Gedung Pola [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI Cover………………………………………………………………………………………………… i Kata Pengantar……………………………………………………………………………………… ii Daftar Isi…………………………………………………………………………………………… iii BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………………… 1.1. Latar Belakang………………………………………………………………………………… 1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………. 1.3. Tujuan…………………………………………………………………………………………. 1.4. Manfaat………………………………………………………………………………………… BAB II Kajian Topik……………………………………………………………………………… BAB III Penutup…………………………………………………………………………………… 4.1. Kesimpulan………………………………………………………..…………………………… 4.2. Saran…………………………………………………………………………………………… Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………….



i



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rahmat dan karunianya kepada kami selaku penyusun, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Arsitektur Indonesia tahun ajaran 2019/2020 dan makalah ini juga sebagai bukti bahwa kami selaku penyusun telah melaksanakan pembuatan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan-kekurangan dari segi kualitas, kuantitas, maupun dari ilmu pengetahuan yang dikuasai. Oleh karena itu kami selaku penyusun mohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan pembuatan laporan atau karya tulis dimasa mendatang. Atas pehatian dan waktunya penulis ucapkan terimakasih.



Denpasar, 14 Desember 2019



2



BAB I PENDAHULUAN



1.1 LATAR BELAKANG Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta arsitektur Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di Negeri ini diusik oleh kehadiran pendatang yang membawa arsitektur arsitektur di Indonesia Setelah kemerdekaan di tahun 1945, arsitektur di Indonesia berkembang ke arah arsitektur modern. Sepuluh tahun pertama setelah Indonesia merdeka, bangunan-bangunan berkualitas rendah muncul dikarenakan perkembangan ekonomi yang belum kuat. Momen kemerdekaan selalu diwarnai dengan banyak hal yang berbau nasionalisme, tak terkecuali para arsitek pasca dikumandangkannya kemerdekaan Negara Republik Indonesia tahun 1945. Beriringan dengan kepergian para arsitek Belanda, beberapa arsitek Indonesia pertama dan para tukang ahli bangunan yang menyebar di kota-kota Indonesia mulai banyak berkarya. 1.2 RUMUSAN MASALAH 



Apa itu Arsitektur Pasca Kemerdekaan?







Apa itu Gedung Pola?







Siapakah Arsitek Gedung Pola?







Ruang apa saja yang ada di dalam Gedung Pola?







Apakah fungsi dari Gedung Pola?







Bagaimakah konsep dari Gedung Pola?



1.3 TUJUAN 



Untuk mengetahui pengertian dan sejarah arsitektur pasca kemerdekaan







Untuk mengetahui seluk beluk mengenai Gedung Pola







Untuk mengetahui arsitek dari Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia







Utnuk mengetahui ruang yang ada di Gedung Pusat Administrasi Universitas Udayana







Untuk mengetahui fungsi Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia







Untuk mengetahui konsep dari Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia 3



1.4 MANFAAT Dengan ini diharapkan pembaca mendapatkan wawasan dan pengetahuan yang mendalam mengenai arstektur modern pasca kemerdekaan hingga kini. khususnya pada Gedung Pola.



4



BAB II KAJIAN TOPIK



2.1 ARSITEKTUR PASCA KEMERDEKAAN



Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai bagian dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950, sekolah arsitektur yang pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng Technische Hoogeschool (1923). Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3 pengajar berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru system pendidikan dari tempat asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur mengarah pada penguasaan keahlian merancang bangunan, dengan fokus pada parameter yang terbatas, yaitu fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan. Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda dipulangkan ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara rendah hati bersikeras untuk tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama kepemimpinannya, pendidikan arsitektur secata bertahan memperkaya dengan memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar awal 1910-an beberapa karya arsitek Belanda seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan dan Villa Isola di bandung sudah memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah ke dalam sebuah pertimbangan desain. Van Romondt berambisi menciptakan “Arsitektur Indonesia” baru, yang berakar pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan kata lain “Arsitektur Indonesia” adalah penerapan gagasan fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi oleh prinsip-prinsip arsitektur tradisional. Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12 orang lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada bulan September 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan sekolah arsitektur berpindah tangan pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan sekolah arsitektur di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh Sujudi cs. bersama teman-temannya yang menamakan diri ATAP. Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan seperti Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi dan pelajaran.



