi lokal, gigi yang posisinya kombinasi antara gabungan tekanan labial dan palatal. Jika perlu dan mungkin, splint dapat digunakan selama 2-3 minggu. Karena open bite anterior pada anak kecil lebih sering terlukasi lateral gigi utama tidak mengalami gangguan oklusal dapat sembuh tanpa pengobatan, dan reposisi spontan dipengaruhi oleh kekuatan fisiologis lidah biasanya dapat terjadi dalam waktu 3 bulan. Untuk mengobati lateral luxations tanpa open bite yang tidak dapat direposisi, mengikis tepi incisal gigi atas dan bawah atau sementara menambahkan komposit ke permukaan occlusal molar untuk membuat artifisial anterior. d. Intrusion Perawatan gigi instrusi dapat dibagi 3, yaitu : Reposisi dengan pesawat ortodonti, reposisi gigi dengan tindakan bedah dan observasi gigi dengan cara reerupsi. Sebaiknya jika gigi yang intrusi akarnya belum tumbuh sempurma, dapat diobservasi dengan cara re-erupsi, sedangkan jika akar gigi sudah tumbuh sempurna reposisi secara bedah atau dengan pesawat ortodonti merupakan pilihan. e. Avulsion Keberhasi1an perawatan dari gigi yang avulsi tergantung dari berapa lama terjadinya, tempat kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika terjadinya gigi avulsi dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut. Penanganan pendahuluan terhadap gigi yang mengalami avulsi ini terdiri dari replantasi, splinting serta kontrol secara periodik. Kemudian dilanjutkan dengan perawatan saluran akar dan restorasi resin komposit. 3. Fraktur terhadap tulang pendukung a. Fractures of The Alveolar Processus Tulang alveolar merupakan tulang tempat melekat gigi pada maksila dan mandibula. Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur tulang



30



alveolar adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan tulang alveolar pada maksila atau mandibula. Fraktur dari processus alveolaris sering terjadi pada maksila yang tipis dibandingkan dengan mandibula. Akan tetapi, tipe fraktur yang sering terjadi pada mandibula adalah fraktur alveolar. Trauma alveolar pada mandibula berhubungan dengan fraktur komplit pada daerah penyangga gigi, sedangkan pada maksila biasanya disebabkan oleh trauma lokal. Jika terjadi trauma secara langsung processus alveolaris bagian anterior memiliki resiko terbesar untuk terjadi fraktur. Trauma lokal pada tulang rahang dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang alveolar. Fraktur pada tulang alveolar biasanya tidak menyababkan kerusakan yang serius pada gigi, gigi diharapkan masih dapat melakukan devitalisasi pasca trauma. Klasifikasi Klasifikasi dari fraktur tulang alveolar menurut Per Clark  Kelas 1, fraktur pada segmen edentulous  Kelas 2, fraktur pada segmen dentulous dengan sedikit perubahan posisi  Kelas 3, fraktur pada segmen dentulous dengan sedang-berat perubahan posisi  Kelas 4, fraktur processus alveolaris. Terdapat satu atau lebih garis fraktur dengan fraktur pada tulang facial penyangga gigi Perawatan 1. Perawatan medikasi Perawatan ini ditujukan untuk memberi kenyamanan pada pasien dan untuk mencegah komplikasi terutama akibat infeksi. Analgesik ringan sampai sedang dapat diberikan, namun perlu mempertimbangkan status kesehatan umum pasien dan dosis obat. Contoh analgesik yang bisa diberikan adalah Acetaminophen. Terapi antibiotik mengurangi prevalensi dari infeksi. Golongan penisilin diberikan dan disesuaikan dosisnya dengan umur. Pada pasien yang alergi dengan golongan penisilin, clindamycin dapat digunakan sebagai alternatif pengganti. 2. Perawatan bedah Pada fraktur alveolar perawatan dilakukan dengan tujuan mengembalikan segmen farktur ke posisi semula. Sebelum dilakukan perawatan, sebaiknya dilakukan foto rontgen untuk mengetahui seberapa luas fraktur yang terjadi. Perawatan dilakukan dengan bantuan anestesi lokal. Namun pada keadaan tertentu perlu dilakukan anestesi umum yaitu apabila anastesi lokal tidak berhasil atau pada pasien yang sangat penakut. Reposisi segmen fraktur yang mengalami perubahan lokasi dengan melakukan reduksi yaitu menggerakkan segmen yang fraktur dengan finger manipulation, periksa hubungan oklusalnya. Fiksasi untuk imobilisasi segmen yang fraktur dengan splint atau arch bar. 31



