Konsep Kematian Dan Berduka - Psikologis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MATRIKULASI PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN “KONSEP KEMATIAN DAN BERDUKA”



OLEH KELOMPOK II :



1. 2. 3. 4.



N. L. G LEODY RACCILLIA PUTRI PUTU MITHA EKA GAYATRI I MADE SEDANA YOGA PUTU MAYA OKTAVIANTI



(05) (06) (07) (08)



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Psikososial dan Budaya Dalam Keperawatan yang berjudul “Konsep Kematian dan Berduka”. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang sudah terkait dalam penyusunan tugas makalah ini karena telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk penyusunan makalah ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi penampilan maupun dari segi kualitas penulisan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun jika terdapat kesalahan, kekurangan, dan kata-kata yang kurang berkenan dalam makalah ini, dan tentu saja dengan kebaikan bersama dan untuk bersama. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan pembaca.



Denpasar, 28 Juni 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1 A. Latar Belakang...................................................................................................1 B. Rumusan Masalah..............................................................................................2 C. Tujuan Penulisan................................................................................................2 D. Metode Penulisan...............................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3 A. Konsep Kematian dan Berduka..........................................................................3 1. Konsep Kematian.........................................................................................3 2. Konsep Dasar Berduka.................................................................................8 3. Telaah Jurnal Konsep Kematian dan Berduka...........................................17 BAB III PENUTUP...............................................................................................21 A. Simpulan..........................................................................................................21 B. Saran.................................................................................................................21 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahir, kehilangan, dan kematian adalah kejadian yang unuiversal dan kejadian yang sifatnya unik bagi setiap individual dalam pengalaman hidup seseorang. Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau disekitarnya. Dalam perkembangan masyarakat dewasa ini, proses kehilangan dan berduka sedikit demi sedikit mulai maju. Dimana individu yang mengalami proses ini ada keinginan untuk mencari bentuan kepada orang lain. Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi dasar bagi seorang perawat apabila menghadapi kondisi yang demikian.  Pemahaman dan persepsi diri tentang pandangan diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Kurang memperhatikan perbedaan persepsi menjurus pada informasi yang salah, sehingga intervensi perawatan yang tidak tetap (Suseno, 2004). Perawat berkerja sama dengan klien yang mengalami berbagai tipe kehilangan. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Perawat membantu klien untuk memahami dan menerima kehilangan dalam konteks kultur mereka sehingga kehidupan mereka dapat berlanjut. Dalam kultur Barat, ketika klien tidak berupaya melewati duka cita setelah mengalami kehilangan yang sangat besar artinya, maka akan terjadi masalah emosi, mental dan sosial yang serius. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi,



1



nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut: 1.



Bagaimanakah konsep kematian?



2.



Bagaimanakah konsep berduka?



3.



Bagaimanakah telaah jurnal dengan metode PICO mengenai kematian dan berduka?



C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut: 1.



Untuk mengetahui bagaimanakah konsep kematian.



2.



Untuk mengetahui bagaimanakah konsep berduka.



3.



Untuk mengetahui bagaimanakah telaah jurnal dengan metode PICO mengenai kematian dan berduka.



D. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah : 1.



Metode Pustaka Metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari



pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet. 2.



Diskusi Mendapatkan data dengan cara bertanya secara langsung dan berdiskusi dengan



teman- teman yang mengetahui tentang informasi yang di perlukan dalam membuat makalah ini.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Kematian dan Berduka 1.



Konsep Kematian



a.



Definisi dan tanda kematian



1) Kematian Menurut Papalia (2008) kematian merupakan fakta biologis, akan tetapi juga memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis, perkembangan, medis, dan etis. Aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Secara etimologi death berasal dari kata death atau deth yang berarti keadaan mati atau kematian. sementara secara definitif,kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru – paru secara menetap,atau terhentinya kerja otak secara permanen.ini dapat dilihat dari tiga sudut pandang tentang definisi kematian,yakni kematian jaringan,kematian otak,yakni kerusakan otak yang tidak dapt pulih dan kematian klinik, yakni kematian orang tersebut. Keterkaitan antara kematian dan kehilangan juga memiliki keterkaitan. Walaupun keduanya merupakan pengalaman yang universal, namun dua hal tersebut memiliki konteks kultural. Sikap kultural dan religius inilah yang mempengaruhi aspek psikologis dari perkembangan dari kematian. Seperti bagaimana orang-orang yang sama usia menghadapi kematian pada diri sendiri dan kematian orang-orang yang berada di dekat orang tersebut (Papalia, 2008). 2) Tanda tanda kematian Secara tradisional,pandangan masyarakat tentang kematian telah mengalami perubahan – perubahan nadi,respirasi dan tekanan darah World Medical Assembly menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian,yaitu tidak ada respons terhadap rangsangan dari luar secara total,tidak adanya gerak dari otot,khususnya pernafasan,tidak ada refleks,dan gambaran mendatar pada EKG. Tanda-tanda kematian terbagi kedalam tiga tahap, yakni menjelang kematian, saat kematiaan, dan setelah kematian. 3



