Laporan Kasus KNF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii BAB I LAPORAN KASUS ......................................................................... II.1 Identitas Pasien ........................................................................................ II.2 Anamnesis .............................................................................................. II.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... II.4 Diagnosis Kerja ...................................................................................... II.5 Usul Diagnosis ....................................................................................... II.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... II.7 Prognosis ................................................................................................



2 2 2 4 9 9 10 12



BAB III TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... III.1 Anatomi dan Histologi Faring ............................................................... III.2 Karsinoma Nasofaring ........................................................................... II.2.1 Definisi dan Epidemiolgoi ........................................................ II.2.2 Epidemiologi ............................................................................ II.2.3 Klasifikasi ................................................................................. II.2.5 Patofisiologi .............................................................................. II.2.6 Manifestasi Klinis..................................................................... II.2.7 Diagnosis .................................................................................. II.2.8 Tatalaksana ............................................................................... II.2.9 Komplikasi ............................................................................... II.2.10 Prognosis ................................................................................



13 13 18 18 18 19 22 25 27 32 41 42



BAB PEMBAHASAN ................................................................................. 13



DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 45



1



BAB I LAPORAN KASUS I.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Ny. N



Usia



: 33 Tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



TL



: 31 Desember 1986



Alamat



: Jenggawur, Banjarnegara.



Suku



: Jawa



Pendidikan



: SD



Pekerjaan



: Ibu rumah tangga



Agama



: Islam



Status



: Menikah



Pembayaran



: BPJS PBI



Tanggal Masuk



: 20 Januari 2020



Tanggal Periksa



: 20 Januari 2020



Ruang Rawat



: Bangsal Teratai



No RM



: 02-07-33-xx



II.2 ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis langsung kepada pasien pada tanggal 20 Januari 2020 pukul 16:35 WIB di Bangsal Teratai, RS Margono Soekarjo, Purwokerto.



Keluhan Utama: Pasien mengeluhkan benjolan di leher kiri bawah sejak 1 tahun yang lalu.



Riwayat Penyakit Sekarang :



2



Pasien G2P1A0 usia kehamilan 24 minggu datang ke Poli THT Onkologi



tanggal



19/01/2020



untuk



dijadwalkan



trakeostomi



(21/01/2020). Saat ini pasien mengeluhkan sesak napas dan batuk sejak 1 bulan yang lalu. Benjolan di leher kiri dirasa semakin membesar sehingga pasien merasakan sesak napas. Pasien juga merasakan perubahan suara berubah menjadi serak dan bindeng sejak 1 tahun yang lalu. Saat ini pasien Selain itu pasien juga merasakan keluhan keluar cairan berwarna bening encer namun hidung pasien tidak tersumbat. Telinga kiri pasien dirasakan penuh dan bergemuruh tanpa disertai penurunan pendengaran sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan pusing berputar juga dirasakan hilang timbul oleh pasien, dengan penglihatan berbayang di kedua lapang pandang mata. Nyeri menelan disangkal, pasien masih dapat makan makanan lunak seperti bubur, sedangkan untuk makanan keras pasien tidak dapat menelan nya. Pasien sudah pernah kemoterapi 1 x (30/11/2018) setelah berobat ke poli THT namun berhenti, karena pasien sedang berencana hamil dan akhirnya dirujuk untuk trakeostomi. Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat Operasi Sebelumnya



:disangkal.



b. Riwayat Diabetes Mellitus



: disangkal



c. Riwayat Hipertensi d. Riwayat Stroke



: disangkal. : disangkal.



e. Riwayat Asma



: disangkal



f. Riwayat Alergi



: disangkal



Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat Keluhan Serupa



: disangkal



b. Riwayat Penyakit Keganasan



: disangkal



c. Riwayat Diabetes Mellitus



: disangkal



d. Riwayat Hipertensi



: disangkal.



e. Riwayat Penyakit Kronis lainya : disangkal



Riwayat Pengobatan



3



Riwayat kemoterapi 1x (30/11/2018)



Riwayat Individu dan Sosial Riwayat merokok disangkal, pasien juga menyangkal adanya perokok pada lingkungan tempat tinggal pasien. Riwayat konsumsi alkohol disangkal dan riwayat konsumsi obat-obatan juga disangkal. II.3 PEMERIKSAAN FISIK a. Keadaan umum : baik, tampak sakit sedang. b. Kesadaran



: compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)



c. Vital Signs Tekanan Darah



: 120/80 mmHg



Nadi



:108 x/menit



Laju Pernapasan :20 x/menit Suhu



: 36,5°C



SpO2



: 97%



d. Status Gizi BB



: 68 kg



TB



: 143 cm



BMI



: (Obese I)



e. Status Generalis  Kepala Bentuk mesochepal, simetris, alopesia (-), trismus (-)  Rambut Warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut  Mata Konjungtiva anemis (-/-), skera ikterik (-/-), palpebra edem (-/-), pupil refleks cahaya (+/+), pupil bulat isokor dengan diameter 3/3 mm.  Telinga Othorrea (-/-), deformitas (-/-), discharge darah (-/-)  Hidung Napas cuping hidung (-/-), discharge darah (-/-), rhinorrhea (-/-) 4



