LP Cholangitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CHOLANGITIS DI RUANG 17 RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG



DISUSUN OLEH: DIAN NURLAILY 14401.16.17008



PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN PROBOLINGGO 2019



LAPORAN PENDAHULUAN CHOLANGITIS 1. DEFINISI Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur. 2. ETIOLOGI Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor. Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit. Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kirakira 10-15% pasien dengan cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kirakira 1% pasien pasca cholecystectomy memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama bertahun-tahun. Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi



parsial



berhubungan



dengan



peningkatan



tingkat



infeksi



bandingkan dengan obstruksi neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah: a. Kanker pancreas b. Cholangiocarcinoma c. Kanker ampulla vateri d. Tumor porta hepatis atau metastasis



Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah: a. Striktur atau stenosis b. Manipulasi CBD secara endoskopik c.



Choledochocele



d. Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier) e. AIDS cholangiopathy f.



Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.



3. MANIFESTASI KLINIS Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai “triad” yang ditemukan pada pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan Jaundice. Pentad Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada triad tersebut. Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan (rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise. 4. ANATOMI FISIOLOGI



Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002). Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri



hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009). Fungsi kandung empedu yaitu sebagai berikut: 1. Menyimpan dan mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati di antara dua periode makan. 2. Berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan kolesterol, dengan stimulasi oleh kolesistokinin,ke duodenum sehingga membantu proses pencernaan lemak (Barett, 2006). Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit, sekitar 600 mL per hari, terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid, bilirubin, dan senyawa organik terlarut lainnya. Kandung empedu bertugas menyimpan dan menkonsentrasikan empedu pada saat puasa. Kira-kira 90 % air dan elektrolit diresorbsi oleh epitel kandung empedu, yang menyebabkan empedu kaya akan konstituen organik (Avunduk, 2002). Di antara waktu makan, empedu akan disimpan di kandung empedu dan dipekatkan. Selama makan, ketika kimus mencapai usus halus, keberadaan makanan terutama produk lemak akan memicu pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi dari kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi, sehingga empedu dikeluarkan ke duodenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama dengan konstituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan serta dalam pencernaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan mereka ke kandung empedu. Proses pendaurulangan antara usus halus dan hati ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik (Sherwood, 2001). Dalam keadaan dimana kandung empedu tidak berfungsi dengan baik, garam empedu yang telah melalui sirkulasi enterohepatik sebagian besar akan disimpan di usus halus (Barett, 2006).



5. PATOFISIOLOGI a. Pathway



b. Narasi Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran



empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier. Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella



(16%), Spesies



Enterococcus



(15%), Spesies



Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%). Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara



klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis. Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik. Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau



karsinoma



periampuler.



Sebelum



tahun



1980-an



batu



choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG Uji Laboratorium 1) Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan cholangitis, 79% memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik. 2) Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar kalsium



darah



diperlukan untuk memeriksa kemungkinan



pancreatitis, yang dapat menimbulkan hipokalsemia, dicurigai. Tes fungsi liver



kemungkinan



besar



konsisten



dengan



keadaan



cholestasis,



hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.



PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang menimbulkan Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut. Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan apabila pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi. Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial Hasil urinalisis biasanya normal 1) Lipase:



keterlibatan



ductus



choledochus



bagian



bawah



dapat



menimbulkan pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari pasien mengalami sedikit peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas menunjukkan bahwa batu saluran empedu menimbulkan cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis (pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur empedu: kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier oleh interventional radiology atau endoscopy. Studi Pencitraan 1) Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab obstruksi bilier dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan cholecystitis. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu dan menilai dilatasi saluran bilier, namun pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada ductus biliaris distal.



2) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pemeriksaan yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi pencitraan sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi bedah dan percutaneus. 3) Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan studi noninvasif yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain. MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem bilier. Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik invasif seperti pengambilan sample empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting. Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil ( Pemeriksaan lain 1) Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari kandung empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada obstruksi total



dari



saluran



bilier



tidak



memperlihatkan



saluran



bilier.



