Fraktur Maxilla [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Grand Case Report



TRAUMA KRANIOFASIAL



oleh : Jihan Wafda Ramadhan



1840312450



Preseptor: dr. Dedy Saputra, Sp.BP-RE



BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M. DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2019



1



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Trauma kraniofasial adalah cedera pada bagian kranial dan maksilofasial akibat trauma. Trauma kraniofasial terbagi atas trauma kranial (tulang-tulang kepala) dan trauma maksilofasial (tulang-tulang wajah). Trauma kraniofasial dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada penderitanya. 1 Trauma menyebabkan 9% dari kematian di dunia, salah satunya adalah trauma maksilofasial. Trauma maksilofasial menyumbang 4-18% dari semua cedera olahraga. Hampir 75% dari fraktur wajah terjadi di mandibula, zygoma, dan hidung. Pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9%. Usia dekade ketiga mendominasi pasien dengan trauma maksilofasial. Penyebab utama trauma kraniofasial di negara berkembang adalah kendaraan bermotor sedangkan di negara maju adalah perkelahian. 2 Secara umum, kraniofasial dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper third (diatas superior orbital rim), middle third (midface, dari superior orbital rim sampai ke maxillary teeth), dan lower third (mandibula). Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas os frontalis, os temporalis, os nasal, os zygoma, os maxilla, os mandibula, os ethmoid, os lacrimal, os sphenoid, dan lainnya. Cedera kraniofasial dapat juga dibagi menjadi cedera jaringna lunak, cedera tulang atau kombinasi dari keduanya.3 Pemeriksaan radiografi diperlukan dalam menunjang diagnosis trauma kraniofasial. Sampai beberapa tahun yang lalu, foto polos konvesional merupakan standar dari trauma kraniofasial. Namun sekarang, CT scan sudah menjadi pilihan pemeriksaan radiografi pada trauma kraniofasial karena dapat melihat struktur dari kraniofasial secara keseluruhan. Foto polos konvensional sensitif terhadap tulang kranial, namun kurang sensitif terhadap tulang fasial dan basis kranii. Sedangkan CT scan dapat melihat dengan jelas semua jenis fraktur pada tulang fasial dan tulang basis kranii. Selain itu CT scan juga dapat mendeteksi adanya perdarahan intra kranial dan cedera serebrum.1 1.2 Tujuan Masalah Penulisan Grand Case Report ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai trauma kraniofasial dalam definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, 2



mekanisme, manifestasi klinik, penunjang radiologi dan penatalaksanaan umum. 1.3 Batasan Penulisan Batasan penulisan Grand Case Report ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko, mekanisme, manifestasi klinik, penunjang radiologi dan penatalaksanaan umum pada trauma kraniofasial. 1.4 Metode Penulisan Grand Case Report ini ditulis dengan menggunakan metode ketinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.



3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Trauma kraniofasial adalah cedera pada bagian kranial dan maksilofasial akibat trauma. Trauma kraniofasial terbagi atas trauma kranial (tulang-tulang kepala) dan trauma maksilofasial (tulang-tulang wajah). 1 2.2 Epidemiologi Trauma menyumbang sekitar 9% dari seluruh kematian di dunia. Salah satu jenis trauma adalah trauma maksilofasial dan trauma kranial. Trauma kraniofasial menyumbang sekitar 4-18% nya. Pria merupakan pasien dengan trauma maksilofasial tersering yaitu sebanyak 75,9%. Usia dekade 20-40 tahun mendominasi pasien dengan trauma kraniofasial. 1 Perbandingan laki dan perempuan pada trauma kraniofasial adalah 2,7 : 1, dan yang paling sering mengalami fraktur adalah mandibula (69%) dengan melibatkan angulus, parasimfisis pubis, korpus dan kondilus. 2 2.3 Etiologi dan Faktor Risiko dan Mekanisme Trauma Di negara berkembang, kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab paling umum dari fraktur rahang, sedangkan di negara-negara maju, perkelahian adalah penyebab paling umum dan kecelakaan kendaraan bermotor adalah kedua yang paling umum. Menurut Nalliah et al ditemukan kasus perkelahian sebagai penyebab utama untuk rawat inap untuk penangganan fraktur wajah di Amerika Serikat (36,5%), diikuti oleh kecelakaan kendaraan bermotor (16%), jatuh (15%), dan transportasi lainnya kecelakaan (3,5%). 2, 3 Trauma yang terjadi pada craniofacial dipengaruhi oleh gaya yang mengenai cranifacial tersebut, yaiu dibedakan menjadi high impact dan low impact. Ha ini dibedakan berdasarkan apakah gaya yang ditimbukan lebih besar atau lebih kecil dari 50 kali gaya graviasi. Setiap regio atau tulang pada craniofacial membutuhkan gaya tertentu dan berbeda-beda hingga menyebakan kerusakan, seperti membutuhkan gaya



margo



supraorbial,



maxilia,



mandibula,



dan



frontal



yang high impact untuk sampai mengalami fraktur atau kerusakan. Sedangkan regio zygoma dan nasal dapat terjadi frakur atau kerusakan. 2.4 Anatomi Umum Regio Craniofacial 2.4.1 Cranium Tulang tengkorak tersusun atas banyak tulang dan komponen. Jika dikelompokan berdasarkan stuktur anatomisnya, beberapa komponen utamanya adalah basis cranii anterior, sinus paranasal, tulang midfasialis, serta subkranial. 4



Gambar 1. Tulang penyusun pilar wajah proyeksi lateral 4 Terdapat berbagai klasifikasi fraktur pada tulang-tulang wajah, salah satunya adalah yang terbagi menjadi tiga, menurut lokai dan tulang yang terkena, yakni: fraktur dinding sinus (frontal dan sfenoid), central mid-face(-Le Fort, Wassmund,



dan



Naso-ethmoid),



dan



lateral



mid



face



[tripod



or



zygomaticomaxillary complex (ZMC), orbital floor]. 4 2.4.2 Sinus Frontal Sinus frontal (Gambar 2) dibentuk oleh anterior table, posterior table, dan sinus floor. Anterior table akan mementuk alis, dahi, dan glabella dengan ketebalan rata-rata 4 mm, namun ketebalannya bisa hingga 12 mm dan ini



memungkinkannya untuk menahan terjadinya fraktur pada wajah. Posterior table membentuk fossa kranial anterior dengan ketebalannya hanya 0,1-4,8 mm dan posterior table ini berfungsi terutama sebagai pelindung bagi duramater dan lobus frontal otak. Sinus memiliki 2 ostium di lantai posterior. Masing-masing berdiameter 3-4 mm dan berdrainase ke infundibulum ethmoid atau kavum nasal. 5



Gambar 2. Anatomi Sinus Frontal 2.4.3 Orbita Orbita (Gambar 3) berbentuk seperti piramidal yang terdiri dari dinding superior (roof, atap), dinding medial, dinding lateral, dan dinding inferior (floor, dasar). Orbita memiliki empat dinding dan satu apeks yaitu : a. Dinding superior orbita (roof), posisinya hampir horizontal di terutama ditempati oleh bagian orbita os frontalis, yang memisahkan cavitas orbita dengan fossa cranialis anterior. b. Dinding medial dibentuk oleh os ethmoidalis, bersama dengan os frontalis, os lacrimalis, dan os sphenoidalis. Tulang-tulang yang membentuk dinding medial ini tipis. c. Dinding lateral dibentuk oleh processus frontalis os zygomaticus dan greater wing of the sphenoid. Dinding ini paling kuat dan tebal serta sangat penting karena paling rentan terhadap trauma langsung. d. Dinding inferior terutama dibentuk terutama oleh maxilla dan sebagian oleh os zygomaticus dan os palatina. e. Apex orbita berada di optic canal pada lesser wing of sphenoid, di sebelah medial superior orbital fissure. 6



Gambar 3. Anatomi dinding orbita 2.4.3 Zygoma Os. Zygoma terletak di bagian lateral dari sepertiga tengah tulang wajah, diantara prosesus zygomatic dari os.frontalis dan os.maxilla. Os.Zygoma sangat penting untuk menentukan lebar sepertiga wajah dan proyeksi sagittal yang tepat. Fraktur zygomaticus biasanya terkait dengan fraktur lainnya, yang mempengaruhi lima artikulasio yang dibentuk oleh zygoma dengan tulang-tulang craniofacial lainnya,



seperti



sutura



zygomaticofrontal,



infraorbital



rim,



basis



zygomaticomaxillary, arkus zygomaticus, dan sutura zygomaticosphenoid, dapat dilihat pada Gambar 4.



7



Namun diantara artikulasio tersebut, zygomatico-



maxillary adalah yang relative lebih kuat dibanding yang lainnya, sehingga terkadang tetap intak setelah terjadi fraktur multiple pada kompleks zygomatik. 8



Gambar 4. Kompleks Zygomatik: fraktur tetrapod atau quadripod 4



2.4.4 Naso-Orbito-Ethmoid (NOE) Struktur pada regio NOE dikuatkan oleh basis fasial vertical dan horizontal. Basis horizontal superior atau frontal bar, terdiri dari tulang frontal dan orbital rim superior. Komponen orbital rim inferior yang terdiri dari os.maxillary dan zygomatic memberikan stabilisasi tambahan pada struktur ini. Basis support ini sering terganggu saat terjadi trauma di regio NOE. Pada sisi medial, basis vertical yang mensupport nasomaxilla terdiri atas prosesu internal angularis, dan prosesus maxilla bilateral. Pada sisi lateral, basis vertikalnya (frontal zygomaticomaxillary) terdiri atas tulang frontal dan prosesus zygomatic dan maxilla. Saat terjadi fraktur NOE, basis lateral biasanya menjadi lokasi pertama yang ditatalaksana, yang akan memberikan fondasi untuk merekonstruksi regio NOE yang mengarah lebih ke sentral. Selain itu, terdapat tulang wajah yang tipis, ethmoid lamina papyracea dan tulang lakrimal, yang memisahkan regio nasoethmoid dari orbita. 2.4.5 Nasal Hidung (Gambar 5) luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). 9 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os.nasal), prosesus frontalis os maksila, prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alaris mayor) dan beberapa pasang kartilago alaris minor, dan tepi anterior kartilago septum bagian tengah. Bagian superior tulang hidung lebih tebal dibandingkan bagian inferior, dan melekat papda procc frontalis os maksila. Bagian ini lebih tahan terhadap cedera, bagian inferior lebih tipis dan lebih luas serta melekat pada kartilago nasalis lateralis superior. Fraktur nasal sering terjadi pada daerah transisi kedua bagian ini, disebut area keystone. Namun beberapa kasus, fraktur nasal melibatkan struktur proksimal tulang hidung dari os frontal s.d lamina kribrosa. Fraktur ini disebut fraktur nasoorbitaetmoid (NOE). 9, 10