 Mulut Bibir sianosis (-/-), bibir kering (-/-), atrofi papil lidah (-/-), faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1.  Limfonodi: Pembesaran limfonodi axial dan inguinal tidak ada.  Thorax a. Pulmo 



Inspeksi Normochest, pergerakan simetris, ketinggalan gerak (-), tampak retraksi interkostalis dan supracostalis (+), jejas (-)







Palpasi Vokal fermitus paru kanan equal dengan paru kiri, krepitasi (-)







Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru,







Auskultasi Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)



b. Cor 



Inspeksi



:Iktus kordis tidak nampak, tidak ada jejas







Palpasi



:Iktus kordis teraba pulsasi, kuat angkat (+)







Perkusi



: Batas jantung kanan atas



: SIC II LPSD



Batas jantung kiri atas



: SIC III LPSD



Batas jantung kanan bawah



:SIC III LPSD



Batas jantung kiri bawah



: SIC V LMCS







Auskultasi



: BJ SI dan SII regular, murmur (-)



 Abdomen How to describe a pregnant woman? Supel, jejas (-), BU (+) normal 10x/menit, hepatomegali (-), shifting dullness (-)  Ekstremitas Tidak ditemukan edema, akral hangat, CRT (capillary refill time) < 2 detik. f. Status Lokalis



5



Pemeriksaan Telinga



1.



Pemeriksaan Telinga Tragus



Nyeri tekan (-), edema (-)



2.



Daun telinga



Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas



No.



Telinga kanan



Telinga kiri Nyeri tekan (-), edema (-)



normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri tarik aurikula (-) 3.



Liang telinga



tarik aurikula (-)



Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-), furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea (-)



4.



Membran timpani



(-)



Retraksi



(-),



bulging



(-), Retraksi



(-),



bulging



(-),



hiperemi



(-),



edema



(-), hiperemi



(-),



edema



(-),



perforasi (-), cone of light (+)



perforasi (-),cone of light (+)



6



Pemeriksaan Hidung



Pemeriksaan Hidung Hidung luar



Hidung kanan



Hidung kiri



Bentuk (normal), hiperemi (-),



Bentuk (normal), hiperemi (-),



nyeri tekan (-), deformitas (-)



nyeri tekan (-), deformitas (-)



Vestibulum nasi



Normal, ulkus (-)



Normal, ulkus (-)



Cavum nasi



Bentuk (normal), mukosa pucat



Bentuk (normal), mukosa pucat



(-), hiperemia (-)



(-), hiperemia (-)



Mukosa basah, sekret (-), massa



Mukosa basah, sekret (-), massa



berwarna putih mengkilat (-).



berwara putih mengkilat (-).



Konka nasi inferior



Edema (+), mukosa hiperemi (-)



Edema (+), mukosa hiperemi (-)



Septum nasi



Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus



Rinoskopi anterior



Meatus nasi media



(-)



(-)



7



Pemeriksaan Tenggorokan Bibir



Mukosa bibir basah, berwarna pucat



Mulut



Mukosa mulut basah berwarna merah muda



Lidah



Permukaan lidah kotor (-), tidak ada deviasi lidah



Uvula



1/3 superior uvula, bagian 2/3 uvula tidak dapat dinilai



Faring



Tidak dapat dinilai, tertutup massa bewarna merah muda.



Tonsila palatine



Tidak dapat dinilai, tertutup massa berwarna merah muda.



Fossa



Tidak dapat dinilai, tertutup massa berwarna merah muda.



Tonsillaris Arcus Faringeus Tidak dapat dinilai, tertutup massa berwarna merah muda.



Pemeriksaan Wajah -



Gerakan wajah simetris



-



Sudut bibir tertarik simetris kanan dan kiri



Pemeriksaan Mata: -



Gerak bola mata baik ke segala arah ODS



-



Konfergensi ODS baik



-



Tidak terdapat diplopia binokuler pada gerak bola mata ke seluruh arah atau saat



Pemeriksaan Leher Ditemukan massa pada colli dextra-sinistra, dengan karakteristik: Ukuran: dextra ± 5 x 4 cm; sinistra: ± 5 x 4 cm Batas: tegas Mobilisasi: immobile terhadap jaringan di bawah dan sekitarnya Permukaan: licin, tidak rata Nyeri tekan: + Keterbatasan gerak leher: -



8



II.4 DIAGNOSIS KERJA -



Tumor Nasofaring



II.5 USUL DIAGNOSIS 1. Biopsi nasofaring 2. CT Scan/ MRI 3. USG Abdomen 4. Pemeriksaan rontgen thorax AP/Lateral 5. Bone Survey 6. Pemeriksaan laboratorium darah (darah perifer lengkap, elektrolit, gula darah sewaktu, ureum, kreatinin, hemostasis, profil lipid)



9



II.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Hasil Pemeriksaan Lab di RS Margono Soekarjo 15 Januari 2020 Pukul 12:12 WIB Pemeriksaan



