Ilmu Riwayah Dan Kaedah Periwayatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU RIWAYAH dan KAEDAH PERIWAYATAN BAB 1 PENDAHULUAN Bagi umat Islam, Hadis merupakan sumber pokok ajaran agama Islam setelah AlQur‟an. hadist identik dengan segala sesuatu yang berasal atau yang disa ndarkan pada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ataupun penetapan. Dengan mempelajarinya, akan dapat diketahui telah sesuai atau belumnya kita dalam menjalankan syari‟at Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Para ahli hadis telah membuat berbagai klasifikasi dalam ilmu hadis. Sebagai suatu disiplin ilmu, Ilmu Hadis juga memiliki cabang-cabang sebagaimana ilmu yang lain. Salah satunya ialah ilmu riwayah dan kaidah periwayatan dan kaidah periwayatan Mempelajari cabang-cabang ilmunya merupakan langkah awal dalam memahami hadis lebih lanjut. Dalam makalah ini akan membahas mengenai ilmu riwayah dan kaidah periwayatan. Semoga dengan makalah ini kita dapat lebih mengenal hadis Nabi Muhammad SAW secara lebih baik. Sehingga dalam menjalankan ketentuan Islam lebih yakin karena kita mengetahui dasar atau dalilnya. 1.2 Rumusan masalah 1. Apa itu Ilmu Riwayah? 2. Bagaiman sejarah Ilmu Riwayah? 3. Bagaimana Kaidah Periwayatan? 1.3



Tujuan dan manfaat penulisan



Dari rumusan masalah di atas maka kita dapat mengambil tujuan sebagai berikut 1. Mengetahui dan memahami ilmu riwayah dan kaidah periwayatan 2. Menambah wawasan mengnai Hadist sebagai salah satu sumber hukum islam setelah Al-quran Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang hadist dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang sebenar-benarnya muslim.



BAB 2 PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Ilmu Riwayah Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql (memindahkan dan penukilan). Sedangkan ilmu hadits riwayah menurut istilah sebagaimana pendapat Dr. Subhi Asshalih adalah : ” ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan berhati-hati bagi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat serta segala segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabiin ” [1] Sedangkan Menurut Sebagian Ulama Tahqiq, ilmu hadits Riwayah Ialah : “ Ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW. Dari sikap para perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya ”, dan yang sepertinya. Menurut Ibn al-Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud Ilmu Hadis Riwayah adalah: “Ilmu Hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya”[2] Sedangkan pengertian menurut Muhammad ‘ajjaj a-khathib adalah: “Yaitu ilmu yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti atau terperinci. “[3] Definisi yang hampir sama senada juga dikemukkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-‘Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al-Hadist, “ Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya”[4] Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw. Objek kajian ilmu Hadits Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya. Ilmu hadits Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadits Dari segi kelakuan para Perawinya, mengenai kekuatan hapalan dan keadilan mereka dan



dari segi keadaan sanad. Ilmu hadits riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadits yang dilakukan oleh para ahli hadits, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan membukukan hadits dalam suatu kitab Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.



2.2 Sejarah ilmu Hadist Riwayah Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi saw masih hidup, yaitu bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk memperoleh Hadis-Hadis Nabi saw dengan cara mendatangi Majelis Rasul saw serta mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut,



Manakala di antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar r.a., yang menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama. [5] Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M). Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama



pertama yang menghimpun Hadis Nabi saw atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz. Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan dibukukan Hadis-Hadis Nabi saw oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.



2.3 Kaidah Periwayatan Cara Nabi Muhammad saw Menyampaikan Hadis Dalam menyampaikan hadis, Rasulullah Saw tidak melakukannya dengan satu cara saja, namun beliau menyampaikan dalam berbagai macam, sesuai dengan bentuk-bentuk hadis yang terdiri dari perkataan atau sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal atau keadaan Nabi, serta situasi dan kondisi yang ada.[6] Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi menyampaikan hadis sebagai berikut: 2.3.1 Hadis dalam bentuk perkataan a. Nabi menyampaikan hadis dengan lisan. Hadis yang disampaikan Nabi dengan lisan dilaksanakan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri kaum laki-laki. 2. Pengajian rutin dikalangan kaum laki-laki. 3. Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya.[7] Riwayat yang mengisyaratkan cara menyampaikan hadis tersebut adalah sebagai



