Long Case Epilepsi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LONG CASE EPILEPSI



Diajukan kepada Yth:



dr. H. Zamroni, Sp.S Nadendra Nareswari 20164011038



BAGIAN ILMUPENYAKIT SARAF RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016



BAB I PENDAHULUAN A. IDENTITAS Nama



: Ny. ZR



Usia



: 44 tahun



Alamat



: Godean



Tanggal Masuk RS



: 08-12-2016



B. ANAMNESIS 



Keluhan Utama Kejang berulang







RPS Pasien berusia 44 tahun datang ke IGD PKU Muhammadiyah Gamping dengan keluhan kejangdi rumah selama 1 kali. Kejang diseluruh badan dan disertai penurunan kesadaran. 3 hari SMRS pasien mengeluh sakit kepala, demam disangkal. Setelah masuk RS pasien kejang lagi seluruh badan kurang lebih 2 menit disertai mulut berbusa.







RPD Pasien riwayat epilepsi, pengobatan selama 3 tahun. Januari 2016 dinyatakan sembuh, tidak kontrol lagi sampai HMRS.







RPK Riwayat hipertensI, DM, disangkal







Riwayat Pribad Pasien tidak merokok atau minum alkohol.



C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Presens TD = 104/61 mmHg T = 36,2 ◦C HR = 74 x/m Keadaan Umum



: Sesak napas



Kesadaran



: Compos mentis



Status gizi



: Cukup



2. Status Neurological Behaviour



 Kesadaran



: Compos mentis



 Kuantitatif



: GCS (mata, bicara, motorik) = 4,5,6



 Orientasi



:(tempat) baik, (waktu) baik, (orang) baik



 Jalan Pikiran



: Koheren



 Kemampuan Bicara



: lancar (-), pelo (-)



 Sikap Tubuh



: tremor (-), rigiditas (-), flaccid (-), bradikinesia (-)



3. Status Neurologis 1) Kepala : normocephal, simetris (-),scar (-), massa (-), kaku kuduk (-), Brudzinski 1 (-), Px nervi cranialis a) N. I (Olfactorius)



: daya pembau kanan = kiri dalam batas normal



b) N. II (Opticus) 



Visus



: tidak dilakukan







Pengenalan warna



: normal







Medan penglihatan



: normal +/+, hemianopsia -/-







Px fundus okuli



: tidak dilakukan



c) N. III (Occulomotorius), N. IV (Trochlearis), & N. VI (Abducen) 



Ptosis (-/-), nistagmus (-/-), exoftalmus (-/-), enoftalmus (-/-)







Gerak bola mata ke atas



: normal/normal







Gerak bola mata ke bawah



: normal/normal







Gerak bola mata ke medial



: normal/normal







Pupil



: isokor







Strabismus



: (-/-)







Diplopia



: (-/-)







Reflek cahaya langsung



: (+/+)







Reflek cahaya konsensuil



: (+/+)



d) N. V (Trigeminus) 



Motorik



: menggigit (+), membuka mulut (+)







Sensorik



: sensibilitas atas (+/+), tengah (+/+), bawah (+/+)



e) N. VII (Facialis) 



Mengerutkan dahi



: simetris







Kedipan mata



: kanan = kiri







Sudut mulut



: simetris







Mengerutkan alis



: simetris







Menutup mata



: +/+







Lakrimasi



: tidak dilakukan







Daya kecap lidah 2/3 depan : tidak dilakukan



f) N. VIII (Vestibulocochlearis) 



Mendengar suara gesekan tangan



: (+/+)







Tes Rinne



: tidak dilakukan







Tes Weber



: tidak dilakukan







Tes Schwabach



: tidak dilakukan



g) N. IX (Glossopharyngeus) 



Daya kecap lidah 1/3 belakang



: tidak dilakukan







Reflek muntah



: tidak dilakukan







Menelan



: (+)



h) N. X (Vagus) 



Nadi



: teraba/teraba







Bersuara



: normal



i) N. XI (Accessorius)  Memalingkan kepala : (+/+)  Mengangkat bahu



: simetris



 Atrofi otot bahu



: (-/-)



j) N. XII (Hipoglossus)  Sikap lidah



: normal



 Tremor lidah



: (-)



 Atrofi otot lidah



: (-)