Hasil



HEMATOLOGI Hemoglobin Hematokrit Eritrosit Leukosit Trombosit ELEKTROLIT Natrium (Na) Darah Kalium (K) Darah Klorida (Cl) Darah KIMIA KLINIK GDS Ur/Cr HEMOSTASIS APTT PT



Nilai Rujukan



13.0 g/dL 38 % 4.39 x 106/µL 9.60 x 103 252 x 103/µL



13.0 – 16.0 40.0 – 48.0 4.50 – 5.50 5.00 – 10.00 150 – 400



138 mEq/L 4.00 mEq/L 109.0 mEq/L



135 – 145 3.50 – 5.00 98.0 – 107.0



143 mg/dL 19/0.7 mg/dL



70 – 200 19-44/0.6-1.2



36.4 / 34.6 detik 9.6 / 10.5 detik



31.0 – 47.0 9.8 – 11.2



II.7 DIAGNOSIS Tumor Nasofaring II.8 USUL PLANNING 1) O2 nasal canul 3-4 lpm 2) IVFD RL 20 tpm 3) Konsul Spesialis THT 4) Konsul Speliasis Obsgyn untuk kehamilan. II.9 PROGNOSIS Ad Vitam



: ad malam



Ad Fungsionam



: ad malam



Ad Sanationam



: ad malam



10



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi dan Histologi Faring Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya sepert corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. (THT UI, Ed. 6 hal. 212) Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan, berfungsi sebagai saluran bersama untuk sistem pencernaan (dengan berfungsi sebagai penghubung antara mulut dan esofagus, untuk makanan) dan sistem pernapasan (dengan memberi akses antara saluran hidung dengan trakea, untuk udara). (Fisiologi Sherwood, Ed.8 hal. 630)



Persarafan -



Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring, dan serabut simpatis.



-



Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.



-



Dari pleksus faring ini keluar cabang-cabang untuk otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX)



11



Pendarahan Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.



Nasofaring Batas nasofaring a. Bagian atas : dasar tengkorak b. Bagian bawah : palatum mole c. Bagian depan : rongga hidung d. -



Bagian belakang : vertebra servikal Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan struktur penting, spt adenoid, jar. limfoid, kantong Rathke, torus tubarius, koana, foramen jugulare (dilalui n.glosofaring, n.vagus dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna), bag. Petrosus os temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba eustachius. (THT UI ed. 6, hal 214)



Nasofaring adalah ruang sempit berukuran 1,5 inci yang terletak di belakang rongga hidung yang fungsinya mengantarkan udara dari hidung ke



12



tenggorokan. Batas anterior nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Batas posterior dibentuk oleh basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal pertama. Batas lateral adalah orifisium tuba Eustachius yang sisi superior posteriornya berupa torus tubarius. Pada bagian atas dan belakang torus tubarius terdapat cekungan yang disebut sebagai fossa Rosenmuller seperti disajikan pada Gambar 3.1 (Kahathuduwa, 2016). Inervasi sensorik nasofaring berasal dari nervus faringeal sedangkan saraf motorik berasal dari nervus vagus cabang faringeal dan cabang laringeal superior kecuali otot stilofaringeus yang mendapatkan inervasi dari nervus glosofaringeus. Pendarahan nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksterna yang meliputi arteri faringeal asenden, arteri palatina asenden, dan arteri kanalis pterigoideus. Peredaran darah balik nasofaring berakhir di vena jugularis interna. Sistem limfatik nasofaring memiliki 3 jalur yakni langsung menuju nodus servikal superior, bagian posteroinferior ke nodus retrofaringeal, dan lateral ke mastoid dan nodus spinal asesorius (Roezin dan Adham, 2007; Kahathuduwa, 2016).



Sumber:



Gambar 3.1 Anatomi Nasofaring Secara histologi, lapisan mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorius kolumnar bersilia dengan sel goblet pada koana bagian posterior dan epitel skuamous berlapis pada dinding anterior, posterior, dan lateral. Lapisan Lapisan submukosa mengandung kelenjar tubuloalveolar jenis seromusinus. Stromanya berupa jaringan ikat fibrous yang mengandung jaringan limfoid (Roezin dan Adham, 2007; Mills, 2010).



13



II.2 Karsinoma Nasofaring II.2.1 Definisi dan Epidemiologi Tumor ganas yang berasdal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuler) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta bermetastasis ke kelenjar limfe leher Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit.



