Laporan Kasus Toxic Epidermal Necrolisis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS



Pembimbing: dr. Andri Catur J., Sp.KK



Oleh : Imron Rosyadi 201420401011117



SMF KULIT DAN KELAMIN RSUD JOMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2016



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS”. Dalam penyelesaian laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. dr.Andri Catur Jatmiko, Sp.KK 2. Seluruh tenaga medis maupun non-medis RSUD Kabupaten Jombang khususnya bagian instalasi kulit dan kelamin. 3. Seluruh teman-teman dokter muda di RSUD Kabupaten Jombang, atas dukungan serta doanya. Laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran serta kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Jombang, 14 Agustus 2016



Penulis



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL..................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................. iii BAB I TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 1 1.1 Pendahuluan ......................................................................................... 1 1.2 Definisi ................................................................................................. 1 1.3 Epidemiologi ........................................................................................ 1 1.4 Etiologi .................................................................................................................. 4 1.5 Patogenesis ............................................................................................ 3 2.6 Gejala klinis ................................................................................................................. 5 2.7 Diagnosis ................................................................................................................. 6 2.8 Diagnosis Banding ................................................................................................................. 8 2.9 Penatalaksanaan ................................................................................................................. 9 2.10 Prognosis ................................................................................................................. 10 BAB II TINJAUAN KASUS ........................................................................ 12 2.1 Identitas Penderita ................................................................................................................. 1 2



2.2 Anamnesis ................................................................................... 12 2.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................... 13 2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 15 2.5 Resume ......................................................................................... 16 2.6 Diagnosis ...................................................................................... 16 2.7 Diagnosis Banding ........................................................................ 16 2.9 Planning ........................................................................................ 16 2.10 Prognosis .................................................................................... 17 BAB III PEMBAHASAN ............................................................................ 18 BAB IV KESIMPULAN .............................................................................. 21 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23



BAB I TINJAUAN PUSTAKA



1.1 Pendahuluan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan reaksi idiosinkrasi yang sering disebabkan oleh karena pengobatan, penyakit ini ditandai dengan demam dan lesi mukokutan yang mengarah ke nekrosis dan mengelupasnya lapisan epidermis (Nirken et al, 2009). Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), atau Lyell Syndrome, menyebabkan pengelupasan lapisan epidermis lebih dari 30 % luas permukaan tubuh. Biasanya dimulai dengan gejala prodromal berupa demam dan malaise, suhu tubuh lebih tinggi dari 390 celcius. Lesi pada kulit berupa macula eritematosa dan patch tersebar hampir seluruh permukaan tubuh. Gejala awal biasanya nyeri pada kulit yang menonjol, kemudian lesi berkembang menjadi penebalan lapisan epidermis yang akan mengalami nekrosis. Gejala klinis ini hampir sama dengan pasien yang mengalami cedera akibat luka bakar (Nirken et al, 2009). Angka kejadian TEN diperkirakan sekitar 0.4 hingga 1.9 per 1 juta penduduk diseluruh dunia. Secara keseluruhan jika digabungkan angka kejadian antara SJS dan TEN mencapai 2 hingga 7 per 1 juta kasus per tahun (Schwartz et al, 2013). 1.2 Definisi Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Reaksi idiosinkrasi ini yang sering disebabkan oleh karena pengobatan, penyakit ini ditandai dengan demam dan lesi mukokutan yang mengarah ke nekrosis dan mengelupasnya lapisan epidermis (Nirken et al, 2009). 1.3 Epidemiologi Angka kejadian TEN diperkirakan dari 0,4-1,9 per 1 juta orang per tahun di seluruh dunia. Insiden keseluruhan gabungan Stevens Johnson Syndrome (SJS) dan TEN diperkirakan 2 sampai 7 per 1 juta kasus per tahun. SJS memiliki kejadian tahunan 1,2 sampai 6 per juta orang, tiga kali lipat dari TEN. Penelitian



telah menunjukkan peningkatan seribu kali lipat dalam kejadian SJS dan TEN pada mereka dengan infeksi HIV. Hal ini dihubungkan dengan penggunaan antiretrovirus pada pasien dengan HIV. TEN dapat mengenai semua kelompok usia dan jenis kelamin namun lebih sering pada orang tua dan wanita.(Schwartz et al, 2013). Terjadi peningkatan resiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 (Evita, 2010) 1.4 Etiologi TEN disebabkan oleh suatu reaksi terhadap suatu obat, beberapa obat penyebab tersering adalah golongan sulfonamid, aromatik antikonvulsan, allopurinol, oxicam NSAID, lamotrigine, and nevirapine. Hubungan antara intake obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. SJS dan TEN umumnya dimulai kurang dari 8 minggu. Berikut Tabel 2.1 yang akan menjelaskan beberapa obat dan resiko timbulnya TEN (Allanore and Roujeau, 2008). Tabel 1.1 Beberapa Obat Penyebab Timbulnya TEN High risk



Lower risk



Doubtful risk



Allopurinol



Acetic acid Nsaids (diclofenac)



Sulfamethoxazole



Aminopenicillins



Sulfadazine



Cephalosporins



Sulfapyridine Sulfasalazine



Quinolones Cyclins



Paracetamol (acetaminophen) Pyrazolone analgesics Other NSAIDs (except aspirin) Sertaline



Carbamazepine



Macrolides



Lamatrigine Phenobarbital Phenytoin



No evidence of risk Aspirin Sulfonylurea Thiazide diuretics Furosemide Addactone Calcium channel blockers Β blockers ACEIs Angiotensin II receptor blocker



Phenylbutazone



Statins



Nevirapine



Hormones



Oxicam NSAIDs



Vitamins



Thiacetazone



1.5 Patogenesis Patogenesis dari TEN sampai saat ini masih belum jelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu (Allanore and Roujeau, 2008). Patogenesis utama diduga akibat adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik), selain itu. Suseptibilitas genetik juga memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi alel HLA spesifik terkait obat (specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SJS dan TEN (Allanore and Roujeau, 2008; James et al, 2011).



Gambar 1.1 Patogenesis TEN



Interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan timbulnya SJS atau TEN adalah 1-3 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan TEN. Sel T sitotoksik yang mengekspresikan skin-homing receptor, cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi awal kutaneus. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-spesific cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-α, interferon γ, IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan atau cairan bula dari pasien dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala TEN dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat inflamasi yang minimal (James et al, 2011) Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan NET, apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap (James et al, 2011; Schwartz et al, 2013). Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal TEN, dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan spesifik. Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotik tersebut tidak segera difagositosis. Pada TEN, dalam kurun waktu singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya. Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang apoptosis tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya,



mengakibatkan gambaran histologik khas berupa full thickness epidermal necrolysis (James et al, 2011; Schwartz et al, 2013). Penelitian (Chung, et al) menunjukkan bahwa molekul sitotoksik lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS maupun TEN. Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK), dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang didapat dari pasien TEN (James et al, 2011; Schwartz et al, 2013). Model patogenesis dari TEN kini dideskripsikan sebagai berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs, NK dan NKT. Proses ini berujung pada FasL dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal (James et al, 2011; Schwartz et al, 2013). 1.6 Gejala Klinis Gejala awal muncul antara 4 hingga 30 hari setelah paparan onset obat. Pada beberapa kasus yang jarang terjadi pada pasien dengan pemakaian obat yang sama, gejala klinis lebih cepat muncul dalam beberapa jam. Gejala awal NET menyerupai gejala flu seperti demam, malaise, rhinitis, dan konjungtivitis, selain itu dapat ditemukan keluhan mata perih, nyeri menelan, dan terkadang dapat disertai kesulitan berkemih yang mendahului timbulnya lesi kulit 1-3 hari pertama (Allanore and Roujeau, 2008).



Gambar 1.2 Lesi Pada Permukaan Tubuh



Lesi kulit biasanya muncul pertama kali pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas proksimal. Bagian distal ekstremitas atas dan bawah biasanya jarang terkena, tetapi telapak tangan dan kaki dapat menjadi lokasi lesi awal. Pada lebih dari 90% pasien ditemukan eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital. Pada 25% pasien terdpat keterlibatan saluran pernapasan dan gastrointestinal (Allanore and Roujeau, 2008).



Gambar 1.3 Lesi Pada Mukosa



Lesi kulit tersebut tersebar secara simteris pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa macula eritematosa. Dengan bertambahnya waktu dapat meluas dan berkembang menjadi nekrotik, terdapat bula kendur dengan tanda Niklsky Sign Positif (Evita, 2010) 1.7 Diagnosis Diagnosis TEN dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis pasien TEN hal yang terpenting adalah terdapat riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu, selain itu dapat ditemukan keluhan berupa nyeri menelan, kesulitan berkemih, dan adanya gejala seperti flu (Allanore and Roujeau, 2008). Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) dengan Steven-Johnson Sindrome (SJS) memiliki kesamaan dalam gejala klinis, gambaran histopatologi, faktor risiko, penyebab, dan mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan dari suatu proses yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh



yang terlibat. TEN dan SJS ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan membran mukosa. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis, klasifikasi pasien dibagi menjadi 3 grup (Revuz and Allanore, 2008).



Gambar 1.4 Pembagian Epidermal Nekrosis Berdasar Luas Permukaan Tubuh



Dalam hal ini aturan untuk mengukur total luas permukaan tubuh menggunakan Body Surface Area (BSA) dapat menggunakan derajat luka bakar. Pengukuran harus meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak, dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Revuz and Allanore, 2008). Pemeriksaan penunjang pada pasien TEN adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan laboratorium tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, biasanya pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien dan memperkirakan prognosis



pasien.



Pada



pemeriksaan



histopatologi



jaringan,



lesi



awal



menunjukkan apoptosis keratinosit lapisan suprabasal dan pada lesi lanjut didapatkan adanya nekrosis di seluruh lapisan epidermis, kecuali stratum korneum, dan terpisahnya lapisan epidermis dan dermis (Allanore and Roujeau, 2008).



Gambar 1.5 Histopatologi pada Toxic Epidermal Necrolysis



1.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk Toxic Epidermal Nekrolysis tidak sulit untuk ditegakkan. Kelainan utama yang disebabkan oleh epidermolisis antara lain (Djuanda dan Hamzah, 2010; Allanore and Roujeau, 2008): -



Sindrom Steven Johnsons (SJS) TEN merupakan keadaan yang lebih lanjut dari SSJ. Beberapa hal yang



membedakan antara TEN dan SJS adalah, pada SSJ tidak didapatkan epidermolisis dan luas permukaan tubuh yang terkena pada pasien SJS kurang dari 10 %.



Gambar 1.6 Stevens-Johnson Syndrome



-



Kombustio Pada Nekrolisis Epidermal Kronis terdapat epidermolisis yang mirip



dengan kelainan kulit kombustio dan pasien tampak sakit berat. Namun pada kombustio uji nikolsky negative serta kadang disertai penurunan kesadaran.



Gambar 1.7 Luka Bakar grd. II



-



Staphylococcus Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S) Gambaran klinis Nekrolisis Epidermal Kronis sangat mirip karena pada



S.S.S.S juga terdapat epidermolisis tetapi selaput lendir jarang dikenai. Penyebab S.S.S.S. adalah Staphylococcus aureus, biasanya pada anak di bawah 5 tahun.



Gambar 1.8 Staphylococcus Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)



1.9 Penatalaksanaan Penataksanaan



Nekrolisis



Epidermal



Toksik



dibagi



menjadi



non



medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non medikamentosa meliputi penjelasan mengenai kondisi pasien dan meminta menghentikan obat penyebab serta mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit (Allanore and Roujeau, 2008).



TEN menurut Pedoman Terapi dan Diagnosis RSUD dr Soetomo, perlu diberikan Dexamethasone 5-20mg sehari IV (0,15-0,2mg/kgBB/hari), tapering off. Kontrol infeksi dengan antibiotik lain seperti Gentamicine 1-1,5mg/kgBB/dosis dan perawatan aseptic. Untuk obat topical perlu diberikan jika lesi basah dan eksudatif, kompres larutan faal.



Hanya pasien dengan keterlibatan kulit yang terbatas dan SCORTEN 0-1 yang tidak perlu penanganan spesial. Sedangkan yang lain harus ditangan di unit intensive atau burn centers. Supportive cares dengan cara: mempertahankan kestabilan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang mengancam nyawa (Allanore and Roujeau, 2008). 1.10 Komplikasi Toxic Epidermal Necrolysis merupakan kondisi kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal. Infeksi dan kehilangan cairan serta elektrolit merupakan keadaan yang mengancam. Nyeri yang dirasakan hampir di seluruh tubuh membuat pasien menderita. Setelah fase akut terlewati kemungkinan menyebabkan timbulnya skar pada kornea. Pasien NET juga sangat berisiko terkena hipotermi (Revuz and Allanore, 2008).



Satu diantara komplikasi yang parah adalah terkenanya epitel trakea dan bronkial yang tejadi pada 20% pasien. Hipoksemia, hipocapnia dan alkalosis metabolik adalah tanda penting dibutuhkannya ventilasi mekanik, ketiga kondisi tersebut juga meningkatkan resiko kematian (Revuz and Allanore, 2008). Komplikasi pada ginjal berupa nekrosis tubular akut akibat terjadinya ketidak seimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonephritis (Revuz and Allanore, 2008). 1.11 Prognosis Dalam menegakkan prognosis pasien dengan TEN dapat menggunakan kriteria SCORTEN dimana setiap point memiliki 1 nilai. Beberapa point yang dinilai antara lain sebgai berikut: (James et al, 2011) • Umur >40 tahun • Denyut jantung >120 x/menit • Kanker atau hematologic malignan • Luas permukaan tubuh > 10 % • Kadar urea serum >10Mm



• Kadar bicarbonate serum < 20 mM • Kadar glukosa serum >14 Mm Tabel 1.2 SCORTEN SCORTEN



Mortality Rate (%)



0-1



3,2



2



12,1



3



35,8



4



58,3



>5



90



Pada pasien yang mengalami penyembuhan, re-epitalisasi terjadi dalam waktu rata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan gangguan pengelihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku (James et al, 2011).



BAB 2 TINJAUAN KASUS



2.1 Identitas Penderita Nama



: Ny. Sukati



Jenis Kelamin



: Perempuan



Umur



: 49 tahun



Agama



: Islam



Suku bangsa



: Jawa



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



Alamat



: Megaluh



No. Registrasi



: 21-41-48



Tanggal pemeriksaan



: 02 Agustus 2016



2.2 Anamnesis 2.2.1 Keluhan Utama: Kulit melepuh. 2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien dirawat inap di Paviliun Dahlia sejak 1 bulan yang lalu dikarenakan ESRD dan di jadwalkan HD. Kulit melepuh sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya kulit berubah warna menjadi hitam di bibir dan wajah saja, kemudian kulit melepuh dan basah. Kulit melepuh tersebut kemudian bertambah luas ke bagian tangan dan badan. Tidak ada gatal dan kulit merah sebelumnya..



Pasien merasakan nyeri dan panas.



Riwayat pengobatan yang sudah didapatkan di Paviliun Dahlia adalah inj. Ranitidine, inj. Furosemid, inj. Transamin, inj. Meropenem, dan CaGluc 2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu:



-



Tidak Pernah mengalami sakit yang sama sebelumnya.



-



Pasien mempunyai CKD dan HD regular.



2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga: -



Saat ini tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.



2.2.5 Riwayat Sosial: -



Sehari-hari pasien berada dirumah bekerja sebagai ibu rumah tangga.



2.2.6 Riwayat Alergi -



Alergi makanan disangkal



-



Alergi obat-obatan disangkal



2.3 Pemeriksaan Fisik 2.3.1 Status Generalisata Keadaan Umum



: Lemah



Tanda-tanda Vital



:



-



Tekanan daraha



: 170/90mmHg



-



RR



: 24x/menit



-



Nadi



: 120x/menit



-



Suhu Axila



: 38,1⁰C



Kesadaran



: Compos Mentis



Kepala



: Lihat status dermatologi



Leher



: Lihat status dermatologi



Thorax



: Lihat status dermatologi



Abdomen



: Lihat status dermatologi



Ekstremitas atas



: Lihat status dermatologi



Ekstremitas bawah



: Lihat status dermatologi



2.3.2 Status Dermatologi Et Regio fascialis, labia, konjungtiva, coli D/S, thoraks anterior/posterior, abdomen, ekstrimitas superior/inferior, terdapat



macula eritematosa batas tidak jelas, bentuk tidak teratur, disertai dengan bula berdinding kendur, erosi, dan krusta berwarna hitam.



Gambar 2.1



Gambar 2.2



Gambar 2.3



Gambar 2.4



Gambar 2.1, 2.2, 2.3, 2.4, 2. Et Regio fascialis, labia, konjungtiva, coli D/S, thoraks anterior/posterior, abdomen, ekstrimitas superior/inferior



2.4 Pemeriksaan Penunjang -



Hb



: 12,5



-



Leukosit



: 6.300



-



PCV



: 23,8



-



Eritrosit



: 3.400.000



-



Trombosit



: 126.000



-



Urea



:29mg/dl



-



Kreatinin



:7,1mg/dl



-



GDA



: 254mg/dl



2.5 Resume -



Pasien Ny. S usia 49tahun. MRS di Paviliun Dahlia dikarenakan ESRD, dikonsulkan dengan keluhan kulitnya melepuh.



-



Kulit melepuh timbul sejak 1 minggu yang lalu, setelah 1 bulan rawat inap di Paviliun Dahlia



-



Kulit awalnya berubah warna hitam hanya di bibir dan wajah saja. Kemudian berubah melepuh dan basah. Kulit melepuh tersebut bertambah luas ke tangan dan badan pasien.



-



Kulit melepuh setelah 1 hari diberikan injeksi Meropenem.



-



Luas permukaan tubuh yang terkan sebanyak 73%.



Status Dermatologis: Et Regio fascialis, labia, konjungtiva,



coli D/S, thoraks



anterior/posterior, abdomen, ekstrimitas superior/inferior, terdapat macula eritematosa batas tidak jelas, bentuk tidak teratur, disertai dengan bula berdinding kendur, erosi, dan krusta berwarna hitam. 2.6 Diagnosis Toxic Epidermiolisis Necrotic (TEN) ec Susp. Inj. Meropenem. 2.7 Diagnosis Banding -



SJS



-



Kombustio



-



SSSS



2.8 Planning 2.7.1 Planning Diagnosis: 2.7.2 Planning Terapi -



Medikamentosa



a. Kausatif : Hentikan Meropenem atau ganti antibiotik dengan Cefotaxim. b. Dexamethasone 3x1 ampul. c. Perawatan suportif (keseimbangan cairan, nutrisi sesuai kebutuhan, perawatan aseptic kulit) d. Topikal : PZ dan kassa steril untuk mengompres lukasiang dan malam. 2.7.3 Planning Monitoring -



Keluhan pasien dan efloresensi.



-



Tanda-tanda vital.



-



Score TEN.



2.7.4 Planning Edukasi -



Menjaga kulit agar tetap lembab sehingga erosi jarang terjadi.



-



Memberikan penjelasan untuk sering mengubah posisi pasein untuk menghindari terkelupasnya kulit dibagian punggung.



-



Memberikan penjelasan kepada pasien tentang diagnosis dan penyebab sampai dengan prognosis dari TEN.



2.9 Prognosis Menurut Score TEN, prognosis pasien ini adalah buruk. Hal itu dapat di lihat dari Mortality Rate menurut SCORE TEN, yaitu 90% prognosis dinilai antara lain sebgai berikut: (James et al, 2011) • Umur >40 tahun • Denyut jantung >120 x/menit • Kanker atau hematologic malignan • Luas permukaan tubuh > 10 % • Kadar urea serum >10Mm • Kadar bicarbonate serum < 20 mM • Kadar glukosa serum >14 mM SCORTEN



Mortality Rate (%)



0-1



3,2



2



12,1



3



35,8



4



58,3



>5



90



BAB 3 PEMBAHASAN



Pada kasus ini, identitas pasien adalah Ny. Sukati, perempuan berusia 49 tahun, dikonsulkan dengan keluhan kulit melepuh. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosis TEN ec Susp. Injeksi Meropenem. Hal ini sama dengan yang dipaparkan di tinjauan pustaka , yaitu terjadi peningkatan resiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 (Evita, 2010). TEN dapat mengenai semua kelompok usia dan jenis kelamin namun lebih sering pada orang tua dan wanita.(Schwartz et al, 2013). Pasien MRS di Pavilun Dahlia dengan ERSD, sejak 1 bulan yang lalu dengan diagnosis, koma uremikum membaik, ESRD + HD Reguler, Sepsis dan HHF. Pasien mendapatkan terapi Inj. Furosemid, Inj. Transamin, Inj. Meropenem, Meylon dan Ca Gluc serta HD Reguler. Menurut anamnesis pada tanggal 2 Agustus 2016, kulit pasien melepuh sejak 1 minggu ini, 1 hari setelah diberikan Inj. Meropenem pada tanggal 22 Juli 2016. Hal ini tidak sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu gejala awal muncul antara 4 hingga 30 hari setelah paparan onset obat. (Allanore and Roujeau, 2008). Hal ini dapat dikarenakan obat yang diberikan melalui injeksi, sehingga gejala awal muncul lebih cepat. Pasien diberikan Inj. Meropenem oleh karena Sepsis, 1 hari kemudian terjadi gejala TEN tersebut. Sehingga Meropenem dapat dijadikan tersangka obat yang menyebabkan TEN pada pasien ini. Hal ini sesuai dengan tabel 2.1 yaitu tabel tentang obat yang dapat menyebabkan timbulnya TEN. Meropenem meruapakan antibiotic golongan Sefalosphorin Beta Laktam, yang merupakan obat yang dapat menimbulkan TEN (lower risk). Tabel 2.1 Beberapa Obat Penyebab Timbulnya TEN High risk



