Lapkas Anastesi Rasab 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



LAPORAN KASUS Regional Anestesia – Subarachnoid Blok (RA-SAB) Pada Appendisitis Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior SMF Ilmu Anestesiologi di Rumah Sakit Haji Medan



Disusun oleh: Rivaldi Limbanadi



17360193



Rizky Yulia Dwi Pratiwi



17360194



Fadhla Saiful



71170891150



Ade Ekawati Siregar



71170891308



Pembimbing : dr. H. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM DAN UNIVERSITAS MALAHAYATI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MINA MEDAN 2018



2



KATA PENGANTAR Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan anugerah-Nya case report ini yang berjudul “Regional Anestesia – Subarachnoid Blok (RA-SAB) Pada Prolapsus Appendixitis” ini dapat diselesaikan. Adapun maksud penyusunan case report ini adalah dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Haji Mina Medan Periode 19 Maret – 21 April 2018. Pada kesempatan ini pula, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. dr. H. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN selaku pembimbing dalam pembuatan case report ini. 2. Serta semua pihak yang turut serta membantu baik dalam case report ini maupun membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian case report ini tidak dapat saya sebutkan satu per satu di sini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan case report ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata semoga case report ini berguna baik bagi Kami sendiri, rekanrekan di tingkat klinik, pembaca, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, serta semua pihak yang membutuhkan.



Medan, 1 April 2018



Penyusun



3



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................................... i KATA PENGANTAR....................................................................................... ii DAFTAR ISI...................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apendiks....................................................................................... 2.1.1 Anatomi dan Fisiologi ....................................................... 2.2



7 7



Appendisitis.................................................................................. 2.2.1 Definisi............................................................................... 2.2.2 Klasifikasi.......................................................................... 2.2.3 Epidemiologi...................................................................... 2.2.4 Etiologi............................................................................... 2.2.5 Patofisiologi ...................................................................... 2.2.6 Gejala Klinis....................................................................... 2.2.7 Diagnosis............................................................................ 2.2.8 Pemeriksaan Penunjang..................................................... 2.2.9 Diagnosis Banding ............................................................ 2.2.10 Penatalaksanaan................................................................. 2.2.11 Komplikasi......................................................................... 2.2.12 Prognosis............................................................................



9 9 9 12 12 13 14 16 19 19 21 21 22



2.3 Regional Anestesi Subarachnoid Block (RA-SAB)..................... 2.3.1 Sejarah................................................................................... 2.3.2 Definisi.................................................................................. 2.3.3 Indikasi ................................................................................. 2.3.4 Kontraindikasi....................................................................... 2.3.5 Komplikasi............................................................................ 2.3.6 Teknik Anastesi .................................................................... 2.3.7 Preoperatif............................................................................. 2.3.8 Durante Operasi...................................................................... 2.3.9 Postoperatif........................................................................... 2.3.10 Efek RA-SAB......................................................................



22 22 23 24 24 25 25 27 33 36 43



BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 44 DAFTAR PUSTAKA



4



BAB I PENDAHULUAN



Anastesiologi adalah berbagai



cabang



ilmu



kedokteran



yang



mendasari



tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan



keselamatan pasien di operasi maupun tindakan



lainnya,



bantuan



hidup



(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Dalam anastesi dibagi beberapa macam jenis anastesi diantaranya anastesi umum, anastesi lokal dan anastesi regional. Salah satu anestesi regional yang banyak digunakan adalah subarachnoid block (SAB) atau disebut juga anestesi spinal. Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas berupa blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik (tergantung pada dosis, konsentrasi atau volume dari anestesi lokal) dengan memasukkan anestesi local dalam ruang subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah. Keuntungan



lain



dari



penggunaan



neuraxial



blok



yang



efektif adalah



penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi sehubungan dengan simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade



5



serabut kardioselarator, untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap dalam batas normal, sering dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena. SAB



mempunyai



beberapa



keuntungan



antara



lain,



perubahan



metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, jumlah perdarahan dapat dikurangi, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara pasien tetap dalam kondisi sadar. Selain keuntungan juga terdapat kerugian dalam cara ini, yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi,



mual,



muntah, postdural



puncture



headache (PDPH),



nyeri



pinggang dan lainnya. Hal ini menimbulkan timbunan darah di perifer dan mengurangi aliran balik vena sehingga menyebabkan turunnya curah jantung. Pasien dapat mengalami kerusakan organ akibat perfusi yang kurang, bahkan dapat terjadi henti jantung karena kurangnya perfusi koroner. Penurunan tekanan



darah



berhubungan



dengan



penurunan



curah jantung, resistensi



pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptor, depresi



kontraktilitas



miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik negative. Efek depresi miokard dan vasodilatasi yang tejadi tergantung dosis. Vasodilatasi terjadi akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung mobiliasasi Ca pada interseluler otot polos. Ada beberapa alternatif terapi hipotensi. Autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Bradikadi yang berat dapat diberikan antikolinergik. Jika



hipotensi tetap terjadi



setelah



pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat diberikan, seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus IV. Efedrin merupakan



6



vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer). Efek perifer tergantung



ketersediaan



katekolamin, bila kosong efek tidak terjadi. Vasopresor langsung seperti phenylephrine memperbaiki tonus vena, menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan meningkatkan preload. Pada kasus hipotensi berat, pemberian epinefrin mungkin memberi perfusi koroner sebelum iskemik mencetuskan cardiac arrest. Jika hipotensi disertai bradikardi, phenylephrine mungkin lebih baik dihindari.



7



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Apendiks



2.1.1



Anatomi dan Fisiologi Apendiks Apendiks vermiformis adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang



mempunyai otot dan banyak mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm di bawah junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Apendiks adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak mempunyai posisi anatomi yang konstan. Lumennya melebar di bagian distal dan menyempit di bagian proksimal.. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu. Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus yang di sebut titik McBurney. Apendiks didarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan



persarafannya



berasal



dari



cabang-cabang



saraf



simpatis



danparasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks dan di alirkan ke nadi mesenterici superiors. Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan



8



pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale. Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis berperan dalam patogenesis apendisitis. GULT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk apendiks vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna menyebabkan pengangkatan apendiks vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Gambaran apendiks diperlihatkan gambar 2.1



9



2.2



Definisi dan Klasifikasi Apendisitis



2.2.1



Definisi Apendisitis Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis



akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat . Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. 2.2.2



Klasifikasi Apendisitis Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan



apendisitis kronik. 1. Apendisitis akut. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.



10



2. Apendisitis kronik. Keberadaan apendisitis kronis masih kontroversial, tetapi para ahli bedah menemkan banyak kasus dimana pasien dengan nyeri abdomen kronik, sembuh setelah apendektomi. Para ahli bedah sepakat bahwa ketika apendiks tidak terisi atau hanya terisi sebagian oleh barium saat barium enema dengan keluhan nyeri abdomen kanan bawah yang bersifat kronik intermiten, maka diagnosis apendisitis kronis sangat mungkin. Apendisitis kronis lebih jarang terjadi dari pada apendisitis akut dan lebih sulit untuk didiagnosis,



insdensnya



hanya



1%



di



Amerika



serikat.