II.2.2 Definisi dan Epidemiologi Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid, namun demikian daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guang-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras mongooid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehinggan kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selaran, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sebagian besar kasus KNF di Cina terjadi pada dekade kelima dan keenam. Hal ini kontras dengan di Afrika Utara dimana insidensi KNF bersifat bimodal, terjadi pada 2 rentang umur yakni sekitar umur 50 tahun dan antara umur 10-25 tahun. Demikian pula distribusi KNF di Amerika Utara dan wilayah Mediterania dimana terjadi pada umur 10-20 tahun dan 40-60 tahun. Berbeda dengan di Indonesia insidensi KNF biasa berawal saat remaja hingga sebelum umur 45 tahun. Secara epidemiologi KNF menjadi suatu hal yang menarik karena



14



adanya peranan faktor geografi, ras, genetik, sosial, dan lingkungan dalam distribusi kasus KNF (Adham dkk., 2012). Karsinoma nasofaring di Indonesia menduduki peringkat keempat kanker tersering setelah kanker serviks, kanker payudara, dan kanker kulit (Adham dkk., 2012). Secara keseluruhan insidensi KNF di Indonesia sebesar 5,66 kasus/100.000 penduduk setara dengan 1.000 kasus baru setiap bulannya sehingga menjadi suatu problematika kesehatan utama di Indonesia. Berdasarkan wilayah, insidensi KNF di Indonesia tertinggi di Malang diikuti Denpasar, Surabaya, dan Bandung (Adham dkk., 2012). Merupakan tumor ganas kepala dan leher yang menempati urutan pertama, Hampir 90% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring (Boeis hal 430).



II.2.3 Etiologi dan Faktor Predispoisisi Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 & Wolden, 2001). 1. Genetik Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang dengan kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring sebagai bukti adanya kerentanan genetic adalah banyaknya KNF yang diderita oleh Ras mongoloid (Chinese), hipotesis ini didukung karena tingginya kejadian KNF pada etnis Cina yang berpindah/menetap sampai bebrapa generasi dinegara lain. 2. Lingkungan Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang mengandung volatile nitrosamine (misalnya ikan asin makanan yg diawetkan dengan garam, atau dikeringkan dengan pengasapan), paparan formaldehide, akumulasi debu kapas, asam, caustic, proses pewarnaan kain, merokok (penelitian di Malaysia menunjukkan adanya hubungan antara merokok dengan kejadian KNF), nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum nasi meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring. 3. Virus Ebstein-Barr



15



Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk penyakit. Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat. Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu, 2010) Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau



16



dapat terjadi perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal. Berbeda halnya dengan jenis karsinoma kepala dan leher lain, Karsinoma Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus EpsteinBarr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok.



II.2.4 Klasifikasi Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan biopsi histopatologi. Klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 1978 mengelompokkan KNF menjadi 3 kategori yakni: 1) Keratinizing Squamous Cell Carcinoma; 2) Nonkeratinizing Carcinoma; 3) Undifferentiated Carcinoma (Tulalamba dan Janvilisri, 2012), sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi KNF menjadi 2 kategori yaitu Keratinizing Squamous Cell Carcinoma dan Nonkeratinizing Carcinoma. Tipe kedua dibagi menjadi differentiated dan undifferentiated



17



carcinoma. Klasifikasi ini lebih dapat diaplikasikan untuk studi epidemiologi dan memiliki nilai prognostik (Tabuchi dkk., 2011). Undifferentiated carcinoma memiliki insidensi metastasis jauh yang lebih tinggi dibandingkan tipe differentiated carcinoma. Klasifikasi WHO tahun 2005 tetap menggunakan terminologi ini dengan penambahan satu kategori yakni Basaloid Squamous Cell Carcinoma. Sedangkan klasifikasi WHO terbaru tahun 2017 membagi KNF menjadi: 1) Keratinizing Squamous Cell Carcinoma; 2) Nonkeratinizing Squamous Cell Carcinoma; 3) Basaloid Squamous Cell Carcinoma (Rosai, 2011; Kumar, 2015; Petersson, 2017).



II.2.4 Patogenesis Molekular Saat ini patogenesis molekular KNF secara pasti belum diketahui, beberapa studi dilakukan untuk memahami jalur patogenesis KNF dengan tujuan untuk mendapatkan penanda diagnostik dan prognostik baru yang akan memperbaiki harapan hidup pasien KNF (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Studi yang dilakukan oleh Tulalamba dan Janvilisri (2012) berusaha mendeskripsikan patogenesis molekular KNF melalui beberapa jalur yakni (Tulalamba dan Janvilisri, 2012)



II.2.3.1 Jalur Sinyal Wnt Jalur sinyal Wnt adalah jalur protein yang berpartisipasi dalam proses perkembangan embrional dan homeostasis jaringan dewasa. Disregulasi jalur sinyal Wnt ditemukan pada berbagai jenis kanker seperti kanker paru, kanker kolorektal, leukemia, dan kanker pada kepala dan leher (Chou dkk., 2008; Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Pada KNF terjadi akumulasi β-catenin intranuklear yang mampu untuk berinteraksi dengan faktor transkripsi dan meningkatkan ekspresi gen yang mana terlibat dalam perkembangan kanker. Lebih jauh β-catenin juga berinteraksi dengan protein lain yang berkaitan dengan karsinogenesis



KNF



seperti



interleukin-8 (IL-8)



yang berperan



dalam



angiogenesis, tumor suppressor RAS association family 1A (RASSF1A) yang berperan dalam transformasi sel KNF, dan E-cadherin (Chou dkk., 2008; Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Selain terjadi akumulasi β-catenin, pada KNF



18



juga terjadi overekspresi cyclin D1 yang bertanggungjawab terhadap progresivitas KNF (Chou dkk., 2008; Tulalamba dan Janvilisri, 2012).