5



Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa kepemimpinan Sukarno, “modernitas” diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional. Sukarno telah berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa iai memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik dalam arsitektur membawa kita pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra Jakarta sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat yang lahir sebagai kekuatan baru di dunia. Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas hambatan. Gedung pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri isni. Dengan bantuan dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah, Gelora Bung Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen. Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas yang sebagian besar menggunakan langgam “International Style”. Seorang arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah Friedrich Silaban. Ia terlibat hampir semua proyek besari pada masa itu. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar. Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek yang ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali Sadikin.Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi wisatawan dari Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ sejarah lainnya. Program ini sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial. Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang berdampak pada kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang pesat. Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek badan pemerintahan, BUMN, dan para “orang kaya baru”. Sayangnya para arsitek professional di Indonesia tidak siap menerima tantangan besar tersebut. 6



Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern membelenggu pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada masanya. Sementara itu kalangan elit dan golongan menengah keatas mengekspresikan kekayaan dan status sosialnya melalui desain yang monumental dan eklektik dengan meminjam ornamen arsitektur Yunani, Romawi, dan Spanyol. Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek Indonesia pada suatu gagasan untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang khas. Suharto memegang peran utama untuk membangkitkan kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini kemudian dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari arsitektur modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti secara simpatik pada arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga arsitektur tradisional diasosiasikan dengan “nasional”, dan arsitektur modern dengan “asing” dan “barat”. Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam dan identitas arsitektur nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama berpendapat bahwa arsitektur Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur tradisional dari berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur tradisional yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap skeptis terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian akademisi arsitektur yang secara konsisten mengikuti langkah “bapak” mereka, V.R. van Romondt. Mereka berpendapat bahwa arsitektur Indonesia masih dalam proses pembentukan, dan hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita budaya, selera estetis, dan perangkat teknologi yang melahirkan model dan bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam sejarah. Mereka yakin bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip tersebut dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer untuk menghadapi pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri. Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta investasi dengan korporasi arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di ibukota dan daerah tujuan wisata seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak 7



menunjukkan deviasi yang radikal terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada umumnya. Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu langgam khusus, suatu bentuk identitas “Indonesia”, tetapi hanya terbatas pada proyek arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus, dan gedung perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan langgam dan identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis. Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh post-modernisme pada bangunan umum dan komersil di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk memperkaya khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah mereka yang terhimpun dalam kelompok yang sering dianggap elitis, yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan motto “semangat, kritis, dan keterbukaan” kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda arsitek lainnya seperti di Medan, SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di Manado. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga mulai memberikan penghargaan desain (design award) untuk berbagai kategori tipe bangunan. Karya-karya arsitektur yang memperoleh penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi pencapaian desain yang baik dan sebagai pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih tinggi. Penghargaan “Aga Khan Award” dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1992 untuk proyek Kali Code, telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia untuk melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya. Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur. Diperlukan hampir lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian parah mengakibatkan kemunduran pada semua program pembangunan nasional. Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal: Bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya? Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI memberikan semangat modernisme baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia.



