Hakekat Dan Sejarah Sakramen Pada Umumnya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HAKEKAT DAN SEJARAH SAKRAMEN PADA UMUMNYA 2.1.            Hakekat Sakramen Pada Umumnya Sakramen-sakramen yang kita kenal sekarang dimulai dalam sejarah Gereja sebagai praktek, dan tidak lahir sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Sejak awal hidup Gereja, terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk pelaksanaan hidup Gereja, dan dianggap penting dan mutlak untuk hidup gereja. Ritusritus awal itu antara lain ritus pembaptisan dan pemecahan roti (ekaristi). Sebagian besar unsur Ritus itu diambil dari kelompok agama lain, khususnya Agama Yahudi. Tetapi, bagi kita, tidaklah begitu penting apa yang diambil alih dan apa yang diciptakan baru oleh Gereja Perdana. Yang penting adalah bahwa arti dan isi ritus-ritus itu bersifat khas Kristiani sejak awal mula. Kekhasan itu terletak pada keyakinan Gereja bahwa ritus-ritus itu membuat sesuatu yang sama sekali baru dalam dunia. Misalnya, dalam praktek pembaptisan, Gereja mengambil alih ritus yang sudah lama dikenal di luar Gereja. Yang baru adalah melalui ritus yang secara lahiriah sudah populer itu, Gereja mengambil bagian dalam Karya Keselamatan Yesus Kristus melalui wafat dan kebangkitanNya dari alam maut. Demikian halnya dengan praktek Ekaristi. Praktek itu sudah diambil alih oleh Gereja perdana untuk suatu maksud dan isi tertentu. Dengan merayakan Ekaristi, Gereja Perdana ingin memberitakan kematian Tuhan sampai kedatanganNya kembali (Bdk. 1 Kor. 11: 26). Karya keselamatan dalam diri Yesus Kristus itu adalah perbuatan keselamatan Allah yang harus diimani, diwartakan, dan dilaksanakan antara lain melalui upacaraupacara tertentu. Allah dalam karya keselamatan itu, antara lain telah menciptakan Gereja. Gereja sebagai hasil karya penyelamatan Allah, melalui cara penghayatan hidupnya bertugas untuk menyampaikan hidup baru itu kepada dunia yang belum percaya kepada Yesus Kristus. Tugas-tugas itu terlaksana antara lain dalam perbuatanperbuatan yang kemudian disebut sakramen-sakramen. Jadi, secara ringkas dapat dikatakan bahwa isi dan arti Gereja, yaitu rahasia penyelamatan Allah yang terlaksana dalam diri Yesus dari Nazareth itu mesti dilaksanakan di dalam Gereja itu sendiri, antara lain melalui ritus-ritus. Ritus atau upacara-upacara itu merupakan sarana yang dengannya rahasia penyelamatan Allah disampaikan kepada manusia sepanjang sejarah dan selanjutnya dikenal sebagai sakramen. Sebagai Istilah teknis dalam teologi Kristen modern dan dalam arti luas, Sakramen berarti tanda lahiriah yang ditetapkan Kristus dan yang menunjukkan rahmat batin yang diberikan kepada si penerima dalam melaksanakan tanda suci itu. Tradisi Kristiani di Timur menamakan tanda-tanda keselamatan yang dilayani dalam Gereja itu dengan sebutan mustèrion. Tradisi di Barat menyebutnya dengan sacramentum. Kedua sebutan ini sudah mempunyai arti tertentu dalam budaya klasik Yunani dan Latin yang pra-Kristiani. Para pengarang Kristiani lama-kelamaan mengambil bagian alih arti itu, dan menyesuaikannya. Dan untuk perkembangan ajaran tentang sakramen di Barat, pentinglah bahwa kata Yunani mustèrion diterjemahkan dengan kata sacramentum.



