19 0 1 MB
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care) Dasar Teori A. Pelayanan Kefarmasian Konsep pelayanan kefarmasian lahir karena kebutuhan untuk bisa mengkuantidiksi pelayanan farmasi klinik yang diberikan, sehingga peran farmasis dalam pelayanan kepada pasien dapat terukur. Definisi pelayanan kefarmasian oleh Prof Linda Strand a. Responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes the improve a patient’s quality of life. Dari definisi diatas dapat diartikan:
Bahwa farmasis memiliki tanggung jawab kepada pasien secara langsung
Bahwa tujuan pengobatan jelas dan dapat dinilai
Bahwa outcome yang ingin dicapai tidak hanya kesembuhan tetapi lebih dari itu yakni meningkatkan kualitas hidup pasien
b. Component of pharmacy which entails the direct interaction of pharmacist with thw patient for purpose of caring for the patient’s drug-related needs. Dalam penjelasan tersebut terkandung pula bahwa dalam pelayanan kefarmasian:
Praktisi menetukan kebutuhan pasien sesuai kondisi penyakit
Praktisi membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambungan
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 1
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Penentuan hubungan terapetik
Evaluasi Perencanaan
Penilaian Menjamin bahwa semua terapi obat terindikasi, efektif dan aman. Mengidentifikasi masalah terapi obat
Pemecahan masalah terapi obat Pencapaian sasaran terapi
Pencegahan masalah terapi obat
Pencatatan hasil terapi yang sebenarnya Evaluasi kemajuan untuk memenuhi sasaran terapi Memperkirakan kembali munculnya masalah baru
ev
Tindak lanjut secara terus menerus Skema Proses Pelayanan Kefarmasian Penilaian, Perencanaan, dan Evaluasi30 B. Prinsip Praktek Pelayanan Kefarmasian Adapun prinsip-prinsip praktek Pelayanan Kefarmasian adalah sebagai berikut: 1. Penyususnan database pasien Farmasis untuk dapat menyusun Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK) hendakny terlebih dahulu menyusun database pasien. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data subyektif maupun yang bersifat obyektif tentang pasien. Jenis informasi yang dikumpulkan meliputi data demografi pasien, riwayat penyakit, riwayat obat dan alergi, riwayat social, situasi ekonomi. Data subyektif adalah data yang bersumber dari pasien atau keluarga atau orang lain yang tidak dapat dikonfirmasi secara independen. Sedangkan data obyektif
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 2
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
adalah data yang bersumber dari hasil observasim pengukuran yang dilakukan oleh profesi kesehtan lainnya. Contoh : tensi dara, hasil lab. dan lain-lain. 2. Assesment a. Evaluasi Database-Farmakologi Farmasis melakukan assessment terhadap informasi subyektif dan obyektif yang dikumpulkan di atas dikaitkan dengan pengetahuan farmakoterapi. Dalam assessment perlu dipikirkan peluang untuk meningkatkan dan atau menjamin
keamanan,
efektivitas
terapi obat
serta
peluang
untuk
meminimalka problem terkait obat. Farmasis mencatat kesimpulan yang berupa problem terkait obat ke dalam dokumen farmasis b. Pendekatn Problem List Assement dapat pula dilaksanakan melalui pendekatan problem-list. Informasi dikelompokan menjadi kelompok problem medic yaitu diagnose, gejala, disfungsi organ, catat fisik serta penyakit penyerta, morbiditas. Untuk setiap problem medic dipasangkan dengan terapi yang ada. Selanjutnya dianalisi sesuai kaidah farmakoterapi. Problem list disusun berdasarkan urutan penting yang didukung bukti subyektif maupun obyektif yang terkumpul. Hasil akhir assessment ini dicatat yang berupa problem terkait obat ke dalam dokumen farmasis. 3. Formulasi Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK) Farmasis bila perlu bekerjasama dengan profesi kesehatan lain untuk mengindentifikasi, evaluasi, kemudian memilih aksi yang paling tepat untuk :
Meningkatkan/ menjamin keamanan, efektivitas, penghematan biaya terapi dari terapi saat ini
Meminimalkan problem terkait obat yang potensial
Farmasi memformulasikan RPK untuk mencapai outcome sesuai harapan meliputi: a. Rekomendasi terapi obat untuk setiap PTO lengkap dengan dosisnya b. Rencana monitoring terapi obat
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 3
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
c. Rencana konseling
Farmasi mengkaji RPK dan pencapaian outcome bersama profesi kesehatan lainnya
Farmasis mendokumetasikan RPK dan outcome yang ingin dicapai dalam dokumentasi farmasis atau rekam medik.