Gambar 5 Tulang Hidung 11 Kartilago nasalis lateralis superior yang berpasangan ini berfungsi menjaga kartilago quadrangularis tetap pada posisi garis tengah sedangkan kartilago nasalis lateralis inferior ini lebih berfungsi untuk kontur hidung. Secara umum fraktur kartilago sangat jarang terjadi yang disebabkan karena kartilago lebih lentur. Perlu tenaga yang lebih besar untuk menimbulkan kerusakan pada kartilago dibandingkan pada tulang hidung atau septum. 2.4.6 Maksilla Maksila (Gambar 6) adalah sebuah jembatan antara basalis kranial superior dan dental occlusion plane inferior. Maksila berhubungan dengan kavitas oral, kavitas nasal, orbita, dan struktur jaringan ikat lainnya menyebabkan maksila merupakan struktur penting secara fungsional atau penampilan individu. Fraktur pada maksila berpotensial mengancam nyawa dan dapat menyebabkan deformitas.5



Gambar 6 Regio Midface6 Tulang maksila merupakan tulang vital pada tulang wajah medial karena



membentuk atap bagi mulut, menyediakan ruang untuk gigi, membentuk bagian dari dinding orbita, membentuk lantai dan dinding lateral dari antrum nasal. Terdapat delapan tulang yang secara reguler berartikulasi dengan tulang maksila yaitu : frontal, etmoid, nasal, zygomatic, lacrimal, inferior nasal, zygomatic, lacrimal, inferior nasal concha, palatine, vomer.10



Gambar 7 Anatomi Maksila tampak dari bawah (kanan), lateral (kiri)11 Maksila (Gambar 7) (rahang atas) merupakan tulang berpasangan. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dan inferiormedial pada prosesus frontalis maksila. Maksila merupakan tulang yang tipis, pada bagian lateral lebih tebal dan padat, pada bagian ini disangga oleh zygomatikomaksilari. Tulang maksila memiliki 2 sisi yaitu kanan dan kiri yang saling bergabung di intermaxillary suture line. Tulang maksila memiliki 4 prosesus yaitu proc. zygomatic, proc. frontal, proc. alveolar, dan proc. palatine. Maksila memiliki sepasang rongga berupa sinus maksilaris, ke atas berhubungan



dengan tulang frontal dan tulang nasal, ke lateral dengan tulang zygoma dna inferior-medial pada prosesus frontalis maksila. 12 Pada maksila terdapat sekitar 16 gigi. Maksila menopang dinding hidung lateral dan tulang hidung, serta inferior orbital rims. Nervus trigeminus (V2) melewati maksila melalui orbita dan keluar secara anterior melalui dinding anterior maksila sebagai infraorbital nerve. Regio midface terdiri atas 2 os maksila, 2 os zygoma, 2 prosesus zygoma dari os temporal, 2 os palatina, 2 os lakrimal, vomer, etmoid yang berlengketan dengan konka, pterigoid plated dari sfenoid. 13 Pada midfacial, terdapat 3 buttress vertikal utama dan beberapa buttress horizontal. Konsep buttress mewakili bidang dengan tulang yang lebih kuat yang mendukung unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi gigi, saluran pernafasan) dalam hubungan yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan memproyeksikan jaringan lunak diatasnya. Hal ini penting untuk mengidentifikasi area kunci fraktur dan menstabilisasi midface karena berkaitan dengan fungsi dan aspek aesthetic. Tiga buttress (Gambar 8) vertikal utama adalah nasomaxillary (canine), zygomaticomaxillary, dan pterygomaxillary. Butress horizontal yaitu rima orbita superior, rima orbita inferior, maksiloalveolar dan palatum, prosesus zigoma os temporal, pinggir sayap os sfenoid dan pterigoid plate dari sfenoid. 13



Gambar 8 Buttress vertikal dan horizontal 14



2.4.7 Mandibula Mandibula (Gambar 9) adalah tulang rahang bawah yang berfungsi sebaga tempat menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii dengan adanya temporomandibular joint (TMJ) dan disanggah oleh otot-otot sekitarnya. 15 Mandibula terdiri dari corpus berbentuk tapal kuda dan sepasang ramus. Corpus mandibula bertemu dengan ramus masing-masing sisi pada angulus mandibula. Pada permukaan luar di garis tengah corpus mandibula, teredapat sebuah rigi yang menunjukkan garis fusi dari kedua belahan selama perkembangannya yaitu simfisis mandibula. Foramen mental dapat dilihat di bawah gigi premolar kedua. Pada permukaan medial corpus mandibula di bidang tengah terdapat spina mentalis. Pinggir atas corpus mandibula disebut pars alveolaris. Pada orang dewasa berisi 16 lubang untuk akar-akar gigi. Pinggir bawah corpus mandibula disebut basis. Pada basis terdapat lekukan kecil yang kasar pada sisi kanan dan kiri simfisis mandibula disebut fossa digastrica. 15 Ramus mandibula terletak vertikal dan memiliki procecus coronoideus di anterior dan processus condylaris di posterior, atau caput. Kedua procecus dipisahkan oleh incisura mandibula. Pada permukaan lateral ramus terdapat tanda perlekatan m.masseter. Pada permukaan medial ramus ditemukan foramen mandibulare. Foramen menuju ke dalam canalis mandibularis, yang bermuara ke permukaan lateral corpus mandibula pada foramen mental. Canalis incisivus adalah lanjutan ke depan dari canalis mandibularis di luar foramen mentale dan dibawah gigi incisivus. 15



Gambar 9. Anatomi Mandibula 16 2.5 Radiologi pada Trauma Craniofacial Modalitas yang digunakan sebagai standar untuk cranio-cerebral dan



trauma facial adalah x-ray konvensional. X-ray konvensional relative sensitif untuk mendeteksi fraktur tulang kranial, namun kurang sensitif untuk fraktur basis cranii dan fraktur tulang wajah. Seiring berkembangnya kelilmuan dan teknologi, Computed Tomography (CT) Scan menjadi modalitas utama pada trauma craniofacial. 17 2.5.1 X-ray Konvensional Pencitraan



standar



untuk



tulang



tengkorak



menggunakan



x-ray



konvensional adalah dengan proyeksi anterior/posterior (AP) dan lateral. Visualisasi melalui proyeksi ini terbatas, dan tidak optimal untuk menilai tulang wajah dan mandibula (Gambar 10). 17



Gambar 10. Fraktur tulang tengkorak dilihat dari x-ray konvensional dengan proyeksi AP dan lateral. Garis lusen tajam tanpa gambaran sklerotik di tulang frontal kiri (panah) 17 Untuk menilai tulang wajah dibutuhkan proyeksi lain yaitu semi-axial, baik dengan proyeksi occipito-mental ataupun proyeksi occipito-frontal, sementara foto panoramic (Gambar 11) dan posisi Clementschitsch untuk menilai mandibula (Gambar 12). Terdapat berbagai teknik yang dapat digunakan dalam pencitraan tulang tengkorak menggunakan x-ray konvensional (Gambar 13). 17



Gambar 11. Foto Panoramik 17



Gambar 12. Foto Mandibula posisi Clementschitsch 17 Proyeksi dalam X-Ray Konvensional



Indikasi



x-ray 2 posisi



Fraktur tulang kranial



Proyeksi occipito-frontal dan occipito-mental



Fraktur tulang wajah



Occipital posisi Towne



Fraktur tulang occipital



Mandibula posisi Clementschitsch



Fraktur tulang mandibula



Mandibula (unilateral) proyeksi oblik



Fraktur mandibula horizontal



Panoramic



Trauma dento-alveolar



x-ray pan-handle (axial)



Fraktur arkus zygomatik



Tulang zygomatic (unilateral) Tulang nasal (lateral)



Fraktur tulang nasal



Gambar 13 Teknik X-ray Konvensional untuk Tulang Tengkorak 17 X-ray konvensional tidak lagi menjadi pilihan utama untuk pencitraan tulang kraniofasial, karena secara umum hanya sensitif untuk fraktur minimal dan sederhana. Gambar D menunjukan contoh pencitraan tulang tengkorak dengan xray konvensional. 17



2.5.2 Computed Tomography (CT) Scan Computed Tomography Scan atau CT Scan, merupakan pencitraan menggunakan x-ray yang berotasi mengelilingi pasien, untuk memberikan informasi mengenai densitas jaringan. CT Scan memudahkan analisis stuktur anatomis tubuh dengan karakterisasi densitas jaringan tubuh yang relatif baik. Untuk meningkatkan kualitas dan terutama untuk menilai vaskularisasi, dapat digunakan kontras yang diinjeksikan secara intravena. Jika diperlukan untuk menilai bagian tubuh yang lebih luas dalm waktu yang bersamaan, saat ini sudah dapat digunakan metode mutlslice spiral CT (MSCT). Sebelum adanya MSCT, jika ingin menilai tulang wajah, harus dilakukan dua kali scanning, axial dan coronal, karena pada dasarnya, hasil proyeksi CT adalah axial. 17 Pada kasus trauma tembus, sensitivitas CT Scan bervariasi. Untuk kaca dan metal mudah dibedakan dengan jaringan tubuh, sementara kayu dan plastic cukup sulit untuk dideteksi. Kayu memiliki densitas yang menyerupai udara, dan plastik terlihat dengan densitas yang berbeda. CT Scan dapat digunakan sebagai penuntun tindakan selama operasi, dan juga untuk mengevaluasi kedudukan tulang setelah direposisi dan proses osteosintesis. 17