Untuk



mendiagnosis apendisitis kronis paling tidak harus ditemukan 3 hal yaitu (1) pasien memiliki riwayat nyeri kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif diagnosis lain; (2) setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang di alami pasien tersebut hilang ; (3) secara histopatologik, gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis aktif pada dinding apendiks atau fibrosis pada apendiks. Menurut crabbe M et al, pada tahun 1986 studi dilakukan pada pasien 205 pasien yang telah menjalani apendiktomi, 21 pasien yaitu (10%) memenuhi kriteria apendisitis rekuren, sementara 3 pasien (1,5%) memenuhi kriteria apendisitis kronis atau rekuren berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan temuan histopatologi dari infiltrasi limfosit dan eosinofil pada dinding apendiks dan terdapat fibrosis banyak apendiks yang diperiksa dengan otopsi atau diangkat secara selektif berukuran kecil, tanpa lumen, dan secara histologis, mukosa dan jaringan limfoidnya atrofik dan submukosa sering digantikan dengan jaringan fibrosis dan lemak. Sulit untuk



11



memutuskan apakah perubahan ini adalah merupakan hasil dari atropi fisiologis atau berasal dari inflamasi akut sebelumnya. Penelitian yang membandingkan apendiks dari pasien dengan gejala yang menunjukan apendisitis dengan apendiks yang diangkat tanpa gejala, telah menunjukan perbedaan yang sangat sedikit pada gambaran patologi. Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Gejala yang dialami pasien dengan apendisitis kronis tidak jelas dan progresinya bersifat lambat. Terkadang pasien mengeluh nyeri pada kuadran kanan bawah yang interminten atau persisten selama bermingguminggu atau berbulan-bulan. Pada apendisitis kronis, sumbatan hanya bersifat partial dengan sedikit invasif bakteri. Sekalipun gejala dan progresi tidak sehebat apendisitis akut, apendisitis kronis tetaplah berbahaya jika dibiarkan tanpa ditangani. Mekanisme pastinya tidak jelas, walaupun obstruksi luminal juga dapat terjadi. Penyakit seperti colitis ulseratif, sarcoidosis, poliarteritis nodosa, penyakit crohn, tuberkulosis dan lain-lain yang dapat berhubungan dengan apendisitis kronis.



12



2.2.3



Epidemiologi Di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 250.000 kasus apendisitis.



Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 10-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Setelah usia 30 tahun insiden apendisitis menurun, tapi apendisitis bisa terjadi pada setiap umur individu. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.



Sekitar



20-30%



kasus



apendisitis perforasi terjadi di Afrika, sedangkan di Amerika sebanyak 38,7% insidensi apendisitis perforasi terjadi pada laki-laki dan 23,5% pada wanita. Apendisitis merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949 pasien, berada diurutan keempat setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis dan penyakit saluran cerna lainnya. Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insidens tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun, dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun 2.2.4



Etiologi Faktor predisposisi utama terjadinya apendisitis akut adalah obstruksi



lumen apendiks vermiformis. Fekalit adalah penyebab utama terjadinya obstruksi apendiks vermiformis. Disamping hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks vermiformis, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Erosi mukosa



13



apendiks vermiformis akibat parasit E.histolytica merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan apendisitis. Pada tahun 1970, Burkitt mengatakan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan kandungan lemak serta gula yang tinggi pada orang Barat, serta pengaruh konstipasi, berhubungan dengan timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks vermiformis dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. 2.2.5



Patofisiologi Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan



seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar 60 cmH2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL. Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis berkembang dan menginvasi dinding apendiks vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi.



14



Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan transmural, edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks vermiformis serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis flegmonosa. Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang terjadi gangren pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 2.2.6



Gejala Klinis Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat bahwa nyeri



perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua organ tubuh.



15



Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk mendiagnosis apendistis. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksidan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujungapendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala



apendisitis



dapat sangat



bervariasi.Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada



16



lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda. 2.2.7



Diagnosis Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini



terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi. Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses. Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah: •



Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.







Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat



17



tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney. •



Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular



adalah



nyeri



tekan



seluruh



lapangan



abdomen



yang



menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. •



Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.







Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.







Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat



peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12. Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado, yaitu:



18



2.2.8



Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan



jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan



19



penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET (kehamilan diluar kandungan). Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul. Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya lebih agresif dalam bertindak. 2.2.9



Diagnosis Banding Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis



karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendisitis, diantaranya: -



Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendisitis akut.



