LP DEMAM TIFOID Purnadi Nakalelu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS DEMAM TIFOID RSUD Dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA



Disusun Oleh: Nama



: Purnadi Nakalelu



Nim



: 2018.C.10a.0945



YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN T.A 2020/2021



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan



oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat. Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary” (Soedarmo, et al., 2015). Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat. Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid mary” Menurut data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta 2 jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Menurut WHO angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000 Demam tifoid di negara maju terjadi mencapai 5.700 kasus setiap tahunnya, sedangkan di negara berkembang demam tifoid mempengaruhi sekitar 21,5 juta orang per tahun (CDC, 2013 dalam Batubuaya, 2017). Secara global diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000 menyebabkan kematian. Demam tifoid menjadi penyebab utama terjadinya mortalitas dan morbiditas di



negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2016 dalam Batubuaya, 2017). Di Indonesia Salmonella typhi merupakan isolat Salmonella yang sering menginfeksi dengan insiden dapat mencapai 500 per 100.000 (0,5 %) dan angka mortalitas tinggi (Bhutta, 2011). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 demam tifoid atau paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang meninggal 274 orang dengan Case fatality rate sebesar 0,67% (Depkes RI, 2011). Menurut data dari jurnal ekologi kesehatan tahun 2010, prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3%-3%). Prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar 1,5% yang artinya setiap 100.000 penduduk terdapat kasus tifoid 1.500 dengan kisaran nilai (0,4%- 2,6%). Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi demam thypoid diatas prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (2,96%), Bengkulu (1,60%), Jawa Barat (2,14%), Jawa Tengah (1,61%), Banten (2,24%), NTB (1,93%), NTT (2,33%), Kalimantan Selatan (1,95%), Kalimantan Timur (1,80%), Sulawesi Selatan (1,80%), Sulawesi Tengah (1,65%), Gorontalo (2,25%), Papua Barat (2,39%), dan Papua (2,11%). Prevalensi demam thypoid banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah (5-24 tahun) yaitu 1,9%, dan tertendah pada bayi yaitu 0,8% (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013). Demam tifoid sering terjadi yaitu akibat faktor kebersihan. Seperti halnya ketika makan di luar apalagi di tempat-tempat umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran mukosa epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk ke dalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki peredaran darah sehingga terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis, lalu bakteri akan masuk ke organorgan terutama hati dan sumsum tulang yang dilanjutkan dengan pelepasan bakteri



dan endotoksin ke peredaran darah sehingga menyebabkan bakterimiakedua. Bakteri yang berada di hati akan masuk kembali ke dalam usus merangsang pelepasan sitokin proinflamasi yang menginduksi reaksi inflamasi. Respon inflamasi akut menyebabkan diare dan dapat menyebabkan ulserasi serta penghancuran mukosa. Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses (Bula-Rudas, et al., 2015) Penanganan yang dilakukan untuk demam tifoid adalah meningkatkan asupan cairan pada tubuh pastikan cairan terpenuhi paling tidak 8-10 gelas air putih, lalu biarkan diri beristirahat sepenuhnya saat menderita demam tifoid,



dan lakukan



PHBS, dan usahakan mengonsumsi makanan-makana bersih. 1.2



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang,



penulis



merumuskan



suatu masalah yaitu



bagaimana penatalaksanaan Asuhan Keperawatan pada pasien Demam Tifoid dengan system pencernaan RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.3



Tujuan Penulisan



1.3.1 Tujuan Umum Agar penulis mampu berpikir secara tepat dan ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Demam Tifoid dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan secara benar, tepat dan sesuai dengan standard keperawatan secara professional.



1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep penyakit Demam Tifoid 1.3.2.2 Mahasisiwa mampu menjelaskan konsep penyakit pada klien Demam Tifoid 1.3.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan manajemen asuhan keperawatan pada pasien demam tifoid 1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa medis demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan diagnosa pada klien dengan diagnosa medisdemam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya.