a) Mendekati kematian. Tanda – tanda fisik menjelang kematian meliputi sebagian berikut : (1) Penurunan tonus otot Penurunan tonus otot ditandai dengan gerakan ekstermitas berangsur-angsur menghilang, khususnys pada kaki dan ujung kaki, sulit berbicara, tubuh semakin lemah, aktivitas saluran pencernaan menurun sehingga perut membuncit, otot rahang dan muka mengendur sehingga dagu menjadi turun, rahang bawa cenderung turun, sulit menelan, refleks gerakan menurun, mata sedikit terbuka, penurunan gekgiatan traktus gastrointestinal, ditandai dengan nausea,, muntah, kembung, obtisipasi, dan sebagainnya, penurunan kontrol sfingter urinari dan rektal dan gerakan tubuh yang terbatas. (2) Sirkulasi melemah Ditandai dengan suhu klien tinggi, tetapi kaki, tangan, dan ujung hidung klien tersa dingin dan lembab, kulit ektermitas dan ujung hidung tanpa kebiruan, kelabu, atau pucat, nadi mualai teratur, dan cepat, tekanan darah menurun, peredaran perifer terhenti, kemunduran dalam sensasi. (3) Kegagalan funngsi sensorik Ditandai dengan sensasi nyeri menurun atu hilang, pandangan mata kabur/berkabut, kemapuan indra beransur- ansur, sensasi panas, lapar, dingin, dan tajam menurun, gangguan penciuman dan perabaan, variasi variasi tingaka dapat di lihat sebelum kematian. Kadang –kadang klien tetap sadarsampai meninggal, pendengaran merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum meninggal. (4) Penurunan / keggagalan fungsi pernafasan Ditandai dengan mengerok (deat reattle) / bunyi napas terdengar kasar, pernapasan tidak teratur dan berlangsung melalui mulut, pernapasan sheyne stokes. (5) Perubahan-perubahan dalam tanda- tanda vital Ditandai dengan nadi lambat dan lemah, tekanan darah turun, pernapsan cepat, cepat dangkal, dan tidak teratur. Saat kematian fase ini di tandai dengan ciri – ciri terhentinya pernapasan, nadi, tekanan darah, dan fungsi otak (paru, jantung, dan otak), hilangnya responds terhadap stimulus , hilangnnya 4



kontron atas sfingter



kandung kemih dan rectum (inkontienennsia) akkibat peredaran yang terhambat , kaki dan ujung hidung menjadi dingin, hilangnya kemampuan panca indra, hanya indra pendengar yang paling lama dapat berfunsi, adanaya garis dasar pada mesin elekttroensefalografi menunjukkan terhentinya aktivitas listrik otak untuk penilaian pasti suatu kematian. Sedangkan setelah kematian fase ini di tandai dengan ciri ciri rigor mortis (kaku), tubuh menjadi kaku. 2- 4 jam setelah kematian, Argor mortis (dingin) suhu tutuh pelahan- lahan turun, Livor mortis (post mortem dikompesition) perubahan pada daerah yang tertekan, jarimgan melunak dan bakteri sangat banyak. Setelah klien meninngal, perawat bertugas melakukan perawatan pada jenazahnya.



Disamping



itu



perawat



juga



bertugas



memberikan



asuhan



keperawatankepada keluarg dan orang terdekat klien. b.