Rahasia kehendak Allah yang sejak kekal merencanakan keselamatan bagi manusia dan telah diwahyukan dalam Kristus hendaknya senantiasa diwartakan dalam Gereja. Inilah yang mendasari dan yang mengartikan segala sesuatu yang bersifat ”sakramen”. Kristus, ”misteri Allah” itu merupakan sakramen asal, dan Gereja yang dihidupkan oleh Roh Kudus itu merupakan sakramen dasar. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka paham Kristiani mendefinisikan sakramen sebagai tanda dan sarana yang oleh Kristus ditetapkan untuk mendatangkan rahmat yang dikhususkan bagi tiap-tiap situasi kehidupan, dan yang secara demikian melanjutkan perbuatan penyelamatan Allah melalui Kristus dalam  Roh Kudus demi manusia dan dunia. 2.2.     Sejarah Sakramen   2.2.1.   Pemakaian Kata Mustèrion dalam Kitab Suci Perkataan ”misteri” dalam perbendaharaan kata-kata teologis sebetulnya sama artinya dengan kata ”sakramen”. Kedua kata ini berarti ”rahasia”. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman, isi istilah ini pun mengalami perkembangan. Dalam Kitab Suci, kata ”misteri” dipakai untuk menunjukkan rencana Allah menyelamatkan manusia, dan juga karya keselamatan itu sendiri sebagai pelaksanaan rencana tersebut. Dalam Gereja Purba, kata ”misteri” juga dipakai untuk mengacu kepada upacara liturgi yang mengungkapkan dan menghadirkan karya Allah yang menyelamatkan. Dan dalam perkembangan Teologi selanjutnya, kata ”misteri”dan juga ”sakramen”tetap dipakai untuk karya Allah yang mewahyukan diri dalam bentuk manusiawi. Meskipun demikian, ada perbedaan penekanan antara kedua kata tersebut, di mana kata ”misteri” menekankan segi tersembunyi ilahi, tak tampak, sedangkan kata ”sakramen”menonjolkan segi pengungkapan, insani, dan tampak. Secara etimologis, kata sakramen dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Latin Sacramentum. Kata Latin Sacramentum berakar pada kata sacr, sacer yang berarti kudus, suci, lingkungan orang kudus atau bidang yang suci. Kata ini kemudian berkembang menjadi sacrare atau yang lebih sering consecrare yang menjelaskan bahwa seseorang atau suatu benda secara hukum dan untuk selamanya dipindahkan dari bidang hukum insani ke bidang hukum ilahi, yang mengakibatkan bahwa yang bersangkutan digolongkan sebagai sacrum. Kata ”sakramen”mempunyai arti triganda, yaitu : a)      dalam arti aktif (hal/ sarana yang menyucikan/ menahbiskan). b)      dalam arti pasif (hal/ sarana yang disucikan/ ditahbiskan). c)      perbuatan menyucikan/ menahbiskan. Sementara itu, dalam budaya Latin pra-Kristiani, sacramentum mempunyai dua arti, yaitu : 1)      Dalam kalangan militer, sacramentum mempunyai arti sumpah bendera yang diucapkan oleh para prajurit di hadapan otoritas yang berwewenang sebagai bukti loyalitasnya pada saat seseorang secara resmi diterima dalam kalangan tentara. Sambil bersumpah, ia memohon kepada para dewa untuk merahmatinya. Dengan bersumpah, maka seseorang diangkat ke dalam wilayah dewa/ i, sehingga tentara seperti itu disebut



