Komunitas Di Lapas [PDF]

  • Author / Uploaded
  • niken
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang kesehatan tahun 2009, Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. (UU Kesehatan No 36, 2009). Hal ini perawat memiliki peran yang sangat penting dalam dunia kesehatan. Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan bahwa Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. (UU Keperawatan No 38, 2014). Oleh karena itu, perawat dapat memberikan pelayanan keperawatan di fasilitas kesehatan dan diluar fasilitas kesehatan seperti LAPAS. Lembaga permasyarakatan secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi korektif. Hal ini sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai tempat bagi mereka menjalani hukuman pidana kurungan (selaku narapidana) dalam jangka waktu tertentu untuk mendapat pembinaan. Diharapkan, setelah selesai menjalani hukuman, mereka dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak melakukan lagi tindakan pidana. Hukuman di dalam lembaga pemasyarakatan yang dijalankan oleh narapidana hanya merupakan sebuah reaksi formal yang diberikan oleh negara, yang bertujuan untuk mendisiplinkan rakyatnya. Dalam hal ini, narapidana hanyalah dibatasi ruang geraknya dalam kurun waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh pengadilan sesuai dengan tingkat berat dan seriusnya kejahatan yang dilakukan, sementara itu hak-hak lainnya sebagai warga negara harus tetap terpenuhi. Dalam survei tahun 1994, 41% dari narapidana California positif terjangkit Hepatitis C, termasuk 61% narapidana laki–laki positif terjangkit



1



HIV, dan 85% narapidana perempuan positif terjangkit HIV. Penelitian lain di Nova Scotia menemukan bahwa pengguna narkoba jenis suntik cenderung lebih mudah terinfeksi Hepatitis C, yaitu sekitar 52% di bandingkan dengan pengguna narkoba non-injkesi yang memiliki tingkat infeksi hanya 3%. Walaupun undang-undang yang mengatur tentang hak-hak narapidana telah diberlakukan, namun pada kenyataannya hak-hak narapidana, khususnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, masih banyak yang terabaikan. Isu pemenuhan hak narapidana masih menjadi hal yang terabaikan dari perhatian publik. Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan dari masyarakat bahwa narapidana hanyalah sekelompok manusia yang tidak berguna, yang keberadaannya hanya akan menyusahkan masyarakat terutama lingkungan sekitarnya. Sehingga, perlakuan yang tidak manusiawi terhadap narapidana dianggap sebagai hal yang wajar. Padahal, narapidana juga merupakan bagian dari masyarakat yang tetap memiliki hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Permasalahan kesehatan di lapas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena kondisi kesehatan yang baik merupakan modal utama bagi warga binaan untuk mencapai tujuan dari sistem pemasyarakatan, yakni proses integrasi. Tanpa dimilikinya kondisi kesehatan yang baik, maka warga binaan juga tidak dapat mengikuti jalannya proses pembinaan dengan baik. Terjadinya over kapasitas dalam lapas mengakibatkan hak-hak para narapidana untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berupa tempat tinggal yang layak serta lingkungan yang sehat menjadi tidak terpenuhi. Sehingga, masalah penyakit yang muncul bukan hanya penyakit yang dibawa oleh narapidana dari luar lapas seperti HIV dan TBC, namun juga berbagai penyakit yang timbul akibat lingkungan yang tidak sehat, asupan gizi yang kurang, serta masalah kesehatan psikologis narapidana.



2



1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan Komunitas Kelompok Binaan di lembaga pemasyarakatan dan masalah-masalah yang terdapat di dalamnya. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu memahami konsep Lembaga Pemasyarakatan. b. Mahasiswa mampu memahami permasalahan yang berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia di dalam lembaga pemasyarakatan serta program pemerintah untuk Kelompok Binaan Lembaga Pemasyarakatan c. Mahasiswa mampu membuat Asuhan Keperawatan Komnitas pada kelompok Binaan Lembaga Pemasyarakatan 1.3 Manfaat Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Akademis Mahasiswa



mampu



menjelaskan



dan



memahami



definisi,



konsep



keperawatan, pelayanan kesehatan, dan asuhan keperawatan pada komunitas pada kelompok binaan di lembaga pemasyarakatan. 2. Praktis Makalah ini dapat dijadikan bahan materi selanjutnya tentang konsep keperawatan, pelayanan kesehatan, dan asuhan keperawatan pada komunitas pada kelompok binaan di lembaga pemasyarakatan.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



3



2.1 Definisi Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (disingkat Lapas) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah Lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksanaan Teknis di bawah Direktorat Jendral Pemasyarakatan



Kementrian



Hukum



dan



Hak



Asasi



Manusia.