1.3.2.6 Mahasiswa dapat menentukan intervensi pada klien dengan diagnosa medis dimam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.3.2.7 Mahasiswa dapat melakukan implementasi pada klien dengan diagnosa medis demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.3.2.8 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada klien dengan diagnosa medis demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.3.2.9 Mahasiswa mampu membuat dokumentasi pada klien dengan diagnosa medis demam tifoid RSUD dr.Doris Sylvanus palangkaraya. 1.4



Manfaat Penulisan



1.4.1 Untuk Mahasiswa Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid 1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga



Klien dan keluarga mampu memahami mengenai demam tiofid sehingga keluarga dan klien mampu mengetahui betapa pentingnya ini bagi bereka dan mereka mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka. 1.4.3 Untuk Institusi (Pendidikan dan Rumah Sakit)



Institusi mampu mengembangkan dan memperbaiki laporan mengenai demam tifoid sehingga mampu mengembangkan ilmu untuk dibagi kepada institusi/ mahasiswa pada institusi tersebut sehingga dapat membuat institus semakin berkembang menjadi lebih baik dan lebih bijak. 1.4.4 Untuk IPTEK



IPTEK mampu mengembangkan lebih dalam lagi mengenai pengetahua di bidang kesehatan khususnya pada asuhan keperawatan pada pasien demam tifoid



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Konsep Dasar



2.1.1 Defenisi Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch (Soedarmo, et al., 2015). Demam Typhoid atau Typhoid Fever ialah salah satu sindrom sistemik terutama disebabkan oleh salmonella typhi . Demam thphoid merupakan Jenis terbanyak dari salmonellosis. Jenis lain dari demam entrik adalah demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri ( semula S. paratyhi B ), dan S. hirschfeldii ( semula S. paratyphi C). Demam Typhoid memperlihatkan gajala lebih berat dibandingkan demam enteric yang lain (Widagdo, 2011). 2.1.2 Anatomi Fisiologi Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut, faring, esofagus, lambung (gaster), usus halus (terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum), usus besar (yang terdiri atas caecum, colon ascenden, colon transversum, colon descendens, colon sigmoid), rectum, hingga anus. Pada orang dewasa, panjang saluran pencernaan dari mulut hingga anus sekitar 9 meter.



1. Rongga Mulut Makanan masuk ke dalam tubuh pertama kali melalui rongga mulut dan dalam dicerna secara mekanik oleh gigi yang tersusun atas strukturSelain secara mekanik, adanya ludah (saliva) yang mengandung enzim amilase yang mengubah 8karbohidrat makanan menjadi maltosa dan dextrosa; dan enzim lipase yang memecah lemak menjadi bentuk yang lebih sederhana. seperti tulang (dentin) yang dilapisi jaringan yang paling kuat pada tubuh, yaitu enamel.



2. Faring Faring tidak hanya merupakan bagian dari saluran pencernaan saja, melainkan juga merupakan bagian dari sistem respirasi. Faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Orofaring dan laringofaring terlibat dalam proses pencernaan. Untuk mencegah masuknya makanan ke dalam saluran nafas pada laringofaring terdapat suatu kartilago elastis, yaitu epiglotis yang akan menutup saat menelan sehingga rongga laring akan menutup dan makanan masuk ke dalam esofagus.



3. Esofagus Esofagus merupakan suatu tabung muskular yang akan dilalui makanan yang masuk dari faring dan memiliki sfingter pada bagian atas dan bawah. Sfingter atas mencegah kembalinya makanan ke faring, sedangkan sfingter sebelah bawah mencegah makanan yang sudah sampai ke gaster kembali ke dalam esofagus. Makanan masuk melalui esofagus menuju gaster dibantu dengan adanya gerakan peristaltik dan gaya berat dari makanan itu sendiri, serta adanya relaksasi otot sfingter bawah esophagus.



4. Lambung Setelah makanan masuk ke gaster terjadi pencernaan secara mekanik oleh gerak otot-otot dinding gaster dan secara kimiawi oleh sekret yang dikeluarkan oleh mukosa gaster Mukosa gaster menghasilkan: a) Asam hidroklorik yang berfungsi sebagai anti kuman b) Faktor intrinsik (oleh sel parietal pada fundus gaster) yang berperan dalam absorpsi vitamin B12 c) Pepsinogen yang berfungsi memecah protein d) Lipase gastrik (oleh sel chief pada fundus gaster) berfungsi memecah lemak, meskipun tidak seefektif lipase pancreas. e) Hormon gastrin (oleh sel G) yang berfungsi memacu kerja enzim pencernaan f) Histamin