militia sollemnis et sacrata atau ”tentara yang agung dan suci” dan milites sacrati  atau ”prajurit yang disucikan”. 2)      Arti kedua adalah jumlah uang yang oleh kedua belah pihak yang terlibat perkara harus diletakkan sebagai jaminan pada pontifex (imam besar). Pihak yang memenangkan perkara akan mendapatkan kembali uangnya, sementara pihak yang kalah tidak akan mendapatkan lagi uangnya, tetapi uang tersebut akan dipakai untuk membiayai ibadat yang resmi Setelah masuk dalam alam pikiran Kristiani, kata sacramentum mula-mula dipakai secara sangat umum bagi kenyataan-kenyataan suci yang khusus, misalnya menyebut Kitab Suci, iman kepercayaan, misteri-misteri keselamatan dan iman, saranasarana keselamatan, dan upacara ibadat. Baru di kemudian hari kata sacramentum dipakai dalam arti sarana-sarana keselamatan yang secara tegas dan agak eksklusif disebut ”ketujuh sakramen”. Dalam Kitab Perjanjian Lama, kata Ibrani yang sesuai dengan kata Yunani mustèrion adalah Sôd dan juga kata Aram Raz. Istilah pertama Sôd berarti ”lingkungan sahabat”(Ayb 19 : 19) dan juga ”pertemuan yang agak intim”(Mzm 89 : 8). Kata Sôd memiliki arti religius, yaitu rencana Allah yang rahasia dan yang hanya diwahyukan kepada sahabat karibNya. Kata Aram Raz hanya terdapat dalam Kitab Daniel saja, dan kata ini memiliki arti ”rahasia eskatologis”, yaitu :  Untuk menunjukkan rahasia Ilahi yang hanya diketahui oleh Allah dan oleh mereka yang diberitahu Allah  Mengenai apa yang terjadi di kemudian hari, terutama pada akhir zaman  Diwahyukan dalam tanda yang hanya dapat ditafsirkan dan diterangkan oleh orang yang diberi penerangan oleh Allah (Dan 2) Sementara itu, dalam Kitab Perjanjian Baru, istilah ”misteri” terdapat dalam Kitab Wahyu, Injil sinoptik, dan terutama surat-surat St. Paulus. Kitab Wahyu memakainya dalam arti yang serupa dengan arti ”rahasia”dalam Kitab Daniel. Injil sinoptik berbicara tentang ”rahasia Kerajaan Allah”(Mrk 4 : 11; Mat 13 : 11; Luk 8 : 10), dan dengan istilah ini, Penginjil mau menegaskan bahwa Kerajaan Allah sudah mulai tampak dalam  perkataan dan perbuatan Yesus. Sedangkan dalam Surat-Surat Paulus dipakai kata ”misteri” sesuai dengan penggunaannya dalam kitab-kitab perjanjian lama, tetapi ditegaskan bahwa berkat peristiwa Paskah, maka Kerajaan Allah terlaksana dalam diri Sang Kristus. Dengan kata lain, kata ”misteri” yang dipakai dalam surat-surat St. Paulus memiliki arti sebagai berikut, yaitu :  Seluruh karya keselamatan Allah, baik pada taraf perencanaan yang tersembunyi maupun pada taraf pelaksanaannya berlangsung dalam Kristus  Kristus sendiri, baik sebagai Firman yang akan menjelma, maupun sebagai Firman yang telah menjelma (Verbum Incarnandum dan Verbum Incarnatum).  Kesatuan Kristus dengan Gereja (Ef 5 : 32) Berdasarkan ketiga arti tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa Gereja hanya dapat disebut ”misteri”dalam hubungan dengan ”misteri Allah”, yaitu Kristus



