LAPORAN PENDAHULUAN FISTEL PERIANAL (Lia) - 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN RESUME KEPERAWATAN FISTEL PERIANAL DI RSUD LAMADDUKELLENG SENGKANG



DISUSUN OLEH : LIA ADRIANI BAKMA, S. Kep NIM : 202103016



PRESEPTOR LAHAN



PRESEPTOR INSTITUSI



INSTITUT TEKNOLOGI KESAHATAN DAN SAINS MUHAMMADIYAH SIDRAP 2021/2022



LAPORAN PENDAHULUAN FISTEL PERIANAL A. DEFINISI Fistel perianal/Fistula perianal/fistula ani disebut juga fistula in ano yang merupakan sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan dari kulit perianal. Hubungan ini berupa sebuah traktus yang terbentuk oleh jaringan granulasi. Bukaan primernya terletak pada kanalis anal dan bukaan sekundernya terletak pada kulit perianalis. Bukaan sekundernya dapat multiple yang berasal dari satu nukaan primer saja. Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran lain, atau antara suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit. Yang pertama disebut fistula interen dan yang kedua fistula eksteren. Fistula anorektal atau fistula ani adalah terowongan abnormal dari anus atau rektum, biasanya menuju ke kulit dekat anus, tapi bisa juga ke ke organ lainnya seperti vagina. Fistula perianal adalah komunikasi abnormal antara anus dengan kulit perianal. Kelenjar pada kanalis analis terletak pada linea dentate menyediakan jalur organism yang menginfeksi untuk dapat mencapai ruang intramuscular. Fistula perianal sering terjadi pada laki-laki berumur 20-40 tahun, berkisar 1-3 kasus tiap 10.000 orang. Sebagian besar luka fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi tidak semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk fistula.



B. ETIOLOGI Kebanyakan fistula berasal dari kelenjar dalam didinding anus atau rectum.kadang-kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada abses anorektal. Terdapat sekitar 7-40% pada kasus abses anorektal berlanjut menjadi Fistula perianal. Namun lebih sering penyebabnya tidak adapat diketahui. Organisme yang biasanya terlibat dalam pembentukan abses adalah Escherichiacholi, enterococcus sp, dan bakteroides sp. Fistula juga



sering



ditemukan



pada



penderita



dengan



penyakit



chohn,



tuberculosis, devertikulitis, kanker atau cedera anus maupun rectum, aktinomikosis dan infeksi klamidia. C. PATOFISIOLOGI Hipotesis



yang



paling



jelas



adalah



kriptoglandular,



yang



menjelaskan bahwa fistula ani merupakan abses anorektal tahap akhir yang telah terdrainase dan membentuk traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang terproyeksi melalui sfingter internal dan mengalir menuju kripta pada linea dentata. Kelenjar dapat terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan dengan penyumbatan itu, terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar. Penyumbatan ini juga dapat terjadi setelah trauma, pengeluaran feces yang keras, atau proses inflamasi. Apabila kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal, maka akan terbentuk abses di dalam rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan akan menghasilkan jalan keluar dengan meninggalkan fistula, dimana fistula mempunyai satu muara di kripta di perbatasan anus dan rektum, dan lobang lain di perineum di kulit perianal.



D. MANIFESTASI KLINIS Umumnya, gejala utama yang sering terjadi adalah keluarnya pus seropuruluen yang mengiritasi kulit dan sekitarnya dan menyebabkan perasaan tidak enak. Terkadang anamnesis mengatakan gejala ini sudah menahun. Abses perianal yang rekurens menyarankan adanya fistula ani. Selma bukaannya cukup besar untuk pus keluar, maka nyeri belum menjadi gejala. Tapi bila bukaannya tersumbat maka nyeri akan timbul meningkat hingga pus dapat keluar. Biasanya bukaan hanya soliter, terletak 3,5-4 cm dari anus, memberi gambaran elevasi kecil dengan jaringan granulasi warna merah pada mulut lubang. Bila elevasi keluar akan keluar pus. E. KLASIFIKASI 1. Intersphinteric fistula Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna dan bermuara berdekatan dengan lubang anus. 2. Transphinteric fistula Berawal dalam ruang di antara muskulus sfingter eksterna dan interna, kemudian melewati muskulus sfingter eksterna dan bermuara sepanjang satu atau dua inchi di luar lubang anus, membentuk huruf ‘U’ dalam tubuh, dengan lubang eksternal berada di kedua belah lubang anus (fistula horseshoe). 3. Suprasphinteric fistula Berawal dari ruangan diantara muskulus sfingter eksterna dan interna yang membelah ke atas muskulus pubrektalis lalu turun di antara puborektal dan muskulus levator ani lalu muncul satu atau dua inchi di luar anus. 4. Ekstrasphinteric fistula Berawal dari rektum atau colon sigmoid dan memanjang ke bawah, melewati muskulus levator ani dan berakhir di sekitar anus. Fistula ini biasa disebabkan oleh abses appendiceal, abses diverticular, atau Crohn’s Disease.