20



-



Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.



-



Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.



-



Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.



-



Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.



-



Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.



-



Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan appendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.



-



Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.



21



-



Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai appendisitis retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria, dan terjadi demam atau leukositosis.



2.2.10 Penatalaksanaan Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak. 2.2.11 Komplikasi Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,7C



22



atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian. Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks. 2.2.12



Prognosis Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa



penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari. Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan secepatnya.



2.2 Regional Anestesi Subarachnoid Block (RA-SAB) 2.3.1



Sejarah RA-SAB



Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB pertama



23



kali digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara luas sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera neurologik yang permanen.



Publikasi dari studi epidemiologi



tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi ahli



anestesi,



sebagai



alternatif



anestesi umum jika kondisi memungkinkan. 2.3.2



Definisi RA-SAB



Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik – central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral nerve blockade. Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (QuinckeBabcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.



2.3.3



Indikasi RA-SAB



Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:



24



1. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat inervasi pada buli buli kencing) 2. Hysterectomy 3. Caesarean section (T6) 4. Evakuasi alat KB yang tertinggal 5. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplasty 6. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal



2.3.4



Kontraindikasi RA-SAB



Kontraindikasi Absolut -



Pasien menolak



-



Deformitas pada lokasi injeksI



-



Hipovolemia berat



-



Sedang dalam terapi antikoagulan



-



Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta



-



Peningkatan tekana intracranial.



Kontraindikasi Relatif -



Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)



-



Infeksi sekitar tempat penyunikan



-



Kelainan neurologis



-



Kelainan psikis



-



Bedah lama



25



-



Penyakit jantung



-



Hipovolemia ringan



-



Nyeri punggung kronis



2.3.5 Komplikasi RA-SAB Komplikasi Pasca Tindakan -



Nyeri tempat suntikan



-



Nyeri punggung



-



Nyeri kepala karena kebocoran likuor



-



Retensio urine



-



Meningitis



2.3.6 Teknik Anastesi Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid: 1.



Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.



2.



Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.



3.



Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.



26



4.



Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 12% 2-3 ml.



5.



Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelanpelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.



Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 – 1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. 2.3.7



Preoperatif



a) Penilaian Preoperatif



27



Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif. Tujuan : 1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif 2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi 3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai 4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pascabedah 5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan. b) Tatalaksana evaluasi 1. Anamnesis Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi.



2. Pemeriksaan fisik



28



Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka. 3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi 4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD. 5. Menentukan prognosis pasien perioperative



29



Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society of Anesthesiologist (ASA). Tabel 2.3 Klasifikasi ASA Kelas ASA 1



Definisi pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit



ASA 2 sistemikringan sampai sedang pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit ASA 3



sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit



ASA 4



sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya. pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit



ASA 5



sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal. pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi



ASA 6 organ untuk donor. Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status E pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”) Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari



30



banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring. c) Persiapan Preoperatif 1. Masukan oral Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan



untuk



operasi



elektif



dengan



anestesi



harus



dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.



2. Terapi Cairan Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat



31



karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. 3. Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: 



Meredakan kecemasan dan ketakutan







Memperlancar induksi anestesi







Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus







Meminimalkan jumlah obat anestetik







Mengurangi mual muntah pasca bedah







Menciptakan amnesia







Mengurangi isi cairan lambung







Mengurangi reflek yang membahayakan



Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.



32



Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg. Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi. Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko 4.



33



2.3.8 Durante Operasi a. Persiapan Pasien Pasien dilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu pendingin ruangan. b. Pemakaian Obat Anestesi Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg. c. Terapi Cairan Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler. Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.



Untuk



kehilangan



terutama



penggantian dengan cairan hipotonik,



yang



melibatkan



air,



juga disebut cairan jenis



maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.