(Kol 2 : 2). Dalam Gereja, dipertandakan dan dilaksanakan (dalam bentuk manusiawi) karya Allah Bapa yang menyelamatkan dunia dengan perantaraan Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. 2.2.2.      Sakramen, Perjanjian Lama, dan Dunia Hellenis Titik sambung bagi paham sakramen sebagaimana dikembangkan kemudian terdapat dalam 1 Kor 10 : 1 – 11, di mana peristiwa penyelamatan dari Perjanjian Lama oleh Paulus secara tipologis dihubungkan dengan Pembaptisan dan Ekaristi. Kedua upacara ini sudah menyatu dengan hidup Gereja Purba. Dengan menghubungkannya dengan kejadian-kejadian penyelamatan pada zaman Perjanjian Pertama, maka Paulus memperlihatkan bahwa upacara Baptis dan Ekaristi pun merupakan tanda dan sarana lahiriah-duniawi yang bermanfaat bagi keselamatan abadi. Menurut banyak ahli ilmu sejarah agama-agama, pemikiran sakramental tidak berakar dalam agama Yahudi, tetapi dalam Hellenismus yang kafir, di mana mustèrion (bentuk jamaknya : mustèria) dipakai dalam budaya Klasik-Yunani untuk menunjukkan upacara, ibadat kepada dewa-dewi, padahal Perjanjian Lama justru selalu mengingatkan umat Israel agar jangan sampai ikut menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Meskipun demikian, kata mustèrion sebenarnya juga memiliki arti religius, dan karena itu, menurut R. OTTO, Perjamuan Malam Terakhir adalah sebuah tindakan simbolis yang memiliki kedalaman makna dan realitas yang lebih besar daripada hanya sekedar sebagai sebuah perjamuan biasa. Sementara itu, SCHNACKENBURG mengakui bahwa baik pencucian dan aktus pembenaman yang sudah lazim dalam gerakan-gerakan pembabtisan Yahudi serta aktus Perjamuan itu merupakan aktus-aktus yang berisikan makna keselamatan (Sudarminta, 2002 : 35- 46). 2.2.3.      Perjanjian Baru dan Umat Kristen Perdana Teologi Katolik memang berpegang teguh pada dogma Konsili Trente bahwa sakramen-sakramen telah ditetapkan oleh Yesus sendiri. Perbuatan Yesus tidak terbatas pada pewartaan Kerajaan Allah. Ia pun tidak hanya menuntut agar orang percaya, bertobat, dan mengikuti Dia agar dapat menerima Kerajaan itu. Tetapi, lebih dari itu, Yesus mengungkapkan dalam tanda-tanda lahiriah keselamatan yang datang dalam diri Yesus sendiri. JOSEF FINKENZELLER menjelaskan bahwa bukan hanya tanda-tanda mukjizat yang menampakkan zaman keselamatan, melainkan juga tanda-tanda yang tersedia dalam sejarah agama-agama dan khususnya dalam Perjanjian Lama yang kemudian dipakai oleh Yesus dan yang selanjutnya menugaskan para muridNya untuk memakainya dalam melaksanakan keselamatan. Dalam injil Sinoptik dilukiskan perbuatan-perbuatan sakramental Yesus seperti penumpangan tangan dan pengurapan. Penumpangan tangan, di pandang dari sejarah agama-agama, merupakan tanda penyerahan roh, tanda kekuatan dan pelimpahan wewenang. Dan salah satu contoh yang dilukiskan oleh injil Sinoptik adalah kisah pemberkatan terhadap anak-anak yang dilakukan Yesus (Mrk 10 : 16 dst) dan kisah



tentang penyembuhan terhadap orang sakit (Mrk 8 : 22 – 23; Luk 4 : 40 – 41; 13 : 13). Sementara itu, pengurapan, dalam sejarah agama-agama, merupakan ungkapan kesejahteraan, kegembiraan dan suasana pesta serta tanda penghormatan, tetapi juga mempunyai arti pengorbanan dan anti roh jahat (Luk 10 : 34). Selain itu, pengurapan dipakai juga dalam tindakan pelantikan (menjadi imam dan raja) dan dalam kaitannya dengan serah terima tugas sebagai nabi. Dan Yesus sendiri membiarkan diriNya diurapi (Mat 24 : 6 dst; Luk 7 : 36 dst). Yesus juga menugaskan para muridNya agar tandatanda ini dipakai dalam kegiatan menyembuhkan orang sakit (Mrk 6 : 13). Berbeda dengan apa yang dilukiskan dalam Injil Sinoptik, maka dalam hubungan dengan sakramen-sakramen, ada penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap Injil Yohanes. Menurut RUDOLF BULTMANN, Injil Yohanes hanya memandang iman saja sebagai sarana keselamatan, dan karena itu tidak ada ritus-ritus yang ditambahkan pada iman untuk memperoleh keselamatan. Menurut BULTMANN, teks-teks seperti Yoh 3 : 5 tentang Pembabtisan atau Yoh 6 : 51 – 58 tentang Roti Hidup bukanlah teks-teks yang menunjukkan adanya sakramen, melainkan teks-teks yang ditambahkan oleh seorang redaktur dari kalangan jemaat. BULTMANN menegaskan bahwa teks Yoh 6 tentang Roti Hidup tidak boleh diartikan secara ekaristis, sebab teks ini hanya mau menggambarkan tentang Perjamuan Malam Terakhir. Sementara itu, OSCAR CULLMANN dan FRANZ MUSSNER yang bertolak belakang dengan Rudolf Bultmann menjelaskan bahwa keempat injil itu bersifat kultis dan sakramental. Misalnya, kisah tentang Perkawinan di Kana (Yoh 2 : 1 – 11) diartikan Cullmann secara sakramental. Teks lain yang diartikan secara sakramental adalah :  kisah tentang Penyucian Bait Allah (Yoh 2 : 12 – 22)  kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus (Yoh 3 : 1 – 21) dengan sendirinya dihubungkan dengan pembabtisan  kisah tentang Penyembuhan orang sakit di kolam Betesda (Yoh 5 : 1 – 19)  dalam Yoh 6 tentang Perbanyakan Roti dapat diartikan secara ekaristis  kisah Pembasuhan Kaki (Yoh 13 : 1 – 21) dihubungkan dengan Pembabtisan dan Ekaristi. Pemahaman seperti di atas juga dijelaskan dan ditegaskan oleh SCHNACKENBURG secara terperinci. Menurutnya :  Kisah tentang Percakapan dengan Nikodemus dalam Yoh 3 ditafsirkannya dalam arti Pembabtisan  Kisah tentang Roti Hidup dalam Yoh 6 : 52 – 58 harus dimengerti secara ekaristis  Kisah tentang Prajurit yang menikam lambung Yesus dengan tombak dalam Yoh 19 : 34 menjelaskan tentang penjelmaan serta wafat Kristus di kayu salib serta memiliki asal-usul dan kekuatannya dalam kematian Yesus yang berdarah.  Yoh 22 : 22 dan seterusnya berbicara tentang Pengampunan dosa secara sakramental Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa  sekurang-kurangnya Pembabtisan dan Ekaristi sudah ada pada masa Gereja purba dan