II.2.3.2 Jalur Sinyal PI3K-Akt Phosphoinositide 3-kinases (PI3K) adalah kelompok enzim yang terlibat dalam fungsi selular seperti pertumbuhan sel, proliferasi, diferensiasi, motilitas, kelangsungan hidup, dan lalu lintas intraselular. Hiperaktivitas jalur sinyal PI3K berperan dalam perkembangan KNF (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Perubahan gen PI3K pada tingkat genomik seperti mutasi dan amplifikasi gen didapatkan berhubungan erat dengan metastasis jauh, keterlibatan KGB, stadium tumor, dan prognosis buruk (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Selain hiperaktivitas PI3K terjadi juga penurunan regulasi phosphatase and tensin homolog protein (PTEN) yang biasa ditemukan pada KNF stadium lanjut (Tulalamba dan Janvilisri, 2012).



II.2.3.3 Jalur Sinyal Mitogen-Activated Protein Kinase (MAPK) Jalur sinyal MAPK adalah rantai protein yang menghubungkan sinyal dari reseptor permukaan sel dengan nukleus melalui fosforilasi berbagai faktor transkripsi. Contoh MAPK adalah c-Jun N-terminal kinase (JNK) dan extracellular signal-related kinase (ERK) (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). c-Jun N-terminal kinase (JNK) adalah protein kinase yang diaktifkan oleh stres yang terlibat dalam kelangsungan hidup sel dan kematian sel. Sedangkan ERK pada KNF berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan sel dimana tingginya ekspresi berkaitan dengan menurunnya kelangsungan hidup dan meningkatnya progresivitas pasien KNF (Tulalamba dan Janvilisri, 2012).



II.2.3.4 Jalur Epidermal Growth Factor Receptors (EGFR) Epidermal growth factor receptors (EGFR) adalah anggota reseptor tirosin kinase yang peningkatannya berkaitan dengan proliferasi sel iregular. Seperti halnya kanker kepala dan leher lain, overekspresi EGFR juga banyak ditemukan pada KNF bahkan dilaporkan sebanyak 80% pada biopsi KNF primer dan berkaitan dengan metastasis, rekurensi, dan prognosis buruk pada pasien KNF.



19



Overekspresi EGFR biasa ditemukan pada pasien KNF stadium lanjut (Tulalamba dan Janvilisri, 2012; Liu dkk., 2015).



II.2.3.5 Jalur Apoptosis Disregulasi



apoptosis



secara



signifikan



berhubungan



dengan



perkembangan berbagai jenis kanker termasuk diantaranya KNF. Overekspresi Bcell lymphoma 2 (BCL-2) berkaitan erat dengan keterlibatan KGB, metastasis, rekurensi, dan rendahnya harapan hidup pasien KNF (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Infeksi VEB menyandi latent membrane protein 1 (LMP1) yang mengaktivasi nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NFκB) melalui ikatan dengan tumor necrosis factor receptor-associated factors (TRAFs). Overekspresi NF-κB mengaktivasi komponen jalur proliferasi diantaranya protein p53 yang berfungsi menurunkan aktivitas kinase cell division cycle 2/cyclin B (CDC2/cyclin B) (Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Survivin sebagai anggota inhibitor apoptosis baik protein maupun mRNA ditemukan dalam persentase tinggi pada KNF khususnya pada KNF stadium lanjut. Ekspresi survivin dan translokasi inti distimulasi oleh infeksi VEB melalui mekanisme yang dimediasi LMP1. Overekspresi survivin berkaitan dengan prognosis buruk (Chou dkk., 2008; Tulalamba dan Janvilisri, 2012). Hal ini juga didukung oleh Bruce dkk. (2015) yang tergabung dalam American Society of Clinical Oncology yang menyatakan bahwa VEB yang menyandi LMP1/LMP2A yang mengaktivasi AKT (protein kinase B) mencegah terjadinya transkripsi beberapa gen proapoptosis seperti BCL-6 dan TNF-α serta memungkinkan BCL-2 menghambat apoptosis. LMP1 dapat secara direk maupun indirek meregulasi BCL-2 melalui NF-κB. Aktivasi LMP1 juga mengakibatkan translokasi telomerase, mengaktivasi jalur MAPK, dan meregulasi survivin melalui p53. Selain itu metilasi dan penurunan regulasi mikro RNA 218 (miR-218) pada KNF dapat memicu regulasi survivin. Gambaran patogenesis molecular KNF disajikan pada Gambar 2.3 (Bruce dkk., 2015). Studi lain yang dilakukan Poh dkk. (2016) juga mengidentifikasi peranan VEB dalam patogenesis KNF meliputi: 1) peningkatan titer antibodi virus mendahului perkembangan neoplasma; 2) keberadaan genom viral pada sel



20



neoplastik tetapi tidak pada sel non neoplastik yang menempel; 3) klonalitas genom viral pada tumor; dan 4) ekspresi gen viral pada sel neoplastik (Poh dkk., 2016).



