LP Cholangitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN CHOLANGITIS



MALIKUS SALEH NIM : 201620461011108



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2017



A. DEFINISI Kolangitis adalah (radang saluran empedu), peradangan akut pada dinding saluran empedu hampir selalu disebabkan infeksi bakteri pada lumen steril (Debas, T. Haile, 2009). Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu. Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias, yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan "Charcot triad". Charcot mendalilkan bahwa "empedu stagnan" karena obstruksi saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis (Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk, 2011). B. ETIOLOGI Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor. Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit. Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15% pasien dengan



cholecystitis



cholecystectomy



memiliki



memiliki



choledocholithiasis,



choledocholithiasis



kira-kira



yang



tersisa.



1%



pasien



pasca



Sebagian



besar



choledocholithiasis bersifat simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama bertahun-tahun. Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi parsial berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan dengan obstruksi neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah : 1. Kanker pancreas 2. Cholangiocarcinoma 3. Kanker ampulla vateri 4. Tumor porta hepatis atau metastasis Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah : 1. Striktur atau stenosis 2. Manipulasi CBD secara endoskopik 3. Choledochocele 4. Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier) 5. AIDS cholangiopathy 6. Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.



C. PATOFISIOLOGI Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius. Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier. Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung empedu



(cholecystolithiasis)



atau



pada



ductus



choledochus



(choledocholithiasis)



meningkatkan insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%). Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (3087%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%). Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis. Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.



Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun 1980-an batu choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat. D. PATHWAY



E. MANIFESTASI KLINIK Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan yang amat sangat, gatal-gatal dan jaudince. Bisa terjadi serangan nyeri perut bagian atas dan demam karena terjadinya peradangan pada saluran empedu, tetapi sangat jarang. Bisa juga terjadi pembesaran hati, limpa, sirosis, hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang bisa berakibat fatal. Tanda dan gejala kolangitis secara primer atau umumnya meliputi : 1. Sakit perut. 2. Menggigil 3. Diare 4. Kelelahan 5. Demam 6. Gatal 7. Berat badan turun 8. Menguning dari mata dan kulit (kuning) F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000. Lekopeni atau trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita mengalami hiper bilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik. Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah : 1. Foto polos abdomen Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen , foto polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.



2. Ultrasonografi Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai dengan gaya gravitasi.



Gambar. 2 Menunjukkan ultrasonografi dari duktus intrahepatik yang mengalami dilatasi 3. CT-Scan CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90 persen.



Gambar 3. CT scan yang menunjukkan dilatasi duktus biliaris (panah hitam) dan dilatasi duktus pankreatikus (panah putih), dimana keduanya terisi oleh musin.



4. ERCP Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP) dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.



Gambar. 4 Menunjukkan endoscope Cholangiopancreotography (ERCP) dimana menunjukkan duktus biliaris yang berdilatasi pada bagian tengah dan distal (dengan gambaran feeling defect) 5. Skintigrafi Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk fungsi hati dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya. Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat asam iminodiasetik dengan label



99m



Tc.



6. Kolesistografi oral Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil, lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim ke kandung empedu.



7. Kolangiografi Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan pasien dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi dilakukan untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab



obstruksi saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi,



kolangiografi jarang diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen pasien. Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus diberikan sebelum instrumentasi pada semua kasus. G. KOMPLIKASI 1. Abses hati piogenik Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple. 2. Bakteremia, sepsis bakteri gram negatif Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%. 3. Peritonitis sistem bilier Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko tinggi yang sangat fatal. 4. Kerusakan duktus empedu Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.