Kematian dalam psikologi Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku



seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu kehidupan di akhirat. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius. Berbagai proses yang dilalui untuk kembali dari keterpurukan karena setiap orang akan mengalami hal- hal yang unik dan khusus, tergantung bagaimana cara dia ditinggalkan. Kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar bahwa suatu saat dirinya juga akan mengalami kematian. Masing- masing mulai menakar diri. Menginvetarisasi semua aktivitas dan lakon hidup. Mengingat kebaikan dan keburukan yang sudah pernah dilakukan. Khawatir akan balasan yang akan diterima dihari kebangkitan. Perasaan seperti ini sering dirasakan dan menghantui manusia yang terjadi semacam kecemasan batin. Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia 5



terhadap masalah kematian dan apa makna kematian bagi manusia itu sendiri (Boharudin, 2011). Berdasarkan telaah jurnal Astuti, (2007) mengenai pentingnya pendidikan tentang kematian yang diimplementasikan pada korban bencana alam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap psikologis remaja dan anak-anak dimana Seperti halnya seks, kematian merupakan bagian dari kehidupan sehingga orang dewasa dan anak-anak perlu familiar dengan kematian dan memahaminya. Meskipun demikian, seperti juga pendidikan seks, pengenalan tentang topik kematian melalui kegiatan membaca, diskusi, dan aktivitas lain di perguruan tinggi dan sekolah kadang-kadang diangap berpotensi merusak individu. Sebagian orang sudah berpendapat bahwa diskusi tentang kematian dan hal-hal yang terkait dengannya dapat membuat kaum muda dan anak-anak menjadi cemas, tertekan, dan tak berdaya, di samping itu dapat meningkatkan pembunuhan, bunuh diri dan menurunkan kepercayaan religius. Fakta bahwa ketakutan itu pada umumnya tak beralasan dapat dilihat dari perubahan yang terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang telah diberikan pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan thanatology. Hasilnya, pendidikan dan pelatihan tersebut tidak menciptakan malapetaka emosi melainkan menghasilkan peningkatan dalam pengetahuan dan sikap peserta tentang kematian sehingga menjadi lebih resilien ketika berhadapan dengan kematian seseorang. Berdasarkan telaah jurnal Astuti, (2007) didalamnya dikatakan bahwa pelajaran tentang death and dying telah dirancang untuk berbagai kelompok informal dan formal, mulai dari masa pra sekolah sampai orang dewasa. Tujuan dari usaha ini bersifat teoritis dan praktis, kognitif dan afektif. Tujuan keseluruhan adalah untuk membantu individu menghadapi kematian mereka sendiri dan orang lain yang penting bagi mereka secara lebih efektif. Death education dapat dilakukan dengan pemberian informasi melalui pendekatan konvensional (ceramah, kuliah, diskusi, film, membaca, menulis tugas), dan juga melalui pengalaman seperti perjalanan ke rumah sakit, kamar mayat, kuburan, dan lokasi-lokasi lain yang terkait dengan kematian. Jika ketakutan pada kematian telah terlanjur terbentuk, maka death education perlu disertai dengan modifikasi perilaku dengan teknikteknik khusus (desensitisasi 6



sistematik, self monitoring dan modeling) serta psikoterapi agar lebih efektif untuk mengatasi ketakutan tersebut. c.



Penyebab kematian



1) Penyakit keganasan, misalnya karsinoma hati, karsinoma mamma, karsinoma paru, penyakit kronis, misalnya CRF ( Chronik renal failure.) atau gangguan ginjal, Myocard Infarction atau gangguan vaskuler. 2) Kecelakaan. d.



Tipe tipe perjalanan menjelang kematian



1) Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepatdari fase akut ke kronik. 2) Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui,biasanya terjadi pada kondisi penyakit yang konik. 3) Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti,biasanya terjadi pada klien dengan operasi radikal karena adanya kanker. 4) Kemungkinan mati dan sembuh yang Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui,biasanya terjadi pada kondisi penyakit yang konik. 5) Kematian yang belum pasti,kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada klien dengan operasi radikal karena adanya kanker. 6) Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada klien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama. 2.



Konsep Dasar Berduka



a.