Lembaga



Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksutnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim (Daud,2013). Sistem pemasyarakatan merupakan serangkaian penegak hukum yang bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembanguna, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Daud,2013). 2.2 Ciri-ciri Warga Binaan Pemasyarakatan Warga Binaan Pemasyarakatan terdiri dari: 1. Narapidana Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS. 2. Anak Didik Pemasyarakatan adalah : a. Anak Didik b. Anak Pidana c. Anak Negara d. Anak Sipil 2.3 Klasifikasi 1. Asas Pelaksanaan Sistem Pembinaan Menurut pasal 1 ayat 7 UU Nomor. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan : a. Pengayoman b. Persamaan perlakuan dan pengayoman 4



c. d. e. f. g.



Pendidikan Pembimbingan Penghormatan harkat dan martabat manusia Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderita, dan Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-



orang tertentu. (Pasal 5) 2. Penggolongan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar : a. Umur b. Jenis kelamin c. Lama pidana yang dijatuhkan d. Jenis kejahatan e. kriteria lainnya sesuai kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 12) 3. Hak Narapidana (Pasal 14) a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran d. Mendapatkan pelayanan kesehatan , makanan yang layak e. Menyampaikan keluhan f. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan g. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hokum, atau orang lainnya h. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi) i. Mendaapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga j. Mendapatkan pembebasan bersyarat k. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan l. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. 2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik Kognitif dan Psikososial di Lembaga Pemasyarakatan Jumlah kriminalitas secara kuantitas maupun kualitas semakin meningkat. Secara kuantitas hampir semua lembaga pemasyarakatan overcapacity. Banyaknya kasus pembunuhan semakin sadis dilakukan dengan mutilasi; kasus pemerkosaan pada anak, korbannya semakin muda dan pelakunya dapat dilakukan oleh saudara, paman, guru, pejabat bahkan ayah kandung sendiri; dan kasus korupsi juga makin marak melibatkan pejabat. 5



Dari perspektif psikologi penyebab kriminalitas adalah multifaktor, salah satunya adalah aspek psikologis seseorang yang berinteraksi dengan penyebab eksternal, seperti kontrol diri kurang dan masalah emosi yang berinteraksi dengan pengaruh eksternal seperti pengaruh kelompok sebaya yang negatif. Seorang anak yang pengelolaan emosi dan kontrol dirinya negatif dan adanya pengaruh buruk teman kelompok dapat menyebabkan anak terlibat tawuran dan berakibat kematian. Dengan perspektif tersebut, diperlukan rehabilitasi dalam penanganan kriminal. Lapas adalah muara dari sebuah sistem hukum, tempat pembinaan para pelaku kriminal yang sudah divonis bersalah oleh peradilan pidana. Fungsi Lapas dalam kacamata psikologi menjadi lebih dituntut untuk menjalankan fungsi konstruktif yang menekankan pada upaya menciptakan konstruk perubahan perilaku; fungsi rehabilitatif yang mengkoreksi/memperbaiki dan memulihkan atas perilaku yang salah menjadi lebih benar; dan fungsi transformatif yaitu membangun manusia baru yang kemudian akan siap menjadi bagian masyarakat yang lebih produktif secara sosial dan tidak mengulang tindak kejahatan. Peran psikologi menjadi lebih urgent untuk memaksimalkan peran lembaga pemasyarakatan baik dalam tataran keilmuan maupun praktik profesi psikologi itu sendiri, baik untuk perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) maupun untuk kesiapan mental para petugas pemasyarakatan dalam mengemban amanat UU Pemasyarakatan. Beberapa masalah psikologis yang muncul di lembaga pemasyaratan yang membutuhkan penanganan psikolog antara lain: 1. Overcapacity



sel



akan



menimbulkan



perasaan



ketersesakan



yang



mempengaruhi proses kognitif dan emosi serta perilaku WBP. Interaksi antara berbagai perangkat hukum yang ada di Lapas, seperti sistem hukum, prosedur keamanan dan pengamanan, tata ruang dan orang-orang yang terlibat di dalamnya baik itu Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), petugas pemasyarakatan sampai Kepala Lapas dan pengunjung Lapas memproduksi satu proses psikologis yang kental dengan ketidaknyamanan.



