Keperawatan Maternitas (Nola J Pender) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masa nifas merupakan masa yang dilalui oleh setiap wanita setelah melahirkan. Pada masa tersebut dapat terjadi komplikasi persalinan baik secara langsung maupun tidak langsung. Masa nifas ini berlangsung sejak plasenta lahir sampai dengan 6 minggu setelah kelahiran atau 42 hari setelah kelahiran. Kunjungan selama nifas sering dianggap tidak penting oleh tenaga kesehatan karena sudah merasa baik dan selanjutnya berjalan dengan lancar. Konsep early ambulation dalam masa postpartum merupakan hal yang perlu diperhatikan karena terjadi perubahan hormonal. Pada masa ini ibu membutuhkan petunjuk dan nasihat dari bidan sehingga proses adaptasi setelah melahirkan berlangsung dengan baik. Masa nifas ini merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga kesehatan khususnya bidan untuk selalu melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebaban ibu mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas seperti sepsis puerperalis. Jika ditinjau dari penyebab kematian ibu, infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak nomor dua setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika tenaga kesehatan memberikan perhatian yang tinggi pada masa ini.(1) Cakupan kunjungan ibu nifas pada tahun 2009 adalah 71,54%, sementara target cakupan kunjungan ibu nifas pada tahun 2015 adalah 90%. Berdasarkan data dari profil kesehatan tahun 2009 cakupan kunjungan masa nifas di Jawa Tengah yaitu 73, 38%. 2 Cakupan pelayanan nifas adalah pelayanan kepada ibu dan neonatal pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan sesuai standar. Pelayanan nifas sesuai standar adalah pelayanan kepada ibu nifas sedikitnya tiga kali, pada enam jam pasca persalinan sampai dengan hari ketiga, pada minggu kedua, dan pada minggu keenam termasuk pemberian vitamin A dua kali serta persiapan dan atau penggunaan alat kontrasepsi setelah persalinan.3



1



Perawat dan Bidan memegang peranan penting dalam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan dan pengertian masyarakat melalui konsep promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Dalam standar pelayanan kebidanan, bidan memberikan pelayanan bagi ibu pada masa nifas melalui kunjungan rumah pada hari ketiga, minggu kedua dan minggu keenam setelah persalinan untuk membantu proses pemulihan ibu dan bayi melalui penanganan tali pusat yang benar, penemuan dini, penanganan atau rujukan komplikasi yang mungkin terjadi pada masa nifas, serta memberikan penjelasan tentang kesehatan secara umum, personal hygiene, nutrisi, perawatan bayi baru lahir, pemberian asi, imunisasi dan keluaga berencana. Dari bukti-bukti terkait bidang profesi, jelas bagi kita bahwa asuhan postpartum, sebagaimana aspek lain dalam layanan maternitas kurang dievaluasi dan diteliti, diberikan dengan cara yang sering kali tidak tepat dan terbagi-bagi serta memiliki fokus manajerial



yang



tidak



teratur



yang



menghambat



penggunaan



sumbersumber secara efisien. 4 Sebuah sistematic review mengidentifikasi ritual umum lintas budaya terkait dengan periode postpartum dan bukti untuk efek positif atau negatif terhadap kesehatan mental ibu yang hasilnya berupa tema umum yang ada diseluruh budaya mencakup dukungan yang terorganisir, periode istirahat, pembatasan aktivitas, praktek kebersihan, diet, perawatan



bayi



dan



praktek



untuk



mempromosikan



kesehatan.



Pentingnya tenaga kesehatan untuk menyadari praktek-praktek budaya umum dan konsekuensi yang dirasakan karena tidak mengamati mereka.5 Hasil penelitian Elvina M pada tahun 2011 di Medan tentang skor kualitas hidup postpartum berdasarkan faktor demografi ibu menyebutkan bahwa terdapat 3 perbedaan yang bermakna berdasarkan masalah klinis yang menyertai dan jenis persalinan. Jenis persalinan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap skor kualitas hidup. Sustini F, Andajani S, Marsudiningsih A, meneliti tentang Pengaruh pendidikan kesehatan, monitoring dan perawatan ibu pascapersalinan terhadap kejadian morbiditas nifas di kabupaten Sidoarjo dan Lamongan Jawa Timur yang hasilnya berupa monitoring ibu nifas terbukti berhubungan dengan kejadian morbiditas nifas karena dapat memonitor keluhan atau kejadian morbiditas ibu sehingga dengan monitoring ibu yang baik dapat dideteksi morbiditas ibu lebih banyak.



2



Kurangnya monitoring ibu selama masa nifas berdampak pada kemungkinan tidak tercatatnya morbiditas ibu. Perawatan ibu masa nifas terbukti berhubungan dengan risiko terjadinya morbiditas nifas. Pelaksanaan perawatan yang kurang baik dapat meningkatkan risiko terjadinya morbiditas nifas, seperti perawatan payudara untuk mencegah mastitis, membersihkan diri menggunakan sabun setelah buang air kecil dan buang air besar dapat mencegah infeksi genitalia Osman H, Chaaya M, Zein LE, Naassan G, Wick L, dalam penelitian yang berjudul What do first time mother worry about? A study of usage patterns and content of call made to a postpartum support telephone hotline menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan layanan dukungan telepon hotline untuk postpartum tertinggi adalah pada empat minggu pertama dalam masa postpartum. Sebagian besar pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan berhubungan dengan ASI, perawatan rutin bayi baru lahir dan pengelolaan bayi rewel. Steven L.C, Michael A.B, Garry A.D, Jane E, Laura M, Janet A.M, et al dalam penelitian pada tahun 2005 yang berjudul Emergency department use during the postpartum period : implication for current management of the puerperium mengemukakan bahwa dari 222,084 wanita yang melahirkan sebanyak 10,751 datang ke unit gawat darurat dalam 42 hari setelah melahirkan. 58% pasien menunjukkan kondisi yang berhubungan dengan kehamilan; 42% pasien menunjukkan kondisi yang tidak berhubungan dengan kehamilan. Berdasarkan dari uraian diatas maka dirasa penting untuk melakukan pemeriksaan umum pada ibu nifas.



B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana pemeriksaan fisik umum pada ibu nifas?