4. Implementasi RPK Implementasi RPK antara lain:
Menghubungi
profesi
kesehatan
lain
untuk
klarifikasi
ataupun
menyampaikan rekomendasi untuk modifikasi resep ataupun memulai terapi
Farmasis bekerjasama dengan pasien untuk memaksimalkan efek terapi obat dengan meningkatkan pemahaman dan keterlibatan dalam RPK antara lain melalui edukasi/konseling
Farmasis mendokumentasikan aksi yang diambil dalam penerapan RPK
Farmasis mengkomunikasikan RPK dengan profesi kesehatan lainnya.
5. Monitoring
Farmasis secara regular memantau ada-tidaknya perubahan informasi subyektif maupun obyektif serta kemajuan penyakit dalam mencapai outcome.
Bila dijumpai ada perubahan baik informasi, kemajuan penyakit ataupun PTO terkait perubahan obat, maka farmasis harus segera memodifikasi RPK dan kemudian mengimplementasikan
Daftar Pustaka
Cipolle R, Strand L, Morley P. Pharmaceutical Care Practice. USA. 1998.
American Pharmaceutical Association. Principles Of Pharmaceutical Care. 1999
Strand L,. Building a practice in Pharmaceutical Care. Pharmaceutical Journal. 1998; 260: p874-87
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 4
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
ASMA A. Definisi & Epidemiologi Asma adalah sindrom yang dicirikan oleh osbtruksi aliran pernapasan yang terjadi secara spontan maupun disebabkan terapi tertentu. Inflamasi saluran pernapasan kronis menyebabkan obstruksi jalan nafas dan gejala pernapasan meliputi dyspnea dan wheezing. Prevalensi asma meningkat tajam selaam 30 tahun terakhir. Pada negara berkembang diperkirakan 10 % dewasa dan 15 % anak mengalami asma. Sebagian besar asma bersifat atopik, dan seringkali disertai rhinitis alergi dan/atau eczema. sebagian besar asma terjadi saat masa anak-anak. Minoritas pasien asma tidak atopi, individu ini disebut dengan intrinsic asthmatics, dan seringkali terjadi saat masa dewasa. Occupational asthma berasal dari berbagai bahan kimia, meliputi toluene diisocyanate dan trimellitic anhydride, dan onset juga terjadi pada masa dewasa. Pasien asma mengalami peningkatan obstruksi saluran pernapasan dan gejala pernapasan sebagai respon terhadap berbagai macam pemicu. Inhaled allergens dapat menjadi pemicu asma yang kuat pada individu dengan sensitivitas khusus pada bahan tersebut. Infeksi saluran pernapasan atas yang disebabkan virus juga menjadi penyebab umum eksaserbasi asma. Golongan β-blocker dapat memperburuk gejala asma dan pada kondisi tertentu perlu dihindari pada pasien asma. Olahraga seringkali juga memicu peningkatan gejala asma, yang umumnya terjadi setelah selesai berolahraga. Pemicu lain yang dapat meningkatkan gejala asma meliputi polusi udara, occupational exposures, dan stres. B. Evaluasi Klinis Pasien Sejarah. Gejala pernapasan pada kondisi asma yang umum terjadi meliputi wheezing, dyspnea, dan batuk. Gejala ini sangat bervariasi antar individu, dan dapat berubah secara spontan atau seiring bertambahnya usia, musim, dan terapi. Gejala dapat memburuk pada malam hari, dan sering terbangun di malam hari merupakan indikator penanganan asma yang tidak adekuat. Keparahan gejala asma , kebutuhan LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 5