6



2. Berbagai dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum kriminal, dan politik berkonfigurasi dan turut berinteraksi menjadi sebuah proses belajar yang menghasilkan perilaku unik, baik pada WBP maupun petugas. Secara teoritis, berbagai situasi di Lapas kerap menjadi pencetus terjadinya sebuah proses keterasingan yang ditandai dengan meningkatnya rasa kesepian, hasrat hidup yang menurun, hasrat untuk meraih sesuatu namun sulit untuk meraihnya. Kondisi seperti ini berisiko tidak mampu ditampung dalam jendela toleransi individu sehingga potensial terjadi keadaan frustrasi dengan respon-respon yang tidak diharapkan mulai dari meningkatnya agresivitas sampai pada situasi krisis emosional dan kognitif yang berujung pada keadaan depresif dan perilaku bunuh diri.Intervensi Krisis merupakan salah satu program yang sangat dibutuhkan. Bukan hanya sekali dua kali terjadi tindakan bunuh diri atau pembunuhan pada WBP di dalam Lapas. 3. Pada masing-masing terpidana mati, meskipun memiliki kondisi yaitu menunggu proses eksekusi yang telah dijadwalkan, ternyata memiliki kondisi psikologis yang berbeda satu sama lain sehingga membutuhkan pendekatan dan perlakuan psikologis yang berbeda. Tujuan pendampingan psikologis adalah mengupayakan kestabilan emosi masing-masing terpidana dalam menghadapi proses eksekusi agar lebih mampu menyiapkan diri dengan risiko minimal seperti kemungkinan terjadinya perilaku agresif ke dalam dirinya sendiri (menyakiti diri hingga bunuh diri), atau perilaku agresif keluar (menyakiti hingga melukai orang lain). Memberikan kesempatan pada terpidana untuk menyampaikan apapun yang dipikirkan dan dirasakan tanpa disalahkan akan menjadi saluran untuk melepas emosinya, dan teknik-teknik stabilisasi serta beberapa teknik menemukan insight sangat membantu terpidana dalam menghadapi situasi yang sangat berat bagi diri dan kehidupannya. Hal tersebut diakui secara langsung oleh para terpidana yang mendapatkan dampingan psikologis.



7



Manusia secara individual tidak bisa lepas dari entitas sosialnya. Selalu ada proses belajar sosial dan pertukaran sosial. Struktur kepribadian individu berada dalam kondisi sosial psikologis lingkungannya akan membentuk pengalaman hidup yang dipersepsi secara individual dan mempengaruhi perilaku. Dengan makin banyaknya warga negara asing yang menjalankan masa pidananya di Lapas Indonesia, terjadi saling bertukar budaya dengan para WBP lain dan para petugas pemasyarakatan. Berbagai motif sosial dan motif personal saling berinteraksi mewujudkan perilaku tertentu. Khususnya pada Anak Didik Pemsyarakatan (ADP), perlu penanganan psikologis yang lebih khusus agar perilaku di lapas bisa terwujud. Pendidikan bagi ADP menjadi problem tersendiri yang perlu dipikirkan beriringan dengan solusi penanganan perilaku secara tepat. Gambaran secara umum kondisi psikologis ADP di Lapas, anak berisiko dalam hal penghayatan mereka terhadap kondisi kesepian, persepsi terhadap minimalnya dukungan sosial, rendahnya tingkat self efficacy, kepekaan yang rendah terhadap masa depan sampai ke berbagai kecemasan menjelang masa bebas karena mereka mengkhawatirkan adanya stigma yang menghambat masa depan mereka. Diperlukan intervensi psikologis seperti pembinaan kepribadian dan kemandirian sebagai upaya pemasyarakatan, konseling dan psikoterapi untuk membantu ADP mengatur proses berpikir dan emosinya, di samping kegiatan keagamaan, kegiatan hobi dan kegiatan ketrampilan. Selain itu, diperlukan program yang memberi kesempatan pada ADP untuk mengenali dan menyadari potensi diri, diberi kesempatan untuk menampilkan diri dan potensi dirinya dengan umpan balik yang apresiatif. Programprogram untuk optimalisasi tumbuh kembang anak seperti lingkungan pola asuh yang penuh cinta serta pemberian model positif menuntut perilaku petugas pemasyarakatan untuk lebih sensitif dalam isu perilaku moral. ADP membutuhkan pula stimulasi perkembangan kognitif dan emosi agar mampu mengembangkan manifestasi pola pikir yang positif disertai kemampuan