bahwa keduanya dipandang secara soteriologis sebagai ”sarana keselamatan”(I Kor 10 : 1 – 22; Ef 5 : 21 – 33).



2.2.4.     2.2.4.1. 



Sacramentum Pada Zaman Patristika Para Bapa Gereja Berbahasa Yunani a. IGNATIUS DARI ANTIOKHIA : berbicara tentang ”misteri yang berseru dengan nyaring”(mustèria kraugès), maksudnya ialah menunjuk kepada peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus, serta keselamatan sebagai akibatnya yang dihadirkan dalam Gereja. b. Yustinus Martir : Misteri berarti fakta-fakta keselamatan yang mendasar, khususnya berkaitan dengan kelahiran dan salib Kristus. Selain itu, Yustinus Martir juga menganalogikan kata ”misteri” dengan arti ”perumpamaan, simbol, tipe”. c. Ireneus : Ireneus menggunakan kata ”misteri” dalam rangka ajaran, yaitu tentang rahasia kebenaran-kebenaran wahyu, rahasia-rahasia dalam arti kenyataan tersembunyi, jalan rahasia keselamatan Allah yang dilihat oleh para nabi, karunia karismatis orang Kristiani, dan kebangkitan orang-orang benar. d. Klemens dari Aleksandria : menurutnya, mustèrion berkaitan dengan pengetahuan iman Kristiani. Oleh karena itu, dengan sendirinya kebenarankebenaran agama Kristiani dipahami sebagai misteri pula. Kristuslah Sang Mystagog. Lebih lanjut Klemens menjelaskan bahwa ”misteri” menunjuk kepada sistem ajaran Kristiani sebagai keseluruhan. e. Origenes : menganalogikan ”misteri” dengan ”simbol”. Karena itu, ia memandang arti harafiah dari Kitab Suci sebagai suatu simbol semata-mata. f. Athanasius : memakai kata ”misteri”dalam arti dogmatis-teoretis dan dalam arti liturgis. Dalam arti dogmatis-teoretis, yang disebut ”misteri”adalah fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran wahyu pada umumnya dan penjelmaan Anak Allah pada khususnya. Sedangkan dalam arti liturgis, ia menyebutkan kata ”misteri”untuk Ekaristi, Perkawinan dan Pembabtisan. Selain itu, ia juga memakai kata ”misteri”dalam arti rahasia penebusan dan keseluruhannya. g. Yohanes Krisostomus : mengartikan ”misteri”sebagai apa yang tidak dikenal dan yang tersembunyi. Isi misteri adalah tindakan ilahi berupa penebusan yang oleh Kristus tidak hanya dilakukan, tetapi juga diajarkan. Maka, ”misteri”berarti peristiwa keselamatan dan ajaran keselamatan. Krisostomus menyebut pembukaan lambung Yesus sebagai suatu misteri yang tak terkatakan (Yoh 19 : 34) dan memandang darah dan air yang mengalir dari lambung Yesus sebagai gambar Sakramen Ekaristi dan Pembabtisan. Selain itu, Krisostomus menyebut