2.1 TERBENTUKNYA GEDUNG POLA



8



2.1.1 Pembangunan Semesta Berencana Era Soekarno



Jika tanggal 17 Agustus 1945 ditetapkan sebagai Hari Besar pertama maka tanggal 1 Januari 1961 adalah Hari Besar kedua dalam sejarah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Pengayunan cangkul pertama oleh Presiden tanggal 1 Januari 1961 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, adalah perwujudan dari Amanat beliau pada penutupan Sidang Pertama MPRS. Penyangkulan oleh Presiden Sukarno ini diikuti oleh 17 orang dari berbagai golongan karya yang didalamnya terdapat 8 orang wanita merupakan isyarat simbolis dimulainya pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Penyangkulan pertama ini adalah permulaan dibangunnya Gedung Pola yang akan berisikan Blaudruk-blaudruk, maket-maket pembangunan dan lain-lain yang sebagai pembangunannya diharapkan selesai tanggal 17 Agustus 1961. Gedung Pola Rencana Pembangunan Semesta dimaksudkan sebagai sebuah museum atau galeri yang mempertontonkan rencana-rencana fisik besar yang digagas oleh Pemerintah Republik Indonesia. Proyek-proyek yang ditampilkan biasanya adalah infrastruktur dan gedung-gedung. Gedung ini dirancang oleh Friedrich Silaban (1912-1984) sebagai sebuah gedung dengan naungan atap besar yang ditopang oleh kolom-kolom pipih dan bersalutkan dinding yang tidak pejal/ masif, sehingga mengekspresikan ‘terbuka’ dan ‘tropis’ tanpa kehilangan kualitas monumentalnya. Di dalam gedung Pola Pembangunan ini rakyat secara visual telah mulai bisa melihat apa yang sudah bisa kita bangun agar supaya dengan secara gembira pula mereka dapat menyumbangkan tenaganya untuk membantu segala pelaksanaan, segala sesuatu yang telah dipolakan oleh Depernas yang garis besarnya telah dibenarkan oleh MPRS. Hari tanggal 1 Januari 1961 adalah hari dimana seluruh bangsa dan rakyat Indonesia melaksanakan cita-citanya sebagai yang tersirat dalam Amanat Pembangunan Presiden tanggal 28 Agustus 1959 dan dibawah pimpinan beliau bangsa Indonesia telah memulai babak baru dalam Revolusi Pembangunan.



2.1.2 Pembangunan Gedung Pola Gedung ini adalah salah satu gedung paling kontroversial di masa Demokrasi Terpimpin. Gedung ini terletak pada persil rumah tempat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan. Pembangunan gedung ini mengambil tidak hanya persil Pegangsaan 9



Timur tempat berdirinya rumah milik Soekarno tapi juga membebaskan beberapa rumah lain di samping kiri dan kanan. Tidak diketahui alasan persis kenapa Soekarno menetapkan untuk membangun sebuah gedung pameran di atas situs bersejarah ini. Saat ini, persil Gedung Pola tidak lagi utuh, melainkan terbagi dua menjadi Monumen Proklamasi di depan dan Gedung Pola sendiri di belakang. Pada persil Monumen Proklamasi – yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta – terdapat beberapa monumen yang merujuk pada peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1946. Tugu Proklamasi merupakan sebuah obelisk yang kemungkinan merupakan peninggalan peringatan 1 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1946, sementara Tugu Petir merupakan titik yang menandakan posisi persis Soekarno ketika membacakan teks Proklamasi. Tugu ini kemungkinan dibuat bersamaan dengan pencanangan pembangunan Gedung Pola pada tahun 1961.



Tugu petir



Monumen Proklamator sendiri dibuat belakangan pada akhir dekade 1980. Gedung Pola pada era Orde Baru (1966-1998) telah terputus hubungannya dengan persil Monumen Proklamasi dan akhirnya memiliki akses utama justru dari belakang gedung. Pada arsip, kita dapat menemukan usulan-usulan (varian-varian) bentukan arsitektur rancangan Silaban yang dimaksudkan sebagai monumen untuk memperingati posisi titik pembacaaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Dari sekian banyak usulan kreatif, akhirnya pilihan rancangan jatuh pada sebuah tugu sederhana dengan tanda petir di atasnya. Tugu ini akhirnya juga berfungsi sebagai tiang bendera.