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
terapi steroid sistemik, sejarah MRS, dan terapi perawatan intensif merupakan indikator lain yang penting pula untuk diperhatikan. Perhatikan pula tipe pemicu asma untuk pasien tertentu dan paparan terakhir yang terjadi. Pemeriksaan Fisik. Penilaian tanda respiratory distress merupakan hal yang penting untuk dilakukan, meliputi tachypnea dan sianosis. Pada pemeriksaan paru, dapat terjadi wheezing dan rhonchi, yang lebih dominan terjadi pada ekspirasi dibandingkan inspirasi. Apabila asma terkontrol baik, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan hasil yang normal. Tes Fungsi Paru. Spirometri umumnya dapat menunjukkkan obstruksi saluran pernapasan, disertai penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Namun spirometri juga dapat menunjukkan hasil normal, terutama jika gejala asma diterapi dengan tepat. Bronchodilator reversibility ditunjukkan dengan peningkatan FEV1 ≥ 200 mL dan ≥ 12% dari baseline FEV1 15 – 20 menit setelah pemberian β agonist short acting (yang sering dipakai adalah albuterol MDI 2 semprot atau 180 μg). Sebagian besar (namun tidak semua) pasien asma menunjukkan bronchodilator reversibility yang signifikan ; terapi farmakologis yang signifikan dapat menurunkan bronchodilator reversibility. The Peak expiratory flow rate (PEF) dapat digunakan oleh pasien untuk memantau asma secara objektif saat di rumah. Penilaian volume paru tidak umum dilakukan, namun dapat dilakukan pemantauan peningkatan total lung capacity dan residual volume. Pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan darah seringkali tidak berguna. CBC (complete blood count) menunjukkan eosinifilia. Pemeriksaan IgE spesifik untuk inhaled allergens atau allergy skin testing dapat membantu menentukan pemicu alergi. Total serum IgE dapat meningkat bermakna pada allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA). Pemeriksaan Radiografik. X-ray paru umumnya normal. Pada eksaserbasi akut, dapat teridentifikasi pneumothoraks. Pada kondisi ABPA, dapat terdeteksi eosinophilic pulmonary infiltrates. CT scan paru tidak umum dilakukan pada asma rutin namun dapat menunjukkan bronkiektasis sentral pada ABPA. C. Terapi
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 6
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Jika bahan pemicu asma dapat teridentifikasi dan tereliminasi maka hal tersebut merupakan pilihan terapi yang optimal. Pada sebagian besar kasus, dibutuhkan terapi farmakologik. Dua kelompok utama obat yang digunakan adalah bronkodilator, yang menghasilkan pengurangan gejala yang cepat dengan merelaksasi otot polos pernapasan, dan controllers, yang membatasi proses inflamasi saluran pernapasan.
