Laporan Praktikum Biofarmasetik Dan Farmakokinetika (Hafita Dinda Maryana - 27717414) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIK DAN FARMAKOKINETIKA



Nama Mahasiswa NPM Jadwal Praktikum



: Hafita Dinda Maryana : 27717414 : Rabu 14 Oktober 2020



FAKULTAS ILMU KESEHATAN & FARMASI UNIVERSITAS GUNADARMA 2020



PERCOBAAN I PENGARUH FORMULASI TERHADAP PROFIL DISOLUSI I. Tujuan Percobaan Agar mahasiswa memahami pengaruh formulasi sediaan obat terhadap profil disolusi. II. Dasar Teori Untuk mencapai absorpsi sistemik, suatu obat padatan akan mengikuti beberapa proses seperti disintegrasi, disolusi dan absorpsi melalui membran sel. Pada proses tersebut, laju obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan oleh tahapan yang paling lambat “rate limiting step”. Obat yang memiliki kelarutan jelek dalam air, maka disolusi merupakan tahap penentu dalam proses tersebut Disolusi adalah salah satu proses biofarmasetik yang harus dialami oleh suatu zat aktif obat dalam tubuh pada saat obat digunakan dalam terapi. Pengujian disolusi digunakan untuk mengetahui secara invitro pelepasan zat aktif obat dari bentuk sediaan menjadi bentuk terlarut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi disolusi obat, diantaranya sifat fisikokimia bahan obat, faktor formulasi, anatomi dan fIsiologi saluran cerna dan lain-lain. Salah satu faktor yang akan diamati adalah pengaruh formulasi sediaan obat. Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen. Asetaminofen di Indonesia lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas. Efek analgetik parasetamol dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menghilangkan nyeri, baik secarasentral maupun secara perifer. Secara sentral parasetamol bekerja pada hipotalamus sedangkan secara perifer, menghambat pembentukan protagladin di tempat inflamasi, mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi. Asetaminofen atau parasetamol adalah obat analgesik-antipiretik yang populer dan banyak digunakan untuk meredakan sakit kepala, sakit ringan, dan demam. Asetaminofen banyak digunakan dalam sebagian besar resep karena aman dalam dosis standar. Dari pengukuran kualitas farmasetika suatu sediaan yang mengandung bahan aktif dan dosis yang sama serta rute pemberian yang sama tidak menjamin memberikan ketersediaan farmasetika yang sama. Hal ini disebabkan oleh modifikasimodifikasi formulasi yang dalakukan oleh masing-masing pabrik. Laju pelepasannya merupakan tahap yang paling menentukan kecepatan bioavailabilitas obat.



Monografi Paracetamol



Asetaminofen mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.  Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa pahit. 



Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P; larut dalam larutan alkali hidroksida.







Suhu lebur : 169 sampai 172 .







Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.







Khasiat dan kegunaan : Analgetik dan Antipireutik.







Dosis maksimal per hari parasetamol tidak dicantumkan, tetapi normalnya 3 - 4x sehari. Apabila parasetamol diberikan secara terus menerus akan menyebabkan hepatotoksik



III. Bahan dan Alat Bahan a. HCl 0,1 N b. Tablet parasetamol patent dan generik Alat a. Dissolution tester b. Sprektofotometer UV Vis c. Pipet ukur dan alat-alat gelas Iainnya IV. Pelaksanaan Percobaan A. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Paracetamol dalam HCl 0,1 N 1) Buat larutan standar paracetamol dalam HCl 0,1 N dengan konsentrasi 14 μg/mL 2) Ukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV – VIS pada panjang gelombang 220-350 nm 3) Buat spectrum serapan (Absorbansi vs Panjang gelombang



B. Pembuatan Kurva Baku Larutan Standar Parcetamol dalam HCl 0,1 N 1) Buat larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 μg/mL 2) Ukur serapannya pada panjang gelombang maksimum 3) Buat kurva baku parasetamol (Absorbansi vs Konsentrasi) C. Penentuan Profil Disolusi 1) Wadah diisi air pada alat disolusi, atur hingga suhunya mencapai 37°C. 2) Labu disolusi diisi dengan medium disolusi (HCl 0,1 N) sebanyak 900 mL. 3) Tablet paracetamol dicelupkan ke dalam medium disolusi, kemudian diputar dengan kecepatan 50 rpm. 4) Larutan disolusi dilakukan dengan cara dipipet sebanyak 5 mL pada menit ke 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 (setiap pemipetan medium diganti dengan jenis dan jumlah yang sama), dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml. 5) Masing – masing larutan yang telah dipipet ditambahkan HCl 0,1 N hingga pada tanda batas labu ukur. 6) Masing – masing larutan yang dipipet, diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV –VIS pada panjang gelombang maksimum. 7) Hitung kadar paracetamol yang terdisolusi per satuan waktu, dihitung menggunakan kurva baku. V. Hasil Percobaan 1. Perhitungan Pengenceran a. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 4 μg/ml V1 = 2 ml b. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 6 μg/ml V1 = 3 ml c. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 8 μg/ml V1 = 4 ml d. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 10 μg/ml V1 = 3 ml e. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 12 μg/ml V1 = 6 ml f. V1. 100 μg/ml = 50 ml . 14 μg/ml V1 = 7 ml



2. Serapan Data Kalibrasi Konsentrasi (μg/ml) 4 6 8 10 12 14 A = 0,158 B = 0,469 R = 0,955



Absorbansi 0,380 0,401 0,507 0,657 0,983 0,984



3. Perhitungan Generik  Generik (Kadar)











Fp = ( Volume labu ukur / Volume pipet larutan ) 2 = ( 25 ml / 5 ml ) = 25 Kadar







FK dan % Terdisolusi



4. Perhitungan Paten  Paten (Kadar)







Fp = ( Volume labu ukur / Volume pipet larutan ) 2 = ( 25 ml / 5 ml ) = 25







Kadar







FK dan % Terdisolusi



500



5. Profil Disolusi Paracetamol Waktu (Menit) 5 10 15 20 30



Absorbansi Paten Generik 0,202 0,351 0,212 0,328 0,317 0,261 0,391 0,250 0,399 0,369



Kadar Paten Generik 2,111 9,27 2,588 8,145 7,628 4,95 11,183 4,41 11,565 10,125



% Terdisolusi Paten Generik 0,422 1,854 0,520 1,639 1,528 0,999 2,245 0,888 2,325 2,0299



VI. Pembahasan Mekanisme disolusi suatu obat khususnya tablet yaitu tablet yang ditelan akan masuk kedalam lambung akan pecah, mengalami disentigrasi menjadi banyak granul kecil, yang terdiri dari zat aktif yang tercampur dengan zat pengisi dan pelekat. Setelah granul-granul ini pecah zat aktif terlepas dan jika daya larutan cukup besar, akan larut dalam cairan lambung atau usus. Tergantung pada tempat dimana saat itu obat berada. Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung, yang pada umunya berkisar pada 2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut, proses reabsorbsi oleh usus dapat dimulai.peristiwa ini disebut sebagai pharmasheutican availability. Pada percobaan ini akan ditentukan tetapan disolusi dari tablet paracetamol 500 mg dalam media HCl 0,1 N digunakan media ini untuk menyerupai pH atau derajat keasaman fisiologis cairan lambung manusia, dimana besarnya tetapan tersebut menunjukkan cepat lambatnya disolusi atau kelarutan dari tablet paracetamol tersebut. Adapun volume dari labu disolusi yang digunakan adalah 900 ml. Hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara, maka gelembung udara tersebut akan masuk ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat. Adapun suhu yang digunakan, dipertahankan 37° C, dengan maksud agar sesuai dengan suhu fisiologis suhu tubuh manusia. Hal ini sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia, adapun waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk dapat terdisolusi adalah 30 menit. Untuk media disolusi digunakan pelarut seperti yang tertera dalam masingmasing monografi. Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, diatur pH larutan sedemikian hingga berada dalam batas 0.05 satuan pH yang tertera pada masing masing monografi . Untuk memilih media disolusi dapat dipertimbangkan seperti halnya jika kelarutan zat aktif tidak dipenggaruhi oleh pH, maka sebagai media disolusi dipakai



air suling. Sedangkan jika kelarutan zat aktif dipengaruhi pH, maka sebagai media disolusi dipakai cairan lambung buatan atau cairan usus buatan. Pertama-tama alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan rpmnya, kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi. Setelah obat dimasukkan ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetan dalam tiap interval waktu 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit. Selanjutnya hasil dari disolusi dalam alat disolusi pada tiap interval waktu, diukur kandungan paracetamolnya baik produk paten maupun generik di uji pada alat spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 220-350 nm. Penggunaan alat Spektrofotometer digunakan karena proses ini bertujuan untuk mengetahui jumlah paracetamol terdisolusi pada setiap interval waktu. Spektrum panjang gelombang tersebut digunakan karena panjang gelombang paracetamol berada pada spektrum 220-350 nm. VII. Kesimpulan Dari hasil percobaan di peroleh data absorbansi : a. Parasetamol generik : Menit ke 5 = 0, 351 Menit ke 10 = 0,328 Menit ke 15 = 0,261 Menit ke 20 = 0,250 Menit ke 30 = 0,369 b. Parasetamol Paten : Menit ke 5 = 0,202 Menit ke 10 = 0,212 Menit ke 15 = 0,317 Menit ke 20 = 0,391 Menit ke 30 = 0,399 Diperoleh juga % Terdisolusi : a. Parasetamol generik : Menit ke 5 = 1,854 % Menit ke 10 = 1,639 % Menit ke 15 = 0,999 % Menit ke 20 = 0,888 % Menit ke 30 = 2,0299 %



b. Parasetamol Paten : Menit ke 5 = 0,422 % Menit ke 10 = 0,520 % Menit ke 15 = 1,528 % Menit ke 20 = 2,245 % Menit ke 30 = 2,325 % Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke III 2. https://pom.go.id diakses pada 30 September 2020 11:12 WIB 3. Acta Pharmaciae Indonesia. 2018. Disolusi Terbanding Tablet Asenaminofen Produk Generik Berlogo dan Produk Bermerk. 4. Nasution, Elis Suryani. 2016. Disolusi Tablet Paracetamol Metode Dayung. Medan. Universitas Sumatera Utara



PERCOBAAN II ANALISIS OBAT DALAM MATRIK BIOLOGI I.



