LapKas Demam Tifoid Jagakarsa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



DISUSUN OLEH : Hidayati



PEMBIMBING



dr. Olivia Vistary



PUSKEMAS KECAMATAN JAGAKARSA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN 2013 1



BAB I KASUS I.1 Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik Identitas Pasien •



Nama



: Ny. J







Usia



: 50 tahun







Jenis Kelamin



: Perempuan







Pekerjaan



: Ibu rumah tangga







Agama



: Islam







Ke Puskesmas



: 29 juli 2013



Anamnesis •



Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari yang lalu







Keluhan Tambahan : Mual, muntah, pusing.







Riwayat Penyakit Sekarang : OS datang ke puskesmas dengan keluhan demam sejak 5 hari yang lalu, demam timbul perlahan, terus-menerus, yang lebih sering meningkat pada sore dan malam hari. Demam awalnya tidak terlalu tinggi namun semakin lama demamnya semakin meningkat padahari – hari berikutnya. Menurut pasien demam tidak disertai keringat dingin dan menggigil. Pasien sudah mengkonsumsi obat penurun panas namun tidak ada perbaikan. OS juga mengeluh mual dan muntah sebanyak satu kali, muntah berisi makanan, lendir, tidak ada darah dan terasa nyeri pada ulu hati. Pasien juga mengeluhkan pusing dan belum BAB sudah 3 hari. Tidak ada mimisan dan perdarahan gusi, dan tidak ada riwayat bepergian ke luar kota seperti daerah pantai dalam 1 bulan terakhir. Riwayat Penyakit Dahulu : o Belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. 2



o Riwayat maag disangkal. o DM (-) Hipertensi (-) •



Riwayat Penyakit Keluarga : o Pada keluarga tidak ada yang mengalami hal seperti ini. o Riwayat DM, hipertensi disangkal.







Riwayat Alergi : Obat-obatan dan makanan disangkal







Riwayat Pengobatan : OS minum parasetamol (2 hari) dan demam sempat turun namun demam timbul kembali.







Riwayat Psikososial : OS mengaku sering mengkonsumsi makan-makanan berlemak dan pedas, jarang minum (sehari kurang dari 5 gelas), tidak minum-minuman bersoda.



Pemeriksaan Fisik a.



Tanda Vital : •



TD



: 120/80 mmHg







N



: 79x/menit (kuat, cukup, regular)







RR



: 18x/menit,







S



: 37,5 oC



Umum



: Keadaan umum baik Keadaan sakit (tampak sakit sedang) Sianosis (-), Edema umum (-), Dispnue (-), Dehidrasi (-)



Kesadaran



b.



: kompos mentis dan kooperatif



Status Generalis Kepala : Normocephal, rambut hitam tidak rontok, distribusi merata. Mata



: Alis mata madarosis (-), bulu mata rontok (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), refleks pupil (+), d= 2 mm, isokor kanan-kiri.



Kulit



: Ikterik (-), eritem (-), skar (-) 3



Hidung : deviasi septum (-), sekret (-), darah (-), polip nasal (-), nyeri tekan (-). Telinga :Normotia, nyeri tekan tragus (-), otore (-), darah (-), membran timpani intake (+), Mulut



: Bibir kering (+), stomatitis (-), lidah kotor dan tremor (-), tepi lidah hiperemis (-), dinding tonsil hiperemis (-)



Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), JVP (5cm-2 H2O) Dada



: Normochest



PARU-PARU Inspeksi



Statis



: Simetris ka=ki, skar (-), retraksi otot pernapasan (-), spider nevi (-)



Dinamis : Simetris ka=ki, skar (-), retraksi otot pernapasan (-), spider nevi (-) Palpasi



: Vokal fremitus ka=ki normal, nyeri tekan (-)



Perkusi



: Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi ICS 6, midclavicularis dextra



Auskultasi



: Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing(-)



Kesan



: Paru-paru normal



JANTUNG Inspeksi



: Ictus cordis tidak terlihat



Palpasi



: Ictus cordis teraba, ICS 5 midclavicularis sinistra



Perkusi



: Batas kanan jantung ICS 4, linea parasternalis dextra Batas kiri jantung ICS 4, linea midclavikularis sinistra



Auskultasi



: BJ 1 dan 2 reguler, Murmur(-), Gallop (-).



Kesan



: Jantung normal



ABDOMEN Inspeksi



: Cembung, skar (-), caput medusa (-), spider nevi (-)



Auskultasi



: Bising usus (+) normal.