D. Tugas
Carilah pustaka (buku atau guideline) dan jurnal pengobatan yang terkait dengan kasus dibawah ini
E. Studi Kasus LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 7
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
1. Tn MA 43th BB 62kg TB ± 165cm MRS dengan keluhan sesak napas, eksaserbasi akut, dan, batuk sedikit. Pasien mengaku memiliki riwayat asma sejak 3 tahun yang lalu dan menggunakan obat salbutamol inhaler prn. 3 hari yang lalu pasien mengalami kecelakan ringan kaki keseleo dan agak membengkak psien mendapatkan obat flamar 50 mg 2 x 1 tab dan ocuson 3 x 1 tab pasien tidak memiliki hipertensi maupun DM, namun ibunya adalah memiliki DM hasil observasi TD 140.80 mmHg, GDS 187 mg/dL. Pasien selanjutnya didiagnos asma eksaserbasi. Bagaimana Pharm Care pada kasus ini? 2. Ny RS 53th BB 65kg TB ± 165cm MRS dengan keluhan sesak napas, eksaserbasi akut. Pasien mengaku memiliki riwayat asma sejak 10 tahun yang lalu dan menggunakan obat salbutamol inhaler prn dan fluticasone 2x 2puff, prednisone 2 x 1 tab sejak 6 bulan terakhir. Pasien memiliki hipertensi dan DM, namun ibunya adalah memiliki DM hasil observasi TD 170/80 mmHg, GDS 290 mg/dL. Obat yang dikonsumsi sehari-hari irtan 150 mg 1 x 1 tab, amaryl M 2 2 x 1 tab. Pasien selanjutnya didiagnos asma eksaserbasidengan DM. Bagaimana Pharm Care pada kasus ini? F. Daftar Pustaka 1. Dipiro, J.T., Talbert, RI., Yee, G.C., Matzke GR., Wells BG., Posey LM. 2008,Pharmacotherapy:A Pathophysiologic Approach, 7th. ed.,Appleton & Lange, Stamford. 2. Herfindal, E.T., and Gourley, D.R., 2008, Textbook ofTherapeutics, Drug and Disease Management, 7th. ed.,Lippincot & Williams, Philadelphi 3. Schwinghammer, T.L., Koehler JM., 2009, Pharmacotherapy Casebook: APatient Focused Approach, 7th. Ed., McGraw-Hill Companies,New York. 4. McPhee, S., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., Lange J.D., 2000,Pathophysiology of Disease : An Introduction to ClinicalMedicine, 3rd Ed., McGraw-Hill, New York 5. Koda-Kimble, A.M., Lee Young, L., Kradjan, W.A., Guglielmo,B.J.,2013, Applied therapeutics : The Clinical Use of Drugs 10 th ed., Lippincot William & Wilkins, Philadelphia.
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 8
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Penyakit Infeksi A. Pendahuluan Penyakit infeksi merupakan penyakit yang paling luas penyebarannya. Hampir semua bidang penyakit memiliki kasus infeksi kecuali bidang penyakit jiwa. Hal ini berdampak pada luasnya pemakaian antibiotic, anti jamur dan anti virus. Selain itu, karena penggunaan yang luas, obat ini sering digunakan dengan tidak tepat, sehingga memunculkan risiko resistensi, kegagalan terapi. Kegagalan terapi seringkali mengakibatkan infeksi menjadi kronik maupun sepsis yang berakhir dengan kematian B. Problem Medik Infeksi yang umum terjadi Infeksi tunggal merupakan infeksi yang terjadi pada tempat-tempat yang lazim terjadi infeksi dan umumnya gejalanya kurang jelas. Fever of Unknown Origin (FUO) adalah demam tinggi (>38ᵒC) yang tidak diketahui sebabnya setelah lebih dari satu minggu atau lebih dari 3 kali kunjungan pada pasien rawat jalan . penyebab FUO biasanya berupa infeksi, neoplasma, penyakit autoimun, penyebab lain atau FUO yang tak terdiagnosis. Infeksi Oportunistik merupakan infeksi yang menyerang pasien dengan granulositopenia (granulosit < 500/m merupakan infeksi yang menyerang pasien dengan granulositopenia (granulosit < 500/mm3 selama 7 hari). Pasien-pasien yang mengalami infeksi tersebut umumnya adalah pasien leukemia yang mendapatkan kemoterapi, post-transplan yang mendapatkan imunosupresan, HIV, anemia aplastik. Infeksi dengan penyakit penyerta antara lain diabetes mellitus, gagal ginjal, chronic liver disease, infeksi sebagai penyakit penyerta, critically ill, immunocompromised, superinfeksi pada kondisi ini pemilihan antibiotic harus tepat dan sesuai dengan kondisi penyakit penyerta.