Tujuan Percobaan Mahasiswa dapat memahami prinsip dan prosedur analisis obat dalam matrik biologi



II.



Pendahuluan Analisis obat dalam matrik biologi diperlukan dalam studi farmakologi, farmakokinetika dan pengembangan penggunaan obat. Pada tahap farmakokinetika penelitian meliputi aspek absorpsi, distribusi, biotransformasi dan eliminasi. Analisis obat dalam cairan biologi ditujukan untuk banyak hal, seperti memonitor mutu sediaan obat yang ada dalam perdagangan dengan studi ketersediaan hayati, konfirmasi respon biologic dengan penelitian korelasi kadar obat dalam plasma dengan respon farmakologik yang ditimbulkan, dan mernbuktikan adanya racun pada kasus keracunan atau monitoring kadar obat pada kasus overdosis. Agar hasil analisis dapat dipercayai, maka metode penetapan kadar harus memenuhi kriteria antara lain nilai perolehan kembali yang tinggi (75 - 90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematis kecil dari 10%. Di samping itu perlu juga diperhatikan sensitivitas dan selektivitas yang nilainya tergantung kepada alat yang digunakan dalam penelitian. Untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal, berikut beberapa poin yang perlu dilakukan: 1. Khusus untuk reaksi warna perlu penetapan jangka waktu larutan obat yang memberikan respon tetap 2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan respon maksimum 3. Pembuatan kurva baku 4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan sistematik Dalam percobaan ini dilakukan penetapan kadar teofilin dalam plasma secara in vitro. Monografi Teofillin



  



 



   



III.



Rumus Molekul : C7H8N4O2.H2O Berat Molekul : 198,18 Pemerian : serbuk berserat atau granul, bearna putih, suspensi dalam air bereaksi netral terhadap lakmus P, mengembang dalam air dan membentuk suspensii yang jernih hingga opalesen kental,koloidal Kelarutan : sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam ammonium hidroksida agak sukar larut dalam etanol. Stabilitas : dapat disimpan pada suhu kamar, dibawah cahaya florosensi terus menerus selama sekurang – kurangnya 180 hari tanpa perubahan konsentrasi yang signifikan dalam bentuk larutan sebaiknya dilindungi cahaya,stabil di udara. Khasiat : obat asma, stimulasi SSP dan pernafasan, stimulasi jantung bekerja sebagai diuretik lemah. OTT : Tanin Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik Dosis : untuk sediaan lepas lambat dewasa dan anak-anak maximal 400mg/hr. 34 dd 125-250 mg Percobaan.



a. Bahan  Tablet teofilin  NaOH 0,1 N  Alkohol 70%  Na EDTA  HCI 0,1 N b. Alat  Labu ukur l00 mL.  Pipet volume 0,1; 0,2; 1 dan 2 mL  pH meter  Alat suntik (tidak digunakan)  Termostat  Vial  Alat sentrifugasi



  



    



Kloroform Isopropil alkohol Plasma kelinci/manusia.



Lemari pendingin Pipet ukur 1 dan 5 mL Kuvet, spektrofotometer Kalkulator fx 3600 Stopwatch.



IV. Perolehan kembali dan kesalahan i. Buat larutan teofilin dalam plasma dengan kadar 2,5; 7,5 dan 12,5 µg/ml. Tiap kadar 3 kali ulangan (replikasi) ii. Sebanyak 2 mL larutan obat dalam plasma ditambahkan ke dalam 0.4 mL asam klorida 0,1 N dan 20,0 mL campuran kioroform – isopropyl alkohol (20:10). Campuran dikocok selama 1 menit, lapisan air dipisahkan dan fase organik disaring iii. Filtrat yang diperoleh dipipet sebanyak 10,0 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang kering dan bersih iv. Hasil ekstraksi kemudian disaring kembali dengan penambahan 4,0 mL larutan NaOH 0,1 N; dikocok selama 1 menit kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Lapisan NaOH dipisahkan v. Ukur serapan Larutan, hitung kadar dan SD V.



Prosedur Kerja Penentuan panjang gelombang maksimum 1. Buat larutan teofilin dalam NaOH 0,1 N dengan konsentrasi 3,5 µg/ml 2. Ukur serapan larutan pada panjang gelombang 235 sampai 335 nm menggunakan spektrofotometer 3. Buat spektrum serapan Pembuatan kurva baku teofilin 1. Buat larutan baku induk teofilin dalam NaOH 0,1 N masing-masing dengan konsentrasi 2,5; 3,0; 3,5; 4,0 dan 4,5 µg/ml 2. Masing-masing larutan diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum menggunakan spektrofotometer 3. Buat kurva baku teofilin Prosedur penetapan kadar Penetapan kadar dilakukan berdasarkan metoda Schack dan Waxler yang dimodifikasi oleh Janne dan kawan-kawan serta Zudema 1. Buat larutan induk teofilin 10 mg/mL dalam natrium hidroksida 0,1 N 2. Dengan menggunakan larutan induk di atas, buat satu seri larutan dalam plasma masing- masing dengan kadar 2,5; 5,0; 7,5; 10,0 dan 12,5 µg/ml 3. Dua mL larutan obat dalam plasma ditambahkan ke dalam 0,4 mL asam klorida 0,1 N dan 20,0 mL campuran kloroform - isopropil alkohol (10 : 10). Campuran dikocok selama 1 menit, lapisan air dipisahkan dan fase organik disaring



4. Hasil ekstraksi kemudian disaring kembali dengan penambahan 4,0 mL larutan NaOH 0,1 N; dikocok selama 1 menit kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Lapisan NaOH dipisahkan 5. Nilai absorpsi larutan diamati dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum Penetapan jangka waktu respon tetap 1. Larutan teofilin dengan kadar 5,0 dan 10,0 µg/ml digunakan untuk percobaan ini 2. Ukur- serapan larutan pada panjang gelombang maksimum tiap 5 menit selama 1 jam 3. Buat kurva serapan versus waktu pada kertas grafik numerik dan tetapkan waktu serapan tetap Perhitungan perolehan kembali dan kesalahan 1.Perolehan kembali Hitunglah perolehan kembali dan kesalahan sisitemik untuk tiap besaran kadar x 100% Perolehan kembali = ℎ Kesalahan sistematik adalah 100% dkurangi persentase perolehan kembali. Perolehan kembali merupakan tolak ukur efisiensi analisis, sedangkan kesalahan sistematik merupakan tolak ukur inakurasi penetapan kadar. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konstan atau proporsional. 2.Kesalahan acak Hitung kesalahan acak (random analytical error) untuk tiap besaran kadar.



x 100 %



Kesalahan acak = Harga Rata-rata



Kesalahan acak merupakan tolak ukur inpresisi suatu analisis dan dapat bersifat negatif atau positif. Kesalahan acak identik dengan variabilitas pengukuran dan dicerminkan oleh tetapan variasi.



VI. Hasil 1. Penentuan panjang gelombang maksimum 2. Blangko : larutan NaOH 0,1N Sampel : Teofilin λ maks : 235-335 nm 3. Kurva kalibrasi larutan standar Pembuatan larutan baku Teofilin 100 ppm Penimbangan teofilin : 10 mg Pelarut yang digunakan : NaOH 0,1N Volume pelarut : 100 mL Perhitungan pengenceran kadar V1 x M1 = V2 x M2 a. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 2,5 µg/ml V1 = 1,25 ml b. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 3 µg/ml V1 = 1,5 ml c. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 3,5 µg/ml V1 = 1,75 ml d. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 4 µg/ml V1 = 2 ml e. V1. 100 µg/ml = 50 ml . 4,5 µg/ml V1 = 2,25 ml



Serapan Seri Data Kurva Kalibrasi Kadar (µg/mL) 2,5 3 3,5 4 4,5



Hasil Regresi A = 0,1348 B = 0,0114 r = 0,9113



Absorbansi 0,317 0,423 0,532 0,557 0,587



y = ax + b y = 0,1348x + 0,0114



Kurva baku Teofilin 0,7 y = 0,1348x + 0,0114 R² = 0,9113



0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0



1



Tabel Absorbansi Sampel dalam Plasma Kadar (µg/mL) Absorbansi 0,323 2,5 0,413 5 0,575 7,5 0,641 10 0,741 12,5



2



3



Hasil Regresi A = 0,0426 B = 0,2194 r = 0,9841



4



5



y = a + bx y = 0,0426x + 0,2194



Tabel sampel dalam plasma 0,8 y = 0,0426x + 0,2194 R² = 0,9841



0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0



2



4



Kadar (µg/mL)



6



8



Absorbansi



2,5



0,323



5



0,413



7,5



0,575



10



0,641



12,5



0,741



y = 0,1348x + 0,0114 a. konsentrasi 2,5 µg/mL 0,323 = 0,1348x + 0,0114 0,1348x = 0,323 – 0,0114 0,1348x = 0,3116 x= 2,311



