Laporan Kasus Paraplegia  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I STATUS PASIEN I.



IDENTITAS PENDERITA



Nama



: Tn. B



Umur



: 48 tahun



Agama



: Islam



Status



: Belum Menikah



Alamat



: Sitiluhur 2/1 gembong, Pati, Jawa Tengah



Pekerjaan



: Petani



Dirawat di ruang



: Gading



Tanggal masuk RS



: 20 Febuari 2018



II.



ANAMNESIS



Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 21 Febuari 2018 di ruang Gading dan berdasarkan RM nomor 188949  Keluhan Utama: Tidak bisa bicara  Riwayat Penyakit Sekarang:  Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD RAA Soewondo Pati dengan keluhan tidak bisa bicara dan perot sejak pagi hari. Keluhan disertai kejang 1 x selama 5 menitkeluhan mual, muntah, sesak, nyeri dada, sakit kepala disangkal. Keluhan disertai kelemahan keempat anggota gerak. Pasien dapat diajak berkoordinasi tetapi tidak dapat berkata-kata. Kelemahan pada kedua tungkai pasien telah dialami sejak 1 tahun yang lalu. Kronologi terjadinya kelemahan tidak diketahui secara jelas oleh keluarga pasien karena pasien tidak tinggal serumah dengan narasumber. Sebelum timbul keluhan ini, pasien bergerak dengan cara merangkak selama 1 tahun, setelah timbul keluhan, pasien tidak dapat menggerakkan tungkainya. Selama dirawat di RS, keluarga pasien mengeluhkan bahwa pasien tidak bisa tidur, kesulitan menelan, dan tungkai kanan pasien yang terus terusan menghentak.



 Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, tidak diketahui. Riwayat trauma dan batuk lama disangkal. Pasien mengalami kelumpuhan kedua tungkai sejak 1 tahun yang lalu.  Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat hipertensi disangkal, diabetes mellitus dalam keluarga disangkal. Penyakit paru (tuberculosis) disangkal.  Riwayat kebiasaan: Pasien tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok. Sehari hari pasien bekerja sebagai petani sebelum mengalami kelumpuhan. Pasien makan makanan keluarga dalam jumlah yang normal.  Riwayat obat-obatan: Tidak ada, karena pasien tidak pernah mau untuk diperiksakan / memeriksakan diri ke tenaga kesehatan



III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 Febuari 2018, di Ruang Gading A. Status Generalis Keadaan Umum : tampak sakit sedang, lemas Tanda Vital -



Suhu Tubuh



: 36,6oC



-



Tekanan Darah



: 170/110 mmHg



-



Nadi



: 100x/menit, regular, isi cukup



-



Laju Napas



: 24 x/menit, regular



B. Status Internus -



Kepala/leher



: mesocephale, deformitas (-), bengkak (-) : pembesaran KGB -/: pembesaran kelenjar tiroid -/-



-



Mata



: Refleks cahaya langsung +/+, Refleks cahaya tak langsung+/+ : Konjungtiva anemis -/2



: Pupil isokor, 3mm/3mm -



Telinga/hidung



: deformitas (-), nyeri (-), sekret (-) septum nasi di tengah



-



Mulut/faring



: mukosa hiperemis (-) tonsil dan uvula sulit dinilai



-



Thorax o Paru Inspeksi



: bentuk dada normal dan simetris gerak napas tertinggal (-)



Palpasi



: taktile fremitus sama kuat, ekspansi dinding dada normal



Perkusi



: bunyi sonor pada semua lapang paru



Auskultasi



: vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-, hantaran +/+



o Jantung Inspeksi



: iktus kordis tidak terlihat



Palpasi



: iktus kordis teraba 1 jari, di MCLS, thrill (-)



-



Perkusi



: pekak, batas jantung normal



Auskultasi



: S1/S2 normal, murmur (-), gallop (-)



Abdomen o Inspeksi



: datar, bekas luka (-)



o Auskultasi : bising usus normal, bruits (-)



-



o Perkusi



: timpani



o Palpasi



: hepatomegali (-), splenomegali (-)



Ekstremitas



: akral hangat : deformitas (-), edema (-) di kedua tungkai bawah : CRT 135° / > 135°



3. Koordinasi dan Keseimbangan -



Tes stepping gait



: tidak dilakukan



-



Tes tunjuk hidung



: tidak dilakukan



-



Tes pastpointing test



: tidak dilakukan



-



Tes konfrontasi vertikal



: tidak dilakukan



-



Tes konfrontasi horizontal



: tidak dilakukan



-



Tes Romberg



: tidak dilakukan



4. Saraf Otonom - Miksi



: normal



- Defekasi



: normal



- Sekresi keringat



: normal



5. Nervi Cranialis Nervus Kranialis



Kanan



Kiri



N. I (Olfactorius) 4



Daya Penghidu



Sulit dinilai



Sulit dinilai



a. Visus



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



b. Lapang pandang



Baik



Baik



c. Fundus okuli



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



a. Ptosis



(-)



(-)



b. Gerak mata ke superior



(+)



(+)



c. Gerak mata ke inferior



(+)



(+)



d. Gerak mata media



(+)



(+)



e. Ukuran pupil



isokor, Ø 3 mm



isokor, Ø 3 mm



f. Bentuk pupil



Bulat, reguler



Bulat, reguler



g. Refleks cahaya langsung



(+)



(+)



h. Refleks cahaya tak langsung



(+)



(+)



h. Strabismus divergen



(-)



(-)



a. Gerak mata lateroinferior



(+)



(+)



b. Strabismus konvergen



(-)



(-)



N. II (Opticus)



N. III (Oculomotorius)



N. IV (Trochlearis)



N. V (Trigeminus) a. Sensorik (cabang ophtalmicus, Normal



Normal



maxillaris, mandibularis) b. Motorik



(membuka



menggerakan



mulut, Membuka



mulut Membuka



rahang, dapat kurang lebar



mulut



dapat kurang lebar



menggigit) N. VI (Abducens) a. Pergerakan mata ke lateral



(+)



(+)



b. Strabismus konvergen



(-)



(-)



