Laporan Farmakoterapi Kelompok A1 - SHOCK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN, REPORODUKSI, DAN SIRKULASI (DEF4274T)



SEMESTER GENAP



DISUSUN OLEH KELOMPOK A1 Abdul Hafidz



(NIM. 145070500111011)



Ade Putri Delina



(NIM. 145070507111006)



Adibah Nur Maisaroh



(NIM. 145070501111003)



Adisti Mega Putrianah



(NIM. 145070501111023)



Adistya Alfatikha Rahma



(NIM. 145070500111001)



Agung Febrian Ramadani



(NIM. 145070507111007)



Amanda Legyana



(NIM. 145070501111017)



Anthony



(NIM. 145070500111019)



Augustine Lutvianti P.



(NIM. 145070507111001)



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2016/2017



SHOCK 1. DEFINISI Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan (Zimmerman et al., 1997). Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung



yang



memadai



untuk



mempertahankan



perfusi



jaringan. Shock



kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda shock dan dijumpai adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung (Zimmerman et al., 1997). Masalah yang ada adalah kurangnya kemampuan jantung untuk berkontraksi. Tujuan utama pengobatan adalah meningkatkan curah jantung. 2. ETIOLOGI Etiologi dari penyakit syok kardiogenik adalah (Atkinson et al., 1981): 1. Gangguan kontraktilitas miokardium. 2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau hipoperfusi iskemik. 3. Infark miokard akut (AMI), 4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur septum,



atau



infark



ventrikel



kanan,



dapat



mempresipitasi



(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infarkinfark yang lebih kecil. 5. Valvular stenosis.



6. Myocarditis (inflamasi miokardium, peradangan otot jantung). 7. Cardiomyopathy (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya). 8. Acute mitral regurgitation. 9. Valvular heart disease. 10. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy. 3. EPIDEMIOLOGI Syok kardiogenik telah dialami oleh 5-10% dari pasien dengan infark miokard. Insiden yang tepat sulit diukur karena tidak adanya diagnosis yang pasti pada pasien. Beberapa uji menunjukkan bahwa syok kardiogenik dapat memperparah ST-elevasi infark miokard (STEMI) sekitar 5-8% dan 2,5% dari infark miokard non-ST-elevasi (non-STEMI) (Fox, et al, 2007). Dalam studi Worcester, analisis dari masyarakat luas diperoleh data tingkat kejadian sebesar 7,5%. Dan sebuah review dari sampel 2003-2010 menggunakan database Nationwide Inpatient Sample (NIS) mengungkapkan kejadian 7,9% pada pasien dengan STEMI. Pasien dengan non-STEMI sebanyak 3% mengalami syok kardiogenik. Beberapa percobaan multisenter di Eropa melaporkan tingkat prevalensi sekitar 7%. Di Asia atau kepulauan pasifik memiliki insiden yang lebih tinggi yaitu 11,4%. Dari database NIS juga ditunjukkan bahwa kejadian syok kardiogenik pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada wanita sekitar 8,5% dan 7,6% pada laki-laki. Usia rata-rata untuk syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Pada anak-anak, syok kardiogenik muncul sebagai konsekuensi dari miokarditis fulminant atau penyakit jantung bawaan (Kolte, et al, 2014). Pada penelitian lain dengan 1.160 pasien dengan syok kardiogenik sebesar 74,5% pasien memiliki kegagalan pada ventrikel kiri yang lebi dominan, 8,3% memiliki regusgitasi mitral akut, 4,6% memiliki rupture septum ventrikel, 3,4% telah