10



12



14



b. kons. 5 µg/mL 0,413 = 0,1348x + 0,0114 0,1348x = 0,413 – 0,0114 0,1348 x = 0,4016 x = 2,9792 c. kons. 7,5 µg/mL 0,575 = 0,1348x + 0,0114 0,1348x = 0,575 – 0,0114 0,1348x = 0,5636 x= 4,181 d. kons. 10 µg/mL 0,641 = 0,1348x + 0,0114 0,1348x = 0,641 – 0,0114 0,1348x = 0,6296 X= 4,670 e. Kons, 12 µg/mL 0,741 = 0,1348x + 0,0114 0,1348x = 0,741 – 0,0114 0,1348x = 0,7296 X= 5,412 X rata-rata = Tabel Absorbansi Sampel dalam Plasma Kadar (µg/mL) 2,5



Absorbansi 0,323



Kadar perolehan kembali 2,311



% kadar perolehan kembali 92,44%



5



0,413



2,979



59,58%



7,5



0,575



4,181



55,74%



10



0,641



4,670



46,7%



12,5



0,741



5,412



43,29%



Perhitungan % perolehan kembali = a. Kons. 2,5 µg/mL =



b. Kons. 5 µg/mL = c. Kons. 7,5 µg/mL = d. Kons. 10 µg/mL = e. Kons. 12,5 µg/mL = Kesalahan acak Kadar perolehan kembali 2,311



(Xi – X rata-rata)



(Xi – Xrata-rata)2



2,311- 3,9106 = -1,5996



(-1,5996)2 = 2,5587



2,979



2,979- 3,9106 = -0,9316



(-0,9316)2= 0,8678



4,181



4,181 - 3,9106 = 0,2704



(0,2704)2= 0,07311



4,670



4,670 - 3,9106 = 0,7594



(0,7594)2= 0,5766



5,412



5,412 - 3,9106 = 1,5014



(1,5014)2= 2,2542



Total



6,3304



Standar deviasi = = Kesalahan acak =



x 100% = 32,1689%



VII. Pembahasan Telah dilakukan percobaan kedua praktikum Biofarmasetika dan Farmakokinetika mengenai analisis obat dalam matriks biologi yang bertujuan untuk menganalisis kadar obat dalam suatu matriks biologi yang dilakukan dengan cara in vitro, yaitu suatu uji metode biologi yang hanya menggunakan kultur atau jaringan (dalam percobaan ini menggunakan plasma), untuk mengurangi penggunaan langsung terhadap hewan uji. Plasma sendiri merupakan bagian dari darah atau komposisi darah yang mengandung faktor pembeku, sedangkan serum merupakan salah satu komponen darah yang tidak mengandung faktor pembeku darah. Dimana matriks biologi itu sendiri adalah bahan-bahan lain di dalam analit selain sampel biologi, sedangkan sampel biologi sendiri merupakan sampel yang diambil dari bagian tubuh seperti darah, urin, rambut, dsb. Percobaan menggunakan tablet teofilin sebagai bahan uji, diketahui teofilin memiliki kelarutan yang sukar larut dalam air, namun larut dalam pelaru basa. Sehingga digunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut dari teofilin tersebut. Serta digunakan plasma karena uji ini menggunakan metode in vitro untuk mengurangi penggunaan langsung terhadap hewan uji. Pada prakikum kali ini ada salah satu bahan yang tidak digunakan dalam uji percobaan, yaitu Na EDTA. Hal ini dikarenakan Na EDTA merupakan bahan yang digunakan untuk memisahkan plasma dari darah, caranya adalah dengan mencampur darah utuh atau whole blood dengan Na EDTA yang kemudian di sentrifugasi hingga terjadi pemisahan bagian antara komponen darah lainnya dengan plasma darah, namun pada percobaan ini hal tersebut tidak dilakukan



karena bahan yang digunakan adalah plasma yang sudah jadi bukan darah utuh atau whole blood. Karena hal tersebut pula, alat-alat yang digunakan dalam percobaan kali ini juga ada yang tidak terpakai seperti alat suntik. Pada tahap pertama yaitu Perolehan kembali dan kesalahan dilakukan dengan membuat larutan teofilin dalam plasma dengan kadar 2,5; 7,5 dan 12,5 µg/ml. Tiap kadar 3 kali ulangan (replikasi). Dilakukan replikasi guna mendapatkan nilai yang pasti. Kemudian pada tahap selanjutnya dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum yaitu pada panjang gelombang 235 sampai 335 nm dikarenakan teofilin berada pada serapan panjang gelombang tersebut, serta penggunaan spektrofotometri UV-vis digunakan karena untuk penetapan kadar. Pembuatan larutan baku teofilin dengan NaOH 0,1 N karena teofilin larut dalam basa. Selanjutnya dilakukan penetapan kadar menggunakan spektrofotometri UV-vis panjang gelombang maksimum pada laruan baku yang dilakukan pengenceran 2,5; 5,0; 7,5; 10,0 dan 12,5 µg/ml. Tahap akhir yaitu dengan melakukan Penetapan jangka waktu respon tetap dengan melarutkan teofilin dengan kadar 5,0 dan 10,0 µg/m yang di ukur- serapan larutan pada panjang gelombang maksimum tiap 5 menit selama 1 jam dan membuat kurva serapan versus waktu pada kertas grafik numerik dan tetapkan waktu serapan tetap. Setelah itu dilakukan perhitungan perolehan kembali dengan membagi kadar terukur dengan kadar yang belum diketahui kemudian dikali 100%. Kemudian dilakukan perhitungan kesalahan acak dengan membagi simpangan baku dengan harga rata-rata dikali 100%. Pada percobaan analisis obat dalam matriks biologi perlu dilakukan pemisahan dengan metode ekstraksi cair-cair bahan yang akan dianalis dari matriks biologinya, gunanya agar tidak ada bahan-bahan lain yang terbawa dan mengganggu analis. Bahan pelarut yang digunakan untuk menarik teofilin dari matriksnya ialah menggunakan campuran HCl 0,1 N dan kloroform yang mana apabila HCl 0,1 N dan kloroform dicampur dalam air maka akan meningkatkan kelarutan teofilin terhadapnya sehingga teofilin dapat terikat dan melarut dalam larutan tersebut. Selanjutnya adalah tahapan penyaringan larutan kloroform tadi dan penamahan NaOH 0,1 N yang berfungsi untuk membasakan hasil saringan tadi agar teofilin menjadi lebih basa sehingga dapat terlarut dalam lapisan air. Setelah terlarut dalam lapisan air, lapisan NaOH akan diambil untuk dianalisis. Tujuan dari proses pembasaan sendiri ialah agar dalam proses analisis dengan spektroskopi UV-



vis tidak terganggu oleh kandungan kloroform yang dapat mengganggu serapan. VIII. Kesimpulan Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, diperoleh data : Perolehan Kembali : Kadar 2,5 : 2,311 Kadar 5 : 2,979 Kadar 7,5 : 4,181 Kadar 10 : 4,670 Kadar 12,5 : 5,412 % Perolehan Kembali : Kadar 2,5 : 92,44% Kadar 5 : 59,58% Kadar 7,5 : 55,74% Kadar 10 : 46,7% Kadar 12,5 : 43,29% Kesalahan Acak : 32,1689% Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke III 2. https://pom.go.id diakses pada 28 Oktober 2020 pkl 10.30 WIB 3.Fakultas Ilmu Kesehatan Esa Unggul. 2019. Praktikum Biofarmasetika dan Farmakokinetika.



PERCOBAAN III DISTRIBUSI DAN EKSKRESI TETES MATA KLORAMFENIKOL 1.



Tujuan Percobuan Agar mahasiswa mengetahui dan memahami distribusi dan ekskresi obat yang diberikan/dipakai secara topikal (tetes mata). 2.



Pendahuluan Obat di dalam tubuh mengalami proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Suatu obat bisa diberikan secara per-oral untuk memberikan efek di luar saluran pencernaan dikarenakan adanya proses distribusi. Karena adanya proses distribusi juga beberapa obat bisa memberikan efek samping, terutama untuk obatobat yang tidak reseptor selektif. Obat yang diberikan secara topikal pada mata, misalnya tetes tidak hanya bekerja pada mata tetapi sebagiannya diabsorbsi melalui pembuluh darah dan didistribusikan secara sistemik. Senyawa obat dibuang dari tubuh melalui proses ekskresi. Proses eksresi obat bisa terjadi lewat beberapa rute, mayoritas dikeluarkan melalui cairan yang dikeluarkan dari tubuh seperti urin, saliva, keringat dan sebagainya. Selain rute tersebut, beberapa obat juga dibuang lewat cairan empedu dan feces. Monografi Kloramfenikol







   



Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak asam. Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam propilenglikol, dalam aseton dan dalam etil asetat. arak Lebur antara 14 dan 15 . pH : antara 4,5 dan 7,5. Wadah dan Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat. simpan ditempat sejuk dan kering.



   



Penandaan : Jika digunakan untuk pembuatan sediaan injeksi, pada etiket harus dinyatakan steril atau diproses lebih lanjut untuk pembuatan sediaan injeksi. Dosis : Dewasa : 50mg/kg perhari diberikan tiap 6 jam. Anak-Anak : 25mg/kg perhari diberikan tiap 2 jam.



Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas, namun dapat menyebabkan efek samping hematologik yang berat jika diberikan secara sistemik. Oleh karena itu, obat ini sebaiknya dicadangkan untuk penanganan infeksi yang mengancam jiwa, terutama akibat Hemophilus influenzae dan demam tifoid. Kloramfenikol juga digunakan pada fibrosis sistik untuk mengatasi infeksi pernafasan karena Burkholderia cepacia yang resisten terhadap antibiotik lain. Sindrom Grey baby dapat terjadi setelah pemberian dosis tinggi pada neonatus dengan metabolisme hati yang belum matang. Untuk menghindarkan hal ini dianjurkan untuk melakukan monitoring kadar plasma. Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang pada pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi menjadisenyawa arilamin yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi tubulus. Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingga tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar. Interaksi dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin, dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan berasama kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin akan memperpendek waktu paruh kloramfenikolsehingga kadar obat menjadi subterapeutik



III.



Percobaan



1. Bahan a. Tetes mata klorarnfenikol 5% b. Ethanol 95% c. H2SO4 2 N d. Kertas saring e. FeCl3 f. NaNO2 LP FI IV 0,5 mL g. Serbuk Zn h.Urine i. Saliva 2. Alat a. Pipet tetes b. Plat tetes c. Beker glass 10 mL d. Pot plastik 3. Pelaksanaan Percobaan (langkah kerja dalam modul ini di revisi kembali) a. Tiap kelompok memilih 2 orang sukarelawan yang ditetapkan sehari sebelum percobaan b. Pada hari praktikum sukarelawan diberi 2 tetes obat mata kloramfenikol c. Sebelum ditetesi obat mata, kandung kencing dikosongkan dan urine diambil untuk kontrol, saliva diambil untuk kontrol d. Sampel saliva dikumpulkan setiap 2 menit selama 20 menit. Sampel urin dikumpulkan pada menit ke-5. 30, 60, 90 dan 120 setelah pemberian obat e. Larutkan 1 ml sampel urin ditambah 1 ml etanol 95% dan 2ml urin ditambah 1 ml etanol 95%, tambahkan 3 ml campuran dari 1 bagian larutan KCl dan 9 bagian air. Tambahkan 50 mg serbuk Zn, panaskan di atas penangas air selama 10 menit. Lakukan dekantasi terhadap supernatan. Tambahkan 10 mg Na Asetat anhidrat dan 2 tetes Benzoil klorida. Kocok selama 10 menit, tambahkan 0,5 mL larutan FeCI3, jika perlu tambahkan HCI encer secukupnya hingga larutan jernih, terjadi warna violet merah sampai ungu. Ulangi pengujian, tanpa penambahan serbuk Zn, tidak terjadi warna violet merah sarnpai ungu.



IV. Hasil Kontrol 2’ 4’ 6’ 8’ 10’ 12’ 14’ 16’ 18’ 20’



Saliva Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative Negative



Urin Kontrol 5’ 0’ 60’ 0’ 120’



Negative Negative Negative Negative Negative Negative



V. Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan uji coba distribusi dan eksresi tetes mata kloramfenikol. Praktikum ini menggunakan sediaan obat berupa tetes mata karena sediaan tetes mata memiliki waktu absorpsi yang lebih cepat dibandingkan dengan sediaan oral. Pada modul ini langkah kerja di revisi, pertama-tama sudah sisiapkan 2 orang sukarelawan dari tiap kelompok yang mana pada saat praktikum sukarelawan diberi 2 tetes obat mata kloramfenikol, sebelum ditetesi obat mata, kandung kencing dikosongkan dan urine diambil untuk kontrol, saliva diambil untuk kontrol. Sampel yang dibutuhkan ialah sampel saliva yang dikumpulkan setiap 2 menit selama 20 menit dan sampel urin dikumpulkan pada menit ke-5. 30, 60, 90 dan 120 setelah pemberian obat. Langkah selanjutnya adalah melarutkan 1 ml sampel urin ditambah 1 ml etanol 95% dan 1 ml urin ditambah 1 ml etanol 95%. Penambahan etanol dilakukan untuk melarutkan kloramfenikol yang berada didalam sampel uji, dikarenakan kloramfenikol memiliki kelarutan yang baik di dalam etanol. Selanjutnya ialah penambahkan 3 ml campuran dari 1 bagian larutan KCl dan 9 bagian air. Perbandingan antara air dan KCl adalah 9 : 1 dalam 3 ml yang artinya 2,7 ml air : 0,3 ml KCl. Penambahan KCl dilakukan sebagai zat katalisator yaitu zat yang membantu jalannya reaksi namun tidak ikut bereaksi, sedangkan penambahan 9 bagian air bertujuan untuk mengencerkan KCl agar konsenterasinya tidak terlalu pekat. Karena KCl berbentuk serbuk dan diukur menggunakan timbangan dalam bentuk gram, sehingga harus dilakukan konversi terlebih dahulu dengan rumus : Rho = m/v Yang mana:



Rho = 1,98 g/cm2 vKCl = 0,3 ml sehingga : 1,98 g/cm2 = mKCl/0,3ml mKCl = 0,594 g Langkah selanjutnya ialah penambahkan 50 mg serbuk Zn yang juga berfungsi sebagai katalisator dan dilakukan proses pemanasan dengan penangas air selama 10 menit, hal tersebut dilakukan untuk mempercepat jalannya reaksi karena apabila reaksi dilakukan dalam suasana dingin (dengan campuran air dingin) reaksi akan cenderung berjalan lamban. Selanjutnya ialah melakukan prosedur dekantasi terhadap supernatan, lalu menambahkan 10 mg Na Asetat anhidrat dan 2 tetes Benzoil klorida yang berfungsi untuk memperkuat gugus fenol yang terdapat pada senyawa kloramfenikol agar saat ditambahkan dengan FeCl3, gugus fenol menjadi lebih terikat dan akan menampilkan hasil yang lebih jelas. Selanjutnya larutan di kocok selama 10 menit, dan di tambahkan 0,5 mL larutan FeCI3 yang merupakan indikator spesifik untuk gugus fenolik. Jika perlu tambahkan HCI encer secukupnya hingga larutan jernih, terjadi warna violet merah sampai ungu, fungsi penambahan HCl secukupnya ialah agar memperkuat senyawa fenol supaya tidak mudah terhidrolisis. Ulangi pengujian, tanpa penambahan serbuk Zn, tidak terjadi warna violet merah sarnpai ungu. Jika sampel uji mengandung kloramfenikol, maka akan timbul warna violet hingga ungu pada penambahan Zn, hal ini dikarenakan fungsi Zn sendiri sebagai indikator yang spesifik terhada fenol, indikator sendiri berfungsi sebagai penanda keberadaan suatu zat yang ditandai oleh adanya perubahan warna, sehingga uji tanpa Zn tentu saja tidak akan menimbulkan perubahan warna. Pada hasil percobaan yang telah dilakukan didapatkan hasil negatif. Hal ini terjadi karena percobaan dilakukan hanya sampai 2 jam setelah pemberian tetes mata kloramfenikol, sedangkan kloramfenikol memiliki waktu terdistribusi selama 3 jam pada orang dewasa dalam keadaan normal dan 24 jam pada anak bayi dalam keadaan normal, karena anak bayi memerlukan waktu distribusi lebih panjang, berkaitan dengan volume cairan yang ada dalam tubuhnya. Selain itu, jika dalam waktu lebih dari 24 jam namun masih ditemukan hasil negatif pada sampel uji, hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a. Reaksi kadaluarsa dari obat/zat aktif yang digunakan b. Pasien atau subjek mengalami gangguan metabolism c. Kemungkinan kloramfenikol palsu atau obat kloramfenikol tidak ada d.Penambahan air terlalu banyak sehingga mengakibatkan terlalu encer, sehingga gugus OH tidak bereaksi



e. Faktor lainnya,seperti katalisator ,suhu, dan perlakukan kurang benar. Pada percobaan ini, diambil sampel melalui urin dan saliva, hal ini dikarenakan obat kloramfenikol dalam bentuk metabolitnya bersifat hidrofilik sehingga proses eksresinya dilakukan melalui ginjal hingga keluar melalui urin. Kloramfenikol juga di distribusikan secara sistemik ke seluruh jaringan tubuh termasuk ke kelenjar sekresi saliva. Distribusi secara meluas ini pula-lah yang menyebabkan keberadaan zat tersebut di dalam saliva. Dan karena dari segi organoleptik kloramfenikol memiliki rasa pahit, maka kloramfenikol akan menimbulkan rasa pahit di lidah pada sukarelawan yang menggunakan tetes mata tersebut. Berikut meruakan Parameter yang mempengaruhi distribusi obat kloramfenikol yaitu : a.Ikatan protein plasma dengan zat aktif b.Sifat fisika kimia c.Permeabilitas membrane d.Perfusi darah Dan Parameter yang mempengaruhi ekstraksi obat kloramfenikol yaitu : a.Fungsi organ b.Ukuran praktikel c.Kelarutan zat Gambaran Cara Kerja :



VI. Kesimpulan Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hasil percobaan semua adalah negatif hal ini terjadi karena percobaan dilakukan hanya sampai 2 jam setelah pemberian tetes mata kloramfenikol, sedangkan kloramfenikol memiliki waktu terdistribusi selama 3 jam pada orang dewasa dalam keadaan normal dan 24 jam pada anak bayi dalam keadaan normal.



Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4 2. https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/5959 diakses pada 16 November 2020 pkl 19.03



PERCOBAAN IV DIFUSI ASAM SALISILAT / Na SALISILAT KE DALAM AGAR I. Tujuan Percobaan Mengetahui dan memahami proses difusi zat aktif dart sediaan secara semikuantitatif II. Pendahuluan Sebelum diabsorpsi, didistribusikan dan menimbulkan efek, suatu senyawa obat harus terlepas terlebih dahulu dari bentuk sediaannya. Proses lepasnya obat dan sediaannya dikenal dengan peristiwa disolusi pada tablet dan liberasi pada sediaansediaan topikal. Mekanisme lepasnya bahan aktif dari sediaan pada urnurnnya merupakan proses difusi pasif. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya sifat fisikokimia senyawa obat, jenis basis yang digunakan dan fisiologis membran yang dilewati. Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan masa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekuler secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekuler sederhana atau gerakan melalui lubang pori. Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses trans-membran bagi umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah dengan konsentrasi obat rendah. Obat didalam tubuh mengalami proses absorbsi, sehingga obat akan diserap dan terdistribusi secara merata. Proses absorbsi obat dalam membran dapat melalui proses difusi, transpor aktif, pinositosis, fagositosis dan persorpsi. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya sifat fisiko kimia senyawa obat, jenis dan basis yang digunakan, serta fisiologis membran yang dilewati.



Monografi Asam Salisilat



Sinonim Pemerian Kelarutan Khasiat



: Asam salisilat, Asam 0-hydroksidbenzoat, Salicylzuur, Salicylic acid, 2-Hydroxybenzoic acid. C7 H6 O3 BM. 138,12. : Hablur, serbuk ringan, putih, tidak berbau, masa agak manis : 550/air, 4/enatol, 45/CHCL3 3/eter : Antikeratolitik (kosentrasi tinggi), antiseptik.



III. Percobaan 1. Bahan a. 1 bungkus agar-agar serbuk tidak berwarna b. Krim Asam Salisilat 1% tipe a/m c. Krim Asam Salisilat 1% tipe m/a d. Salep Asam Salisilat f. Krim Na-Salisilat 1,16% tipe a/m g. Krim Na-Salisilat 1,16% tipe m/a h. Salep Na-Salisilat i. FeCI3 10% 2. Alat a. Cawan petri b. Pipet tetes c. Kertas saring d. Penggaris



3. Pelaksanaan Percobaan a. Siapkan 6 cawan petri yang telah berisi media agar yang telah didinginkan b. Tambahkan 2 mL larutan FeCl3 ke dalam masing-masing cawan petri sampai menutupi semua permukaan agar a. Diamkan selama 2 menit, kemudian sisa larutan FeCl3 dituang, dan dikeringkan rnenggunakan kertas saring



b. Buat 4 lobang pada masing-masing cawan petri c. Letkkan sampel/sediaan uji dengan jumlah yang sama, 2 lobang untuk salep asam salisilat dan 2 lobang lagi untuk salep Na salisilat pada 1 cawan petri d. Lakukan kembali hal di atas untuk basis krim m/a dan a/m e. Simpan cawan petri di dalam kulkas selama 30 menit, amati perubahan yang terjadi. Biarkan pada suhu kamar dan amati perubahan yang terjadi setelah 2 dan 3 jam f. Apakah ketajaman warna dan kedalaman warna pada agar berbanding lurus dengan jumlah salisilat yang lepas dan basisnya? Perhitungan Pembuatan Agar dan FeCl3 1. Pembuatan media agar :  1 bungkus kemasan = 7 g/900 ml  1 cawan petri = 10 ml media  Media yang dibutuhkan = 6 cawan petri  Jumlah media yang dibutuhkan = 6 media x 10 ml/media = 60 ml  Dapat dibuat larutan induk media sebanyak 100 ml =(7 g)/(900 ml) x 100 ml=0,77 g  Jadi dibuat larutan media dengan 0,77 gram serbuk agar dilarutkan dalam 100 ml akuades kemudian panaskan hingga mendidih di atas hotplate aduk hingga homogen,tuang ke cawan petri masing-masing sebanyak 10 ml secara perlahan, lalu dinginkan. 2.     



Pembuatan larutan FeCl3 1% BM FeCl3 = 162,2 g/mol Massa FeCl3 =(1% x BM x V)/22,4 =(1% x 162,2 g/mol x 0,1L)/22,4= 0,0072 g => 7,2 mg jadi, untuk membuat larutan FeCl3 1% diambil sebanyak 7,2 mg serbuk FeCl3,dilarutkan dalam labu ukur 100 mL.



IV. Hasil 1. Krim Na-Salisilat 1,16% tipe m/a (3 cm dalam 30 menit dan 4 cm dalam 3 jam) 2. Krim Na-Salisilat 1,16% tipe a/m (2,5 cm dalam 30 menit dan 3,5 cm dalam 3 jam) 3. Krim Asam Salisilat 1% tipe m/a (2,3 cm dalam 30 menit dan 3,3 cm dalam 3 jam) 4. Krim Asam Salisilat 1% tipe a/m (2 cm dalam 30 menit dan 3 cm dalam 3 jam)



5. Salep Na-Salisilat 1% (1,5 cm dalam 30 menit dan 2,5 cm dalam 3 jam) 6. Salep Asam Salisilat 1% (1 cm dalam 30 menit dan cm dalam 3 jam) V. Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan difusi asam salisilat dan natrium salisilat kedalam agar, dimana percobaan kali ini dilakukan secara uji in vitro yang mana berarti pengujian diluar tubuh makhluk hidup yang bisa menggunakan kultur jaringan ataupun media lainnya dan pada percobaan kali ini digunakan media agar bening/putih. Agar yang digunakan harus berwarna putih/bening/tidak berwarna dikarenakan hasil percobaan yang akan timbul dari percobaan ini melibatkan perubahan warna, sehingga media agar tidak berwarna akan memudahkan pengamatan hasil percoban. Sediaan yang digunakan pda praktikum ini yaitu sediaan semisolid. Sediaan semisolid dapat memberikan efek jika bahan obat telah lepas dari basis. Asam salisilat merupakan zat yg sukar larut dalam air, apabila dibuat dalam sediaan topikal maka pemilihan dasar salep merupakan salah satu hal yang penting yang akan menentukan efek terapinya. Apabila bahan obat ini (asam salisilat) tidak dapat dilepas dari pembawanya maka obat tersebut tidak dapat bekerja secara efektif. Proses pelepasan/liberasi zat aktif dari bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan serta dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan obat. Proses liberasi ini berlangsung dengan cara suatu obat dengan bentuk sediaan tertentu akan terdesintegrasi atau akan hancur dan terlepas dari basis/pembawanya yang kemudian zat tersebut akan terdisolusi dalam pelarutnya. Pada percobaan kali ini, pertama tama dilakukan penambahan 2 mL larutan FeCl3 ke dalam masing-masing cawan petri sampai menutupi semua permukaan agar, lalu Diamkan selama 2 menit, kemudian sisa larutan FeCl3 dituang, dan dikeringkan menggunakan kertas saring. Fecl3 digunakan sebagai reagen, digunakan karena dapat bereaksi spesifik dengan gugus OH pada asam salisilat menghasilkan warna ungu. Dapat juga digunakan Reagan lainnya yang dapat bereaksi spesifik dengan gugus OH atau gugus lainnya (gugus karboksilat, fenolik) pada asam salisilat. Proses didiamkan selama 2 menit berfungsi agar FeCl3 berdifusi secara sempurna ke media agar, FeCl3 yang terdpat di dalam media agar, akan bereaksi dengan zat aktif (asam salisilat). Serta Tidak boleh ada cairan yang menggenang karena apabila ada cairan yang menggenang maka dapat menyebabkan cairan tersebut masuk ke lubang sumuran sehingga akan mempengaruhi hasil. Adapun mekanisme reaksi FeCl3 dengan asam salisilat ialah, sampel asam salisilat dan natrium salisilat, keduanya merupakan



senyawa yang mengandung gugus fenol. Fenol jika direaksikan dengan FeCl3 akan memberikan warna ungu. Hal ini menunjukkan bahwa telah terbentuk senyawa kompleks dari Fe3+ dengan fenol. Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus hidroksil yang terikat pada karbon tak jenuh, sehingga dapat bereaksi dengan FeCl3 menghasilkan larutan berwarna. Langkah selanjutnya ialah membuat 4 lubang pada masing-masing cawan petri, kemudian letakkan sampel/sediaan uji dengan jumlah yang sama, 2 lubang untuk salep asam salisilat dan 2 lubang lagi untuk salep Na salisilat pada 1 cawan petri langkah diatas dilakukan kembali untuk basis krim m/a dan a/m, kemudian simpan cawan petri di dalam kulkas selama 30 menit, amati perubahan yang terjadi dan di biarkan pada suhu kamar dan amati perubahan yang terjadi setelah 2 dan 3 jam. Adapun durasi waktu pada percobaan yang dilakukan berpengaruh dengan pelepasan dari zat aktif, dimana durasi waktu tersebut berbanding lurus dengan pelepasan suatu zat aktif, sehingga semakin lama durasi waktu yang digunakan, maka akan semakin banyak zat aktif yang dilepaskan, begitu juga sebaliknya, apabila durasi waktu semakin pendek, maka semakin sedikit pula zat aktif yang dapat dilepaskan. Dalam pembuatan agar harus menggunakan air mendidih karena untuk memastikan media agar tersebut benar-benar larut dan tidak ada gumpalan sehingga hasil media agar akan jernih dan hasil uji dapat terlihat. Sementara media agar tidak perlu di sterilkan menggunakan autoklaf karena media agar hanya digunakan sebagai media untuk mengamati proses difusi obat, dan tidak terkait dengan inokulasi bakteri yang memerlukan proses sterilisasi media. Takaran pada pembuatan agar juga harus sama karena jika media yang dibuat terlalu tipis maka disolusi senyawa tidak akan maksimal, dan jika dibuat terlalu tebal maka reagen dan zat uji dikhawatirkan akan tumpah. Sehingga jika kedua hal tersebut terjadi maka hasilnya akan bias. Faktor yang mempengaruhi proses pelepasan zat aktif ialah : Faktor fisika kimia zat akitf terdiri dari : 1. Ukuran partikel 2. Kristal atau amorf 3. Bentuk garam 4. Hidrasi 5. Kelarutan obat Luas permukaan obat Faktor Fisiopatologi ini meliputi : 1. Waktu pengosongan lambung 2. Waktu transit pada usus 3. Abnormalitas saluran cerna



4. Isi lambung: obat lain, makanan, cairan 5. pH saluran cerna 6. Metabolisme pada hepar (first pass) Faktor formulasi dan teknologi ini terdiri dari : 1. Pembentukan campuran eutektik 2. Pembentukan Kompleks ikatan zat aktif 3. Penambahan Bahan yang memodifikasi konstanta dielektrik lingkung solusi sehingga akan meningkatakan kelarutan. 4. Solubilisasi dengan pembentukan misella untuk memudahkan proses absopsi 5. Pelaspisan dengan bahan yang lebih hidrofil



1. 2. 3. 4. 5.