34



Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk



menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer



laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang



paling



fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang. Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.



d. Monitoring Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard



35



monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard minimal monitoring): 1. Standard Basic Anesthetic Monitoring Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada



kondisi



emergensi,



appropriate



life



support



harus



diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya. 1) Standard I Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi. 2) Standard II Selama



semua



prosedur



anestesi,



oksigenasi,



ventilasi,



sirkulasi, dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah: -



Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter



-



Heart rate, nadi, dan kualitasnya



-



Warna membran mukosa, dan capillary refill time



36



-



Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek palpebra)



-



Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi



-



Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.



2.3.9 Post Operatif a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit (PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase. Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan lainnya) harus



37



segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko injury. Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut berjalan dengan lancar. b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal. Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.



38



Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benarbenar pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat alat berikut : a. Pulse oximeter b. Non-invasive blood pressure monitor c. Elektokardiograf d. Nerve stimulator e. Pengukur suhu 1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok: a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah. b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat. c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang. 2) Ruang Pulih



39



a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah. b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan. 3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete. Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik. Tabel 2.4 Aldrete Score



40



POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue COLOR  Oxygenation    PINK SpO2>92% on room air 2 PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1 CYANOTIC RESPIRATION 



SpO250% FROM



mmHg of normal



NORMAL CONSCIOUSNESS



2



1



0



 



AWAKE, ALERT, AND



Fully awake



2



ORIENTED AROUSABLE BUT READILY



Arousable on calling



1



Not responsive



0



DRIFTS BACK TO SLEEP NO RESPONSE ACTIVITY  MOVES ALL EXTREMITIES



  Same



2



41



MOVES TWO EXTREMITIES Same



1



NO MOVEMENT



0



Same



Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9. Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk dikeluarkan dari PACU adalah: a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam f. Mual dan muntah dalam kontrol g. Nyeri minimal Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.



42



Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial yang meliputi agen anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor pasien sendiri. Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT 3 antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan). 2.3.10 Efek RA-SAB



43



Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada ruang subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah



untuk



menghindari



adanya kerusakan pada medulla



spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang subarachnoid antara L2 dan L5 (biasanya antara L3 dan



L4).



Untuk



mendapatkan blokade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung kepada banyak faktor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat (Sunaryo, 2005).



BAB III LAPORAN KASUS



1. Identitas Pasien •



Nama



: M. Riza







Jenis Kelamin



: Laki-Laki







Umur



: 38 Tahun







Agama



: Islam







Alamat



: Dsn 1 Kamboja Laut Dendang







Pekerjaan



: Wiraswasta



44







Status Perkawinan



: Sudah Menikah







No RM



: 31.49.04



2. ANAMNESA •



Keluhan Utama







Telaah : Pasien datang ke RS Haji Medan dengan keluhan nyeri pada perut sebelah kanan yang dialami sejak 1 bulan dan semakin terasa sakit semenjak 2 hari ini. Nyeri ini lebih terasa pada perut sebelah kanan bawah, pada saat dipalpasi pasien terasa kesakitan. Keluhan tidak disertai demam, batuk, sesak nafas, sakit kepala. Riwayat operasi usus sebelumnya tidak ada, tidak ditemukan riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi,asma.







RPT



: (-)







RPO



: (-)







RPK



: (-)



3.



PEMERIKSAAN FISIK



: Sakit perut kanan bawah



Status Present •



Keadaan Umum



: tampak sakit berat







Sensorium



: Compos Mentis







Tinggi Badan



: 155 cm







Berat Badan



: 47 kg



Vital Sign •



Tekanan Darah



: 110/ 70 mmHg







Nadi



: 65 kali/ menit







RR



: 18 kali/ menit







Suhu



: 36,7 0C







VAS



:5



Pemeriksaan Umum



45







Kulit



: Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor menurun (-)







Kepala



: Normocepali







Mata



: Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Edema palpebra (-/-)







Mulut



: Hiperemis faring (-), Pembesaran tonsil (-)







Leher



: Pembesaran KGB (-)