berikut: َ ‫ ا َ لِّ ِر َجا ُل فَاجْ عَ ْل لَنَا يَ ْو ًمامِ ْن نَ ْفسِكَ فَ ْو ِع َده َُّن يَ ْو ًمالَ ِقيَ ُه َّن فِ ْي ِه فَو ِع‬: َ‫علَيْك‬ ِِّ ‫ساءِ ل‬ ْ َ‫قَال‬ ‫ظ ُه َّن وا َ ْم َر ه َُّن فَ َكانَ فِ ْي َما قَا َل‬ َ ‫ غَل ْبنَا‬.‫ م‬.‫ِلنََ بي ص‬ َ َّ‫ت اَلن‬ ْ ْ ْ َ‫ارفَقَال‬ ‫ َوا ثنَتَي ِْن (رواه ا اابخا رو ي‬:َ‫ فَقَال‬- ‫ َواثنَتَ ْي ِن‬:َ ‫ت ا ِْم َر ا َ ة‬ َ ِّ‫ َما مِ ْن ُك َّن ا ِْم َرا ة ُ تُقَ َّد ُم ثَالَ ثَةَ مِ ْن َولَ ِدهَا اِالَِِّّ ََ َكانَ ل َهاَحِ َجابًامِ نَ الن‬:‫لَ ُه َّن‬ ‫)عن اسعيد‬ Artinya: Berkata kaum wanita kepada Nabi; kaum pria telah mengalahkan kami (untuk memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu kami mohon anda menyiapkan waktu satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi menjanjikan satu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita itu. (dalam pengajian itu) Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka (untuk berbuat kebajikan). Nabi bersabda kepada mereka” tidaklah seseorang bagi kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya, melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api neraka” Seorang wanita bertanya: “ dan (bagaimana jika yang mati) dua orang anak saja?” Nabi menjawab: “ dua orang anak juga” (HR. AlBukhari dari Abi Said al-Khudri)[8]



Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi menyampaikan hadisnya melalui yaitu : • Dengan lisan dan perbuatan di hadapan orang banyak, dan disampaikan di masjid pada waktu malam dan subuh. • Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadis dari masyarakat. • Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak di hadapan orang yang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan agama. • Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa takrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi. • Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk tulisan.[9] b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis Cara seperti ini dilakukan Nabi misalnya ajakan ajakan Nabi untuk memeluk agama Islam kepada berbagai kepala Negara dan pembesar daerah yang non Islam lewat surat, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan orangorang musyrik di Mekah dan dan penduduk Madinah, seperti perjanjian Hudaibiyah dan piagam Madinah. 2.3.2 Hadis yang berupa perbuatan Nabi menyampaikan hadis selain dengan cara lisan juga dalam bentuk perbuatan. Cara ini dilakukan di depan orang banyak di masjid pada waktu malam dan subuh. Contoh. ‫ ث ُ َم اجْ ت َ َمعُوا مِ نَ الَّ ْيلَةِالثَّا ِلث َ ِة ا َ ْو‬,‫اس‬ ُ ‫ا َ َّن َر‬ ٍ ‫صلالَ تِ ِه ن‬ ُ َّ‫ص َّل مِ نَ اْلقَا بِلَ ِة فَ َكث ُ َر الن‬ َ ‫ ث ُ َم‬, ‫َاس‬ َ ِ‫ص ِّل ب‬ َ َ‫ص ِِّل ذَ اتَ لَ ْيلَ ِة ِف ْال َمسْخِ ِد ف‬ َ ‫ م‬.‫س ْو ُل هللاَ ص‬ ‫خ اِلَ ْي ُك ْم ِءالَّاِنِِّى قَ ْد َخ ِشيْتُ ا َ ْن‬ ْ َ ‫ فَلَ َّماا‬.‫س ْو ُل هللا ص‬ ُ ‫الرابِعَ ِة فَلَ ْم يَ ْخ ُر ُخ اِ لَ ْي ِه ْم َر‬ َّ َ ‫صبَ َح قَا َل قَ ْد َراَيْتُ الَّذِى‬ ِ ‫صنَ ْعت ُ ْم َولَ ْم يَ ْمنَ ْعنِى مِ ِن اْل ُخ ُر ْو‬



