Laporan Kasus Sindroma Nefrotik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



SINDROM NEFROTIK RELAPS Disusun Oleh : dr. Dita Setyati



Pembimbing : dr. Rizki Rahim, Sp.A



Pendamping: dr. Susana Chandra



PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RSUD SAMBAS – KALIMANTAN BARAT 2015-2016 1



BAB 1 PENDAHULUAN



Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/ kg berat badan/ hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Terkadang juga dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia. Gejala yang biasanya timbul sehingga membuat pasien sindrom nefrotik datang memeriksakan diri yaitu edema palpebra atau pretibia. Apabila makin memberat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Pada kasus lain juga disertai oliguria, gejala infeksi, nafsu makan berkurang, serta diare. Keadaan semakin buruk bila disertai dengan nyeri perut karena hal ini bisa menunjukkan terjadinya peritonitis atau hipovolemia. Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering dijumpai. Insiden sindrom nefrotik dipengaruhi oleh usia, ras, dan geografis. Insidens sindroma nefrotik pada anak di Amerika Serikat dan Inggris yaitu 2 sampai 7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 sampai 16 kasus per 100.000 anak. Angka ini berbeda dengan negara berkembang yang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan kasus sindroma nefrotik sebesar 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Adapun perbandingan anak laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 3:2. Etiologi sindroma nefrotik dibagi 2 yaitu primer/idiopatik, dan sekunder. Dikatakan sindroma nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80%. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar 2



SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. Berdasarkan data dari berbagai penelitian jangka panjang, penentuan prognosis lebih sering ditentukan oleh respons terhadap pengobatan steroid dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Sehingga klasifikasi sindrom nefrotik pada saat ini lebih didasarkan pada respons klinik yaitu Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).



3



BAB 2 KERANGKA TEORI DEFINISI Sindoma nefrotik adalah suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia serta sembab. Proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/ hari atau lebih dari 40mg/m2/jam. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang juga dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia. EPIDEMIOLOGI Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit kronik yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak, dengan insiden antara 2-4 kasus dari setiap 100.000 anak di bawah 16 tahun setiap tahunnya. Sedangkan berdasarkan penelitian Willa Wirya, dilaporkan 6 orang anak menderita sindrom nefrotik diantara 100.000 anak yang berusia di bawah 14 tahun per tahun di Jakarta. Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran histopatologi tipe kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80%. Gambaran histopatologi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Sindrom nefrotik dapat menyerang semua umur, namun paling sering menyerang anak-anak pada usia antara 2-6 tahun, anak laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1. Lebih dari 90% kasus sindrom nefrotik adalah idiopatik, sedangkan sisanya adalah sindrom nefrotik sekunder yang disebabkan oleh beragam penyakit, antara lain nefritis



Henoch-Schonlein, Lupus



Eritematosus



Sistemik,



amyloidosis, dan sebagainya. ETIOLOGI Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: 1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindroma nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering 4



dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak lahir atau usia dibawah 1 tahun. Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologi sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971). Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus pada Sindrom Nefrotik Primer



Sumber: Willa Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.



Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Willa Wirya menemukan hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindroma nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39,7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi. 5



2. Sindroma nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah: a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. b. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptococcus, AIDS. c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penicillamin, probenecid, racun serangga, bisa ular. d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis. e. Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal. PATOFISIOLOGI Proteinuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria pada sindrom nefrotik dinyatakan berat yaitu sama atau lebih besar dari 40 mg/ m2 luas permukaan badan/ jam. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang berat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya alfa-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan atau dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, 6



sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat, dan kadar natirum rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia, tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.



. Skema terbentuknya edema menurut TEORI UNDERFILL



Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartmen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.



Skema terbentuknya edema menurut TEORI OVERFILL



Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.



MANIFESTASI KLINIS 1. Sembab



7



Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinis utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab muncul secara lambat sehingga orangtua mengira anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka). Sembab berpindah dengan perubahan posisi. Sembab pada wajah sewaktu bangun tidur, dan menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Sembab bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting oedema), menyeluruh, dan dependen. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM. 2. Gangguan Gastrointestinal Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. 3. Gangguan Pernapasan Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan dapat menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. 4. Gangguan Psikososial Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronis umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respon emosional, tidak saja pada orangtua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan dunia sosial anak menjadi terganggu. 5. Hipertensi Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur. 8



6. Proteinuria Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria masif yaitu lebih dari 40mg/m2 luas permukaan tubuh/jam atau > 50 mg/kg berat badan/24 jam; biasanya berkisar antara 1 – 10 gram perhari. Pasien SNKM biasanya ,mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe lain. 7. Hipoalbumin dan Hiperlipidemia Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2,5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria. Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia, dimana kolesterol serum lebih dari 200 mg/dl. 8. Hematuria Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan pertanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatini serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik dari tipe histologik yang bukan SNKM.