Definisi Berduka Dalam Hidayat (2012), grieving (berduka) adalah reaksi emosional dari



kehilangan dan terjadi bersamaan dengan kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian. Sedangkan istilah bereavement adalah keadaan berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi atau masa berkabung (mourning). Menurut Santrock (2003) berduka adalah suatu kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan akan perpisahan, sedih, putus asa, dan kesepian yang menyertai disaat seseorang kehilangan orang yang dicintai. Duka cita menurut Papalia (2008) ialah respon emosional pada semua orang yang mengalami kehilangan seseorang 7



yang yang memiliki hubungan yang cukup dekat. Hal tersebut tentunya menyebabkan adanya perubahan status dan peran. Sehingga membutuhkan proses menyesuaikan diri untuk menjalani status dan peran yang baru bagi seseorang yang ditinggalkan. Berikut ini beberapa jenis berduka menurut Hidayat (2012) : 1) Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara. 2) Berduka antisipatif, yaitu proses ‘melepaskan diri’ yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis



terminal,



seseorang



akan



memulai



proses



perpisahan



dan



menyelesaikan berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba. 3) Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain. 4) Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Contohnya, kehilangan pasangan karena AIDS, anak yang mengalami kematian orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin. b.



Rentang Respon Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (2005), respon berduka seseorang



terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap seperti pengingkaran, marah, tawarmenawar, depresi dan penerimaan. Rentang Respon Kehilangan (Hidayat, 2012) (Gambar rentang respon individu terhadap kehilangan menurut Kubler-Ross) Fase Marah Fase Pengingkaran



Fase Depresi Fase Tawar-menawar



8



Fase Menerima



1) Fase Pengingkaran Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun. 2) Fase Marah Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. 3) Fase Tawar-menawar Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak saya”. 4) Fase Depresi Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan sebagainya. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun. 5) Fase Penerimaan Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. 9



Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”. Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya. Berdasarkan telaah jurnal yang membahas mengenai proses berduka pada keluarga pasien yang memiliki pernyakit stroke dimana dalam jurnal ini dikatakan bahwa kematian merupakan salah satu situasi yang sering dihadapi oleh perawat dan tenaga kesehatan lain dalam proses pemberian asuhan keperawatan. Pemahaman tentang reaksi dan respon kesedihan dan berduka penting untuk dimiliki oleh perawat supaya dapat memberikan dukungan yang tepat pada pasien dan anggota keluarga yang mengalaminya. Teori tentang respon dan reaksi berduka mengidentifikasi 5 tahapan dari prases berduka, yaitu denial (penolakan), anger (kemarahan), bargaining (prases tawar-menawar), depression (kondisi depresi), dan acceptance (proses menerima). Mekanisme pertahanan diri yang terlalu linier, kaku, dan pasif untuk digunakan dalam proses kesedihan dan berduka akibat kematian. Dalam psikoanalitik, respon dan reaksi kesedihan terkait dengan upaya untuk rnemutus dan melepaskan energi dan kedekatan yang telah didapatkan dari orang yang meninggal, serta terganggunya ikatan kasih sayang yang kuat. Individu yang mengalami respon tersebut akan berusaha mendapatkan kembali perasaan kedekatan yang pernah ada sebelumnya. Karena kematian itu terjadi, kedekalan yang diharapkan tadi tidak akan pernah bisa kembali, hal inilah yang dapat menyebabkan perasaan marah dan putus asa (Zulfatul et al., 2013).



10



c.



Penyebab berduka



1) Faktor Predisposisi Dalam Hidayat (2012), faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah sebagai berikut. a) Faktor genetik. Individu yang dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga dengan riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan, termasuk dalam menghadapu perasaan kehilangan. b) Faktor fisik. Individu dengan fisik, mental, serta pola hidup yang teratur cenderung mempunyai kemampuan dalam mengatasi stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan jasmani. c) Faktor mental. Individu yang mengalami gangguan jiwa, terutama yang mempunyai riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan pesimis, selalu dibayangi masa depan peka dalam mengahadapi situasi kehilangan. d) Pengalaman kehilangan di masa lalu. Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang dicintai pada masa kanak-kanak akan mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa. e) Struktur kepribadian. Individu dengan konsep diri negatif dan perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri rendah dan tidak objektif terhadap stres yang dihadapi. 2) Faktor Presipitasi Ada beberapa stresor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan. Stresor ini dapat berupa stresor yang nyata ataupun imajinasi individu itu sendiri, seperti kehilangan biopsikososial yang meliputi kehilangan harga diri, pekerjaan, seksualitas, posisi dalam masyarakat, milik pribadi (harta benda, dan lain-lain).



11



d.



Pohon Masalah Resiko perilaku kekerasan



Resiko bunuh diri



Isolasi sosial



Berduka



Kehilangan



e.