5. Perdarahan Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk dikontrol. 6. Kolangitis asendens dan infeksi lain Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak adekuat. Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah operasi. Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah :  Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)  Sepsis H. PENATALAKSANAAN Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor. Pemilihan awal perlindungan antibiotika empiris harus mencerminkan bakteriologi yang diduga. Secara historis, kombinasi aminoglikosida dan penicillin telah dianjurkan. Kombinasi ini adalah pilihan yang sangat baik untuk melawan basil gram negatif yang sering ditemukan dan memberikan antivitas sinergistik melawan enterokokus. Penambahan metronidazole atau clindamycin memberikan perlindungan antibakterial terhadap anaerob bakteroides fragilis, jadi melengkapi perlindungan antibiotik. Perlindungan antibiotik jelas diubah jika hasil biakan spesifik dan kepekaan telah tersedia. Satu faktor yang seringkali dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik untuk terapi kolangitis adalah konsentrasi obat yang terdapat dalam empedu. Secara teoritis antibiotik saluran biliaris yang ideal harus merupakan antibiotik yang bukan saja mencakup organisme



yang ditemukan dengan infeksi



saluran biliaris, tetapi juga yang dieksresikan dalam



konsentrasi tinggi ke dalam cairan empedu. 1. Dekompresi biliaris Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu : a) Penanggulangan sfingterotomi endoskopik Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih dahulu. b) Lisis batu Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai dengan penyulit. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum. c) PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage) Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa



T pada saluran empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik. 2. Adapun pembedahan-pembe dahan yang dilakukan a) Kolesistektomi Terbuka Karl Legenbach dari Jerman telah melakukan kolesistektomi elektif yang pertama pada tahun 1882. Lebih dari satu abad kolesistektomi terbuka dijadikan standar untuk metode terapi pembedahan



pada sistem empedu. Kolesistektomi membutuhkan



anestesi umum kemudian dilakukan irisan



pada bagian anterior dinding abdomen



dengan panjang irisan 12 – 20 cm. b) Tekhnik operasi untuk kolesistektomi terbuka Tidak ada aturan yang kaku tentang jenis insisi yang terbaik. Insisi digaris tengah, paramedian kanan, transversal dan insisi subkostal dapat dilakukan, tergantung pada pilihan ahli bedah. Kriteria penting adalah pemaparan yang adekuat untuk diseksi serta eksplorasi. Pilihannya adalah insisi subkostal kanan (Kocher) sebagai salah satu insisi yang paling serba guna dalam diseksi kandung empedu dan saluran empedu.(3,12)



Gambar insisi untuk pembedahan sistem bilier



Terdapat sedikit perbedaan pendapat tentang pengangkatan kandung empedu secara antegrad (diseksi dimulai di fundus) atau retrograd (diseksi dimulai di porta). Jika anatomi porta tidak dikaburkan oleh peradangan yang parah, maka pilihannya adalah memulai diseksi pada porta. Dengan traksi pada kandung empedu menggunakan klem yang dipasang di fundus dan kantung Hartman, peritoneum yang menutupi segitiga Calot diinsisi dan disisihkan dengan diseksi tumpul. Arteri sistikus diidentifikasi, diligasi ganda atau diklem ganda, dan lalu dipotong, meninggalkan puntung sekurangnya 1sampai 2 mm.