5



N. VII (Facialis) a. Kerutan kulit dahi b. Mengangkat alis c. Menutup mata d. Sulcus nasolabialis e. Menggembungkan pipi f. Menyeringai



Asimetris ke kanan



Asimetris ke kanan



Lebih rendah



Normal



Normal



Normal



Lebih datar



Normal



Normal



Normal



Sudut



bibir Normal



tertinggal



N. VIII (Vestibulocochlearis) a. Tes pendengaran



Normal



Normal



c. Tes Rinne



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



d. Tes Weber



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



e. Tes Schwabach



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



f. Nistagmus



(-)



(-)



a. Palatum molle



Normal



Normal



b. Arkus faring



Datar



Normal



c. Uvula



Deviasi ke kiri (aa)



Deviasi ke kiri (aa)



d. Disfonia



(+)



(+)



e. Disfagia



(+)



(+)



a. Arkus faring



Datar



Normal



b. Bersuara



(+)



(+)



c. Menelan



(+)



(+)



a. Memalingkan muka kanan-kiri



Normal



Normal



b. Mengangkat bahu



Normal



Normal



N. IX (Glossopharyngeus)



N. X (Vagus)



N. XI (Acessorius)



N. XII (Hypoglossus) a. Sikap lidah



Deviasi (+) kiri, fasikulasi (-), tremor (-), atrofi (-)



b. Menjulurkan lidah



Deviasi (+) kanan



c. Disartria



Sulit dinilai 6







Pemeriksaan Motorik o Trofi otot o Tonus otot o Kekuatan















:



:



Eutrofi



Eutrofi



Eutrofi



Eutrofi



Normotonus



Normotonus



Hipertonus



Hipertonus



5-



5-



1



1



Pemeriksaan Sensorik 







:



Dermatomal



:



+



+



+



+



: nyeri tekan mulai (+) setinggi T6-T7



Refleks Fisiologis o Biceps



:+↑/+↑



o Triceps



:+↑/+↑



o Patella



:+↑/+↑



o Achilles



:+↑/+↑



Refleks Patologis o Hoffman-Tromner : - /+



o Rosolimo



o Babinski



: +/+



o Mendel-Bechterew : +/+



o Chaddock



: +/+



o Gonda



: +/+



o Oppenheim



: - /+



o Stransky



: +/+



o Gordon



:-/-



o Klonus paha



:-/-



o Schaefer



:-/-



o Klonus kaki



: +/+



o Bing



:-/-



: +/+



Pemeriksaan Tambahan o Tulang belakang



: Gibbus (-), lordosis (+)



o Laseque



: > 70° / > 70°



o Test Patrick



:-/-



o Test Kontra-Patrick



:-/-



7



IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 20 Febuari 2018 Pemeriksaan



Hasil



Satuan



Nilai rujukan



HEMATOLOGI Leukosit



11.2



10^3/uL



3.6 – 11.0



Eritrosit



5.06



10^6/uL



4.2 – 5.4



Hemoglobin



14.2



g/dL



11.7 – 15.5



Hematokrit



40.5



%



35 -47



MCV



80.0



fL



80 – 100



MCH



28.1



Pg



26 – 34



MCHC



35.1



%



32 – 36



Trombosit



349



10^3/uL



150 – 400



RDW-CV



12.9



%



11.5 – 14.5



RDW-SD



36.7



fL



35 – 47



PDW



10.4



fL



9.0 – 13.0



MPV



9.3



fL



6.8 – 10.0



P-LCR



19.8



%



HITUNG JENIS Netrofil



81.40



%



50.0 – 70.0



Limfosit



13.00



%



25.0 – 40.0



Monosit



3.90



%



2.0 – 8.0



Eosinofil



1.30



%



2–4



Basofil



0.40



%



0–1



KIMIA KLINIK Glukosa ACC



124



mg/dL



70 – 160



Ureum



26.6



mg/dL



10 – 50



Creatinin



0.91



mg/dL



0.60 – 1.20



Calsium Darah



8.60



mg/dL



8.1-10.4



Natrium Darah



140.3



mmol/L



135-155



Kalium Darah



3.63



mmol/L



3.6-5.5 8



Chlorida Darah



101.4



mmol/L



95-108



Pemeriksaan Laboratorium 21 Febuari 2018 Pemeriksaan



Hasil



Satuan



Nilai rujukan



GDP



103



mg/dL



70-100



Cholesterol total



184



mg/dL



< 200



Trigliserida



110



mg/dL



0-150



Uric Acid



6.8



mg/dL



2.4-7.0



HDL Cholesterol



46



mg/dL



35-55



LDL



116



mg/dL



0.0-150



X- Foto Thoraco-lumbal (21 Febuari 2018)



9



Kesan : Spondilosis Thoracolumbalis Penyempitan Diskus Intervetebralis Multipel regio Thoracolumbal



CT Scan Kepala (21 Febuari 2018)



Kesan : Infark pada Nukleus Lentiformis Kanan Kiri 10



V.



RESUME Telah diperiksa seorang laki-laki berusia 48 tahun dengan keluhan tidak dapat berbicara. Keluhan disertai perot pada wajah, kejang 1x selama 5 menit, dan kelemahan keempat anggota gerak. Sebelumnya pasien sudah mengalami kelumpuhan selama 1 tahun dan bergerak dengan merangkak. Riwayat batuk lama pada pasien maupun keluarga disangkal. Riwayat penyakit lain tidak diketahui karena tidak pernah diperiksakan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD : 170/110 mmHg, terdapat hantaran pada auskultasi paru, terdapat gerakan involunter pada tungkai kanan, afasia motorik, Parese Nervus VII, IX, X, XII dextra, Hipertonus pada kedua tungkai dengan kekuatan 1/1, kelainan bentuk tulang belakang disertai nyeri tekan setinggi torakal 6-7, Refleks fisiologis di keempat ekstremitas meningkat. Terdapat refleks patologis berupa Hoffman tromner -/+, Babinsky +/+, Chaddock +/+, Openheim -/+, Rosolimo +/+, Mendel Beckthrew +/+, Gonda +/+, stransky +/+, Klonus Achilles +/+. Dari pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan leukosit meningkat. Pemeriksaan CT-scan kepala didapatkan adanya infark di nukleus lentiformis kanan dan kiri. Dari pemeriksaan rontgen torakolumbal didapatkan kesan adanya spondilosis torakolumbalis dan penyempitan diskus intervetebra multipel.