(oleh



cholecystokinin,



sel dan



enterokromafin), somatostatin



(yang



endorfin,



serotonin,



dihasilkan



oleh



sel



enteroendokrin gaster) g) Mukus (oleh sel goblet) bersifat protektif terhadap mukosa lambung Absorbsi juga terjadi pada lambung walau hanya sedikit, bahan yang diabsorbsi pada lambung bersifat sangat larut lemak, seperti alkohol dan beberapa jenis obat seperti aspirin dalam jumlah kecil.20 Setelah makanan masuk ke dalam lambung, 1-2 jam kemudian campuran makanan dengan



sekret lambung berbentuk cairan tebal semi-liquid yang disebut dengan chymus dan masuk ke usus halus



5. Usus Halus Usus halus terdiri dari 3 segmen, yaitu duodenum, jejunum, dan ileum, berperan sangat penting pada proses pencernaan dan penyerapan. Terdapat muara dari ductus hepatopancreaticus yang mengalirkan cairan empedu dan sekret dan enzim pencernaan yang dihasilkan pancreas untuk membantu proses pencernaan makanan di dalam duodenum. Chymus yang bersifat asam dibuat menjadi bersifat lebih alkali dengan penambahan empedu dari kantung empedu (vesica felea) dan sekresi bikarbonat dari pancreas dan kelenjar Brunner pada duodenum sehingga melindungi dinding duodenum dan membuat enzim pencernaan dapat bekerja dengan baik. Proses kimiawi yang terjadi di dalam usus halus, antara lain :



a) Pemecahan



protein menjadi peptida dan asam amino oleh tripsin



aminopeptidase dan dipeptidase.



b)Lemak akan diemulsi oleh empedu kemudian dipecah menjadi asam lemak dan monogliserida oleh lipase pancreas.



c) Amilase



pancreas akan memecah karbohidrat kompleks (amilum)



menjadi oligosakarida, kemudian akan dipecah oleh dextrinase, glukoamilase, maltase, sucrase, dan laktase. Laktase tidak terdapat pada hampir semua orang dewasa, sehingga laktosa tidak dicerna pada usus halus. Selulosa juga tidak dicerna oleh usus halus karena selulosa tersusun atas beta glukosa dan manusia tidak memiliki enzim untuk memecah ikatan beta glukosa. Mukosa usus halus tersusun atas epitel kolumner dengan plica circulares dan villi yang berperan besar dalam proses absorpsi makanan secara difusi atau transport aktif. Absorpsi pada usus halus paling banyak



dilakukan oleh jejunum, kecuali untuk zat besi (diabsorpsi pada duodenum),vitamin B12 dan garam empedu (diabsorbsi pada ileum terminal), air dan lemak (diabsorpsi secara difusi pasif di sepanjang usus halus), sodium bikarbonat (diabsorpsi secara transport aktif bersama glukosa dan kotransport asam amino), dan fruktosa (diabsorbsi secara difusi terfasilitasi).



6. Usus Besar Usus besar dimulai dari caecum, colon ascenden, colon transversum, colon descenden, hingga colon sigmoid. Setelah sekitar 90% bagian makanan diabsorpsi pada usus halus, chymus yang tersisa akan masuk ke dalam usus besar. Elektrolit seperti sodium, magnesium, klorida yang tidak diserap usus halus menjadi satu dalam makanan yang tidak dicerna, seperti serat. Fungsi utama colon adalah mengabsorpsi air dan elektrolit dari chymus dan menjadi tempat penimbunan bahan feces sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal colon berhubungan dengan fungsi absorpsi, sedangkan setengah bagian distal berhubungan dengan fungsi penyimpanan. 2.1.3 Etiologi Demam tifoid merupakan Salmonella typhi, Salmonella yang tergolong dalam family Enterobacteriaceae. Salmonela besrsifat bergerak, berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan gram suhu (-). Tahan terhadap berbagai bahan kimia, beberapa hari atau minggu, bahan limbah, bahan farmasi , bahan makanna kering, serta tinja. Salmonella mati pada suhu 54.4°C dalam 1 jam, atau 60°C dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O (Somatic) yaitu komponen . Dinding sel dari lipopolisakarida yang satbil pada panas, dan antigen H (flagellum) merupakan protein yang labil terhadap panas. Pada Salmonella typhi, terdapat juga pada Salmonella dublin, dan Salmonella hirschfeldii terdapat antigen Vi yaitu polisakarida kapsul (Widagdo, 2011).