DIAGNOSIS Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala: 1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) 2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL 3. Edema 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain: 1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang mengarah kepada infeksi saluran kemih. 9



2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari. 3. Pemeriksaan darah a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED) b. Albumin dan kolesterol plasma c. Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz d. Titer ASO dan kadar komplemen C3 bila terdapat hematuria mikroskopis persisten. e. Bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah dengan kadar komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA. BIOPSI GINJAL Biopsis ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom nefrotik. Sebagian besar sindrom nefrotik idiopatik pada anak mempunyai gambaran histopatologi tipe kelainan minimal (SNKM), yaitu sebesar 80% dengan ciri khasnya berupa histologi ginjal yang normal pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya. Gambaran histopatologi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinik dan laboraturium yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi ginjal sebelum terapi steroid dimulai. Biopsi ginjal umumnya tidak dilakukan pada sindrom nefrotik kambuh sering atau dependen steroid (sebelum dimulainya terapi levamisol atau siklofosfamid) selama masih sensitif steroid. Adapun indikasi biopsi ginjal adalah sebagai berikut: 1. Pada presentasi awal atau saat onset a. b.



Awitan sindrom nefrotik pada usia 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. 3. Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan. 4. Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam periode 1 tahun. 5. Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan. 6. Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu. 7. Sensitif steroid: remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.



TATALAKSANA UMUM Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut: 1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan 2. Pengukuran tekanan darah 3. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein. 4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai. 5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT). Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah. 12



DIITETIK Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema atau hipertensi. DIURETIK Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari 2 kali sehari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 2025% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik untuk mengatasi edema tampak pada gambar berikut:



13



Skema Algoritma Pemberian Diuretik IMUNISASI Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2mg/kgbb/hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan varisela. PENGOBATAN DENGAN KORTIKOSTEROID Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon. Sebagian besar anak datang dengan sembab atau dengan infeksi berat yang harus ditangani dengan benar sebelum terapi steroid dimulai. A. TERAPI INSIAL Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m 2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1



14



kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.



Skema Pengobatan Inisial dengan Kortikosteroid B. PENGOBATAN SN RELAPS Skema pengobatan relaps dapat dilihat di bawah ini, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.



Skema Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps



C. PENGOBATAN SN RELAPS SERING ATAU DEPENDEN STEROID Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: 15



1. Pemberian steroid jangka panjang 2. Pemberian levamisol 3. Pengobatan dengan sitostatik 4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir) Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor risiko terjadinya relaps sering adalah: a. Onset penyakit pada umur kurang dari 3 tahun b. Relaps terjadi pada 6 bulan pertama c. Remisi lambat pada episode awal. 1. Steroid Jangka Panjang



Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA). Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini: 1. Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau 2. Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai: a. Efek samping steroid yang berat



16



b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12 minggu. 2. Levamisol Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.



3. Sitostatika Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit 100.000/uL. Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.



17



4. Siklosporin (CyA) 18



Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100150 mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.



5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF) Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia. Ringkasan tata laksana anak dengan SN relaps sering atau dependen steroid dapat dilihat pada Gambar 6.



19



D. PENGOBATAN SN DENGAN KONTRAINDIKASI STEROID Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m 2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls



20



diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). E. PENGOBATAN SN RESISTEN STEROID Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis. 1. Siklofosfamid (CPA) Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7. 2. Siklosporin (CyA) Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap: a. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL b. Kadar kreatinin darah berkala c. Biopsi ginjal setiap 2 tahun Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif.



21



3. Metilprednisolon puls Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.19 (Tabel 1).



22



4. Obat imunosupresif lain Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 8.



23



24



PEMBERIAN



OBAT



NON-IMUNOSUPRESIF



UNTUK



MENGURANGI



PROTEINURIA Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis. Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: 1. Golongan ACEI: kaptopril 0.3mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis, lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal 2. Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal



TATA LAKSANA KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK 1. INFEKSI Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus. Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imunoglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal 25



imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 2. TROMBOSIS Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan. 3. HIPERLIPIDEMIA Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis. Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin). 4. HIPOKALSEMIA Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: a. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia b. Kebocoran metabolit vitamin D2. Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena. 5. HIPOVOLEMIA 26



Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena. 6. HIPERTENSI Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90. 7. EFEK SAMPING STEROID Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.