 Fasikulasi lidah



: (-)



2) Badan 



Pulmo



: vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)







Cor



: S1 S2 reguler



3) Ekstremitas Kekuatan



:



Tonus



:



Refleks



Fisiologis



Refleks Patologis



: :



+5│+5 +5│+5 𝑁 │𝑁 𝑁 │𝑁



+ │+ + │+ − │− − │−



4. Tes Fungsi Koordinasi Tidak dilakukan 5. Fungsi Vegetatif Miksi



: inkontinensia urine (-), retensi urine (-), anuria (-), poliuria (-)



Defekasi



: inkontinensia alvi (-), retensi alvi (-)



D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium GDS



: 148 mg/Dl (H)



AL



: 8.3 rb/uL



Hmt



: 40%



AT



: 235.000/uL



HB



: 13,5



E. DIAGNOSIS Diagnosis Klinis



: Kejang berulang



Diagnosis Topis



: Lobus Temporal



Diagnosis Etiologi



: Epilepsi serangan umum tonik klonik



F. TERAPI Anemolat 1x1 Fenitoin iv 1amp/12jam G. PROGNOSIS Prognosis pada pasien ini baik. Pada pasien ini keadaan dari hari ke hari menunjukan perbaikan, baik vital maupun fungtional sehingga pasien dapat dipulangkan untuk selanjutnya dirawat jalan.



BAB II DASAR TEORI



Definisi Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002). Tidak semua bangkitan disertai kejang, misalnya bangkitan lena (absence seizure). Diagnosa epilepsi ditegakkan, bila penderita mengidap minimal 2 serangan kejang (konvulsi) dalam kurun waktu 2 tahun. Patofisiologi Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K+ dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca2+, Na+ dan Cl-, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K+ dan konsentrasi rendah ion Ca2+, Na+, dan Cl-, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran



neuron



berikutnya.



Ada



dua



jenis



neurotransmitter,



yakni



neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara



neurotransmitter-neurotransmitter



eksitasi



dapat



disebut



glutamat,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.



Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepaskan muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca2+ dan Na+ dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca2+ akan mencetuskan/melepaskan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah mempengaruhi neuron-neuron sekitar pusat epilepsi. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepas muatan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. Klasifikasi Dikenal sejumlah tipe bangkitan epilepsi yang paling lazim adalah bentuk serangan luas (grand mal, petit mal, absence) pada mana sebagian besar otak terlibat dan serangan parsial (sebagian) yang mana pelepasan muatan listrik hanya terbatas sampai sebagian otak. Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut ILAE tahun 1981 yaitu : I. Bangkitan parsial (bangkitan Fokal) A. Parsial sederhana 1.Disertai gejala motorik 2.Disertai gejala somato-sensorik 3.Disertai gejala otonomik B. Parsial kompleks 1. Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism 2. parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa otomatism C. Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder 1. parsial sederhana menjadi umum tonik-klonik



2. parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik 3. parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik II. Bangkitan umum a. Bangkitan Lena (Absence) b. Bangkitan Mioklonik c. Bangkitan Klonik d. Bangkitan Tonik e. Bangkitan Tonik klonik f. Bangkitan Atonik g. Bangkitan yang tidak terklasifikasikan Manifestasi Klinis 1. Bangkitan Umum a. Grand mal (Perancis = penyakit besar) atau bangkitan Tonik-klonik ‘generalized’ Kejang ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi. Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara kesadaran dan tonus. Terdiri atas 3 fase; fase tonik, fase klonik dan fase pasca kejang. Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1 menit untuk kemudian disusul oleh fase klonis dengan kejangkejang dari kaki-tangan, rahang dan muka. Lamanya serangan berkisar antara 1 dan 2 menit yang disusul dengan keadaan pingsan selama beberapa menit dan kemudian sadar kembali dengan perasaan kacau serta depresi. b. Bangkitan lena (petit mal/absence) Kejang ini termasuk jenis yang jarang. Bangkitan lena terjadi secara mendadak dan juga menghilang secara mendadak (10-45 detik). Berupa kesadaran menurun sementara, namun kendali atas postur tubuh masih baik (penderita tidak jatuh); biasanya disertai automatisme (gerakan-gerakan berulang), keadaan termangu-mangu (pikiran kosong), mendadak berhenti bergerak. Terjadi pada masa kanak-kanak (4-8 tahun). Remisi spontan 6070% pasien pada masa remaja. c. Bangkitan lena yang tidak khas (bangkitan lena atipikal) Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental. d. Bangkitan mioklonik (bangkitan klonik)



Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara cepat dan mendadak. Bercirikan kontraksi otot-otot simetris dan sinkron yang tak ritmis dari terutama bahu dan tangan (tidak dari muka). Adakalanya berlangsung dengan jangka waktu singkat sekali, kurang dari satu detik. e. Bangkitan atonik Tiba-tiba kehilangan tonus otot postural sehingga seringkali jatuh tiba-tiba. Sering terjadi pada anak-anak. 2. Bangkitan parsial/fokal a. Bangkitan parsial sederhana Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensorik, otonom dan psikis tergantung korteks serebri yang teraktivasi, namun kesadaran tidak terganggu; penyebaran cetusan listrik abnormal minimal, penderita masih sadar. b. Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis) Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak.Biasanya terjadi dari



lobus



temporal



karena



lobus



ini



rentan



terhadap



hipoksia/infeksi.Cirinya ada tanda peringatan/”aura” yang disertai oleh perubahan kesadaran; diikuti oleh “automatisme”, yakni gerakan otomatis yang tidak disadari seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung selama 30-120 detik. Kemudian, biasanya pasien kembali normal yang disertai kelelahan selama beberapa jam. c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana. 3. Bangkitan lainnya.  Kejang demam  Status epileptikus Faktor Risiko Epilepsi Faktor prenatal 



Usia ibu saat hamil : umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasinya antara lain hipertensi dan eklamsia, gangguan persalinan yaitu prematur, berat bayi lahir rendah, partus lama. Pada kondisi tersebut mengakibatkan janin asfiksia. Hipoksia mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah



timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus fokus epileptogenik (Joesoef, 1997). 



Kehamilan primipara atau multipara : pada primipara sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan juga dapat terjadi pada multipara yang dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi atau kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak (Laidlaw, 1982).



Faktor natal 



Asfiksia : hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kolikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia adalah “watershead area” yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling sedikit (Volpe, 1981).







Kelahiran prematur atau postmatur : bayi prematur perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal ini disebakan karena sering apnea,asfiksia berat dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Bayi yang dilahirkan lewat waktu merupakan bayi postmatur. Pada keadaan ini terjadi penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun (Harsono, 1996).



Faktor post natal 



Kejang demam : kejang demam yang berkepanjangan menyebabkan iskemia otak, dan yang paling terkena dampaknya adalah lobus temporalis.







Trauma kepala atau cedera kepala







Infeksi sususan saraf pusat : meningitis, ensefalitis.







Gangguan metabolik : serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glukosa, kalsium, magnesium, potassium dan sodium (Ali, 2001)



Penatalaksanaan 1. Tindakan Umum (non farmakologi) Selama bangkitan epilepsi : (a) Letakan penderita di tempat teduh dan aman, untuk mencegah kecelakaan. (b) Jangan mencoba mengambil sesuatu dari mulut / membukanya kecuali mencegah lidah tergigit. (c) Kendorkan ikat pinggang atau ikat leher (dasi) (d) Jangan mencoba menahan gerak / konvulsi, dapat meninbulkan luksasio / fraktur. (e) Setelah bangkitan berhenti (bila mungkin dihentikan dengan anti konvulsi, letakan pada posisi koma (semi frone / three-quarterprone position) (f) Awasi terus dan bebaskan jalan nafas sampai penderita sadar kembali. (g) Jangan cepat-cepat dibawa kerumah sakit, kecuali bila serangan berkepanjangan, terjadi kecelakaan atau anoreksia. (h) Segera setelah fase iktal, penderita merasa bingung, perlu bantuan untuk memuluhkan kepercayaan diri dan simpati tanpa kegaduhan (i) Jangan tergesa memberikan minum setelah bangkitan, apalagi obat anti epilepsi (OAE) 2. Tindakan Khusus Prinsip-prinsip terapi farmakologi untuk epilepsi yakni: a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. b. Terapi dimulai dengan monoterapi dengan satu jenis obat anti epilepsi. c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. d. Apabila dengan penggunaaan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. Tabel 1



Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Berdasarkan Tipe Bangkitan. Sumber: dimodifikasi dari



Goodman & Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2008.9 III.