Dimensi dan Gejala Klinis Berduka



1) Ungkapan kehilangan 2) Menangis 3) Gangguan tidur 4) Kehilangan nafsu makan 5) Sulit berkonsentrasi 6) Karakteristik berduka yang berkepanjangan : (a) Mengingkari kenyataan kehilangan dalam waktu yang lama (b) Sedih berkepanjangan (c) Adanya gejala fisik yang berat (d) Keinginan untuk bunuh diri Schneider pada tahun 1984 mengklasifikasikan dimensi proses berduka menjadi lima bagian, yaitu : 1) Respons Kognitif terhadap dukacita penderitaan saat berduka dalam beberapa hal merupakan akibat gangguan keyakinan. Asumsi dan keyakinan dasar tentang makna dan tujuan hidup terganggu, bahkan mungkin hancur. Berduka sering kali menyebabkan keyakinan individu tentang dirinya dan dunia berubah, misalnya persepsi individu tentang hal-hal yang baik di dunia, makna hidup ketika berhubungan dengan keadilan, dan makna takdir atau garis kehidupan. Perubahan 12



lain dalam pemikiran dan sikap mencakup meninjau dan menetapkan peringkat nilai-nilai yang dimiliki, menjadi lebih bijaksana, menghilangkan ilusi tentang keabadian diri, memandang dunia secara lebih realistis, dan mengevaluasi kembali keyakinan agama atau keyakinan spiritual. Percaya pada kehidupan akhirat dan percaya bahwa orang yang meninggal menjadi pembimbing pribadi merupakan respons kognitif yang berfungsi mempertahankan keberadaan orang yang meninggal. Melakukan dialog internal dengan orang yang dicintai sambil melakukan aktivitas seperti tugas rumah tangga. Metode mempertahankan keberadaan orang yang meninggal ini membantu mengurangi dampak kehilangan ketika individu terus memahami realitas kehilangan. 2) Respons Emosional, perasaan marah, sedih, dan cemas adalah pengalaman emosional yang dominan pada kehilangan. Kemarahan dan kebencian dapat ditujukan kepada individu yang meninggal dan praktik kesehatan yang dilakukannya, pada anggota keluarga, dan pemberi perawatan kesehatan atau institusi. Respons emosional terlihat pada semua fase proses dukacita menurut Bowlby. Selama fase mati rasa, respons awal yang umum terhadap kabar kehilangan ialah perasaan syok, seolah-olah tidak dapat menyadari realitas kehilangan. Pada fase kedua, kerinduan dan pencarian, realitas mulai muncul dan individu yang berduka memperlihatkan kemarahan, penderitaan yang besar dan menangis. Dalam keadaan putus asa, tetapi memiliki keinginan kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu yang meninggal, mendorong individu yang berduka untuk memeriksa dan memulihkan dirinya. 3) Respons Spiritual, ketika berduka terjadi, individu mungkin paling terhibur, tertantang, atau hancur dalam dimensi spiritual pengalaman manusia. Individu yang berduka dapat kecewa dan marah kepada Tuhan atau tokoh agama yang lain. Penderitaan karena ditinggalkan, kehilangan harapan, atau kehilangan makna merupakan penyebab penderitaan spiritual yang dalam.19 Oleh karena itu, memenuhi kebutuhan spiritual individu yang berduka merupakan aspek asuhan keperawatan yang sangat penting. Respons emosional dan spiritual klien saling terkait ketika klien mengalami penderitaan. Dengan kesadaran akan kemampuan 13



mengkaji penderitaan klien, perawat dapat meningkatkan rasa sejahtera. Memberi klien kesempatan untuk menceritakan penderitaannya membantu transformasi psikospiritual (yang melibatkan baik aspek pengalaman psikologis maupun spiritual) yang sering kali berkembang dalam proses berduka. 4) Respons Perilaku, respons perilaku sering kali merupakan respons yang paling mudah diobservasi. Dengan mengenali perilaku yang umum saat berduka, perawat dapat memberi bimbingan pendukung untuk mengkaji keadaan emosional dan kognitif klien secara garis besar. Selama fase disorganisasi, tindakan kognitif mendefinisikan kembali identitas diri individu yang berduka, walaupun sulit, merupakan hal yang penting dalam menjalani dukacita. Walaupun awalnya bersifat superfisial, upaya yang dilakukan dalam aktivitas sosial atau kerja adalah perilaku yang ditujukan untuk mendukung pergeseran emosional dan kognitif individu tersebut. Penyalahgunaan obat atau alkohol mengindikasikan respons perilaku maladaptif terhadap keputusasaan emosional dan spiritual. Upaya bunuh diri dan pembunuhan dapat menjadi respons yang ekstrem jika individu yang berduka tidak dapat menjalani proses berduka. 5) Respons Fisiologis, klien dapat mengeluh insomnia, sakit kepala, gangguan nafsu makan, berat badan turun, tidak bertenaga, palpitasi dan gangguan pencernaan, serta perubahan sistem imun dan endokrin. f.