diisolasi kejutan ventrikel kanan, 1,7% memiliki rupture jantung dan 8% memiliki kejutan hasil dari penyebab lain (Panja, et al, 2010). 4. PATOFISIOLOGI Syok kardiogenik dapat terjadi akibat dari adanya gangguan cardiac output (CO), gangguan pada tahanan perifer (SVR), atau keduanya. Penarikan kardiak output setara dengan detak jantung (HR) yang dihasilkan dan stroke volume (SV). Stroke Volume dapat dipengaruhi oleh kontraktilitas dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pada bayi dan anak-anak, kardiak output dipengaruhi oleh detak jantung dan kondisi otot ventrikular yang masih lemah sehingga kemampuan untuk berkontraksi lemah. Gangguan pada strike volume dipengaruhi oleh: CO = HR x SV. Terdapat empat penentu utama yang mengatur fungsi ventrikular, yaitu kontraktilitas, detak jatung, preload, dan afterload. Hubungan antara preload dengan fungsi ventrikular yaitu semakin tinggi preload, semakin tinggi cardiac outputnya. Ketika kontraktiitas miosit meningkat, fungsi ventrikel semakin memburuk. Ketika kondisinya sangat memburuk dapat menyebabkan syok kardiogenik. Pada jantung yang normal, yang menentukan kontraktilitas jantung adalah influx kalsium. Ketika kerja miokardium menurun, keseimbangan kalsium akan terganggu, sehingga mempengaruhi tekanan sistol dan diastole (Smith, 2013). Pada patologi miokard, syok kardiogenik ditandai dengan disfungsi sistolik dan diastolic untuk mengatasi hipoperfusi organ. Gangguan aliran darah di arteri coroner epicardial menyebabkan zona miokardium kehilangan kemampuan untuk berkontraksi. Jika area miokard mengalami cedera iskemik, fungsi pompa LV menjadi berkurang dan terjadi hipotensi sistemik. Pasien yang mengalami syok kardiogenik dari infark miokard akut memiliki bukti nekrosis miokard yang progresif dengan ekstensi infark. Penurunan tekanan perfusi coroner dan curah jantung serta peningkatan kebutuhan oksigen berperan dalam kejadian syok kardiogenik. Pasien yang menderita syok kardiogenik sering memiliki penyakit arteri coroner multivessel dengan cadangan aliran darah yang terbatas. Iskemia dari zona infark merupakan kontributor penting dalam kejadian syok. Fungsi diastolic yang terganggu, karena iskemia dapat merusak



pengisian dari miokard sehingga akan meningkatkan tekanan LV dan dapat menyebabkan edema paru dan hipoksemia (Reynolds, 2008). Pada patologi seluler, kondisi hipoperusi jaringan dengan konsekuensi hipoksia seluler menyebabkan glikolisis anaerobic, akumulasi asam laktat dan asidosis intraseluler. Jugam pompa transpotasi membrane miosil gagal yang menurunkan potensial transmembran dan menyebabkan akumulasi intraseluler natrium dan kalsium sehingga terjadi pembengkakan miosit. Jika terjadi iskemia yang parah dan berkepanjangan menyebabkan cedera seluler miokard menjadi irreversible dan menyebabkan myonekrosis yang meliputi pembengkakan mitokondria, akumulasi protein terdenaturasi dan kromatin dan pemecahan lisosom. Kejadian ini menyebabkan fraktur mitokondria dan membrane plasma. Selain itu apoptosis dapat terjadi didaerah peri-infark dan menyebabkan hilangnya miosit. Aktivasi kaskade inflamasi stres oksidatif, dan peregangan dari miosit menghasilkan mediator yang mengalahkan inhibitor apoptosis, sehingga mengaktifkan apoptosis tersebut (Reynolds, 2008). 5. TERAPI FARMAKOLOGI Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis sekecil mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan semakin kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan penyakit yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri. Pemberian inotropik merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami kegagalan ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen vasopresor masih sedikit. Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor yang dapat



digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg (Reynolds, 2008). Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai diberikan. Yang termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan levosimendan Dosis reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan hingga 20 mcg/kg/min. Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan dalam keadaan sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik antara lain: dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-10 mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok), Dobutamin dapat digunakan, namun dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang nyata, pilihan yang terbaik adalah dopamin (TDS 70100 mmHg dengan klinis syok) dan norepinefrin (TD < 70 mmHg) (Alwi, 2009). Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan sebagaimana yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda setelah tindakan angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien selanjutnya diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary artery bypass grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI (pada pasien infark miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik negatif dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH darah harus dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian insulin dapat meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup ataupun pipa endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta mengurangi kerja pernafasan (Ren, 2013).



6. TERAPI NON FARMAKOLOGI a. Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander R H, Proctor H J. Shock., (1993; 75 – 94) (Fitria, 2010) : A. Posisi Tubuh 1. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. 2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas. 3. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia. 4.



Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.



5.



Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar.



6. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali. B. Pertahankan Respirasi 1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.