Dimana kaitannya dengan hasil pada percobaan kali ini ialah : Faktor formulasi dan teknologi ini terdiri dari : Pembentukan campuran eutektik Pembentukan Kompleks ikatan zat aktif Penambahan Bahan yang memodifikasi konstanta dielektrik lingkung solusi sehingga akan meningkatakan kelarutan. Solubilisasi dengan pembentukan misella untuk memudahkan proses absopsi Pelaspisan dengan bahan yang lebih hidrofil Pemilihan bentuk sediaan semi solid ( krim ) : Hal ini berkaitan dengan faktor formulasi obat yang mempengaruhi proses pelepasan zat aktif, dimana bentuk sediaan cream lebih cepat berdifusi hasil dari percobaan dapat lebih cepat terlihat. Sediaan bentuk garam (Krim Na-Salisilat) : Sediaan dalam bentuk garam memiliki kelarutan yang lebih baik, sehingga proses difusi nya pun akan lebih cepat. Dapat dilihat dari hasil percobaan dimana sediaan krim Na-Salisilat memiliki diameteir difusi yang lebih besar yang artinya sediaan berdifusi lebih cepat. Jika dilihat dari hasil percobaan, konsentrasi hasil percobaan memiliki perbedaan dari diameternya dari satu bentuk sediaan ke bentuk sediaan lainnya. Kemudian tiap cawan juga memiliki diameter yang berbeda. Contohnya dari hasil percobaan pada cawan petri yang berisi krim as. Salisilat 1 % tipe a/m memiliki diameter (2 cm ) pada waktu 30 menit. Sedangkan pada cawan petri yang berisi krim Na salisilat 1,16 % tipe a/m memiliki diameter (2,5 cm) pada waktu 30 menit. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh bentuk sediaan, kekuatan sediaannya , daya difusi, ukuran partikel (semakin kecil partikel , semkain cepat partikel akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi), Ketebalan membran (Semakin



tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi) ,Luas suatu area (Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya), Jarak (Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan difusinya), Suhu (Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya). Sementara bentuk sediaan dapat berpengaruh pada proses difusi, yang mana krim yang bersifat hidrofilik lebih mudah terdifusi pada media agar yg juga bersifat hidrofil serta berdasarkan data hasil percobaan pun menunjukkan diameter difusi krim lebih besar dibandikan salep. VI. Kesimpulan Pada percobaan praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa jenis zat aktif yang digunakan pada percobaan ini terdiri dari bentuk asam dan bentuk garam. Perbedaan jenis zat aktif tersebut dapat mempengaruhi perbedaan kecepatan sediaan tersebut untuk berdifusi. Dimana untuk zat aktif Na asam salisilat karena berada dalam bentuk garamnya maka memiliki kecepatan pelarutan dan penyerapan yang lebih cepat dibanding dengan zat aktif asam salisilat yang bukan garam. Hal ini terkait dengan sifat fisikokimia dari zat aktif yang berbentuk garam, dimana obat yang berada dalam bentuk terionisasi akan lebih mudah untuk larut. Karena mudah larut, maka zat aktif yang berada dalam bentuk garam tersebut dapat dengan mudah berdifusi sehingga dapat kecepatan difusinya juga lebih cepat dibandingkan dengan bentuk asam biasa.



Daftar Pustaka 1. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4 2. Budiman, Arif. 2015. Difusi dan Disolusi. Sumedang. Universitas Padjajaran



PERCOBAAN V SISTEM DISPERSI PADAT I. Tujuan Agar mahasiswa mengetahui dan memahami teknik pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan dan evaluasi sifat-sifat fisikokimia. II. Pendahuluan Sistem dispersi padat adalah suatu sistem dimana satu atau lebih zat aktif dalam bentuk padat terdispersi dalam pembawa inert pada keadaan padat. Suatu zat aktif yang sukar larut dalam air jika diformula sebagai sistem dispersi padat menggunakan pembawa yang hidrofilik, maka akan terlihat peningkatan kelarutan zat aktif dalam air, laju disolusi dan bioavailabilitasnya. Dengan demikian, sistem dispersi padat menjadi salah satu pilihan dalam memperbaiki sifat yang kurang menguntungkan dari suatu senyawa obat. Sistem dispersi padat dapat dibuat dengan 3 cara yaitu: 1. Metode Pelarutan 2. Metode Peleburan 3. Metode Penggabungan Keduanya Dispersi padat merupakan produk yang terdiri paling sedikit dua komponen berbeda yaitu bahan aktif hidrofobik dan matriks hidrofilik dimana bahan aktif akan berubah menjadi kristalin, terlarut, atau amorf. Penggunaan dispersi padat ini dapat membantu meningkatkan absorpsi dari obat yang sukar larut dalam air. Selain itu juga dapat meningkatkan kecepatan disolusi dengan mengubat bentuk obat menjadi amorf. Secara garis besar, tahapan yang terjadi antara obat dan polimer pada dispersi padat yaitu : a. Obat dan polimer berubah bentuk dari padat menjadi cair. b. Semua komponen bercampur dalam fase cair. c. Larutan campuran berubah menjadi padat melalui proses pembekuan, penghilangan pelarut, dan kondensasi. Dispersi padat dapat terbagi dalam 6 tipe, yaitu campuran eutektik sederhana, larutan padat, larutan dan suspensi gelas, endapan amorf dalam pembawa kristal, gabungan senyawa atau bentuk kompleks, dan kombinasi dari kelima tipe sebelumnya. 1. Campuran Eutektik Sederhana Campuran eutektik sederhana dilakukan melalui proses pemadatan dengan cepat antara dua senyawa yang dileburkan. Campuran ini secara termodinamika mirip



dengan campuran fisik komponenkomponen kristalnya. Sehingga, pola difraksi sinar X merupakan penjumlahan dari kedua komponennya. 2. Larutan Padat Larutan padat merupakan dua komponen kristal yang berada dalam satu fase homogen. Ukuran dari partikel obat dapat berkurang sampai tingkat molekular sehingga kecepatan disolusi dari larutan padat lebih tinggi jika dibandingkan dengan campuran eutektik sederhana. 3. Larutan dan Suspensi Gelas Larutan gelas merupakan keadaan dimana solut terlarut dalam sistem gelas yang homogen. Suspensi gelas sendiri adalah campuran antara partikel yang mengendap dan tersuspensi dalam sistem gelas. Contoh dari pembawa yang dapat membentuk larutan dan suspensi gelas adalah asam sitrat, dekstrosa, sukrosa, dan galaktosa. 4. Endapan amorf dalam Pembawa Kristal Endapan amorf dalam pembawa kristalin merupakan obat yang awalnya berbentuk kristalin, tetapi pada pembawa kristalin mengendap dalam bentuk amorf. Hal ini terjadi karena obat tersebut memiliki kecenderungan mengendap lebih cepat dalam bentuk amorf jika terdapat pembawa. 5. Gabungan Senyawa atau Bentuk Kompleks Gabungan senyawa atau bentuk kompleks ditandai dengan adanya kompleksasi dari dua komponen selama pembuatan dispersi padat. Yang mempengaruhi dalam pembentukan kompleks adalah kelarutan, disosiasi konstan, dan tingkat penyerapan instrinsik kompleks. 6. Kombinasi dari kelima tipe sebelumnya Tipe dispersi padat yang termasuk kategori kombinasi adalah jika merupakan gabungan dari dua atau lebih dari lima tipe sebelumnya



   



    



Struktur Furosemide Rumus molekul: C₁₂H₁₁ClN₂O₃3. Berat molekul: 330,75 gram/mol4. Pemerian: Putih atau sedikit kuning, serbuk kristal, tidak berbau,tidak berasa. Kelarutan: Praktis tidak larut air , mudah larut dalam aseton, dalamdimetilformamida, dalam alkali hidroksida, larut dalammetanol, agak sukar larut dalam etanol, sukar larut dalameter, dan sangat sukar larut dalam kloroform. Titik lebur: 206°C7.pH: 8,8-9,3°C8. Stabilitas: Stabil dalam larutan encer dan suhu kamar terkontrol Farmakologi: Menghambat reabsorpsi ion Na pada lengkung henle. Inkompatibilitas:Asidic medium (Drug Formulation) Khasiat: Penangan edema, gagal jantung koroner, penyakit hati,antihipertensi, dan antidiuretik



III. Percobaan 1. Alat-Alat: a. Cawan Uap b. Lumpang dan Alu c. Ayakan 425 μm d. Beaker Glass e. Batang Pengaduk f. Erlenmeyer g. Water Bath h. Timbangan i. Mikroskop



j. Object Glass k. Magnetic Stirrer l. Spektrofotometer UV-Vis 2. Bahan-Bahan: a. Furosemide b. PEG 6000/PVP c. Dapar Fosfat pH 7.2 d. Paraffin Cair e. Glibenklamid/Ketoprofen f. Es Batu g. Aquadest 3. Pelaksanaan Percobaan A. Pembuatan Serbuk Sistem Dispersi Padat dengan Metode Peleburan a. Siapkan bahan furosemide dan PEG 6000 dengan perbandingan (1:9) dan (9:1). b. PEG 6000 dilebur dalam cawan uap di atas water bath dan ditambahkanfurosemide. c. Setelah melebur, dinginkan dalam wadah es sampai terbentuk padatan. d. Massa yang telah padat tersebut, kemudian digerus dan dilewatkan pada ayakan 425 μm. e. Serbuk sistem dispersi padat siap dilakukan evaluasi. B. Evaluasi Serbuk Sistem Dispersi Padat a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 1. Buat larutan standar furosemide dalam dapar fosfat pH 7.2 dengan konsentrasi 10 μg/ml. 2. Ukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada 3. panjang gelombang 220-350 nm. 4. Buat spektrum serapan (Absorbansi vs Panjang Gelombang). b. Pembuatan Kurva Baku Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 1. Buat larutan standar furosemide dengan konsentrasi 2; 4; 6; 8; 10 μg/ml. 2. Ukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada 3. Panjang gelombang maksimum.