8



meregulasi emosi secara adaptif. Isu psikososial saat ADP berada dalam usia pubertas dan remaja dapat diantisipasi melalui pendidikan seksual yang dirancang secara berkesinambungan hingga tertanam pemahaman seksualitas dan moral. Jika dikaitkan dengan Lapas perempuan, maka diperlukan intervensi psikologis yang sensitif terhadap isu gender dan peran seorang perempuan. Misalnya ketika berhadapan dengan situasi dimana WBP perempuan tersebut ternyata sedang mengandung dan harus melahirkan dalam masa hukumannya sehingga tentunya akan menjadi masalah psikologis ganda, baik bagi WBP perempuan itu dan bagi anak yang dilahirkannya (Widianti, 2011). 2.5 Masalah Kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan atau LAPAS adalah satuan usaha pemasyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana, yaitu seseorang yang sedang menjalani pidana yang hilang kemerdekaan. Narapidana juga punya hak yang sama untuk mendapatkan derajat kesehatan yang optimal. Masalah kesehatan pada narapidana di lembaga pemasyarakatan diperkirakan karena beberapa faktor salah satunya kelebihan kapasitas yang meningkatkan resiko penyakit menular, keterlambatan deteksi penyakit, kurangnya ruangan isolasi, ketidaktepatan pengobatan. Sementara pada sisi lain, kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan belum sepenuhnya optimal (Arif, 2014). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kesehatan di lembaga pemasyarakatan antara lain: 1. Usia Hurlock (2008) membagi masa usia dewasa menjadi tiga bagian yaitu dewasa awal 18-40 tahun, dewasa madya 41-60 tahun dan dewasa akhir lebih dari 60 tahun. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (2008) warga binaan wanita menjelang bebas di lembaga pemasyarakatan wanita klas II A Bandung berada pada kategori dewasa awal yaitu 18-40 tahun dimana pada rentang usia ini pengalaman hidup seseorang masih sedikit sehingga



9



ketika masalah dalam kehidupan muncul akan menimbulkan stres yang berlebihan. Hal inilah yang menyebabkan warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandung memiliki tingkat kecemasan berat, karena pengalaman hidup warga binaan jika dilihat pada usia ini masih sedikit sehingga dalam menyikapi setiap permasalahan yang ada akan menjadi besar. Berbeda ketika usia seseorang tersebut berada pada usia yang jauh lebih tua dimana pengalaman hidupnya sudah sangat banyak sehingga dalam menyikapi permasalahan yang ada akan menjadi semakin bijak. Hal ini, diperkuat oleh Shinkfield (2010), yang menyatakan bahwa Usia merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada narapidana menjelang bebas. Usia yang lebih tua kemungkinan lebih tinggi untuk menjadi cemas atau tertekan sebelum masa pembebasan dari pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang terjadi sebelumnya pada usia yang lebih tua. Oleh sebab itu, banyaknya usia yang lebih muda pada warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandung menimbulkan kecemasan berat dan inilah yang mempengaruhi tingkat kecemasan pada warga binaan wanita menjelang bebas (Indriyani, 2012). 2. Jenis Kelamin Di lembaga pemasyarakatan sekalipun, perempuan juga tetap dianggap lebih rendah daripada laki-laki dan kebutuhan yang memang sama-sama diperlukan oleh narapidana laki-laki maupun narapidana perempuan tidak pernah disetarakan, hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang ada di lembaga pemasyarakatan. Di Lembaga Pemasyarakatan laki-laki ada tempat untuk para narapidana laki-laki yang ingin melakukan hubungan seks, disediakan tempat oleh petugas lembaga pemasyarakatan (bilik asmara), sedangkan di lembaga pemasyarakatan wanita tidak ada tempat seperti (bilik asmara) untuk melepaskan nafsu birahinya Karena jumlah lapas untuk perempuan sedikit, mereka cenderung dipenjarakan jauh dari rumah; jarak yang memisahkan mereka dari anak-anak,



