Kelompok 4 Qowaid Fiqhiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

‫المشقة تجلب التيسير‬ UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH QOAWID FIQIYAH DOSEN PENGAMPUH : M AMAR ADLY. Dr,. MA



DISUSUN OLEH M SURYA ABDI : ZEFRI YANSYAH PASARIBU (0204201048)



PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN T.A 2021/2022



1



KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang karena bimbingan-Nyalah , maka penulis bisa menyelesaikan sebuah kaidah yang berjudul “ ‫”األمور بمقاصدها‬. Kaidah ini dibuat dengan berbagai pengkajian dalam



jangka



waktu



tertentu



sehingga



menghasilkan



kaidah



yang



bisa



dipertanggungjawabkan hasilnya. Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Terimakasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.



Medan, 28 Maret 2022 Penulis



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2 DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3 BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1 A.



Latar Belakang...........................................................................................................................1



B.



Rumusan Masalah......................................................................................................................1



C.



Tujuan masalah..........................................................................................................................1



BAB II...................................................................................................................................................3 PEMBAHASAN...................................................................................................................................3 A.



Pengertian Qaidah al-Umur bi Maqashidiha..............................................................................3



B.



Dasar hukum Qaidah ini sebagai berikut :.................................................................................5



C.



Contoh kasus.............................................................................................................................7



D.



Pengecualian contoh kasus qaidah al umuru bi maqosidiha.......................................................7



BAB III..................................................................................................................................................9 PENUTUP.............................................................................................................................................9 A.



Kesimpulan................................................................................................................................9



DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................10



3



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Al-Qawaid bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah



secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti Bahasa, qaidah bermakna asas, dasar atau fondasi, baik dalam arti yang konkret maupun yang abstrak, seperti kata-kata qawa’id al-bait, yang artinya fondasi rumah, qawa’id artinya dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Qawaid Fiqhiyah merupakan satu materi ilmu yang memiliki faedah dan peran yang sangat besar dalam menganalisa hukum dari beragam perumpamaan sehingga mempermudah penetapan putusan hukum bagi seorang mujtahid. Didalam kaidah fikih ini juga membahas kaidah-kaidah fikih yang asasi atau AlQawaid Al-khamsah (lima kaidah asasi). Diantaranya ‫األمور بمقاصدها‬



di dalamnya



membahas apapun perkara yang terjadi itu tergantung pada niatnya dikalangan mazhab Hanbali bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dari tempat dari maksud adalah hati. B.



Rumusan Masalah a. Pengertian Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha b. Apa dasar hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha c. Apa contoh kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha d. Apa pengecualian dari contoh kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha



C.



Tujuan masalah a. Untuk mengetahui makna Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha b. Untuk mengetahui dasar hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha c. Untuk mengetahui kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha d. Untuk mengetahui pengecualian contoh kasus Qaidah Al-Umuru bi maqashidih 4



BAB II PEMBAHASAN



‫األمور بمقاصدها‬ “ Segala sesuatu didasarkan pada niatnya ” A.



Pengertian Qaidah al-Umur bi Maqashidiha Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun



memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut. jadi Qaidah ini adalah “ segala sesuatu didasarkan pada niatnya ”. Sedangkan secara terminologi fiqh, niat adalah kesengajaan untuk melakukan ketaatan dan pendekatan kepada Allah SWT dengan cara melakukan perbuatan atau dengan cara meninggalkannya.



Niat itu sendiri menurut kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan



dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Misalnya di dalam melaksanakan shalat yang dimaksud dengan niat adalah didalam hati dan wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram. Sedangkan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini / beriktikad di dalam hatinya, itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah SWT dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah 5



dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah SWT, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir di sebuah masjid, kemudian duduk-duduk atau tiduran di masjid tersebut, maka apakah dia berniat “ itikaf” ataukah tidak. Bila dia berniat itikaf di masjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah itikaf-nya. Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah, tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-kaidah tersebut diatas. Dari penjelasan tadi bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah : 1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. 2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. 3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah. Secara lebih merinci lagi, para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub, shalat qasar, jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat, sewa-menyewa, perkawilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya. Dalam fikih jinayah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, sehingga Imam al-Suyuthi menyatakan:” apabila kau hitung maalah-masalah fikih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya. Dasar Hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi 6



maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi. Para ulama Fiqh (Fuqaha) memberikan perhatian lebih pada Qaidah ini, mereka banyak mengomentari dan mengembangkannya (syarh) dalam cabang-cabang Qaidah ini.1



B.



Dasar hukum Qaidah ini sebagai berikut :



Terdapat pada surah al-Bayyinah ayat 5 yang menjelaskan bahwa umat manusia dibumi hanyalah menyembah pada Sang Robbi tidak ada sembahan makhluk lainnya kecuali pada-Nya dengan menata kembali seberapa besar taatnya dan takwanya pada Sang Rabbi.