Gambar langkah-langkah teknik kolesistektomi



Pemotongan arteri mempermudah identifikasi saluran sistikus. Memperhatikan anomali yang sering terjadi adalah penting pada tahapan ini. Anomali yang cukup sering adalah masuknya saluran sistikus ke saluran hepatik kanan, anomali lain adalah masuknya saluran hepatik asesorius kanan yang cukup besar ke saluran sistikus. Sangat penting bahwa struktur saluran yang dipotong sampai anatomi sistem saluran yang tepat telah diketahui. Persambungan saluran sistikus dengan saluran empedu harus ditunjukkan secara jelas. Jika kandung empedu mengandung batu kecil atau lumpur, saluran sistikus diikat dengan jahitan atau klem tunggal pada tempat keluarnya dari kandung empedu, untuk mencegah batu atau lumpur masuk ke dalam saluran empedu selama diseksi. Menegakkan anatomi pada tahap operasi ini dilakukan dengan kolangiografi operatif. c) Kolangiografi operatif Kolangiografi operatif dilakukan secara rutin karena dua alasan. Pertama, untuk mendapatkan peta anatomik di daerah yang sering mengalami anomali. Kedua yang sama pentingnya adalah untuk menyingkirkan batu saluran empedu yang tidak dicurigai, dengan insidensi setinggi 5 sampai 10 persen. Kolangiografi dilakukan dengan menggunakan salah satu dari sekian banyak kanula kolangiografik yang dapat digunakan (Berci, Lehman, Colangiocath, dll). Pilihannya adalah kolesistektomi terbuka adalah kanula Berci bersudut untuk mempermudah insersi dan fiksasi. Insisi dibuat disaluran sistikus pada titik yang aman setelah persambungan sistikus dan saluran empedu (biasanya sekurangnya 2,0 cm). Insisi harus cukup besar untuk memasukkan kanula atau kateter, yang dapat diinsersikan jika empedu terlihat mengalir dari lumen. Kanula lalu dipertahankan di tempatnya dengan hemoklip medium atau klem khusus. Material kontras untuk kolangiografi adalah hypaque 25 persen. Sistem operasi yang paling disukai untuk



kolangiografi, menggunakan fluorokolangiografi dengan penguatan citra (image intensifier) serta monitor televisi . Ini memungkinkan pengisian saluran empedu secara lambat dan pemaparan multiple sistem saluran saat sedang diisi. d) Laparoskopi Kolesistektomi Kolesistektomi laparoskopi adalah cara yang invasif untuk mengangkat batu empedu dengan menggunakan teknik laparoskopi. Prosedur menjadi populer pada tahun 1988 dan telah berkembang dengan cepat. Indikasi untuk operasi adalah batu empedu, polip simtomatik dan penyulit akibat batu. Kontraindikasinya adalah sepsis abdomen, gangguan pendarahan, kehamilan dan tidak mampu melihat saluran empedu. Teknik ini adalah perawatan yang



singkat dan dapat kembali beraktifitas dengan



normal. Penyulitnya adalah adanya cidera saluran empedu, perdarahan, kebocoran empedu dan cidera akibat trokar.



Gambar 5 Lokasi kanula untuk kolesistektomi laparoskopi.



Gambar 6. Lokasi kanula dan susunan awal untuk kolesistektomi laparoskopi



Gambar 7 . Kolesistektomi Laparoskopik



Keterangan gambar : 1. Tempat trokar 2. Fundus ditahan/dipegang dan cephalad diretraksi untuk mengekspos/mengenai kandung empedu proksimal dan ligamentum hepotoduadenale. Selain itu bagian posterolateral infundibulum di retraksi untuk dapat mengenai segitiga Calot 3. Segi tiga Calot dibuka dan leher kandungan empedu dan bagian duktus sistikus di diseksi. Klip dipindahkan pada hubungan antara duktus sistikus dengan kandungan empedu 4. Pembukaan kecil dibuat didalam duktus sistikus dan kateter kolangiogram di insersi 5. Duktus sistikus dan arteri sistikus dibagi 6. Gambar intraoperatif yang menunjukkan bagian lateral infundibulum kandungan empedu, nampak segitiga Calot yang sudah didiseksi begitu juga dengan arteri sistikus e) Eksplorasi koledokus; laparoskopi eksplorasi duktus empedu Umumnya, batu duktus empedu dideteksi intraoperatif dengan kolangiografi intraoperatif



atau ultrasonografi dan dilakukan dengan cara laparoskopi eksplorasi



koledokus yang merupakan bagian dari tekhnik kolesistetomi laparoskopi. Pasien dengan batu duktus empedu dideteksi sebelum operasi, biasanya dengan klirens endoskopik. Namun, kurang berhasil sehingga batu di duktus harus dilakukan dengan kolesistektomi. Jika batu pada duktus empedu kecil, mungkin dapat dibilas ke dalam duodenum dengan mengalirkan saline melalui kateter kolangiografi setelah sfingter Oddi direlaksasikan dengan glukagon. Jika irigasi (pengaliran) tidak berhasil, dapat dilakukan pemasangan kateter balon melalui duktus sistikus dan turun ke duktus empedu.