VI. DIAGNOSIS a.



Diagnosis Klinis : Paraplegia spastik



b.



Diagnosa Topis : Medulla spinalis setinggi Torakal 6 – 7



c.



Diagnosa etiologi : susp. spondilitis Tuberkulosis



VII. TATALAKSANA 



Medikamentosa - Inf. Ringer asetat 20 tpm



- Fenitoin 100 mg 2 x 1



- Inj. Piracetam 4 x 3 gr



- Aspilet 80 mg 1 x 1



- Inj. Citicoline 2 x 500 mg



- Natto 0 – 0 – 1



- Mecobalamin 3 x 500 mg



- CPG 75 mg 0 – 1 – 0



- Amlodipine 5mg 1-0-0



11



VIII. PROGNOSIS Ad vitam



: dubia



Ad functionam



: dubia ad malam



Ad sanationam



: dubia ad malam



9



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Vertebra Tulang belakang manusia berfungsi sebagai pilar untuk menopang berat tubuh dan tempat dimana terletaknya medulla spinalis. Tulang belakang juga berfungsi untuk menyangga kepala dan sebagai titik sambungan terhadap tulang iga, pelvis dan otot-otot punggung. Susunan tulang belakang manusia terdiri dari tulang vertebra dan discus intervertebralis. Fungsi dari discus intervertebralis di antara tulang vertebra adalah sebagai bantalan untuk memberikan sifat fleksibel terhadap pergerakkan tubuh, baik ke arah anterior, posterior, lateral maupun rotasi dan juga berfungsi agar tulang vertebra tidak bertabrakkan satu dengan yang lainnya. Terdapat 33 tulang punggung padamanusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal,5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Tulang vertebra pada segmen cervikalis, torakalis maupun lumbalis memiliki struktur dasar yang sama satu dengan yang lainnya. Pada sisi anterior terdapat tubuh dari tulang vertebra (vertebrae body) yang berfungsi untuk menahan berat yang paling banyak. Pada bagian posterior terdapat 3 prosesus, antara lain 1 procesus spinosus pada bagian medial dan 2 prosesus transversus pada bagian lateral. Bagian anterior dan posterior dari tulang vertebra digabungkan kaki-kaki yang disebut dengan pedicle. Pada vertebra torakalis, terdapat yang disebut dengan facet dimana titik pertemuan vertebra torakalis dengan tulang iga.1,2



Gambar 1. Tulang belakang 10



Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnumsampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalisberlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuhmenuju ke otak sepertirangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktusdescenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrolfungsi tubuh). Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluransebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medulaspinalis turun ke bawah kirakira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairanjernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta sarafyang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, organtubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistemsaraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalahsistem saraf perifer. 1,2 Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyaihubungan istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalisdibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arterivertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posteriordan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis.Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalisposterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi darimedula spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.Ada 31 pasangnervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis,yaitu :1 a.



Nervus servikal : berperan dalam pergerakan danperabaan pada lengan, leher, dan anggota tubuhbagian atas



b. Nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut c.



Nervus lumbal dan nervus sakral :mempersarafi tungkai,kandung kencing, usus dangenitalia.



11



Gambar 2. Peta Dermatomal sistem sensorik saraf



2.2



Fisiologi Sistem Saraf Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskularterdiri atas Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron(LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorikyang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-intimotorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis.2 Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalamsusunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri daritraktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan sarafmotorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkanke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik



12



tersebut mempunyaiperanan penting di dalam sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yangmemungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.2 Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus descendens.



Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat



berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus ASCENDENS Kolumna dorsalis (posterior) Fasikulus kuneatus (T6 dan di atasnya, bagian atas tubuh) Fasikulus grasilis (T7 dan di bawahnya, bagian bawah tubuh) Spinotalamikus Spinotalamikus lateralis Spinotalamikus ventralis



Spinoserebelaris Spinoserebelaris dorsalis Spinoserebelaris ventralis



DESCENDENS Kortikospinalis Kortikospinalis lateralis Kortikospinalis ventralis Rubrospinalis



Tektospinalis



Vestibulospinalis



Fungsi



Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari sentuhan halus, kemampuan untuk membedakan tekanan dan intensitas (membedakan dua-titik, persepsi berat badan) Kesadaran propioseptif (merasakan posisi) Vibrasi (sensasi fasik) Hantaran cepat informasi sensorik



Nyeri Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan kasar serta membedakan tekanan dan intensitas Sensasi gatal dan geli Hantaran informasi sensorik lebih lambat daripada kolumna dorsalis Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot) Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas Informasi sensorik yang dihantarkan hampir seluruhnya dari apparatus tendon Golgi dan gelendong otot Serabut traktus-besar yang menghantarkan impuls lebih cepat daripada neuron-neuron lain dalam tubuh



Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot ekstremitas Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot tubuh Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi yang tidak disadari dan koordinasi gerakan otot yang disesuaikan dengan masukan propioseptif Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan pemindaian dan pergantian refleks pada kepala dan gerakan refleks pada lengan sebagai respons terhadap sensasi penglihatan, pendengaran, atau kulit Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan kepala dan mata



13



2.2.1 Upper Motor Neuron Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di medulla spinalis. Di segmen medulla spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan. Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik batang otak dan medula spinalis untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher. Traktus kortikobulbar membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan traktus piramidalis memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif, tak ada atrofi. 2 Kelainan traktus piramidalis setinggi : 



Hemisfer : memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika







Setinggi batang otak : hemiparese alternans.







Setinggi medulla spinalis : tetra/paraparese.



Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan saraf sirkuit meliputi berbagai inti di sub korteks.dan kemudian kembali ke tingkat kortikal. Terdiri dari :  korteks serebri area 4s, 6, 8  ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus, nukleus Ruber, formasio retikularis, serebellum. Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis :  Pusat eksitasi / fasilitasi : mempermudah pengantar impuls ke korteks maupun ke motor neuron.  Pusat inhibisi : menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.  Pusat kesadaran Susunan ekstrapiramidal berfungsi untukgerak otot dasar / gerak otot tonik, pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal Gangguan pada susunan ekstrapiramidal : 14



 Kekakuan / rigiditas  Pergerakan-pergerakan involunter: Tremor, Atetose, Khorea, Balismus



2.2.2 Lower Motor Neuron Merupakan neuron yang langsung berhubungan dgn otot, dapat dijumpai pada batang otak dan kornuanterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan kelumpuhan tipe LMN yaitu parese yang sifatnya flaccid, arefleksi, tak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi.3



2.2.3 Susunan Somestesia Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang maupun otot dikenal sebagai somestesia.3 Terdiri :  Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.  Perasaan proprioseptif : disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa gerak dan rasa sikap.  Perasaan luhur : Diskriminatif & demensional Menentukan tinggi lesi medula spinalis berdasarkan :  Gangguan Motorik biasanya timbul kelumpuhan yg sifatnya paraparese / tetraparese - Paraparese UMN : lesi terdapat supranuklear thd segmen medula spinalis lumbosakral (L2-S2). - Paraparese LMN : lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau lesi infra nuklear. - Tetraparese UMN : lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medula spinalis servikal IV. - Tetraparese : ekstremitas superior LMN, ekstremitas Inferior UMN  Gangguan Sensibilitas - Gangguan rasa eksteroseptif - Gangguan rasa proprioseptif  Gangguan sensibilitas segmental :  Lipatan paha : lesi Medula spinalis L1  Pusat : lesi med. spinalis thorakal 10  Papila mammae : lesi medula spinalis thorakal 4 15



 Saddle Anestesia : lesi pada konus  Gangguan sensibilitas radikuler :  Ggn sensibilitas sesuai dgn radiks posterior  Gangguan sensibilitas perifer :  Glove/stocking anestesia  Gangguan Susunan Saraf Otonom - Produksi keringat - Bladder : berupa inkontinensia urine atau uninhibited bladder.  Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medula spinalis supranuklear terhadap segmen sakral.  Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral medula spinalis.



2.3 Paraplegia 2.3.1 Definisi dan Klasifikasi Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkapatau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakanterganggu. Plegia adalah kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf.4 Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu : 



Monoplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah.







Paraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah.







Hemiplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.







Tetraplegia adalah paralisis/ kelemahan berat pada keempat ekstremitas.4



Paraplegi terbagi menjadi tipe spastic (UMN) dan flaksid (LMN).Paraplegi spastik adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi spastik disebabkan oleh spondylitis TB , spinal cord injury, genetic disorder (hereditary spastic paraplegia), autoimmune diseases, syrinx (a spinal chord disorder)6tumor medulla spinalis, mutiple sclerosis,7Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan sukarela yang sebagian atau seluruhnya 16



hilang. Paraplegi flaksid termasuk polio, lesi pada neuron motorik yang lebih rendah, Guillain Barre syndrome.



2.3.2Patofisiologi Paraplegi Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi yang memotong melintang (tranversal) medulla spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu sebagian dari otot-otot kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks dan abdomen serta segenap muskulatur kedua tungkai. Kelumpuhan macam ini lah yang disebut paraplegi. Akibat terputusnya lintasan somatosensorik dan lintasan autonom neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita tidak dapat merasakan apapun, tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi neurovegetatif. Lesi Tranversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan lesi yang terjadi pada daerah servikal, yaitu pada tingkat lesi terjadi kelumpuhan LMN, dan dibawah tingkat lesi terdapat kelumpuhan UMN. Kelumpuhan LMN pada tingkat lesi melibatkan kelompok otot yang merupakan sebagian kecil dari muskulatur toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat dikarenakan peranan dari muskulus tersebut yang kurang begitu menonjol. Tingkat lesi transversal di medulla spinalis mudah terungkap oleh batas deficit sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada kedua tungkai secara lengkap. Paraplegi dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari medulla spinalis dapat rusak secara sekaligus, infeksi langsung dapat terjadi melalui emboli septic, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis atau perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk proses peradangan pada medullah spinalis namun juga digunakan apabila lesinya menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai hubungan



17



dengan infeksi, adanya tumor, baik tumor ekstramedular maupun intramedular, maupun trauma yang menyebabkan cedera dari medulla spinalis. 2.3.3 MANIFESTASI KLINIS 3 Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda khas disfungsi susunan UMN adalah sebagai berikut : a. Tonus otot meningkat atau hipertonus Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonus adalah ciri khas bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonus tidak akan bangkit bahkan tonus otot menurun, jika lesi paralitik merusak hanya korteks motorik primer saja. Lesi hipertonus menjadi jelas apabila korteks motorik tambahan (area 4 dan area 6) ikut terlibat dalam lesi. Lesi paralitik yang mengganggu pyramidal juga pasti akan mengganggu serabut-serabut kortikobulbar/spinal dan juga serabut frontopontin, temporo parietopontin berikut serabut-serabut striatal utama. Hal itu menggambarkan bahwa komponen pyramidal dan ekstrapiramidal akan mengalami gangguan bersama. Hal ini terjadi karena lintasan pyramidal dan ekstrapiramidal berada dikawasan yang sama



yaitu



pedunkulus



serebri,



pes



pontis,



piramis,



dan



funikulus



posterolateralis/sulkomarginal. Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua otot skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada tungkai seluruh otot ekstensornya serta otot-otot plantar fleksi kaki. Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan pyramidal yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat memperlihatkan hipertonia dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi pada kelumpuhan UMN yang melanda bagian bawah tubuh (paraparese) akibat oleh karena lesi transversal di medulla spinalis di atas intumesensia lubosakralis. Apabila paraparese yang disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut penghantar impuls pyramidal saja,maka parapleginya menunjukan hipertonus dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah serabut penghantar impuls ekspiramidal terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam posisi fleksi. b. Hiperrefleksia Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa (normal). Dalam hal ini, gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun rangsangan pada tendon 18