‫ضانَ (رواه البا رى عن عاءشة‬ َ ‫ َو َذ ِلكَ فِ َر َم‬,‫علَ ْي ُك ْم‬ َ ‫ض‬ َ ‫)ت ُ ْق َر‬ Artinya: Pada suatu malam, Rasulullah saw shalat di masjid, lalu orang-orang ikut shalat bersama Nabi, pada malam berikutnya, Nabi shalat di masjid, orangorang yang ikut shalat bersamanya makin banyak, kemudian pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul lagi, akan tetapi Muhammad saw tidak keluar. Pada waktu subuh, Rasulullah bersabda” sesungguhnya saya telah melihat apa yang kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangi saya untuk keluar menjumpai kalian, kecuali saya sungguh khawatir (shalat malam tersebut diwajibkan atas kalian”. Peristiwa ini terjadi pada bulan ramadhan. )HR Bukhari dari Aisyah). [10] 2.3.3 Hadis dalam bentuk taqrir Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk taqrir dengan cara meminta penjelasan dari sahabat, dan berupa taqrir berupa dalam amalan ibadah sahabat yang belum pernah dicontohkan langsung oleh Nabi. Contoh lain adalah sebuah riwayat tentang tindakan ‘Amr bin al-‘Ash yang mimpi bersenggama dan keluar sperma. Ketika masuk waktu subuh, ia lalu bertayammum dan tidak mandi janabah karena udara terlalu dingin. Dia menjadi imam shalat pada hari itu. Para sahabat kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Nabi. Nabi segera meminta penjelasan dari ‘Amr perihal tindakan itu ‘Amir menjawab, bahwa ia bertayammum karena udara terlalu dingin, kemudian ‘amir menyatakan, bahwa ia mendengar firman Allah swt dalam surah An-Nisa ayat 29: Terjemahannya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.[11] Mendengar penjelasan tersebur ’Amr bin al-Ash tersebut Nabi hanya diam saja dan tidak memberi komentar apa-apa. 2.3.4 Hadis dalam bentuk hal ihwal. Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa keadaan Nabi sesungguhnya bukan merupakan aktifitas Nabi, karena menyampaikan hadis Nabi bersikaf pasif saja, pihak aktif adakah para sahabat Nabi, dalam arti sebagai perekam terhadap keadaan Nabi tersebut. Contoh. َّ ِ‫سى ب‬ ْ َ‫االط ِو ي ِْل الب‬ ‫ص ْي ِر‬ ُ ‫كاَنَ َر‬ ِ َ‫ان َِ ِن َوالَ با َِْ لق‬ َ ‫س ْنهُ خ َْلقَا لَ ْي‬ َ ْ‫سنَ ا لنَا ِس َوج َها َوأَح‬ َ ْ‫س ْو ُل هللا ص م اَح‬ (‫)راواه البخارى عن البراء‬ Artinya: Rasullah Saw adalah seorang elok wajahnya, ciptaan (Tuhan) paling bagus, (postur tubuhnya) tidak terlalu tinggi dan tidak terlau pendek.[12] Dari penjelasan di atas dapatlah dibahami bahwa dalam menyampaikan hadisnya, Nabi tidak terikat hanya dengan satu macam cara saja. Dari keragaman cara penyampaian hadis oleh Nabi tersebut membawah beberapa akibat diantaranya adalah: (a) hadis yang berkembang dalam masyarakat jumlahnya banyak. (b) perbendaharaan dan pengetahuan para sahabat tentang hadis Nabi tidaklah sama.



2.4 Periwayatan dengan Lafal dan Makna 2.4.1 Hadist Riwayah BIL-LAFDZI (Lafal) Meriwayatkan hadits dengan lafadz adalah meriwayatkan hadits sesuai dengan lafadz yang mereka terima dari Nabi saw dan mereka hafal benar lafadz dari Nabi tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafadz yang masih asli dari Nabi saw.Riwayat hadits dengan lafadz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya. Hal ini dapat kita lihat pada hadits-hadits yang memakai lafadz-lafadz sebagai berikut: 1. ‫( سمعت رسول هللا صلِّى هللا عليه وسلِّم‬Saya mendengar Rasulullah saw) Contonya: ‫ سمعت رسول هللا صلِّى هللا عليه وسلِّم يقول‬:‫عن المغيرة قال‬: ً ‫ي ُمتَعَ ِ ِّمدا‬ ٍ ‫ْس َك َك ِذ‬ َ ‫ب‬ َ َ‫علَى أ َ َح ٍد فَ َم ْن َكذ‬ َ ‫ب‬ َ ً ‫إِ َّن َكذِبا‬ َ ‫ي لَي‬ َّ َ‫عل‬ َّ َ‫عل‬ ْ ‫ار (رواه مسلم وغيره‬ ِ َّ‫)فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْقعَ َدهُ مِ نَ الن‬ Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lainlainnya) 2. ‫( حدِّثنى رسول هللا صلِّى هللا عليه وسلِّم‬Menceritakan kepadaku Rasulullah saw) Contohnya: ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ ٍ ‫ع ِن ا ْب ِن ِش َها‬ َ ‫ع ْن ُح َم ْي ِدب ِْن‬ َ ‫ب‬ َ ٌ‫َح َّدتَنِى َما ِلك‬ َّ َ َ َّ ِ ُ ‫سلَّ َم قَا َل‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ْ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫هللا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ُ‫ع ْنه‬ ُْ َ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫ع ْن ا َ ِبى ه َُري َْرة َ َر‬ َ : َ َ ِ َ ُ َ َ ‫ض‬ ُ ‫سابًا‬ ‫غف َِر لَهُ َما تَقَد ََّم مِ ْن ذَ ْنبِ ِه‬ َ ‫ام َر َم‬ َ ِ‫ضانَ اِ ْي َمانًا َواحْ ت‬ َ َ‫َم ْن ق‬ Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang beramadhan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus doasa-dosanya yang telah lalu.” 3. ‫( أخبرنى رسول هللا صلِّى هللا عليه وسلِّم‬Mengkhabarkan kepadaku Rasulullah saw)