F. KOMPLKASI Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda,sebagai berikut : 1. Komplikasi yang dapat langsung terjadi antara lain: a. Perdarahan b. Impaksi fecal c. Hemorrhoid 2. Komplikasi yang tertunda antara lain adalah: a. Inkontinensia,



Munculnya



inkontinensia



berkaitan



dengan



banyaknya otot sfingter yang terpotong, khususnya pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak tinggi dan letak posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja dapat merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih banyak. Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat tidak rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas dan feces. Risiko ini juga meningkat seiring menua dan pada wanita. b. Rekurens Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi dari bukaan interna dan eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab persistennya fistula. Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada wanita. c. Stenosis kanalis Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. Penyembuhan luka yang lambat. Penyembuhan luka membutuhkan waktu kurang lebih 12 minggu, kecuali ada penyakit lain yang menyertai (seperti penyakit Crohn).



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Fistulografi, yaitu memasukkan alat ke dalam lubang/fistel untuk mengetahui keadaan luka. 2. Pemeriksaan harus dilengkapi dengan rektoskopi untuk menentukan adanya penyakit di rektum seperti karsinoma atau proktitis tbc, amuba, atau morbus Crohn. 3. Fistulografi: Injeksi kontras melalui pembukaan internal, diikuti dengan anteroposterior, lateral dan gambaran X-ray oblik untuk melihat jalur fistula. 4. Ultrasound endoanal / endorektal: Menggunakan transduser 7 atau 10 MHz ke dalam kanalis ani untuk membantu melihat differensiasi muskulus intersfingter dari lesi transfingter. Transduser water-filled ballon membantu evaluasi dinding rectal dari beberapa ekstensi suprasfingter. 5. MRI: MRI dipilih apabila ingin mengevaluasi fistula kompleks, untuk memperbaiki rekurensi. 6. CT- Scan: CT Scan umumnya diperlukan pada pasien dengan penyakit crohn atau irritable bowel syndrome yang memerlukan evaluasi perluasan daerah inflamasi. Pada umumnya memerlukan administrasi kontras oral dan rektal. 7. Barium Enema: untuk fistula multiple, dan dapat mendeteksi penyakit inflamasi usus. 8. Anal Manometri: evaluasi tekanan pada mekanisme sfingter berguna pada pasien tertentu seperti pada pasien dengan fistula karena trauma persalinan, atau pada fistula kompleks berulang yang mengenai sphincter ani.



H. PENATALAKSANAAN 1. Terapi Konservatif Medikal dengan pemberian analgetik, antipiretik serta profilaksis antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren. 2. Terapi pembedahan: a. Fistulotomi: Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit, dibiarkan terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat mungkin dilakukan fistulotomi. b. Fistulektomi: Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya terbuka. c. Seton: benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua macam Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan. d. Advancement Flap: Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi keberhasilannya tidak terlalu besar. e. Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh. Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana, tidak sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya 16%. Pasca Operasi Pada operasi fistula simple, pasien dapat pulang pada hari yang sama setelah operasi. Namun pada fistula kompleks mungkin membutuhkan rawat inap beberapa hari. Setelah operasi mungkin akan terdapat sedikit darah ataupun cairan dari luka operasi untuk beberapa hari, terutama sewaktu buang air besar. Perawatan luka pasca operasi meliputi sitz bath (merendam daerah pantat dengan cairan antiseptik), dan



penggantian balutan secara rutin. Obat obatan yang diberikan untuk rawat jalan antara lain antibiotika, analgetik dan laksatif. Aktivitas sehari hari umumnya tidak terganggu dan pasien dapat kembali bekerja setelah beberapa hari. Pasien dapat kembali menyetir bila nyeri sudah berkurang. Pasien tidak dianjurkan berenang sebelum luka sembuh, dan tidak disarankan untuk duduk diam berlama-lama. I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Riwayat Keperawatan 1) Keluhan utama : menjelaskan keluhan yang dirasakan oleh pasien



saat



ini.



Mengkaji



keluhan



utama



apa



yang



menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab atau pencetus timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat sakit kemana minta pertolongan, apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan merokok, minum alkohol, minum kopi atau minum obat-obatan. 2) Riwayat kesehatan dahulu : penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah di derita oleh pasien yang menyebabkan pasien dirawat. 3) Riwayat kesehatan keluarga : adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain yang bersifat genetik maupun tidak.



b. Pemeriksaan Fisik 1) Keadaan umum : umumnya penderita datang dengan keadaan sakit dan gelisah atau cemas akibat adanya bisul pada daerah anus. 2) Tanda-tanda Vital : tekanan darah normal, nadi cepat, suhu meningkat dan pernafasan meningkat. 3) Pemeriksaan kepala dan leher : a) Kepala dan rambut : pemeriksaan meliputi bentuk kepala, penyebaran dan perubahan warna rambut serta pemeriksaan tentang luka. Jika ada luka pada daerah tersebut, menyebabkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan kulit. b) Mata : meliputi kesimetrisan, konjungtiva, reflek pupil terhadap cahaya dan gangguan penglihatan. c) Hidung : meliputi pemeriksaan mukosa hidung, kebersihan, tidak timbul pernafasan cuping hidung, tidak ada sekret. d) Mulut : catat keadaan adanya sianosis atau bibir kering. e) Telinga : meliputi bentuk gangguan pendengaran karena adanya benda asing, perdarahan dan serumen. Pada penderita yang bed rest dengan posisi miring maka kemungkinan akan terjadi ulkus didaerah daun telinga. f) Leher : mengetahui posisi trakea, denyut nadi karotis, ada tidaknya pembesaran vena jugularis dan kelenjar limfe. 4) Pemeriksaan dada dan thorax : Inspeksi bentuk thorax dan ekspansi paru, auskultasi irama pernafasan, vokal premitus, adanya suara tambahan, bunyi jantung, dan bunyi jantung tambahan, perkusi thorax untuk mencari ketidaknormalan pada daerah thorax.



5) Abdomen : bentuk perut datar atau flat, bising usus mengalami penurunan karena immobilisasi, ada masa karena konstipasi, dan perkusi abdomen hypersonor jika dispensi abdomen atau tegang. 6) Urogenital : Inspeksi adanya kelainan pada perinium. Biasanya klien dengan fistula ani yang baru di operasi terpasang kateter untuk buang air kecil. 7) Muskuloskeletal



:



Adanya



fraktur



pada



tulang



akan



menyebabkan klien bedrest dalam waktu lama, sehingga terjadi penurunan kekuatan otot. 8) Pemeriksaan Neurologi : Tingkat kesadaran dikaji dengan sistem GCS. Nilainya bisa menurun bila terjadi nyeri hebat (syok neurogenik) dan panas atau demam tinggi, mual muntah, dan kaku kuduk. 9) Pemeriksaan Kulit : a) Inspeksi kulit : Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk membran mukosa, kulit kepala, rambut dan kuku. Tampilan kulit yang perlu dikaji yaitu warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit (kasar atau halus), lesi, vaskularitas. Yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu : i. Warna, dipengaruhi oleh aliran darah, oksigenasi, suhu badan dan produksi pigmen. Lesi yang dibagi dua yaitu : 



Lesi primer, yang terjadi karena adanya perubahan pada salah satu komponen kulit







Lesi sekunder adalah lesi yang muncul setelah adanya lesi primer. Gambaran lesi yang harus diperhatikan oleh perawat yaitu warna, bentuk, lokasi dan kofigurasinya.



ii. Edema Selama inspeksi kulit, perawat mencatat lokasi, distribusi dan warna dari daerah edema. iii.Kelembaban Normalnya, kelembaban meningkat karena peningkatan aktivitas atau suhu lingkungan yang tinggi kulit kering dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lingkungan kering atau lembab yang tidak cocok, intake cairan yang inadekuat. iv. Integritas Yang harus diperhatikan yaitu lokasi, bentuk, warna, distribusi, apakah ada drainase atau infeksi. v. Kebersihan kulit vi. Vaskularisasi