2.5.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance adalah modalitas pencitraan yang memanfaatkan gelombang radio, dimana pasien harus ditempatkan dalam ruangan dengan medan magnet yang besar. Oleh karena itu, sebelum memposisikan pasien, semua metal yang dipasang pada tubuh pasien, harus dilepaskan. Untuk itu, pasien yang terpasang alat pacu jantung atau alat elektronik lainnya, tidak dapat melakukan MRI, karena akan mengacaukan kalibrasinya. Pemindaian dngan MRI memakan waktu lebih lama dibanding CT Scan, dan kurang efektif jika digunakan untuk menilai tulang. 17



Gambar 14. Ilustrasi MRI untuk mendeteksi kerusakan jaringan dan hematom subdural (SDH). (a-c) CT pasca trauma kepala, menunjukkanfraktur di atap orbita kanan (ditunjuk panah) dengan keterlibatan sinus frontal. (d,e) Fokal kecil multiple yang hypointense menunjukkan gambaran hematom dari MRI (ditunjuk panah) 17 MRI dapat digunakan untuk evaluasi kemungkinan komplikasi pada pasien postoperative. MRI mampun mendeteksi kerusakan jaringan pada otak post trauma yang dapat mempengaruhi kecepatan pemulihan neurologis pasien (Gambar 14). Kemungkinan kebocoran cairan serebrospinal (CSF) setelah terjadi trauma pada basis cranii dapat dideteksi dengan CT Scan maupun MRI. CT Scan untuk mendeteksi kebocoran CSF dilakukan dalam 2 fase, yang pertama sebelum injeksi kontras, dan yang kedua setelah injeksi kontras.



MRI merupakan pilihan yang tidak invasive, namun kurang sensitif jika dibandingkan dengan CT Scan. Akan tetapi, untuk mendeteksi fistula carotidsinus cavernosa, MRI dan MR angiography merupakan modalitas pilihan untuk menunjang diagnosis. 17 2.5.4 Ultrasonography (USG) Ultrasonography atau yang lebih sering disebut USG, bukan merupakan modalitas pilihan untuk kasus trauma craniofacial. USG masih dapat memberikan gambaran yang baik dalam mendeteksi jaringan otak pada anak-anak, dimana fontanellanya masih terbuka (Gambar 15). 17



Gambar 15. (a) Ultrasonography dari fraktur tulang tengkorak pada anak. (b) ditunjang dengan x-ray konvensional untuk menilai frakturnya. 17 2.6 Fraktur Regio Craniofacial 2.6.1 Fraktur Cranial Fraktur cranial adalah patah atau retak tulang-tulang tengkorak yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti tumbukan atau benturan keras pada tengkorak, seperti karena kecelakaan mobil atau jatuh dapat menyebabkan tengkorak patah tulang dan mungkin juga melukai otak. Fraktur cranial paling banyak disebabkan akibat jatuh dari ketinggian (28% hingga 35%), kecelakaan bermotor (20% hingga 25%) dan paling banyak terjadi pada orang dewasa (30%). Sedangkan pada bayi penyebab terjadinya fratur cranial paling banyak adalah jatuh dan kekerasan. 18, 19 Fraktur cranial terdiri dari beberapa bentuk, yaitu 20: 1. Fraktur linear Fraktur linier (Gambar 16) merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Jika fraktur linear ini terjadi pada bagian sinus ataupun



sutura, maka resiko terjadinya infeksi atau perdarahan akan lebih besar.



Gambar 16. Fraktur linear 2. Fraktur Diastase Fraktur diastase (Gambar 17) adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya pemisahan sutura. Fraktur ini sering terjadi pada anak-anak dan umunya dikaitkan dengan kejadian perdarahan epidural. Fraktur ini sering terjadi pada sutura sagital.



Gambar 17. Fraktur Diastase 3. Fraktur communited Pada fraktur tulang terbagi menjadi beberapa fragmen. Ini terjadi ketika kekuatan yang terjadi mengenai area yang relatif kecil, senjata dengan ukuran kecil, permukaan mencolok seperti palu sering menjadi objek penyebab (Gambar 18). 18, 19



Gambar 18. Fraktur communited 4. Fraktur depresi Fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak dibawah level anatomi normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya masih utuh (Gambar 19). 18, 19



Gambar 19. Fraktur depresi 5. Fraktur Basis Fraktur basis cranii (Gambar 20) adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Pada pasien ini akan ditemukan gejala seperti heamotypanum, rhinorrhea, otorrhoea, battles sign, racoonn eyes dan defisit nervus cranial (nervus 3, 4 dan 5).



Gambar 20. Fraktur Basis 2.6.2 Fraktur Sinus Frontal 2.6.2.1 Etiologi dan Epidemiologi Sinus frontal adalah sinus paranasal yang terletak di os frontal dan yang terakhir berkembang. Sinus frontal timbul dari reses frontal pada usia 2 tahun dan mencapai ukuran dan bentuk dewasa setelah masa remaja. Fraktur sinus frontal biasanya terjadi karena trauma tumpul pada bagian depan wajah. Fraktur sinus frontal mewakili 5 hingga 15% dari semua fraktur wajah yang terjadi dan paling sering disebabkan oleh trauma kraniofasial kecepatan tinggi, seperti tabrakan kendaraan bermotor, serangan, atau jatuh. 20, 21 2.6.2.2 Gejala Klinis Fraktur sinus frontal harus dicurigai pada semua pasien dengan trauma pada wajah bagian atas. Fraktur posterior table selalu bersamaan dengan fraktur anterior table. Fraktur yang melibatkan dinding posterior dan atau saluran nasofrontal kemungkinan akan disertai dengan depresi pada daerah supraorbital, hilangnya sensasi dalam distribusi saraf supraorbital, dan rhinorrhea cairan serebrospinal. 22 2.6.2.3 Pemeriksaan Radiologi Gold standar dalam mendiagnosis dan mengklasifikasi fraktur sinus frontal adalah computed tomography (CT) scan pada wajah, kepala, dan leher. Foto polos sebenarnya dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur sinus frontal, tetapi tidak cukup untuk menilai tingkat fraktur atau mendeteksi keterlibatan nasofrontal. 23,24,25



CT scan yang bisa dilakukan yaitu (Gambar 21) CT axial untuk melihat



lokasi, tingkat keparahan dan derajat fraktur anterior table maupun posterior table; CT Coronal untuk memperlihatkan fraktur sinus floor dan fraktur orbital roof; CT



sagital untuk menilai duktus nasofrontal. 5



Gambar 21. A. Axial B. Coronal C. Sagital fraktur sinus frontal 2.6.3 Fraktur Orbital Trauma tumpul pada mata dan daerah orbita dapat menyebabkan kerusakan pada dinding tulang orbita. Trauma secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) dapat menyebabkan fraktur pada tulang orbital. Daerah tulang orbita yang paling rentan terhadap trauma adalah dinding inferior dan medial. Apabila fraktur terjadi hanya pada dinding orbita, dapat terjadi suatu kondisi yang disebut fraktur blow-out atau blow-in. Blow-out ini yaitu fraktur pada dinding inferior orbital yang mengarah ke bawah dan memasuki sinus maksilaris. Blow-in terjadi saat fragmen fraktur dinding orbita terdorong masuk ke dalam orbita space atau cavum orbital. 26



(Gambar 22)



2.6.3.1 Etiologi dan Epidemiologi Sebesar 70% kasus fraktur blow out disebabkan karena trauma tumpul, 13% kecelakaan lalu lintas, 10% terjatuh, dan 6% luka tembak. Sedangkan, untuk kejadian fraktur blow in lebih jarang terjadi dibanding blow out. Fraktur ini lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita, hal ini seiring dengan angka kejadian trauma yang lebih sering terjadi di pria. Pada wanita penyebab tersering fraktur ini adalah kekerasan dalam rumah tangga 27 2.6.3.2 Klasifikasi Fraktur blow-out dan blow-in perlu di perhatikan keadaan keterlibatan orbital rimnya. Fraktur blow-out ataupun fraktur blow-in yang melibatkan orbital rim disebut dengan impure blow-out atau impure blow-in, sedangkan yang tidak melibatkan orbital rim disebut dengan pure blow-out atau pure blow-in. 28



Gambar 22. A. Fraktur blow-out B. Fraktur blow-in 2.6.3.3 Manifestasi Klinis Pada fraktur blow-out ditemukan gejala enophtalmos, restrictive strabismus, dan rasa baal di infraorbital yaitu di daerah kelopak mata bawah dan pipi, sampai ke gusi atas. Selain itu, ditemukan juga gejala penurunan visus dan vertical diplopia, ekimosis, ptosis dan pembengkakan pada daerah periorbital, gerakan bola mata terbatas, disertai rasa nyeri bila bola mata digerakkan, dapat juga ditemukan pendarahan subconjunctiva pada bola mata. 26 Pada fraktur blow-in terdapat gejala yang khas dirasakan pasien yaitu adanya proptosis dari bola mata, hal ini terjadi disebabkan karena bola mata yang terdorong keluar akibat dari fragmen fraktur terdorong dan menyebabkan volume orbita space pada mata berkurang sehingga tekanan meningkat dan mendorong bola mata. Selain itu gejala klinis yang dirasakan mirip dengan fraktur blow-out seperti adanya vertical diplopia, gangguan pergerakan bola mata, hipestesia di daerah periorbital maupun pada pipi, dapat pula ditemukan ekimosis dan pembengkakan pada daerah periorbital. 26 2.6.3.4 Pemeriksaan Radiologis Pada pemeriksaan radiologis, pemeriksaan rontgen kepala merupakan hal pertama yang bisa kita lakukan ketika terjadi fraktur orbita ini. Pada fraktur blowout akan tampak gambaran seperti alis mata hitam pada superior orbita (Gambar 23 dan gambar 24).