sangat lemah. Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah impuls inhibisi dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan pada motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang bersifat segmental. Ini berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron-neuron yang berada disatu segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung refleks segmentalnya berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur efektornya. Hal ini dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks tersebut menghilang atau menurun. c. Klonus Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai oleh klonus kaki dan klonus lutut. d. Refleks patologis Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi mekanisme timbulnya refleks patologis ini masih belum jelas. e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya menyususn satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan timbal-balik antara kehidupan motorneuron dan serabut otot yang disarafinya. Runtuhnya motorneuron akan disusul dengan kerusakan-kerusakan serabut-serabut saraf motoriknya. Oleh karena itu, otot yang terkena akan menjadi atrofi. Dalam hal kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan. Oleh karena itu, otot-otot yang lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namun demikian, otot yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut yang musnah akan tetapi dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak dipergunakan yang dikenal dengan istilah disuse atrophy. f. Refleks automatisme spinal Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer dan korteks motorik tambahan bukan berarti tidak berdaya menggerakkan otot. Otot masih dapat digerakkan oleh rangsang yang datang dari bagian susunan saraf pusat dibawah tingkat lesi yang dinamakan sebagai gerakan refleks automatisme spinal. Pada penderita paraparese akibat lesi transversal di medulla spinalis bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai lumpuh, apabila penderita terkejut. Tanda19



tanda kelumpuhan UMN tersebut diatas dapat seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya lesi UMN. Pada tahap pertamanya yaitu langsung setelah lesi UMN terjadi, tanda-tanda kelumpuhan UMN tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini berlangsung 1 hingga 3 minggu. Jika lesinya terletak dikorteks motorik, kurun waktu tahap pertama panjang sekali. Sebaliknya, lesi dikapsula interna mempunyai tahap pertama yang singkat. Setiap lesi yang secara mekanik menekan medulla spinalis akan menyebabkan gangguan fungsi yang progresif dan suatu sindrom transeksi medulla spinalis yang relative lambat. Gejala-gejala gangguan medulla spinalis yang disebabkankompresi memiliki karakterisktik sebagai berikut : 1.



Terganggunya fungsi motorik



2.



Gangguan sensorik kadang-kadang menunjukkan level dari lesi



3.



Gangguan sensorik distal. Lesi sensorik yang batasnya jelas tidak selalu ditemukan pada awal lesi



4.



Nyeri dapat ditemukan pada anggota badan



5.



Hilangnya refleks abdominal superfisial



6.



Gangguan urinasi



7.



Saraf-saraf cranial tidak terkena pada lesi spinal murni



8.



Kolumna vertebralis dapat memperlihatkan adanya deformitas, pembentukkan gibbus atau nyeri pada perkusi prosesus spinosus tertentu



9.



Foto rontgen kolumna vertebralis dapat memperlihatkan destuksi tulang, pelebaran kanalis spinalis, destruksi pedikel atau prosesus spinosus atau adanya hemangioma vertebra.



10. Fungsi lumbal dapat memperlihatkan kadar protein yang sangat tinggi dengan adanya obstruksi total.



2.3.4 DIAGNOSIS 1. Ray-spine Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda degenerasi dari spine adalah : a. Reduksi dari ruang intevertebralis b. Penyempitan foramen intevertebralis c. Formasi osteofit 20



d. Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural 2. Mielogram 3. CT Scan 4. Analisis CSF Pemeriksaan penunjang lainnya : a. X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan. b. Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis c. IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari skeloris multipel d. Tes darah rutin e. Pemeriksaan urin6 2.3.5 KOMPLIKASI 3 a. Luka dekubitus b. Kontraktur c. Infeksi traktus urinarius d. Emboli paru e. Deep vein thrombosis f. Paralisis otot-otot pernapasan 2.3.6 PENATALAKSANAAN3 a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab paraparese spastik. b. Penanganan spastisitas Fisioterapi terdiri dari : 



Prolonged passive stretching







Hydrotherapy







Reflex inhibiting postures







Standing and walking







Ice therapy



Farmakologi 



Antispasmodik







Injeksi intratechal baclofen / morphine







Blok saraf lokal sementara dengan toksin botulinum pada otot yang spesifik. 21



3.3



SPONDILITIS TUBERCULOSA Spondylitis Tuberkulosis atau yang dikenal dengan sebagai Pott’s Disease, merupakan suatu infeksi pada tulang belakang atau vertebra beserta dengan diskus intervertebralis yang disebabkan oleh suatu bakteri aerob, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Lebih dari 5.8 juta kasus TB baru (dalam segala bentuk, pulmoner maupun extra-pulmoner) dilaporkan kepada World Health Organisation (WHO) pada tahun 2009.Di Amerika Serikat, tuberkulosis pada tulang dan sendi diperhitungkan sebanyak 10% dari total kasus-kasus infeksi bakteri M.tuberkulosis. Tulang yang sering terinfeksi adalah tulang-tulang yang pada umumnya menjadi tumpuan berat (Weight-bearing), antara lain tulang belakang (pada 40% kasus), tulang pinggul (pada 13% kasus), dan tulang patella (pada 10% kasus). Penyebaran infeksi TB ektrapulmoner pada tulang paling sering ditemukan pada tulang vertebra, dimana sebanyak 50% kasus di antara regio tulang lainnya. Regio vertebra yang sering terkena infeksi pada anak-anak adalah regio thoracalis atas, sedangkan pada orang dewasa, infeksi paling sering ditemukan pada regio thoracalis bawah dan lumbalis atas (thoraco-lumbalis).Infeksi TB pada vertebra dapat menganggu fungsi dasar dari vertebra yaitu sebagai suatu pilar dalam menopang postur tubuh dan tempat berjalannya medulla spinalis. Gejala klinis khas yang paling sering tampak jelas terlihat adalah postur tubuh dengan struktural kyphosis (gibbus) dengan “cold abcess” paravertebra disertai dengan nyeri pinggang dan paraplegi. Seringkali, foto x-ray thorax pada 2/3 pasien dengan Spondylitis TB menunjukkan adanya kelainan yang cenderung membuktikan bahwa terdapat infeksi primer TB paru. Pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) memiliki resiko tinggi untuk terkena spondylitis TB oleh karena sistem imun yang rendah. Penanganan infeksi Spondylitis TB dapat mencangkup terapi non-operatif atau terapi operatif. Pemilihan terapi ditentukan dari pemeriksaan fisik kondisi pasien saat datang dan hasil pemeriksaan penunjang. Semakin berat kondisi deformitas dari vertebra, maka dibutuhkan terapi operatif, akan tetapi jika belum ditemukan tandatanda kolaps pada tulang vertebra, maka pasien dapat diberikan terapi secara nonoperatif.