Gambar 8 laparoskopi eksplorasi duktus empedu. Laparoskopi eksplorasi koledokus.



Keterangan Gambar : 1. Keranjang transistik dengan menggunakan fluoroskopi a) Keranjang digunakan sebagai tempat batu dan terbuka b) Batu ditempatkan dikeranjang kemudian dipindahkan dari duktus sistikus 2. Koledoskopi transistik dan pemindahan batu a) Keranjang dilewati oleh beberapa saluran pada skopik dan batu dapat dilihat dibawahnya b) Batu entrapped c) Pernyataan dari koledoskopik 3. Koledoktomi dan pemindahan batu a) Insisi kecil dibuat pada duktus empedu b) Duktus empedu dibersihkan batunya dengan koledoskopik c) Pemasangan T. Tube dibagi kiri duktus empedu yang berhubungan dengan dinding abdomen untuk dekompersi empedu



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia missal setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis. b. Keluhan utama pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas nyeri tidak menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk c. Riawayat penyakit : 1) Riwayat penyakit dahulu Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat dari keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis  Batu kandung empedu atau batu saluran empedu  Pasca cholecystectomy  Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram  Riwayat cholangitis sebelumnya  Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki cirri edema bilier ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier 2) Riwayat penyakit sekarang Banyak pasien yang dating dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan, nyeri abdomen tinja yang acholis. 3) Riwayat penyakit keluarga Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi, anemia. d. Pemeriksaan fisik 1) System pernafasan Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah Palpasi : vocal vremitus teraba merata Perkusi : sonor Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)



2) System kardiovaskuler Terdapat takikardi dan diaphoresis 3) System neurologi Tidak terdapat gangguan pada system neurologi 4) Simtem pencernaan Inspeksi : tampak ada distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual muntah Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas nyeri tekan epigastriu 5) System eliminasi Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat 6) System integument Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal 7) System musculoskeletal Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP 2. Diagnose keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi 2. Hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi infeksi bakteri 3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah 4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan sekunder (penurunan hb, leukopenia, penekanan respon inflamasi) 5. ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan respon lokal saraf adanya penekanan pada organ lain akibat inflamasi dan peningkatan kontraksi peristaltik



3. Intervensi Keperawatan Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi



Nyeri akut



Rencana keperawatan NOC



Setelah



dilakukan



NIC



tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, keperawatan diharapkan Gangguan durasi, frekuensi, kualitas dan faktor rasa nyaman (nyeri akut) teratasi presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari dengan kriteria hasil : ketidaknyamanan 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu 3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan penyebab nyeri, mampu 4. Kontrol lingkungan yang dapat menggunakan tehnik mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, nonfarmakologi untuk mengurangi pencahayaan dan kebisingan nyeri mencari bantuan) 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk dengan menggunakan manajemen menentukan intervensi 7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: nyeri napas dala, relaksasi, distraksi, kompres 3. Mampu mengenali nyeri (skala, hangat/ dingin intensitas, frekuensi dan tanda 8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: nyeri) 9. Tingkatkan istirahat 4. Menyatakan rasa nyaman setelah 10. Berikan informasi tentang nyeri seperti nyeri berkurang penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan 5. Tanda vital dalam rentang normal berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur 6. Tidak mengalami gangguan tidur 11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi



Hipertermia



Rencana keperawatan NOC



NIC



Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan hipertermi teratasi dengan kriteria hasil : 1. Suhu tubuh dalam rentang normal 2. Nadi dan RR dalam rentang normal 3. bebas dari tanda-tanda infeksi



1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu 3. Monitor TD, nadi, dan RR 4. Monitor warna dan suhu kulit 5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh 8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas 9. Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan 10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan 11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan Berikan anti piretik jika perlu



