Laporan Pribadi Exposure [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRIBADI EXPOSURE TERHADAP TUKANG PARKIR



Nama



: Sarah Amadea Rahardja



NPM



: 2012620112



Kelas



:Z



Kelompok : 3



Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan 2012



PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas selesainya laporan pribadi eksposur ini. Selesainya laporan eksposur ini juga tidak lepas dari bantuan teman teman satu kelompok eksposur saya, juga dari guru pembimbing kami, Bapak Yusuf Siswantara. Saya berharap dengan adanya laporan eksposur ini, bisa membuka wawasan pembaca akan kehidupan para tukang parkir, suka duka dan persoalan mereka, agar ke depannya dapat lebih peka, berempati dan tergerak untuk peduli dan menghargai sesama yang terabaikan dan seringkali dipandang sebelah mata, seperti tukang parkir.



2



DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4



BAB II KETERLIBATAN DALAM PENDAMPINGAN......................................................6 BAB III STUDI PUSTAKA.........................................................................................................8 BAB IV REFLEKSI IMAN DAN RUMUSAN IMAN...........................................................11 BAB V KESIMPULAN................................................................................................................12



3



BAB I. PENDAHULUAN



1.1 Alasan dan tujuan pemilihan subjek eksposur Tukang parkir adalah sosok yang sangat sering kita jumpai dalam kehidupan sehari hari. Mereka membantu para pengemudi untuk memarkir kendaraan nya dengan benar, sehingga tempat parkir tertata teratur, menimbulkan keadaan nyaman bagi semua pengemudi yang telah memarkirkan mobilnya. Mereka juga membantu untuk menjaga keamanan kendaraan yang dititipkan kepada mereka. Namun seringkali kita malah memandang mereka sebelah mata, terkadang kasar kepada tukang parkir yang sesungguhnya ingin membantu kita. Kita terkadang marah jika ditegur, padahal tukang parkir hanya mengingatkan akan kewajiban kita menaati peraturan. Kesimpulannya, kita jarang menghargai tukang parkir, padahal mereka lah yang berusaha menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan kita sebagai pemilik kendaraan bermotor. Saya memilih tukang parkir sebagai subjek eksposur saya, untuk lebih mengenal dan memahami sosok yang terabaikan ini. Saya ingin mengetahui lebih jauh seluk beluk, suka duka pekerjaan mereka sebagai seorang tukang parkir, tentang bagaimana mereka menyelami pekerjaan yang mungkin dianggap rendah oleh orang lain, tetapi justru sangat penting ini. 1.2 Penjelasan subjek dampingan Subjek dampingan saya bernama Pak Slamet. Beliau berasal dari kota Semarang. Beliau pindah ke kota Bandung atas ajakan kakaknya yang sudah lebih dulu menetap di kota ini. Dulu beliau bekerja membantu kakaknya menjual minuman di depan Universitas Islam Bandung. Apabila stan minuman kakaknya sedang tidak ramai dikunjungi orang, beliau sering membantu para tukang parkir UNISBA untuk mengatur mahasiswa-mahasiswa yang memarkir kendaraannya disana. Rupanya bantuan pak Slamet dihargai dan dibutuhkan oleh para tukang



4



parkir lainnya. Mereka pun mengajak pak Slamet untuk menjadi tukang parkir permanen bersama dengan mereka. 1.3 Sisi keterlibatan dengan subjek Saya memilih sisi keterlibatan subjek dalam pekerjaannya. Saya memilih mendatangi beliau pada saat beliau bekerja, namun pada saat tempat parkir sepi, sehingga saya tidak mengganggu pekerjaan beliau. Dengan memilih sisi ini, saya bisa mengamati penghayatan subjek akan pekerjaannya, interaksi dengan orang orang di sekitarnya, termasuk para mahasiswa, pejalan kaki, dan tukang parkir yang lainnya.



5



BAB II. KETERLIBATAN DALAM PENDAMPINGAN Saya mendampingi Pak Slamet pada saat ia sedang istirahat dari pekerjaannya. Ia sebetulnya masih dalam jam kerjanya, namun karena hari sudah sore dan sudah sedikit orang yang memarkirkan kendaraannya di sana, maka pak Slamet memiliki waktu luang untuk mengobrol dengan saya. Ia adalah seorang yang rendah hati dengan senyum lebar. Mengobrol dengannya, saya tidak merasa bahwa ia menutup nutupi atau merasa malu dengan keadaannya. Ia terbuka menyampaikan suka dukanya sebagai seorang tukang parkir. Ia bercerita bagaimana ia memulai pekerjaannya sebagai tukang parkir dari kesediaannya membantu tukang parkir lain tanpa dibayar. Pada akhirnya karena tukang – tukang parkir yang lain merasa tertolong dengan bantuannya, mereka memintanya untuk menjadi tukang parkir juga—dengan gaji tetap. Saya merasa trenyuh mendengar bagaimana solidaritas para tukang parkir. Mereka dapat mengundang orang lain untuk ikut dalam pekerjaan mereka, padahal dengan lebih banyak tukang parkir, mungkin lahan kerja mereka berkurang dan pendapatan mereka berkurang, tetapi mereka mau melakukannya atas dasar solidaritas dan persaudaraan. Pak Slamet juga bercerita tentang latar belakang keluarganya yang berbeda beda agama. Ada yang katolik, kristen, dan muslim. Pak Slamet sendiri beragama muslim. Ia bercerita tentang perbedaan pendapat yang banyak terjadi di keluarganya, namun tidak sampai memecah tali persaudaraan di antara mereka. Saya pun sungguh kagum melihat pak Slamet yang supel dan mampu membangun hubungan yang baik dengan tukang tukang parkir lain yang semuanya beragama muslim. Mereka saling bercanda dan tampak dekat satu sama lain, tanpa sekat atas latar belakang agama. Saya berpikir seandainya saja hal ini dapat terjadi di seluruh Indonesia maka tidak akan ada lagi konflik atas dasar agama, seandainya saja semua orang mau saling menghargai dan menerima satu sama lain. Satu hal lagi yang saya kagumi dari pak Slamet adalah kemampuannya mendapatkan kepercayaan para mahasiswa. Ia bercerita bahwa mahasiswa UNISBA memiliki kebiasaan yang cukup unik menurut saya, yaitu menitipkan kunci motor/mobil kepada tukang parkir, termasuk pak Slamet. Hal ini menurut saya adalah bukti



6



bahwa mereka merasa cukup dekat dengan pak Slamet untuk percaya bahwa kunci kunci itu akan aman di tangan pak Slamet. Pak Slamet juga menceritakan tentang keluarganya. Ia memiliki dua anak. Anak yang kecil masih SD sedangkan yang pertama sudah masuk SMP. Anaknya yang kedua dulu sering ia ajak ke tempat kerjanya untuk mendampinginya bekerja. Tetapi sekarang, anaknya itu sudah sibuk dengan tugas tugas sekolahnya, juga sibuk dengan warnet, game online, dan teman temannya. Walaupun pak Slamet tidak secara gamblang bercerita bahwa ia merindukan anaknya, tetapi dari nada suara dan mimik mukanya saya dapat menyimpulkan hal itu. Dari sini saya belajar bahwa sesibuk apapun kita, hendaknya dapat meluangkan waktu untuk orang tua karena mereka juga rindu untuk berbagi waktu dengan kita. Berhubungan



dengan



pekerjaannya,



beliau



mengatakan



menyukai



pekerjaannya karena memiliki banyak teman tempat berbagi cerita. Akan tetapi beliau menyayangkan adanya preman preman yang mengganggu keamanan kampus. Mereka terkadang datang dan mengambil pungutan liar dari para tukang parkir yang gajinya pun sudah terbatas. Mendengar cerita beliau, saya sungguh menyayangkan rendah nya perhatian pihak kepolisian akan masalah premanisme yang semakin menjalar di berbagai tempat di Indonesia. Alangkah baiknya bila masalah ini diatasi, sehingga tidak merugikan orang orang yang lemah seperti pak Slamet.



7



BAB III. STUDI PUSTAKA Salah satu masalah yang dihadapi pak Slamet, dan tukang parkir secara umum adalah gaji yang terbatas dan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka secara penuh, terutama kebutuhan untuk anak yang semakin meningkat dengan biaya sekolah, buku, dan lain lain. Akan tetapi hal ini bukanlah kesalahan mereka. Apabila diukur dari kerja keras mereka, mungkin mereka melebihi kerja keras orang orang kantoran atau pabrik yang memiliki gaji lebih besar. Permasalahannya adalah pada jaman sekarang, nilai kerja juga dipengaruhi oleh lingkungan dan masyarakat. Masyarakat menuntut seseorang untuk memiliki pendidikan tinggi dan skill yang cukup agar dinilai patut menerima gaji yang lebih tinggi. Jadi nilai kerja sekarang tidak lagi paralel dengan intensitas kerja yang dilakukan. Man's life is built up every day from work, from work it derives its specific dignity, but at the same time work contains the unceasing measure of human toil and suffering, and also of the harm and injustice which penetrate deeply into social life within individual nations and on the international level. While it is true that man eats the bread produced by the work of his hands5 - and this means not only the daily bread by which his body keeps alive but also the bread of science and progress, civilization and culture - it is also a perennial truth that he eats this bread by"the sweat of his face"6, that is to say, not only by personal effort and toil but also in the midst of many tensions, conflicts and crises, which, in relationship with the reality of work, disturb the life of individual societies and also of all humanity. (LABOREM EXERCENS, JOANNES PAULUS PP II) Permasalahannya disini adalah bukan orang orang ini tidak mau untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, tetapi mereka tidak bisa melakukannya. Mereka ditekan oleh keadaan ekonomi keluarga yang tidak mampu membiayai mereka, dan tekanan untuk cepat cepat bekerja agar bisa menopang ekonomi keluarga. Untuk menolong mereka keluar dari jerat kemiskinan dibutuhkan inisiatif dari pemerintah, untuk menolong mereka mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, supaya mereka memperoleh skill yang dibutuhkan sehingga dapat meningkatkan derajat hidup mereka. Secara singkat, pendidikan sangat dibutuhkan karena dapat menolong orang orang ini untuk berjuang demi diri mereka sendiri, untuk keluar dari kemiskinan. Program seperti BLT yang langsung memberikan “ikan” dan bukan “kail” tidak banyak menolong karena hanya akan



8



membuat mereka semakin ketergantungan pada bantuan orang lain dan bukan dirinya sendiri. 35. It can even be affirmed that economic growth depends in the very first place upon social progress: thus basic education is the primary object of any plan of development. Indeed hunger for education is no less debasing than hunger for food: an illiterate is a person with an undernourished mind. To be able to read and write, to acquire a professional formation, means to recover confidence in oneself and to discover that one can progress along with the others. As We said in Our message to the UNESCO Congress held in 1965 at Teheran, for man literacy is " a fundamental factor of social integration, as well as of personal enrichment, and for society it is a privileged instrument of economic progress and of development''.[36] We also rejoice at the good work accomplished in this field by private initiative, by the public authorities and by international organizations: these are the primary agents of development, because they render man capable of acting for himself. (“Populorum Progressio”.Encyclical Letter of His Holiness Pope Paul VI promulgated on March 26, 1967) Selain dari inisiatif untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum miskin, pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan situasi politik dan ekonomi yang “bersahabat” bagi kamu miskin. Pemerintah diharapkan mencegah dominasi dan pengaruh kaum kaya dan borjuis dalam menentukan regulasi dan undang undang sehingga peraturan perundang undangan dapat ditentukan secara adil dan tidak menekan kaum miskin dan sengsara. Pemerintah justru diharapkan untuk menjadikan kesejahteraan kaum miskin sebagai tujuan yang harus dicapai dalam masa pemerintahannya. 33. Individual initiative alone and the mere free play of competition could never assure successful development. One must avoid the risk of increasing still more the wealth of the rich and the dominion of the strong, whilst leaving the poor in their misery and adding to the servitude of the oppressed. Hence programs are necessary in order " to encourage, stimulate, coordinate, supplement and integrate"[35] the activity of individuals and of intermediary bodies. It pertains to the public authorities to choose, even to lay down the objectives to be pursued, the ends to be achieved, and the means for attaining these, and it is for them to stimulate all the forces engaged in this common activity. But let them take care to associate private initiative and intermediary bodies with this work. They will thus avoid the danger of complete collectivization or of arbitrary



9



planning, which, by denying liberty, would prevent the exercise of the fundamental rights of the human person. (“Populorum Progressio”.Encyclical Letter of His Holiness Pope Paul VI promulgated on March 26, 1967)



10



BAB IV. REFLEKSI IMAN DAN RUMUSAN IMAN Dalam eksposur ini saya menjadi lebih menghayati tentang iman. Iman bukanlah sesuatu yang eksklusif, iman tidak bersifat individualis dan egois, dan untuk dinikmati sendiri. Iman yang sesungguhnya terwujud dalam kepedulian dan kepekaan kita terhadap sesama, terutama sesama yang lemah dan membutuhkan. Pada saat kita tidak mempedulikan sesama, maka sama saja kita tidak melaksanakan iman kita. Bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak kelihatan, apabila mengasihi sesama yang kelihatan saja kita masih susah? Menurut saya, kesulitan untuk mengasihi sesama itu timbul karena prasangka kita kepada orang lain. Sebagai contoh, kita menganggap orang miskin akan selalu meminta bantuan kepada kita, menyusahkan dan mengganggu, sehingga kita menjauh dari mereka, tidak mau mengenal mereka. Padahal apabila kita mau berusaha mendalami kehidupan mereka, mengasihi mereka tidaklah sulit. Orang orang dari golongan bawah justru adalah orang orang yang rendah hati, cepat menolong dan memberikan bantuan, serta memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Contohnya adalah pak Slamet. Ia tidak pernah meminta balasan atas waktunya yang ia berikan untuk saya. Pada saat saya menawarkan untuk makan bersama, dengan sopan ia katakan bahwa ia sudah makan, padahal maksud saya untuk mentraktirnya makan. Karena perasaan tulusnya membantu saya inilah justru saya semakin berempati kepadanya. Dalam alkitab pun, Yesus selalu bergaul dengan orang orang yang miskin dan tertindas. Ia bahkan mengatakan bahwa orang miskin lah yang nantinya memiliki kerajaan Surga. Saya berpikir Yesus mengatakan hal ini karena melihat sifat sifat orang miskin yang rendah hati dan mau saling membantu antar sesama mereka.



11



BAB IV. KESIMPULAN Iman adalah sesuatu yang perlu dihayati dalam kehidupan sehari hari, tidak hanya dipelajari dan dihapalkan dari kitab suci. Iman adalah sesuatu yang inklusif, tidak terbatas hanya ketika kita berada dalam tempat ibadah. Adalah perlu untuk mewujudkan iman dalam kasih dan kepedulian kepada sesama, sebagai wujud cinta kasih kita kepada Tuhan sang pencipta manusia. Bukti keterlibatan :



12