27



Pada fraktur-blow in (Gambar 25) sering terjadi fenomena



trap- door dimana fragmen fraktur yang masuk ke dalam orbital space tidak dapat ter reduks secara spontan oleh gaya gravitasi ke tempat semula karena tertahan oleh mukosa sinus maxillaris. 26 Pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan penunjang yang penting



dilakukan untuk menegakan diagnosa, pada CT Scan dapat menilai tulang yang mengalami fraktur, ukuran fraktur dan juga keterlibatan dari otot-otot ektraokular. CT Scan yang dapat dilakukan yaitu dengan potongan coronal dan sagital. 28 Gambar 23. Rontgen kepala fraktur blow out



Gambar 24. CT Scan fraktur blow-out



Gambar 25. Fraktur blow-in dengan Fenomena Trap-Door 2.6.4 Fraktur Zygoma Tulang zygoma (Os.zygoma) atau yang lazim disebut tulang pipi, yang berartikulasi dengan tulang maxilla, temporal, spheniod, dan frontal. Tulang ini lebih menonjol dan membentuk kedudukan pipi, oleh karena itu, sering menjadi lokasi berbagai derajat trauma.29 Kejadian ini dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya, usia, jenis kelamin, status ekonomi, dan mekanisme trauma. Dari berbagai



trauma



yang



dapat



terjadi



pada



wajah,



fraktur



kompleks



zygomaticomaxillary (ZMC) merupakan jenis fraktur terbanyak kedua, setelah fraktur os.nasal. 1, 31 Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tripod, tetrapod



atau quadripod, fraktur trimalar ataupun fraktur malar (Gambar 26). 30



Gambar 26. Kompleks Zygomatik: fraktur tetrapod atau quadripod 4 2.6.4.1 Etiologi dan Epidemiologi Fraktur ZMC ini paling sering diakibatkan oleh kekerasan dan kecelakaan lalu lintas, dengan mayoritas pada laki-laki usia dekade ketiga. Walaupun fraktur ini sering terjadi, namun menurut berbagai penelitian, fraktur ZMC biasanya berhubungan dengan fraktur lain didaerah maxillofacial.30 2.6.4.2 Manifestasi Klinis Pasien dengan fraktur ZMC biasanya datang dengan keluhan diplopia, enopthalmos, perdarahan subkonjungtiva, kedudukan pipi yang memipih, gagging of the occlusion, dan gangguan sensoris. Diagnosis fraktur ZMC dapat ditegakkan dari klinis pasien dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologi.



30



Jika tidak



ditatalaksana dengan baik, fraktur ZMC dapat mengakibatkan deformitas akibat pipi yang memipih, atau terbatasnya pergerakan mandibular akibat depresi os.zygoma terhadap prosesus koronoid dari mandibula. 30 2.6.4.3 Pemeriksaan Radiologi Sebagaimana fraktur lainnya, diagnosis ditegakkan dengan berbagai modalitas, terutama dengan CT Scan. CT Scan sudah menjadi gold standard untuk mendiagnosis fraktur ZMC (Gambar 27) dan sebagai penuntun dalam tatalaksana.31



Gambar 27. CT Scan axial menunjukkan fraktur zygoma yang mengkompresi otot temporalis 30 2.6.5 Fraktur Naso-Orbito-Ethmoid (NOE) Regio nasoethmoid adalah kompleks 3 dimensi dari zona wajah yang penting dalam proyeksi hidung dan wajah sentral. Regio ini juga penting dalam anatomi orbita normal, karena merupakan tempat menempelnya otot ekstraokular dan sebagai “rangka” sistem lakrimal.31 Fraktur NOE menyumbang kurang dari 5 dan 15% kejadian fraktur pada tulang wajah dewasa dan anak. Fraktur di regio ini, berkaitan dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSF), orbita, globe, ductus nasolacrimal, nasal, midfacial, dan trauma intracranial.31 2.6.5.1 Etiologi Fraktur NOE biasaya terjadi akibat baenturan keras ke central midfasial, baik trauma tumpul maupun tembus. Sesuai dengan etiologi terbanyak dari trauma kraniofasial, pada fraktur NOE juga disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kekerasan, dan jatuh dari ketinggian. 31 2.6.5.2 Manifestasi Klinis Pasein dengan fraktur NOE umumnya datang tampilan edema wajah yang masif dengan distorsi signifikan dari jaringan lunak pada wajah. Terkadang dengan keluhan epifora akibat obstruksi ductus nasolacrimal, diplopia akibat terganggunya tendon bagian orbital atau medial canthal, anosmia akibat kerusakan pada lamina kribiformis, dan sumbatan hidung yag terjadi akibat hematoma septal atau deformitas tulang dan atau kartilago hidung. 31 2.6.5.3 Diagnosis Selain berdasarkan anamnesis, keluhan serta temuan klinis secara inspeksi yang sudah dipaparkan sebelumnya, salah satu tanda patognomonis dari fraktur NOE ditemukan dengan palpasi. Palpasi pada mobile central fragment diikuti



dengan. Pemeriksaan intra dan ekstranasal. Selain itu, dapat dilakukan extra nasal bow-string test untuk membantu pemeriksa. Saat medial lid di tarik ke arah lateral sembari mempalpasi area tendon untuk mendeteksi pergerakan dari bagian yang mengalami fraktur. Adanya tahan atau pergerakan dari tulang terkait mengarahkan dugaan ke fraktur NOE.30 Namun pemeriksaan fisik sering kali tidak cukup untuk memeriksa keseluruhan kerusakan yang terjadi. Sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pencitraan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dari fraktur yang mungkin terjadi akibat trauma tersebut.30 2.6.5.4 Pemeriksaan Radiologis Salah satu klasifikasi untuk menentukan fraktur NOE yang digunakan adalah klasifikasi Manson (Gambar 28). Sistem Manson ini membagi fraktur menjadi tiga kelompok, berdasarkan medial canthus. 24



Gambar 28. Klasifikasi fraktur NOE menurut sistem Manson. Tipe I: fraktur pada sebagian besar tulang. Tipe II: terjadi fraktur comminuted. Tipe III: fraktur dimana terjadi avulsi ligament medial canthal dari lokasi insersinya. Pemeriksaan radiologis pada fraktur NOE diharapkan dapat memberikan informasi terkait adanya fraktur comminuted di basis vertical medial dari tulang wajah, terkhususnya area fossa lakrimalis, tempat medial canthal. Informasi radiologis tentang jarak kedua fossa lakrimal akan membantu operator bedah untuk menentukan apakah pasiennya membutuhkan medial canthoplasty atau tidak.



Kerusakan pada duktur nasolacrimal akan merupakan predisposisi terbentuknya mucocele jika tidak dilakukan tatalaksana operatif (Gambar 29). 24



(a) (b) Gambar 29. Duktus nasofrontalis. (a). Nonenhanced coronal CT menunjukan anatomy normal regio ductus nasofrontal (tanda *). (b). Nonenhanced CT pada pasien dengan fraktur comminuted the regio ethmoid yang mengganggu ductus nasofrontalis (tanda *). 2.6.6 Fraktur Nasal Fraktur nasal adalah fraktur yang paling sering terjadi, dan menempati urutan ketiga dari seluruh fraktur tubuh manusia. Fraktur nasal umumnya tidak mengancam jiwa, tetapi apabila penanganannya tidak tepat dapat menimbulkan gangguan fungsi hidung dan kosmetik. Hidung terletak pada pusat wajah dan menonjol pada bidang sagital wajah serta hanya mengandung sedikit tulang. Akibatnya hidung menjadi struktur paling lemah dan rentan terhadap cedera. 10 2.6.6.1 Epidemiologi dan Etiologi Fraktur nasal merupakan fraktur tulang wajah yang paling umum dijumpai, dengan frekuensi kira-kira 40% dari seluruh insidens fraktur tulang muka.31 Insiden fraktur nasal sangat inggi dan meningkat seiring bertambahnya usia. Fraktur nasal jarang terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Insiden fraktur nasal pada pria 2-3 kali lebih banyak daripada wanita. 10 Penyebab tersering dari fraktur tulang hidung adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olahraga, dan lainnya. Fraktur tulang hidung merupakan salah satu tipe fraktur tulang wajah yang paling sering dijumpai. 25 Trauma lateral menyebabkan fraktur depresi ipsilateral, deformitas dorsum nasi bentuk C atau S, fraktur dinding medial os maksila dan deformitas septum.



Trauma anterior menyebabkan fraktur apeks nasi, dorsum nasi menjadi rata dan melebar dan melebar (saddle nose), dan deformitas septum (Gambar 30). Teknik reduksi seringkali dapat menyebabkan deformitas deviasi septum nasal. Kebanyakan pasien akhirnya membutuhkan nasal-septal rhinoplasti untuk memperbaiki deviasi septum nasal. Trauma inferior menyebabkan pola fraktur yang lebih kompleks disertai fraktur dan dislokasi septum. Tipe fraktur nasal lain yaitu tipe fraktur depresi yaitu apabila kekuatan trauna dari frontal cukup besar sehingga menyebabkan open book fracture, dimana septum menjadi kolaps dan os nasal melebar, bahkan pada kekuatan trauma yang lebih kuat dapat menyebabkan fraktur komunitif os nasal dan proc frontalis os maksila menjadi rata dan dorsum nasi menjadi lebar. Fraktur angulasi atau fraktur bilateral yaitu trauma dari arah lateral yang dapat menyebabkan fraktur depresi unilateral sisi trauma atau pada kedua sisi os nasal dan deviasi septum serta fraktur greenstick. 10