BAB 3 ILUSTRASI KASUS 27



I.



IDENTITAS PASIEN Nama



: An. AJ



Tanggal lahir



: 13/09/2014



Umur



: 1 tahun 10 bulan



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Berat badan



: 11,4 kg



Panjang badan



: 80 cm



Luas Permukaan Badan : 0,5 m2 Alamat



: Desa Jirak, Kecamatan Sajad



Tanggal masuk



: 20/07/2016



II. ANAMNESA (20 Juli 2016) Alloanamnesa oleh ibu pasien. Keluhan Utama



: Bengkak seluruh tubuh



Keluhan Tambahan



: Demam, batuk, koreng pada kedua kaki



Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Sajad dengan keluhan perut makin membesar dan demam selama 1 minggu. Pasien dikeluhkan oleh orangtuanya bengkak di seluruh tubuh mulai dari wajah, tangan, perut, dan kaki sejak 5 hari SMRS. Bengkak awalnya tidak terlalu nampak, makin lama makin membesar. Bengkak dialami terutama saat bangun tidur di pagi hari. Perut pasien kelihatan semakin membesar, namun pasien tidak mengeluh nyeri pada perutnya. Pasien dikeluhkan demam sejak 7 hari SMRS. Demam naik turun, tinggi terutama saat siang hari. Pasien juga dikeluhkan batuk, sejak 1 minggu SMRS. Batuk berdahak warna putih. Sesak atau nafas cepat disangkal. Selain itu kedua kaki pasien koreng, gatal-gatal sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat sering bermain di genangan air disangkal. Orang tua pasien mengatakan koreng tiba-tiba muncul dan sulit sembuh. Riwayat alergi disangkal. Menurut orang tua pasien, buang air kecil pasien semakin jarang dan sedikit sejak 5 hari SMRS sekitar 2-3 kali perhari. Warna kencing kuning pekat, adanya warna darah disangkal. Nafsu makan pasien dirasa tetap selama sakit. Muntah disangkal. Buang air besar pasien lancar. 28



Riwayat Penyakit Dahulu Pasien pernah mengalami penyakit ini sebelumnya 5 bulan yang lalu. Saat bulan Februari 2016 pasien mengalami bengkak dari wajah, perut, kaki dan tangan. Bengkak disertai demam, batuk, pilek dan BAB cair. Bahkan saat itu bengkaknya lebih parah daripada bengkak saat ini. Pasien kemudian dirawat di RSUD Sambas dan dikatakan bahwa anaknya memiliki penyakit ginjal. Setelah diperbolehkan pulang, pasien kontrol ulang beberapa kali. Namun akhir-akhir ini tidak pernah kontrol ulang karena bengkak tidak kambuh. TIMELINE



5 Bulan SMRS 1 Bulan SMRS HariSMRS SMRS 75Hari MRS Bengkak di seluruh tubuh disertai demam, batuk, pilek Muncul dan BAB koreng cair. Bengkak pada Pasien kedua mulai dirawat kaki. dariDikeluhkan diwajah, RSUD kaki, Sambas gatal. dan Riwayat tangan, danhari dikatakan serta alergiperut sakit (-) makin ginjal. membesar. Nyeri Demam naik turun, tinggi terutama Pasien siang dibawa orangtuanya disertai batuk ke PKM berdahak Sajad, warna kemudian putih Sesak atau nafas cepat disangkal.