Demam tifoid (tifus abdominalis) atau lebih populer dengan nama tifus di kalangan masyarakat adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Salmonela typhi yang menyerang saluran pencernaan. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang tercemar, baik saat memasak ataupun melalui tangan dan alat masak yang kurang bersih. Selanjutnya, kuman itu diserap oleh usus halus yang masuk bersama makanan, lantas menyebar ke semua organ 25 tubuh, terutama hati dan limpa, yang berakibat terjadinya pembengkakan dan nyeri. Setalah berada di dalam usus, kuman tersebut terus menyebar ke dalam peredaran darah dan kelenjar limfe, terutama usus halus. Dalam dinding usus inilah, kuman itu membuat luka atau tukak berbentuk lonjong. Tukak tersebut bisa menimbulkan pendarahan atau robekan yang mengakibatkan penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Jika kondisinya sangat parah, maka harus dilakukan operasi untuk mengobatinya. Bahkan, tidak sedikit yang berakibat fatal hingga berujung kematian. Selain itu, kuman Salmonela Typhi yang masuk ke dalam tubuh juga mengeluarkan toksin (racun) yang dapat menimbulkan gejala demam pada anak. Itulah sebabnya, penyakit ini disebut juga demam tifoid (Fida & Maya, 2012). 2.1.4 Klasifikasi Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27 mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus dari pada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih



mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus. Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat (Putra et al., 2012). 2.1.5 Patofisiologi Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Bakteri melekat pada mikrovili di usus, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. 26 Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder



menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ system retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier (Linson et al., 2012).



Web Of Caution (WOC)



Kuman Sallmonella Typhi



Food (makanan dan minuman)



Feses



Urine



Fomitus (muntahan)



Fingers (jari)



Dibawa oleh lalat Masuk kedalam saluran cerna melalui mulut Demam Typhoid



B1



B2



B3



B4



Kuman berlebih dibronkus



Infeksi saluran nafas bawah



Kuman masuk kedalam usus



Diare



Proses peradangan Akumulasi secret dibronkus Bersihan jalan nafas tidak efektif



Dilatasi pembulu darah Eksudat Masuk alveoli Gangguan pertukaran gas Gangguan pertukaran gas



Peradangan



Kuman berkembang biak di usus



Peningkatan difusi gas



Imunitas humoral (IgA) kurang baik



Hipertensi



Masuk kesaluran limfatik Diileum terminalis membentuk limpoid plaque payeri



Kehilangan banyak air dan elektrolit



Kuman masuk kedalam usus



System cerna terganggu



Menghasilkan toksin



Anoreksia mual muntah



Proses inflamasi local pada usus halus



Anoreksia nutrisi adekuat



Peningkatan metabolisme Kehilangan cairan tubuh dehidrasi Respon patologis Resiko ketidak Sekresi cairan dan seimbangan cairan mucus Isi usus berlebihan



Sebagian masuk kelamina propia



B6



B5



Penurunan tonus otot Kelemahan fisik Intoleransi aktifitas



Masuk ke aliran limfe Menyerang organ RES Hati Hepatomegali Nyeri tekan abdomen kanan atas Nyeri Akut



Makanan dengan cepat terdorong ke anus DIARE



2.1.6 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis demam tifoid pada anak sering kali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini 27 mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat (Putra et al., 2012).



2.1.7 Komplikasi Komplikasi Interestinal 1) Pendarahan Interestinal Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk luka lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan terjadi pendarahan. Selanjutnya jika luka menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena luka, pendarahan juga dapat terjadi karena koagulasi darah (Widodo et al, 2014) 2) Perforasi usus Perforasi usus biasanya terjadi pada minggu ketiga, namun juga dapat timbul pada minggu pertama. Gejala yang terjadi adalah nyeri perut hebat di kuadran kanan bawah kemudian menyebar ke seluruh perut. Tanda-tanda lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan dapat terjadi syok leukositosis dengan pergeseran ke kiri dengan menyokong adanya perforasi (Widodo et al, 2014). Komplikasi Ekstra-Intestinal 1) Hepatitis tifosa Pembengkakan hati dari ringan sampe sedang.. Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang (Widodo et al, 2014). 2) Pakreasitis tifosa Pankreasitis dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun farmakologik. Penatalaksanaan pakreasitis sama seperti pankreasitis pada umumnya, antibiotic yang diberikan adalah antibiotic intravena, antibiotic yang diberikan adalah seftriaxon dan kuinolon (Widodo et al, 2014).