Tipe bangkitan



OAE lini pertama



OAE lini kedua



Bangkitan



Fenitoin, karbamazepin,



gabapentin, lamotrigin,



parsial(sederhana



asam valproat



levetirasetam, tiagabin,



atau kompleks)



topiramat



Bangkitan umum



Karbamasepin, fenitoin,



gabapentin, lamotrigin,



sekunder



asam valproat



levetirasetam, tiagabin, topiramat



Bangkitan umum



Karbamasepin, fenitoin,



Lamotrigin, topiramat



tonik klonik



asam valproat, fenobarbital.



Bangkitan lena



Asam valproat, etosuksimid



Lamotrigin



Bangkitan mioklonik



Asam valproat



Lamotrigin, topiramat



Berikut dosis dan sediaan obat antikonvulsi yang beredar di Indonesia. Tabel 2 Dosis, Kadar Terapi dan Sediaan Obat Antikonvulsi yang Beredar di Indonesia.



Sumber: di modifikasi dari FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2009. OBAT



DOSIS



FREKUENSI PEMBERIAN



Sediaan



PERHARI Asam



DD : 5-15 mg/kgBB/hari



Valproat



DA : 10-30 mg/kgBB/hari



Sirup 250 mg/5 ml 3-4 kali/hari



Tablet 250 mg, 150 mg



Tablttablet 2 mg, 5 mg, 10 mg Diazepam



DD : 0.2mg/kgBB/hari DA : 0.15-



Fenitoin



Injeksi 5 mg/ml



-



Gel rektal (suposituria) 2 mg, 5 mg, 10 mg, 20 mg



DD : 300 mg/hari



Kapsul 100 mg, 50 mg 1-2 kali/hari



Ampul 100 mg/2 ml



DD : 2-3 mg/kgBB/hari DA : 3-5mg/kgBB/hari



Karbamazepin



-



0.3mg/kgBB/hari



DA : 5 mg/hari Fenobarbital



2-4 kali/hari



DD : 1000-2000 mg/hari



2 kali/hari



Tablet 30 mg, 50 mg, 100 mg



2-4 kali/hari



Ampul 50 mg/ml



3 kali/ hari



Kaplet salut film 200 mg



DA : 15-25 mgkgBB/hari Klonazepam



DD : 1.5 mg/hari DA : 0.01-0.03



mg/kgBB/hari Lamotrigin



DD : 100-500 mg/hari DA : 1.2 mg/kgBB/hari



Levetirasetam



Tablet salut film 2 mg 1-2 kali/hari



DD : 2x500mg/hari atau



Tablet 50 gr, 100 mg 2 kali/hari



2x1500mg/hari Gabapentin* DA : -



1-3 kali/hari



DD : 900 mg – 2.4 g/hari



Tablet 250 mg dan 500 mg



Topiramat Tablet 300 mg DA : DD : 200-600 mg/hari



2 kali/hari



Tablet 25 mg, 50 mg 100 mg



DA = Dosis anak DD = Dosis dewasa *dalam kombinasi



Terapi Epilepsi Refrakter/Berulang Epilepsi refrakter adalah epilepsi dengan bangkitan berulang, meski telah tercapai kadar terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. Bangkitan tersebut benar-benar akibat kegagalan OAE untuk mengkontrol focus epileptic, bukan karena dosis yang tidak tepat, ketidaktaatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi. Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi refrakter. Penyebab epilepsi refrakter adalah : 



Ketidakpatuhan minum obat







Pseudoseizure atau serangan non epilepsi (baik terpisah atau terjadi bersamaan dengan kejang murni)







Adanya gangguan otak struktural, misalnya anomali perkembangan otak, yang dapat atau tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan







Alkohol dan gaya hidup



Prognosis jangka panjang epilepsi pada sebagian besar pasien adalah baik. Kebanyakan pasien akan mengalami remisi setelah 5 tahun dan dapat berhenti minum obat. Keputusan untuk menghentikan pengobatan pada pasien dewasa ditentukan oleh : 



Durasi remisi







Tipe epilepsi







Efek rekurensi saat mengemudi dan bekerja







Efek samping pengobatan