Riwayat Penyakit Keluarga :







Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini







Riwayat penyakit kencing manis pada keluarga disangkal. Riwayat kehamilan : Pasien merupakan anak satu-satunya. Pasien lahir di rumah sakit, umur kehamilan aterm, lahir segera menangis, berat bayi lahir 2700 gram, PB, LD dan LK ibu lupa. Kesan bayi: Neonatus Cukup Bulan, Sesuai Masa Kehamilan, Berat Bayi Lahir Normal. Riwayat ANC : Selama hamil ibu tidak pernah sakit, rutin kontrol ke bidan. Selama kehamilan ibu tidak mengkonsumsi obat dan jamu. Ibu hanya mengkonsumsi vitamin yang diberikan oleh bidan. Riwayat Imunisasi: Imunisasi lengkap sampai usia 9 bulan namun ibu lupa detailnya. 29



III. PEMERIKSAAN FISIK (20 Juli 2016) Keadaan Umum Kesadaran



: Composmentis, GCS E4V5M6



Derajat sakit



: Tampak sakit sedang



Vital sign Tekanan Darah Nadi Frekuensi Nafas Suhu



: 120/90 mmHg : 110 kali/menit, reguler, kuat angkat : 26 kali/menit : 38° Celcius



Kepala / leher Rambut Bentuk kepala UUB UUK Mata



: normal, hitam, lebat : normal : sudah menutup : sudah menutup : oedema palpebra +/+, conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-) cowong (-), pupil bulat isokor diameter



Wajah Hidung Mulut Leher



3mm/3mm. : normal : pernapasan cuping hidung (-) discharge (-) : sianosis (-) : tidak ada pembesaran kelenjar limfe



Thoraks PULMO Inspeksi Bentuk dada



: Normal, tidak ada deformitas, simetris



Retraksi



: Tidak didapatkan



Palpasi Gerak dada



: Simetris



Perkusi Perbandingan kanan-kiri : Simetris, sonor-sonor Auskultasi Suara napas Suara tambahan:



: Vesikuler/vesikuler Ronki



: Tidak didapatkan 30



Wheezing



: Tidak didapatkan



JANTUNG Inspeksi



: Impuls pada apeks (-)



Palpasi



: tidak teraba pulsasi apeks



Perkusi



: Sulit dievaluasi



Auskultasi : Suara jantung I-II tunggal Irama



: Teratur



Suara tambahan : Bising



: Tidak didapatkan



Gallop/ iramaderap : Tidak didapatkan Abdomen Inspeksi Bentuk



: cembung



Tumor/ mass : Tidak didapatkan Auskultasi Bising usus



: (+) normal



Palpasi



: soepel



Perkusi Genitalia Extremitas Akral Kulit



Hepar



: Tidak teraba



Lien



: Tidakteraba



Tumor



: Tidak didapatkan



Turgor



: Baik



: Shiftingdullness (+) : Oedema skrotum (-/-) : Hangat, kering, merah, CRT< 2” : Regio Cruris Distal sampai Dorsum Pedis Dekstra dan Sinistra: Didapatkan vesikula di atas kulit yang eritem, beberapa vesikula yang sudah pecah membentuk krusta



Edema



tebal berwarna kuning kecoklatan. : Oedema pitting pada ke empat ektremitas KIMIA KLINIK (20-07-2016)



IV.



Urea



: 12 mg/dl



Kreatinin



: 0,36 mg/dl



DARAH RUTIN (20-07-2016)



Total Protein



: 4,5 gr/dl



Hb



Albumin



: 0,7 gr/dl



Globulin



: 3,8 gr/dl



PEMERIKSAAN PENUNJANG



: 11,7 gr% 31



Hct



: 35%



Leukosit



: 8.400 /mm3



Trombosit



: 408.000 /mm3



Eritrosit



: 5,0 juta



GDS



: 68 mg/dl



URIN RUTIN (21-07-2016)



Sediment



Warna



: Kuning



Lekosit



: 0-2 / LPB



Kekeruhan



: Agak keruh



Eritrosit



: 5-10 / LPB



PH



: 6,5



Epitel



: 0-2 / LPK



Berat Jenis



: 1.020



Silinder



: Negatif



Keton



: Negatif



Kristal



: Negatif



Glukosa



: Negatif



Protein



: (+)3



Bilirubin



: Negatif



Urobilinogen



: Negatif



Nitrit



: Negatif



600mg/dl



V. DAFTAR MASALAH 1. 2. 3. 4. 5.



Bengkak seluruh tubuh (Edema Anasarka) Demam (38 Celcius) Batuk Koreng pada kedua kaki Riwayat sakit seperti ini 5 bulan yang lalu. 6. Tekanan Darah 120/90 mmHg (Hipertensi)



7. 8. 9.