4. ‫( رأيت رسول هللا صلِّى هللا عليه وسلِّم‬Saya melihat Rasulullah saw berbuat) Contohnya: ِّ ‫الخطاب رضي هللا عنه يقبِّل الحجر “يعنى األسود” ويقول‬ ‫ رأيت عمربن‬:‫عن عبِّاس بن ربيع قال‬ َ َ َّ ِّ َ َ َ ‫ض ُّر َوالَ ت َ ْنفَ ُع َولَ ْوالَ أَنِِّى‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ر‬ ‫ج‬ ‫ح‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ء‬ ‫ال‬ ‫ِى‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ْ َ‫ك‬ ُ ٌ َ َ ُ َ ِ ِ ‫س ْو َل‬ َ‫سلَّ َم يُقَ ِبِّلُكَ َما قَب َّْلتُك‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫هللا‬ (‫)رواه البخارى ومسلم‬ Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi saw dalam meriwayatkan hadits. Oleh karenanya para ulama menetapkan hadits yang diterima dengan cara itu menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf. 2.4.2 Hadist Riwayah BIL-MA’NA (MAKNA) Adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Hasbi Ash Siddieqy yang berjudul “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis”, sebagai berikut: Adapaun bentuk-bentuk atau cara para sahabat meriwayatkan hadis sebagai berikut: a. Dengan lafal yang asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi, dan mereka hafal benar lafal dari Nabi itu. b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.[19] Namun demikian Jumhur Ulama berpendapat bahwa, boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila ia seorang yang mengetahu bahasa arab dengan sempurna dan caracara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya. Jika ia bersifat demikian, bolehlah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perubahan makna tersebut.[20] Bukti lain adalah periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam satu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya.[21] Contoh hadis dalam bentuk makna: 1. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain : َّ ‫ي‬ ٍ َّ‫ع ْلقَ َمةَ بْنَ َوق‬ ِ ‫ع ْب ُد ْال َو َّها‬ َ ‫سمِ َع‬ َ ‫سعِي ٍد َح َّدثَنَا‬ َ ُ‫ِيم أَنَّه‬ َ َ‫سمِ ْعتُ يَحْ يَى بْن‬ َ ‫ب قَا َل‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا قُت َ ْيبَةُ بْن‬ َّ ِ‫اص الل ْيث‬ َ ‫سعِي ٍد يَقُو ُل أ َ ْخبَ َرنِي ُم َح َّم ُد بْنُ إِب َْراه‬ َّ ‫سمِ ْعتُ عُ َم َر بْنَ ْالخ‬ ِ َّ ‫سمِ ْعتُ َرسُو َل‬ ‫ئ َما‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫ي‬ ِ ‫َطا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ب َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْنهُ يَقُو ُل‬ َ ‫يَقُو ُل‬ ٍ ‫سلَّ َم يَقُو ُل ِإنَّ َما ْاأل َ ْع َما ُل ِبال ِنِّيَّ ِة َو ِإنَّ َما ِال ْم ِر‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ َ َ َ َ َ َ ُ ْ ُ ُ ُ ْ ‫َّللا َو َرسُو ِل ِه َو َم ْن كَان‬ ْ ‫ن ََوى فَ َم ْن كَان‬ ِ َّ ‫سو ِل ِه فَ ِهجْ َرتهُ إِلى‬ ِ َّ ‫َت هِجْ َرتهُ إِلى‬ ‫ُصيبُ َها أ ْو ْام َرأةٍ يَت َزَ َّو ُج َها فَ ِهجْ َرتهُ إِلى َما‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ ِ ‫َت هِجْ َرتهُ إِلى ُدنيَا ي‬