Gambar 2.3. Patogenesis Molekular Karsinoma Nasofaring (KNF) Gambaran patogenesis molekular KNF. Aktivasi AKT oleh LMP1/LMP2A yang menyandi VEB mencegah transkripsi beberapa gen proapoptosis seperti BCL-6 dan TNF-α related apoptosis inducing ligand serta memungkinkan BCL-2 menghambat apoptosis. LMP1 dapat secara direk atau indirek mengatur BCL-2, mungkin melalui nuclear factor B (NF-κB). Aktivasi LMP1 juga mengakibatkan translokasi telomerase dan aktivasi jalur MAPK. LMP1 juga dapat meregulasi survivin (melalui p53), yang berfungsi untuk menghambat caspase dan meregulasi mitosis. Lebih jauh lagi, metilasi yang menyimpang dan beberapa penurunan regulasi dari miR-218 pada KNF dapat menyebabkan peningkatan regulasi survivin (Bruce dkk., 2015).



II.2.5 Manifestasi Klinis Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis,



21



atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih berada dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007) Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustasius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring (Adham, 2007) Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007) Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007). Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).



II.2.6 Diagnosis Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. II.2.6.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik



22



Sebagian besar pasien datang ke fasilitas kesehatan dengan stadium lanjut. Stadium awal KNF sulit didiagnosis secara klinis karena lokasinya yang tersembunyi pada nasofaring dan karena gejala awalnya menyerupai infeksi saluran pernafasan atas. Wei dan Sham membagi gejala KNF ke dalam 4 kategori yakni: 1) gejala yang berkaitan dengan adanya massa pada nasofaring (epistaksis, obstruksi nasal, dan sekret); 2) gejala yang berkaitan dengan disfungsi tuba Eustachius (gangguan pendengaran, nyeri telinga, telinga berdenging); 3) gejala yang berkaitan dengan ekstensi tumor ke superior (nyeri kepala, diplopia, nyeri wajah, dan mati rasa); dan 4) limfadenopati servikal (Tabuchi dkk., 2011; Adham dkk., 2012). Pemeriksaan fisik teraba pembesaran kelenjar getah bening leher bilateral, tidak nyeri. Nasofaringoskopi tampak massa pada nasofaring tersering pada fossa Rosenmuller atau asimetri pada atap nasofaring seperti disajikan pada Gambar 2.4 (Wang dkk., 2011). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah (fungsi hati, kadar fosfatase alkali, asam urat, creatinine clearance). Pemeriksaan IgA dan IgG VEB antibodi untuk antigen viral kapsid, antigen awal dan antigen inti. Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan lokasi massa dengan tepat, melihat perluasan massa, dan menilai apakah ada metastasis (Chan dkk., 2012).



Sumber: Wang dkk., 2011



Gambar 2.4. Nasofaringoskopi Menunjukkan Adanya Massa pada Atap Nasofaring



II.2.6.2 Pemeriksaan Pencitraan Radiologi



23



Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitar. 



Foto Polos Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas dengan foto polos pada umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau



penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan



terdeteksi melalui foto polos. Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001) o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak o Posisi basis cranii atau submentoforteks o Tomogram lateral daerah nasofaring o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring 



CT-Scan (Computed Tomography Scanning) Pemeriksaan computed tomography scanning atau CT-scan kepala dan leher digunakan untuk melihat perluasan tumor, erosi dasar tengkorak, dan limfadenopati servikal sedangkan CT scan dada untuk melihat metastasis jauh. Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring. CT Scan mampu membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial (Wolden, 2001).







MRI (Magnetic Resonance Imaging) American Joint Committee on Cancer (AJCC) merekomendasikan magnetic resonance imaging (MRI) sebagai pilihan pemeriksaan karena kemampuannya untuk melukiskan struktur anatomi nasofaring, kontras



yang



lebih



superior,



melihat



perluasan



tumor,



dan



24



membedakan tumor primer dan metastasis nodus retrofaringeal. Stadium lanjut diperlukan pemeriksaan radiologi tambahan seperti bone scintigraphy untuk melihat metastasis tulang, radiologi toraks konvensional untuk melihat metastasis tulang, dan positron emission tomography (PET)-CT imaging (PET/CT) untuk menilai metastasis kelenjar getah bening/KGB dan skrining untuk menilai rekurensi (Goh dan Lim, 2009; King dan Bhatia, 2010; King dkk., 2011). 



Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA dengan teknik ELISA. Antibodi IgA anti EA (early antigen) selamanya berada diserum penderita KNF hanya titernya yang berubah sesuai dengan progresivisitas penyakitnya. Antibodi ini kurang sensitive untuk deteksi dini KNF dibandingkan dengan IgA anti VCA sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Meningkatknya antibody IgA anti VCA dapat mendeteksi KNF 2-3 tahun sebelum gejala klinis sehingga sensitive untuk diagnosis dini KNF. Titer antibody ini akan meningkat sering dengan perjalana penyakit



II.2.6.3 Biopsi Nasofaring Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut: 



Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.







Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui



25



kaca tersebut. Tumor akan terlihat lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret di daerah lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)



Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu: 1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe diferensiasi baik, sedang, dan buruk. 2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada umumnya batas sel cukup jelas. 3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi. Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun 1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu: 1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi 2. Karsinoma non-keratinisasi Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi (WHO, 2005).



II.2.6.3 Pemeriksaan Histopatologi A. Gambaran Makroskopis Makroskopis tumor mungkin sangat sulit dideteksi mengingat lokasinya di dinding lateral atau atap nasofaring. Biopsi random daerah nasofaring khususnya fossa Rosenmuller harus dilakukan bila ada kecurigaan KNF. Biasanya massa tampak sebagai nodul kecil pada mukosa nasofaring dengan atau tanpa disertai ulserasi. Kadang terlihat



26



perluasan ke jaringan sekitar. Lebih dari 50% pasien datang dengan metastasis KGB servikal (Rosai, 2011; Franchi, 2016; Petersson, 2017).



B. Gambaran Mikroskopis Keratinizing squamous cell carcinoma menunjukkan diferensiasi skuamous yang jelas dengan gambaran intercellular bridges dan gambaran keratinisasi dapat dilihat pada Gambar 2.5. Nonkeratinizing squamous cell carcinoma tidak memiliki gambaran keratin, arsitekturnya beragam dapat berupa sarang solid, pulau iregular, trabekula, ataupun tersusun diskohesif. Tipe differentiated memiliki gambaran sel berbatas tegas membentuk pola ‘‘pavement stone’’ dengan sitoplasma eosinofilik dan inti yang bervariasi.



Sumber: Rosai, 2011



Gambar 2.5 Karsinoma nasofaring tipe keratinizing squamous cell carcinoma disertai gambaran intercellular bridges dan keratinisasi Tipe undifferentiated tersusun oleh sel-sel bulat monoton dengan batas sel tidak jelas, kromatin inti vesikular dengan anak inti menonjol membentuk pola syncytial. Kadang dapat ditemukan sel berbentuk spindel dengan inti hiperkromatik. Tipe ini memiliki 2 pola pertumbuhan yakni pola Regaud dapat dilihat pada Gambar 2.6 dimana sel-sel neoplastik membentuk sarang-sarang sel berbatas tegas dikelilingi jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfoid.



27



Sumber: Rosai, 2011



Gambar 2.6 Undifferentiated nonkeratizing squamous cell carcinoma nasofaring tipe Regaud dimana sel-sel neoplastic membentuk sarangsarang sel berbatas tegas dikelilingi jaringan ikat fibrous dan sel limfoid Pola pertumbuhan kedua adalah pola Schmincke dapat dilihat pada Gambar 2.7 dimana sel-sel neoplastik tersusun difus dan bercampur dengan sel-sel radang limfosit dan plasma yang tampak pada Gambar 2.8. Pola ini seringkali sulit dibedakan dengan limfoma khususnya large cell malignant



lymphoma.



Karakteristik



inti



KNF



biasanya



besar,



kromatinvesikular dengan anak inti eosinofilik sedangkan inti limfoma lebih bervariasi, kromatin kasar dengan anak inti kecil basofilik. Pada KNF dapat ditemukan gambaran globul amiloid. Diagnosis KNF dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan imunohistokimia p63 dan cytokeratin, khususnya high molecular weight keratin (Rosai, 2011; Franchi, 2016; Petersson, 2017).



Sumber: Rosai, 2011



Gambar 2.7 Undifferentiated non keratizing squamous cell carcinoma nasofaring tipe Schmincke dimana sel-sel neoplastic tersusun difus



28



Sumber: Franchi, 2016



Gambar 2.8 Karsinoma nasofaring (panah kuning) dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, dan histiosit (panah biru) II.2.7 Staging Sistem staging KNF berdasarkan sistem TNM dari Union for International Cancer Control (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC) berdasarkan tumor primer (T), keterlibatan kelenjar getah bening regional (N), dan metastasis jauh (M) dimana dibedakan menjadi stadium dini (stadium I-II) dan stadium lanjut (stadium III-IV). Kriteria stadium KNF berdasarkan UICC dan AJCC dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Chan, dkk., 2012; Peng, dkk., 2013).



Tabel 2.2 Kriteria Penetuan Stadium Karsinoma Nasofaring Berdasarkan UICC dan AJCC Tumor Primer (T) Tumor terbatas pada nasofaring atau meluas ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa ekstensi parafaringeal Tumor dengan ekstensi parafaringeal T2 Tumor melibatkan struktur tulang tengkorak dan/atau sinus T3 paranasal Tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau melibatkan nervus T4 kranial, hipofaring, orbita, atau dengan ekstensi ke fossa infratemporal atau ruang masticator Kelenjar Getah Bening Regional (N) T1



N0 N1



Tidak terdapat metastasis KGB regional Terdapat metastasis KGB sevikal unilateral, diameter terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral,