Oedema palpebra +/+ Abdomen cembung, shiftingdullness + (Asites) Infeksi kulit 10. Pitting oedema pada ke empat ekstremitas 11. Albumin : 0,7 gr/dl (Hipoalbuminemia) 12. Protein Urin: (+)3 600mg/dl (Proteinuria masif) 13. Kolesterol: 330 mg/dL (Hiperkolesterolemia) VI. ASSESMENT 1. Sindrom Nefrotik Relaps 32



2. 3. 4. 5. 6.



Edema Anasarka Hipertensi Stage I Infeksi Kulit Bakteri ISPA Asites



VII.



PENATALAKSANAAN



-



Infus D5 ½ NS 5 tpm makro Injeksi Cefotaksim 500 mg/ 8 jam / IV Injeksi Furosemid 5 mg/12 jam / IV Tablet Prednisone 3 – 2 – 1 / PO Tablet Captopril 3,125 mg/12 jam / PO Ambroxol syrup 3 X ½ cth / PO Program: cek kolesterol, evaluasi protein urin, pantau lingkar perut, berat badan,



-



diuresis, balance cairan. VIII.



PROGNOSIS



Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad fuctionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad malam



IX. Tanggal



FOLLOW UP Keluhan Subjektif



Assessment



Terapi yang diberikan



& Objektif 20-07-16



Bengkak seluruh tubuh (+) Batuk (+) berdahak warna putih TD: 120/90 mmHg, BB: 11,4 kg



1. 2. 3. 4. 5. 6.



PB: 80 cm, BSA: 0,5



Sindrom Nefrotik Relaps Edema Anasarka Hipertensi Stage I Infeksi Kulit Bakteri ISPA Asites -



LP: 62 cm. KU: sadar HR: 110x/m RR: 26x/m



-



jam/ PO Ambroxol syrup 3 X ½ cth / PO Diet: - 4 x 200 ml susu - 2 X ½ nasi + ekstra putih telur



Ekstremitas: edema ke empat



Batuk (+) berdahak warna putih



IV Tablet Prednisone 3 – 2 – 1 / PO (Hari ke 1) Tablet Captopril 3,125mg /12



Abdomen: shifting dullness + ekstremitas +/+ Bengkak seluruh tubuh (+) berkurang.



jam / IV (Hari ke 1) Injeksi Furosemid 5mg/ 12 jam /



-



Edema palpebra (+/+)



21-07-16



Infus D5 ½ NS 5 tpm makro Injeksi Cefotaksim 500mg/ 8



1. 2.



Sindrom Nefrotik Relaps Edema Anasarka -



33



Infus D5 ½ NS 5 tpm makro Injeksi Cefotaksim 500mg/ 8



3. TD: 90/60 mmHg, BB: 11 kg LP: 60 cm. KU: sadar



4. 5. 6.



Hipertensi Stage I (Perbaikan) Infeksi Kulit Bakteri ISPA Asites



HR: 110x/m RR: 26x/m



-



jam /IV (Hari ke 2) Injeksi Furosemid 5mg/ 12 jam /



-



IV Tablet Prednisone 3 – 2 – 1 / PO



-



(Hari ke 2) Tablet Captopril 3,125mg /12



-



jam/ PO Ambroxol syrup 3 X ½ cth / PO



Edema palpebra (+/+) Abdomen: shifting dullness +



Diet:



Ekstremitas: edema ke empat



- 4 x 200 ml susu



ekstremitas +/+ (menurun)



- 2 X ½ nasi + ekstra putih telur 22-07-16



Protein urin: +3 (600mg/dL) Bengkak seluruh tubuh (+) berkurang. Batuk (+) berdahak warna putih berkurang.



1. 2.



Sindrom Nefrotik Relaps Edema Anasarka -



Infus D5 ½ NS 5 tpm makro Injeksi Cefotaksim 500mg/ 8



3.



(Perbaikan) Hipertensi Stage I



-



jam /IV (Hari ke 3) Injeksi Furosemid 5mg/ 12 jam /



4. 5. 6.