‫ النية في اإليمان‬:‫(هَا َج َر ِإلَ ْي ِه ) رواه البخاري‬ 2. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain : ِ َّ ‫سو َل‬ ِ َّ ‫ع ْب ُد‬ ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْن‬ ُ ‫ع َم َر أ َ َّن َر‬ ٍ َّ‫ع ْلقَ َمةَ ب ِْن َوق‬ َ ‫اص‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ِيم‬ َ ‫سعِي ٍد‬ َ ٌ‫َّللا بْنُ َم ْسلَ َمةَ قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬ َ ‫ع ْن يَحْ يَى ب ِْن‬ َ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن إِب َْراه‬ َّ َ ْ َ َ َ ُ ُ ُ ِّ َ ْ ْ ‫سو ِل ِه َو َم ْن كَان‬ َ ْ َ ِّ ِ ِ ُ ‫َت‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫َّللا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ُ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫ر‬ ‫ه‬ ‫ف‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫َّللا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ُ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫ر‬ ‫ه‬ ‫َت‬ ‫ن‬ ‫َا‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ى‬ ‫َو‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ئ‬ ‫ر‬ ‫ام‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ة‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫األ‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ْ ‫ل‬ ‫ع‬ َّ ْ ْ‫ج‬ ْ‫ِج‬ َ َّ ‫صلَّى‬ ُ َ َ َّ َ ِ َ ِ ِ ِ ُ َ َ َّ ِ َ َ َ َ ٍ ِْ ِ َِ ِ ِ ِ َ َ َ َ ِ َ ُ‫َّللا‬ َ َ ‫ ما جاء اناالعمال بالنيات‬:‫ُصيبُ َها أ ْو ْام َرأةٍ يَت َزَ َّو ُج َها فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما هَا َج َر إِلَيْه)رواه البخاري‬ ِ ‫(هِجْ َرتُهُ ل ُد ْنيَا ي‬ 3. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain : ُ‫سمِ ْعت‬ َّ ‫ي‬ ُ ُ‫سمِ ْعت‬ ٍ َّ‫ع ْلقَ َمةَ ب ِْن َوق‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ِيم‬ َ ‫ع ْن يَحْ يَى‬ َ ‫س َّد ٌد َح َّدثَنَا َح َّما ٌد ه َُو ابْنُ زَ ْي ٍد‬ َ ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َ ‫اص قَا َل‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬ َ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإب َْراه‬ َ ‫ض‬ َّ َّ َ ْ َ ُ َ ْ ُ ِّ ْ‫ُصيبُ َها أ َ ْو ْام َرأَةٍ يَت َزَ َّو ُج َها فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما هَا َج َر إِلَ ْي ِه َو َمن‬ ْ ْ ‫سل َم يَقو ُل األ ْع َما ُل بِال ِنيَّ ِة فَ َمن كَان‬ َّ ‫صلى‬ ِ ‫َت هِجْ َرتهُ إِلى ُدنيَا ي‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫النَّب‬ ْ ‫(كَان‬ ِ َّ ‫سو ِل ِه فَ ِهجْ َرتُه ُ ِإلَى‬ ِ َّ ‫َت هِجْ َرتُهُ ِإلَى‬ ‫ هجرة النب‬:‫سو ِل ِه ) رواه البخاري‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ 4. Dalam riwayat al-Bukhari yang lain: ُ‫ت‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫سمِ ْع‬ َ‫ُ َ َ ْن‬ ُ ‫ع ْن‬ ٍ َّ‫ع ْلقَ َمةَ ب ِْن َوق‬ َ ‫ع ْن‬ َ ِ‫ي‬ َ ‫سعِي ٍد‬ َ ‫ِير‬ َ ‫ي ِ قَا َل‬ َ ُ‫س ْفيَانَ َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْن‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َكث‬ ِّ ‫اص اللَّ ْي ِث‬ ِّ ِ‫ِيم التَّيْم‬ َ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإب َْراه‬ َّ َّ َّ ‫ْالخ‬ َ ْ ‫ئ َما ن ََوى فَ َم ْن كَان‬ ِ َّ ‫َت هِجْ َرتُهُ إِلَى‬ ُ‫سو ِل ِه فَ ِهجْ َرتُه‬ َّ ‫صلى‬ َّ ‫ي‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ ِ ‫َطا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫ع ْنه‬ َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫ب َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ٍ ‫سل َم قَا َل ْاأل ْع َما ُل بِال ِنِّيَّ ِة َو ِال ْم ِر‬ َ ِ‫ي‬ ِّ ِ‫ع ْن النَّب‬ َ ‫ض‬ ْ ‫سو ِل ِه َو َم ْن كَان‬ ِ َّ ‫ِإلَى‬ ‫ الخطاء‬:‫ُصيبُ َها أ َ ْو ْام َرأ َ ٍة َيت َزَ َّو ُج َها فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي ِه )رواه البخاري‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ ِ ‫َت هِجْ َرتُهُ ِل ُد ْنيَا ي‬ 22[(‫]والنسيان‬ Redaksi matan hadits yang pertama (a): ‫ئ َما ن ََوى‬ ٍ ‫ِإنَّ َما ْاأل َ ْع َما ُل ِبال ِنِّيَّ ِة َو ِإنَّ َما ِال ْم ِر‬ “sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal orang apa yang ia niatkan.” Redaksi matan hadits yang ke dua (b): ‫ئ َما ن ََوى‬ ٍ ‫ْاأل َ ْع َما ُل بِال ِنِّيَّ ِة َو ِل ُك ِِّل ْام ِر‬ “Sah atau tidaknya suatu amal bergantung pada niat. Dan yang dianggap bagi amal setiap orang apa yang ia niatkan.” Redaksi matan hadits yang ke tiga (c): ‫ْاأل َ ْع َما ُل بِال ِنِّيَّ ِة‬ “amal itu bergantung pada niat.” Redaksi matan hadits yang ke empat (d): ‫ئ َما ن ََوى‬ ٍ ‫ْاأل َ ْع َما ُل بِال ِنِّيَّ ِة َو ِال ْم ِر‬ “ Amal itu bergantung pada niat. Dan yang dianggap amal orang apa yang ia niatkan.” Walaupun empat hadits diatas berbeda-bedanya redaksi matannya, akan tetapi kandungan makna dari hadits tersebut itu sama. Bahwasannya bagus tidaknya sebuah amal seseorang, atau sah tidaknya amal itu diukur dari niat seseorang tersebut, bukan dilihat dari keadaan amal seseorang. Ketika sebuah amal itu baik tanpa dibarengi baiknya amal, maka amal tidak dapat dikatakan baik. AL-Imam Asy Syafi’I telah menerangkan tentang siat-sifat perawi; “Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang dapat dipercaya tentang agamanya dan dikenal bersifat benar dalam pembicaraanya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaknya dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram”.[23]