sakramen-sakramen dengan kata ta mustèria, dalam arti sebagai tempat perjumpaan antara Allah Yang Maharahim dan Mahakuasa dengan manusia yang telah ditebus.



2.2.4.2.    2.2.4.2.1.     



Para Bapa Gereja Berbahasa Latin Arti Sakramen menurut Tertullianus



Tertullianus tidak hanya mengenal dengan baik arti sakramentum, tetapi juga menjadi saksi klasik tentang terjemahan Kitab Suci di Afrika yang menterjemahkan kata Yunani mustèrion dengan kata Latin Sacramentum. Ia menerapkan kata sacramentum pada upacara Baptis dan juga pada Ekaristi. Selain itu, Tertullianus mengemukakan beberapa arti dari sacramentum, yakni arti yang bersifat Sejarah Keselamatan, yaitu : 1)      Sacramentum dalam arti simbol dan alegoria. Nama Yosua, pengganti Musa, misalnya, merupakan sacramentum karena mengacu kepada Yesus (Yehosua) sejauh terdapat analogia antara perutusan kedua orang itu. Begitu pula kayu yang dipikul Isak ke tempat pengorbanan, itu juga merupakan sacramentum sejauh menunjuk kepada kayu yang dipanggul Yesus pada bahuNya ke gunung kalvari. Selain itu, anak yang dilahirkan bagi Abraham dari istri yang merdeka itu menunjuk kepada alegoria kenabian kepada martabat orang Kristiani, sama seperti anak yang dilahirkan dari hamba perempuan menggambarkan perbudakan kaum Yahudi. 2) Sacramentum sebagai penyelenggaraan keselamatan Sacramentum  menandakan rahasia rencana keselamatan Karya Ilahi yang kemudian diwahyukan di dalam Kristus. 3)      Sacramentum sebagai isi dan pengakuan iman kepercayaan. 4)     Sacramentum searti dengan veritas (kebenaran), regula veritatis (pedoman kebenaran), dan saluratis disciplina (ajaran yang menyelamatkan). Selain itu, Tertullianus memberikan arti sacramentum dalam arti yang sakramental sungguh-sungguh. Menurut Tertullianus, arti etimologis yang aktif dari kata sacramentum adalah menyucikan, menahbiskan. Tertullianus menjelaskan beberapa sakramen, misalnya Sakramen Baptis. Melalui pembaptisan, seorang katekumen menjadi prajurit Kristus (miles christi) dan menerima kewajiban iman Kristiani. Air baptis memiliki daya pemberi hidup, karena Allah berkarya di dalamnya. Dengan demikian, pembaptisan merupakan ”sakramen bahagia” (felix sacramentum), sebab berkat sakramen ini dibersihkanlah semua kesalahan yang telah diperbuat seseorang untuk menuju hidup kekal. Selain pembaptisan, Ekaristi juga memainkan peranan penting dan disebut Tertullianus bersama dengan Pembaptisan.  Ketika Kristus menyebut roti itu sebagai tubuh-Nya, maka dengan demikian tidak dikatakan bahwa Kristus mempunyai tubuh yang dapat dibuat dari roti, tetapi bahwa roti itu merupakan gambar tubuh-Nya (figura corporis mei – gambar tubuh-Ku).



Selain itu juga, perkawinan disebut Tertullianus sebagai sacramentum. Alasannya, karena dalam Ef. 5 : 32, kata mustèrion diterjemahkan dengan kata sacramentum, dan dalam perkawinan dilihatnya gambar rahasia tentang ”pesta perkawinan rohani Gereja dan Kristus” (spirituales nuptiae ecclesia et Christi).