Aplikasi proses keperawatan dalam berduka Kedekatan emosional yang kuat, yang tercipta dalam hubungan yang bermakna



tidak mudah dihilangkan, kehilangan akibat kematian orang yang dicintai merupakan krisis utama yang memiliki dampak sangat besar pada hidup individu. Keadaan disekuilibrium yang terjadi akibat krisis (atau kehilangan) menyebabkan kecemasan yang besar dan ketidaknyamanan yang ekstrem, yang mendorong individu kembali ke keadaan homeostasis, suatu keadaan ekuilibrium atau keseimbangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi individu yang berduka kembali ke keadaan homeostasis adalah persepsi yang adekuat tentang situasi, dukungan situasional yang adekuat, dan koping yang adekuat. Faktor ini membantu individu memperoleh kembali rasa keseimbangan



14



dan kembali ke tingkat fungsi sebelumnya, atau bahkan menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk tumbuh. Seorang perawat agar dapat mendukung dan membimbing klien dalam menjalani proses berduka yang sulit, ia harus mengamati dan mendengarkan petunjuk dari klien. Petunjuk tersebut mencakup petunjuk kognitif, emosional, spiritual, perilaku dan fisiologis. Walaupun perawat harus mengenal fase atau tugas yang harus dicapai dan dimensi respons manusia terhadap kehilangan, perawat harus menyadari bahwa tiap klien memiliki pengalaman yang unik. Komunikasi yang terampil merupakan kunci dalam melakukan pengkajian dan memberikan intervensi Perawat harus menjadi pembimbing yang dapat dipercaya bagi klien. Perawat harus mengkaji sikapnya sendiri, mempertahankan kehadirannya yang penuh perhatian, dan menyediakan lingkungan yang aman secara psikologis sehingga klien dapat mengungkapkan perasaannya. Mempertahankan kehadiran yang penuh perhatian dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh terbuka seperti berdiri atau duduk dengan lengan ke bawah dan berhadapan dengan klien serta mempertahankan kontak mata yang cukup, terutama ketika klien berbicara. Menciptakan lingkungan yang aman secara psikologis mencakup upaya menjamin kerahasiaan klien, berhenti memberikan nasihat tertentu, dan memberi klien kebebasan untuk mengungkapkan pikiran serta perasaannya tanpa merasa takut dihakimi. Pengkajian pada klien yang berduka meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi dukacita klien tentang yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperlihatkan melalui perilaku. Tiga area utama yang perlu dikaji : 1) Persepsi yang adekuat tentang kehilangan. 2) Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan. 3) Perilaku koping yang adekuat selama proses. Mengkaji persepsi klien dan makna kehilangan merupakan langkah pertama yang dapat membantu mengurangi derita yang disebut oleh beberapa orang sebagai beban emosional awal yang berlebih dalam berduka.