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi ketidak



Rencana keperawatan NOC



NIC



Setelah di lakukan tindakan Nutrition Management keperawatan selama..24 jam 1. Kaji adanya alergi makanan seimbangan diharapkan ketidakseimbangan 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk nutrisi kurang nutrisi teratasi dengan Criteria menetukan jumlah kalori dan dari kebutuhan Hasil : nutrisi yang di butuhkan pasien 1. Adanya peningkatan berat badan 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan tubuh sesuai dengan tujuan protein vitamin C 2. Berat badan ideal sesuai dengan 4. Berikan substansi gula tinggi badan 5. Yakinkan diet yang di makan 3. Mampu mengidentifikasikan mengandung tinggi serat untuk kebutuhan nutrisi mencegah konstipasi 4. Tidak ada tanda-tanda 6. Berikan makanan yang terpilih ( sudah malnutrisi di konsultasikan dengan ahli gizi ) 5. Menunjukan peningkatan fungsi 7. Ajarkan pasien bagaimana membuat pengecapan dan menelan catatan makanan harian 6. Tidak terjadi penurunan berat 8. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan badan yang berarti kalori 9. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 10. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang di butuhkan Nutrition Monitoring : 1. BB pasien dalam batas normal 2. Monitor adanya penurunan berat badan 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa di lakukan 4. Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan 5. Monitor lingkungan selam makan 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan 7. Monitor turgor kulit monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 8. Monitor mual dan muntah 9. Monitor pucat, kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtiva 10. Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi



Resiko infeksi



Rencana keperawatan NOC



tinggi Setelah



dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil : 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal 6. Tanda-tand vital dalam batas normal



NIC



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.



Pertahankan teknik aseptif Batasi pengunjung bila perlu Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing Tingkatkan intake nutrisi Berikan terapi antibiotik Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal Pertahankan teknik isolasi Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase Monitor adanya luka Dorong masukan cairan Dorong istirahat Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam



Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi



ketidakefektifan pola nafas



Rencana keperawatan NOC



NIC



1. pantau adanya pucat dan sianosis 2. pantau efek obat pada status pernapasan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. tentukan lokasi dan luasnya krepitasi diharapkan ketidakefektifan pola nafas disangkar iga teratasi dengan kriteria hasil : 4. kaji kebutuhan insersi jalan napas 1. Tidak ada suara tambahan 5. observasi dan dokumentasikan ekspansi dada bilateral pada pasien yang terpasang 2. Tidak ada distres pernfasan ventilator 3. Bebas dari adanya dipsnea 6. pemantauan pernapasan: 4. Tidak ada nafas cuping hidung 7. pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan 5. Jalan nafas paten tanpa adanya 8. perhatikan pergerakan dada, amati sumbatan kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu, Tidak ada tanda-tanda tak hipnea serta retraksi otot supraklavikuler dan interkosta 9. pentau pernapasan yang berbunyi, seperti mendengkur 10. pantau pola pernapasan 11. perhatikan lokasi trakea 12. auskultasi suara napas 13. pantau peningkatan kegelisahan 14. catat perubahan pada SaO2, SvO2, CO2, akhir tidal dan nila GDA jika perlu



DAFTAR PUSTAKA Debas, T. Haile. (2009). Gastrointestinal Surgery, Pathophysiology and Management, p : 208-203 Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 (2010), p : 1-10 Luhulima, JW, dr, Prof. (2011). Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar, hal : 28-29 NANDA NOC NIC Internasional. (2015-2017). Definisi & Klasifikasi Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta : EGC Piutz R, Pabst R, Atlas Anatomi Manusia, Edisi 20, EGC, Jakarta, (2008), hal : 144-145 Kaminstein, David, MD. (2014). Cholangitis, in : http://www.healthatoz.com. p : 1-8 Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com (2009), p : 1-11 Northon A, Jeffery, Balinger, Randal R, Chang EA, et al, Surgery Basic Science and Clinical Evidence, Part I, New York, Sprinset Comp, (2012), p : 568-574 Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery, Eight edition, New York ; McGraw-Hill, (2011), p : 1203-1213