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 9
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
C. Tempat-tempat infeksi yang lazim
Saluran kemih Kulit/jaringan lunak SSP Gastrointestina Mata THT
Tulang/send Darah Saluran nafas Gigi/Periodontal Intraabdomen Pelvis
D. Faktor pemilihan Antibiotik Faktor Antibiotik
Faktor Pasien
Dosis, rute, bentuk obat
Penyakit
penyerta/fungsi
organ
eliminasi Penetrasi obat ke tempat infeksi
Alergi
Lama terapi
Kehamilan
Frekuensi harga Penetrasi
Antibiotik
CNS
Chloramphenikol,
metronidazole,
rifampisin,
kortimoksazol,
(sangat baik) penicillin & derivatnya, gol carbapanem, cefotaxime, cefepime,
ceftazidime,
ciprofloxacin,
ceftizoxim,
ofloxacin,(baik)
ceftriaxone,
aminoglikosida,
cefuroksim, azithromycin,
clindamycin, vancomycin ( kurang baik) Tulang
Cefazolin (sangat baik)
Prostat
Kortrimoksazol, fluroquinolon
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 10
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
E. Klasifikasi Mikroorganisme Table 56-1 Classification of Infectious Organisms 1.Bacteria
Gram-negative
Aerobic
Cocci
Gram-positive
None
Cocci
Rods(bacilli)
Streptococci:
Bacteroides
pneumococcus,
(Bacteroides
Bacteroides
melaninogenicus)
viridans streptococci;
Fusobacterium
group A streptococci
Prevotella
Enterococcus
2.Fungi
Staphylococci:
Aspergillus,
Staphylococcus
Histoplasma,
aureus,
3.Viruses
Staphylococcus
Candida,
Coccidioides,
Cryptococcus,
Tinea,
Trichophyton
Mucor,
Influenza, hepatitis A, B, C, D, E; human immunodeficiency
epidermidis Rods
fragilis,
virus; (bacilli)
rubella;
herpes;
cytomegalovirus;
respiratory
syncytial virus; Epstein-Barr virus, severe acute respiratory
Corynebacterium
syndrome
Listeria
4.Chlamydiae
Gram-negative
Chlamydia
Cocci
Chlamydia pneumoniae Lymphogranuloma venereum (LGV)
Moraxella
disease caused by Chlamydia trachomatis of immunotype
Neisseria (Neisseria
(SARS)virus trachomatis
5.Rickettsiae
Neisseria
Rocky
gonorrhoeae).
Ureaplasma (bacilli)
Enterobacteriaceae (Escherichia
coli,
psittaci
L1–L3
meningitides.
Rods
Chlamydia
Mountain
spotted
fever,
Q
fever
6.Mycoplasmas Mycoplasma
pneumoniae,
Mycoplasma
hominis
7.Spirochetes
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 11
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Klebsiella,
Treponema pallidum, Borrelia burgdorferi (Lyme disease)
Enterobacter,
8.Mycobacteria
Citrobacter,
Proteus,
Serratia, Salmonella,
Mycobacteriumtuberculosis,
Mycobacterium
intracellulare
Shigella, Morganella, Providencia) Campylobacter Pseudomonas Helicobacter Haemophilus (coccobacilli morphology) Legionella Anaerobic Gram-positive Cocci Peptococcus Peptostreptococcus Rods
(bacilli)
Clostridia (Clostridium perfringens, Clostridium
tetani,
Clostridium
difficile)
Propionibacterium acnes
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 12
avium
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
F. Tugas
Carilah pustaka (buku atau guideline) dan jurnal pengobatan yang terkait dengan kasus dibawah ini?!!!