22



3.3.1 Definisi Spondilitis Tb atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulangbelakang yang disebabkan oleh



kuman tuberkulosis.



Infeksi



umumnya



mulai



dari



korpusvertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yangpaling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah,daerah lumbal dan servikal 1 - 4. Akibat perkejuan akan terbentuk abses yangdapat meluas ke sekitamya dan mencari jalan keluar. Paling sering mengikuti fasciaotot psoas, berkumpuldalam fosa iliaka sampai terjadi fistel kulit.9



3.3.2 Epidemiologi Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas danmortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama diAsia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakanmasalah utama. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakitini mengalami peningkatan pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and ChestDiseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminumalkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besarterkena penyakit ini.Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutamamengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia danAfrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20tahun). Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan senditerjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapatterkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weightbearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih seringterkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulangbelakang merupakan tempat



yang paling sering terkena tuberkulosa



tulang(kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulangpanggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dantangan



jarang



terkena.



Area



torako-lumbal



terutama



torakal



bagian



bawah(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling seringterlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapaimaksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral. 23



Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa.



Di



negara



merupakanpenyebabpaling



yang



sering



sedang



untuk



berkembang



kondisi



penyakit



paraplegia



non



ini



traumatik7.



Insidensiparaplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak.Hal



ini



berhubungan



dengan



insidensi



usia



terjadinya



infeksi



tuberkulosapada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarangditemukan keadaan ini.Faktor resiko yang ditemukan pada penyakit spndylitis tuberkulosis adalah diabetes melitus (5-25%), gagal ginjal (2-31%) dan penggunaan kortikosteroid jangka (3-13%).



3.3.3 ETIOLOGI Spondylitis Tuberkulosis merupakan suatu infeksi sekunder dari infeksi tuberculosis di tempat lain, dimana asal infeksi primer paling sering yaitu dari infeksi Tuberkulosis



pada



paru-paru,



yang



disebabkan



oleh



Mycobacterium



Tuberculosis.Infeksi tuberculosis dapat juga terjadi pada traktus urinaria sehingga menyebabkan



infeksi



sekunder



pada



tulang



vertebra



segmen



torako-



lumbalis.Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga disebut juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidak dapat diwarnai dengan cara pewarnaan yang konvensional. 3.3.4 Faktor Resiko9 1. Usia dan jenis kelamin Bayi dan anak muda mempunyaikekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalambentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yangberasal dari penyebaran secara hematogen.Setelah



pubertas



daya



tahan



tubuh



mengalami



peningkatan



dalammencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapipada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensiini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah



24



melahirkan anak. Puncakusia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementarapria bisa mencapai usia 60 tahun. 2. Nutrisi Kondisi



malnutrisi



(baik



pada



anak



ataupun



orang



dewasa)



akanmenurunkan resistensi terhadap penyakit. 3. Faktor toksik Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan



tubuh.



Demikian



pula



dengan



pengguna



obat



kortikosteroid



atauimmunosupresan lain. 4. Penyakit Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemiameningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa. 5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan) Kemiskinan



mendorong



timbulnya



suatu



lingkungan



yang



buruk



denganpemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanyamalnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh. 6. Ras Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atauAmerika asli, mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadappenyakit ini.



3.3.5 Patofisiologi Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaranhematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melaluijalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luartulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapatbersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari organ paru dan traktus urinaria. Jika infeksi menyerang segmen torakalis atas maka sumber infeksi primer cenderung berasal dari infeksi TB paru, sedangkan jika infeksi terjadi pada segmen torakolumbal maka sumber infeksi primer cenderung lebih berasal dari infeksi pada traktus urinariaPenyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yangmemberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagianbawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau 25



melaluipleksus



Batson’s



yang



mengelilingi



columna



vertebralis



yang



menyebabkanbanyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra. Pada awal infeksi, akan terjadi destruksi tulang vertebra bagian anterior atau korpus vertebra yang disebut dengan proses osteolysis lokal dan disertai dengan osteoporosis regional. Kemudian infeksi akan menyebar dan terjadi avaskularisasi sehingga pada saat yang bersamaan produksi tulang baru terhambat. Tuberculous sequestra akhirnya terbentuk pada segmen tulang vertebra yang terinfeksi. Secara perlahan jaringan tuberculous sequestra ini akan mulai mempenetrasi dinding tipis dari bagian tulang vertebra sehingga terbentuk yang disebut dengan abses paravertebra. Abses paravetebra akan menyebar ke arah muskulus psoas. Akan tetapi, abses ini akan menunjukkan tanda-tanda inflamasi yang minimal, oleh sebab itu abses ini sering dikenal sebagai “cold abcess”. Infeksi tersebut kemudian akan menjalar ke tulang vertebra lainnya secara anterior maupun posterior melalui ligamen longitudinal. Diskus intervertebralis tidak dapat terinfeksi sebab tidak ada aliran vaskular yang melaluinya. Akan tetapi diskus intervertebralis secara perlahan akan terdesak oleh jaringan granulasi tuberkulosis dan menjadi hancur. Pada anak-anak, diskus intervertebralis dapat terinfeksi oleh sebab masih adanya aliran vaskular yang melalui diskus intervertebralis. Ketika infeksi menyerang tulang vertebra beserta dengan diskus intervertebralis, maka penyakit tersebut bukan disebut sebagai spondylitis, akan tetapi disebut sebagai spondylodiscitis. Oleh karena destruksi tulang terjadi pada bagian anterior tulang vertebra, maka secara progresif terjadi kolaps dari tulang vertebra pada regio anterior sehingga membuat postur tidak normal pada penderitanya, dimana wedging pada tulang vertebra sisi anterior terjadi dan membentuk angulasi dan gibbus. Maka secara klinis, pasien akan datang dengan postur bungkuk atau yang dikenal sebagai postur kyphosis. Bila sudahtimbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit inisudah meluas.Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yangnormal di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbarlordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posteriorsehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps



26



hanyabersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar beratbadan disalurkan melalui prosesus artikular.