(Perbaikan) Infeksi Kulit Bakteri ISPA Asites



-



IV Tablet Prednisone 3 – 2 – 1 / PO



-



(Hari ke-3) Tablet Captopril 3,125mg /12



-



jam/ PO Ambroxol syrup 3 X ½ cth / PO



TD: 90/60 mmHg, BB: 11 kg LP: 57 cm. KU: sadar HR: 98x/m RR: 26x/m Edema palpebra (-/-)



Diet:



Abdomen: shifting dullness +
40mg/m2 LPB/ jam atau dipstik ≥ 2+ . Albumin dalam darah biasanya menurun hingga < 2,5 gram/dl. Serta dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang juga dijumpai hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia. Pada pasien ini dijumpai semua kumpulan gejala dan tanda pada Sindrom Nefrotik. Pemeriksaan protein urin pada pasien menunjukkan hasil +3 (dipstik), albumin darah 0,7 gr/dl dan kadar kolesterol darah 330 mg/dl, serta edema anasarka. Pasien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini 5 bulan yang lalu. Kemudian saat ini diukur lagi proteinurin +3. Sehingga pada pasien ini termasuk dalam Sindrom Nefrotik Relaps. Pasien mendapatkan terapi infus D5 ½ NS 5 tpm makro, injeksi Cefotaksim 500mg per 8 jam intravena, injeksi Furosemid 5mg per 12 jam intravena, tablet Prednisone 3 – 2 – 1 per oral, tablet Captopril 3,125mg per 12 jam per oral, Ambroxol syrup 3 X ½ cth peroral, serta diet 4 x 200 ml susu dan 2 X ½ nasi + ekstra putih telur. Pasien mendapat pengobatan kortikosteroid sesuai dengan panduan pengobatan relaps, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu



37



diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai diberikan. Dosis penuh steroid sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Disease in Children) yaitu diberikan Prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Luas permukaan tubuh pasien adalah 0,5 m2. Adapun dosis Prednison yang dibutuhkan adalah 60 mg X 0,5 = 30 mg per hari dibagi dalam 3 dosis. Sehingga pemberian Tablet Prednison 5 mg diberikan sebanyak 3 tablet pada pagi hari, 2 tablet pada siang hari, dan 1 tablet pada malam hari. Pemberian Tablet Prednisone tersebut mengikuti irama sirkadian hormon kortisol dalam tubuh. Selain itu, pasien juga mengalami hipertensi dengan tekanan darah 120/90 mmHg. Hipertensi ialah suatu keadaan tekanan darah sistolik dan atau diastolik ≥ persentil ke 95 untuk umur dan jenis kelamin pada pengukuran 3 kali berturut-turut. Perhitungan tekanan darah pasien adalah berdasarkan tabel-tabel berikut ini:



38



An. AJ/ Laki-laki/ 22 bulan



39



40



Pada pasien ini, An. AJ usia 22 bulan (1 tahun 10 bulan) memilki panjang tubuh 80 cm. Berdasarkan grafik pertumbuhan CDC 2000, tinggi anak berada di persentil 5. Maka dengan demikian dapat dicari TDS dan TDD anak sebagai berikut: TDS



TDD



Persentil 50



80



34



Persentil 90



94



49



Persentil 95



98



54



Persentil 99



105



61



Pada kasus pasien ini tekanan darah sistolik 120 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Ini termasuk Hipertensi Stadium 2, dimana tekanan darah sistolik atau diastolik di atas persentil 99 + 5 mmHg. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mengurangi risiko kardiovaskular. Hal ini penurunan tekanan darah harus bertahap. Target pengobatan adalah menurunkan tekanan darah sampai dibawah persentil 95. Jika sudah ditemukan komorbiditas atau kerusakan end organ maka target penurunan tekanan darah adalah di bawah persentil 90. Pada kasus sindrom nefrotik ini target penurunan tekanan darahnya adalah di bawah persentil 90 dimana TDS < 94 mmHg dan TDD < 52 mmHg. Pada hari kedua perawatan tekanan darah pasien telah turun menjadi TDS 90 mmHg dan TDD 60 mmHg. Dengan demikian target penurunan tekanan darah telah tercapai. Status gizi anak AP dapat ditentukan berdasarkan grafik WHO berikut ini. Status gizi hanya ditentukan oleh panjang badan berdasarkan usia karena berat badan pasien rancu dengan adanya edema anasarka.



41



Berdasarkan grafik WHO di atas, anak berada dalam kelompok di bawah garis -2 pada Z score. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan anak termasuk dalam perawakan pendek.



42



DAFTAR PUSTAKA 1. Kompendium Nefrologi Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: 2011. 2. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi Keenam, Elsevier: 2014. 3. Sindroma Nefrotik, Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi Pertama, Badan Penerbit IDAI: 2008. 4. Sindroma Nefrotik, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku dua, RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008.



43