Palpasi



: Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan abdomen (-), Hepatomegali (-), splenomegali (-), rebound sign (-), ballotement (-)



Perkusi



: Timpani pada 4 kuadran, shifting dullness (-) 4



ALAT KELAMIN



: Tidak ada keluhan



ANUS DAN REKTUM



: Tidak ada keluhan



EXTREMITAS



:



Atas



Bawah



Pucat



: (-)



Akral



: Hangat



Edema



: (-/-)



(-/-)



Palmar eritem



: (-/-)



(-/-)



Luka



: (-/-)



(-/-)



RCT < 2 detik



: (+)



(+)



Pemeriksaan Penunjang



(-) Hangat



:



Laboratorium DARAH (29 juli 2013) Pemeriksaan Leukosit Eritrosit Hb Ht Trombosit



Hasil 4,1 5,07 13,7 43 260



Satuan ribu/mm3 juta/mm3 g/dl % ribu/mm3



Nilai Rujukan (5-10) (4-5) (12-16) (36-48) (150-400)



IMUNOSEROLOGI (29 juli 2013) Pemeriksaan



Hasil



Salmonella typhi O



1/160



Salmonella typhi H



1/320



Salmonella para typhi AO



1/80



Salmonella para typhi AH



1/80



Salmonella para typhi BO



1/160



Salmonella paratyphi BH



1/80 5



Salmonella paratyphi CO



1/160



Salmonella paratyphi CH



1/80



I.2. Diagnosa Banding dan Diagnosa kerja Diagnosa Kerja



: Suspek demam typhoid



Diagnosa Banding : Demam Dengue I.3. Rencana penatalaksanaan Terapi Non-Farmakologis Istirahat dan perawatan Diet makanan lunak Farmakologis Amoksisillin 3 x 500 mg per hari Paracetamol 3 x 500 mg Domperidone 3 x 20 mg



BAB II 6



DASAR TEORI 2.1. Definisi Demam Tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dapat ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. 2.2. Epidemiologi Insidensi demam tifoid secara tepat tidaklah diketahui mengingat tampilan kliniknya yang bervariasi sehingga bila tanpa konfirmasi laboratorium, terbaurkan dengan penyakit infeksi lainnya. Kultur darah sebagai pemeriksaan untuk mencari kuman penyebab tidak selalu tersedia di setiap daerah dan setiap fasilitas kesehatan. Selain itu ternyata kultur darah penderita demam tifoid tidak selalu memberikan hasil seluruhnya positif, hasil penelitian di beberapa Negara Asia menunjukkan bahwa positivitas kultur darah untuk Salmonella enterica serovar typhi dan paratyphi sekitar 50 % sehingga insidensi dengan kultur positif berkisar antara 180-494/100.000 pada penderita berusia 5-15 tahun dan 149573/100.000 pada usia 2-4 tahun. Di negara maju kasus demam tifoid terjadi secara sporadik dan sering juga berupa kasus impor atau bila ditelusuri ternyata ada riwayat kontak dengan karier kronik. Diperkirakan sampai dengan 90 – 95 % penderita dikelola sebagai penderita rawat jalan1,4. Di seluruh dunia WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita demam tifoid dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal, sedangkan kasus demam paratifoid diperkirakan sebanyak 5,4 juta kasus. Asia Tenggara menempati daerah dengan insidensi tertinggi yaitu lebih dari 100.000 kasus per tahun. Di Indonesia selama tahun 2006, demam tifoid dan demam paratifoid merupakan penyebab morbiditas peringkat 3 setelah diare dan Demam Berdarah Dengue. 7



2.3. Karakteristik Salmonella sp. Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 µm x 0.5-0,8 µm. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana (Jawet’z, dkk, 2005), hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S, pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 2-8milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth. Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat, sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain, tetapi senyawa tersebut berguna untuk ditambahkan pada media isolasi Salmonella sp. pada sampel feses. Klasifikasi



kuman



Salmonella



sp.



sangat



kompleks,



biasanya



diklasifikasikan menurut dasar reaksi biokimia, serotipe yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik



(Jawet’z, dkk, 2005 ;



Bennasar, A., et al, 2000), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis, disebut bagan kauffman-white (Irianto, 2006). Berdasarkan serotipenya di klasifikasikan menjadi empat serotipe yaitu S. paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C (Serotipe group C ), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawet’z, 2005). 2.4. Patogenesis Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia yang terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui 8



duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan baktermia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sitemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “ intermittent “ ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, makrofag



telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman



Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam plague Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardi relatif ( adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Pada minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardi relatif ( adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi merah serta tremor), 9



hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pada orang Indonesia 2.5. Manifestasi Klinik Masa inkubasi Salmonella typhi antara 3-21 hari, tergantung dari status kesehatan dan kekebalan tubuh penderita. Pada fase awal penyakit, penderita demam tifoid selalu menderita demam dan banyak yang melaporkan bahwa demam terasa lebih tinggi saat sore atau malam hari dibandingkan pagi harinya. Ada juga yang menyebut karakteristik demam pada penyakit ini dengan istilah ”step ladder temperature chart”, yang ditandai dengan demam yang naik bertahap tiap hari, mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama kemudian bertahan tinggi, dan selanjutnya akan turun perlahan pada minggu keempat bila tidak terdapat fokus infeksi. Gejala lain yang dapat menyertai demam tifoid adalah malaise, pusing, batuk, nyeri tenggorokan, nyeri perut, konstipasi, diare, myalgia, hingga delirium dan penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya lidah kotor (tampak putih di bagian tengah dan kemerahan di tepi dan ujung), hepatomegali, splenomegali, distensi abdominal, tenderness, bradikardia relatif, hingga ruam makulopapular berwarna merah muda, berdiameter 2-3 mm yang disebut dengan roseola spot. 2.6. Metode Pemeriksaan Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar hemoglobin,



trombositopenia,



kenaikan



LED,



aneosinofilia,



limfopenia,



leukopenia, leukosit normal, hingga leukositosis. Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan



kultur darah (biakan empedu) untuk



Salmonella typhi.



Pemeriksaan kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit. Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) telah mendapat terapi 10



antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif, 2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah), Bila darah dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu untuk pertumbuhan kuman; 3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif, 4). Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi IgM Salmonella typhi dalam serum. Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mulamula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu : 1). Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibody, dan pemberian kortikosteroid, 3). Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau nonendemik, 5) Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Tubex TF. Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex TF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri S. typhi Pemeriksaan Anti S. typhi IgM dengan reagen Tubex TF dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri S. typhi. Pemeriksaan 11



ini sangat bermanfaat untuk deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitif, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam sensitivitasnya > 95%. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized



sebagai



reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%). Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR antara lain hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses, biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit 2.7. Tata laksana Non-Medikamentosa Istirahat dan perawatan, tirah baring dan perawatan bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi klien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.



12



Diet dan Terapi Penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian bubur saring ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Pemberian Antimikroba Kloramfenikol. Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Komplikasi hematologi dapat terjadi anemia aplastik. Tiamfenikol. Dosis 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6. Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Kotrimoksazol. Dosis dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. Ampisillin dan amoksisilin. Dosis 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Sefalosporin generasi ketiga. Sefriakson dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam gram dekstrose 100cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3-5 hari. Golongan Florokuinolon



13







Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.







Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.







Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari.







Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.







Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari.



Kombinasi Obat Antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau telah diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organism dalam kultur darah selain kuman Salmonella. 2.8. Komplikasi Demam Tifoid Beberapa komplikasi yang dapat terjadi : Komplikasi intestinal. Perdarahan usus, perforasi, ileus paralitik, pankreatitis. Komplikasi ekstra-intestinal. Kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. Darah



: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.



Paru



: pneumonia, empiema, pleuritis.



Hepatobilier



: hepatitis, kolesistitis.



Ginjal



: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.



Tulang



: osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.



Neuropsikiatrik/tifoid toksik.



Komplikasi Intestinal Perdarahan Intestinal Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. 14



Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua faktor. Perforasi Usus Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok. Bila pada gambaran foto polos abdomen ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan. Faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah umur, (20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. Komplikasi Ekstraintestinal Komplikasi Hematologik Berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID). Penyebab KID belum jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokontriksi



dan



kerusakan



endotel



pembuluh



darah



dan



selanjutnya



mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi baik kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfuse darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi. Trombositopenia terjadi karena menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial.



15



Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan dijumpai pada 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. Untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Pankreatitis Tifosa Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amylase dan lipase serta ultrasonografi/CT Scan dapat membantu diagnosis penyakit. Penatalaksanaan seperti penanganan



pankreatitis pada umumnya; antibiotik



intravena seperti sefriakson dan kuinolon. Miokarditis Terjadi 1-5 % penderita demam tifoid sedangkan kelainan EKG (10-15%) penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Kelainan ini biasanya disebabkan oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik Dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semikoma, koma. Parkinson rigidity, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia, sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, Sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Semua kasus tifoid toksik diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.



16



2.9. Pencegahan Preventif dan Kontrol Penularan Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan Kasus Luar Biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S.typhi akut maupun karier. 3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi. Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higienitas pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan. Vaksinasi Vaksin pertama kali ditemukan 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO). Indikasi vaksinasi adalah bila : 1) hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang, 2) orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). Petugas laboratorium. Jenis Vaksin •



Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia



17







Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.



Pemilihan Vaksin Vaksin oral –Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi) Indikasi Vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid bergantung pada faktor risiko yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya: Populasi : anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industry makanan/minuman> Individual : pengunjung/ wisatawan ke daerah endemik, orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid. Kontraindikasi Vaksinasi Vaksin hidup oral Ty21a tidak diberikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan. Bila diberikan bersamaan dengan obat anti malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.



18



Efek Samping Vaksinasi Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 05%, sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%, malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri, dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi , nyeri dada, dan syok.



Efektivitas Vaksinasi Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.



19



20