15



Perawat dapat membantu klien mendapatkan dan menerima apa yang orang lain ingin berikan dalam mendukung proses berdukanya. Intervensi yang sesuai untuk klien yang berduka mencakup memberi klien kesempatan untuk membandingkan dan membedakan caranya melakukan koping terhadap kehilangan yang signifikan di masa lalu, membantunya meninjau kekuatan dan memperbarui kesadaran akan kemampuan personal. Mendorong klien merawat dirinya sendiri adalah intervensi lain yang membantu klien melakukan koping. Perawat dapat menawarkan makanan tanpa memaksa klien untuk makan. Menjaga makan, tidur cukup, olahraga, dan meluangkan waktu untuk aktivitas yang menyenangkan adalah cara yang dapat klien lakukan untuk merawat dirinya. Komunikasi dan keterampilan interpersonal adalah alat perawat yang efektif. Berdasarkan telaah jurnal Laluyan, Kanine and Wowiling, (2014) mengenai gambaran tahapan berduka pasca banjir pada 90 orang masyarakat dimana pada masyarakat Perkamil lingkungan 1 terdapat 63 orang (63,7,0%) yang bersikap positif (kecenderungan masih dalam tahapan kehilangan dan berduka) dan 30 orang (32,3%) yang bersikap negatif (kecenderungan sudah tidak dalam tahapan kehilangan dan berduka). Perkamil menggambarkan responden terbanyak memiliki tanggapan positif (kecenderungan masih dalam tahapan kehilangan dan berduka). Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi terpisah atau memulai sesuatu tanpa sesuatu hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau tidak diharapkan, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Diharapkan profesi keperawatan agar lebih meningkatkan perhatian dalam memberikan pemahanam tentang tahapan kehilangan dan berduka pada individu yang mengalami suatu bencana atau keadaan berduka untuk mendukung individu tersebut dalam menghadapai proses berdukanya.



16



B. Telaah Jurnal Konsep Kematian dan Berduka 1.



Analisis Jurnal a.



Judul Penelitian Gambaran Tahapan Kehilangan Dan Berduka Pasca Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Perkamil Kota Manado



b.



Peneliti Mega Maria Laluyan, Esrom Kanine dan Ferdinand Wowiling



c.



Ringkasan Jurnal Kehilangan adalah suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbed (Yosep, 2010). Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, cemas, sesak nafas, susah tidur dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan (Rachmad, 2011). Bencana alam seperti banjir merupakan suatu kejadian alam yang menghantui hampir seluruh wilayah di Indonesia. Kejadian ini tentunya menyebabkan trauma yang mendalam bagi mereka yang mengalaminya. Hidup dalam pengungsian juga bukanlah hal yang menyenangkan untuk dijalani. Apabila trauma ini tidak cepat diatasi maka dapat timbul suatu gangguan kejiwaan yang disebut sebagai Gangguan Stres Pasca Trauma yaitu suatu keadaan yang timbul sebagai respons berkepanjangan terhadap kejadian atau situasi yang bersifat stresor katastrofik, yang sangat menakutkan dan cenderung menyebabkan penderitaan pada hampir semua orang (Kembaren, 2014). Peristiwa-peristiwa traumatik yang mengerikan dan mengancam kelangsungan hidup merupakan pengalaman traumatis yang menimbulkan 17



distres dan gejala-gejala pasca trauma. Perubahan berbagai aspek kehidupan, kerusakan harta benda, kehilangan orang-orang yang dicintai, membutuhkan daya adaptasi yang luar biasa (Kembaren, 2014).



d.



Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui gambaran Tahapan Kehilangan Dan Berduka Pasca Banjir.



e.



Kelebihan dan Kekurangan



1) Kelebihan Kelebihan dari penelitian ini ialah berdasarkan hasil dari penelitian ini maka pembaca dan peneliti selanjutnya dapat mengetahui bagaimana tahap kehilangan dan berduka pada korban pasca banjir dan juga mengetahui mengenai sebagaimana besar peristiwa banjir tersebut mempengaruhi psikologis para korban banjir tersebut. 2) Kekurangan Pada jurnal ini tidak menggambarkan dan menjelaskan secara rinci mengenai fase-fase kehilangan yang lebih kompleks, yaitu fase denial, fase anger, fase bargaining, fase depression dan fase acceptance. 2.



Pembahasan



a.



Problem Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif dengan pendekatan cross



sectional. Rancangan ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kriteria penelitian. Besar sampel yang digunakan adalah 93 responden. Hasilnya responden memiliki tanggapan positif berjumlah 63 orang (67,7%), sedangkan responden yang memiliki tanggapan negatif berjumlah 30 orang (32,%). b. Intervensi