G. Studi Kasus 1. Tn KH 45th BB 62kg TB ± 170cm MRS dengan keluhan sesak napas, badan panas, mual, batuk sedikit. Pasien mengaku merokok 1 pak/hari, tidak memiliki hipertensi maupun DM, namun ibunya adalah memiliki DM. Hasil X-ray dada menunjukkan adanya gambaran pneumonia. Hasil lab sbb leukosit 19.000/mm3, Na 138meq/L, K 3,6 meq/L, GDP 205 mg/dl, 2j PP 245 mg/dl. Pasien selanjutnya didiagnosa sebagai Pneumonia dengan DM. Bagaimana Pharm Care pada kasus ini? 2. Tn JP 62th, BB ± 75kg TB ± 170cm, MRS dengan keluhan mual, muntah, nyeri pinggang, tidak bisa kencing, badan panas. Menurut pengakuan istri, Px memiliki penyakit BPH (Benign Prostat Hyperplasia) dan sebelumnya tidak punya sakit hipertensi maupun DM. Hasil observasi perawat pada saat masuk menunjukkan temp 38,2 oC, TD 150/90. Hasil lab pada saat masuk adalah sbb Cr 6,2 mg/dl ; BUN 75mg/dl; Na 122meq/L; K 2,8 meq/L; Asam urat 7,1 mg/dl; Alb (N); GDP 115 mg/dl; 2jPP ( 145 mg/dl); leukosit 15.000/mm3 . Pasien didiagnosa sebagai ISK dengan insufisiensi ginjal kemudian mendapat terapi Cefotaxim 3x1g iv, Lasix inj 1 x 1 amp, Primperan 3 x 1 amp, infus NS dan D5 (2:2). Pada keesokan harinya perawat melaporkan TD 160/100mmHg, temp 38 oC, Nadi 85x/min, urin 24jam 500 ml. Bagaimana Pharmaceutical care pada kasus ini ? 3. Ny U, 58th, BB 85 kg masuk rumah sakit dengan kondisi kaki bengkak, kemerahan, data observasi temp 38ºC, BP 120/90, nadi 90x/menit, BSL: 121mg/dl. Lab: Na 128 mEq/dl, K (N) Riwayat penyakit :DM terkontrol, Diagnosa: Cellulitis. Apa yg dapat farmasis berikan untuk kasus ini?
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 13
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
H. Daftar Pustaka 1.
Dipiro, J.T., Talbert, RI., Yee, G.C., Matzke GR., Wells BG., Posey LM. 2008,Pharmacotherapy:A Pathophysiologic Approach, 7th. ed.,Appleton & Lange, Stamford.
2.
Herfindal, E.T., and Gourley, D.R., 2008, Textbook ofTherapeutics, Drug and Disease Management, 7th. ed.,Lippincot & Williams, Philadelphi
3.
Schwinghammer, T.L., Koehler JM., 2009, Pharmacotherapy Casebook: APatient Focused Approach, 7th. Ed., McGraw-Hill Companies,New York.
4.
McPhee, S., Lingappa, V.R., Ganong, W.F., Lange J.D., 2000,Pathophysiology of Disease : An Introduction to ClinicalMedicine, 3rd Ed., McGraw-Hill, New York
5.
Koda-Kimble, A.M., Lee Young, L., Kradjan, W.A., Guglielmo,B.J.,2013, Applied therapeutics : The Clinical Use of Drugs 10 th ed., Lippincot William & Wilkins, Philadelphia.
LABORATORIUM FARMASI KLINIK & KOMUNITAS FAKULTAS FARMASI UNMUL
Page 14
Penuntun Praktikum Farmakoterapi II Tahun 2016
Gagal Ginjal Kronik (GGK) A. Definisi Gagal Ginjal Kronik Penyakit kronis progresif yang ditandai dengan penurunan fungsi dan kinerja nefron secara terus-menerus (terjadi selama beberapa tahun). Definisi Gagal Ginjal Kronik menurut NKF-K/DOQI adalah 1. Kerusakan ginjal selama > 3 bulan . yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu manifestasi yaitu:
Kelainan patologi, atau
Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urine, atau kelainan radiologi.
2. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 > 3 bulan dangan atau tanpa kerusakan ginjal. B. Stadium Gagal Ginjal Kronik Stadium
Deskripsi
GFR ml/men/1,73m2
1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal
>90
atau meningkat 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan
60 – 68
GFR ringan 3
Penurunan GFR sedang
30 – 59
4
Penurunan GFR berat
15 – 29
5
Gagal ginjal