Gambar 30 Pola Fraktur Nasal 10 2.6.6.3 Klasifikasi 1. Fraktur nasal lateral / unilateral : Fraktur yang hanya terjadi pada satu sisi saja 2. Fraktur nasal bilateral : Fraktur yang disertai dislokasi septum nasal atau terputusnya tulang nasal dengan tulang maksilaris 3. Fraktur direct frontal : Fraktur os nasal dan os frontal sehingga menyebabkan desakan dan pelebaran pada dorsum nasi. 4. Fraktur communited : Fraktur kompleks yang terdiri dari beberapa fragmen. Fraktur ini akan menimbulkan deformitas dari hidung yang



tampak jelas. Klasifikasi fraktur tulang nasal menurut Samuel berdasarkan berat dan kerusakan septum nasi , terbagi menjadi 5 yaitu : 10,25 1. Tipe I : fraktur sederhana tanpa deviasi, jika terjadi fraktur unilateral/bilateral tanpa menyebabkan pergeseran pada garis tengah 2. Tipe II : Fraktur sederhana dengan deviasi, jika terjadi fraktur unilateral/bilateral dan menyebabkan pergesaran pada garis tengah 3. Tipe III : Fraktur communited, jika terjadi fraktur bilateral yang menyebabkan septum tidak lurus tetapi tidak menyebabkan pergeseran garis tengah. 4. Tipe IV : deviasi tulang hidung dan fraktur tulang nasi, jika terjadi fraktur bilatera yang menyebabkan septum tidak lurus dan menyebabkan pergeseran garis tengah dan juga terjadi fraktur septum nasi ataupun dislokasi septum nasi 5. Tipe V : fraktur kompleks nasal dan septum nasi, jika terjadi fraktur dan juga menyebabkan laserasi pada jaringan, serta saddle nose Klasifikasi fraktur tulang nasal menurut Michael, terbagi menjadi 5 yaitu (Gambar 31) : 10,25 1. Type I : Cedera terbatas pada jaringan lunak 2. Type II : Simple, unilateral nondisplaced fracture 3. Type III : Simple, bilateral displaced fracture 4. Type IV : Closed comminuted fracture 5. Type V : Open comminuted fracture atau complicated fracture



Gambar 31 Klasifikasi Fraktur Nasal 24 2.6.6.4 Manifestasi Klinis Pada anamnesis didapatkan adanya riwayat benturan pada midface baik dari arah depan atau lateral (Gambar 32). Temuan klinis yang sering ditemukan pada fraktur nasal yaitu pembengkakan dan nyeri tekan pada hidung. Selain itu, dapat juga ditemukan deviasi hidung, krepitasi, epistaksis, rhinorrhea cairan serebrospinal, hematoma septum nasi, teraba garis fraktur, edema, laserasi kulit, ekimosis pada hidung dan sekitarnya. 25 Pemeriksaan septum dengan spekulum hidung atau dengan cotton swab kadang-kadang ditemukan hematoma septal. Udem hebat jaringan lunak disekitar hidung adalah fenomena yang sering ditemukan. Hal ini dapat menunda tatalaksana karena pemeriksaan fisik yang akurat akan menjadi sulit dilakukan. Seringkali, ditemukan juga tanda-tanda cedera pada midface lainnya. 25



Gambar 32 Fraktur nasal. Foto kanan : Tampak deviasi dengan C shaped dari axis nasal (A), laserasi kulit (B), edema dorsum nasi (C). Foto kiri : rontgen lateral, tampak fraktur nasal 11 2.6.6.5 Pemeriksaan Radiologi Fraktur nasal pada umumnya dapat ditegakkan diagnosisnya tanpa penunjang penunjang, tapi adanya pemeriksaan radiologis dapat membantu untuk memastikan tidak adanya fraktur tulang wajah lain. Foto rontgen arah lateral dapat menunjang diagnosis. 25 1. Foto polos konvensional Sekitar 50% fraktur nasal tidak terlihat pada foto polos konvensional (Gambar 33). False positif juga dapat ditemukan, karena kompleksitas anatomi dari development suture lines. Cedera tulang rawan (kartilago) tidak dapat terdeteksi oleh foto polos konvensional, sehingga tidak rutin dilakukan foto nasal pada fraktur nasal terisolasi. 25 Foto polos nasal untuk menegakkan diagnosis fraktur nasal masih menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan banyaknya salah persepsi antara garis sutura normal dengan garis fraktur. Selain itu, foto polos nasal juga tidak dapat mendeteksi adanya cedera tulang rawan, yang terutama banyak terjadi pada anak. 10



Gambar 33 Fraktur nasal Lateral View : A) Simple fracture nasal B) Fraktur komminuted di tulang hidung 25



Gambar 34. Foto Nasal Normal (A), Fraktur nasal terlihat pada foto lateral (C kiri)25 2. CT scan CT scan (Gambar 35 dan Gambar 36) memberikan informasi paling baik untuk menilai luasnya cedera tulang hidung dan kemungkinan adanya fraktur pada tulang wajah lainnya. CT scan memiliki sensitifitas dan spesifistas lebih besar untuk diagnosis fraktur nasal. Namun biasanya mahal dan memiliki efek radiasi lebih besar dan tidak begitu besar peranannya dalam penatalaksanaan fraktur



nasal. Untuk fraktur nasal saja, penggunaan CT scan tindak dianjurkan kecuali ada kecurigaan fraktur maksilofasial. CT scan digunakan untuk luasnya cedera. Potongen CT scan yg paling tepat untuk mengevaluasi midfacial, orbital dan sinus frontalis adalah potongan koronal dan aksial. 10,25



Gambar 35 Fraktur nasal, tampak fraktur os nasal, fraktur dan deviasi septum, dan fraktur dinding sinus maksilaris anterior kiri 24



Gambar 36 CT scan nasal normal (B), Fraktur nasal (D) 24 2.6.7 Fraktur Mandibula Fraktur mandibula adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang pada



tulang mandibula. Pemeriksaan klinis merupakan gold standar dalam mendiagnosis fraktur mandibular. Pemeriksaan klinis juga dapat dilengkapi dengan radiografi untuk diagnosis dan perencanaan terapi fraktur mandibula. Foto polos panoramik merupakan modalitas radiografi utama untuk mengevaluasi fraktur mandibula. 14, 23 2.6.7.1 Epidemiologi dan Etiologi Fraktur mandibula sering ditemukan. Fraktur mandibula ditemukan sekitar 36-70% dari fraktur maksilofasial.



14



Penonjolan, bentuk dan posisi mandibula



yang di tepi dan sepertiga wajah bawah menyebabkannya lebih sering mengalami trauma dibandingkan dengan tulang wajah lainnya.



23



Fraktur mandibula lebih



banyak ditemukan pada pria, dengan rentang usia 21-30 tahun. Lokasi fraktur mandibula adalah pada korpus (29%), condylus (26%), angulus mandibula (25%), simfisis mandibula (17%), ramus mandibula (4%), coronoid (1%). 14 Penyebab fraktur mandibula yaitu perkelahian (49%), kecelakaan lalu lintas (25%), jatuh (13%), dan lainnya seperti luka tembak, trauma pencabutan gigi, ataupun proses patologi.14 Fraktur mandibula biasanya disebabkan oleh trauma langsung.36 Penanganan fraktur mandibula sangat penting terutama untuk mendapatkan efek kosmetik dan oklusi gigi yang baik. 14 Mandibula dibagi menjadi 7 regio atau daerah anatomis yaitu prosesus condylaris, prosesus koronoidalis, ramus, angulus, corpus, alveolus dan simfisis parasimfisis mandibula. Daerah mandibula yang lemah adalah derah kondilussubkondilus, angulus dan daerah simfisis-parasimfisis mandibula. 14,23 2.6.7.2 Klasifikasi Fraktur mandibula (gambar 37) dapat diklasifikasian berdasarkan beberapa kategori yaitu : 23 1. Menurut arah fraktur : horizontal, vertikal 2. Menurut tipe fraktur : horizontal, greenstick, depresi, comminuted, impaksi, dll 3. Menurut ada tidaknya gigi dalam rahang : dentulous, partially dentulous, edentulous 4. Menurut lokasi anatomi : simfisis, korpus, angulus, ramus, kondilar dan subkondilar



Gambar 37 Fraktur mandibular 16 Berdasarkan anatominya, fraktur mandibula dibagi menjadi : 1. Fraktur simfisis : Fraktur di regio insisiura sentral yang berjalan dari prosesus alveolar sampai ke regio bawah mandibula 2. Fraktur parasimfisis : Fraktur di batas linea vertikal distal dari gigi caninus 3. Fraktur korpus (body) : Fraktur dari simfisis distal sampai ke linea yang menghubungkan batas alveolar dengan m.masseter (sekitar molar ketiga) 4. Fraktur angulus (angle) : Fraktur di regio triangular yang dibatasi oleh batas anterior m.masseter, sampai ke posterosuperior m.masseter (sekitar molar ketiga) 5. Fraktur ramus : Fraktur di ramus mandibula 6. Fraktur prosesus coronoid : Fraktur di area prosesus coronoid sampai ke regio ramus 7. Fraktur prosesus alveolar : Fraktur di area yang bergigi 8. Fraktur prosesus condylar : Fraktur di area prosesus condylaris sampai ke regio ramus. Fraktur condylar dibagi lagi menjadi tiga yaitu ekstrakapsular, subcondlyar, dan intra-kapsular. 2.6.7.3 Manifestasi Klinis Temuan umum fraktur mandibula berupa nyeri saat menggerakan rahang,



maloklusi dan ketidakmampuan untuk membuka mulut (trismus). Gangguan mobilitas, nyeri tekan dan krepitus dapat ditemukan sepanjang simfisis, angulus, atau korpus. Edema intraoral, ekimosis, perdarahan gingiva kadang-kadang ditemukan. Pada pemeriksaan harus diperhatikan adanya asimetri dan maloklusi. Pada palpasi, dapat teraba garis fraktur dan mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada n.mandibularis. 23 Fraktur mandibula pada umumnya disertai dislokasi fragmen tulang, dan akan ada gangguan penarikan otot sesuai dengan tonus otot yang berinsesi di tempat tersebut (gambar 38). Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang ke arah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral, patahan tulang akan tertarik ke arah kranial.



23



Efek aksi otot terhadap fragmen



fraktur sangat penting dalam mengklasifikasikan fraktur angulus dan korpus mandibula. Fraktur angulus dapat diklasifikan menjadi vertikal (favorable, unfavorable) dan horizontal (favorable, unfavorable). Otot yang berada pada ramus (masseter, temporal, pterygoid medial) akan menarik segmen proksimal ke atas dan ke medial, dan simfisis mandibula akan berpindah tempat ke bawah dan ke belakang oleh tarikan otot digastric, geniohyoid dan genioglossus.