َ‫صاَل ةَ َويُْؤ تُوا ال َّز َكاة‬ َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ ُحنَفَا َء َويُقِي ُموا ال‬ ِ ِ‫ۚ َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِيَ ْعبُ ُدوا هَّللا َ ُم ْخل‬ ُ ‫َو ٰ َذلِكَ ِد‬ ‫ين ْالقَيِّ َم ِة‬ “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS al-Bayyinah: 5) Dalam surah al-Bayyinah diperjelas dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab didalam hadis ini menjelaskan bahwa” Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, waktu kepada yang diniatkannya.” Dasar Qaidah ini juga dilandasi pada Surat Ali Imran ayat 145, yang didalamnya membahas pahala didunia dan diakhirat. Berbunyi : 1



2017)



Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,



7



‫اب ال ُّد ْنيَا نُْؤ تِ ِه ِم ْنهَا َو َم ْن ي ُِر ْد‬ َ ‫س َأ ْن تَ ُموتَ ِإاَّل بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ ِكتَابًا ُمَؤ َّجاًل ۗ َو َم ْن ي ُِر ْد ثَ َو‬ ٍ ‫َو َما َكانَ لِنَ ْف‬ َ‫اب اآْل ِخ َر ِة نُْؤ تِ ِه ِم ْنهَا ۚ َو َسنَجْ ِزي ال َّشا ِك ِرين‬ َ ‫ثَ َو‬ artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.”



Dilandasi dari QS Al-Baqarah ayat 265 yang berbunyi :



‫صابَهَا‬ َ ‫ت هَّللا ِ َوت َْثبِيتًا ِم ْن َأ ْنفُ ِس ِه ْم َك َمثَ ِل َجنَّ ٍة بِ َر ْب َو ٍة َأ‬ َ ْ‫َو َمثَ ُل الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ َأ ْم َوالَهُ ُم ا ْبتِغَا َء َمر‬ ِ ‫ضا‬ ْ ‫َوابِ ٌل فَآت‬ ‫صي ٌر‬ ِ َ‫ص ْبهَا َوابِ ٌل فَطَلٌّ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ ب‬ ِ ُ‫ض ْعفَي ِْن فَِإ ْن لَ ْم ي‬ ِ ‫َت ُأ ُكلَهَا‬



Artinya :



“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat.



Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”



Berlandaskan pada QS Al-Fath ayat 18 yang berbunyi :



‫ض َي هَّللا ُ ع َِن ْال ُمْؤ ِمنِينَ ِإ ْذ يُبَايِعُونَكَ تَحْ تَ ال َّش َج َر ِة فَ َعلِ َم َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فََأ ْن َز َل ال َّس ِكينَةَ َعلَ ْي ِه ْم‬ ِ ‫لَقَ ْد َر‬ ‫َوَأثَابَهُ ْم فَ ْتحًا قَ ِريبًا‬ 8



Artinya : “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).”2 C.



Contoh kasus Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka



hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya haram. Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang yang merampas harta orang).



Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara mutlak.



Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan karena darurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.



2



Andiko,Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011) 9



D.



Pengecualian contoh kasus qaidah al umuru bi maqosidiha



Adapun kekecualian kaidah-kaidah ini antara lain : Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah hukum adat sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, azan, zikir dan membaca Al-Quran kecuali apabila bacanya dalam rangka nazar. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena dengan tidak melakukan perbuatan tersebut, maksudnya sudah tercapai. Memang betul diperlukan niat apabila mengharapkan dapat pahala dengan meninggalkan yang dilarang. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Nikah, tidaklah diperlukan niat seperti niat dalam ibadah-ibadah lain. Bahkan apabila seseorang menikah dengan niat untuk mentalak ataupun menceraikan istrinya maka haram hukumnya pernikahan tersebut Talak, tidak diperlukan niat dalam Tindakan talak. Sengaja ataupun tidak, hukum talak tersebut tetaplah gugur tanpa harus disertai niat seseorang yang mentalak. Rujuk, sama halnya seperti talak. Rujuk juga tidak harus didasari dengan niat seperti ibadah-ibadah lain.3



Ihsan, A. Ghazali , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015) 3



10



BAB III PENUTUP A.



Kesimpulan Qaidah al-Umur bi Maqahidiha merupakan qaidah yang ringkas lafalnya namun



memiliki arti luas, memuat semua aktifitas yang dilakukan seseorang, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan. Qaidah ini juga membahas tentang bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap pekara haruslah selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut. Qaidah tentang niat ini merupakan yang terpenting dan sangat mendalam maknanya dibanding Qaidah-Qaidah lain dalam Fiqh islam. Pada dasarnya hukum Qaidah Al-Umuru bi maqashidiha berlandaskan pada Al-Quran dan Al-Hadis yang ternyata mendapat legitimasi. Qaidah ini memiliki enam macam cabang yang diantaranya cabang yang pertama membahas tentang suatu amalan yang disyaratkan untuk ditentukan (dijelaskan), maka kesalahannya membatalkan pekerjaannya.



11



DAFTAR PUSTAKA



2017)



Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, Andiko,Toha, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Depok Sleman Yogyakarta: Teras, 2011)



Ihsan, A. Ghazali , Kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Semarang: Basscom Multimedia Grafika, 2015)



12