Tetapi apabila menyampaikan hadis yang secara langsung didengarnya, tidaklah lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya. Meriwayatkan hadits dengan makna adalah meriwayatkan hadits dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi. Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketikan hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz/matan yang lain meskipun maknanya tetap. Adapun contoh hadits ma’nawi adalah sebagai berikut: ْ ‫ َجائ‬: ‫س َهالَهُ فَتَقَد ََّم َر ُج ٌل فَقا َ َل‬ َ ‫سلَّ َم َوا َ َرا َد ا َ ْن ت َ ِه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ب نَ ْف‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫ي‬ ِّ ‫َت ا ِْم َرأَة ٌ اِلَى النَّ ِب‬ ْ ْ ِ ‫س ْو َل‬ ‫آن‬ َ ‫هللا ا َ ْنكِحْ نِ ْي َها َولَ ْم يَ ُك ْن َمعَهُ مِنَ ال َم ْه ِر‬ ُ ‫ار‬ ِ ‫غي َْر بَ ْع‬ َ َ‫ي‬ ِ ‫ض القُ ْر‬ ْ َّ َّ ُ َ َ ُ ْ َ َّ َ َ ‫آن‬ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ْ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫هللا‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ص‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ُ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ل‬ َ‫ن‬ َ َ ‫فَقا‬ ِ‫ُ َ ِ َ َ َ حْ َ ِ َ َ َكَ م‬ َ ُّ ِ ِ ْ ْ ‫آن‬ ِ ‫ قَ ْد زَ َّوجْ ت ُ َك َها بِ َما َمعَكَ مِ نَ القُ ْر‬, ‫وفىرواية‬ ‫رآن‬ َ ‫ زَ َّوجْ ت ُ َك َها‬, ‫وفىرواية‬ ِ ُ‫علَى َمعَكَ مِ نَ ْالق‬ ْ ‫رآن (الحديث‬ ِ ُ‫ َملَ ْكت ُ َك َها بِ َما َمعَكَ مِ نَ الق‬, ‫)وفىرواية‬ Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi saw, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang lakilaki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Qur’an. Maka Nabi saw berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Al-Qur’an. Dalam satu riwayat disebutkan: Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam riwayat lain disebutkan: Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an. Dan dalam riwayat lain disebutkan: Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Al-Qur’an. (Al-Hadits)



- Hukum Meriwayatkan Hadits Ma’nawi Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ma’nawi. Sebagian ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadits dengan lafadznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadits dengan maknanya sekali-kali. Jumhur ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadits dengan pengertiannya tidak dengan lafadz aslinya. Kalau ia seorang yang penuh ilmunya tentang Bahasa Arab dan mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh dan kemungkinannya lafadzlafadz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadits tersebut, kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafadz yang ia dengan dari gurunya.



Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi: “Hendaknya orang yang menyampaikan hadits itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafadz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadits persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna., karena apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadits secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadits kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benarbenar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadits itu dari kitabnya.” Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafadz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafadz yang asli, karena dia telah menerima hadits, lafadz dan maknanya. Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadist dengan maknanya kalau lafadznya terlupa, karena kalau hadits itu tidak disampaikan walaupun dengan maknanya, termasuk yang menyembunyikan hadist. Al-Mawardi berkata: “Jika seseorang tidak lupa kepada lafadz hadits niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadits itu dengan bukan lafadznya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat fashahah yang tidak terdapat pada perawinya.” Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadits dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadits itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi



pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hafits yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadits harus memakai kata-kata ‫ كما قال‬dan ‫ شبهه‬serta yang serupa dengannya. Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadits dengan maknanya itu sebagai berikut: 1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadits, ahli fiqh dan ushuliyyin. 2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadits marfu’. 3. Diperbolehkan, baik hadits itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadits itu tidak menyalahi lafadz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadits itu dapat mencakup dan tidak menyalahi. 4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafadz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya. 5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafadz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafadz dengan murodifnya. 6. Jika hadits itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadits mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan: • Hanya pada periode sahabat • Bukan hadits yang sudah didewankan atau di bukukan • Tidak pada lafadz yang diibadati, umpamanya tentang lafadz tasyahud dan qunut. 2.5 Tahammul wa Ada’ al-Hadis Tahammul adalah kegiatan menerima atau mengambil hadis dari seorang guru, sedangkan Ada’ adalah meriwayatkan atau menyampaikan hadis kepada murid.[24] 1.Syarat-Syarat Tahammul Al-hadis Syarat-syarat yang dimaksud dalam penerimaan hadis adalah kelayakan si penerima hadis, apakah disyaratkan islam dan balig atau tidak a. Tahammul anak kecil Mayoritas ulama membolehkan penerimaam hadis oleh anak kecil, sebahagian tidak memperbolehkannya. ulama yang memperbolehkan Tahammul anak kecil beralasan bahwa banyak dari dari kalangan sahabat, ta’biin dan ahli ilmu menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak, seperi Hasan, Husain, Ibnu Subair, Ibnu Abbas, Anas ibnu malik dan lain-lain.[25] Al-Qadhi menetapkan, batas usia minimal usia anak yang di perbolehkan bertahamul paling tidak suada berusia lima tahun, karena pada usia ini anak suda mampu menghapal apa yang dia telah dengar dan mengingat-ngingat apa yang dia hapal, pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhar dan sahabat Muhammad bin al-Rubai:



‫ي من دلووأناابن خمس سنين‬ ِّ ‫علقت من النِّبي صلى هللا عليه وسلِّم م ِّخة مخهاف وجه‬ Artinya: Saya ingat Nabi saw meludahkan air yang diambilnya dari timbah ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun”.[26] Bagi yang membolehkan penerimaan anak-anak berbeda pandangan pada batas usia dibolehkannya. Ada yang berpendapat usia minimal lima tahun, ada 15 tahun.[27] dan ada yang tidak membatasi usia minimal yang penting anak tersebut sudah tamyiz, maka dinilai sah penerimaan hadisnya. b. Tahammul Orang Kafir dan Orang Fasik. Jumhur Muhaddisin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadis sewaktu masih dalam keadaan kafir atau fasik dapat diterima periwayatannya,setelah memeluk Islam dan bertobat.[28] 2. Ada’ al-Hadis Berbeda dengan tahammul al-hadis, mayoritas ulama sependapat bahwa orang yang meriwayatkan hadis dan riwayatnya bisa dijadikan hujah harus memiliki persyaratan. Syarat-syarat dimaksud adalah Islam, baligh, adil, dan dhabit.[29] 3. Tata cara Tahammul dan Ada’ al-hadis Adapun teknik periwayatan hadis oleh ulama pada umumnya dibagi kepada delapan macam: 1. AL-Sama min Lafzh al-Syaikh. Al-Sama didasarkan kepada penerimaan riwayat melalui proses penyimakan/mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis yang didiktekan atau disampaikan dalam pengajian berdasarkan hafalan atau catatannya. Mayoritas ulama hadis menyempatkan tekhnik al-sama’ sebagai cara tertinggi kualitasnya. Walaupun demikian teknik ini masih perlu dipersoalkan sebab layak atau tidak dipercaya hasil pendengaran seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, yakni: kepekaan alat pendengar, kejelasan suara, kesungguhan pendengar dan kemampuan intelektual pendengar dalam memahami apa yang didengarnya.[30] 2. AL-Qiraah al-Syaikh Kata AL-Qiraah al-Syaikh dikenal juga dengan istilah al-Aradh, yakni membacakan sebuah riwayat di hadapan seorang guru hadis. Riwayat hadis yang disampaikan bisa saja berasal dari catatannya atau hafalannya, kemudian guru hadis tadi menyimak melalui hafalan atau catatannya sendiri. Kata yang dipakai dalam periwayatan cara al-qira’ah adalah: qara’atu ala fulan, ana asmau fa aqarrabih. 3. Al-Ijazah Al-Ijazah adalah pemberian izin seorang guru hadis kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, tanpa harus membacakan hadis satu persatu dengan lisan atau tertulis. Periwayatan dengan cara al-ijazah ada dua: ijazah bersama al-munawalah dan ijazah mujarradah.[31] Ijazah bersama al-Munaalah ada dua macam bentuk: a. Seorang guru hadis menyodorkan hadis kepada murid kemudian mengatakan: Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang telah saya peroleh ini.



b. Murid yang menyodorkan hadis kepada guru hadis, lalu memeriksanya kemudian mengatakan “Hadis ini telah saya peroleh dari guru-guru saya dan anda saya beri ijazah untuk meriwayatkannya dari saya.[32] 4. Al-Munawalah Tekhik ini dilakukan dengan cara seorang guru hadis memberikan sebuah atau beberapa hadis ataukah sebuah kitab hadis kepada seorang murid seraya mengatakan “inilah hadis yang telah saya riwayatkan.[33] Al-Munawalah ada dua bentuk: a. Al-Munawalah al-Mujarradah an-al-ijazah (munawwalah yang tidak disertai dengan ijazah ) dimana guru memberikan kitab hadis kepada muridnya tanpa disertai pernyataan tentang kebolehan meriwayatkannya b. Al-Munawwalah al-Magrunah bi al-Ijazah (munawwalah yang disertai dengan ijazah). Ulama pada umumnya tidak membolehkan periwayatan dengan munawwalah tanpa ijazah. Lafal yang dipergunakan dalam cara ini adalah: Nawalna atau nawalni. 5. Al-Mukatabah Al-Mukatabah adalah seorang guru menuliskan sendiri atau meminta kepada orang lain menulis darinya sebagian hadis yang diriwayatkannya untuk muridnya atau orang tertentu yang mungkin saja tidak berada dihadapannya tetapi berada ditempat lain.[34] Periwayatan al-Mukatabah ada dua macam :a) al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah. b) al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah. 6. Al-I’lam Seorang guru memberitahukan kepada muridnya hadis atau kitab hadis yang telah diterimanya dari seorang periwayat tanpa diikuti pernyataan agar muridnya meriwayatkan darinya.[35] Ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan periwayatan dengan al-I’lam. Yang membolehkan, alasannya bila dengan cara al-sama’ dan al-qiraah dinyatakan sah meski tanpa ijazah maka cara i’lam juga harus diakui, sedangkan yang melarang menganggap bahwa hadis yang diriwayatkan mempunyai cacat sehingga gurunya tidak memberikan izin untuk meriwayatkannya. 7. Al-Washilah Seorang guru mewasiatkan sebuah kitab hadis kepada muridnya untuk meriwayatkannya. Waktu dia memberikan wasiat mungkin sebelum ia meninggal atau bepergian ke tempat lain. Kata yang dipakai adalah Ausa Hayya atau yang semakna dengannya. 8. Al-Wijadah Al-wijadah adalah seseorang yang mendapati sebuah hadis yang telah ditulis oleh periwayatnya yang bisa saja semasa ataupun tidak semasa, pernah bertemu atau tidak dan pernah atau tidak pernah meriwayatkan hadis dari penulisnya. Pernyataan yang bisa dipakai dengan cara al-Wijadah adalah wajadtu bi khatt fulan haddatsana fuulan atau wajadtu fi ktabi fuulan bi



khattihi.