2.2.4.2.2.     



Sakramen pada Siprianus dan Ambrosius



Siprianus menyebutkan kata sacramentum dalam arti janji baptis dan pengakuan iman dalam rangka pembaptisan. Menurutnya, hanya dalam Gereja Katolik-lah terdapat pembaptisan yang benar. Sacramentum menjadi searti dengan iman. Orang yang tidak mengenal Allah harus dibaptis demi iman sejati akan Trinitas. Ambrosius menyebut Pembaptisan, Krisma, dan Ekaristi sebagai sacramenta. Pembaptisan dipahami sebagai ritus inisiasi Kristiani, dan kurban Ekaristi adalah misteri Kristiani yang paling luhur dan kudus, pusat seluruh liturgi. Siprianus mengenal sacramentum dalam arti rahasia, tetapi lebih kerap mengartikannya secara kiasan. Menurutnya,  kata sacramentum berarti tanda atau benda atau peristiwa yang menandakan benda lain atau peristiwa lain di masa lampau atau masa depan. Pembabtisan, Krisma, dan Ekaristi disebutnya sebagai sacramenta. 2.2.4.2.3. 



Sakramen Pada Agustinus



Agustinus memakai kata sakramen dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kata sacramentum menunjuk pada Inkarnasi. Sedangkan dalama arti sempit, Agustinus menggunakan kata sacramentum dalam arti sakramen-sakramen Gereja, khususnya upacara Baptis dan Ekaristi. Dan sakramen disebut sebagai tanda suci atau signum sacrum.  Agustinus juga menjelaskan tentang TANDA. Ia membedakan 2 jenis, tanda, yakni: a.    Tanda alamiah (signa naturalia), yakni tanda yang tanpa sengaja dan tanpa ingin menandakan sesuatu yang lain, tetapi kodratnya sendiri memperkenalkan sesuatu yang lain, misalnya asap menunjukkan adanya api, jejak kaki mengacu kepada hewan atau orang yang telah berlalu, atau roman muku seseorang yang marah atau sedih memperlihatkan perasaan hatinya tanpa orang yang bersangkutan ingin memperlihatkannya. b.    Tanda konvensional (signa data), yakni tanda yang diberikan oleh makhluk hidup satu sama lain untuk menunjukkan gerakan hatinya, perasaannya, dan bermacammacam pengetahuan. Seseorang yang memberi tanda konvensional berarti bahwa ia memindahkan apa yang ada di dalam jiwanya sendiri ke jiwa orang lain. Di antara tanda yang dipakai manusia untuk saling memberitahukan perasaannya, ada yang termasuk indra penglihatan, tetapi kebanyakan termasuk pendengaran, terutama kata-kata. Dengan perkataannya, manusia mengungkapkan pikiran yang mau diberitahukan olehnya. Karena itu, perkataanlah tanda yang paling unggul.



Menurut Agustinus, sakramen adalah tanda, yaitu tanda suci (signum sacrum). Sakramen adalah tanda dari realitas tersembunyi. Roh Kudus menghantar kita melalui hal-hal kelihatan kepada kenyataan-kenyataan tak kelihatan. Jadi, sakramen itu adalah tanda dan sekaligus kenyataan kudus tersembunyi yang ditandakan. Menurut Agustinus, sakramen memiliki struktur yang tersusun dari elementum dan verbum (unsur/ bahan dan perkataan). Perkataan adalah tanda terpenting untuk mengungkapkan pikiran manusia. Dan sakramen-sakramen adalah kata-kata yang kelihatan. Perkataanlah yang mengangkat elementum kepada cara berada yang sakramental. Akan tetapi, perkataan itu bukanlah perkataan biasa, melainkan ”perkataan iman” (verbum fidei), yang diresapi oleh daya kerja Roh Kudus yang hidup di dalam gereja. Agustinus memandang penjelmaan Sang Logos sebagai tanda paling hebat yang dianugerahkan Allah kepada manusia, dan semua signa yang lain dalam agama Kristiani mengacu kepada tanda terbesar ini.