10



keluarga dan teman-teman meningkatkan isolasi mereka dan dapat menjadi sumber dari stres tambahan seperti kecemasan dan kesulitan ekonomi, baik bagi perempuan terkait maupun keluarga mereka. Setelah dibebaskan, stigma pernah dipenjara lebih berat ditanggung oleh perempuan dibanding laki-laki. Di beberapa negara, perempuan didiskriminasikan dan tidak dapat kembali ke komunitasnya segera setelah dibebaskan dari lapas, bahkan suami mereka pun mendiskriminasikan mereka. 3. Lingkungan Fisik Ruang Tahanan a. Kepadatan Hunian Kamar Laporan Dengar Pendapat Komisi III DPR RI mengatakan bahwa saat ini jumlah lapas dan rutan adalah 457 unit, sebagian besar dalam kondisi over kapasitas, dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan tingkat hunian di Lapas/Rutan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Jumlah penghuni pada tahun 2008 adalah 135.985 orang, sedangkan pada saat ini berjumlah 155.914 orang. Kapasitas hunian saat ini sebesar 108.186 orang, sehingga mengalami over kapasitas sebesar 44% atau 47.728 orang. Dampak daripada over kapasitas/kelebihan penghuni di lapas/rutan, seperti



buruknya



kondisi



kesehatan



narapidana/tahanan,



suasana



psikologis narapidana/tahanan memburuk, mudah terjadinya konflik antar penghuni, meningkatnya ketidakpuasan penghuni, pembinaan tidak berjalan sesuai ketentuan dan terjadi pemborosan anggaran akibat meningkatnya konsumsi air, listrik, makanan dan pakaian. Keadaan lembaga pemasyarakatan yang over kapasitas menyebabkan pemenuhan hak-hak mutlak dari narapidana tidak optimal. Banyak lapas yang minim fasilitas, baik sarana olah raga, bengkel, tempat ibadah, dan lainnya..Selain itu buruknya fasilitas hunian, sanitasi dan kesehatan lapas menyebabkan narapidana tidak dapat mengaktualisasikan dirinya. Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam ruangan, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam ruangan akan mengalami pencemaran.Selain mempengaruhi kualitas udara, kepadatan hunian juga mempengaruhi kemudahan dalam proses penularan penyakit pernafasan seperti ISPA.



11



Semakin banyak jumlah penghuni dalam ruangan maka apabila dalam ruangan tersebut terdapat penderita ISPA akan terjadi pencemaran udara oleh mikroorganisme penyebab ISPA yang berasal dari droplet penderita. Kepadatan merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. b. Luas Ventilasi Luas ventilasi yang memenuhi syarat disebabkan karena ventilasi yang digunakan berupa jendela yang terbuat dari kaca yang dapat dibuka dan ditutup. Jendela tersebut juga dilengkapi dengan besi-besi sebagai keamanan tetapi udara bisa tetap masuk. Fungsi ventilasi selain sebagai masuknya udara juga untuk menjaga tempat tinggal dalam tingkat kelembaban yang optimum karena kelembaban dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). c. Suhu Suhu yang normal disebabkan karena dipengaruhi salah satunya suhu adalah karena ventilasi yang ada dimana di lembaga pemasyarakatan menggunakan ventilasi berupa jendela yang dapat dibuka dan ditutup. Suhu juga berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu berguna untuk membebaskan bakteri dan virus karena suhu yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor resiko terjadinya ISPA sebesar 4 kali. d. Pencahayaan Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat disebabkan karena sinar matahari masuk langsung melalui jendela yang ada tanpa terhalang sehingga pencahayaan cukup tinggi >120 lux. Dalam penggunaan jendela, sinar matahari yang masuk terlalu banyak dapat berpengaruh pada tingginya suhu ruangan namun dengan sinar matahari yang mudah masuk ke dalam ruangan juga berperan mematikan bibit penyebab penyakit. Sinar matahari yang masuk terlalu sedikit juga berpengaruh pada berkembangnya bibit penyakit. Pencahayaan yang tidak memenuhi syarat dapat berperan terjadinya ISPA dari faktor lingkungan. e. Kelembaban



12



Kelembaban udara yang memenuhi syarat karena didukung oleh adanya ventilasi yang memenuhi syarat yaitu jendela yang luasnya ≥10% dari luas lantai. Kelembaban udara yang