C. Tujuan 1. Tujuan Umum Dengan tersusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan fisik umum pada ibu nifas.



3



2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik umum pada ibu nifas. b. Mahasiswa mampu melakukan pemasangann CTG. c. Mahasiswa mampu melakukan perawatan perineum. D. Manfaat 1. Teoritis Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengembangan mata ajar keperawatan maternitas khususnya pada ibu nifas 2. Praktisi Dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan maternitas khususnya pada ibu nifas E. Sistematika Penulisan BAB I



: Membahas tentang latar belakang masalah, tujuan umum, tujuan khusus, manfaat dan sistematika penulisan



BAB II



: Membahas tentang tinjauan pustaka pemeriksaan umum pada ibu nifas, pemasangan CTG, Perawatan Perineum.



BAB III : Membahas tentang kesimpulan dan saran



4



BAB II TINJAUAN TEORI



A. Pemeriksaan Cardiotocography 1. Pengertian Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor adalah alat yang digunakan untuk memeriksa kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik. Pada saat bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin dalam keadaan reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim yang adekuat. Apabila kemungkinan terdapat masalah pada janin maka dokter akan melakukan pemeriksaan NST (non stress test) dengan memberikan infus oksitosin untuk menimbulkan kontraksi rahim (his) dan denyut jantung janin diperiksa dengan CTG. Apabila tampak kelainan pada hasil pemeriksaan CTG maka dokter kandungan akan melakukan tindakan persalinan dengan segera. Pemeriksaan dengan CTG sangat diperlukan pada fasilitas pelayanan persalinan. Dengan adanya kemajuan teknologi dan produksi harga peralatan CTG dapat menjadi lebih ekonomis. Dahulu hanya rumah sakit yang menyediakannya. Agar pelayanan pemantauan pada ibu hamil dan bersalin berjalan dengan baik rumah bersalin, klinik dokter bahkan bidan praktek swasta sebaiknya memiliki CTG agar tidak ada kasus keterlambatan dalam mendiagnosis adanya masalah pada ibu hamil dan melahirkan. Cara pengukuran CTG hampir sama dengan doppler hanya pada CTG yang ditempelkan 2 alat yang satu untuk mendeteksi DJJ yang satu untuk mendeteksi kontraksi, alat ini ditempelkan selama kurang lebih 10-15 menit.



5



Suatu alat untuk mengetahui kesejahteraan janin di dalam rahim, dengan merekam pola denyut jantung janin dan hubungannya dengan gerakan janin atau kontraksi rahim. Pemeriksaan CTG penting dilakukan pada setiap ibu hamil untuk pemantauan kondisi janin terutama dalam keadaan: a) Kehamilan dengan komplikasi (darah tinggi, kencing manis, tiroid, penyakit infeksi kronis, dll), b) Kehamilan dengan berat badan janin rendah (Intra Uterine Growth Retriction), c) Oligohidramnion (air ketuban sedikit sekali), d) Polihidramnion (air ketuban berlebih).



2. Mekanisme pengaturan DJJ : (normal 120-160dpm). a) Sistem Saraf Simpatis, yang bekerja pada miokardium, dimana dengan obat (beta adrenergik) akan merangsang atau meningkatkan kekuatan otot jantung, frekruensi & curah jantung. b) Sistem Saraf Para Simpatis, sebagian besar dipengaruhi oleh N.Vagus yang berasal dari batang otak. Bekerja pada nodul SA dan AV serta



neuron. Rangsangan N.Vagus (ex



asetilkolin) akan menurunkan kerja jantung, frekruensi dan curah jantung, sedangkan hambatan pada N.Vagus (ex atropin) akan meningkatkan kerja, frekuensi dan curah jantung. c) Baroreseptor, letaknya diarkus aorta dan sinus karotid, dimana saat tekanan tinggi pada daerah tersebut, maka reseptorreseptornya akan merangsang N.Vagus untuk menurunkan kerja, frekruensi dan curah jantung. d) Kemoreseptor yang terletak di aorta dan badan karotid (bagian perifer) serta di batang otak (sentral), dimana berf/ dalam pengaturan kadar CO2 dan O2 pd darah dan cairan otak. Pada saat O2 turun dan CO2 naik, maka reseptor sentral akan mengakibatkan takhikardi sehingga aliran darah bnayak dan O2 meningkat pd darah dan cairan otak. e) Sistem Saraf Pusat, berfungsi mengatur variabilitas DJJ. Pd keadaan tidur dimana aktivitas otak tidak ada, maka variabilitas menurun.



6



f) Sistem Hormonal, padakeadaan stress (asfiksia) maka adrenal mengeluarkna



epi&norepi



untuk



meningkatkan



kerja, frekruensi dan curah jantung.



3. Karakterisitik DJJ : a) Basa fetal hearth rate, yakni baseline dan variabilitas disaat tidak ada gerakan dan kontraksi uterus. b) Reactivity, merupakan perubahan pola DJJ saat ada gerakan dan kontraksi. c) Baseline Rate Normal 120-160dpm, ada juga yang membuat 120-150 dpm. Takhikardi jika djj > 160dpm, dan bradikardi jika djj < 120dpm. d) Takhikardi dapat terjadi pada keadaan : (Hipoksia janin (ringan / kronik), Kehamilan preterm (35 tahun), 16) Lain-lain : sickle cell, penyakit kolagen, anemia, penyakit ginjal, penyakit paru, penyakit jantung, dan penyakit tiroid., 17) Untuk kehamilan beresiko rendah untuk memonitoring kesejahteraan janin.



8



b) Janin 1) Pertumbuhan janin terhambat (PJT), 2) Gerakan janin berkurang, 3) Suspek lilitan tali pusat, 4) Aritmia, bradikardi, atau takikardi janin, 5) Hidrops fetalis, 6) Kelainan presentasi, termasuk pasca versi luar, 7) Mekoneum dalam cairan ketuba, 8) Riwayat lahir mati. 9) Kehamilan ganda.



B. Pemeriksaan Nifas Umum 1. Pengertian Masa Nifas (Puerperium) Menurut Rukiyah (2011) dalam Prawirohardjo (2002) masa nifas (puerperium) adalah dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira enam minggu. Puerperium adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin (menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil (Varney, 2007). Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keaadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Wanita yang melalui periode puerperium disebut puerura. Puerperium (nifas) berlangsung selama 6 minggu atau 42 hari, merupakan waktu yang diperlukan untuk pulihnya alat kandungan pada keadaan yang normal. Masa nifas (peurperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa nifas ini 6-8 minggu. Batasan waktu nifas yang paling singkat (minimum) tidak ada batas waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relative pendek darah sudah keluar, sedangkan batasan maksimumnya adalah 40 hari. Jadi Masa Nifas (Puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari. (Eny Retna. 2010).



9



Wanita yang melalui periode puerperium disebut puerpura. Batasan waktu nifas yang paling singkat tidak ada batas waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relatif pendek darah sudah keluar, sedangkan batasan maksimumnya adalah 40 hari. Jadi masa nifas adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari (Ambarwati, 2008).



2. Tahapan Masa Nifas Menurut Ai Yeyeh, dkk (2011), tahapan masa nifas meliputi: a)



Puerperium dini Masa kepulihan antara ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan-



jalan. b) Puerperium intermedial Masa kepulihan menyeluruh organ-organ genetalia, kira-kira antara 6-8 minggu. c) Remote puerperium Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna, terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi. Sebagai catatan waktu untuk sehat sempurna bisa cepat bila kondisi sehat prima atau juga bisa berminggu-minggu, bulan, bahkan tahunan, bila ada gangguan-gangguan kesehatan lainnya (Suherni, 2008). Menurut Haumah (2010), secara garis besar terdapat tiga proses penting di masa nifas yaitu sebagai berikut: a) Pengecilan rahim atau involusi Rahim adalah organ tubuh yang spesifik dan unik, karena dapat mengecil serta membesar dengan menambah dan mengurangi jumlah selnya. Pada wanita yang tidak hamil, berat rahim sekitar 30 gram dengan ukuran kurang lebih sebesar telur ayam. Selama kehamilan rahim semakin lama akan makin membesar. Bentuk otot rahim mirip jala berlapis tiga dengan serat-seratnya yang melindungi kanan, kiri, dan transversal. Di antara otot-otot itu ada pembuluh darah yang mengalirkan darah ke plasenta. Setelah plasenta lepas, otot



10



rahim akan berkontraksi atau mengerut hingga pembuluh darah terjepit dan perdarahan berhenti. Setelah bayi lahir, umumnya berat rahim menjadi sekitar 1000 gram dan dapat diraba kira-kira setinggi 2 jari di bawah umbilicus. Setelah 1 minggu kemudian beratnya sekitar 300 gram dan tidak dapat diraba lagi. Secara



alamiah



rahim



akan



kembali



mengecil



perlahan-lahan kebentuk semula. Setelah 6 minggu beratnya sudah sekitar 40-60 gram. Pada saat ini dianggap bahwa masa nifas sudah selesai. Sebenarnya rahim akan kembali keposisinya yang normal dengan berat 30 gram dalam waktu 3 bulan ini, bukan rahim saja yang kembali normal, tetapi juga kondisi ibu secara keseluruhan.



b) Kekentalan darah (hemokonsentrasi) kembali normal. Selama hamil, darah ibu relatif encer karena cairan darah ibu banyak. Sementara sel darahnya berkurang. Bila dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobinnya ( Hb ) akan tampak sedikit menurun dan angka normalnya sebesar11-12 gr%. Jika hemoglobinnya terlalu rendah, maka bisa anemia atau kekurangan darah. Oleh karena itu, selama itu perlu diberi obat-obatan penambah darah, sehingga darahnya bertambah dan konsentrasi darah hemoglobinnya normal atau tidak terlalu rendah. Setelah melahirkan, sistem sirkulasi darah ibu akan kembali seperti semula. Darah kembali mengental, dimana kadar perbandingan sel darah dan cairan darah kembali normal. Umumnya hal ini terjadi pada hari ke3 sampai ke-15 pasca persalinan. c) Proses laktasi atau menyusui Proses laktasi ini timbul setelah plasenta lepas. Plasenta hormon penghambat prolaktin (hormon plasenta) yang menghambat pembentukan ASI. Setelah plasenta lepas hormon plasenta tidak dihasilkan lagi, sehingga terjadi produksi ASI. ASI keluar 2-3 hari setelah melahirkan. Namun, hal yang luar biasa adalah sebelumnya di payudara sudah terbentuk kolostrum yang sangat baik untuk bayi,



11



karena mengandung zat kaya gizi dan antibody pembunuh kuman.



3. Tujuan Asuhan Masa Nifas Menurut Rukiyah (2011) dalam Saifuddin (2006) selama bidan memberikan asuhan sebaiknya bidan mengetahui apa tujuan dari pemberian asuhan pada ibu nifas. Tujuan diberikannya asuhan pada ibu selama masa nifas antara lain : a)



untuk Menjaga kesehatan ibu dan bayinya baik secara fisik maupun psikologis dimana dalam asuhan pada masa ini peranan keluarga sangat penting, dengan pemberian nutrisi, dukungan psikologi maka kesehatan ibu dan bayi selalu terjaga.



b) Melaksanakan skrining yang komprehensif (menyeluruh) dimana bidan harus melakukan manajemen asuhan kebidanan pada ibu nifas secara sistematis yaitu mulai pengkajian data subjektif, objektif maupun penunjang. c)



Setelah bidan melaksanakan pengkajian data maka bidan harus menganalisa data tersebut sehingga tujuan asuhan masa nifas ini dapat mendeteksi masalah yang terjadi pada ibu dan bayi.



d) Mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya, yakni setelah masalah ditemukan maka bidan dapat langsung masuk ke langkah berikutnya sehingga tujuan diatas dapat dilaksanakan. e)



Memberikan



pendidikan



kesehatan



tentang



perawatan



kesehatan diri, nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan bayi sehat.



4. Peran dan Tanggung Jawab Bidan Dalam Masa Nifas Menurut Rukiyah (2011) setelah proses persalinan selesai bukan berarti tugas dan tanggung jawab seorang bidan terhenti, karena asuhan kepada ibu harus dilakukan secara komprehensif dan terus menerus, artinya selama masa kurun reproduksi seorang wanita harus mendapatkan asuhan yang berkualitas dan standar,



12



salah satu asuhan berkesinambungan adalah asuhan ibu selama masa nifas, bidan mempunyai peran dan tanggung jawab antara lain: a)



Bidan harus tinggal bersama ibu dan bayi dalam beberapa saat untuk memastikan keduanya dalam kondisi yang stabil.



b) Periksa fundus tiap 15 menit pada jam pertama, 20-30 menit pada jam kedua, jika kontraksi tidak kuat. Massase Uterus sampai keras karena otot akan menjepit pembuluh darah sehingga menghentikan perdarahan. c)



Periksa tekanan darah, kandung kemih, nadi, perdarahan tiap 15 menit pada jam pertama dan tiap 30 menit pada jam kedua.



d) Anjurkan ibu minum untuk mencegah dehidrasi, bersihkan perineum, dan kenakan pakaian bersih, biarkan ibu istirahat, beri posisi yang nyaman, dukung program bounding attachman dan ASI eksklusif, ajarkan ibu dan keluarga untuk memeriksa fundus dan perdarahan, beri konseling tentang gizi, perawatan payudara, kebersihan diri. e)



Memberikan dukungan secara berkesinambungan selama masa nifas sesuai dengan kebutuhan ibu untuk mengurangi ketegangan fisik dan psikologis selama masa nifas.



f)



Sebagai promotor hubungan antara ibu dan bayi serta keluarga.



g) Mendorong



ibu



untuk



menyusui



bayinya



dengan



meningkatkan rasa nyaman. h) Membuat kebijakan, perencana program kesehatan yang berkaitan ibu dan anak dan mampu melakukan kegiatan administrasi. i)



Mendeteksi komplikasi dan perlunya rujukan.



j)



Memberikan konseling untuk ibu dan keluarganya mengenai cara mencegah perdarahan, mengenali tanda-tanda bhaya, menjaga gizi yang baik, serta mempraktekkan kebersihan yang aman.



k) Melakukan manajemen asuhan dengan cara mengumpulkan data, menetapkan diagnose dan rencana tindakan serta melaksanakannya untuk mempercepat proses pemulihan, mencegah komplikasi dengan memenuhi kebutuhan ibu dan bayi selama periode nifas.



13



5. PerubahanFisiologis Masa Nifas a) Perubahan Sistem Reproduksi Menurut Mitayani (2009) perubahan-perubahan yang terjadi antara lain sebagai berikut : 1) Uterus Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil. Proses involusi uterus adalah sebagai berikut: I.



Iskemia Miometrium : hal ini disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta sehingga membuat uterus menjadi relatif anemi dan menyebabkan serat otot atrofi.



II.



Atrofi jaringan : atrofi jaringan terjadi sebagai reaksi penghentian



hormon



esterogen



saat



pelepasan



plasenta. III.



Autolysis : merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah mengendur hingga panjangnya 10 kali panjang sebelum hamil dan lebarnya 5 kali lebar sebelum hamil yang terjadi selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron.



IV.



Efek Oksitosin : oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterus sehingga akan menekan



pembuluh



darah



yang



mengakibatkan



berkurangnya suplai darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan. 2) Lokhia Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan. Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lokhia. Lokhia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi basa atau alkalis



14



yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lokhia mempunyai bau yang amis (anyir) meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap wanita. Lokhia mengalami perubahan karena proses involusi.



Pengeluaran



lokia



dapat



dibagi



menjadi



lokhiarubra, sanguilenta, serosa dan alba. Umumnya jumlah lochia lebih sedikit bila wanita postpartum dalam posisi berbaring daripada berdiri. Hal ini terjadi akibat pembuangan bersatu di vagina bagian atas saat wanita dalam posisi berbaring dan kemudian akan mengalir keluar saat berdiri. Total jumlah rata-rata pengeluaran lokia sekitar 240 hingga 270 ml. 3) Vagina dan perineum Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan. Rugae timbul kembali pada minggu ke tiga. Ukuran vagina akan selalu lebih besar dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama. Perubahan pada perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan episiotomi dengan indikasi tertentu. Meskipun demikian, latihan otot perineum dapat mengembalikan tonus tersebut dan dapat mengencangkan vagina hingga tingkat tertentu. Hal ini dapat dilakukan pada akhir puerperium dengan latihan harian.



b) Perubahan sistem pencernaan Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,diantaranya tingginya kadar progesteron yang



dapat



mengganggu



keseimbangan



cairan



tubuh,



meningkatkan kolestrol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot polos. Pasca melahirkan, kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian, faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal (Wheeler, 2003). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan, antara lain :



15



1) Nafsu Makan Pasca melahirkan, biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari. 2) Motilitas Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cerna menetap selama waktu yang singkat setelah bayi lahir.



Kelebihan



analgesia



dan



anastesia



bisa



memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal. 3) PengosonganUsus Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan awal masa pascapartum, diare sebelum persalinan, kurang makan, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir. Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu untuk kembali normal. Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain: I. Pemberian diet atau makanan yang mengandung serat. II. Pemberian cairan yang cukup. III. Pengetahuan tentang pola eliminasi pasca melahirkan. IV. Pengetahuan tentang perawatan luka jalan lahir. V. Bila usaha di atas tidak berhasil dapat dilakukan pemberian huknah atau obat yang lain. c) Perubahan Tanda-Tanda Vital 1) Suhu badan : setelah melahirkan, suhu tubuh dapat naik kurang lebih 0,5 derajat celcius dari keadaan normal, setelah dua jam pertama melahirkan suhu badan akan kembali normal. 2) Nadi dan pernafasan : nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah melahirkan, dan dapat terjadi bradikardia. Bila terdapat takikardia dan suhu tubuh tidak panas, mungkin ada perdarahan berlebihan pada penderita, sedangkan pernafasan akan sedikit lebih meningkat setelah



16



melahirkan kemudian kembali seperti keadaan seperti semula. 3) Tekanan darah : setelah melahirkan pada kasus normal, tekanan darah biasanya tidak berubah. Bila terjadi hipertensi post partum akan menghilang dengan sendirinya bila tidak ada penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam setengah bulan tanpa pengobatan.



6. Kebijakan Program Nasional Nifas Seorang bidan pada saat memberikan asuhan kepada ibu dalam masa nifas, ada beberapa hal yang harus dilakukan, akan tetapi pemberian asuhan kebidanan pada ibu masa nifas tergantung dari kondisi ibu sesuai dengan tahapan perkembangannya antara lain (Saleha, 2009). a) Kunjungan ke-1 (6-8 jam setelah persalinan) : mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri; mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan : rujuk bila perdarahan berlanjut; memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri; pemberian ASI awal; melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir; menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia; jika petugas kesehatan menolong persalinan, ia harus tinggal dengan ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran, atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Menurut Varney (2007), selama puerperium awal bidan sebaiknya menemui wanita sedikitnya satu hari sekali. Setiap kunjungan meliputi aspek sebagai berikut: 1) Tinjauan Catatan Klien. Sebelum bidan memulai kunjungan, bidan meninjau setiap bagian perawatan kelahiran dan antepartum yang belum



diketahuinya



sehingga



ia



dapat



memiliki



pengetahuan ketika berbicara dengan ibu baru tersebut. Hal ini meliputi kewaspadaan terhadap adanya komplikasi pada status kesehatan bayi baru lahir. Peninjauan catatan sejak kelahiran juga membantu bidan mengetahui catatan tanda-



17



tanda vital ibu, hasil laboratorium, penggunaan obatobatan, dan setiap komentar dari perawat. Catatan perkembangan dan program sebelumnya juga ditinjau. Waktu yang sudah berlalu sejak kelahiran, dalam jam atau hari, dipastikan untuk mengidentifikasi temuan fisik yang diharapkan. 2) Riwayat Saat bidan memulai kunjungannya, topic pertamanya adalah kelahiran. Saat wanita membagi pengalamannya, ia memberi informasi yang dapat divalidasi atau di perbaiki, dan memberi petunjuk topic mana yang merupakan masalah



besar



baginya.



Informasi



tambahan



dapat



ditanyakan untuk mengkaji pemulihan fisik dan kemajuan ibu dalam belajar menjadi orang tua bagi anaknya yang baru lahir. 3) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan selama periode pasca partum awal meliputi sebagai berikut: I. Pengkajian tanda-tanda vital termasuk kecenderungan selama periode setelah kelahiran. II. Pemeriksaan payudara termasuk menunjukkan adanya kolostrum dan penatalaksanaan puting susu pada wanita menyusui. III. Auskultasi jantung dan paru-paru, sesuai indikasi keluhan ibu, atau perubahan nyata pada penampilan atau tanda-tanda vital. IV. Evaluasi bagian perut ibu terhadap involusio uterus dan kandung kemih. V. Evaluasi nyeri tekan sudut costo-vertebral angle (CVA) jika di indikasikan oleh keluhan maternal atau tandatanda klinis. VI. Pengkajian



perineum



terhadap



memar,



edema,



hematoma dan penyembuhan setiap jahitan. VII. Pemeriksaan tipe, kuantitas dan bau lokhia VIII. Pemeriksaan anus terhadap adanya haemoroid IX. Pemeriksaan ekstremitas terhadap adanya edema, nyeri tekan atau panas pada betis dan refleks.



18



b) Kunjungan ke-2 (6 hari setelah persalinan) : memastikan involusio uterus berjalan normal : uterus berkontraksi, fundus dibawah



umbilicus,



tidak



ada



perdarahan



abnormal;



memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan, dan istirahat; memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit; memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari. c) Kunjungan ke-3 (2 minggu setelah persalinan) : disesuaikan berdasarkan perubahan fisik, fisiologis, dan psikologis yang diharapkan dalam dua minggu pasca partum. Perhatian khusus harus diberikan pada seberapa baik wanita mengatasi perubahan ini dan tanggung jawabnya yang baru sebagai orang tua. Pada saat ini juga adalah kesempatan terbaik untuk meninjau pilihan kontrasepsi yang ada. Banyak pasangan memilih memulai hubungan seksual segera setelah lokhia ibu menghilang. d) Kunjungan ke-4 (6 minggu setelah persalinan) : menanyakan pada ibu tentang penyulit-penyulit yang ia atau bayi alami; memberikan konseling untuk keluarga berencana secara dini, imunisasi, senam nifas, dan tanda-tnda bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi. Meskipun puerperium berakhir sekitar enam minggu, yang menunjukkan lamanya waktu yang digunakan saluran reproduksi wanita untuk kembali ke kondisi pada saat tidak hamil. Pemeriksaan yang dilakukan pada kunjungan ini sering kali terdiri dari pemeriksaan riwayat lengkap, fisik, dan panggul. Selain itu, kunjungan meliputi penapisan adanya kontra indikasi terhadap setiap metode keluarga berencana. Selain pengkajian yang dibahas diatas untuk penggunaan pnggilan telepon atau kunjungan dua minggu, riwayat tambahan lain meliputi sebagai berikut: 1) Permulaan hubungan seksual dan waktu penggunaan kontrasepsi, 2) Metode keluarga berencana yang di inginkan, 3) Adanya gejala demam, kedinginan, pilek dan flu, 4) Payudara apakah ada masalah pada puting susu, perawatan payudara, atau gejala mastitis.



19



5) Fungsi perkemihan, 6) Perubahan lokhia, 7) Kram atau nyeri tungkai



7. Program Tindak Lanjut Asuhan Masa Nifas di Rumah Suatu kunjungan rumah akan mendapat lebih banyak kemajuan apabila direncanakan dan diorganisasikan dengan baik. Bidan perlu meninjau kembali catatan kesehatan ibu, rencana pengajaran dan catatan lain yang bisa digunakan sebagai dasar wawancara dan pemeriksaan serta pemberian perawatan lanjutan yang diberikan. Setelah kunjungan tersebut direncanakan, bidan haru mempersiapkan semua peralatan yang diperlukan, materi instruksi dan keterangan yang dapat diberikan kepada keluarga yang akan dikunjungi (Saleha, 2009). Setelah melahirkan ibu memasuki masa nifas dimana sebelum pulang dari tempat bidan, ibu harus diberikan beberapa petunjuk untuk melakukan perawatan baik terhadap dirinya maupun terhadap bayinya, hal ini dapat dilakukan ibu dan dibantu oleh suami, maupun keluarganya agar ibu dapat mempelajari semua yang harus dilakukan maka ibu diberikan buku pegangan agar jika ibu lupa melakukannya ibu dapat melihat ulang apa yang harus dilakukan (Saleha, 2009). Kunjungan rumah post partum memiliki keuntungan yang sangat jelas karena membuat bidan dapat melihat dan berinteraksi dengan anggota keluarga di dalam lingkungan yang alami dan aman. Bidan mampu mengkaji kecukupan sumber yang ada dirumah, demikian pula keamanan dirumah dan lingkungn sekitar. Kedua data tersebut bermanfaat untuk merencanakan pengajaran atau konseling kesehatan. Kunjungan rumah lebih mudah dilakukan untuk mengidentifikasi penyesuaian fisik dan psikologis yang rumit (Saleha, 2009). Menurut Saleha (2009) selain keuntungan, kunjungan rumah post partum juga memiliki keterbatasan yang masih sering dijumpai, yaitu sebagai berikut: a) Besarnya biaya untuk mengunjungi pasien yang jaraknya jauh. b) Terbatasnya



jumlah



bidan



dalam



memberi



pelayanan



kebidanan.



20



c) Kekhawatiran tentang keamanan untuk mendatangi pasien di daerah tertentu.



8. Kebutuhan Dasar dalam Masa Nifas Menurut Dainty, dkk (2014) ada tujuh kebutuhan ibu nifas antara lain: a) Nutrisi dan Cairan tubuh Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan untuk memulai proses pemberian ASI eksklusif. Asupan kalori perhari ditingkatkan sampai 2700 kalori. Asupan cairan perhari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu 1000 ml), suplemen zat besi dapat diberikan pada ibu nifas selama 4 minggu pertama setelah kelahiran. Gizi ibu menyusui dibutuhkan untuk produksi ASI dan pemulihan kesehatan ibu. Kebutuhan gizi yang perlu diperhatikan antara lain: b) Makanan dianjurkan seimbang antara jumlah dan mutunya. c) Banyak minum, setiap hari minum lebih dari 6 gelas d) Makan-makan yang tidak merangsang, baik secara termis, mekanis atau kimia untuk menjaga kelancaran pencernaan. e) Batasi makanan yang berbau keras. f) Gunakan makanan yang dapat merangsang produksi ASI, misalnya sayuran hijau. g) Diet dalam masa nifas harus bergizi, bervariasi dan seimbang. Diet ini seharusnya tinggi kalori. Total makanan yang



dikonsumsi



dianjurkan



mengandung



50-60%



karbohidrat, lemak sebesar 25-35% dari total makanan, jumlah protein 10-15% zat besi, dan vitamin. h) Eliminasi Bidan harus mengobservasi adanya distensi abdomen dengan mempalpasi dan mengauskultasi abdomen, terutama pada post seksio sesaria. Rangsangan untuk berkemih dapat diberikan dengan rendam duduk ( sith bath ) untuk mengurangi oedema dan relaksasi sfingter, lalu kompres hangat atau dingin. Jika perlu pasang kateter sewaktu.



21



i) Hygiene Sering membersihkan perineum akan meningkatkan rasa nyaman dan mencegah infeksi. Penggantian pembalut hendaknya sering dilakukan, setidaknya setelah membersihkan perineum, berkemih atau defekasi. Pada masa post partum ibu rentan terhadap infeksi. Karena itu menjaga kebersihan sangat penting untuk mencegah infeksi. Anjurkan ibu untuk menjaga kebersihan tubuh, pakaian, tempat tidur, dan lingkungannya. j) Istirahat Ibu nifas membutuhkan tidur dan istirahat yang cukup. Setelah selama sembilan bulan ibu mengalami kehamilan dengan beban kandungan yang begitu berat, banyak keadaan yang menganggu lainnya, dan proses persalinan yang melelahkan, ibu membutuhkan istirahat yang cukup untuk memulihkan keadaannya. Seorang wanita dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak untuk istirahat karena dalam proses penyembuhan, terutama organ-organ reproduksi dan untuk kebutunan menyusui bayinya. Jika ibu kurang



beristirahat



dapat



menganggu



produksi



ASI,



memperlambat proses involusi, memperbanyak perdarahan, menyebabkan



depresi,



dan



menimbulkan



rasa



ketidakmampuan merawat bayi. k) Seksualitas Seksualitas ibu nifas dipengaruhi oleh derajat rupture perineum dan penurunan hormon steroid setelah persalinan. Keinginan seksual ibu menurun karena kadar hormon rendah, adaptasi peran baru, keletihan (kurang istirahat dan tidur). l) Latihan dan senam nifas Tujuan latihan pasca melahirkan adalah : 1) Menguatkan otot-otot perut sebingga menghasilkan bentuk tubuh yang baik. 2) Mengencangkan dasar panggul sehingga mencegah atau memperbaiki inkontinensia stress. 3) Membantu memperbaiki sirkulasi darah di seluruh tubuh.



22



C. Ambulasi Dini Post Partum 1. Pengertian Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk selekas mungkin membimbing



penderita



keluar



dari



tempat



tidumya



dan



membimbingnya selekas mungkin berjalan (Jannah, 2011). Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk secepat mungkin membimbing



penderita



keluar



dari



tempat



tidurnya



dan



membimbingnya secepat mungkin untuk berjalan. Pada persalinan normal baiknya mobilisasi dini dikerjakan setelah 2 jam, ibu boleh miring kiri atau miring kanan untuk mencegah adanya thrombosis (Dewi, 2011). Mobilisasi dini adalah beberapa jam setelah melahirkan segera bangun dari tempat tidur dan bergerak agar lebih kuat dan lebih baik. Gangguan berkermih dan buang air besar juga dapat teratasi (Anggraini, 2010). Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin



dengan



mempertahankan



arah fungsi



membimbing fisiologis.



penderita



Mobilisasi



untuk



dini



tidak



dibenarkan pada ibu post partum dengan penyulit misalnya anemia, penyakit jantung, paru-paru, demam, dan sebagainya.



2. Manfaat Mobilisasi Dini a) Melancarkan



pengeluaran



lokia,



mengurangi



infeksi



puerperium, b) Mempercepat involusi alat kandungan, c) Melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan, d) Meningkatkan



kelancaran



peredaran



darah,



sehingga



mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolism. (Manuaba, 2010).



3. Resiko Bila Tidak Melakukan Mobilisasi Dini Menurut Manuaba (2010), berbagai masalah dapat terjadi bila tidak melakukan mobilisasi dini, yaitu : a) Peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan



23



menyebabkan infeksi, salah satu tanda infeksi adalah peningkatan suhu tubuh. b) Perdarahan



yang



abnormal,



dengan



mobilisasi



dini



kontraksi uterus akan baik, sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan. Karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka. c) Involusi uteri yang tidak baik, apabila tidak dilakukan mobilisasi dini akan menghambat pengeluaran darah dan sisa



plasenta



sehingga



menyebabkan



terganggunya



kontraksi uterus. Selain resiko diatas, dampak yang dapat terjadi



bila



mobilisasi dini tidak dilakukan adalah kurangnya suplai darah dan pengaruh hipoksia pada luka. Luka dengan suplai darah yang buruk akan sembuh dengan lambat. Jika factor-faktor esensial untuk penyembuhan, seperti oksigen, asam amino, vitamin dan mineral, sangat lambat mencapai luka karena lemahnya vaskularisasi, maka penyembuhan luka tersebut akan terhambat, meskipun pada pasien-pasien yang nutrisinya baik. (Morison, 2011).



4. Rentang Gerak Mobilisasi Dini Menurut Manuaba (2010), dalam mobilisasi dini terdapat tiga rentang gerak yaitu: a) Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. b) Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan kakinya. c) Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.



24



5. Tahapan-tahapan mobilisasi dini Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan, lebihlebih bila persalinan berlangsung lama, karena ibu harus cukup beristirahat, dimana ibu harus tidur telentang selama 2 jam post partum untuk mencegah perdarahan post partum. Kemudian ibu boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya thrombosis dan tromboemboli. Lalu belajar duduk setelah dapat duduk, lalu dapat jalan-jalan dan biasanya boleh pulang. Mobilisasi dini ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada adanya komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka. Sebaiknya ibu nifas dapat melakukan mobilisasi dini setelah kondisi fisiknya mulai membaik. Menurut Ifafan (2010), mobilisasi dini dilakukan secara bertahap yaitu: a) Miring kiri / miring kanan setelah 2 jam post partum. b) Duduk sendiri setelah 6-8 jam post partum. c) Berjalan setelah 12 jam post partum.



6. Macam-Macam Mobilisasi Dini (Saifuddin, 2010) a) Mobilisasi penuh Yaitu seluruh anggota dapat melakukan mobilisasi secara normal. Mobilisasi penuh mempunyai peranaan penting dalam menjaga kesehatan baik secara fisiologis maupun psikologis. b) Mobilisasi sebagian Yaitu sebagian dari anggota badan yang dapat melakukan mobilisasi secara normal. Terjadi pada pasien dengan gangguan saraf motoric dan sensorik, terdiri dari : 1) Mobilisasi sebagian dengan temporer, disebabkan oleh trauma yang reversible, 2) Pada system musculoskeletal, 3) Mobilisasi



sebagian



permanen



disebabkan



karena



rusaknya system saraf yang reversible (hemiplagi karena kecelakaan).



25



7. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Mobilisasi a) Factor fisiologis Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap system tubuh bereesiko



terjadi gangguan, tingkat kepparahan dari



gangguan tersebut terganggu pada kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat mobilisasi yang dialami. b) System endokrin Merupakan produksi hormone sekresi kelenjar, membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti respon terhadap stress dan cedera, pertumbuhan dan erkembangan, reproduksi, hemoestatis ion, dan metabolism energy. Ketika cedera



atau



stress



terjadi,



system



endokrin



memicu



serangkaian respon yang bertujuan mempertahankan tekanan darah yang memelihara hidup. System endokrin berperan dalam



pengaturan



lingkungan



internal



dengan



memmpertahankan keseimbangan natrium, kalium, air, dan keseimbangan asam basa. Sehingga system endokrin bekerja sebagai pengatur metabolism energy. c) Factor emosional Factor emosional yang mempengaruhi mobilisasi dini adalah cemas (ansietas). Ansietas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan. d) Ketidakmampuan atau kelemahan fisik dan mental Persalinan merupakan proses yang melelahkan, saat persalinan ibu menggerakkan seluruh tenaganya untuk melewati proses persalinan yang panjang, tidak jarang setelah melahirkan ibu lebih sering memilih tidur daripada melakukan pergerakan secara bertahap. e) Depresi Besar



kemungkinan



setelah



melahirkan



ibu



akan



mengalami depresi. Biasanya depresi berlangsung sekitar satu sampai dua hari, hal ini data terjadi karena perubahan mendadak



dari



hormone.



Gejalanya



berupa



mudah



tersinggung, menangis tanpa sebab, gelisah, takut pada hal yang sepele.



26



D. Perawatan Perineal 1.



Pengertian perawatan perineum Vulva



hygiene adalah



membersihkan vulva dan



daerah



sekitarnya pada pasien wanita yang sedang nifas atau tidak dapat melakukannya sendiri. Pasien yang harus istirahat di tempat tidur (misalnya, karena hipertensi, pemberian infus,section caesarea) harus



dimandikan



setiap



hari



dengan



pencucian



daerahperineum yang dilakukan dua kali sehari dan pada waktu sesudah selesai membuang hajat. Meskipun ibu yang akan bersalin biasanya masih muda dan sehat, daerah daerah yang tertekan tetap memerlukan perhatian serta perawatan protektif. Setelah ibu mampu mandi sendiri (idealnya, dua kali sehari), biasanya daerah perineum dicuci sendiri dengan menggunakan air dalam botol atau wadah lain yang disediakan khusus untuk keperluan tersebut. Penggantian tampon harus sering dilakukan, sedikitnya sesudah pencucian perineum dan setiap kali sehabis ke belakang atau sehabis menggunakan pispot. Payudara harus mendapatkan perhatian khusus pada saat mandi yang bisa dilakukan dengan memakai spons atau shower dua kali sehari. Payudara dibasuh dengan menggunakan alat pembasuh muka yang disediakan khusus untuk keperluan ini. Kemudian masase payudara dilakukan dilakukan dengan perlahan – lahan dan puting secara hati – hati ditarik keluar. Jangan menggunakan sabun untuk membersihkan putting. Vulva hygiene adalah tindakan keperawatan pada alat kelamin perempuan, yaitu perawatan diri pada organ eksterna yang terdiri atas mons veneris, terletak didepan simpisis pubis, labia mayora yang merupakan dua lipatan besar yang membentuk vulva, labia minora, dua lipatan kecil di antara atas labia mayora, klitoris, sebuah jaringan eriktil yang serupa dengan penis laki-laki, kemudian juga bagian yang terkait di sekitarnya seperti uretra, vagina, perineum, dan anus.



2. Tujuan perawatan perineum Tujuan perawatan perineum menurut Hamilton (2002), adalah mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan.



27



Sedangkan menurut Moorhouse et. al. (2001), adalah pencegahan terjadinya infeksi pada saluran reproduksi yang terjadi dalam 28 hari setelah kelahiran anak atau aborsi.



3. Bentuk Luka Perineum Bentuk luka perineum setelah melahirkan ada 2 macam yaitu : a) Rupture Rupture adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat proses persalinan. Bentuk rupture biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan. (Hamilton, 2002). b) Episotomi Episiotomi adalah sebuah irisan bedah pada perineum untuk memperbesar muara vagina yang dilakukan tepat sebelum keluarnya kepala bayi (Eisenberg, A., 1996). Episiotomi, suatu tindakan yang disengaja pada perineum dan vagina yang sedang dalam keadaan meregang. Tindakan ini dilakukan jika perineum diperkirakan akan robek teregang oleh kepala janin, harus dilakukan infiltrasi perineum dengan anestasi lokal, kecuali bila pasien sudah diberi anestasi epiderual. Insisi episiotomi dapat dilakukan di garis tengah atau mediolateral. Insisi garis tengah mempunyai keuntungan karena tidak banyak pembuluh darah besar dijumpai disini dan daerah ini lebih mudah diperbaiki (Jones Derek, 2002). Pada gambar berikut ini dijelaskan tipe episotomi dan rupture yang sering dijumpai dalam proses persalinan yaitu : 1) Episiotomi medial 2) Episiotomi mediolateral Sedangkan rupture meliputi 1) Tuberositas ischii 2) Arteri pudenda interna 3) Arteri rektalis inferior



4. Lingkup Perawatan Lingkup perawatan perineum ditujukan untuk pencegahan infeksi organ-organ reproduksi yang disebabkan oleh masuknya



28



mikroorganisme yang masuk melalui vulva yang terbuka atau akibat



dari



perkembangbiakan



bakteri



pada



peralatan



penampung lochea (pembalut) (Feerer, 2001). Sedangkan menurut Hamilton (2002), lingkup perawatan perineum adalah : a) Mencegah kontaminasi dari rectum, b) Menangani dengan lembut pada jaringan yang terkena trauma, c) Bersihkan semua keluaran yang menjadi sumber bakteri dan bau.



5. Waktu Perawatan Menurut Feerer (2001), waktu perawatan perineum adalah: a) Saat mandi Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan penggantian pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.



b) Setelah buang air kecil Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil kemungkinan besar terjadi kontaminasi air seni padarektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum. c) Setelah buang air besar Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisasisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan.



6. Dampak Dari Perawatan Luka Perinium Perawatan perineum yang dilakukan dengan baik dapat menghindarkan hal berikut ini : a) Infeksi



29



Kondisi perineum yang terkena lokia dan lembab akan sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya infeksi pada perineum. b) Komplikasi Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi pada jalan lahir. c) Kematian ibu post partum Penanganan



komplikasi



yang



lambat



dapat



menyebabkan terjadinya kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum masih lemah (Suwiyoga,1995)



7. Perawatan Perineal Wanita Perawatan perineal pada wanita meliputi pembersihan genitalia eksternal. Prosedur biasanya dilakukan selama mandi. Kebanyakan wanita menyukai mencuci area perineal mereka sendiri bila secara fisik mereka mampu melakukannya. Perawatan perineal mencegah dan mengontrol penyebaran infeksi, mencegah kerusakan kulit, meningkatkan kenyamanan, dan mempertahankan kebersihan. Ketika memberikan perawatan perineal pada klien, perawat harus menggunakan sarung tangan untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme, seperti HIV atau herpes, dari drainase perineal.



8. Pendelegasian Perawat perineal dapat didelegasikan pada personel asisten. Namun, tindakan ini tetap menjadi tanggung jawab perawat untuk menindaklanjutinya untuk menjamin perawatan yang tepat diberikan dan untuk mencatat hasilnya. Keterampilan ini tidak boleh didelegasikan bila klien tidak stabil secara medis.



30



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Alat Kardiotokografi (CTG) atau juga disebut Fetal Monitor adalah alat yang digunakan untuk memeriksa kondisi kesehatan janin. Pemeriksaan umumnya dapat dilakukan pada usia kehamilan 7-9 bulan dan pada saat persalinan. Pemeriksaan CTG diperoleh informasi berupa signal irama denyut jantung janin (DJJ), gerakan janin dan kontraksi rahim. Bila terdapat perlambatan maka itu menandakan adanya gawat janin akibat fungsi plasenta yang sudah tidak baik. Pada saat bersalin kondisi janin dikatakan normal apabila denyut jantung janin dalam keadaan reaktif, gerakan janin aktif dan dibarengi dengan kontraksi rahim yang adekuat. Menurut Rukiyah (2011) dalam Prawirohardjo (2002) masa



nifas (puerperium) adalah dimulai setelah plasenta lahir dan



berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung kira-kira enam minggu.



B. Saran 1. Bagi keperawatan, dapat dijadikan sarana pengetahuan dalam pengelolaan dan pemberian asuhan keperawatan maternitas khususnya pada ibu nifas 2. Bagi Pendidikan, dapat dijadikan saran pengetahuan untuk mahasiswa dalam melakukan asuhan keperawatan maternitas khususnya pada ibu nifas.



31



DAFTAR PUSTAKA



Alexander J, Roth C, Levy V. Praktik kebidanan: riset dan isu. Alih bahasa Devi Yulianti. Jakarta: EGC; 2007. hlm. 227-247. Dinkes. Standar pelayanan minimal bidang kesehatan. Semarang: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah; 2009. hlm. 22-24, 31-32. Griffin RW. Manajemen. Jakarta: Erlangga; 2004. hlm. 88-89. Kemenkes RI. Profil kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2009. hlm. 67. Kemenkes RI. Standar kompetensi bidan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007. Osman H, Chaaya M, Zein LE, Naassan G, Wick L. What do first time mother worry about? A study of usage patterns and content of call made to a postpartum support telephone hotline. BMC Public Health. 2010 [diunduh



10



januaril



2018];



10:611.



Tersedia



di



http://www.biomedcentral.com/147- 2458/10/611 Saifuddin AB. Buku panduan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta: YBP-SP; 2005. hlm. N23. Saleha S. Asuhan kebidanan pada masa nifas. Jakarta: Salemba medika; 2009. hlm.1-7,53-62, 71-76, 79-80. Sophie Grioradis. Cindylee D. Kenneth F. et al. Postpartum cultural practices: a systematic review of the evidence. BMC [abstract]. 2008 [diunduh 10 April



2011];



10.1186



tersedia



di



http://www.annals-general-



psychiatry.com Sulistyawati A. Buku ajar asuhan kebidanan pada ibu nifas. Yogyakarta: Andi Offset; 2009. hlm. 1–6; 74-86. Sustini F, Andajani S, Marsudiningsih A. Pengaruh pendidikan kesehatan, monitoring dan perawatan ibu pascapersalinan terhadap kejadian morbiditas nifas di kabupaten Sidoarjo dan Lamongan Jawa Timur. Bul Penel Kesehatan. 2003. [diunduh 15 Mei 2011]; no 2 (31): hlm: 72-82. Tersedia dari http://www.litbang.depkes.go.id Varney H, Kriebs Jan M, Gegor LC. Buku ajar asuhan kebidanan edisi 4 (2). Jakarta: EGC; 2008. hlm.957-980. WHO press; 2010. hlm. 23-37. WHO technical consultation on postpartum and postnatal care. Geneva: William. Obstetri william. Jakarta: EGC; 2007.



32