Ketika terjadi kolaps pada tulang vertebra dan penjepitan diskus intervertebralis, maka struktur yang berada di dalam foramen vertebralis, yaitu medulla spinalis akan tertekan sehingga akan tampak keluhan neurologis. Keluhan neurologis oleh karena penekanan mekanik terhadap medulla spinalis yang paling sering ditemukan pada penderita spondylitis TB adalah paraplegia. Proses



penyembuhan



kemudian



terjadi



secara



bertahap



dengan



timbulnyafibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringanfibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebrayang kolap. 3.3.6 Klasifikasi10 Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentukspondilitis: (1) Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise dibawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyakditemukanpada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.Terbanyak ditemukan di regio lumbal. (2) Sentral Infeksi



terjadi



pada



bagian



sentral



korpus



vertebra,



terisolasi



sehinggadisalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini seringmenimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain. Sehinggamenghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yangbersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal. (3) Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra diatas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scallopedkarena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola inididuga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melaluiabses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanyaperubahan lokal dari suplai darah vertebral. 27



(4) Bentuk atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapatdiidentifikasikan.



Termasuk



didalamnya



adalah



tuberkulosa



spinal



denganketerlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalistanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesustransversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebralposterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemenposterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.10 3.3.7 Diagnosis10 Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung padabanyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak danberevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatudiagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun sebagian besar kasus didiagnosasekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. Anamnesa dan inspeksi 1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringatmalam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore danmalam hari serta cachexia. 2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarahdisertai nyeri dada. 3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yangmenjalar.Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri didaerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atasakan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi dibagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagianperut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untukmengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku. 4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkahkaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 5.



Bila



infeksi



melibatkan



area



servikal



maka



pasien



tidak



dapat



menolehkankepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan



28



dudukdalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tanganlainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkantimbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasanyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampakpembengkakan di kedua sisi leher. 6.Di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bilaberbalik



ia



sendipanggulnya.



menggerakkan Saat



kakinya,



mengambil



sesuatu



bukan dari



mengayunkan lantai



ia



dari



menekuk



lututnyasementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). 7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunakyang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluarmelalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendipanggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksidan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diataspaha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksisendi panggul. 8.Tampak



adanya



deformitas,



dapat



berupa



:



kifosis



(gibbus/angulasi



tulangbelakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dandislokasi. 9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisitneurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegiapada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal danservikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerakbawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yangspastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadigangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. 10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dannyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat daripembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebutdisebabkan karena tuberkulosa. 11.Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegiayang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbulsecara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung darikecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Padapenelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanyaterjadi pada pasien 29



berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus)dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini. Palpasi 1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulitdiatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan denganabses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha,



fossailiaka,



retropharynx,



atau



di



sisi



leher



(di



belakang



ototsternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitardinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesidestruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. 2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena Perkusi Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium :  Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.  Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif.Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)  Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru yang aktif)  Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. 30



 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Xantokrom, Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal, Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al 1984). Kandungan protein meningkat. Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan. Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1- 4g/100ml.  Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi. 2. Radiologis Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. 



Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).







Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit. - Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau Sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian



berlanjut



sehingga



tampak



penyempitan



diskus



intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous. - Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus. - Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita scoliosis (jarang) - Pada pasien dengan deformitas gibbus yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (long vertebra atau tall vertebra) 31



- Dapat



terlihat



paravertebral



keterlibatan dan



psoas.



jaringan Tampak



lunak, bentuk



seperti



abses



fusiform



atau



pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. - Kerugian pada foto polos vertebra adalah dimana ketika pada fase awal penyakit hasil gambaran foto vertebra akan tampak normal. Selain itu, sulit untuk menilai kompresi dari tulang belakang, kelainan pada jaringan ikat dan abses pada foto polos. Apabila kelainan tampak jelas pada foto polos, maka penyakit tersebut sudah dalam fase lanjut dimana sudah terdapat kerusakan pada tulang vertebra dan gangguan neurologis.  Foto Computed Tomography (CT Scan) - Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan igayang sulit dilihat pada foto polos. - Keterlibatan lengkung syaraf posteriosepertipedikel tampak lebih baik dengan CT Scan. - Foto CT-Scan juga dapat memberikan gambaran kelainan pada fase awal dari penyakit karena kerusakan-kerusakan tulang yang minimal akan terlihat lebih jelas dibandingkan dengan foto polos vertebra. - Abses paravertebral juga akan tampak lebih jelas terlihat.  Magnetic Resonance Imaging (MRI) - Dapat menunjukkankelainan pada jaringan lunak seperti medula spinalis, destruksi/degenerasi pada tulang vertebra dan diskus intervertebralis, pembentukkan abscess dan kavitasi pada medula spinalis. - Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifatkompresif



dengan



yang



bersifat



non



kompresif



pada



tuberkulosa tulang belakang. - Bermanfaat untuk membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akanbersifat konservatif atau operatif dan membantu menilai respon 32



terapi.Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi diabses. 5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal.mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman danpembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus). 6. Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencaribasil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalamguinea babi.



3.3.8 Komplikasi 1) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa. Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. 2) Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura. 3.3.9 Manajemen Terapi10 Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah : 1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit 2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosaterbagi menjadi :  Terapi konservatif Pemberian terapi anti tuberculosis merupakan prinsip utama dalam penatalaksanaan seluruh kasus infeksi tuberculosis, termasuk



tuberculosis pada tulang belakang.



Menurut WHO, terapi anti tuberculosis harus diberikan minimal selama 9 bulan, khususnya pada kasus infeksi tuberculosis tulang. Pengobatan ini terbagi menjadi dua fase, antara lain: * Fase awal (2 bulan pertama) : Isoniazid, Rifampisin, Streptomisin, Pyrazinamide 33



* Fase lanjut (4 bulan setelah): Isoniazid, Rifampisin 



Isoniazid (INH) dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari







Rifampin (RMP) dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.