Perdarahan



dari



pembuluh



darah



menghasilkan petechie dan echimosis. Palpasi kulit Yang perlu diperhatikan yaitu lesi pada kulit, kelembaban, suhu, tekstur atau elastisitas, turgor kulit. 2. Data Fokus Kemungkinan ditemukan data objektif dan data subjektif, yaitu : Data Objektif : ekspresi wajah tampak meringis saat tidur terlentang. Kulit tampak kemerahan dan ada luka operasi yang terpasang handscoen drain. Data Subjektif : pasien mengatakan ada bisul di daerah dubur dan terasa nyeri. 3. Diagnosa Keperawatan a. Pre operasi: 1) Nyeri pada daerah perianal berhubungan dengan adanya luka pada perianal. 2) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin terkontaminasi.



3) Kecemasan berhubungan dengan physiologi faktor akibat proses peradangan. 4) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan didapatnya. b. Post operasi: 1) Nyeri area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi. 2) Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan efek anestesi, pemasukan cairan yang tidak adekuat. 3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan risiko prosedur invasive, luka yang mungkin terkontaminasi. 4. Intervensi a. Pre operasi 1) Nyeri berhubungan dengan adanya luka pada perianal Tujuan: Nyeri berkurang sampai hilang Kriteria hasil: klien menunjukkan toleransi terhadap nyeri, klien mengungkapkan nyeri berkurang. Intervensi: 



Kaji frekuensi dan intensitas nyeri dengan skala 1 – 10. Rasional: perubahan karakteristik nyeri mengidikasikan adanya perkembangan kearah komplikasi.







Perhatikan tanda-tanda nonverbal seperti; takut bergerak, kegelisahan. Rasional:



bahasa



tubuh/perilaku



nonverbal



dapat



digunakan sebagai data yang menunjukkan adanya rasa nyeri/tak nyaman.







Kaji faktor-faktor yang mengganggu atau meningkatkan nyeri. Rasional: keadaan stress dapat meningkatkan rasa nyeri.







Berikan posisi yang nyaman (telungkup, miring), aktivitas pengalihan perhatian Rasional: meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kemampuan koping.







Bersihkan area rectal dengan sabun yang lembut dan air sesudah bab dan rawat kulit dengan salf, petroleum jelly. Rasional: menjaga kulit sekitar rektal dari asam isi perut, menjaga exoriasi.







Berikan rendaman duduk. Rasional: menjaga kebersihan dan memberikan rasa nyaman.







Observasi area perianal fistel. Rasional: fistula mungkin berkembang dari erosi dan kelemahan dari dinding intestinal.







Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik. Rasional: Analgetik membantu mengurangi nyeri.



2) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka terbuka yang mungkin



terkontaminasi.



Tujuan:



infeksi



tidak



terjadi.



Kriteria hasil: tanda vital dalam batas normal (peningkatan suhu tidak terjadi), leukosit normal Rencana tindakan: 



Kaji area luka, catat adanya penambahan luas luka, karakteristik cairan yang keluar dari luka. Rasional: adanya pus mengindikasikan adanya infeksi







Monitor tanda-tanda vital, peningkatan suhu tubuh. Rasional: peningkatan suhu mengindikasikan adanya proses infeksi.







Rawat luka dengan prinsip aseptik. Rasional: luka pada klien adalah luka kotor, prinsip aseptik mencegah terjadinya infeksi tambahan.







Berikan diet yang adekuat. Rasional: klien membutuhkan nutrisi yang cukup untuk penyembuhan lukanya.







Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. Rasional: antibiotik membantu menghambat terjadinya infeksi.



3) Kecemasan berhubungan dengan faktor fisiologi akibat proses peradangan. Tujuan: kecemasan berkurang Kriteria hasil: ekspresi wajah klien tenang, mengungkapkan kesadarannya akan perasaan cemasnya. Intervensi 



Bina hubungan saling percaya. Rasional: hubungan saling percaya merupakan dasar dari komunikasi therapeutik.







Perhatikan perubahan perilaku klien, kegelisahan, tak ada kontak mata, tampak kurang tidur. Rasional: indikator peningkatan stress/kecemasan.







Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya, berikan feedback. Rasional: membina hubungan therapeutik.







Dengarkan ungkapan klien dengan empati. Rasional: dengan menunjukkan sikap empati, diharapkan akan membantu mengurangi kecemasan klien.