Lower risk



Doubtful risk



No evidence of risk



Allopurinol



Acetic acid Nsaids (diclofenac)



Paracetamol (acetaminophen)



Aspirin



Sulfamethoxazole



Aminopenicillins



Sulfadazine



Cephalosporins



Sulfapyridine Sulfasalazine



Quinolones Cyclins



Carbamazepine



Macrolides



Pyrazolone analgesics Other NSAIDs (except aspirin) Sertaline



Lamatrigine Phenobarbital Phenytoin



Sulfonylurea Thiazide diuretics Furosemide Addactone Calcium channel blockers Β blockers ACEIs Angiotensin II receptor blocker Statins Hormones Vitamins



Phenylbutazone Nevirapine Oxicam NSAIDs Thiacetazone Kulit melepuh awalnya di bibir, mata, dan wajah, kemudian bertambah luas ke tangan, tubuh dan kaki pasien, terdapat macula eritematosa batas tidak jelas, bentuk tidak teratur, disertai dengan bula berdinding kendur, erosi, dan krusta berwarna hitam dan Nikolsky Sign positif. Hal ini sesuai dengan gejala klinis pada TEN menurut Evita dan Allanore and Roujeau, yaitu lesi kulit pada TEN tersebar secara simteris pada wajah, badan dan bagian proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa. Dengan bertambahnya waktu dapat meluas dan berkembang menjadi nekrotik, terdapat bula kendur dengan tanda Nikolsky Sign Positif. Pada lebih dari 90% pasien ditemukan eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital. Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penghentian injeksi Meropenem atau ganti dengan injeksi Cefotaksim. Pemberian Dexamethasone 3x1 ampul, perawatan suportif, dan pengobatan topical dengan kassa dan PZ. Hal ini sudah sesuai dengan tinjaun pustaka yaitu menurut Allanore and Roujeau, pada tahun 2008, penataksanaan Nekrolisis Epidermal Toksik dibagi menjadi non medikamentosa dan terapi medikamentosa. Terapi non medikamentosa meliputi penjelasan mengenai kondisi pasien dan meminta menghentikan obat penyebab serta mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. TEN



menurut



Pedoman



Terapi dan Diagnosis RSUD dr Soetomo, perlu diberikan Dexamethasone 5-20mg sehari IV (0,15-0,2mg/kgBB/hari), tapering off. Kontrol infeksi dengan antibiotik



lain seperti Gentamicine 1-1,5mg/kgBB/dosis dan perawatan aseptik. Untuk obat topikal perlu diberikan jika lesi basah dan eksudatif, kompres larutan faal. Prognosis pasien ini menurut pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah dilakukan yaitu, usia 49 tahun, denyut jantung 120x/menit, Urea 29mg/dl, GDA 254mg/dl, dan luas permukaan tubuh sebanyak 73% termasuk Mortality Rate 90%. (James et al, 2011). Pasien meninggal pada tanggal 7 Agustus 2016, saat melakukan HD Reguler. SCORTEN



Mortality Rate (%)



0-1



3,2



2



12,1



3



35,8



4



58,3



>5



90



DAFTAR PUSTAKA



Allanore V., Roujeau J.C. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Goldsmith A.L., Katz S.I., Gilchrest B.A (eds). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. Mc Graw Hill. USA; 2008. Chapter 39. p. 350-355. Djuanda A., dan Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksik. In: Djuanda A., Hamzah M., Aisah S. (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 5. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. hal. 166-168. James W.D., Berger T., Elston D. Bullous Drug Reactions (Stevens–Johnson Syndrome [SJS] And Toxic Epidermal Necrolysis [TEN]). In: Andrew's Diseases of the Skin, Clinical Dermatology. 11th Edition. 2011. London: Saunders Elsevier: 115-117. Nirken M.H., High W.A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Clinical manifestations, pathogenesis, and diagnosis. January, 2009. p. 1-24. Revuz J., Allanore L.V. Drug Reaction. In: Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. 2nd edition. 2008. London: Mosby Elsevier: 291-299. Schwartz R.A., McDonough P.H., Lee B.W. Toxic Epidermal Necrolysis. J Am Acad Dermatol. August, 2013. p. 173.e1-e13.