18



Jenis penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Dalam kuesioner tersebut mengandung 10 pertanyaan dengan tingkatan angka di tiap jawaban yang diberikan oleh responden. Jika pertanyaan dijawab “tidak pernah‟ diberikan skor 1, “jarang‟ diberikan skor 2, “kadang-kadang” diberikan skor 3, “sering‟ diberikan skor 4 dan “selalu‟ diberikan skor 5. Hasil positif apabila jumlah skor rata-rata 26-50, sedangkan hasil negatif apabila jumlah skor rata-rata 10-25. Pengumpulan data dilakukan secara langsung dengan teknik wawancara terhadap responden yang sebelumnya telah mendapatkan izin penelitian dari kantor Kelurahan Perkamil Kota Manado. Selanjutnya peneliti melakukan pendekatan dengan responden kemudian memberikan penjelasan sesuai dengan etika penelitian. Selesai responden mendengar dan mengerti maksud serta tujuan penelitian, peneliti menyerahkan surat persetujuan menjadi responden untuk ditanda tangani, dan kemudian peneliti melakukan wawancara sesuai isi pertanyaan dalam lembar kuesioner. c.



Coparation Dalam penelitian tentang gambaran tahapan kehilangan dan berduka pasca banjir



pada masyarakat di Kelurahan Perkamil maka dapat disimpulkan bahwa, pada masyarakat Perkamil lingkungan 1 terdapat 63 orang (63,7,0%) yang bersikap positif (kecenderungan masih dalam tahapan kehilangan dan berduka) dan 30 orang (32,3%) yang bersikap negatif (kecenderungan sudah tidak dalam tahapan kehilangan dan berduka). Berdasarkan hasil berikut diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan tentang gambaran tahapan kehilangan dan berduka dengan mencari informasi yang baik dan akurat, sehingga nantinya lebih tahu cara tahapan kehilangan dan berduka. d. Outcome Hasil penelitian tentang gambaran tahapan kehilangan dan berduka pasca banjir pada masyarakat di Kelurahan Perkamil maka dapat disimpulkan bahwa, pada masyarakat Perkamil lingkungan 1 terdapat 63 orang (63,7,0%) yang bersikap positif (kecenderungan masih dalam tahapan kehilangan dan berduka) dan 30 orang (32,3%) 19



yang bersikap negatif (kecenderungan sudah tidak dalam tahapan kehilangan dan berduka). Kesimpulan dari penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan tentang gambaran tahapan kehilangan dan berduka lebih meningkatkan perhatian dalam memberikan pemahanam tentang gambaran tahapan kehilangan dan berduka pasca banjir.



20



BAB III PENUTUP



A. Simpulan Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kematian, kehilangan dan berduka memiliki keterkaitan. Walaupun kematian dan kehilangan merupakan pengalaman yang universal, namun dua hal tersebut memiliki konteks kultural. Sikap kultural dan religius inilah yang mempengaruhi aspek psikologis dari perkembangan dari kematian. Selanjutnya kematian dan kehilangan merupakan awal dari individu mengalami rasa duka dalam dirinya. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadangkadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dan bimbingan. B. Saran Demikianlah pokok bahasan makalah ini yang dapat kami paparkan, besar harapan kami makalah ini dapat bermanfaat untuk kalangan banyak. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun menjadi lebih baik lagi kedepannya.



21



DAFTAR PUSTAKA Astuti, Y. D. (2007) ‘Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi Psikologis Survivor:Tinjauan Teoritis Tentang Arti Penting Death Education’, Unisia, 30(66), pp. 363–376. doi: 10.20885/unisia.vol30.iss66.art4. Boharudin. 2011. Rasionalisasi Pengendalian Diri Dalam Menghadapi Masalah Sosial.Bandung: Ilmu Kesehatan Masyarakat. Hidayat, A, Aziz Alimul. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan jilid 1. Jakarta : Salemba Medika. Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Kozier, B., Erb., & Oliver, R. 2004. Fundamental Of Nursing; Consept, Process And Practice Edisi 4. California : Addison-Wesley Publishing CO. Laluyan, M., Kanine, E. and Wowiling, F. (2014) ‘Gambaran Tahapan Kehilangan Dan Berduka Pasca Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Perkamil Kota Manado’, Jurnal Keperawatan UNSRAT, 2(2), p. 109350. Mubarak dan Chayatin. 2007. Kebutuhan Dasar Manusia : Teori dan Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta : EGC Mubarak, Wahid Iqbal. 2015.Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar 1. Jakararta: Selemba Medika. Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman, & R. D. (2008). Human Development (terjemahan A. K. Anwar). Jakarta: Prenada Media Group Potter and Perry. 2005. Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC.



22



Santrock, W. J. (2003). Life span development : Perkembangan masa hidup. Jakarta : Erlangga. Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung Seto. Townsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.



23