Thorax Paru •



Inspeksi :Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdominotorakal, retraksi costae (-/-)







Palpasi



: Stem fremitus kiri = kanan







Perkusi



: Sonor seluruh lapang paru







Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru, suara napas tambahan (-)



Jantung •



Inspeksi



: Iktus kordis tidak terlihat







Palpasi



: Iktus kordis teraba







Perkusi



:



Batas jantung kiri atas



: ICS 2 parasternal sinistra



Batas jantung kiri bawah



: ICS 5 linea midklavikula sinistra



Batas jantung kanan atas



: ICS 2 linea parasternal dextra



Batas jantung kanan bawah : ICS 4 linea parasternal dextra •



Auskultasi



: S1-S2 reguler, suara tambahan (-)



Abdomen •



Inspeksi



: Datar, Simetris







Palpasi



: Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba







Perkusi



: Nyeri Ketok (-)







Auskultasi



: Peristaltik (+) Normal



46







Ekstremitas



: Edema -/-



Pemeriksaan Penunjang : •



Hasil Laboratorium Darah Rutin







Hb



: 14,5 g/dl







HT



: 45,9 %







Eritrosit



: 4,8







Leukosit



: 8100 /µL







Trombosit



: 276,000 /µL



/µL



Metabolik •



KGDS



:-



Fungsi Ginjal •



Kreatinin



:-







Ureum



:-







Diagnosis



: Appendicitis akut



RENCANA TINDAKAN •



Tindakan



: Appendictomi







Anesthesi



: RA-SAB







PS-ASA



:I







Posisi



: Supinasi







Pernapasan



: Nasal kanul O2



KEADAAN PRA BEDAH Pre operatif B1 (Breath) •



Airway



: Clear



47







RR



: 18 kali/ menit







SP



: Vesikuler kanan = kiri







ST



: Ronchi (-), Wheezing (-/-)



B2 (Blood) •



Akral



: H/M/K







TD



: 110/ 70 mmHg







HR



: 65 kali/ menit



B3 (Brain) •



Sensorium



: Compos Mentis







Pupil



: Isokor, kanan = kiri 3 mm/ 3 mm







RC



: (+) / (+)



B4 (Bladder) •



Urine Output : -







Kateter



:-



B5 (Bowel) •



Abdomen



: Soepel







Peristaltik



: Normal (+)







Mual/Muntah : (+)(+)



B6 (Bone) •



Oedem



: (-)



PERSIAPAN OBAT RA-SAB •



Intratekal



48







Bupivacaine 0,5%



: 20 mg



Jumlah Cairan •



PO



: RL 100 cc







DO



: RL 700 cc







Produksi Urin



:-



Perdarahan •



Kasa Basah



:-







Kasa 1/2 basah



:3x5







Suction



:-







EBV



: 70 x 47



= 3290 cc







EBL



: 10 %



= 329cc



20 %



= 658 cc



30 %



= 987 cc



= 15 cc



Durasi Operatif •



Lama Anestesi



= 11.00 - 11.25WIB







Lama Operasi



= 10.54 – 11.25WIB







Teknik Anastesi



: RA-SAB







Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) → injeksi bupivacain 0,5% 20 mg → posisi supine → atur blok setinggi T6.



POST OPERASI •



Operasi berakhir pukul



: 11.25 WIB



49







Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.







Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9 •



Pergerakan



:2







Pernapasan



:2







Warna kulit



:2







Tekanan darah



:2







Kesadaran



:2



PERAWATAN POST OPERASI •



Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat anestesi masih ada.



TERAPI POST OPERASI •



Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang







IVFD RL 20gtt/ menit







Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal







Inj. Ketorolac 30mg/ 8jam IV







Inj. Ondansetron 4mg/ 8 jam IV bila mual/ muntah



50



DAFTAR PUSTAKA Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi. EGC. Jakarta. pp:229-231 Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto, Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147–



51



200 Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC. Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.