2. Tengadahkan kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway). 3. Berikan oksigen 6 liter/menit d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT. C. Pertahankan Sirkulasi 1. Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. 2. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP). Selain itu, perlu juga dilakukan Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu (Fitria, 2010): 1. Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. 2. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obatobatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 3. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).Pemasangan dua jalur intra vena dengan kjarum besar dipasang untuk



membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %). Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. Untuk menjaga asupan oksigen pada pasien tercukupi, dapat dilakukan beberapa hal berikut : a. Pemberian oksigen Terapi O2 merupakan salah satu terapi pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi. Tujuan pemberian terapi O2 adalah (Saryono, 2010): 1. Mengatasi keadaan hipoksemia 2. Menurunkan kerja pernafasan 3. Menurunkan beban kerja otot Jantung (miokard) Indikasi pemberian terapi O2 adalah kerusakan jaringan yang diikuti gangguan metabolisme dan sebagai bentuk Hipoksemia, secara umum pada (Saryono, 2010): •



Kadar oksigen arteri (Pa 02) menurun







Kerja pernafasan meningkat ( laju nafas meningkat, nafas dalam, bemafas dengan otot tambahan)







Adanya peningkatan kerja otot jantung (miokard) Pada kegawatan napas trauma diberikan oksigen 6L/menit dengan



sungkup muka. Pada penderita kritis berikan 100% oksigen, meskipun secara umum terapi oksigen memberikan manfaat yang bermakna pada bentuk hipoksik hipoksemia dan anemi hipoksemia. Efek samping yang



sering dikhawatirkan adalah keracunan oksigen, tetapi hal tersebut terjadi setelah 24-48 jam terapi oksigen dengan fraksi inspirasi oksigen (Fi02)>60%. Oleh karena itu sedapat mungkin setelah masa kritis, terapi oksigen diturunkan bertahap sampai Fi02 < 60% dengan target untuk mendapatkan minimal saturasi oksigen (saO2) 90% (Saryono, 2010). Apabila tekanan oksigen arteri (pa02) tetap rendah (kurang dari 60 mmHg) meskipun telah diberikan oksigen 50% berarti terdapat shunt yang bermakna dari kolaps alveoli dan perlu dipertimbangkan pemberian inflasi paru dengan manuver reekspansi paru atau intubasi endotrakhea dan ventilasi mekanik. Pada kasus PPOM maka Pa02 dipertahankan sekitar sedikit diatas 60 mmHg saja untuk menghindari hilangnya rangsang respirasi (Saryono, 2010).



b. Intubasi Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi terutama bagi pasien operasi (Saryono, 2010). Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002 antara lain (Saryono, 2010) : •



Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.







Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.







Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.







Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.







Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.







Trakeostomi.







Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.



7. KASUS SOAL TUTORIAL FSO VI “ SHOCK” Semester genap 2015/2016 Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya



Kasus : Ny. NN usia 23 tahun seorang atlet Taekwondo mengeluh lelah, lesu dan sesak napas selama beberapa hari yang lalu. Dia pingsan dan langsung di bawa ke rumah sakit AMANAH. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter diketahui bahwa Ny. NN menderita gangguan jantung dengan HR 132, BP 76/36, SaO2 88%, RR 30, Temp 36.3oC. GCS 456, jantung S1 dan S2 tidak teratur, terjadi holosytolic murmur, JVP 5 cm. Kurang : data terkait penykit, data penyakitnya. Tidak ada odema, terjadi Chest - bilateral crackles, abdominal normal.



Pertanyaan : 1. Apakah yang terjadi pada Ny. NN? Syok kardiogenik bisa disebabkan oleh iskemia ventrikular primer, masalah struktural, dan disritmia. Ny. NN mengalami gejala syok kardiogenik, karena ditandai dengan hipoksia – yang mengakibatkan lelah dan lesu - sampai sinkop akibat penurunan curah jantung dan hipoperfusi sistemik, serta terdapat murmur sistolik. Pasien syok kardiogenik dengan aritmia akan mengeluh lemah badan bahkan bisa sampai terjadi penurunan kesadaran karena berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat. Pasien dengan ruptur septum ventrikel akut mengalami gagal jantung akut dan/atau syok kardiogenik, dengan temuan fisik berupa murmur holosistolik. Murmur holosistolik merupakan tanda kerusakan pada miokardium yang mungkin terjadi



setelah salah satu infark miokard besar (biasanya dinding anterior), atau mungkin kumulatif sebagai akibat dari beberapa infark miokard yang lebih kecil atau infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang sudah ada sebelumnya (Ren dan Linneman, 2013).



2. Berdasarkan apakah Anda menjawab soal no. 1? Jelaskan! (data lab, klinik, dll) Data lab dan klinik bisa dijadikan indikator diagnosis Ny. NN mengalami syok kardiogenik. Data tersebut dapat memanifestasi tanda dan gejala salah satu sindrom kardiovaskular ini. Dari data lab dan klinik, diketahui bahwa Ny. NN mengalami takikardi (HR 132, normalnya 60-100 hpm), saturasi oksigen rendah (SaO2 88%, normalnya saturasi oksigen arteri 95-100%), hipotensi berat (BP 76/36, normalnya