Keuntungannya adalah kemampuan untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum pembesaran ductus dapat dilihap melalui USG. 7. PENATALAKSANAAN Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi: 1) antibiotik intravena dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal



cefazolin, cefoxitin) merupakan obat pilihan pada kasus-kasus ringan



sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk secara progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut mungkin memerlukan pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor. Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini. Namun, saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera mungkin setelah pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon terhadap terapi antibiotik intravena dan resusitasi cairan 2) Dekompresi bilier dapat diakukan melalui endoskopi, melalui rute



transhepatic percutaneus, ataupun secara bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat dan sigat obstruksi bilier. 3) Pasien dengan choledocholithiasis atau keganasan periampuler paling baik



ditangani menggunakan pendekatan endoskopik, dengan sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau dengan penempatan stent bilier secara endoskopi. 4) Pada pasien dengan obstruksi yang lebih proksimal atau terletah pada



perihiler, atau penyakitnya disebabkan striktur pada anastomosis enterikbilier, atau apabila usaha melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik perkutaneus dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan, operasi darurat dan dekompresi ductus choledochus dengan T tube mungkin diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi bedah lebih tinggi daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara keseluruhan tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu empedu sebesar 2% dan kematian pada pasien dengan toxic cholangitis adalah sebesar 5%.



8. ASUHAN KEPERAWATAN secara TEORI A. Pengkajian 1) Identitas Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis). 2) Keluhan utama klien mengeluh nyeri perut kanan atas, nyeri tidak menjalar/menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk – tusuk. 3) Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari keadaan-keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis: o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu o Pasca cholecystectomy o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram o Riwayat cholangitis sebelumnya o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier.



4) Riwayat Penyakit Sekarang Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien



mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas; namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi. 5) Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apakah klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia sel sabit. B. PEMERIKSAAN FISIK 1) System pernafasan Inspeksi : Dada tampak simetris, pernapasan dangkal, klien tampak gelisah. Palpasi : Vocal vremitus teraba merata. Perkusi : Sonor. Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan (ronchii, wheezing) 2) System Kardiovaskuler Terdapat takikardi dan diaforesis. 3) Sistem Neurology Tidak terdapat gangguan pada system neurology. 4) System Pencernaan Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas, klien mengeluh mual dan muntah. Auskultasi : peristaltic ( 5 – 12 x/mnt) flatulensi. Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/quadran kanan atas, nyeri tekan epigastrum.



Palpasi : hypertympani. 5) System Eliminasi Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat 6) System integument Terdapat icterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal. 7) System muskuluskeleta Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP. C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ansietas 2. Nyeri 3. Defisit nutrisi 4. Intoleransi aktivitas 5. Resiko infeksi D. INTERVENSI KEPERAWATAN



N o 1.



Diagnosis Defisit nutrisi



Tujuan



Rencana keperawatan Kriteria hasil



Setelah



L.03024 Nafsu makan



dilakukan



1. keinginan makan



tindakan



meningkat



keperawatan 2. asupan makanan selama 7



meningkat



jam sekali di 3. kemampuan menikmati harapkan



makanan meningkat



asupan



4. asupan cairan meningkat



makanan



Intervensi



I.03119 manajemen nutrisi Observasi 1. Identifikasi status nutrisi 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan 3. Identifikasi makanan yang disukai 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient 5. Identifikasi perlunya penggunaan



meningkat



selang nasogastrik 6. Monitor asupan makanan 7. Monitor berat badan 8. Monitor



hasil



pemeriksaan



laboratorium Terapeutik 1. Lakukan



oral



hygiene



sebelum



makan 2. Fasilitasi menetukan pedoman diet 3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai 4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi 5. Berikan makanan tinggi kalori dan protein 6. Berikan suplemen makanan 7. Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral dapat ditoleransi Edukasi 1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu 2. Ajarkan diet yang di programkan Kolaborasi 1. Kolaborasi



pemberian



medikasi



sebelum makan 3. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrient yang dibutuhkan



2.



Nyeri kronis Setelah dilakukan tindakan



L.08066 Tingkat nyeri 1. Keluhan nyeri menurun



keperawatan 2. Meringis menurun 3. Sikap protektif selama 7 jam di



menurun



harapkan



4. Gelisah menurun



nyeri



5. Kesulitan tidur



berkurang



menurun



I.08238 Manajemen nyeri 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2. Identifikasi skala nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 4. Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri 7. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan 8. Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik 1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri 2. kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri 3. fasilitasi istirahat dan tidur 4. pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi 1. jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 2. jelaskan strategi meredakan nyeri 3. anjurkan memonitor nyeri secara mandiri



4. anjurkan menggunakan analgetik secara tepat 5. ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi 1. kolaborasi pemberian analgetik



DAFTAR PUSTAKA Barbara C. Long (1996), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA. Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit Buku Kedokteran EGC, Jakarta CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery, Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment. Mc Graww Hill Companies. FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th Ed. Mc Graww Hill Companies. Marylin E. Doenges (2000), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3, Penerbit Buku Kedoketran EGC, Jakarta. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Edisi 1, Jakarta Selatan Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Edisi 1, Jakarta Selatan Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Edisi 1, Jakarta Selatan