4. Buat kurva baku furosemide (Absorbansi vs Konsentrasi). c. Bentuk Mikroskopis (Metode Mikroskopis) 1. Sejumlah serbuk didispersikan dalam paraffin cair dan diteteskan pada gelas objek. 2. Amati di bawah mikroskop bentuk partikel dari serbuk sistem dispersi padat dari campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1), serta amati perbedaannya (Gambarkan!). d. Uji Kelarutan 1. Sejumlah serbuk dispersi padat dari campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1) yang setara dengan 10 mg glibenklamid dilarutkan dalam 25 ml larutan dapar fosfat pH 7.2 dalam erlemeyer bertutup. 2. Penentuan kelarutan: 1. Dilarutkan dengan bantuan magnetic stirrer selama 1.5 jam sampai larutan jenuh. 2. Masing-masing sampel yang telah jenuh disaring dengan kertas saring. 3. Hitung kadar furosemide dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis pada panjang gelombang maksimum. 4. Buat kurva serapan dan kadar perbandingan campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1). IV. Hasil dan Pembahasan a. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 Panjang Gelombang Maksimum Furosemide: 271 nm b. Kurva Baku Larutan Standar Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 Konsentersasi (μg/ml)



Absorbansi



2



0,214



4



0,284



6



0,347



8



0,413



10



0,512



Penentuan Kelarutan Serbuk Dispersi Padat



Pada gambar 1 terlihat bahwa laju disolusi yang paling rendah ditemukan pada kadar furosemida 100 %. Semakin tinggi jumlah PEG yang diberikan sehingga jumlah obat semakin rendah maka laju disolusi furosemida juga semakin tinggi. Laju disolusi paling tinggi didapatkan pada konsentrasi furosemida 9,1 %. Peningkatan laju disolusi ini diperkuat oleh data dissolution efficiency (DE). Hasil perhitungan dissolution efficiency dispersi padat furosemida dengan PEG dapat dilihat pada tabel IV. Dimana pada menit ke 15, 45 dan 60 (tabel IV) yang berbeda secara bermakna (P < 0,05) terhadap furosemida tunggal (100 %).



V. Pembahasan Pada praktikum kali ini telah dilakukan percobaan praktikum yaitu sistem dispersi padat dengan menggunakan furosemid. Sistem dispersi padat sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan kelarutan suatu obat yang akan berpengaruh dengan peningkatan laju absorpsi dan disolusi suatu obat tersebut. Sistem dispersi padat sendiri adalah suatu sistem dispersi satu atau lebih zat aktif dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat yang dibuat dengan metoda pelarutan (solvent method), metoda peleburan (melting method), dan metoda campuran (melting-solvent method). Sistem dispersi padat merupakan teknologi dengan metode sederhana yang dapat meningkatkan kecepatan melarut zat-zat yang sukar larut, peningkatan laju disolusi dan bioavaibilitasnya, dimana satu atau lebih zat aktif dalam suatu pembawa inert dalam keadaan padat, dengan pembawa yang mudah larut diantaranya: polivinilpirolidon, polietilenglikol dan urea dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yang tidak larut dalam air. Adapaun manfaat dispersi padat dalam formulasi obat : a. Dapat mengurangi ukuran partikel, meningkatkan luas permukaan, dan meningkatkan laju disolusi sehingga menghasilkan produk yang memiliki Bioavaibilitas yang tinggi. b. Dapat meningkatkan kemampuan adhesi selama proses produksi dispersi padat, peningkatan kemampuan keterbasahan dibantu dengan pembawa yang digunakan dalam dispersi padat. c. Partikel pada dispersi padat memiliki porositas yang tinggi, sehingga akan mempercepat profil pelepasan obat. Peningkatan porositas ini tergantung pada sifat pembawa yang digunakan dalam dispersi padat. d. Obat dalam dispersi padat dapat ditingkatkan kelarutannya. Sementara metode pembuatan sistem dispersi padat yaitu Metode Pelarutan (solvent method)Dispersi padat yang dibuat dengan metode pelarutan dilakukan dengan cara melarutkan campuran fisika dua komponen padat didalam pelarut yang sama, kemudian diikuti dengan menguapkan pelarutnya. Metode Campuran (melting-solvent method)Suatu senyawa cair dapat disatukan kedalam polietilenglikol 6000 tanpa kehilangan yang berarti sifat padatnya, oleh sebab itu dispersi padat dapat dibuat dengan cara ini yaitu mula-mula



melarutkan bahan obat dalam pelarut yang cocok, kemudian larutan tersebut disatukan secara langsung kedalam leburan polietilenglikol pada suhu dibawah 70ᵒC tanpa diikuti penguapan pelarut. Keuntungan metode ini merupakan gabungan kentungan metode peleburan dan metode pelarutan , tetapi metode ini secara praktis hanya dapat digunakan untuk obar yang mempunyai dosis terapeutik yang rendah, misalnya dibawah 50 mg. Senyawa furosemid sendiri merupakan senyawa yang memiliki kelarutan yang kurang terhadap air. Bahkan tidak larut sama sekali dalam air, sehingga digunakan sistem dispersi padat untuk meningkatkan kelarutan dan bioavaibilitasnya. furosemid termasuk kedalam kategori obat BCS kelas IV yang memiliki permeabilitas yang rendah serta kelarutan yang rendah, hal ini menyebabkan furosemid memiliki daya absorpsi yang rendah juga. Maka pembuatan dispersi padat akan membantu meningkatkan daya disolusi dan absorpsi dari furosemid. Dispersi padat merupakan produk yang terdiri paling sedikit dua komponen berbeda yaitu bahan aktif hidrofobik dan matriks hidrofilik dimana bahan aktif akan berubah menjadi kristalin, terlarut, atau amorf. Penggunaan dispersi padat ini dapat membantu meningkatkan absorpsi dari obat yang sukar larut dalam air. Selain itu juga dapat meningkatkan kecepatan disolusi dengan mengubat bentuk obat menjadi amorf. Dispersi dapat mempercepat disolusi karena pada sistem dispersi padat terjadi adanya pengurangan ukuran partikel obat, solubilisasi pembawa dan peningkatan daya keterbasahan. Sehingga dengan terjadinya peningkatan pada laju disolusi, maka laju absorpsi suatu obat juga otomatis akan meningkat. Tahap pengerjaan yang pertama-tama dilakukan ialah Pembuatan Serbuk Sistem Dispersi Padat menggunakan Metode Peleburan, dengan menyiapkan bahan furosemide dan PEG 6000 dengan perbandingan (1:9) dan (9:1). Pertama-tama PEG 6000 dilebur dalam cawan uap di atas water bath dan ditambahkan furosemide, setelah melebur, dinginkan dalam wadah es sampai terbentuk padatan. Kemudian massa yang telah padat tersebut, digerus atau dihancurkan bisa menggunakan blender dan diayak pada ayakan 425 μm hingga menjadi serbuk sistem dispersi padat yang siap dilakukan evaluasi. Penghalusan serbuk dengan blender dilakukan karena Pada proses pembuatan dispersi padat, dihasilkan endapan akibat dari proses penguapan pelarut organik. Untuk proses pengujian selanjutnya/evaluasi, endapan ini harus dikerok dan dibuat menjadi