29



KGB retrofaringeal, diameter terbesar ≤6 cm Terdapat metastasis KGB servikal bilateral, diameter terbesar ≤6 N2 cm, diatas fossa supraklavikular Terdapat metastasis KGB, diameter > 6 cm dan/atau diatas fossa N3 supraklavikular N3a  diameter > 6 cm N3b  ekstensi ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M) Tidak ada metastasis jauh Terdapat metastasis jauh STADIUM Stadium 0 Tis, N0, dan M0 Stadium I T1, N0, dan M0 Stadium II T1, N1, dan M0; atau T2, N0/N1, dan M0 Stadium T1/T2, N2, dan M0; atau T3, N0/N1/N2, dan M0 III Stadium IVA  T4, N0/N1/N2, dan M0 IV B  T1/T2/T3/T4, N3, dan M0 IV IV C  T1/T2/T3/T4, N0/N1/N2/N3, dan M1 M0 M1



II.2.8 Tatalaksana Tatalaksana Terapi pengobatan untuk kegananasan kepala dan leher terdiri dari: 1. Terapi radiasi Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada kasus inii. Sinar yang digunakan adalah sinar-x dan sinar gama, tergantung pada lesi yang ingin dihilangkan, lesi-lesi superfisial seperti karsinoma kulit sangat baik diobati dengan sinar-x voltase rendah. Lesi yang lebih dalam seperti pada lidah atau kelenjar getah bening membutuhkan penetrasi yang lebih besar, seperti yang diberikan oleh sinar cobalt atau electron. Komplikasi: Komplikasi yang dihubungkan dengan pemberian terapi radiasi dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan kompliasi lanjut. Komplikasi dini adalah sebagai berikut -



Mukositis dengan disertai rasa tidak enak pada faring



30



-



Hilangnya nafsu makan



-



Nausea



-



Membran mukosa kering



-



Efek pada jaringan yang normal



-



Gangguan hematopoetik (jarang terjadi pada pengobatan keganansan kepala dan leher)



-



Mielitis transversa (jarang) Komplikasi lambat terdiri dari rongga mulut yang kering dan efek radiasi pada tulang yang mendasarinya. Uuntuk itu, penderita yang akan mendapat radiasi khusunya daerah mandibular sebaiknya diperiksa gigi secara lenkap, semua gigi yang diragukan ketahanannya sebaiknya dicabut dan luka harus sembuh sebelum dimulainya terapi radiasi. Pengobatan fluoride dan hygiene mulut yang cermat dapat mencegah komplikasi osteomieliti



2. Pembedahan Tujuan dari pengobatan pembedahan adalah reseksi total pada kanker dengan batas tepi jaringan normal sedikitnya 2 cm, pembedahan ini biasanya disertai dengan limfenektomi servikal (pembedahan leher radikal). Reseksi tumor primer dengan pembedahan leher ini seringkali menimbulkan cacat jaringan lunak yang besar sehingga diperlukan flap setempat yang terdiri dari flap miokutaneus pektoralis major, flap dahi, flap lidah setempat, flap kulit servikal untuk memperbaiki cacat yang terjadi. Pada karsinoma nasofaring metastasis servikal yang dapat dipalpasi tidak menunjukkan drainase kelenjar getah bening primer karena biasanya yang pertama kali terkena adalah kelenjar getah bening retrofiring oleh kaena itu pembedahan jarang dilakukan, pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan leher radikal jika lesi primer dan kelenjar getah bening telah disterilisasi tapi tetap terjadi metastasis servikal. Limfadenektomi servikal radikal atau pembedahan leher radikal adalah bagian intrinsic pembedahan kepala dan leher dan yang paling utama dilakukan pembedahan leher ini biasanya oleh beberapa factor:



31



-



KGB yan g secara klinik dapat dipalpasi diduga merupakan metastasis



-



Tumor primer pada daerah yang berhubungan dengan insidens tinggi dari metastasis leher secara mikroskopik tersamar



-



KGB servikal yang dapat dipalpasi diduga secara klinis sebagai keganasan pada leher kontralateral pada penderita dengan kegananasan primer kepala dan leher sebelumna. Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan dileher



yang



tidak



menghilang



pada



penyinaran



(residu)



atau



timbulkembali setelah penyinaran selesai dengna syarat tumor induknya sudah hilang yang buktikan dengan pemeriksaan radiologic dan serologi serta tidak dimukan metastasis jauh 3. Kemoterapi Tumor padat daerah kepala dan leher pada umumnya resisten terhadap bahan kemoterapeutik sekarang ini walaupun protocol percobaan dan penelitian menunjukkan angka respons awal terhadap regimen tertent. Untuk karsinoma sel skuamosa produk kemoterapi yang lebih sering digunakan termasuk metotreksat, 5FU (Fluoracil) dan Cisplatin obat2 ini kecuali MTX diberikan dengan infus intravena Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai kombinasi terbaik.



II.2.8 Komplikasi



II.2.9 Prognosis



32



DAFTAR PUSTAKA



Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC. Hal: 263-271 Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta: FKUI. Hal:182-187 Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger: Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal: 1020-1039 Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease; 2006, available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-11721-23.pdf Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-156 World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at: www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 19 December 2011.



33