10



Salah satu varian monument dihalaman muka Gedung pola



Perspektif rencana Gedung pola



Maket dan penataan tapak Gedung pola yang memperlihatkan jejak bangunan eksisting yang dibongkar



11



Kondisi Gedung pola beberapa hari sebelum diresmikan oleh presiden soekarno



Sketsa kajian masa Gedung pola



2.1.3 Kondisi Gedung Pola Kini Di era Orde Baru, Depernas berganti nama menjadi Bappenas, yang kantornya dipindahkan ke Jalan Taman Suropati No.2, Menteng. Praktis, Gedung Pola menjadi gedung kosong yang tidak terawat. Sebelum ditempati oleh Bakamla, gedung ini adalah kantor dari beberapa Ormas. Guna mendukung kinerja Bakamla RI, sesuai rencana tanggal 7 Februari 2018, Kantor Pusat Bakamla RI akan dipindahkan ke Gedung Pola yang sekarang lebih dikenal sebagai Gedung Perintis Kemerdekaan atau yang biasa disebut dengan Gedung Proklamasi. Merupakan hal besar bagi seluruh pegawai Bakamla RI mendapatkan kepercayaan untuk berkantor di salah satu bangunan bersejarah di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, Gedung Perintis Kemerdekaan merupakan ‘pengingat’ akan usaha Bangsa Indonesia merebut kemerdekaannya.



12



Dengan perjuangan seluruh rakyat, Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya di halaman rumah Presiden Soekarno. Saat ini di lokasi tersebut berdiri Tugu Petir yang berada di area Taman Proklamasi. Diharapkan dengan kepindahan Bakamla ke gedung ini, semangat pembangunan di sektor keamanan maritim semakin meningkat mengingat ruh awal gedung ini sebagai pusat perencanaan pembangunan nasional. Saat ini kondisi Gedung pola sangat menyedihkan. Selain peruntukannya yang tidak jelas, juga karena bangunannya yang tidak terurus. Dinding bangunannya sudah kusam, dan dipenuhi tumbuhan liar. Pemandangan menyedihkan akan semakin jelas bila menengok ke arah belakang menghadap taman proklamasi.



Kondisi Gedung Pola pada masa kini yang terlihat sudah tidak terurus



Menurut informasi, Gedung pola berada dibawah otoritas Sekretariat Negara. Maka dari itu dikhawatirkan penelantaran Gedung tersebut merupakan sebuah skenario penjualan atau pengalihan hak atas Gedung ini kepada pihak swasta pemilik modal (kapitalis), sehingga bangsa ini kehilangan jejak perjuangan bangsanya.



13



BAB III KESIMPULAN Seiring perjalanan perkembangan arsitektur Indonesia terus mencari jati diri dan berusaha lepas dari hal hal yang berbau colonial, selain sebagai pelopor pembangunan dibidang arsitektur, arsitek Indonesia juga tidak lepas dari perjalanan kemedekaan Indonesia. Gedung Pola yang berada di Jalan Proklamasi No 1 merupakan satu dari peninggalan sejarah bangsa Indonesia. Meski masih berdiri kokoh, tak ada satu pun yang menyadari gedung itu sebagai tongkat sejarah bangsa Indonesia. Kondisi Gedung Pola pun saat ini sangat memprihatinkan. Tak banyak yang tahu, kalau di lantai tiga gedung itu terdapat museum peninggalan bapak proklamator bangsa. Kewibawaan dan sejarah bangsa ini tertutup sebagai gedung tua biasa.



14



UNIVERSITAS UDAYANA FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR



NAMA MATA KULIAH : ARSITEKTUR INDONESIA TEMA TUGAS : ARSITEKTUR PASCA KEMERDEKAAN HINGGA KINI DOSEN : Prof. Dr. Ir. I Putu Rumawan Salain.M.SI Prof. Dr. Ir. A.A. Ayu Oka Sraswati, MT Ni Made Mitha Mahastuti, ST., MT. Wayan Wiryawan, ST., MT Ni Luh Putu Eka Febriyanti, ST., M.Sc



MAHASISWA : I Putu Arya Satria Wararuchi (1805521089) TAHUN AJARAN 2019/2020



15



DAFTAR PUSTAKA http://www.arsitekturindonesia.org/museum/gedung-pola-etalase-orde-lama-sarat-makna https://news.detik.com/berita/d-2989473/di-balik-70-tahun-kemerdekaan-indonesia-gedungpola-yang-terabaikan http://maritimnews.com/2018/01/gedung-pola-resmi-menjadi-kantor-pusat-bakamla-ri/ Seluruh daftar pustaka diakses pada 14 Desember 2019, masing-masing pada pukul 21.00, 21.30, dan 21.33



16