bentuk serbuk. Dispersi padat campuran furosemid-PEG 6000 ini sangat sulit untuk digerus sehingga digunakan blender untuk menghaluskannya dan diayak dengan ayakan 425 µm untuk menyeragamkan ukuran serbuknya. Tahap selanjutnya ialah mengevaluasi Serbuk Sistem Dispersi Padat yaitu menentukan Panjang Gelombang Maksimum Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 . dengan membuat larutan standar furosemide dalam dapar fosfat pH 7.2 dengan konsentrasi 10 μg/ml. Kemudian diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 220-350 nm. Dapar fosfat pH 7,2 digunakan sebagai media pelarutan karena furosemid memiliki kelarutan praktis tidak larut dalam air, selain itu di dalam tubuh manusia terdapat sistem buffer campuran H2PO4- (Dihidrogen fosfat) dan HPO42- (Hidrogen fosfat). Larutan dapar fosfat pH 7,2 dibuat dengan melarutkan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M (KH2PO4) sebanyak 250 ml dengan larutan Natrium hidroksida (NaOH) 0,2 N sebanyak 173,75 ml ke dalam labu takar 1000 ml. Ditambahkan ke dalam larutan tersebut air bebas CO2 ad 1000 ml. Sementara cara pembuatan larutan standar furosemid konsentrasi 10 μg/ml adalah 1 mg furosemid dilarutkan dalam 100 ml dapar fosfat. Dengan bukti perhitungan : 10μg/ml = 10 ppm = x mg/ml 1 ppm = 1000 mg/1000.000 ml 10 ppm = 10.000 mg/ 1000.000 ml 10 ppm = 1 mg/100 ml Kemudian langkah selanjutnya ialah membuat spektrum serapan (Absorbansi vs Panjang Gelombang) dengan membuat Kurva Baku Furosemide dalam Dapar Fosfat pH 7.2 kemudian dibuat larutan standar furosemide dengan konsentrasi 2; 4; 6; 8; 10 μg/ml. dikur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum. Lalu dibuat kurva baku furosemide (Absorbansi vs Konsentrasi). Diukur serapan pada spektrofotometer UV-vis karena memiliki panjang gelombang 200-300 nm. Spekrofotometer UV adalah pengukuran serepan cahaya didaerah ultraviolet (200-350 nm) sedangkan sinar tampak (350-800). Sinar UV mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, yang dimana serapan cahaya spektro UV berada di panjang gelombang 200-400nm. Pembuatan larutan standar dilakukan dengan cara pengenceran yaitu dari larutan furosemid konsentrasi 10 µg/ml pipet sebanyak masing-masing hasil perhitungan lalu masukkan dalam labu ukur 5 ml dan tambahkan larutan dapar fosfat pH 7,2 hingga tanda batas pada labu ukur 5



ml dan homogenkan. Dengan perhitungan perbandingan pengenceran sebagai berikut : • Konsentrasi 2 µg/ml V1. 10 µg/ml = 5 ml . 2 µg/ml V1 = 1 ml • Konsentrasi 4 µg/ml V1. 10 µg/ml = 5 ml . 4 µg/ml V1 = 2 ml = 5 ml . 10 µg/ml V1 = 5 ml • Konsentrasi 6 µg/ml V1. 10 µg/ml = 5 ml . 6 µg/ml V1 = 3 ml • Konsentrasi 8 µg/ml V1. 10 µg/ml = 5 ml . 8 µg/ml V1 = 4 ml • Konsentrasi 10 µg/ml V1. 10 µg/ml = 5 ml . 10 µg/ml V1 = 5 ml Selanjutnya ialah tahap menentukan bentuk Mikroskopis (Metode Mikroskopis) yaitu dengan mendispersikan sejumlah serbuk kedalam paraffin cair dan diteteskan pada gelas objek. Lalu diamati di bawah mikroskop bentuk partikel dari serbuk sistem dispersi padat dari campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1), serta amati perbedaannya. Parafin cair digunakan karena Paraffin cair merupakan cairan pembawa minyak. Dalam dispersi sediaan padat seperti furosemide ini, parafin cair berfungsi untuk proses enkapsulasi atau penyalutan pada matriks furosemide. Enkapsulasi dengan paraffin cair ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan dari furosemide. Tahap terakhir ialah melakukan Uji Kelarutan. Yaitu sejumlah serbuk dispersi padat dari campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1) yang setara dengan 10 mg glibenklamid dilarutkan dalam 25 ml larutan dapar fosfat pH 7.2 dalam erlemeyer bertutup. Dan dilakukan Penentuan kelarutan dengan melarutkannya dengan bantuan magnetic stirrer selama 1.5 jam sampai larutan jenuh. Kemudian masing-masing sampel yang telah jenuh disaring dengan kertas



saring. Lalu dihitung kadar furosemide dengan menggunakan spektrofotometer UV- Vis pada panjang gelombang maksimum. Dan di buat kurva serapan dan kadar perbandingan campuran furosemide dan PEG 6000 (1:9) dan (9:1). Dispersi padat campuran furosemid-PEG 6000 dibuat dalam 2 perbandingan bertujuan untuk mengetahui kemampuan PEG 6000 dalam meningkatkan laju disolusi furosemid dalam sistem dispersi padat dan juga untuk mendapatkan kombinasi optimal yang dapat meningkatkan kelarutan furosemid. Dalam pembuatan disperse padat dapat selain menggunakan PEG 6000 dapat juga diguakan pelarut lain yang sesuai seperti POLIMER PVP K-30, Polietileglikol 4000 (PEG 4000), Maitol, Dll. Ukuran partkikel furosemid yang sudah didispersikan dengan PEG dibanding dengan ukuran furosemid murni, PEG dibanding dengan ukuran furosemide murni, Furosemid murni mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil daripada dispersi padat (Furosemide yang sudah didispersikan dengan PEG). Ukuran yang besar pada dispersi padat furosemid-PEG 6000 disebabkan karena pada saat pembuatan serbuk, sulit untuk melakukan penggerusan dispersi padat yg menyebabkan partikel dispersi padat furosemid-PEG 6000 menjadi tidak beraturan, sehingga terdapat partikel dengan ukuran yang besar. Pada dispersi padat furosemid-PEG 6000 juga sudah tidak terlihat bentuk kristal dari furosemid karena sudah tersaluti oleh PEG 6000. Adapun faktor yang mempengaruhi kelarutan yaitu Intensitas Pengadukan : Pada pengadukan yang rendah aliran bersifat pasif. Zat padat tidak bergerak dan kecepatan pelarutan bergantung pada bagaimana karakter zat padat tersebut menghambur dari dasar wadah. Zat padat dan larutannya tidak berpindah ke atas sistem sehingga mempunyai perbedaan konsentrasi. Pada pengadukan yang tinggi sistem menjadi turbulent. Gaya sentrifugal dari putaran cairan mendorong partikel ke arah luar dan atas. pH (keasaman atau kebasaan) : Kebanyakan obat adalah elektrolit lemah. Obatobat ini bereaksi dengan kelompok asam dan basa kuat serta dalam jarak pH tertentu berada pada bentuk ion yang biasanya larut dalam air, sehingga jelaslah bahwa kelarutan elektrolit lemah sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Suhu : Perubahan kelarutan suatu zat terlarut karena pengaruh suhu erat hubungannya dengan panas pelarutan dari zat tersebut. Komposisi cairan pelarut : Seringkali zat pelarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut



bersama (kosolvensi) dan kombinasi pelarut menaikkan kelarutan dari zat terlarut disebut kosolven. Ukuran partikel : Ukuran dan bentuk partikel juga berpengaruh terhadap ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel semakin besar kelarutan suatu bahan obat. Pengaruh surfaktan : Obat yang bersifat asam lemah dan basa lemah yang sukar larut, dapat dilarutkan dengan bantuan kerja dari zat aktif permukaan dengan menurunkan tegangan permukaan antara zat terlarut dengan mediumnya. Jika digunakan surfaktan dalam formulasi obat, maka kecepatan pelarutan obat tergantung jumlah dan jenis surfaktan yang digunakan. Pada umumnya dengan adanya penambahan surfaktan dalam suatu formula akan menambah kecepatan pelarutan bahan obatnya. Pembentukan kompleks : Gaya antar molekuler yang terlibat dalam pembentukan kompleks adalah gaya van der waals dari dispersi, dipolar dan tipe dipolar diinduksi. Pembentukan kompleks sering dikaitkan dengan suatu perubahan sifat yang lebih penting dari bahan obat, seperti ketetapan, daya resorpsinya dan tersatukannya. Pembentukan kompleks sekarang banyak dijumpai pengunaannya untuk perbaikan kelarutan, akan tetapi dalam kasus lain juga dapat menyebabkan suatu perlambatan kelarutan. Tekanan : Pada umumnya perubahan volume larutan yang dikarenakan perubahan tekanan kecil, sehingga diperlukan tekanan yang sangat besar untuk dapat mengubah kelarutan suatu zat. VI. Kesimpulan



Pada percobaan praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa furosemid yang termasuk dalam kategori BCS IV yaitu memiliki bioavaibilitas yang rendah serta kelarutan yang rendah memerulkan sistem dispersi padat untuk meningkatkan laju disolusi dan absorpsi dari furosemid. Hal tersebut dibuktikan dari penelitian yang sudah diamati, Dari evaluasi sifat fisik serbuk diperoleh hasil dispersi padat dengan perbandingan bahan furosemida – PEG 6000 – talk (1 : 1 : 0,2) ; (1 : 1 : 1) ; (0,2 : 1 : 9) dan (0,2 : 1 : 3) yang mempunyai sifat alir yang baik. Uji disolusi dari furosemida dari dispersi padat yang disiapkan dengan PEG, talk dan PEG – talk (1 : 1) sebagai pembawa dispersi diperoleh bahwa laju disolusi furosemida meningkat dengan berkurangnya konsentrasi furosemida terhadap pembawa. Uji disolusi dispersi padat furosemida (9,1%) dengan variasi kadar PEG–talk (1 : 9), (1: 3), (1: 1, 3 : 1) dan (9.:.1) dapat meningkatkan disolusi furosemida pada menit ke 60 berturut-turut 53.%, 28 %, 51 % dan 53 %.



Daftar Pustaka



1. Sulistiyaningsih,. Danintya Fairuz Trianggani. 2018. Jurnal Farmaka Vol 16 No 1: Artikel Tinjauan: Dispersi Padat. Bandung. Universitas Padjajaran 2. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi 4 3. Dara, Alicia Ima., Patihul Husni. 2017. Teknik Meningkatkan Kelarutan Obat. Bandung. Universitas Padjajaran 4. Syukri, Yandi., Diny Rizayulianty., Yuni Darty. Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG–talk sebagai pembawa dispersi. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia