LAPRAK 2 PARENKIM DAN PENGUAT-dikonversi-edited [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN TUMBUHAN II JARINGAN PENGISI: JARINGAN PARENKIM DAN JARINGAN PENGUAT



Dosen Pengampu: Dr. Evika Sandi Safitri, M.P. Ruri Siti Resmisari, M.Si



Asisten Laboratorium: Alviana Rochmania



Disusun Oleh: Nama



: Vivi Yenni Aryanti



NIM



: 19620056



Kelas



: Biologi B



PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2021



BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Berlakang Jaringan merupakan kumpulan sel yang mempunyai bentuk, asal, fungsi, dan struktur yang sama. Untuk melakukan proses-proes hidupnya, tumbuhan memiliki berbagai macam sel yang mana memiliki fungsi-fungsi tertentu (Parjatmo, 1987). Menurut jenisnya, jaringan pengisi pada tumbuhan dibedakan menjadi jaringan parenkim dan jaringan penguat, yang terdiri dari jaringan kolenkim dan sklerenkim. Sel-sel parenkim memiliki dinding sel yang tipis sehingga membentuk suatu jaringan yaitu jaringan parenkom yang merupakan jaringan dasar pembentukan koteks dan empulur pada batang serta korteks pada akar. Jaingan kolenkim merupakan jaringan penguat yang berasal dari jaringan parenkim yang mengalami penebalan selulosa pada bagian sudut-sudutnya. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada jaringan kolenkim merupakan sel hidup. Sel-sel kolenkim bersifat lentur sehingga dapat menyokong jaringan yang lain tanpa menghambat pertumbuhan karena memiliki kemampuan untuk memanjang bersamaan dengan pertumbuhan batang dan daun (Parjatmo, 1987). Sedangkan jaringan sklerenkim merupakan jaringan penyokong yang terdapat pada organ tubuh tumbuhan yang telah dewasa dan tersusun atas sel-sel mati yang seluruh bagian dinding selnya mengalami penebalan, sehingga selnya cenderung kuat. Sel-sel sklerenkim lebih kaku daripada sel kolenkim sehingga sel sklerenkim tidak dapat memanjang. Jaringan sklerenkim merupakan jaringan penguat dengan dinding sekunder yang tebal. Umumnya, jaringan sklerenkim terdiri atas zat lignin dan tidak mengandung protoplas (Hidayat, 1995). Allah SWT. berfirman dalam Q.S. An-Nahl ayat 10, yang berbunyi:



ُُ‫}ُيُنُبُتُ ُلُكُم‬10{ُ ُ‫هُوُالُذُيُأُنُزُلُ ُمُنُ ُالسُمُآءُ ُمُآءُلُكُمُ ُمُنُهُ ُشُرُابُ ُوُمُنُهُشُجُرُفُيُهُ ُتُسُيُمُوُن‬ ُ}11{ُُ‫بُهُُالزُرُعُُوُالزُيُتُوُنُُوُالنُخُيُلُُوُالُُعُنُابُُوُمُنُُكلُالثمراتُإنُفيُذُالُكُُلُيُةُُلُقُوُمُُيُتُفُكُرُوُن‬ Artinya: “Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu. Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanamtanaman, zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Allah SWT. menciptakan berbagai macam tumbuhan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan manusia dan membawa maslahat



di dalamnya. Oleh karena itu, kita sebagai manusia makhluk paling tinggi kedudukannya di hadapan Allah sudah sepantasnya mensyukuri akan hal tersebut. Bentuk rasa syukur manusia terhadap ciptaan-Nya beragam, salah satunya ialah dengan menuntut ilmu. Melalui praktikum ini, secara tidak langsung juga merupakan bentuk rasa syukur kita atas keberadaan tumbuhtumbuhan di sekitar. Dengan kata lain, mempelajari berbagai macam jaringan tumbuhan dan sel-sel penyusunnya merupakan suatu bentuk tawakal kepada Allah. Dalam praktikum jaringan pengisi kali ini, paktikan akan mempelajari mengenai berbagai macam jaringan pengisi yang terdiri dari jaringan parenkim dan jaringan penguat, yaitu kolenkim dan sklerenkim. Selain sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, praktikum ini sangat penting untuk dilakukan guna mencetak generasi biologi yang mumpuni di masa depan. 1.2.Tujuan Praktikum Tujuan dari dilaksanakannya praktikum ini ialah sebagai berikut: 1. Mengamati dan menggambar berbagai macam bentuk jaringan parenkim menurut bentuk dan fungsinya. 2. Mengidentifikasi zat penyusun penebalan dinding sel parenkim. 3. Mengamati letak parenkim pada organ tumbuhan. 4. Mengidentifikasi penyusun jaringan penguat kolenkim dan tipe-tipe kolenkim beserta letak pada bagian tumbuhan. 5. Mengidentifikasi penyusun jaringan penguat sklerenkim beserta macam-macam sklerenkim.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Jaringan Parenkim Parenkim merupakan jaringan dasar yang terdapat pada seluruh tubuh tumbuhan. Istilah parenkim umumnya menunjuk pada jaringan yang kekhsusannya relative kecil dan mempunyai fungsi fisiologis yang sangat beragam dalam tumbuhan. Sel parenkim merupakan sel yang masih mampu membelah, bahkan pada sel yang telah dewasa. Sel parenkim memiliki peranan penting dalam proses penutupan luka dan regenerasi. Sel parenkim biasanya memiliki 14 sisi dengan ukuran sedang. Jumlah sisi sel yang lebih kecil semakin berkurang, sedangkan pada sel yang lebih besar jumlah sisinya lebih banyak. Jumlah dan ukuran ruang antarsel terjadi sebagai akibat dari jumlah sisi polyhedral (Mulyani, 2006). Sebagian besar tubuh tumbuhan, seperti empulur, hampir semua korteks akar dan batang, perisikel, mesofil daun, dan daging buah terdiri atas parenkim (Erni, 2012). Kebanyakan parenkim berdinding tipis, namun ada pula yang berdinding sangat tebal seperti sel cadangan makanan (Hidayat, 1995). Dinding sel parenkim dasar, termasuk mesofil daun, relative tipis dan dikelompokkan sebagai dinding primer. Lamella tengah ada yang dapat dikenali dan ada pula yang tidak. Dinding sel biasanya terdapat plasmodesmata yang seringkali terpusat pada noktah primer yang tersebar pada dinding (Mulyani, 2006). Sel parenkim isodiametric berdinding tipis menempati sebagian besar korteks, area antara epidermis dan jaringan vascular, empulur, area di dalam jaringan vascular, batang dan akar. Sel parenkim dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan pati, protein, minyak, dan sebagainya, dan juga memberikan dukungan bagi tanaman jika membengkak. Tekanan yang diberikan oleh parenkim di batang berkontribusi pada pertumbuhannya (Lopez dan Barclay, 2017). Parenkim adalah jaringan penting dalam xylem sekunder tumbuhan berbiji, dengan fungsi mulai dari penyimpanan hingga pertahanan dan memberikan efek pada sifat fisik dan mekanik tumbuhan berbiji. Jaringan parenkim pada xylem sekunder tersusun atas sel-sel hidup yang biasanya memiliki dinding tipis dan berbentuk persegi panjang atau persegi (Morris et al, 2015). 2.1.1. Jenis-jenis Jaringan Parenkim Berdasarkan fungsinya, parenkim dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain: 1) Klorenkim (parenkim asimilasi). Parenkim asimilasi ini mengandung banyak klorofil yang bermanfaat bagi proses fotosintesis (sintesa karbohidrat), yang



terletak pada bagian tepi dari sel-sel tumbuhan karena proses fotosintesis membutuhkan radiasi. Parenkim asimilasi mengandung kloroplas dan dalam kloroplas seringkali berisi butir-butir tepung asimilasi (Sutrian, 2011). 2) Parenkim penimbun. Parenkim ini tidak berwarna dan berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan dan terletak di bagian lebih dalam daripada parenkim asimilasi. Cadangan makanan yang tersimpan dalam parenkim ini ada yang berupa zat-zat yang dapat larut dalam cairan sel (dalam vakuola), dan ada yang berupa bahan-bahan padat (dalam vakuola dan sitoplasma). Bahan-bahan ini merupakan bahan-bahan ergastik (mati) seperti butir-butir tepung, kristaloid, protein, lemak ataupun tetes-tetes minyak (Sutrian, 2011). Sel-sel parenkim penimbun tersusun rapat, tanpa ruang antarsel. Parenkim penimbun biasanya terdapat pada empulur batang, akar, umbi, rimpang, buah, dan endosperm biji (Mulyani, 2006). 3) Parenkim air. Jaringan ini berfungsi sebagai penyimpan air, dimana air akan terikat dalam vakuola dari sel-selnya secara aktif. Jaringan parenkim air ini terdiri atas sel-sel yang aktif (hidup). Selnya berukuran besar dan biasanya memiliki dinding sel yang tipis. Sel-selnya sering tampak berupa serangkaian sel yang memanjang menyerupai palisade. Jaringan palisade ini masing-masing selnya memiliki sitoplasma (yang seakan-akan membentuk lapisan tipis yang melekat pada dinding sel), sebuah inti sel dan sebuah vakuola besar yang mengandung air atau lendir. Manfaat lendir inilah yang diperkirakan dapat menambah daya serap dan daya menahan air pada sel-sel sekitar protoplas dan dindingnya (Sutrian, 2011). 4) Aerenkim (Parenkim udara). Sel-sel aerenkim memiliki banyak ruang antarsel yang berkembang maksimum. Aerenkim banyak terdapat pada batang dan daun tumbuhan yang tumbuh di tempat yang banyak mengandung air dan tumbuhan yang habitatnya air (hidrofit). Jaringan ini berperan dalam pertukaran udara, misalnya pada eceng gondok (Eichornia crassipes) (Mulyani, 2006). Jaringan aerenkim yang mengandung ruang gas yang membesar terjadi pada banyak tumbuhan. Hal ini terjadi baik sebagai perkembangan normal maupun sebagai respon terhadap stress (Evans, 2003). Lili air dan tumbuhan air lainnya memiliki ruang antarsel yang agak ekstensif dan saling berhubungan di seluruh tubuh tumbuhan (Ster, 2000). 5) Parenkim pengangkut. Parenkim ini merupakan parenkim yang berfungsi sebagai alat pengangkut yang menghubungkan jaringan-jaringan bagian luar dan dalam



yang disebut dengan parenkim jari-jari empulur. Contohnya yaitu xylem dan floem (Mulyani, 2006). 2.2.Jaringan Penguat Jaringan penguat terdiri atas jaringan kolenkim dan jaringan sklerenkim yang berfungsi sebagai penguat jaringan tumbuhan lainnya dan melindungi secara mekanik jaringan-jaringan di sekitarnya. 2.2.1. Jaringan Kolenkim Kolenkim merupakan jaringan mekanik yang bertugas menyokong tumbuhan. Bagian tubuh tumbuhan yang tumbuh dengan lambat hanya mengalami sedikit pertumbuhan sehingga dukungan dari turgor di dalam sel parenkim saja sudah cukup. Namun, kebanyakan batang tumbuh dengan cepat dan bagian pertumbuhannya seringkali menjadi Panjang dan ramping. Hal seperti inilah yang membutuhkan jaringan penyokong. Kolenkim terbentuk oleh sejumlah sel yang memanjang menyerupai sel procambium dan berkembang dalam stadium awal promeristem. Sel-sel pada jaringan kolenkim merupakan sel hidup dengan bentuk agak memanjang, dan umumnya penebalan pada dinding selnya tidak teratur (Neil, 2005). Kolenkim merupakan jaringan penyokong pada tumbuhan. kolenkim berfungsi sebagai jaringan penyokong pada organ muda yang sedang tumbuh, pada tumbuhan herbal (herbaceous) dan bahkan pada organ dewasa. Kolenkim bersifat plastis sehingga dapat meregang secara irreversible dengan adanya pertumbuhan organ (Hidayat, 1995). Jaringan kolenkim tersusun atas bahan berupa hemiselulosa, selulosa, dan pektik. Hal ini memberikan dukungan, struktur, kekuatan mekanik, dan fleksibilitas pada tangkai daun, urat daun, dan batang tanaman muda yang memungkinkan terjadinya pembengkokan tanpa adanya kerusakan. Jaringan kolenkim juga terdapat pada hypodermis buah alpukat. Sel kolenkim mungkin atau mungkin tidak mengandung kloroplas, dan dapat melakukan fotosintesis dan menyimpan makanan (Lopez dan Yahia, 2019). Pada bagian tumbuhan yang tua, kolenkim menjadi keras atau dapat berubah menjadi sklerenkim dengan pembentukan dinding sekunder yang berlignin. Terpusatnya lignin terjadi terutama lapisan dinding terluar. Umumnya, kolenkim diartikan sebagai jaringan penunjang yang muda dan apabila kolenkim terdapat pada organ yang berkanjang (peristem) untuk periode yang lama, kolenkim akan mengalami sklerifikasi (Mulyani, 2006). Tiga ciri morfologi kolenkim yang paling khas yaitu berupa selnya yang memanjang secara aksial, penebalan dinding selnya, dan protoplasma yang masih hidup. Selama elongasi, sel



kolenkim tidak membelah banyak sebagai sel parenkim sekitarnya, yang menjelaskan sifat prosenkimnya. Namun, ukuran dan bentuk sel masih dapat bervariasi dari sel isodiametric dan prismatic pendek hingga sel pnjang seperti serat dengan ujung meruncing (Leroux, 2012). Kolenkim terdapat pada batang, daun, bunga, buah, dan akar. Kolenkim berkembang terutama jika mendapat sinar. Kolenkim biasanya terdapat tepat di bawah jaringan epidermis, akan tetapi dalam hal khusus terdapat satu atau dua lapisan parenkim si antara epidermis dan kolenkim. Ukuran dan bentuk sel kolenkim beragam. Ada yang berbentuk prisma pendek, mirip sel parenkim, atau panjang seperti serabut dengan ujung meruncing. Sel kolenkim yang terpanjang dijumpai di daerah pusat untaian kolenkim, dan terpendek di daerah tepi (Mulyani, 2006). Pada batang dan tangkai daun, kolenkim biasanya terbentuk pada posisi porifera dan dapat ditemukan tepat di bawah epidermis atau dipisahkan darinya oleh satu atau beberapa lapisan parenkim epidermis (Leroux, 2012). Menurut Hidayat (1995), berdasarkan tipe penebalan dindingnya kolenkim dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya: a. Kolenkim sudut (Angular kolenkim), penebalan dinding sel kolenkim ini terjadi pada sudut-sudut sel. Pada penampang melintangnya, penebalan ini tampak terjadi pada tempat bertemunya tiga sel atau lebih. b. Kolenkim lamellar, penebalan dinding sel kolenkim ini terjadi pada dinding tangensial sel. Kolenkim lamellar terdapat pada korteks batang Sumbucur nigra. c. Kolenkim lacunar, penebalan dinding sel kolenkim ini terjadi pada dinding-dinding yang berbatasan dengan ruang antarsel. d. Kolenkim cincin, pada kolenkim cincin dewasa tampak adanya penebalan dinding sel secara terus menerus sehingga lumen sel akan kehilangan bentuk sudutnya. 2.2.2. Jaringan Sklerenkim Jaringan sklerenkim merupakan jaringan penyokong yang terdapat pada organ tubuh tumbuhan yang telah dewasa. Jaringan sklerenkim tersusun oleh sel mati yang seluruh bagian dindingnya mengalami penebalan sehingga strukturnya kuat, sel-selnya lebih kaku daripada sel kolenkim dan selnya tidak dapat memanjang. Jaringan sklerenkim merupakan jaringan penguat dengan dinding sel sekunder yang tebal. Umumnya, jaringan sklerenkim terdiri atas zat lignin dan tidak mengandung protoplas. Sel-sel sklerenkim hanya dijumpai pada organ tumbuhan yang tidak lagi mengalami pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat, 1995).



Jaringan sklerenkim yang telah dewasa terdiri dari sel-sel mati yang memiliki dinding sel tebal yang mengandung lignin dan kandungan selulosa tinggi (60% - 80%), dan berfungsi sebagai penopang structural pada tumbuhan. sel sklerenkim memiliki dua jenis dinding sel, yaitu dinding sel primer dan sekunder. Dinding sekunder sangat tebal dan sangat lignifikasi (15% - 35%) dan memberikan kekakuan dan kekerasan yang besar pada sel dan jaringan. Jaringan sklerenkim terdiri dari dua jenis, yaitu serat (fiber) dan sel batu (sklereid) (Lopez dan Yahia, 2019). Menurut Agustina et al (2010), ciri-ciri jaringan sklerenkim yaitu berupa sel mati, dinding selnnya berlignin (zat kayu) dan mengandung selulosa sehingga sel-selnya menjadi kuat dan keras. Penebalan lignin terletak pada dinding sel primer dan sekunder. Jaringan ini umumnya terdapat pada batang dan tulang daun. Ada dua jenis sklerenkim, yaitu serat dan sklereid. Serat yaitu sel yang panjang dan sangat sempit dengan ujung dinding yang meruncing tajam. Serat berfungsi dalam mendukung mekanis berbagai organ dan jaringan. Serat sering terdapat dalam jumlah berkelompok atau bundle. Sklereid berbentuk isodiametris hingga tak beraturan atau bercabang. Sklereid juga dapat berfungsi sebagai penyangga structural, tetapi perannya dalam beberapa organ tumbuhan tidak jelas. Evolusi sklerenkim terutama serabut dengan dinding sel sekunder lignifikasi, merupakan adaptasi tanaman utama yang memungkinkan dukungan structural yang diperlukan untuk mencapai tinggi batang yang lebih tinggi (Simpson, 2019). Sklerenkim terdiri atas fiber atau serat-serat dan sklereid atau sel-sel batu (Sutrian, 2011). 1) Fiber (serat). Fiber atau serat-serat sklerenkim pada umumnya terdapat dalam bentuk untaian (strand) yang terpisah-pisah atau dalam bentuk lingkaran. Selain yang berbentuk silinder, ada pula serat sklerenkim yang berupa berkas-berkas pembuluh terutama pada bagian tepi dari batang, seperti yang terdapat pada genus Zea, Saccharum, Andropogen, dan Sorghum (Sutrian, 2011). 2) Sklereid (sel batu). Sklereid juga memiliki bentuk, penebalan dinding sel, ukuran, dan jumlah noktah yang bermacam-macam pula. Beberapa sel sklereid berbentuk agak memanjang dan beberapa lainnya berbentuk seperti sel-sel parenkim, misalnya sel-sel sklereid pada dinding buah dan biji (Sutrian, 2011). Sklereid terdapat di berbagai tempat dalam tubuh tumbuhan. Menurut Hidayat (1995), sklereid dibedakan menjadi empat macam, yaitu:



1. Brakisklereida, yaitu sel batu berbentuk isodiametris. Biasanya terdapat dalam floem, korteks, kulit kayu bagian batang dan daging buah pir (Pyrus communis). 2. Makrosklereida, yaitu sklereid yang berbentuk tangkai dan sering membentuk lapisan dalam testa dari biji Leguminosae. 3. Osteosklereida, yaitu sklereid yang berbentuk tulang, ujungnya membesar, berongga, dan bahkan seringkali bercabang. Ditemukan dalam kulit biji dan dalam daun dikotil tertentu misalnya pada kulit biji kacang merah. 4. Asterosklereida, yaitu sklereid yang bercabang dan seringkali berbentuk bintang. Sklereid jenis ini sering terdapat pada daun teh.



BAB III METODE PRAKTIKUM 3.1.Alat dan Bahan 3.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini ialah sebagai berikut: 1.



Mikroskop cahaya



1 buah



2.



Gelas benda dan penutup



10 buah



3.



Kuas



1 buah



4.



Pinset kecil



1 buah



5.



Jarum preparat



1 buah



6.



Silet



1 buah



7.



Pipet tetes



1 buah



8.



Kobokan



Secukupnya



9.



Lap



1 buah



10. Kertas hisap



Secukupnya



3.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini ialah sebagai berikut: 1. Air



Secukupnya



2. Daun kaktus (Opuntia sp.)



1 buah



3. Daun talas (Colocasia sp.)



1 buah



4. Daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)



1 buah



5. Tangkai daun bunga kana (Canna indica)



1 buah



6. Tangkai daun eceng gondok (Eichornia crassipes)



1 buah



7. Tangkai daun kangkong air (Ipomea aquatica)



1 buah



8. Tangkai daun bunga terompet (Allamanda sp.)



1 buah



9. Tangkai daun seledri (Apium graveolens)



1 buah



10. Buah pir (Pyrus sp.)



1 buah



11. Daun ki apu (Pistia sp.)



1 buah



3.2.Langkah Kerja Langkah kerja yang dilakukan dalam praktikum ini ialah sebagai berikut:



3.2.1. Pengamatan pada daun kaktus (Opuntia sp.) 1. Disiapkan kaca benda bersih yang ditetesi air diatasnya. 2. Dibuat preparat irisan melintang daun Kaktus (Opuntia sp.) 3. Diletakkan pada tetesan air di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. 4. Dimati sel-sel penyusun jaringan yang letaknya paling dalam dan diamati bentuk parenkimnya. 5. Ditentukan jenis parenkim dan digambar bentuk parenkimnya. 3.2.2. Pengamatan pada daun talas (Colocasia sp.) 1. Disiapkan kaca benda bersih yang ditetesi air diatasnya.



2. Dibuat preparat irisan melintang daun talas (Colocasia sp.). 3. Diletakkan pada tetesan air di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup.



4. Dimati sel-sel penyusun jaringan yang letaknya paling dalam dan diamati bentuk parenkimnya.



5. Ditentukan jenis parenkim dan digambar bentuk parenkimnya. 3.2.3. Pengamatan pada daun bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) 1. Disiapkan kaca benda bersih yang ditetesi air diatasnya. 2. Dibuat preparat irisan melintang daun bunga sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). 3. Diletakkan pada tetesan air di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. 4. Dimati sel-sel penyusun jaringan yang letaknya paling dalam dan diamati bentuk parenkimnya. 5. Ditentukan jenis parenkim dan digambar bentuk parenkimnya. 3.2.4. Pengamatan pada tangkai daun bunga kana (Canna indica) 1. Disiapkan kaca benda bersih yang ditetesi air diatasnya. 2. Dibuat preparat irisan melintang tangkai daun bunga Kana (Canna indica). 3. Diletakkan pada tetesan air di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. 4. Dimati sel-sel penyusun jaringan yang letaknya paling dalam dan diamati bentuk parenkimnya. 5. Ditentukan jenis parenkim dan digambar bentuk parenkimnya. 3.2.5. Pengamatan pada tangkai daun eceng gondok (Eichornia crassipes) 1. Disiapkan kaca benda bersih yang ditetesi air diatasnya.



2. Dibuat preparat irisan melintang tangkai daun eceng gondok (Eichornia crassipes). 3. Diletakkan pada tetesan air di atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. 4. Dimati sel-sel penyusun jaringan yang letaknya paling dalam dan diamati bentuk parenkimnya. 5. Ditentukan jenis parenkim dan digambar bentuk parenkimnya. 3.2.6. Pengamatan pada tangkai daun kangkung (Ipomea aquatica) 1. Dibuat preparat irisan melintang tangkai daun kangkung (Ipomea aquatica) dan diamati di bawah mikroskop. 2. Diperhatikan lapisan sel dibawah epidermis pada bagian rigi-riginya (yang menojol). 3. Dilihat bagian dinding sel yang menebal. 4. Digambar dan ditentukan bentuk kolenkimnya menurut penebalan dinding sel penyusunnya! 3.2.7. Pengamatan pada tangkai daun bunga terompet (Allamanda sp.) 1. Dibuat preparat segar irisan melintang tangkai daun bunga terompet (Allamanda sp.) setipis mungkin dalam air. 2. Diamati di bawah mikroskop. 3. Dicari dan digambar macam kolenkim yang tampak. 3.2.8. Pengamatan pada tangkai daun seledri (Apium graveolens) 1. Dibuat preparat irisan melintang tangkai daun seledri (Apium graviolens) dan diamati di bawah mikroskop. 2. Diperhatikan lapisan sel dibawah epidermis pada bagian rigi-riginya (yang menojol). 3. Dilihat bagian dinding sel yang menebal. 4. Digambar dan ditentukan bentuk kolenkimnya menurut penebalan dinding sel penyusunnya! 3.2.9. Pengamatan pada buah pir (Pyrus sp.) 1. Dibuat preparat irisan melintang daging buah pir (Pyrus sp.) setipis mungkin. 2. Diamati di bawah mikroskop. 3. Dicari dan Digambar macam sklereid yang tampak. 3.2.10. Pengamatan pada daun Ki Apu (Pistia sp.) 1. Dibuat preparat segar irisan melintang daun Ki Apu (Pistia sp.) setipis mungkin dalam air.



2. Diamati di bawah mikroskop. 3. Dicari dan digambar macam sklereid yang tampak.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.Opuntia sp. 4.1.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan parenkim air pada daun Opuntia sp. dengan perbesaran 100x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



(Ventura et al, 2017) Keterangan: Parenkim Air



4.1.2. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), klasifikasi dari tanaman Opuntia sp. ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Magnoliopsida



Order



: Caryophyllales



Family



: Cactaceae



Genus



: Opuntia



Species



: Opuntia sp.



4.1.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan parenkim pada irisan melintang daun kaktus (Opuntia sp.) yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran



100x. Dari hasil yang didapatkan, terlihat bahwa daun kaktus memiliki jaringan parenkim dengan jenis parenkim air. Hal ini ditandai dengan adanya struktur berupa sel parenkim bening yang berukuran lebih besar daripada sel parenkim lainnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan Sutrian (2011), yang menyatakan bahwa jaringan parenkim air terdiri atas sel-sel yang aktif (hidup) yang berukuran besar dengan dinding sel yang tipis. Sel parenkim air tersebut berukuran lebih besar daripada sel parenkim lainnya dikarenakan di dalamnya terdapat air yang berfungsi sebagai cadangan bagi tumbuhan kaktus, mengingat habitat dari tumbuhan kaktus umumnya berada di tempat kering. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sutrian (2011), yang menyatakan bahwa sel parenkim air merupakan vakuola besar yang mengandung air atau lendir yang diperkirakan dapat menambah daya serap dan daya menahan air pada sel-sel sekitar protoplas dan dindingnya. 4.2.Colocasia sp. 4.2.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan parenkim asimilasi pada daun Colocasia sp. dengan perbesaran 400x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



1



3



2



1



2



3



(Hughes dkk, 2014) Keterangan: 1. Kutikula 2. Palisade 3. Bunga karang



4.2.2. Klasifikasi Menurut Rashmi et al (2018), klasifikasi dari tanaman Colocasia sp. ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Liliopsida



Order



: Arales



Family



: Araceae



Genus



: Colocasia



Species



: Colocasia esculenta



4.2.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan parenkim pada sayatan melintang daun talas (Colocasia sp.), yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Dari hasil pengamatan yang didapatkan, terlihat struktur berupa tonjolan-tonjolan kecil di permukaan daun yaitu kutikula. Di sebelah dalam kutikula, terdapat jaringan palisade dan di bawahnya lagi merupakan jaringan bunga karang. Jaringan palisade terlihat berwarna hijau karena mengandung zat klorofil yang berguna untuk proses fotosintesis. Dengan demikian, jaringan palisade yang terdapat pada daun Colocasia sp. merupakan parenkim asimilasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrian (2011), bahwa parenkim asimilasi mengandung banyak klorofil yang bermanfaat bagi proses fotosintesis yang terletak pada bagian tepi dari sel tumbuhan karena proses fotosintesis membutuhkan cahaya matahari. Daun Colocasia sp. hanya memiliki jaringan palisade pada permukaan atas (adaksial) saja dengan ketebalan yang bervariasi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dorly dan Yohana (2007), yang menyatakan bahwa daun Colocasia sp. merupakan daun dengan tipe bifasial dengan jaringan palisade terdapat pada permukaan atas saja, dengan jumlah lapisan dan ketebalan yang bervariasi pada masingmasing spesiesnya. 4.3.Hibiscus rosa-sinensis 4.3.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan parenkim asimilasi pada daun Hibiscus rosa-sinensis dengan perbesaran 400x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



1



2



1 2



(Zahid et al, 2016) Keterangan: 1. Jaringan Palisade 2. Jaringan bunga karang



4.3.2. Klasifikasi Menurut Lawrence (1951), klasifikasi dari tanaman Hibiscus rosa-sinensis ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Divisi



: Spermatophyta



Subdivisi



: Angiospermae



Class



: Dicotyledoneae



Order



: Malvales



Family



: Malvaceae



Genus



: Hibiscus



Species



: Hibiscus rosa-sinensis



4.3.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan parenkim pada sayatan melintang daun Hibiscus rosa-sinensis, yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Dari hasil pengamatan yang didapatkan, terlihat struktur berupa kutikula pada permukaan atas maupun bawah daun. Di bawah kutikula, terdapat jaringan palisade yang berbentuk memanjang dengan warna hijau yang dihasilkan oleh kloroplas. Pernyataan ini sesuai dengan Zahid et al (2016), yang menyatakan bahwa sel parenkim palisade pada daun Hibiscus rosa-sinensis berbentuk memanjang dan silindris yang kaya akan kloroplas. Zahid et al (2016) juga menambahkan bahwa permukaan daun Hibiscus rosa-sinensis, baik adaksial maupun abaksial ditutupi oleh kutikula yang halus. Zahid et al (2016) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa daun Hibiscus rosa-sinensis memiliki struktur



dorsiventral dengan satu baris palisade atas yang terputus-putus di daerah pelepah. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan di atas, yang memperlihatkan struktur sel palisade terdapat di permukaan atas daun. Dengan adanya anatomi berupa jaringan palisade yang mengandung kroloplas, maka dapat dipastikan bahwa jaringan tersebut dapat melakukan proses fotosintesis. Oleh karena itu, jaringan parenkim yang terdapat pada daun Hibiscus rosa-sinensis merupakan jaringan parenkim klorenkim atau parenkim asimilasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrian (2011), bahwa parenkim asimilasi mengandung banyak klorofil yang bermanfaat bagi proses fotosintesis yang terletak pada bagian tepi dari sel tumbuhan karena proses fotosintesis membutuhkan cahaya matahari. 4.4.Canna indica 4.4.1. Tabel hasil pembahasan Hasil pengamatan parenkim udara (aerenkim) pada tangkai daun Canna indica dengan perbesaran 100x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



1



1



(Rohmana, 2015) Keterangan: 1. Aerenkim pada tangkai daun Canna indica



4.4.2. Klasifikasi Menurut Steenis (1988), klasifikasi dari tanaman Canna indica ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Liliopsida



Order



: Zingiberales



Family



: Cannaceae



Genus



: Canna



Species



: Canna indica



4.4.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan parenkim pada sayatan melintang tangkai daun Canna indica, yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Berdasarkan hasil pengamatan, sayatan melintang daun Canna indica memperlihatkan rongga-rongga berukuran besar dengan bentuk menyerupai bintang. Rongga-rongga tersebut merupakan jaringan parenkim berupa aerenkim atau parenkim udara yang berfungsi sebagai alat pertukaran udara dan membantu tanaman untuk tetap mengapung di permukaan air. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Angeles et al (2013), yang menyatakan bahwa pada tangkai daun Canna indica terdapat jaringan parenkim berupa spons yaitu aerenkim yang berbentuk bintang (aktinenkim). Hal ini diperkuat oleh Mulyani (2006), yang menyatakan bahwa aerenkim banyak terdapat pada batang dan daun tumbuhan yang tumbuh di tempat yang banyak mengandung air dan tumbuhan yang habitatnya di air (hidrofit), dan parenkim jenis ini berperan penting untuk pertukaran udara. 4.5.Eichornia crassipes 4.5.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan parenkim udara (aerenkim) pada tangkai daun Eichornia crassipes dengan perbesaran 100x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



2



1 1



(Pereira et al, 2017) Keterangan:



2



1. Sel parenkim 2. Lumen berisi udara



4.5.2. Klasifikasi Menurut Moenandir (1990), klasifikasi dari tanaman Eichornia crassipes ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Spermatophyta



Class



: Monocotyledoneae



Order



: Commelinales



Family



: Pontederiaceae



Genus



: Eichornia



Species



: Eichornia crassipes



4.5.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan parenkim pada sayatan melintang tangkai daun Eichornia crassipes, yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang tangkai daun Eichornia crassipes memperlihatkan struktur berupa rongga-rongga berisi udara dengan ukuran yang sangat besar. Rongga-rongga tersebut merupakan jaringan parenkim berupa aerenkim (parenkim udara). Pernyataan tersebut sesuai dengan Pereira et al (2017), yang menyatakan bahwa parenkim spons pada Eichornia crassipes terdiri dari ruang aerenkim besar yang diisi dengan trabekula yang dibentuk oleh kumpulan sel parenkim. Parenkim udara umumnya terdapat pada tumbuhan hidrofit atau tumbuhan air yang menjadikan tumbuhan tersebut dapat mengapung di permukaan air. Hal ini diperkuat oleh Mulyani (2006), yang menyatakan bahwa aerenkim banyak terdapat pada batang dan daun tumbuhan yang tumbuh di tempat yang banyak mengandung air dan tumbuhan yang habitatnya di air (hidrofit), dan parenkim jenis ini berperan penting untuk pertukaran udara, misalnya pada eceng gondok (Eichornia crassipes). Jika diperhatikan, jumlah lumen yang berisi udara lebih mendominasi daripada sel-sel lainnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tanzerina et al (2013), yang mengungkapkan bahwa tumbuhan air memiliki sedikit jaringan penyokong dan pelindung, xylem mengecil, dan memiliki ruang udara yang banyak. 4.6.Ipomea aquatica



4.6.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan kolenkim pada tangkai daun Ipomea aquatica dengan perbesaran 400x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



2 1 2



1



(Rimbun et al, 2014) Keterangan: 1. Ruang antar sel 2. Penebalan sel



4.6.2. Klasifikasi Menurut Cronquist (1981), klasifikasi dari tanaman Ipomea aquatica ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Magnoliopsida



Order



: Solanales



Family



: Convolvulaceae



Genus



: Ipomea



Species



: Ipomea acuatica



4.6.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan kolenkim pada sayatan melintang tangkai daun Ipomea aquatica, yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang tangkai daun Ipomea aquatica memperlihatkan struktur berupa sel-sel berbentuk heksagonal yang tersusun rapat. Sel-sel tersebut membentuk suatu jaringan berupa jaringan kolenkim, dan



dinding selnya mengalami penebalan. Kolenkim yang terdapat pada tangkai daun Ipomea aquatica merupakan kolenkim tipe lacunar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (1995), yang menyatakan bahwa penebalan dinding sel kolenkim lacunar terjadi pada dinding-dinding yang berbatasan dengan ruang antarsel. Hidayat (1995) juga menambahkan bahwa jaringan kolenkim berfungsi sebagai jaringan penyokong pada organ muda yang sedang tumbuh, pada tumbuhan herbal (herbaceous), dan bahkan pada organ yang sudah tua sekalipun. 4.7.Allamanda sp. 4.7.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan kolenkim pada tangkai daun Allamanda sp. dengan perbesaran 100x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



1



1



(Ririanti, 2015) Keterangan: 1. Kolenkim anular pada tangkai daun Allamanda sp.



4.7.2. Klasifikasi Menurut Heyne (1987), klasifikasi dari tanaman Allamanda sp. ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Spermatophyta



Class



: Dicotyledoneae



Order



: Apocynales



Family



: Apocynaceae



Genus



: Allamanda



Species



: Allamanda sp.



4.7.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan kolenkim pada sayatan melintang tangkai daun Allamanda sp., yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang tangkai daun Allamanda sp. memperlihatkan sel-sel berbentuk bulat yang tersusun rapat. Sel-sel tersebut mengalami penebalan pada dindingnya sehingga ruang antarsel tampak dalam jumlah yang sedikit. Kumpulan sel-sel tersebut membentuk suatu jaringan yaitu berupa jaringan kolenkim. Jika dilihat dari bentuk penebalan dinding selnya, kolenkim pada tangkai daun Allamanda sp. merupakan jaringan kolenkim dengan tipe anular atau kolenkim cincin. Hal ini ditandai dengan bentuk sel yang bulat dan tidak memiliki sudut. Pernyataan tersebut sesuai dengan penjelasan Hidayat (1995), yang mengungkapkan bahwa pada kolenkim cincin atau anular tampak adanya penebalan dinding sel secara terus-menerus sehingga lumen sel akan kehilangan bentuk sudutnya. 4.8.Apium graveolens 4.8.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan kolenkim pada tangkai daun Apium graveolens dengan perbesaran 400x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



(Hajiboland et al, 2012) Keterangan: Penebalan sudut (kolenkim angular) pada tangkai daun Aspium graveolens



4.8.2. Klasifikasi



Menurut Arisandi dan Sukohar (2016), klasifikasi dari tanaman Apium graveolens ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Spermatophytes



Class



: Magnoliopsida



Order



: Apicedes



Family



: Apiceae



Genus



: Apium



Species



: Apium graveolens



4.8.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan kolenkim pada sayatan melintang tangkai daun Apium graveolens, yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang tangkai daun Apium graveolens memperlihatkan sel-sel berukuran sedang dengan penebalan pada tiaptiap sudut dinding selnya. Sel-sel tersebut membentuk suatu jaringan berupa jaringan kolenkim. Berdasarkan cirinya, dapat disimpulkan bahwa jaringan kolenkim yang terdapat pada tangkai daun Apium graveolens merupakan kolenkim tipe angular (kolenkim sudut). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (1995), yang menyatakan bahwa kolenkim sudut (angular kolenkim) mengalami penebalan dinding sel yang terjadi pada sudut-sudut sel. Pada penampang melintangnya, penebalan ini tampak terjadi pada tempat bertemunya tiga sel atau lebih. 4.9.Pyrus sp. 4.9.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan sklerenkim pada daging buah pir (Pyrus sp.) dengan perbesaran 100x. Foto Pengamatan



Foto Literatur



1 1



(Tao et al, 2009) Keterangan: 1. Sel sklereid pada daging buah Pyrus sp.



4.9.2. Klasifikasi Menurut Adiyanto (2009), klasifikasi dari tanaman Pyrus sp. ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Magnoliopsida



Order



: Rosales



Family



: Rocaceae



Genus



: Pyrus



Species



: Pyrus sp.



4.9.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan Sklerenkim pada sayatan melintang daging buah pir (Pyrus sp.), yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang daging buah Pyrus sp. memperlihatkan struktur sel berbentuk isodiametris dengan formasi berkelompok dan tersebar. Sel-sel tersebut membentuk suatu jaringan berupa jaringan sklerenkim yang terdiri dari sel-sel yang telah mati. Menurut Hidayat (1995), jaringan sklerenkim berfungsi sebagai penyokong dan penyangga structural pada tumbuhan. Jaringan sklerenkim yang terdapat di dalam daging buah Pyrus sp. merupakan sklerenkim jenis sklereid. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutrian (2011), yang menyatakan bahwa sel sklereid terdapat dalam semua bagian tumbuhan, terutama di dalam kulit kayu, pembuluh tapis, dan di dalam daging buah atau biji. Pernyataan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Tao et al (2009), yang mengungkapkan bahwa Pyrus bretschneider dan Pyrus pyrifolia dicirikan oleh adanya sel batu (sklereid) dengan tipe brakisklereid yang ditandai dengan bentuk selnya yang isodiametris. 4.10. Pistia sp. 4.10.1. Tabel hasil pengamatan Hasil pengamatan sklerenkim pada daun Pistia sp. dengan perbesaran 400x.



Foto Pengamatan



Foto Literatur



1



1



(Rajanna dan Ramakrishnan, 2010) Keterangan: 1. Sel sklereid pada daun Pistia sp.



4.10.2. Klasifikasi Menurut Dasuki (1991), klasifikasi dari tanaman Pistia sp. ialah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Phylum



: Magnoliophyta



Class



: Liliopsida



Order



: Arales



Family



: Araceae



Genus



: Pistia



Species



: Pistia sp.



4.10.3. Pembahasan Tabel di atas merupakan hasil pengamatan jaringan Sklerenkim pada sayatan melintang daun ki apu (Pistia sp.), yang diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Berdasarkan hasil pengamatan, preparat sayatan melintang daun Pistia sp. memperlihatkan sel-sel menojol yang tersusun sangat rapat. Sel-sel tersebut merupakan jaringan sklerenkim yang tersusun atas sel-sel yang telah mati. Jaringan sklerenkim pada daun Pistia sp. merupakan sklerenkim dengan jenis sklereid (sel batu). Berdasarkan bentuknya, sklereid pada daun Pistia sp. merupakan aestrosklereid yang ditandai dengan susunannya yang bercabang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat (1995), yang menyatakan bahwa asterosklereida merupakan sklereid yang bercabang dan seringkali berbentuk bintang. Sklereid jenis ini sering terdapat pada daun. Menurut Rajanna dan Ramakrishnan (2010), sklereid pada Pistia sp. berfungsi untuk membantu dalam beradaptasi di lingkungan air, terutama ketika terjadi kelebihan air.



BAB V PENUTUP 5.1.Kesilmpulan Kesimpulan dari praktikum berjudul “Jaringan Pengisi” ini ialah sebagai berikut: 1. Parenkim merupakan jaringan dasar yang terdapat pada seluruh tubuh tumbuhan. Sebagian besar tubuh tumbuhan, seperti empulur, hampir semua korteks akar dan batang, perisikel, mesofil daun, dan daging buah terdiri atas parenkim. Berdasarkan fungsinya, jaringan parenkim dibedakan menjadi lima jenis, yaitu parenkim klorenkim atau parenkim asimilasi yang berfungsi sebagai tempat terjadinya fotosintesis karena mengandung kloroplas. Parenkim penimbun, yang berfungsi menyimpan cadangan makanan. Parenkim air, yang berfungsi menyimpan cadangan berupa air pada tumbuhan dengan habitat kering. Parenkim udara (aerenkim), merupakan parenkim yang berupa lumen berisi udara yang terdapat pada tumbuhan hidrofit. Parenkim pengangkut, yaitu parenkim yang berfungsi sebagai alat pengangkut seperti xylem dan floem. 2. Sel parenkim merupakan sel yang masih mampu membelah, bahkan pada sel yang telah dewasa. Hal ini menandakan bahwa sel parenkim berupa sel hidup. Sel parenkim memiliki peranan penting dalam proses penutupan luka dan regenerasi. Kebanyakan parenkim berdinding tipis, namun ada pula yang berdinding sangat tebal seperti sel cadangan makanan. 3. Sel parenkim isodiametric berdinding tipis menempati sebagian besar korteks, area antara epidermis dan jaringan vascular, empulur, area di dalam jaringan vascular, batang dan akar. Pada Opuntia sp. terdapat parenkim air pada daunnya. Spesies Hibiscus rosasinensis dan Colocasia sp. terdapat parenkim berupa klorenkim atau parenkim asimilasi pada daunnya. Pada tangkai daun Eichornia crassipes terdapat parenkim udara atau aerenkim. Sedangkan, tangkai daun Canna indica memiliki parenkim udara (aerenkim) dengan bentuk menyerupai bintang atau disebut aktinenkim. 4. Kolenkim merupakan jaringan penyokong pada tumbuhan. kolenkim berfungsi sebagai jaringan penyokong pada organ muda yang sedang tumbuh, pada tumbuhan herbal (herbaceous) dan bahkan pada organ dewasa. Jaringan kolenkim tersusun atas bahan berupa hemiselulosa, selulosa, dan pektik. Hal ini memberikan dukungan, struktur, kekuatan mekanik, dan fleksibilitas pada tangkai daun, urat daun, dan batang tanaman muda. Tipe-tipe kolenkim di antaranya kolenkim sudut (angular), kolenkim lamellar, kolenkim lacunar, serta kolenkim cincin (anular). Kolenkim sudut (angular) terdapat



pada tangkai daun seledri (Apium graveolens). Pada tangkai daun Ipomea aquatica terdapat kolenkim tipe lacunar. Sedangkan pada tangkai daun Allamanda sp. terdapat kolenkim dengan tipe anular (cincin). 5. Jaringan sklerenkim merupakan jaringan penyokong yang terdapat pada organ tubuh tumbuhan yang telah dewasa. Jaringan sklerenkim tersusun oleh sel mati yang seluruh bagian dindingnya mengalami penebalan sehingga strukturnya kuat, sel-selnya lebih kaku daripada sel kolenkim dan selnya tidak dapat memanjang. Jaringan sklerenkim terdiri dari dua jenis, yaitu fiber (serata) dan sklereid (sel batu). Pada daging buah Pyrus sp., terdapat sklereid dengan tipe brakisklereida. Sedangkan pada daun Pistia sp. terdapat sklereid dengan tipe asterosklereida yang ditandai dengan bentuk sel bercabang dan menyerupai bintang. 5.2.Saran Praktikum dengan judul “Jaringan Pengisi” telah terlaksana dengan baik dan teratur. Saran terhadap praktikum selanjutnya ialah agar praktikan tetap focus dan bersungguhsungguh dalam menjalankan praktikum, mengingat praktikum kali ini hanya diadakan secara online dikarenakan kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan praktikum secara langsung di laboratorium. Dengan pemahaman yang baik meskipun hanya secara online, diharapkan di waktu yang akan datang para praktikan tetap bisa menjalankan praktikum secara langsung di laboratorium dengan tanpa kesulitan.



DAFTAR PUSTAKA Adiyanto, I. O. 2009. Pengaruh Lama Perendaman Gigi dengan Jus Buah Pir (Pyrus communis) terhadap Perubahan Warna Gigi pada Proses Pemutihan Gigi secara In Vitro. Laporan Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Universitas Diponegoro. Agustina, K., Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, dan Wirnas, D. 2010. Tanggap Fisiologi Akar Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) terhadap Cekaman Alumunium dan Defisiensi Fosfor di dalam Rhizotron. Jurnal Agronomi Indonesia. 38(2): 88-94. Angeles, G., Lascurain, M., dan Sotelo, R. D. 2013. Anatomical and Physical Changes in Leaves during the Production of Tamales. American Journal of Botany. 100(8): 15091521. Arisandi, R. dan Sukohar, A. 2016. Seledri (Apium graveolens L.) sebagai Agen Kemopreventif bagi Kanker. Majority. 5(2): 95-100. Cronquist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York: Columbia University Press. Dasuki, A. U. 1991. Sistematika Tumbuhan Tinggi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Dorly dan Yohana, C. S. 2007. Anatomi beberapa Talas Liar (Colocasia esculenta L. Schott) dari Kabupaten Bogor. Caraka Tani. 22(1): 6-11. Erni, Mulyanie, Romdani, dan Andhy. 2012. Pohon Aren sebagai Tanaman Fungsi Konservasi. Jurnal Geografi. 14(2): 11-17. Evans, D. E. 2003. Tansley Review: Aerenchyma Formation. New Phytologist. 161(-): 35-49. Hajiboland, R., Farhanghi, F. dan Aliasgharpour, M. 2012. Morphological and Anatomical Modification in Leaf, Stem and Roots of Four Plant Species under Boron Deficiency Conditions. Anales de Biologia. 34: 15-29. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (Volume II). Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Hidayat, E. B. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: ITB. Hughes, N. M. et al. 2014. Photosynthetic Costs and Benefits of Abaxial Versus Adaxial Anthocyanins in Colocasia esculenta ‘Mojito’. Planta. DOI 10.1007/s00425-014-20906. Lawrence, G. H. M. 1951. Taxonomy of Vascular Plants. New York: The Macmillan Company.



Leroux, O. 2012. Collenchyma: a versatile mechanical tissue with dynamic cell walls. Annals of Botany. 110: 1083-1098. Lopez, F. B. dan Barclay, G. F. 2017. Pharmacognosy. Amsterdam: Elsevier. Lopez, A. C. dan Yahia, E. M. 2019. Postharvest Physiology and Biochemistry of Fruits and Vegetables. Amsterdam: Elsevier. Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida (Ilmu Gulma: Buku II). Jakarta: Rajawali Press. Morris, H. et al. 2015. A Global Analysis of Parenchyma Tissue Fractions in Secondary Xylem of Seed Plants. New Phytologist. Doi: 10.1111/nph.13737. Mulyani, Sri. 2006. Anatomi tumbuhan. Penerbit Kansius Anggota IKAPI : Yogyakarta. Neil, A. Campbell et al. 2005. Biologi (Edisi Kedelapan). Jakarta: Erlangga. Parjatmo. 1987. Biologi Jilid I (Edisi Kedelapan). Jakarta: Erlangga. Pereira, F. J. et al. 2017. Anatomical and Physiological Modifications in Water Hyacinth under Cadmium Contamination. Journal of Applied Botany and Food Quality. 90: 10-17. Rajanna, L. dan Ramakrishnan, M. 2010. Anatomical Studies on Twelve Clones of Camellia Species with Reference to Their Taxonomic Significance. Journal of Engineering Science and Technology. 2(10): 5344-5349. Rashmi, D. R. et al. 2018. Taro (Colocasia esculenta): An Overview. Journal of Medicinal Plants Studies. 6(4): 156-161. Rimbun, W., Maideliza, T., dan Meriko, L. 2014. Perbandingan Struktur Anatomi Organ Vegetatif Kangkung Air (Ipomea aquatica. Forsk) pada Perairan Bersih dengan Peraira Tercemar di Kota Padang. STKIP PGRI Sumbar. Ririanti. 2015. Pengamatan Sel. https://ririanti18.blogspot.com/2015/02/pengamatan-sel.html. Diakses pada tanggal 10 Maret 2021. Rohmana,



Q.



A.



2015.



Histologi



Tumbuhan



(Meristem



dan



Parenkim).



https://aulyarohmana16.wordpress.com/2015/06/10/histologi-tumbuhan-meristemparenkim. Diakses pada tanggal 10 Maret 2021. Simpson, M. G. 2019. Plant Systematics (Third Edition). Amsterdam: Elsevier. Steenis, C. G. Van. 1988. Flora: Untuk Sekolah Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Ster, K. R. 2000. Introductory Plant Biology (8th Edition). New York: Megraw-Hill.



Sutrian, Y. 2004. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan tentang Sel dan Jaringan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Tanzerina, N., Juswardi, dan Elyza, F. 2013. Studi Adaptasi Anatomi Organ Vegetatif Neptunia oleraceae Lour Hasil Seleksi Lini pada Fitoremediasi Limbah Cair Amoniak. Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. 165-174. Tao, S. et al. 2009. Anatomy, Ultrastructure and Lignin Distribution of Stone Cells in Two Pyrus Species. Plant Science. 176: 413-419. Ventura, R. I. et al. 2017. Cactus Stem (Opuntia ficus indica Mill): Anatomy, Physiology and Chemical Composition with Emphasis on its Biofunctional Properties. Journal of the Science of Food and Agriculture. 97(15). Zahid, H. et al. 2016. Comparative Profile of Hibiscus schizopetalus (Mast) hook and Hibiscus rosa-sinensis L. (Malvaceae). Journal of Pharmacognocy and Phytochemistry. 5(1): 131136.



Journal of Applied Botany and Food Quality 90, 10 - 17 (2017), DOI:10.5073/JABFQ.2017.090.003



Universidade Federal de Lavras, Programa de Pós-Graduação em Botânica Aplicada, Departamento de Biologia, Setor de Botânica Estrutural, Laboratório de Anatomia Vegetal, Lavras, Brasil



Anatomical and physiological modifications in water hyacinth under cadmium contamination



Fabricio José Pereira1*, Evaristo Mauro de Castro1, Marinês Ferreira Pires1, Cynthia de Oliveira1, Moacir Pasqual1 (Received February 19, 2016)



Summary



The pollution of water bodies with heavy metals is generating increasing concern worldwide, and among those heavy metals, cadmium is one of the most toxic elements released into the environment. The present study aimed to evaluate the anatomical and physiological modifications adopted by the water hyacinth (Eichhornia crassipes) under cadmium contamination. The plants were grown in Hoagland solution in a greenhouse at five cadmium levels: 0.00, 3.5, 7.0, 14.0, and 28.0 μM. The net photosynthesis, stomatal conductance, transpiration rate, Ci/Ca ratio, antioxidant system enzymes activity, and anatomical traits in plant roots and leaves were evaluated. The plants exhibited increased photosynthesis, stomatal conductance, transpiration, and Ci/Ca ratios in all treatments containing cadmium. Antioxidant system enzymes displayed increased activity in the roots and leaves of plants treated with cadmium. Plants exhibited higher stomatal density and spongy parenchyma thickness under Cd contamination. The anatomical traits of the roots exhibited no evidence of toxicity or improved vascular system traits. Thus, Eichhornia crassipes demonstrated an ability to tolerate Cd by adopting changes in the anatomy, gas exchange and antioxidant system. Keywords: Eichhornia crassipes. Phytoremediation. Antioxidant system. Ecological anatomy. Ecophysiology.



Introduction



Recent anthropogenic activities such as industrialization, mining, and agricultural practices have led to the high production and accumulation of toxic elements in the soil, food chains, and aquatic environments (Gratão et al., 2005). Cadmium (Cd) is a toxic element that can negatively influence plant growth and development and is released into the environment by power stations, heating systems, metallurgical industries, and vehicular traffic (Benavides et al., 2005). Phytoremediation is a cleaning process that can be used to remove toxic elements from the soil and water (Gratão et al., 2005). Cadmium phytoremediation has been the subject of recent studies because it is a relatively inexpensive and clean process; however, some studies have shown evidence of high Cd toxicity in plants, thus making the identification of species that hyperaccumulate Cd difficult (Mangkoedihardjo, 2008; Krämer, 2010). Native macrophyte species are used in the phytoremediation of contaminated water. The water hyacinth (Eichhornia crassipes) is a native Brazilian macrophyte that belongs to the family Pontederiaceae and can potentially be used in phytoremediation systems. This species has shown a potential ability to phytoremediate chromium that had accumulated at high levels (Faisal and Hasnain, 2003). Oliveira et al. (2001) studied potential Cd hyperaccumulation in E. crassipes and found that this species has a high capacity to uptake Cd, with greater accumulation observed in the roots and accumulation occurring proportionally to exposure time and element concentration. This species may accumulate about 80 % of *



Corresponding author



the cadmium in the solution, depending on the concentration of this element (Mishra et al., 2007; Wu et al., 2008). Absorbed Cd E. crassipes is readily associated to low molecular weight complex and further a high molecular weight complex, containing PC2, PC3 and PC4 phytochelatins is developed as the final storage Cd form (Wu et al., 2008). However, chelation Cd in E. crassipes may also be related to S-containing compounds and vacuolar accumulation (Puzon et al., 2008). This species also exhibited a significant ability to accumulate Cu and Zn and was able to remove these metals from biofertilizer solutions (Mondardo et al., 2006). The E. crassipes is able to hyperaccumulate arsenic (Dhankher et al., 2002; Pereira et al., 2011) and lead (Gonçalves Júnior et al., 2008). Physiological traits of plants exposed to Cd are generally altered. For example, Schützendübel et al. (2001) found that Cd concentrations of 50 μM stimulated superoxide dismutase at the expense of catalase and peroxidases, promoting H2O2 accumulation in necrotic Pinus sylvestris. Pietrini et al. (2003) reported a 30 % inhibition in chlorophyll content, photosynthesis, and Rubisco activity as well as stimulated antioxidant system activity in Phragmites australis plants exposed to Cd; these alterations enabled the maintenance of chloroplast structure at the Cd levels evaluated and protected the photosynthetic system of this species. In E. crassipes plants, Cd decreased chlorophyll content of leaves (Mishra et al., 2007). The antioxidant system in E. crassipes plants was stimulated by the increased enzymatic activity of catalase, superoxide dismutase, and guaiacol peroxidase in the presence of cadmium; furthermore, the increases in activity occurred proportionally to Cd concentrations (Odjegba and Fasidi, 2007). However, E. crassipes show Cd stimulated superoxide dismutase in roots, but decreased the catalase, glutathione peroxidase, glutatione reductase and peroxidase activities (Vestena et al., 2011). Pistia stratiotes plants exposed to Cd also showed anatomical and reproductive modifications (Silva et al., 2013). The anatomy of E. crassipes showed plasticity in the presence of textile industry effluents, with reductions in cell size in the leaf tissue observed (Mahmood et al., 2005). Moreover, E. crassipes plants developed enhanced leaf and root structure under arsenic and lead contamination, increasing stomatal density, mesophyll thickness, number of xylem vessels between another favorable anatomical modifications (Pereira et al., 2011; Pereira et al., 2014). Cadmium is capable of influencing the foliar anatomy of Alternanthera philoxeroides and Polygonum ferrugineum, resulting in reduced amounts of aerenchyma and crystal idoblasts, thicker mesophyll, and increased numbers of glandular trichomes, although with no effect on photosynthesis (Souza et al., 2009). Given the possible effects of Cd on the anatomical and physiological traits of plants with phytoremediation potential, the present study aimed to evaluate the effect of Cd on these traits in E. crassipes.



Materials and methods



Water hyacinth (Eichhornia crassipes Mart.) plants were collected from a set of ponds in Alfenas, MG, Brazil, that were apparently



Planta DOI 10.1007/s00425-014-2090-6



ORIGINAL ARTICLE



Photosynthetic costs and benefits of abaxial versus adaxial anthocyanins in Colocasia esculenta ‘Mojito’ Nicole M. Hughes · Kaylyn L. Carpenter · Timothy S. Keidel · Charlene N. Miller · Matthew N. Waters · William K. Smith



Received: 20 November 2013 / Accepted: 28 April 2014 © Springer-Verlag Berlin Heidelberg 2014



Abstract Main conclusion Anthocyanins in upper (adaxial) leaf tissues provide greater photoprotection than in lower (abaxial) tissues, but also predispose tissues to increased shade acclimation and, consequently, reduced photosynthetic capacity. Abaxial anthocyanins may be a compromise between these costs/benefits. Plants adapted to shaded understory environments often exhibit red/purple anthocyanin pigmentation in lower (abaxial) leaf surfaces, but rarely in upper (adaxial) surfaces. The functional significance of this color pattern in leaves is poorly understood. Here, we test the hypothesis that abaxial anthocyanins protect leaves of understory plants from photo-oxidative stress via light attenuation during periodic exposure to high incident sunlight in the forest understory, without interfering with sunlight capture and photosynthesis during shade conditions. We utilize a cultivar of Colocasia esculenta exhibiting adaxial and abaxial anthocyanin variegation within individual leaves to compare tissues with the following color patterns: green adaxial, green abaxial (GG), green adaxial, red abaxial Special topic: Anthocyanins. Guest editor: Stefan Martens. N. M. Hughes (*) · K. L. Carpenter · T. S. Keidel · C. N. Miller Department of Biology, High Point University, University Station 3591, High Point, NC 27262, USA e-mail: [email protected] M. N. Waters Department of Biology, Valdosta State University, 1500 N Patterson St., Valdosta, GA 31698, USA W. K. Smith Department of Biology, Wake Forest University, P.O. Box 7325 Reynolda Station, Winston-Salem, NC 271069-7325, USA



(GR), red adaxial, green abaxial (RG), and red adaxial, red abaxial (RR). Consistent with a photoprotective function of anthocyanins, tissues exhibited symptoms of increasing photoinhibition in the order (from least to greatest): RR, RG, GR, GG. Anthocyanic tissues also showed symptoms of shade acclimation (higher total chl, lower chl a/b) in the same relative order. Inconsistent with our hypothesis, we did not observe any differences in photosynthetic CO2 uptake under shade conditions between the tissue types. However, GG and GR had significantly (39 %) higher photosynthesis at saturating irradiance (Asat) than RG and RR. Because tissue types did not differ in nitrogen content, these patterns likely reflect differences in resource allocation at the tissue level, with greater nitrogen allocated toward energy processing in GG and GR, and energy capture in RG and RR (consistent with relative sun/shade acclimation). We conclude that abaxial anthocyanins are likely advantageous in understory environments because they provide some photoprotection during high-light exposure, but without the cost of decreased Asat associated with adaxial anthocyanin-induced shade syndrome. Keywords Abaxial anthocyanin · Colocasia esculenta ‘Mojito’ · Functional traits · Photoinhibition · Shade acclimation · Sunflecks



Introduction The conspicuous red to purple coloration of leaves from anthocyanin pigments can be observed during many seasons and ontogenetic stages, particularly during conditions of high light coupled with environmental stress. Specifically, anthocyanins have been reported in highlight, senescing leaves (reviewed in Archetti et al. 2009),



13



Plant Science 176 (2009) 413–419



Contents lists available at ScienceDirect



Plant Science journal homepage: www.elsevier.com/locate/plantsci



Anatomy, ultrastructure and lignin distribution of stone cells in two Pyrus species Shutian Tao a, Shahrokh Khanizadeh b, Hua Zhang a, Shaoling Zhang a,* a b



Pear Engineering Research Centre, College of Horticulture, Nanjing Agricultural University, 1 Weigang, Nanjing, Jiangsu Province 210095, PR China Horticultural Research and Development Centre, Agriculture and Agri-Food Canada, 430 Gouin Boulevard, Saint Jean sur Richelieu, Quebec J3B 3E6, Canada



A R T I C L E I N F O



A B S T R A C T



Article history: Received 26 September 2008 Received in revised form 16 December 2008 Accepted 16 December 2008 Available online 31 December 2008



The statement ‘‘seeing is believing’’ expresses the importance of microscopy in basic and applied research. In this study, anatomy, ultrastructure and lignin distribution in stone cells from the fruit of two Pyrus species (Pyrus bretschneideri cv. ‘Jingaisu’ and Pyrus pyrifolia cv. ‘Kousui’) were examined by using light microscopy (LM), scanning electron microscopy (SEM) and transmission electron microscopy (TEM) as well as autofluorescence analysis. To our knowledge, this is the first time this combined method has been used to analyze the stone cells in pear fruit. Sections stained with phloroglucinol–HCl revealed the presence of lignin in stone cells, and showed that stone cells were distributed in a mosaic pattern in the flesh, with larger stone cells concentrated around the core and smaller ones in the pericarp. There were no obvious differences in stone cell structure between the two varieties, but stone cell size and content was much greater in ‘Jingaisu’ than in ‘Kousui’. Further, lignin accounted for 29.8% of stone cell composition in ‘Jingaisu’, a significantly higher proportion than in ‘Kousui’ (24.6%); this result was confirmed by autofluorescence analysis. More detailed information on lignin distribution across the cell wall was obtained by TEM combined with the KMnO4 staining technique. In TEM images, cell walls of both pear varieties were typically divided into four layers: compound middle lamella (CML), secondary wall 1 (S1), outer secondary wall 2 (S2L) and secondary wall 2 (S2), with different staining intensities for different lignin concentrations in those regions. ß 2008 Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved.



Keywords: Stone cells Ultrastructure Lignin distribution Autofluorescence SEM TEM



1. Introduction Lignin is a polymer derived from the dehydrogenative polymerization of three different monolignols—p-coumaryl alcohol, conferyl alcohol and sinapyl alcohol. Lignin is widely distributed in plant cell walls and confers strength, rigidity and impermeability. In some plants with extreme needs for both structural support and water transport, e.g. terrestrial trees, lignin makes up 15–36% of the dry weight of the wood. Lignin is therefore one of the world’s most abundant natural polymers, along with cellulose. In addition, it plays crucial roles in plant defense against biotic and abiotic stresses [1–4]. The presence of lignin in high concentrations in cell walls is regarded as a positive benefit, for example in the fiberboard industry, and lignification of plant tissues also has a well-recognized impact on foods, particularly on forage digestibility and bioavailability [5]. However, there is a further unusual instance of lignification in foods—an increase in the lignin content of some fruit, specifically in



* Corresponding author at: Pear Engineering Research Centre, College of Horticulture, Nanjing Agricultural University, 1 Weigang, Nanjing, Jiangsu Province 210095, PR China. Tel.: +86 25 84396580; fax: +86 25 84395266. E-mail addresses: [email protected] (S. Tao), [email protected] (S. Khanizadeh), [email protected] (H. Zhang), [email protected] (S. Zhang). 0168-9452/$ – see front matter ß 2008 Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved. doi:10.1016/j.plantsci.2008.12.011



the form of stone cells [6], which occurs during normal development and/or ripening after harvest [7]. Until now, considerable effort has been devoted to investigating the process of lignin formation and lignin distribution in cell walls, and various techniques have been developed in this process. For example, the distribution of lignin can be determined by interference microscopy and confocal laser scanning microscopy (CLSM). Furthermore, fluorescence microscopy has been used to visualize the lignin distribution in wood cell walls by autofluorescence [8,9]. The technique of transmission electron microscopy coupled with energy dispersive X-ray analysis (TEM-EDXA) was successfully used to quantify the lignin distribution in mercurized wood tissue [10]. The staining of ultrathin sections with potassium permanganate (KMnO4) in order to determine the lignin distribution in woody cell walls experienced somewhat of a renaissance in the 1980s and 1990s. In this case, the lignin molecule is oxidised by KMnO4. The permanganate anion is reduced to manganese dioxide, which then precipitates, indicating the site of reaction. Singh et al. [11], in particular, used staining intensity as an indicator of lignin distribution in the S2 layer of Pinus radiata tracheids. Pyrus bretschneideri and Pyrus pyrifolia, which originated in China, are widely cultivated in Asia, and they are characterized by the existence of stone cells in the fruit pulp. Several factors influence the formation of stone cells, including cultural practices,



Anales de Biología 34: 15-29, 2012 DOI: http://dx.doi.org/10.6018/analesbio.0.34.4



ARTICLE



Morphological and anatomical modifications in leaf, stem and roots of four plant species under boron deficiency conditions Roghieh Hajiboland, Fereshteh Farhanghi & Mahboobeh Aliasgharpour Plant Science Department, University of Tabriz, 51666-14779 Tabriz, Iran.



Resumen Correspondence R. Hajiboland E-mail: [email protected] Received: 23 may 2012 Accepted: 26 July 2012 Published on-line: 17 July 2012



Modificaciones morfológicas y anatómicas en hoja, tallo y raíces de cuatro especies de plantas en deficiencia de boro El boro es un componente estructural de las paredes celulares y su deficiencia causa interrupción del desarrollo. En este trabajo, se estudia la influencia del bajo suplemento de B sobre la morfología y anatomía del nabo (Brassica rapa L.), lombarda (Brassica oleracea L. var. capitata f. rubra), tabaco de pota (Nicotiana rustica L.) y apio (Apium graveolens L.). Se observaron síntomas visuales en todas las especies. El examen microscópico de secciones transversales de hojas, tallos y raíces mostró disminución del diámetro de elementos traqueales y desorganización del tejido del floema. Así mismo, se produjo hipertrofia del parénquima foliar en tabaco y adelgazamiento de paredes celulares en células del colénquima del tallo, en apio. Las alteraciones anatómicas fueron más pronunciadas en limbo, seguidas de peciolo, tallo y raíces. Estos resultados señalan importantes interrupciones en el desarrollo de los primordios foliares y los haces vasculares con carestía de B. Palabras clave: Apio, Haces vasculares, Lombarda, Nabo, Síntomas foliares, Tabaco.



Abstract Boron (B) is a structural component of plant cell wall and B deficiency causes disruption in development of plants. In this work, influence of low B supply on plants morphology and anatomy was studied in turnip (Brassica rapa L.), red cabbage (B. oleracea L. var. capitata f. rubra), tobacco (Nicotiana rustica L.) and celery (Apium graveolens L.). Visual B deficiency symptoms were observed in all studied species including curling of leaf margins in turnip, reduction of red coloration in red cabbage, shoot stunting in tobacco and turning dark purple colors in celery. Microscopic examination of cross-sections revealed that diameter of tracheary elements decreased and the phloem tissue became disorganized. Hypertrophy of leaf parenchyma cells in tobacco and increased thickening of collenchyma cell walls in the stem of celery were also ob served. Anatomical alterations due to B deficiency were more pronouncedly observed in the leaf blades followed by the petiole, stem and roots. Our results indicated that remarkable disruptions occur in development of leaf primordia and vascular bundles upon B starvation. Key words: Celery, Leaf symptoms, Red cabbage, Tobacco, Turnip, Vascular bundles.



Rajanna et al. / International Journal of Engineering Science and Technology Vol. 2(10), 2010, 5344-5349



Anatomical studies on twelve clones of Camellia species with reference to their taxonomic significance Rajanna L.1 and M. Ramakrishnan2* 1



Department of Botany, Bangalore University, Jnana Bharathi Campus, Bangalore - 560056, India PG Department of Biotechnology, CMR Institute of Management Studies, 6th ‘A’ Main, HRBR Lay out, 2nd Block, Kalyan Nagar, Bangalore – 560043, India



2



Abstract Anatomical studies of leaf and stem of twelve clones of Camellia were investigated. Cross sections of the stem of all the clones exhibited a typical pattern of arrangement of tissues characteristics of woody plants. Two types of idioblastic sclereids were found in the medullary parenchyma of the taxa studied. While astrosclereids were present in 10 of the twelve clones, the vesciculose sclereids were found only in the four clones belonging to C. sinensis. Leaves of the clones show variations in the number of palisade layers. Astro sclereids, brachy sclereids, and dendritic forms were observed in the leaves, their distribution varying in the different clones. A few other micromorphological features are also recorded. Our study forms a basis for answering uncertainties in taxonomic revision in the genus Camellia. Keyword: Camellia sp., micromorphology, multiple epidermis, mesophyll layers, sclereids Introduction On the basis of phenological characteristics south Indian cultivated tea varieties were grouped into three categories Camellia sinensis, C. assamica and C. assamica subsp. lasiocalyx1,2. Several taxonomists evaluated and revised the genus by employing mainly macromorphological characters3-5. Free-hand sections of living plant tissues often provide adequate information for rapid and inexpensive microscopic observation of their internal structure. Leaf micromorphological features do have considerable systematic value6,7. Epidermal characters have been considered to be of great use in studying relationships between taxa8. Multiple epidermises, palisade layers and foliar sclereids provide useful information for taxonomy9. Stem and leaf sclereids are commonly found in Theaceae and are considered to be pleisomorphic10. Taxonomic importance of foliar sclereids have been emphasised by many botanists11-13. In south Indian tea germplasm, anatomical variations in leaf were reported14-16. More comprehensive investigations on leaf and stem anatomy is required in south Indian tea clones to provide a foundation for future taxonomic revision and scientific identification of commercial tea species and varieties. Leaf and stem micromorphology will establish a better systematic construction in this genus. In the present study, anatomical features of stem and leaf of twleve clones of Camellia are reported and their taxonomic significances are discussed. Materials and Methods Tea shoots of twelve clones of Camellia species were collected from UPASI-TRI germplasm collection centre, Valparai, India (Table 1). Fully expanded, sun-exposed mature leaf and internodes were selected for the study in each clone. The samples were thoroughly washed with water, and sectioned without prior fixation. Sections were taken by following standard freehand sectioning method17. Later, the sections were dehydrated in a graded alcohol series, double stained with safranin and aniline blue combination and mounted in 50% glycerol18. The sections were examined with Nikon Labophot-2 light microscope, and photomicrographs were obtained using Canon S5 IS camera. Table1 List of evaluated Camellia species and their clones



Camellia species Camellia assamica C. sinensis C. assamica sub sp. lasiocalyx



ISSN: 0975-5462



Clones UPASI-2, UPASI-3, Assam Seedling UPASI-9, UPASI-10, TRF-2, SA-6 UPASI-17, TRF-1, CR-6017, BSS-1, TRI-2025



5344



Research



A global analysis of parenchyma tissue fractions in secondary xylem of seed plants Hugh Morris1*, Lenka Plavcova1*, Patrick Cvecko2, Esther Fichtler3, Mark A. F. Gillingham2, Hugo I. MartınezCabrera4, Daniel J. McGlinn5, Elisabeth Wheeler6, Jingming Zheng7, Kasia Ziemi nska8 and Steven Jansen1 1



Institute of Systematic Botany and Ecology, Ulm University, Albert-Einstein-Allee 11, D-89081 Ulm, Germany; 2Institute of Evolutionary Ecology and Conservation Genomics, Ulm



University, Albert-Einstein-Allee 11, D-89069 Ulm, Germany; 3Institute of Agronomy in the Tropics, University of G€ottingen, Grisebachstrasse 6, 37077 G€ottingen, Germany; 4Departement  CP 8888, Succ. Centre Ville Montreal, Montreal, QC H3C 3P8, Canada; 5Department of Biology, College of Charleston, des Sciences Biologiques, Universite du Quebec a Montreal, UQAM, Charleston, SC 29424, USA; 6Department of Forest Biomaterials, NC State University Raleigh, Raleigh, NC 27695-8005, USA; 7Key Laboratory for Silviculture and Conservation of the Ministry of Education, Beijing Forestry University, Beijing 100083, China; 8Department of Biological Sciences, Macquarie University, Sydney, NSW 2109, Australia



Summary Author for correspondence: Steven Jansen Tel: +49 (0)731 50 23302 Email: [email protected] Received: 27 March 2015 Accepted: 28 September 2015



New Phytologist (2015) doi: 10.1111/nph.13737



Key words: angiosperms, axial parenchyma, conifers, growth form, mean annual precipitation, mean annual temperature, ray parenchyma, secondary xylem.



 Parenchyma is an important tissue in secondary xylem of seed plants, with functions ranging from storage to defence and with effects on the physical and mechanical properties of wood. Currently, we lack a large-scale quantitative analysis of ray parenchyma (RP) and axial parenchyma (AP) tissue fractions.  Here, we use data from the literature on AP and RP fractions to investigate the potential relationships of climate and growth form with total ray and axial parenchyma fractions (RAP).  We found a 29-fold variation in RAP fraction, which was more strongly related to temperature than with precipitation. Stem succulents had the highest RAP values (mean  SD: 70.2  22.0%), followed by lianas (50.1  16.3%), angiosperm trees and shrubs (26.3  12.4%), and conifers (7.6  2.6%). Differences in RAP fraction between temperate and tropical angiosperm trees (21.1  7.9% vs 36.2  13.4%, respectively) are due to differences in the AP fraction, which is typically three times higher in tropical than in temperate trees, but not in RP fraction.  Our results illustrate that both temperature and growth form are important drivers of RAP fractions. These findings should help pave the way to better understand the various functions of RAP in plants.



Introduction Parenchyma tissue in secondary xylem is composed of living cells variable in their morphology and physiology, which usually have thin walls and are rectangular or square in shape. They are produced by fusiform and ray initials of the vascular cambium, which develop into axial parenchyma (AP) strands and ray parenchyma (RP), respectively, and run perpendicular to each other (Fig. 1). Besides the occurrence of so-called living fibres (Wolkinger, 1970, 1971), ray and axial parenchyma (RAP) tissue represents the bulk of living cells in wood. Parenchyma plays multiple functions, as seen in Fig. 2 (green boxes). These functions range from storage and transport of nonstructural carbohydrates (NSCs) (Hoch et al., 2003; Salleo et al., 2004; O’Brien et al., 2014; Plavcova & Jansen, 2015) to defence against pathogens (Shigo, 1984; Biggs, 1987; Schmitt & Liese, 1993; Deflorio et al., 2008), water storage and xylem hydraulic capacitance (Holbrook, 1995; Borchert & Pockman, 2005), storage of mineral inclusions, the *These authors contributed equally to this work. Ó 2015 The Authors New Phytologist Ó 2015 New Phytologist Trust



transition of functional sapwood to heartwood (Pinto et al., 2004; Spicer, 2005; Nawrot et al., 2008), and mechanical contributions, particularly by RP (Burgert et al., 1999; Burgert & Eckstein, 2001; Reiterer et al., 2002). Two additional functions of RAP speculated to be involved in long-distance water transport are poorly understood, the first being embolism repair (Clearwater & Goldstein, 2005; Salleo et al., 2009; Brodersen et al., 2010), with the second involving the ion-mediated enhancement of xylem hydraulic conductance via the release of inorganic compounds such as K+ and Ca2+ into the transpiration stream (Zwieniecki et al., 2001; Jansen et al., 2011; Nardini et al., 2011; Santiago et al., 2013). Radial transport via RAP also needs more exploration. Rays provide means for interactions between phloem and xylem (van Bel, 1990; Spicer & Holbrook, 2007; Hearn et al., 2013; Pfautsch et al., 2015), as they stretch from the inner bark across the cambium and into the xylem. RAP shows a large variability in its quantitative and qualitative anatomical characteristics across species (Kribs, 1935, 1937; Barghoorn, 1940, 1941; Normand & Chatelet, 1951; Braun & Wolkinger, 1970; Panshin & de Zeeuw, 1980; Braun, 1984; New Phytologist (2015) 1 www.newphytologist.com



JURNAL GEOGRAFI VOLUME 14 NO. 2



JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet



POHON AREN SEBAGAI TANAMAN FUNGSI KONSERVASI Mulyanie, Erni1; Romdani, Andhy1 1 Jurusan Geografi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Siliwangi Tasikmalaya



Info Artikel



Abstract



Keywords: Sugar Palm Trees Technique, conservation, Environment



Cimanggu is the largest villages in Kecamatan Langkaplancar and still has many palm trees. These potentials need to be conserved to ensure environmental sustainability and the welfare of surrounding communities. Efforts to maintain its sustainability is to sharing knowledge and understanding of the importance of palm trees existence as a erosion or landslide conservation plant to be developed or cultivated in earnest by various parties. The purpose of this research is to know the benefits factors of sugar palm tree (Arenga Pinnata) as a conservation plant function in the Cimanggu Village Langkaplancar Pangandaran District. The research method is quantitative descriptive research. In addition, the authors also use the data survey because to generate quantitative data, also illustrates the sample studied. The results showed that the palm trees (arenga pinnata) have benefits as a plant conservation in the Cimanggu Village Langkaplancar Pangandaran District. Cimanggu village is eligible to grow palm trees that able to prevent floods and landslides. Besides, palm trees that can grow well on the cliffs will be very good as erosion prevention or landslides.



Abstrak Kata Kunci : Pohon Aren, Konservasi, Kelestarian Lingkungan







Desa Cimanggu merupakan salah satu Desa di Kecamatan Langkaplancar yang memiliki luas terbesar di Kecamatan Langkaplancar dan masih memiliki banyak tanaman aren. Potensi tersebut perlu dilestarikan untuk menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Upaya untuk menjaga kelestariannya adalah dengan menanamkan pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya keberadaan tanaman aren sebagai tanaman fungsi konservasi yakni pohon pencegah erosi atau longsor yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan atau dibudidayakan secara sungguhsungguh oleh berbagai pihak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pohon aren (Arenga Pinnata) memiliki manfaat sebagai tanaman fungsi konservasi di Desa Cimanggu Kecamatan Langkaplancar Kabupaten Pangandaran. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Selain itu, penulis menggunakan pula metode survey karena selain menghasilkan data kuantitatif, juga menggambarkan sampel yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan pohon aren (arenga pinnata) memiliki manfaat sebagai tanaman fungsi konservasi di Desa Cimanggu Kecamatan Langkaplancar Kabupaten Pangandaran adalah Desa Cimanggu memenuhi syarat tumbuh tanaman aren serta morfologi tanaman aren yang mampu untuk mencegah banjir dan longsor. Disamping itu pohon aren yang dapat tumbuh baik pada tebing-tebing akan sangat baik sebagai pohon pencegah erosi atau longsor.



Alamat korespondensi: [email protected]



Page 11



American Journal of Botany 100(8): 1509–1521. 2013.



ANATOMICAL AND PHYSICAL CHANGES IN LEAVES DURING THE PRODUCTION OF TAMALES1



GUILLERMO ANGELES2, MAITE LASCURAIN, RAYMUNDO DAVALOS-SOTELO, REYNA PAULA ZARATE-MORALES, AND FERNANDO ORTEGA-ESCALONA Instituto de Ecología, A.C. Carretera Antigua a Coatepec No. 351. El Haya. Xalapa, Veracruz, C.P. 91070 Mexico • Premise of the study: Tamale preparation has a long tradition in Mexico. To understand which material properties have been considered important for this purpose throughout the years, a study was conducted of the anatomical, chemical, and mechanical properties of the leaves of four plant species used in tamale preparation in Veracruz, Mexico: Calathea misantlensis, Canna indica, Musa paradisiaca, and Oreopanax capitatus. • Methods: Four cooking treatments were considered: fresh (F), roasted (soasado, R), steamed (S), and roasted plus steamed (R/S). Chemical, anatomical, and mechanical analyses were conducted before and after each treatment. Leaf samples were tested for tensile strength at both parallel and perpendicular orientation relative to the fibers. • Key results: Musa paradisiaca had the highest proportion of cellulose, while the remaining species shared similar lower proportions. Leaves were stronger and stiffer in the longitudinal direction of the fibers. Musa paradisiaca leaves had higher values of mechanical strength than the other species. The cooking process that most affected the mechanical properties was steaming. • Conclusions: The chemical constituents of the leaves are closely correlated with their physical properties. The treatment that caused the greatest decrease in leaf physical integrity was steaming, while the combination of roasting and steaming showed similar results to those of steaming alone. No evident anatomical changes are produced by any of the treatments. This is one of the few studies comparing physical, chemical, and anatomical characteristics of leaves used for human consumption, before and after cooking. Key words: chemical constituents; heat transformation; leaf structure; tensile strength.



Plant leaves are an important component in Mexican food preparation; however, very little is known about their physical characteristics. The leaves of some plant species are widely used in Mexico for a dish known as tamale (pl. tamales), as a wrapping for maize dough (sweet, salty, or sour). Tamales are typically prepared for consumption within a matter of days. These leaves are popular since they are cheap, readily available, and also contribute to the flavor and consistency of the tamales. In Mexico, the fresh and dry spata of the maize cob (this latter called totomoxtle) and banana leaves are the most popular materials used for tamale elaboration. In the state of Veracruz, numerous species are used fresh: Calathea spp., Heliconia spp., Pimenta dioica (L.) Merr., Renealmia mexicana Klotzsch ex Petersen, and Stromanthe macrochlamys (Woodson & Standl.) H. A. Kenn & Nicolson, among others. Study of the mechanical properties of leaves for human consumption is very important because of the diverse knowledge that can be derived. For example, we can further our understanding of why humans developed preferences for certain species 1 Manuscript received 1 November 2012; revision accepted 30 April 2013. The authors are grateful to K. MacMillan for improving the language in our original manuscript, to Dr. J. Turrado (Departamento de Madera, Celulosa y Papel, Universidad de Guadalajara, Jalisco, Mexico) for providing his laboratory facilities, and to Mr. S. Pérez Ramos for technical assistance. Financial support for this work was provided through the National Council of Science and Technology (CONACYT) of Mexico. 2 Author for correspondence (e-mail: [email protected])



doi:10.3732/ajb.1200578



for specific purposes, during the history of civilization. Another example is finding suitable plant species for cattle production. We tested the leaves fresh and subjected them to three treatments simulating the commonly used cooking processes. The purpose of this study was to explore the mechanical properties of the leaves of four species: Calathea misantlensis Lascur., Canna indica L., Musa paradisiaca L., and Oreopanax capitatus (Jacq.) Decne. & Planchon, when placed under tension stress. Musa paradisiaca and C. indica are the most widely used, whereas C. misantlensis and O. capitatus are only used locally in the center of the state of Veracruz, Mexico. The plants studied here grow in the lowland tropics of central Veracruz, Mexico and can be prepared using various cooking techniques. They are among the most popular because they contribute to tasty meals and are abundant in the region. The mechanical properties of leaves have been studied in agricultural applications to explore issues such as the relationship between leaf tensile strength and stem flexibility and livestock palatability (O’Reagain, 1993), digestibility (De Sousa et al., 1982), resistance to trampling (Sun and Liddle, 1993), drought tolerance (Balsamo et al., 2003, 2005, 2006), and more recently, leaf architecture and lignification (Balsamo and Orkwiszewski, 2008). Such studies can characterize and distinguish different growth forms and mechanical performance (Gartner, 1991a, 1991b). However, leaf tensile properties have not been investigated, to the best of our knowledge, for plant species used in meals for human consumption. Leaves, like all natural fibers, can be considered as orthotropic materials because they have different materials properties or strengths in different orthogonal directions. Leaves must be sufficiently stiff to support their own weight and yet flexible



American Journal of Botany 100(8): 1509–1521, 2013; http://www.amjbot.org/ © 2013 Botanical Society of America



1509



Annals of Botany 110: 1083– 1098, 2012 doi:10.1093/aob/mcs186, available online at www.aob.oxfordjournals.org



INVITED REVIEW



Collenchyma: a versatile mechanical tissue with dynamic cell walls Olivier Leroux1,2,* 1



Botany and Plant Science and Ryan Institute, School of Natural Sciences, National University of Ireland Galway, University Road, Galway, Ireland and 2Pteridology, Department of Biology, Ghent University, KL Ledeganckstraat 35, B-9000 Ghent, Belgium * E-mail: [email protected]



† Background Collenchyma has remained in the shadow of commercially exploited mechanical tissues such as wood and fibres, and therefore has received little attention since it was first described. However, collenchyma is highly dynamic, especially compared with sclerenchyma. It is the main supporting tissue of growing organs with walls thickening during and after elongation. In older organs, collenchyma may become more rigid due to changes in cell wall composition or may undergo sclerification through lignification of newly deposited cell wall material. While much is known about the systematic and organographic distribution of collenchyma, there is rather less information regarding the molecular architecture and properties of its cell walls. † Scope and conclusions This review summarizes several aspects that have not previously been extensively discussed including the origin of the term ‘collenchyma’ and the history of its typology. As the cell walls of collenchyma largely determine the dynamic characteristics of this tissue, I summarize the current state of knowledge regarding their structure and molecular composition. Unfortunately, to date, detailed studies specifically focusing on collenchyma cell walls have not been undertaken. However, generating a more detailed understanding of the structural and compositional modifications associated with the transition from plastic to elastic collenchyma cell wall properties is likely to provide significant insights into how specific configurations of cell wall polymers result in specific functional properties. This approach, focusing on architecture and functional properties, is likely to provide improved clarity on the controversial definition of collenchyma. Key words: Collenchyma, histology, plant anatomy, mechanical tissue, plant cell wall, primary and secondary cell walls, plant biomechanics.



IN T RO DU C T IO N The emergence of mechanical tissues was a key innovation in the evolution of land plants and a prerequisite for the appearance of large terrestrial species. By the middle Devonian, many plant species developed a hypodermal sterome consisting of heavily thickened sclerenchyma cells (Rowe and Speck, 2004). Biomechanical investigations indicated that the sterome significantly contributed to the stiffness of stems and allowed them to reach great heights and evolve diverse branched architectures compared with plants with turgor-based support systems (Rowe and Speck, 2004). While sclerenchyma tissues confer rigidity and tensile and shear strength to many plant organs (Niklas, 1992; Jarvis, 2007), their properties are incapable of supporting growing plant organs which undergo extensive turgor-driven elongation. Indeed, sclerified tissues generally consist of dead cells with non-extensible rigid cell walls which are unable to undergo mitotic divisions. In small slowly growing plant organs, turgor pressure generated in parenchyma cells may provide sufficient support, but many plant stems grow fast and are fragile, and therefore they cannot fully rely on turgor pressure for support. Partly because they are nonsclerified and only minimally lignified, young plant tissues are preferentially selected by grazing animals and plant bugs. For this reason, supporting tissues in these regions



should not be terminally differentiated but capable of undergoing wound healing or tissue regeneration. Moreover, as secondary growth increases the diameter of stems, the ability to transdifferentiate and initiate periderm formation is an additional advantage. Finally, young above-ground organs are photosynthetic and the reinforcing tissues should ideally be as translucent as possible to enable light to reach the chloroplasts in tissues deeper in the plant. To meet most of the above-mentioned requirements, and to provide support without preventing cell elongation, many plants – eudicotyledons in particular – develop collenchyma: a mechanical tissue composed of elongated cells with thick flexible and translucent cell walls and with protoplasts capable of resuming meristematic activity. In this review, I describe the remarkable origin of the term ‘collenchyma’ and discuss some of the controversies associated with the description of this tissue. In contrast to sclerified mechanical tissues such as wood and fibres, which are economically important raw materials, collenchyma tissues have received little attention. Consequently, a clear definition of collenchyma has never been given. It is not surprising that this has resulted in some confusion with respect to its designation in certain cases. However, it needs to be highlighted that one of the factors that makes collenchyma so unique is also the reason why it is difficult to define: the dynamic nature of its cell walls.



# The Author 2012. Published by Oxford University Press on behalf of the Annals of Botany Company. All rights reserved. For Permissions, please email: [email protected]



Downloaded from https://academic.oup.com/aob/article/110/6/1083/111108 by guest on 10 March 2021



Received: 29 April 2012 Returned for revision: 11 June 2012 Accepted: 6 July 2012 Published electronically: 29 August 2012



Ria Arisandi dan Asep Sukohar I Seledri (Apium graveolens L) sebagai Agen Kemopreventif bagi Kanker



Seledri (Apium graveolens L) sebagai Agen Kemopreventif bagi Kanker Ria Arisandi1, Asep Sukohar2 1Mahasiswa, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung 2Bagian Farmakologi,Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung Abstrak Kanker adalah penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di dunia. Saat ini, terapi pengobatan kanker masih berupa kemoterapi dengan obat obatan kimia dalam jangka waktu panjang.Penggunaan obat-obatan tersebut memiliki efek samping dan biaya yang relatif mahal.Sehingga dibutuhkan pendekatan terapi baru untuk kanker yaitu menggunakan tanaman herbal sebagai agen kemopreventif.Agen kemopreventif memiliki arti sebagai zat yang mencegah perkembangan sel kanker. Seledri (Apium graveolans) adalah tanaman herbal yang banyak digunakan sebagai obat antihipertensi.Penelitian terbaru menunjukan bahwa seledri mempunyai zat aktif yang berperan sebagai antikanker.Zat tersebut diantaranya adalah apigenin dan phtalide. Zat aktif dalam seledri terbukti dapat menginduksi apoptosis sel kanker dan menghentikan siklus sel kanker sehingga perkembangannya dapat terhambat.Hal ini menunjukan bahwa seledri dapat dimanfaatkan sebagai agen kemopreventif untuk kanker yang berperan mencegah perkembangan sel kanker. Kata kunci : antikanker, apigenin, kemopreventif, phtalide, seledri



Celery ( Apium graveolens L ) as Chemopreventive Agent for Cancer Abstract Cancer is a disease that causes the most deaths in the world. Currently, the treatment of cancer is still chemotherapy with chemical drugs in the long term. The use of these drugs has side effects and the cost is relatively expensive. So it takes a new approach to cancer therapy that is use herbs as a chemo preventive agent. Chemo preventive agent has a meaning as a substance that prevents the development of cancer cells. Celery (Apium graveolans) is a herb that is widely used as an antihypertensive drugs. Recent research shows that celery contains active compounds which act as anticancer. These substances include apigenin and phtalide. The active substance in celery shown to induce apoptosis of cancer cells and stops cancer cell cycle so that development can be inhibited. This shows that celery can be used as a cancer chemo preventive agent that acts to prevent the development of cancer cells. Keywords



: anticancer, apigenin, celery, chemopreventive, phtalide



Korespondensi:Ria arisandi. Alamat Jl.Ryacudu Gg.perintis 1.No.21, Sukarame, Bandarlampung, HP 08117251812, e-mail [email protected]



Pendahuluan Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian disebabkan oleh kanker. Diperkirakan kasus kanker tahunan akan meningkat dari 14 juta pada 2012 menjadi 22 juta dalam dua dekade berikutnya. Secara nasional, prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4‰ atau diperkirakan sekitar 347.792 orang. 1 Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Dalam perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian. Kanker sering dikenal oleh masyarakat sebagai tumor, padahal 2 tidaksemua tumor adalah kanker. Tumor



dibagi dalam 2 golongan, yaitu secara kolektif disebut kanker.3 Kanker telah menjadi beban kesehatan utama bagi masyarakatdan perawatan utama untuk kanker masih terdiri atas operasi, kemoterapi,terapi radiasi dan imunoterapi. Namun, efek samping yang berbahaya dari obat kankerdan radiasi masih menjadi ancaman bagi penderita kanker, sedangkan tidak semua pasien kanker dapat disembuhkan dengan operasi. Kemoprevensi kankeradalah pendekatan terbaru yang berkembang pesat dengan menggunakan bahan alami atau agen sintetis untuk mencegah,menghambat atau membalikkan tumorigenesis serta menekan perkembangan kanker yang invasif.4 Untuk mendukung pendekatan tersebut, para peneliti banyak melakukan



Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |95



Review



Blackwell Publishing Ltd.



Tansley review Aerenchyma formation



Author for correspondence: David E. Evans Tel: +44 1865483968 Fax: +44 1865483242 Email: [email protected]



David E. Evans Research School of Biological and Molecular Sciences, Oxford Brookes University, Oxford, UK



Received: 26 June 2003 Accepted: 20 August 2003 10.1046/j.1469-8137.2003.00907.x



Contents Summary



35



I.



Introduction



36



II.



Schizogenous aerenchyma formation



36



III. Lysigenous aerenchyma formation



37



IV. Regulators of lysigenous aerenchyma formation



38



V.



Key questions in lysigenous aerenchyma formation



38



VI. Sensing hypoxia; early events in aerenchyma formation



39



VII. Ultrastructural changes associated with lysigenous aerenchyma formation



39



VIII. Late events in cell death in aerenchyma formation



42



IX. X. XI.



Comparative evidence for programmed cell death in aerenchyma formation



43



Comparison with other abiotic initiators of cell death in plants



45



Conclusions and future prospects



46



Acknowledgements



47



References



47



Summary Key words: plant, aerenchyma, hypoxia, Programmed Cell Death, apoptosis, maize (Zea mays), rice (Oryza sativa).



Aerenchyma – tissue containing enlarged gas spaces – occurs in many plants. It is formed either as part of normal development, or in response to stress (e.g. hypoxia). Two mechanisms of aerenchyma formation have been described; schizogeny, in which development results in the cell separation and lysigeny, in which cells die to create the gas space. While schizogenous aerenchyma provides a fascinating system for study and has been described in detail at a morphological and ultrastructural level, little is known about the molecular genetics of its formation. The ultrastructure and morphology of lysigenous aerenchyma has also been researched in detail, and considerable progress has been made in describing the cell death processes involved, particularly in relation to programmed cell death. Once again, the molecular genetics of the process are not well understood. Aerenchyma is of great importance in crop survival in waterlogging. It is also important in being a major pathway for the release of the global warming gas methane to the atmosphere in flooded soils. Understanding the regulation of its development is therefore a research priority. © New Phytologist (2003) 161: 35–49



© New Phytologist (2003) 161: 35 – 49 www.newphytologist.org



35



Journal of Medicinal Plants Studies 2018; 6(4): 156-161



ISSN (E): 2320-3862 ISSN (P): 2394-0530 NAAS Rating: 3.53 JMPS 2018; 6(4): 156-161 © 2018 JMPS Received: 22-05-2018 Accepted: 23-06-2018 Rashmi DR Division of Biochemistry, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India Raghu N Division of Molecular Biology, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India Gopenath TS Division of Biotechnology, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India Pradeep Palanisamy Department of Anatomy, Faculty of Medicine, Quest International University Perak, Malaysia Pugazhandhi Bakthavatchalam Department of Anatomy, Faculty of Medicine, Quest International University Perak, Malaysia Murugesan Karthikeyan Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Quest International University Perak, Malaysia Ashok Gnanasekaran Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Quest International University Perak, Malaysia Ranjith MS Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Quest International University Perak, Malaysia Chandrashekrappa GK Chairman, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India Kanthesh M Basalingappa Assistant Professor, Division of Molecular Biology, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India Correspondence Kanthesh M Basalingappa Assistant Professor, Division of Molecular Biology, Faculty of Life Sciences, Jagadguru Sri Shivarathreeswara (JSS) University, Mysuru, Karnataka, India



Taro (Colocasia esculenta): An overview Rashmi DR, Raghu N, Gopenath TS, Pradeep Palanisamy, Pugazhandhi Bakthavatchalam, Murugesan Karthikeyan, Ashok Gnanasekaran, Ranjith MS, Chandrashekrappa GK and Kanthesh M Basalingappa Abstract Colocasia esculenta is a tropical plant grown primarily for its edible corms, the root and vegetables. It is most commonly known as taro and is widely cultivated in the high rainfall areas under flooded condition usually by small farmers. This study details about morphological characters of taro and their use as food and; region and season of cultivation. Keywords: Taro, edible, medicinal, morphology



Introduction Herbs are predominantly used to treat cardiovascular, liver, central nervous system (CNS), digestive, and metabolic disorders. Given their potential to produce significant therapeutic effect, they can be useful as drug or supplement in the treatment or management of various diseases. Herbal drugs or medicinal plants, and their extracts and isolated compounds have demonstrated a wide spectrum of biological activities [1]. Selection of scientific and systematic approach for the biological evaluation of plant products based on their use in the traditional system of medicine forms the basis for an ideal approach in the development of new drugs from plants. One such plant is Colocasia esculent Linn. Taro (Colocasia esculent Linn.) is a vegetative propagated tropical root having its origin from South-east Asia. It occupies 9th position among world food crops with its cultivation spreaded across Africa. Taro tubers are important sources of carbohydrates as an energy source and are used as staple foods in tropical and subtropical countries. It is largely produced for its underground corms contain 70–80% starch. There are numerous root and tuber crops are grown in the world. Taro is one of such crops grown for various purposes. It is an erect herbaceous perennial root crop widely cultivated in tropical and subtropical world belonging to genus Colocasia in the plant family called Araceae [2]. The crop has been largely produced in Africa even though the time of its spread to the region is unknown and nowadays cultivated in Cameroon, Nigeria, Ghana and Burkina Faso where it has gained high importance [3]. It has been suggested that the crop was cultivated to fill seasonal food gaps when other crops still in the fields because of its potential in giving reasonable yield under conditions where other crops may unable to give produce by various crop production constraints [4]. The corm of taro is relatively low in protein (1.5%) and fat (0.2%) and this is similar to many other tuber crops. It is a good source of starch (70–80 g/100 g dry taro), fiber (0.8%), and ash (1.2%). Taro is also a good source of thiamine, riboflavin, iron, phosphorus, and zinc and a very good source of vitamin B6, vitamin C, niacin, potassium, copper, and manganese [5]. Taro can also be used for entrapment of flavouring compounds [6]. It is locally referred to as “brobey” and cultivated on subsistence basis for its cormels and leaves, which are boiled and eaten. In other parts of the world taro is made into ice cream and drinks [7]. Taro leaves and tubers are poisonous if eaten raw; the acrid calcium oxalate they contain must first be destroyed by heating. Taro is rich in digestible carbohydrates and micronutrients [8]. Taro contains antinutrient factors such as: oxalate, Phytate and tannin. Taro deteriorates rapidly as a result of its high moisture and has been estimated to have a shelf-life of up to one month if undamaged and stored in a shady area [9]. Taro foods are useful to persons allergic to cereals and can be consumed by infants/children who are sensitive to milk. ~ 156 ~



  Jo urna l o f Pharma cog no sy and Phy to chemistry 201 6 ; 5(1): 131 -13 6



E-ISSN: 2278-4136 P-ISSN: 2349-8234 JPP 2016; 5(1): 131-136 Received: 22-11-2015 Accepted: 25-12-2015 Hina Zahid



Department of Pharmacognosy, Faculty of Pharmacy, University of Karachi, 75270 Pakistan



Comparative profile of Hibiscus schizopetalus (Mast) hook and Hibiscus rosa-sinensis L. (Malvaceae) Hina Zahid, Ghazala H Rizwani, Leena Khalid, Huma Shareef



Department of Pharmacognosy, Faculty of Pharmacy, University of Karachi, 75270 Pakistan



Abstract The present research was carried out to establish detailed pharmacognosy of Hibiscus schizopetalus (Mast) Hook and Hibiscus rosa sinensis L., which included macros copy, microscopy, physicochemical parameters and fluorescence analysis of flower and leaf samples of both plants. It was observed that macroscopic and microscopic characteristics were diagnostic features and can be used for distinction and identification of these closely related plant species. Physico-chemical parameters revealed that in investigated plant species total ash value, acid insoluble ash value and water soluble ash value was observed to be higher in flower of H. rosa sinensis (20.35 % w/w, 4.01 % w/w, 6.00 % w/w respectively) whereas moisture content was found to be higher in H. schizopetalus.



Huma Shareef



Keywords: Hibiscus schizopetalus, Hook, Hibiscus rosa-sinensis L.



Ghazala H Rizwani



Department of Pharmacognosy, Faculty of Pharmacy, University of Karachi, 75270 Pakistan



Leena Khalid



Department of Pharmacognosy, Faculty of Pharmacy, University of Karachi, 75270 Pakistan



Correspondence Dr. Hina Zahid



Department of Pharmacognosy, Faculty of Pharmacy, University of Karachi, 75270 Pakistan



Introduction Genus Hibiscus, with more than 300 species distributed in tropical and subtropical regions have been widely used in several formulae in traditional medicine [1]. Previous investigations of the genus Hibiscus indicated the presence of some species with useful biological and pharmacological activities [2-10]. H. schizopetalus (Mast) Hook belong to family Malvaceae The shrub is initially found in the east of tropical Africa, native of Kenya and Tanganyika. It is a common ornamental shrub cultivated in Pakistan. The plant is found in Hawaii, Florida and India [11]. H. schizopetalus is the allied specie of H. rosa-sinensis sharing the same genera Hibiscus but the difference in both plant is the direction of flower. Leaves of plant are alternate, ovate to lanceolate, often with a toothed or lobed margin; resemble those of H. rosa-sinensis leaves. Various parts of the plant used in cold, cough and to reduce fever [12-14]. According to the current literature methanolic extract of flower and leaves found significant analgesic and antipyretic potential [15]. Hibiscus rosa-sinensis L. is an ever blooming, glabrous shrub up to 5-8 feet high. Flowers are red in color, bell shaped, large in size; almost diameter is 4-6 inches. Corolla is up to 7.5cm in diameter. From the center, calyxes are almost divided, puberulous and have small stellate hairs. Petals are three times larger than calyx. Leaves are sharp green in color, oval in shape and roughly toothed. Beneath the leaves some stellate hairs are present [16]. It is an inhabitant of Southern Eastern Asia. It is mainly cultivated in Pakistan, china and India as a decorative plant to beautify their gardens [17]. It contain methyl sterculate, methyl-2hydroxysterculate, beta – rosasterol, 2- hydroxyl sterculate, malvate, cyclopropanoids, anthocyanin, amino acids (aspartic acid and asparginin), fat, phosphorus, iron, calcium, riboflavin, thiamine, niacin, vitamin C and fibers [18-19]. This is an effective abortifacient and anti convulsant plant [20]. It is majorly used in tachy cardia, insanity and palpitation [21].The flowers and leaves have healing properties [22]. The floral part of this plant is emollient, antioxidant, anti-bacterial, hypotensive, refrigerant, aphrodisiac, emmenagogue, antiinflammatory and its decoction is used in the treatment of bronchial catarrh. For the treatment of menorrhagia, they are used in fried form [23]. Certainly, no previous literature reported concerning the comparative evaluation of Hibiscus schizopetalus (Mast) Hook ad Hibiscus rosa-sinensis L. which encouraged us to undertake full descriptive macro and micro morphological studies of these plants. This study is of utmost important not only in finding out genuinity but also in detection of adulterants in the samples. ~ 131 ~ 



Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung, 2013



STUDI ADAPTASI ANATOMI ORGAN VEGETATIF Neptunia oleraceae Lour HASIL SELEKSI LINI PADA FITOREMEDIASI LIMBAH CAIR AMONIAK Nina Tanzerina, Juswardi dan Fitralia Elyza Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya Abstrak. Penelitian mengenai Studi Adaptasi Anatomi Organ Vegetatif Neptunia oleraceae Lour Hasil Seleksi Lini Pada Fitoremediasi Limbah Cair Amoniak telah dilakukan pada bulan Januari – Mei 2012. Pengambilan sampel di area sekitar sungai musi II. Pembuatan preparat di Laboratorium Mikroteknik dan pengkuran kadar klorofil di Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi struktur anatomi akar, batang dan daun Neptunia oleraceae Lour hasil seleksi lini pada fitoremediasi limbah cair amoniak. Pengamatan dilakukan secara deskriptif dengan cara pembuatan preparat permanen menggunakan metode paraffin dan whoule mount serta menghitung kadar klorofil total daun. Hasil penelititan menunjukkan Neptunia oleraceae Lour hasil seleksi lini limbah cair amoniak pada konsentrasi 120 ppm mampu melakukan fitoremediasi dan beradaptasi. Akar Neptunia oleraceae Lour hasil seleksi lini mempunyai bentuk xylem yang bulat dan kecil serta jumlahnya sedikit, mampu membentuk akar cabang dan bintil akar.. Adaptasi anatomi pada batang hasil seleksi lini yaitu mempunyai, jaringan kolenkim sel sklereid yang menyebar dari korteks ke daerah pembuluh, parenkim udara persegi empat, tidak ada spon (jaringan gabus), untuk tangkai daun mempunyai ruang udara besar. Adaptasi anatomi pada daun hasil seleksi lini yaitu epidermis mengandung tanin dan kutikula tebal, sedangkan keberadaan stomata sama dengan kontrol. Kandungan klorofil total daun hasil seleksi lini lebih rendah 33,81 mg/L dibandingkan 51,34 mg/L pada kontrol. Kata Kunci: Anatomi, Fitoremediasi, Limbah Cair Amoniak, Neptunia oleracea Lour, Seleksi Lini.



PENDAHULUAN Tumbuhan-tumbuhan mempunyai adaptasi anatomi dan fisiologi untuk kelangsungan hidupnya, dengan cara memberikan peluang keberhasilan menyesuaikan kehidupan di habitat tertentu. Oleh karena itu adaptasi anatomi dan fisiologi dapat dijadikan indikator terhadap perubahan lingkungan hidup tanaman (Soerrodikusuma dan hartika dalam Haryanti dkk, 2009). Namun demikian jenis tumbuhan yang berbeda menunjukkan sensivitas yang berbeda pula terhadap perubahan lingkungan. Metode Fitoremediasi merupakan suatu sistim dimana tumbuhan tertentu yang bekerjasama dengan



mikroorganisme dalam media (Tanah, koral, dan air) dapat merubah zat kontaminan (pencemaran/polutan) menjadi kurang ataun tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi (Syahputra,2006). Sebagian besar polusi air yang disebabkan oleh PT. Pusri dihasilkan dari pabrik Urea. Adanya amoniak dan materi organik dalam perairan dapat menurunkan kualitas lingkungan karena senyawa tersebut akan mengalami stabilitas oleh mikroorganisme. Dalam proses ini konsentrasi oksigen dalam badan air yang tercemar limbah akan mengalami penurunan sehingga mengganggu biota air (Djenar & Budiastuti 2008: 98).



Semirata 2013 FMIPA Unila |165



J. Agron. Indonesia 38 (2) : 88 - 94 (2010)



Tanggap Fisiologi Akar Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) terhadap Cekaman Aluminium dan Defisiensi Fosfor di dalam Rhizotron Roots Physiological Response of Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) to Aluminum Toxicity and Phosphorous Deficiencies in Rhizotron Karlin Agustina1*, Didy Sopandie2, Trikoesoemaningtyas2, dan Desta Wirnas2 1



Departemen Agroteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas IBA Palembang, Jl. Mayor Ruslan Palembang, Indonesia 2 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia Diterima 1 April 2010/Disetujui 6 Juli 2010



ABSTRACT A study on physiological mechanism of sorghum to aluminum (Al) toxicity and phosphorous (P) deficiencies was conducted using several sorghum genotypes in rhizotron. The study was conducted in the greenhouse of the University Farm, Bogor Agricultural University from August to October 2009. The experiment was carried out as a Factorial experiment in a Completely Randomized Design with three replications. The first factor was sorghum genotypes consisted of Numbu (tolerant) and B-75 (sensitive), and the second factor was combination of lime and phosphorous fertilization consisted of: no lime-no P (R1), no lime-low P (R2), no lime-sufficient P (R3), lime-no P (R4), lime-low P (R5) and lime-sufficient P (R6). The results showed that all variables were significantly affected by the interaction of media and genotype, except for length of shoot and total P uptake. Under low P and Al toxicity, sorghum variety Numbu showed a higher nutrient efficiency than B-75 with ability of forming greater dry mass. The sensitive genotypes showed a higher nutrient uptake but a lower P nutrient use efficiency under Al toxicity and P deficiency. Total P uptake and P nutrient use efficiency were highly correlated with root growth and dry material accumulation. Keywords: sorghum, Al toxicity, P deficiencies, P nutrient use efficiency, P uptake.



PENDAHULUAN Luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha, dan diperkirakan 102.8 juta ha diantaranya berupa lahan kering masam (ultisols). Faktor pembatas utama untuk produksi pada lahan kering masam adalah kesuburan tanah yang rendah karena toksisitas aluminium (Al) dan defisiensi hara-hara penting seperti fosfor (P), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) (Marschner, 1995). Keracunan Al merupakan faktor pembatas utama, karena dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan akar, sehingga tanaman mengalami hambatan dalam penyerapan air dan hara (Kochian et al., 2004). Ketersediaan lahan kering masam yang luas ini sangat potensial untuk pengembangan tanaman. Tanaman yang mempunyai daya adaptasi agroekologi luas seperti sorgum, dapat dikembangkan di lahan ini. Menurut Reddy dan Dar (2007) sorgum dapat dijadikan sebagai bahan baku bioetanol. Produktivitas bioetanol dari sorgum lebih tinggi dibandingkan tanaman lain yang dapat mencapai



8,419 L ha-1 tahun-1 di atas tebu ( 6,679 L ha-1 tahun-1) atau ubi kayu yang hanya 3,835 L ha-1 tahun-1 (Ditjen Tanaman Pangan, 2007). Selain produktivitasnya yang tinggi dan biaya produksinya rendah, sorgum juga tidak berkompetisi dengan tanaman pangan lain (Hoeman, 2007). Sorgum ideal dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol di Indonesia karena tanaman ini lebih sesuai untuk dikembangkan di lahan kering (Hoeman, 2007). Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering masam, diperlukan upaya mengembangkan varietas sorgum yang mampu beradaptasi pada kondisi agroekologi tersebut melalui program pemuliaan tanaman yang didukung dengan pemahaman aspek fisiologi adaptasi tanaman (Sopandie, 2006). Program permuliaan tanaman sorgum untuk lahan masam diarahkan untuk meningkatkan daya toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman keracunan Al dan defisiensi P. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan mengetahui mekanisme toleransi keracunan Al dan efisiensi penyerapan dan penggunaan P. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi kajian fisiologi untuk proses seleksi tanaman sorgum toleran tanah masam dalam program pemuliaan, serta dapat membantu pemerintah dalam mengatasi krisis pangan dan energi di masa depan.



* Penulis untuk korespondensi. e-mail: karlinagustina_92@yahoo. co.id



88



Karlin Agustina, Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas dan Desta Wirnas