Kmb2 BPH Ayu Wardani [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN PADA TN. G DENGAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG RAWAT INAP ANGGREK RSU MITRA DELIMA



DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH



Oleh: AYU WARDANI (17.20.035)



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN 2021



LAPORAN PENDAHULUAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)



A. Definisi BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih



dan



menyumbat



aliran



urine



dengan



menutup



orifisium



uretra



(Smeltzer dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).



B. Klasifikasi Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi : a. Derajat



1:



Biasanya



belum



memerlukan



tindakan



bedah,



diberi



pengobatan konservatif. b. Derajat 2: Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR ). c. Derajat 3: Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal. d. Derajat 4: Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.



C. Etiologi Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut: 1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron) Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.



2. Ketidakseimbangan esterogen-testosteron. Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat. 3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH. 4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis ) Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat. 5. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi BPH.



D. Manifestasi Klinis Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi: 1. Gejala obstruktif a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan mengejan. b. Intermittency, disebabkan



yaitu oleh



terputus-putusnya ketidakmampuan



aliran otot



kencing



destrussor



yang dalam



mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi. c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing. d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra. e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas. 2. Gejala iritasi a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.



b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat terjadi pada malam dan siang hari. c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing E. Patofisiologi Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi,anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada prostat. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.(Basuki B Purnomo,2008) Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu : 1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar. 2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra. 3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli. 4. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek. 5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.



6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter, 7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter. 8. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada prostat yang membesar. 9.



Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.



10. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan bila



terjadi



refluks



dapat



terjadi



pielonefrit



F. Pathway



Estrogen dan testosterone tidak seimbang



Growth faktor



Sel prostat umur panjang



Prolokerasi abnormal sel stem



Sel stroma pertumbuhan berpacu



Sel yang mati kurang



Produksi sel stroma dan epitel berlebih



BPH



Penyempitan lumen posterior



Post OP



Iritasi mukosa kandung kencing



Pemasangan DC



Obstruksi



Retensi urin



Kurangnya informasi terhadap Tindakan pembedahan



Resiko infeksi Nyeri akut



Gangguan eliminasi urin



Ansietas



Resiko Perdarahan



G. Pemeriksaan Penunjang Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi : 1. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. 2. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014). 3. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya. 4. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin. Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH. 5. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.



H. Komplikasi Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi : 1. Aterosclerosis 2. Infark jantung 3. Impoten 4. Haemoragik post operasi 5. Fistula 6. Struktur pasca operasi dan inconentia urin 7. Infeksi



I. Penatalaksanaan Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi : 1. Terapi medikamentosa a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin. b. Penghambat enzim, misalnya finasteride c. Fitoterapi, misalnya eviprostat 2. Terapi bedah. Waktu



penanganan



untuk



tiap



pasien



bervariasi



tergantung



beratnya



gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi: a. Prostatektomi 1. Prostatektomi suprapubis, adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. 2. Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. 3. Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di banding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. b. Insisi prostat transurethral (TUIP) Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam BPH. c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP) Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik.



TEORI ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Anamnesa : 1) Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo, 2012) 2) Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/ paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama, (time) (Judha, dkk. 2012) 3) Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat). 4) Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014) 2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif) a.



Vital sign (tanda vital) 1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal 2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011) 3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi 4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah (Prabowo,2014)



3. Pemeriksaan fisik (head to toe) -



Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz Alimul, 2009).



-



Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau mulut, warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor). Lihat jumlah gigi, adanya karies gigi atau tidak (Aziz Alimul, 2009).



-



Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada kalenjar tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan menelan klien, adanya peningkatan vena jugularis (Aziz Alimul, 2009)



-



Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas, apakah ada suara nafas tambahan (Aziz Alimul, 2009)



-



Abdomen Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi: a. Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine b. Inspeksi: Perut datar, tidak ada benjplan ataupun edema c. Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis. Dilakukan pulapemeriksaan ginjal yang tujuannya untuk melihat ginjal terapa atau tidak, ukuran ginjal, dan ada tidaknya nyeri tekan. Umumnya ginjal yang normal tidak teraba. d. Auskultasi: Bising usus dalam batas normal



-



Genetalia a. Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan tindakan spolling dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar. Bila urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas ( Jitowiyono, dkk. 2010). b. Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus, striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis (Prabowo, 2014).



-



Ekstermitas Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan mengalami penurunan kekuatan otot (Prabowo, 2014).



B. DIAGNOSA Pre Op 1. Retensi urine b.d peningkatan tekanan uretra d.d disuria/anuria (D.0050) 2. Gangguan eliminasi urin b.d penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih d.d berkemih tidak tuntas (hesitancy) (D.0040)



3. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis (obstruksi pada saluran kemih) d.d sulit tidur dan gelisah. (D.0077) 4. Resiko infeksi b.d Supresi Respon Inflamasi infeksi (D.0142) Post OP 1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (prosedur operasi) d.d mengeluh nyeri dan tekanan darah meningkat. (D.0077) 2. Risiko infeksi b.d Efek prosedur Infasif (D.0077) 3. Ansietas b.d Kurang tepapar informasi d.d Merasa khawatir dengan kondisi yang dihadapi (D.0080) C. INTERVENSI



Diagnosa (SDKI) Gangguan Eliminasi Urin (D. 0040) Definisi: Disfungsi eliminasi urin Penyebab: 1. Penurunan kapasitas kandung kemih 2. Iritasi kandung kemih 3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih 4. Efek tindakan medis dan diagnostik (mis. operasi ginjal , operasi saluran kemih, anestesi, dan obatobatan) 5. Kelemahan otot pelvis 6. Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. imobilitas) 7. Hambatan lingkungan 8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi



Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan bersihan jalan napas meningkat. Dengan kriteria hasil: SLKI: Eliminasi Urin (L.04034) No Indikator 1 2 3 4 5 1A Sensasi Berkemih 2B Desakan berkemih 3B Berkemih tidak tuntas 3B Distensi Kandung Kemih 4B Disuria 5C



1 2 3 4 5 1 2 3 4 5



1 2 3 4 5



1 2 3 4 5



Frekuensi 1 2 3 4 5 BAK Keterangan: A: 1 : Menurun 2 : Cukup menurun



Intervensi (SIKI) SIKI: Menejemen Eliminasi Urin (I.04152) Observasi - Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urin - Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urin - Monitor eliminasi urin Terapeutik - Catat waktu-waktu haluaran berkemih - Batasi asupan cairan, jika perlu - Ambil sampel urin tengah Edukasi - Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih - Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urin - Anjurkan minum yang cukup Kolaborasi



9. Outlet kandung kemih tidak lengkap (mis. anomali saluran kemih kongenital) 10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)



3 : Sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat



-



Kolaborasi pemberian obat supositoria, jika perlu



B: 1 : Meningkat Gejala dan tanda mayor: 2: Cukup meningkat a. Subjektif 3 : Sedang - Desekan berkemih 4 : Cukup menurun (Urgensi) 5 : Menurun - Urin menetas (dribbling) - Sering buang air kecil C: - Nokturia 1 : Memburuk - Mengompol 2 :Cukup memburuk - Enuresis 3 : Sedang b. Objektif 4 : Cukup membaik - Distensi kandung kemih 5 : Membaik - Berkemih tidak tuntas (Hesitancy) - Volume residu urin meingkat Gejala dan tanda minor: a. Subyektif: Tidak ada b. Objektif: Tidak ada Retensi Urin (D.0050) Definisi: pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap Penyebab: - peningkatan tekanan uretra - Kerusakan arklus reflex - Blok springter - Disfungsi neurologis (mis. trauma, penyakit saraf) - Efek agen farmakologis (mis. atropine, belladonna, psikotropik, antihistamin, opiate) tanda mayor: a. Subjektif - Sensasi penuh pada kandungan kemih b. Objektif - disuria/anuria



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan bersihan jalan napas meningkat. Dengan kriteria hasil: SLKI: Eliminasi Urin (L.04034) No Indikator 1 2 3 4 5 1A Sensasi Berkemih 2B Desakan berkemih 3B Distensi Kandung Kemih 4B Disuris Keterangan: A: 1 : Menurun 2 : Cukup menurun



1 2 3 4 5



SIKI: Kateterisasi Urine (L.04148) Observasi Periksa kondisi pasien (mis. Kesadaran, tanda-tanda vital, daerah perianal, distensi kandung kemih, inkontinensia urine, reflek berkemih)



1 2 3 4 5 1 2 3 4 5



1 2 3 4 5



Terapeutik 1. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan 2. Siapkan pasien : bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (untuk wanita) dan supine (untuk laki-laki) 3. Pasang sarung tangan



-



Distensi kandung kemih Gejala dan tanda minor: a. Subyektif: Dribbling b. Obyektif: - Inkontinensia berlebih - Residu urin



3 : Sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat B: 1 : Meningkat 2: Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun C: 1 : Memburuk 2 :Cukup memburuk 3 : Sedang 4 : Cukup membaik 5 : Membaik



4. Bersihkan daerah perianal atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades 5. Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip aseptic 6. Sambungkan kateter urine dengan urine bag 7. Isi balon dengan NaCl 0,9% sesusai anjuran pabrik 8. Fiksasi selang kateter ke inguinal 9. Pastikan kantong urine di tempatkanmlebih rendah dari kandung kemih 10. Berikan label waktu pemasangan Edukasi - Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine - Anjurkan menarik nafas saat insersi selang kateter



Nyeri Akut (D.0077) Definisi: Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan Penyebab: 1. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma) 2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan) 3. Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi,



Tujuan: Setelah dilakukan tindakan SIKI: menejemen nyeri keperawatan 3x24 jam diharapkan tingkat (I.08238) nyeri menurun. Dengan kriteria hasil: Observasi 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, SLKI: Tingkat Nyeri (L.08066) frekuensi, kualitas, No Indikator 1 2 3 4 5 intensitas nyeri 2. Identifikasi skala 1A Kemampuan 1 2 3 4 5 nyeri menuntaskan 3. Identifikasi respons aktivitas nyeri non verbal 2B Keluhan 1 2 3 4 5 4. Identifikasi faktor Nyeri yang memperberat dan memperingan 3B Meringis 1 2 3 4 5 nyeri 5. Identifikasi 4B Sikap 1 2 3 4 5 pengetahuan dan Protektif keyakinan tentang nyeri



terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)



1



2



3



4



5



Kesulitan 1 tidur 7C Frekuensi 1 Gejala dan tanda mayor: nadi a. Subyektif: Keterangan: 1) Mengeluh Nyeri A: b. Obyektif: 1 : Menurun 1) Tampak meringis 2) Bersikap protektif (mis. 2 : Cukup menurun waspada, posisi 3 : Sedang menghindari nyeri) 4 : Cukup meningkat 3) Gelisah 5 : Meningkat 4) Frekuensi nadi meningkat B: 5) Sulit tidur 1 : Meningkat 2: Cukup meningkat Gejala dan tanda minor: a. Subyektif: 3 : Sedang 1) Tidak tersedia 4 : Cukup menurun b. Obyektif: 5 : Menurun 1) Tekanan darah meningkat C: 2) pola napas berubah 1 : Memburuk 3) nafsu makan berubah 4) proses berpikir 2 :Cukup memburuk terganggu 3 : Sedang 5) Menarik diri 4 : Cukup membaik 6) Berfokus pada diri 5 : Membaik sendiri 7) Diaforesis



2



3



4



5



2



3



4



5



Resiko Perdarahan (D.0012) Definisi: Beresiko mengalami kehilangan darah baik internal (terjadi didalam tubuh) maupun eksternal (terjadi diluar tubuh) Faktor Risiko 1. Efek agen farmakologis 2. Tindakan pembedahan 3. Trauma 4. Kurang terpapar informasi tentang pencegahan perdarahan 5. Proses keganasan.



5B 6B



Gelisah



6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup 7. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik 1. Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri 3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri 3. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri



Kolaborasi Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Setelah dilakukan Tindakan keperawatan Pencegahan Perdarahan selama 2x24 jam diharapkan tingkat (I.02067) perdarahan menurun. Dengan kriteria Observasi hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan Tingkat perdarahan (L.02017) 2. Monitor nilai hematokrit/hemoglobin No Indikator 1 2 3 4 5 sebelum dan setelah 1B Hematuria 1 2 3 4 5 kehilangan darah 3. Monitor koagulasi 2B Perdarahan 1 2 3 4 5 pasca Terapeutik operasi 1. Pertahankan bedrest selama perdarahan



4A



Kognitif



1



2



3



4



5



5C



Hemoglobin



1



2



3



4



5



6C



Hematokrit



1



2



3



4



5



7C



Tekanan darah



1



2



3



4



5



A: 1 : Menurun 2 : Cukup menurun 3 : Sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat B: 1 : Meningkat 2: Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



2. Batasi Tindakan invasive, jika perlu Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan 2. Anjurkan meningkatkan asupan cairan saat konstipasi 3. Anjurkan menghindari aspirin dan koagulan 4. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vit K 5. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan Kolaborasi 1. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu



C: 1 : Memburuk 2 :Cukup memburuk 3 : Sedang 4 : Cukup membaik 5 : Membaik Resiko Infeksi (D.0142) Tujuan: Setelah dilakukan tindakan SIKI: Pencegahan Infeksi Definisi: Berisiko mengalami keperawatan 3x24 jam derajat infeksi (I.14539) peningkatan terserang oganisme menurun. Dengan kriteria hasil: Observasi patogenik Monitor tanda gejala infeksi Faktor Resiko: SLKI: Tingkat Nyeri (L.14137) local dan sistemik 1. Penyakit Kronis No Indikator 1 2 3 4 5 Terapeutik 2. Efek prosedur Infasif 1. Batasi jumlah 1B Demam 1 2 3 4 5 3. Malnutrisi pengunjung 4. Peningkatan paparan 2B Kemerahan 1 2 3 4 5 2. Berikan perawatan organisme patogen kulit pada daerah lingkungn 3B Nyeri 1 2 3 4 5 edema 5. Ketidakadekuatan 3. Cuci tangan sebelum 4B Bengkak 1 2 3 4 5 pertahanan tubuh perifer dan sesudah kontak - Gangguan peristltik dengan pasien dan 5C Kadar Sel 1 2 3 4 5 - Kerusakan integritas kulit lingkungan pasien Darah - Perubahan sekresi PH 4. Pertahankan teknik Putih - Penurunan kerja siliaris



-



-



Ketuban pecah lama Ketuban pecah sebelum waktunya Merokok Status cairan tubuh 6. Ketidakadekuatan pertahan tubuh sekunder: Penurunan Hemoglobin Imunosupresi Leukopenia Supresi Respon Inflamasi Vaksinasi tidak adekuat



Keterangan: A: 1 : Menurun 2 : Cukup menurun 3 : Sedang 4 : Cukup meningkat 5 : Meningkat B: 1 : Meningkat 2: Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



aseptik pada berisiko tinggi



pasien



Edukasi 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Ajarkan cara memeriksa luka 3. Anjurkan meningkatkan asupan cairan Kolaborasi Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu



C: 1 : Memburuk 2 :Cukup memburuk 3 : Sedang 4 : Cukup membaik 5 : Membaik Ansietas (D.0080) Setelah dilakukan tindakan keperawatan SIKI: Konseling Definisi: Kondisi emosi dan selama 3x24 jam, diharapkan (1.10334) pengalaman subyektif individu bersihan jalan napas meningkat. Observasi terhadap objek yang tudak jelas Dengan kriteria hasil: - Kaji tanda verbal dan akibat antisipasi bahaya SLKI: Tingkat Ansietas (L.09093) non verbal Kecemasan No Indikator 1 2 3 4 5 Penyebab: Terapeutik 7. Krisis situasional - Berada di sisi pasien 1A beristirahat 1 2 3 4 5 8. Kurang tepapar informasi untuk meningkatkan 2B Perasaan 1 2 3 4 5 rasa aman dan gelisah Gejala tanda mayor: mengurangi ketakutan 3B Rasa takut 1 2 3 4 5 a. Subjektif - Dorong keluarga 9. Merasa binguung untuk mendampingi 4B Rasa 1 2 3 4 5 10. Merasa khawatir dengan pasien cemas kondisi yang dihadapi - Gunakan pendekatan Keterangan: b. Objektif yang tenang dan 11. Tampak gelisah meyakinkan 12. Tampak tegang A: 1 : Memburuk Edukasi 2 :Cukup memburuk - Instruksikan pasien Gejala dan tanda minor: 3 : Sedang untuk menggunakan a. Subyektif: 4 : Cukup membaik teknik relaksasi - Anoreksia 5 : Membaik b. Obyektif:



-



Frekusensi napas



-



meningkat Frekuensi nadi meningkat Tekanan darah meningkat Tremor Muka tampak pucat Kontak mata buruk



B: 1 : Meningkat 2: Cukup meningkat 3 : Sedang 4 : Cukup menurun 5 : Menurun



D. IMPLEMENTASI Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pada tahap ini perawat menerapkan pengetahuan intelektual, kemampuan hubungan antar manusia (komunikasi) dan kemampuan teknis keperawatan, penemuan perubahan pada pertahanan daya tahan tubuh, pencegahan komplikasi, penemuan perubahan sistem tubuh, pemantapan hubungan klien dengan lingkungan, implementasi pesan tim medis serta mengupayakan rasa aman, nyaman dan keselamatan klien.



E. EVALUASI Evaluasi merupakan perbandingan yang sistemik dan terencana mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Penilaian dalam keperawatan bertujuan untuk mengatasi pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.



DAFTAR PUSTAKA



Azizah, Lailatul. 2018. Asuhan Keperawatan Klien Post Operasi BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) dengan Masalah Nyeri Akut di RS Panti Waluya Malng. Akademi Keperawana Panti Waluya.Karya Tulsi Ilmiah. Berman, A., Synder, S. & Fradsen, G.. (2016). Kozier & Erb’s Fundamentals of Nursing (10th ed.). USA: Pearson Education. Hurwitz, A., Massone, R. & Lopez, B.L. (2014). Acquired Bleeding Disoders. Emergency Medicine Clinics of North America, 32(3), 691-713. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. PPNI : Jakarta. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1. PPNI : Jakarta. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. PPNI : Jakarta.