Hilangkan kontak prematur dan trauma oklusal. Stabilisasi segmen yang fraktur tersebut selama 4 minggu. Contoh cara fiksasi lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan 20 Chromic gut suture material untukimmobilisasi gigi. Alat untuk stabilisasi segmen dilepas setelah 4-6 minggu kemudian evaluasi mobilitas gigi dan segmen. Untuk mengetahui keberhasilan perawatan, lakukan foto rontgen. Status pulpa perlu dilihat untuk mempertimbangkan kemungkinan perawatan endodontik bila gigi menjadi nonvital. Tabel Ringkasan Penanggulangan Trauma Gigi Sulung Anterior Trauma Enamel (Kelas I) Enamel dan dentin (Kelas II) Enamel, dentin, dan pulpa (Kelas III) Fraktur Akar Avulsi Displacement Intrusi/Concussion



Treatment Pulpa Observasi Perhatikan bila terdapat perbedaan warna Calcium hydroxide liner



Restorasi Smooth / rough edges



Formocresol pulpotomi Pulpektomi ( jika devital) Ekstraksi Reposisi Observasi perubahan warna atau preerupsi: a. Hitam – pulpa nonvital ; pulpektomi b. Kuning – pulpa terkalsifikasi ; observasi



Acid etch composite resin atau open-faced stainless steel crown Open-faced stainless steel crown Space maintainer Space maintainer Splint



Fundamentals of Pediatric Dentistry



IV. KESIMPULAN Fraktur dentoalveolar dapat berdiri sendiri atau terjadi bersamaan dengan fraktur pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Perawatan komprehensif dilakukan setelah perbaikan keadaan umum pasien tercapai, bersama dengan disiplin ilmu yang terkait. Diagnosis fraktur



32



dentoalveolar ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik ekstra oral dan intra oral, serta pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan fraktur dentoalveolar pada gigi sulung tidak berbeda jauh dengan gigi tetap. Setiap struktur yang terlibat sebaiknya diperiksa dengan seksama. Vitalitas, warna dan kegoyangan gigi harus dimonitor untuk mengetahui perlu tidaknya perawatan lebih lanjut.



DAFTAR PUSTAKA



Banks P, Brown A., 2001, Fractures of the facial skeleton. Wright, p.40-2,72-9.



Baumann A, Troulis MJ, Kaban LB., 2004, Facial trauma II : dentoalveolar injuries and mandibular fractures. In: Kaban LB, Troulis MJ, Pediatric oral and maxillofacial



33



surgery,USA: Elsevier Science: p.446. Booth, Peter Ward, dkk. 2012. Maxillofacial Trauma & Esthetic Facial Reconstruction. Missouri: Elsevier. Budiharja AS, Rahmat M, 2011, Trauma oral dan maksilofasial, EGC, Jakarta: p.33-171. Ellis E, 2003, Soft tissue and dentoalveolar injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E, Hupp J, Tucker M. Contemporary oral and maxillofacial surgery, 4th eds, St.Lauis, Mosby Inc. Ellis RG, Davey KW., 1970, The classification and treatment of injuries to the teeth of children (5th ed.), Year Book Medical Publishers Inc. Chicago



Fonseca RJ, Walker RV., 2005, Oral and maxillofacial trauma, Ed. 2, Vol.2 USA: W.B.Saunders Company. Fraioli Rebecca E, 2008, Facial Fractures: Beyond Le Fort. Otolaryngol Clin N Am ; 41:51-76. Grossman, Louis I, Seymour Oliet, 1988, Endodontic Practice 11th edition, Philadelphia: Lea & Febiger. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002. EGC, Jakarta. Killey HC, 1977, Fractures of the middle third of the facial skeleton, 3rd ed. Bristol: John Wright & Sons Ltd.



Mathewson, Richard J., DDS, MS, PhD., Primosch, E. Robert, DDS, MS, Mend 1995. Fundamental of Pediatric Dentistry, 3rd. Ed. Quintescience Publishing Co, Inc. US. Peterson Lj., 2003. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4 th ed St Louis : Mosby Radford G, 2012,Treatment of injured tissues (dentoalveolar). Smile Restoration, Almeda Dental Groups.



Riyanti, Eriesca., Sp.KGA. Penatalaksanaan Trauma Gigi Pada Anak- pustakaunpad.ac.id



34