Berikan informasi yang akurat. Rasional: dengan memberikan informasi yang akurat akan membantu menurunkan tingkat kecemasan.







Ciptakan ketenangan dan lingkungan yang nyaman. Rasional: membantu meningkatkan relaxasi, mengurangi kecemasan.







Kolaborasi untuk pemberian sedativa, seperti barbiturat, anti anxietas seperti, diazepam. Rasional: sedativa/anti anxietas membantu mengurangi kecemasan dan membantu istirahat.



4) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan tindakan yang akan didapatnya berhubungan dengan kurangnya informasi. Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah Kriteria hasil: Klien mampu mengungkapkan tentang proses penyakit dan penanggulangannya. Berpartisipasi dalam penatalaksanaan regimen. Intervensi : 



Kaji persepsi klien tentang proses penyakitnya. Rasional: menentukan tingkat pengetahuan klien dan kebutuhan informasi yang diperlukan.







Ulangi penjelasan tentang proses penyakit, penyebab, tanda dan gejala penyakit serta penanggulangannya. Rasional: dengan memberikan penjelasan yang memadai klien tahu proses penyakit dan tindakan yang akan didapatnya, sehingga klien dapat menerima tindakan yang didapatnya.







Tekankan pentingnya menjaga kebersihan kulit, seperti : tehnik cuci tangan yang baik dan perawatan kulit perianal. Rasional: mengurangi penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit dan infeksi.



a. Post Operasi 1) Nyeri pada area operasi berhubungan dengan adanya eksisi luka operasi. Tujuan: nyeri berkurang atau terkontrol Kriteria hasil: ekspresi wajah klien rileks, cukup istirahat, mengungkapkan nyeri berkurang /dapat ditahan. Intervensi : 



Kaji lokasi, intensitas nyeri dengan skala 0 – 10, faktor yang mempengaruhi. Perhatikan tanda-tanda nonverbal. Rasional: membantu menentukan intervensi selanjutnya.







Monitor tanda-tanda vital Rasional: perubahan tanda-tanda vital, peningkatan tekanan darah, nadi dan pernafasan bisa diakibatkan karena nyeri.







Kaji area luka operasi, adanya edema, hematoma atau inflamasi. Rasional: pembengkakan, inflamasi dapat menyebabkan meningkatnya nyeri.







Berikan posisi yang nyaman dan lingkungan yang tenang, ajarkan tehnik relaksasi, pengalihan perhatian. Rasional: membantu mengurangi dan mengontrol rasa nyeri.







Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgesik. Rasional: analgesik membantu mengurangi nyeri.



2) Perubahan pola eliminasi konstipasi/diare berhubungan dengan efek



anestesi,



pemasukan



cairan



yang



tidak



adekuat.



Tujuan: pola eliminasi kembali berfungsi normal. Intervensi: 



Auskultasi bising usus. Rasional: adanya suara bising usus yang abnormal, merupakan tanda adanya komplikasi.







Anjurkan makanan/minuman yang tidak mengiritasi. Rasional: menurunkan resiko iritasi mukosa.







Kolaborasi medik untuk pemberian glyserin suppositoria. Rasional: membantu melunakkan feses.



3) Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya prosedur invasive, luka yang mungkin terkontaminasi. Tujuan: tidak terjadi infeksi, luka sembuh tanpa komplikasi. Intervensi: 



Kaji area luka operasi, observasi luka, karakteristik drainage, adanya inflamasi. Rasional: penambahan infeksi dapat mengambat proses penyembuhan.







Monitor tanda-tanda vital, temperatur, respirasi, nadi. Rasional: peningkatan temperatur, pernapasan, nadi merupakan indikasi adanya proses infeksi.







Rawat area luka dengan prinsip aseptik. Jaga balutan kering. Rasional: menjaga pasien dari infeksi silang selama penggantian balutan.







Kolaborasi



untuk



pemeriksaan



cultur



dari



sekret/drainage, kedua dari tengah dan pinggir luka. Rasional: dengan mengetahui adanya organisme akan menentukan pemberian antibiotik.







Berikan antibiotik sesuai pesan medik. Rasional: antibiotik mencegah dan melawan infeksi.







Bila perlu lakukan irigasi luka. Rasional: irigasi luka dengan antiseptik baik untuk melawan infeksi