15



Saat



fraktur bersifat vertikal dan horizontal unfavorable, fragmen biasanya akan berpindah. Saat fraktur bersifat vertikal dan horizontal favorable, otot-otot ini justru menstabilisasikan fragmen tulang. 14



Gambar 37 Otot pada mandibula 24 Anterior open bite dapat terjadi jika terjadi fraktur bilateral kondilar atau angulus. Gangguan saraf alveolar inferior, termasuk cabang mental, dapat



menyebabkan paresthesia atau anestesi dari setengah dari bibir bawah, dagu, gigi dan ginggiva jika fraktur melibatkan mandibula angulus, korpus, atau parasimpisis. 23 2.6.7.4 Pemeriksaan Radiologi Diagnosis fraktur mandibula dapat dibantu dengan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi yang dapat dilakukan pada fraktur mandibula adalah foto polos panorama, posisi PA, lateral, Towne, lateral oblik kiri dan kanan. Jika dibutuhkan, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan. Insisiasi skrining yang paling efektif mendeteksi fraktur mandibula adalah foto panoramic, karena dapat memperlihatkan keseluruhan mandibula, termasuk condylaris. Foto mandibula standar setidaknya dapat terdiri dari foto polos panoramic, posisi PA dan posisi reverse Towne. 14,23 Radiologis yang paling informatif dalam mendiagnosis fraktur mandibula adalah radiografi panoramik (Gambar 39). Radiografi panoramik (pantomografi, rotational radiography) menghasilkan foto yang dapat memperlihatkan gambaran



struktur



facial



termasuk



mandibula,



maksila



dan



struktur



pedukungnya. Teknik radiografi ini dapat digunakan untuk mengetahui kondisi mandibula mulai dari kondilus kanan sampai kondilus kiri beserta posisi gigi geliginya termasuk oklusi terhadap gigi maksila. Keuntungan foto panoramik adalah cakupan anatomi luas, dosis radiasi rendah, bisa dilakukan pada penderita trismus. Kekurangan radiografi panoramik adalah membutuhkan pasien dalam kondisi berdiri tegak, hal ini mungkin sulit pada pasien dengan trauma berat sehingga dapat digantikan dengan posisi lateral oblik. Radiografi panoramik juga tidak memiliki kemampuan untuk melihat secara detail arah TMJ dan simfisis. 23



Gambar 39 Foto panorama. Fraktur pada angulus mandibula kanan 24



Foto polos konvensional posisi PA (Gambar 40), lateral dan oblik dapat membantu dalam mendeteksi fraktur mandibula. Posisi PA dapat melihat fraktur pada ramus, angulus dan korpus mandibula, namun sulit untuk melihat fraktur di simfisis dan condylaris karena superposisi anatomi demgam tulang mastoid dan servikal. Posisi oblik, hampir sama seperti posisi PA, memperlihatkan ramus, angulus dan corpus manidbula dengan baik, namun juga sulit untuk melihat condylaris dan simfisis mandibula. Posisi lateral membantu dalam menilai keadaan temporomandibular joint, dan dapat menilai sedikit lebih baik terhadap fraktur di condylaria daripada posisi PA dan lateral. 23



Gambar 40 A) Foto posisi PA. B) Foto posisi oblik. C) Foto posisi lateral 24 Foto polos proyeksi Reverse-Towne (Gambar 41) digunakan untuk pasien yang condylaris mandibula yang mengalami perpindahan tempat dan juga dapat melihat dinding posterolateral pada maksila. Posisi ini merupakan posisi PA dengan pasien dalam keadaan keadaan fleksi leher dan mulut terbuka, sehingga mencegah superposisi anatomi dengan tulang mastoid. Posisi reverse Towne dapat mengeksklusi fraktur pada condylar dan subcondylar. Jika visualisasi condylar sulit dengan foto polos konvensional, maka dapat dilakukan CT scan. 16, 23



Gambar 41 Posisi Reverse Town : tampak fraktur condylaris mandibula kiri 24 Sensitivitas CT (Gambar 42 dan 43) scan dalam mendeteksi fraktur mandibula adalah mencapai 100%. Selain itu, CT scan dapat membantu untuk melihat kelainan pada wajah lainnya, termasuk tulang frontal, kompleks nasoorbitaletmoid (NOE), orbita dan lainnya. CT scan juga ideal untuk mendeteksi fraktur condyaris. 23



Gambar 42 CT Scan potongan axial, memperlihatkan fraktur mandibula 24



Gambar 43 CT Scan : A) coronal, fraktur korpus mandibula kiri B) sagital, fraktur korpus mandibula 24 USG juga dapat mendeteksi fraktur mandibula, dengan sensitivitas hingga 94%. Sehingga USG juga memberikan hasil yang cepat, tidak mahal, dan aman. USG dapat sangat berguna pada pasien tidak stabil, hamil, ataupun pasien yang ingin mengurangi pajanan terhadap radiasi. Akan tetapi, USG memberikan gambaran yang kurang detail terutama dalam menentukan severitas dari fraktur karena terbatasnya detail posisi dan spatial. MRI pada cedera mandibula



dilakukan jika ingin menilai adanya cedera jaringan lunak disekitarnya.23 2.6.8 Fraktur Maksilla Sebagian besar regio midfacial dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina dan tulang nasal. Tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah yaitu rongga mulut, rongga nasal dan fossa orbita. Rongga lainnya adalah sinus maksila. Banyaknya rongga di midfacial menyebabkan regio ini menjadi sangat rentan terkena fraktur. Fraktur maksila adalah fraktur terputusnya kontinuitas struktur tulang pada tulang maksila. 12, 13 Fraktur pada midface sering terjadi dan merupakan trauma yang membahayakan. Pada tahun 1901, Le Fort melaporkan tentang trauma tumpul pada tengkorak kadaver yang diberikan dengan berbagai besar kekuatan dan berbagai arah trauma. Fraktur cenderung terjadi pada lokasi tertentu, yang berhubungan dengan area yang lemah pada tulang fasial. Le Fort menyimpulkan adanya alur yang dapat diprediksi mengikuti tipe dari arah trauma. 12,13 2.6.8.1 Epidemiologi, Etiologi Maksila berperan sekitar 6-25% dari seluruh fraktur fasial. Fraktur maksila biasanya akibat dari trauma tumpul berenergi tinggi ke tulang wajah. Penyebab trauma maksila yaitu kecelakaan lalu lintas, perkelahian dan jatuh. 2.6.8.2 Klasifikasi Alur fraktur pada midface diprediksi mengikut tipe tertentu trauma, dengan tiga tipe dominan Le Fort, yaitu : 12 13 1. Fraktur Le Fort Tipe I (Guerin’s, horizontal) Fraktur Le Fort I (Gambar 44) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat adanya edema. Garis fraktur berjalan dari aperture piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan ke dinding sinus maksilaris. Krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal, prosesus pterigoideus, dinding posterior sinus maksilaris hingga kembali ke apertura piriformis. Patah tulang mendatar rendah, bagian alveolus yang mengandung gigi atas tulang atas maksila terlepas.



Garis fraktur horizontal memisahkan bagian bawah dari maksila, lempeng horizontal dari tulang palatum, dan sepertiga inferior dari sphenoid pterygoid processes. Seluruh arkus dental maksila dapat bergerak atau teriris. Hematoma pada vestibulum atas (Guerin’s sign) dan epistaksis dapat timbul. 9, 12 13



Gambar 44 Fraktur Le Fort I 15,16



2. Fraktur Le Fort Tipe II (Piramidal) Manifestasi fraktur Le Fort Tipe II (Gambar 45) adalah edema di kedua periorbital, disertai ekimosis yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya juga ditemukan hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya ditemukan dan sering juga berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epsitaksis juga dapat ditemukan. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris ke bagian anteromedial dari dinding inferior orbita, terus ke bagian tengah cincin infraorbital, dinding fasial sinus maksilaris, krista zigomatikoalveolaris, bagian posterior sinus maksilaris, prosesus pterigoideus, fisura orbitalis inferior hingga sampai ke garis fraktur pada bagian orbita. Sebagai tambahan, juga terdapat fraktur pada vomer dan lamina perpendikularis. 9



Fraktur membentuk pyramid (bagian alveolus dan etmoid terlepas), fraktur ini mengenai tulang-tulang wajah tengah. Garis fraktur dimulai inferior ke sutura nasofrontal dan memanjang melalui tulang nasal dan sepanjang



maksila menuju sutura zygomaticomaxillary, termasuk sepertiga inferomedial dari orbita. Fraktur kemudian berlanjut sepanjang sutura zygomaticomaxillary melalui lempeng pterygoid. Fraktur pada lamina cribriformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena fraktur ini sangat mudah digerakaan maka disebut floating maxilla. 9



Gambar 45 Fraktur Le Fort II 15,16 3. Fraktur Le Fort III (transversal, craniofacial disjunction) Fraktur Le Fort III (Gambar 46) menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada fraktur ini adalah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema dan ekimosis periorbital. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalais atau sutura frontomaksilaris lewat os. lacrimale, dinding medial orbita, foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan terus ke sutura zygomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus zigomatikus. Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan secara lengkap antara tulang wajah dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid dan lamini cribriformis. 9 Fraktur Le Fort III merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan



basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai, sekitar 5-15%. Arah trauma dapat oblik maupun horizontal. Bila komplit, garis fraktur terletak di sisi atas hidung (suturan fronto- nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lamina papirasea, sinus ehtmoid dan fisura orbitalis inferior 9, 12 13



Gambar 46 Fraktur Le Fort III 15,16 2.6.8.3 Manifestasi Klinis Fraktur maksila biasanya bilateral. Secara klinis, wajah tampak bengkak, mata tertutup karena hematoma, ingus berdarah dan seringkali disertai dengan gangguan kesadaran. Temuan klinis fraktur Le Fort I meliputi edema wajah dan mobilitas dari palatum durum, alveolus dan gigi rahang atas. Pada fraktur Le Fort II meliputi edema wajah, telekantus (peningkatan jarak antara kedua kantus medial kelopak mata), perdarahan subkonjungtiva, mobilitas rahang atas pada sutura nasofrontal, epistaksis, dan mungkin rhinorrhea dari cairan serebrospinal. Temuan karakteristik patah tulang Le Fort III meliputi edema wajah yang besar dengan pembulatan wajah (wajah balon). Anterior open bite dapat ditemukan karena terdapat pergeseran postero-inferior dari kerangka midfasial. 12 Pemeriksaan lokal dilakukan dengan inspeksi dan palpasi ekstraoral dan intraoral. Pada inspeksi diperhatikan adanya asimetri muka, udem, hematom, trismus, dan maloklusi (gangguan penutupan rahang). Palpasi harus dilakukan secara serentak, seksama, dan sistematis (3S). Pada pemeriksaan dinilai apakah



ada gerakan abnormal atau palpasi bimanual pada kedua belah pinggir orbita untuk membandingkan kiri dan kanan secara 3S. Diagnosis didukung oleh foto rotgen posisi waters, agar bayangan wajah tidak tersamarkan oleh struktur tulang dasar tengkorang dan vertebre servikal. 12