Pyrazinamide (PZA) dosis : 15-30mg/kg/hari







Ethambutol (EMB) dosis : 15-25 mg/kg/hari







Streptomycin (STM) dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari Terapi anti tuberculosis diberikan hingga foto rontgen menunjukkan adanya



resolusi pada tulang belakang. Masalah yang sering timbul dari pemberian tatalaksana anti tuberculosis ini adalah mengenai ketaatan pasien dalam menjalani terapi yang berdurasi panjang ini. Jika terapi dijalankan terlalu singkat dari waktu yang ditetapkan, maka akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi obat. Penderita dengan spondylitis TB dengan fase lanjut, dimana sudah tampak gejala neurologis dan gejala kompresi tulang belakang lainnya diwajibkan untuk istirahat tirah baring. Tindakan ini dilakukan untuk meminimalkan aktivitas penderitanya. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat. Cara lain untuk mengistirahatkan bagian punggung dari penderita spondylitis TB adalah dengan pemasangan gips agar tulang belakang terlindungi dan terimobilisasi.Pemberian



gips



ditujukan



untuk



mencegah



pergerakan



dan



mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulosa, jaringan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang. 34



 Terapi Operatif Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yangmempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnyakelainan neurologis. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggupemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal palingefektif diterapi dengan operasi secara langsung untuk mengevakuasi“pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksidan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas,operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila:  Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi  Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan  Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase  penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis berat.  Penyakit yang rekuren. Setelah tindakan operasi pasien beristirahat di tempat tidur selama 36minggu.Tatalaksana operatif dilakukan dengan tujuan untuk debridement dan drainase dari “cold abcess”, begitu juga untuk dekompresi dari medulla spinalis dan strukturnya, mencegah instabilasi dari struktur tulang belakang, dan memperbaiki dan mencegah deformitas pada struktur tulang belakang. Teknik operatif untuk terapi Spondylitis TB ada dua, antara lain anterior dekompresi dan posterior dekompresi. Pilihan tindakan operasi dekompresi secara anterior atau posterior bergantung pada lokasi lesi pada tulang vertebra. Jika lesi terletak pada bagian anterior maka tindakan operatif yang dipilih adalah anterior dekompresi, begitu juga sebaliknya jika lesi terdapat pada posterior, maka tindakan operasi dekompresi posterior akan dipilih. Anterior dekompresi menjadi pilihan terapi operatif paling sering sebab spondylitis TB umumnya menyerang bagian kolum anterior dari tulang belakang. Oleh sebab itu, dengan melakukan anterior dekompresi akan mempermudah tindakan debridement yang dilakukan supaya adekuat dan sesuai, begitu juga tindakan rekonstruksi deformitas yang terjadi dapat dilakukan secara maksimal. Debridement saja dapat dilakukan untuk membersihkan infeksi setempat, akan tetapi jika tidak dilakukan rekontruksi maka progress untuk terjadinya deformitas tetap dapat 35



berlangsung. Pada tindakan operatif, debridement dilakukan dengan membersihkan area nekrotik yang mengandung tulang mati beserta jaringan granulasi agar lesi bersih dan jaringan nekrotik tidak akan menyebar lebih luas. Setelah itu akan terdapat rongga yang kemudian akan diisi dengan autogenous bone graft dari tulang iga atau tulang ilika. Pemilihan terapi operatif seperti ini akan mendorong penyembuhan dengan cepat dan stabilisasi tulang belakang akan tercapai dengan memfusikan tulang vertebra yang terkena. Fusi tulang vertebra posterior hanya dilakukan bila terdapat destruksi dua atau lebih dari korpus bertebra, adanya instabilitas karena destruksi tulang vertebra bagian posterior, dan jika tindakan prosedur dekompresi anterior tidak memungkinkan. Akan tetapi, pemberian obat antituberkulosa tetap menjadi terapi wajib bagi penderita spondylitis TB walaupun tindakan operatif telah dilakukan.11 Tabel 1.Indikasi tatalaksana operatif pada pasien dengan Spondilitis TB Response to chemotherapy Lack of clinical response after six weeks of chemotherapy Recurrence of disease despite chemotherapy Neurological deficit Severe neurological deficit at presentation Rapidly worsening deficits New onset or deterioration of deficits during chemotherapy Unimproved deficits after six to eight weeks of chemotherapy Spinal instability Panvertebral disease Loss of >1 vertebral body in thoracic spine or >1.5 vertebral bodies in lumbar spine Initial kyphosis of >30° in a child “Spine-at-risk” signs in a child Posterior neural arch lesion with pedicular destruction Axial pain due to instability Late deformity Severe kyphosis with late onset neurological deficits



36



3.3.10.Prognosis Prognosis pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usiadan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologisserta terapi yang diberikan. a. Mortalitas Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiringdengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasiendidiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat). b. Relaps Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik denganregimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%. c. Kifosis Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhikosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisitneurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsiparu. d.Defisit neurologis. Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaiksecara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. e. Usia Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. f. Fusi Fusi tulang yang solid penting untuk pemulihanpermanen spondilitis tuberkulosa.



37



DAFTAR PUSTAKA 1. R. Putz, R. Pabst. 2006.Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Edisi 21.Jilid 2. Jakarta: EGC. 2. Sherwood L. 2007. Human physiology from cells to system. Edisi ke-6. Canada: Thomson Brooks/ Cole;.p. 77-211. 3. Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar.1988. Jakarta : Dian Rakyat. 4. Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2005. Clinical Neurology. Edisi 7. USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157 5.



Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2005. Clinical Neurology. Edisi 7. USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157



6. Diana Kohnle. 2011. Paraplegia. Keck Medical Center of University Of Sourthern California. Diakses dari http://www.keckmedicalcenterofusc.org/condition/document/230663 diakses 23 Febuari 2018 7.



Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. Edisi 8. New York : McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092



8. Japardi, Iskandar. 2002. Radikulopati Thorakalis. Diakses darihttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1994/1/bedahiskandar%20japardi43.pdf. Diakses 4 Desember 2012. 9. Mumenthaler, M. and Mattle, H. 2006.Fundamental of Neurology. NewYork: Thieme. p146-147.6. 10. Guirguis, A. R. (1967). Pott Paraplegia. Cairo : The Journal of Bone and Joint Surgery. 11. Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama



38