Gambar 47 Foto kanan : Edem wajah masif (wajah balon) pada fraktur Le Fort III24 Foto kiri : Anterior open bite pada fraktur Le Fort III24 2.6.8.4 Pemeriksaan Radiologi Diagnosis fraktur maksilofasial ditegakkan secara klinis ditunjang oleh pemeriksaan lainnya. Fraktur maksila sulit terlihat secara jelas dengan pemeriksaan radiologi biasa tapi mudah terlihat melalui CT scan kraniofasial potongan koronal dan aksial. CT scan sangat dibutuhkan khususnya untuk daerah orbita. Pemeriksaan radiologi biasa yang masih dapat digunakan adalah Waters, skull lateral. 16 Foto polos konvensional Foto polos konvensional secara relatif sensitif terhadap fraktur tempurung kepala (kranial), namun kurang sensitif terhadap fraktur di basis kranii dan tulang fasial. Foto polos konvensional terbatas dalam kemampuan penetrasinya terhadap edema jaringan lunak yang luas, dan membedakan antara kompleksitas tulang.



16



Pemeriksaan foto polos konvensional yang dapat digunakan yaitu posisi PA, lateral, Waters, dan lainnya. 16 CT Scan CT scan dapat memberikan gambaran fraktur di kranial, tulang fasial serta di basis kranii (Gambar 48 dan Gambar 49). Selain itu, CT scan juga dapat



memberikan informasi mengenai adanya perdarahan intrakranial serta cedera pada cerebrum. CT scan merupakan pilihan dalam imaging fraktur fasial, terutama pada kasus multipe fraktur.



Gambar 48 CT scan Trans-axial, fraktur Le Fort I bilateral 17



Gambar 49 CT scan coronal fraktur Le Fort II 17 2.6.8.5 Tatalaksana A. Fraktur Le Fort Kebanyakan fraktur Le Fort akan membutuhkan fiksasi pada level maksila yang lebih rendah untuk membangun fondasi yang tepat untuk sisa stabilisasi fraktur. Paparan transmukosa sublabial memberikan paparan yang sangat baik pada wajah depan rahang atas secara bilateral sehingga memungkinkan perbaikan pada Le Fort I.31 B. Lengkungan gigi Setiap fraktur yang melibatkan lengkung gigi, umumnya lengkung batang diterapkan terlebih dahulu untuk membantu mengurangi oklusi.31 C. Fraktur Nasofrontal junction



Diekspos melalui sayatan koronal jika diperlukan. Kalau tidak, terkadang sayatan horizontal langsung untuk perbaikan.31



2.6.8.5.1 Reparasi Fraktur Maxilla Reparasi oklusi pada Fraktur Le Fort (maxillary dan extended maxillary) yang benar yaitu memperbaiki terlebih dahulu untuk memastikan daerah oklusi. Ketika gigi-geligi dan lengkungan gigi sudah memadai merupakan cara terbaik untuk memastikan kebenaran oklusi, terutama pada fraktur berat.31 2.6.8.5.2 Fraktur Mandibula Terkait Perbaikan mandibula dengan menyediakn templat terlebih dahulu pada gigi geligi rahang atas,khususnya ketika langit-langit mulut terbelah dikaitkan dengan fraktur midfasial.31 2.6.8.5.3 Fiksasi Fraktur Maksilaris Jika oklusi yang tepat telah ditegakkan kembali, fraktur maksila bisa diperbaiki, untuk memastikan bahwa hubungan oklusai yang tepat dipertahankan. Lebih penting daripada mencapai visual yang ideal penampilan pengurangan tulang yang sempurna di sepanjang garis fraktur.31 2.6.8.5.4 Fraktur Le Fort Le Fort I, II dapat dilakukan observasi dengan meminimalisasi mobilisasi dari daerah oklusi. Pasien mendapat diet makanan lunak untuk beberapa minggu. Pasien dengan maloklusi minor terkoreksi dengan disimpaksi dan manipulasi maksila dan tidak digerakkan setelah direposisi. Pasien dengan maloklusi yang tidak bisa mendapatakan anestesi general dapat ditatalaksana dengan penggunaan arch bars dan traksi elastik. Reduksi tertutup pada midfacial dilakukan pada tatalaksana emergensi untuk mengurangi perdarahan. Pilihan lainnya dapat dilakukan nasal packing atau nasal balloon. Jika gagal dapat dilakukan invasif radiologi untuk menilai trommbosis pembuluh darah.33 Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada Le Fort II dilakukan dengan fiksasi ke maxilla, bawah kelopak mata secara transcutaneous, bawah



kelopak mata secara transconjungtiva, glabellar, coronal, penggunaan dari laserasi terbuka. Le Fort III menggunakan ORIF fiksasi seperti Le Fort II dengan tambahan superolateral orbital rim dan periauricular. Sedangkan fiksasi etmoid tidak direkomendasikan.33 2.6.8.5.5 Fraktur Zygomatic Complex ORIF



tanpa



kerusakan



orbital



floor



dapat dilakukan



dengan



mendekatkan ke maksila, awah kelopak mata secara transcutaneous, bawah kelopak mata secara transconjungtiva, superolateral orbital rim, menggunakan laserasi yang ada. Fraktur dengan kerusakan orbital floor dan perlu konstruksi selain tatalaksana ORIF seperti di atas dapat juga dilakukan pendekatan dengan coronal.33



BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama



: Tn. A



No. RM



: 01062819



Umur



: 39 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Pekerjaan



: Buruh



Alamat



: Payakumbuh



3.2 Anamnesis Keluhan Utama Penurunan kesadaran sejak 8 jam sebelum masuk RS Riwayat Penyakit Sekarang  Penurunan kesadaran sejak 8 jam sebelum masuk RS, pasien sebelumnya mengendarai motor lalu ditabrak motor lain dari arah berlawanan. Pasien tidak sadar setelah kecelakaan. Mekanisme trauma tidak diketahui. 



Muntah (-) Kejang (-)







Keluar darah dari hidung (-), telinga (-), mulut (-), lubang kemaluan (-)







Bengkak di daerah mata dan pipi berwarna merah.







Trauma di tempat lain tidak ada



Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada Riwayat Keluarga



Tidak ada riwayat penyakit keluarga. Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan 



Pasien seorang buruh







Pasien tidak mengonsumsi alkohol dan mengonsumsi rokok



2.3 Pemeriksaan Fisik (Penilaian awal medis pasien rawat inap) 2.3.1 Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Tekanan Darah Frekuensi Nadi Frekuensi Napas Suhu



: Sakit sedang : CMC : 130/80 mmHg : 90 x/menit : 26x/menit : 36,5ºC



2.3.2 Status Lokalis Kepala



: normocepal, simetris, rambut hitam,



Mulut



: Tidak ada kelainan



Leher



: tidak ada kelainan



JVP



: 5-2 cmH20



Trakea



: tidak ada deviasi



KGB



: tidak terdapat pembesaran KGB



Jantung Inspeksi



: iktus kordis tidak terlihat



Palpasi



: iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V



Perkusi



: dalam batas normal



Auskultasi



: s1 s2 normal, bising (-), irama regular



Paru Inspeksi



: dada kanan dan kiri simetris (statis) Pergerakan dada kanan sama kiri (dinamis)



Palpasi



: fremitus paru kanan sama kiri



Perkusi



: - kanan : sonor - kiri



: sonor



Auskultasi : suara napas kiri: bronkovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-).



suara napas kanan: bronkovesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Abdomen Inspeksi



: tidak terdapat distensi, perut tidak membuncit



Palpasi



: supel, hepar dan lien tidak teraba



Perkusi



: timpani



Auskultasi



: bising usus (+) normal



Genitalia



: tidak diperiksa



Ekstremitas



: sianosis (-/-), akral hangat, CRT < 2 detik, edem (-/-).



Status Lokalis Wajah Inspeksi



: asimetris, terdapat vulnus laceratum di peri orbita



Palpasi



: teraba pembengkakan dan hangat, krepitasi (+)



Mata Kanan



: visus 1/300, palpebra edem (+) hematom (+), pupil RAPD (+), posisi enoftalmus (-)



Kiri



: dalam batas normal



2.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Rutin Hb



13,3 g/dl



Leukosit



9.760 /mm3



Trombosit



322.000/mm3



Ht



40%



Kesan labor : dalam batas normal



Rontgen



Kesan : Dalam batas normal



CT-Scan Kesan : Tampak diskontinuitas di Os Frontal, Os. Zygomaxillary Complex, Rima Orbita (D) 2.6 Diagnosis Kerja Fraktur Os Frontal + Os. Zygomatic Maxillary Complex + Rima Orbita Superior (D) 2.7 Diagnnosis Banding 2.8 Rencana pengobatan dan pemeriksaan: IVFD NaCl 0,9% selama 12 jam/kolf Ceftriakson inj 1 x 2 gr ATS inj 1 amp Piracetam inj 3 mg



Paracetamol infus



ORIF 2.9 Follow Up SOAP Tanggal dan jam 9/10/ 2019



(Subjective, Objective, Assesmen, Planing) S/ 



Sulit membuka mulut







Sulit mengunyah



O/ KU: Sedang, Kes: CMC, TD: 120/90, ND: 94, RR: 18, T:36,6 AF Status lokalis: Wajah : tampak asimetris di kedua pipi, kemerahan, dan pembengkakan A/ Fraktur Os. Zygomatic Maxillary Complex + Rima Orbita Superior (D) P/ 10/10/ 2019



• •



Rencana ORIF Telah dilakukan pemasangan ORIF mini plate



BAB IV DISKUSI Seorang pasien laki – laki berumur 39 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Penurunan kesadaran post kecelakaan lalu lintas dapat disebabkan adanya trauma pada kranial. Penurunan kesadaran sejak 8 jam sebelum masuk RS, pasien sebelumnya mengendarai motor lalu ditabrak motor lain dari arah berlawanan. Pasien tidak sadar setelah kecelakaan. Mekanisme trauma tidak diketahui. Pada kejadian trauma penting mengetahui mekanisme trauma yang bertujuan untuk mengetahui jenis cedera yang akan terjadi, yang akan berlanjut pada rencana terapi. Muntah (-) Kejang (-) Keluar darah dari hidung (-), telinga (-), mulut (-), lubang kemaluan (-) Bengkak di daerah mata dan pipi berwarna merah, hal ini bisa disebabkan oleh fraktur tertutup yang terjadi akibat kejadian kecelakaan. Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Di daerah wajah dilakukan inspeksi didapatkan asimetris, terdapat vulnus laceratum di peri orbita, saat palpasi teraba pembengkakan dan hangat, krepitasi (+). Vulnus laceratum menandakan terjadinya trauma dari luar, pada kasus ini terjadi akibat kecelakaan, trauma dari luar dapat memberikan manifestasi berupa terjadinya perdarahan yang selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya hematom di daerah yang dikenai, kemudian akan terjadi proses inflamasi sebagai usaha penyembuhan sehingga akan terbentuknya pembengkakan serta teraba hangat. Trauma dari luar jika terjadi dalam energi tinggi akan menyebabkan kerusakan jaringan hingga tulang sehingga didapatkan krepitasi yang menandakan adanya fraktur tertutup pada pasien. Pada mata kanan didapatkan visus 1/300, palpebra edem (+) hematom (+), pupil RAPD (+), posisi enoftalmus (-), kelainan pada mata bisa merupakan salahsatu manifestasi pada fraktur ZMC. Hal ini perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT Scan.31 Pemeriksaan penunjang foto thorax PA didapatkan kesan dalam batas normal. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan kesan diskontinuitas di Os Frontal + Os. Zygomaxillary Complex + Rima Orbita (D). Hal ini mendukung anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menjadi diagnosis Fraktur Os Frontal + Os. Zygomatic Maxillary Complex + Rima Orbita Superior (D). Pada gambaran CT Scan juga dapat disimpulkan terdapatnya fraktur maksilla yang merupakan Le Fort III. Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang



memisahkan secara lengkap antara tulang wajah dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui fisura orbitalis superior melintang ke arah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura temporo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak melalui atap sel ethmoid dan lamini cribriformis. 9 Fraktur Le Fort III merupakan tipe terberat karena dapat memisahkan bagian bawah maksila dengan basis kepala, namun tipe ini jarang dijumpai, sekitar 5-15%. Arah trauma dapat oblik maupun horizontal. Bila komplit, garis fraktur terletak di sisi atas hidung (suturan fronto- nasal) yaitu fraktur tulang nasal, prosesus frontal maksila, tulang lakrimal, lamina papirasea, sinus ehtmoid dan fisura orbitalis inferior 9, 12 13 Pada pasien diberikan IVFD NaCl 0,9% selama 12 jam/kolf, Ceftriakson inj 1 x 2 gr, ATS inj 1 amp, Piracetam inj 3 mg, Paracetamol inf. NaCl 0,9% merupakan larutan fisiolgis untuk dan rehidrasi cairan tubuh. Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin untuk mengurangi sejumlah infeksi bakteri. Piracetam merupakan derivat GABA berfungsi untuk neuroprotektif dan antikonvulsan dan mencegah vasospasme. Anti Tetanus Serum bertujuan sebagai profilaksis tetanus. Paracetamol bertujuan untuk mengurangi nyeri. Pasien juga telah direncanakan operasi ORIF pada tanggal 10 Oktober 2019. Hal ini bertujuan untuk mefiksasi fraktur pada Os ZMC dan merupaka pilihan terapi pada Le Fort III dengan adanya pemasangan mini plate ORIF yang disesuaikan dengan diameter regio periorbita bertujuan untuk menstabilisasi daerah fraktur.33



DAFTAR PUSTAKA 1. Hardt N, Kuttenberger J. Epidemiological Aspect of Craniofacial/Skull Base Fractures. In Hardt N, Kuttenberger J. Craniofacial Trauma: Diagnosis and Management.: Springer; 2010. p. 63-76. 2. Mengga H, Hatibie M, Prasetyo E, Oley MC. Pengaruh Penggunaan Helm terhadap Cedera Kraniofasial Berdasarkan Skor FISS dan CT Marshall. Jurnal Biomedik. 2017; 9(2): p. 127-135. 3. Agrawal A, Mishra V, Jain H, Reddy U. Mangement of Craniofacial Injuries: a primer for resident. Romanian Neurosurgery. 2014; XXI(3): p. 338-344. 4. Rathod NK, Parthasarathy M, R. PK, Vijay , Gowri. Role of CT scan in facial pillar fractures- What Radiologist needs to see and surgeon needs to know? IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. 2018 May; 17(5): p. 63-70. 5. Martinez L, Maeso P. Grand Rounds Presentation. The University of Texas Medical Branch Department of Otolaryngology ; 2010. 6. Moore KL, Dalley AF, Agur AM. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. 7. Gellrich NCB, Zimmerer M. Surgical Management of Maxillary and Zygomatic Fractures. Maxillofacial Surgery (Third Edition). 2017. 8. Soodan KS, Priyadarshni P, Das D, Gupta M. Zygomatic Complex Fractures and its Management. ACTA Scientific DEntal Sciences. 2018 August; 2(9): p. 8891. 9. Soepardi , Iskandar N, Baahiruddin J, Restuti RD. Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2014. 10. Kelley BP, Downey CR, Stal S. Evaluation and Reduction of nasal Trauma. In Seminars in Plastic Surgery; 2010. p. 339-346. 11. Celik M, Sonmez S, Melih M, al e. Accordance Between Clinical adn Radiologic Findings of Nasal Bone Fracture. Ist Tip Fak Derg. 2017; 80(1): p. 33-37. 12. Moe K. Maxillary andLe Fort Fractures. [Online].; 2018 [cited 2019 Januari. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1283568-overview. 13. Lestari D, Al-Hafiz , Huryyati. Diagnosis dan penatalaksanaan fraktur Le Fort III disertai fraktur palatoalveolar sederhana. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7. 14. Narayan D. Mandibular Fracture. [Online].; 2018 [cited 2019 Januari. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1283150. 15. Sneli R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. 16. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. 22nd ed. Jakarta : EGC; 2007. 17. Treumann T. Radiology of Craniofacial Fractures. In Hardt N, Kuttenberger J. Craniofacial Trauma - Diagnosis and Management. Switzerland: Springer; 2010.



p. 15-29. 18. Besenski N. Traumatic Injuries: Imaging of Head Injuries. European Radiology. 2002; 12: p. 1237-1252. 19. Galarneau MR, Woodruff SI, Dye JL, al e. Traumatic Brain Injury Durng OPeration Iraqi Freedom: Findings from The United States Navy-Marine Corps Combat Trauma Registry. Journal of Neurosurgery. 2008; 108: p. 950- 957. 20. Rohrich RJ, Hollier LH. Management of Frontal Sinus Fractures - Changing Concepts. Clinical Plastic Surgery. 1992; 19(1): p. 219-232. 21. Vu AT, Patel PA, Chen W, Wilkening MW, Gordon CB. Pediatric Frontal Sinus Fractures: Outcomes and Treatment Algorithm. Jurnal of Craniofacial Surgery. 2015; 26(3): p. 776-781. 22. Spinelli G, Lazzeri D, Arcuri F, Agostini T. Closed Reduction of the Isolated Anterior Frontal Sius Fracture via Percutaneous Screw Placement. International Journal Oral Maxillofacial Surgery. 2015; 44(1): p. 79-82. 23. Hollier L, Sharabi SE, Koshy JC, Stal S. Facial Trauma: General Principles of Management. Journal of Craniofacial Surgey. 2010; 21(4): p. 1051-1053. 24. Finkle D, Ringler SL, Luttenton CR, Beernink JH, Peterson NT, Dean RE. Comparison of the Diagnostic Methods Used in Maxillofacial Trauma. Plastic Reconstruction Surgery. 1985; 75(1): p. 32-41. 25. Rodriguez ED, Stanwix MG, Nam AJ, al e. Twenty-six-year experience treating frontal sinus fracture: a novel algorithm based on anatomical fracture pattern and failure of Conventional techniques. Plastic Reconstruction Surgery. 2008; 122(6): p. 1850-1866. 26. American Academy of Ophthalmology staff. [Online].; 2011-2012. 27. Dawood AA, Oyebunmi R, El-Hakim I. Treatment of Zygomatic Complex Fractures in an Urban Saudi Arabian Population: A 10-Year Retrospective Survey. Journal of Dental Research and Review. 2018; 5: p. 22-25. 28. Meslemani D, Kellman RM. Zygomaticomaxillary Complex Fractures. Arch Facial Plastic Surg. 2012 Jan/Feb; 14(1): p. 62-66. 29. Balakrishnan K, Ebenezer V, Dakir A, Kumar S, Prakash D. Management of tripod fractures (zygomaticomaxillary complex) 1 point and 2 point fixations: A 5-year review. Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences. 2015 April; 7: p. 242-247. 30. Rosenberger E, Kriet D, Humphrey C. Management of nasoethmoid fractures. Current Opinion Otolaryngology Head Nect Surgery. 2013 AUgust; 21(4): p. 410-416. 31. Hopper RA, Salemy S, Sze RW. Diagnosis of Midface Fractures with CT: What the Surgeon Needs to Know. RadioGraohics. 2006 May-June; 26: p. 783- 793. 32. De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Jakarta: EGC; 2012. 33. Gruss J, Bubak PJ, Egbert M. Craniofacial fractures: an algorithm to optimize results. Clin plast surg.1992.(19) 195-206