3) Miokarditis Pada pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kohesif, aritma, syok kardiogenik dan perubahan elektrokardiograf. Komplikasi ini disebabkan kerusakan mikrokardium oleh kuman S.typhi (Widodo et al, 2014). 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik terus dilakukan hingga saat ini (Sudoyo, 2010). Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologis, pemeriksaan kuman secara molekuler (Sudoyo, 2010). Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif .Pemeriksaan kultur mempunyai spesifisitas yang tinggi tetapi sensitivitasnya rendah dan kelemahan dari pemeriksaan kultur berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari), peralatan yang tidak canggih untuk identifikasi bakteri, kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan juga mempengaruhi proses pemeriksaan (Wain, 2015). Sensitivitas uji widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya penyakit. Keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain dari uji widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis penyakit, dan dalam jumlah yangcukup besar (15% atau lebih) tidak terjadi kenaikan titer O



bermakna. Tes yang ideal untuk suatu pemeriksaan laboratorium seharusnya bersifat sensitif, spesifik dan cepat diketahui hasilnya (Bakr et al., 2011). 2.1.9 Penatalaksanaan 1) Istirahat dan Perawatan Tirah baring dan perawatan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring adalah perawatan ditempat, termasuk makan, minum, mandi, buang air besar, dan buang air kecil akan membantu proses penyembuhan. Dalam perawatan perlu dijaga kebersihan perlengkapan yang dipakai (Widodo et al 2014). 2) Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid. Berdasarkan tingkat kesembuhan pasien, awalnya pasien diberi makan bubur saring, kemudian bubur kasar, dan ditingkatkan menjadi nasi. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi dan pendaraham usus (Widodo et al 2014) 2.2



Manajemen Asuhan Keperawatan



2.2.1 Pengkajian Keperawatan 1. B1 (Breathing) Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan sangat mendukung untuk mengetahui masalah pada klien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Pemeriksaan ini meliputi :   



Inspeksi bentuk dada Untuk melihat seberapa berat gangguan sistem kardiovaskuler. Bentuk dada yang biasa ditemukan adalah : Bentuk dada thoraks phfisis (panjang dan gepeng) Bentuk dada thoraks en bateau (thoraks dada burung) Bentuk dada thoraks emsisematous (dada berbentuk seperti tong) Bentuk dada thoraks pektus ekskavatus (dada cekung ke dalam)



Gerakan pernapasan : kaji kesimetrisan gerakan pernapasan klien 2. B2 (Blood) Irama jantung : Frekuensi ..x/m, reguler atau irreguler Distensi Vena Jugularis Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat dari penggunaan ventilator Bunyi jantung : Dihasilkan oleh aktifitas katup jantung S1 : Terdengar saat kontraksi jantung / sistol ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup mitral dan trikuspid. S2 : Terdengar saat akhir kotraksi ventrikel. Terjadi akibat penutupan katup pulmonal dan katup aorta. Dikenal dengan ventrikuler gallop, manandakan adanya dilatasi ventrikel. Murmur : terdengar akibat adanya arus turbulansi darah. Biasanya terdengar pada pasien gangguan katup atau CHF. Pengisian kapiler : normal kurang dari 3 detik Nadi perifer : ada / tidak dan kualitasnya harus diperiksa. Aritmia dapat terjadi akibat adanya hipoksia miokardial. PMI (Point of Maximal Impuls): Diameter normal 2 cm, pada interkostal ke lima kiri pada garis midklavikula. Pergeseran lokasi menunjukan adanya pembesaran ventrikel pasien hipoksemia kronis. Edema : Dikaji lokasi dan derajatnya. 3. B3 (Brain) Penurunan tingkat kesadaran pada pasien dengan respirator dapat terjadi akibat penurunan PCO2 yang menyebabkan vasokontriksi cerebral. Akibatnya akan menurunkan sirkulasi cerebral.  Untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala pengkuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS).  GCS memungkinkan untuk menilai secara obyektif respon pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon motorik, dan respon verbal. Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen tersebut.



Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi : Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya). Perubahan tingkat kesadaran dapat diakibatkan dari berbagai faktor, termasuk perubahan dalam lingkungan kimia otak seperti keracunan, kekurangan oksigen karena berkurangnya aliran darah ke otak, dan tekanan berlebihan di dalam rongga tulang kepala. 4. B4 (Bladder) Kateter urin Urine : warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal. 5. B5 (Bowel) Rongga mulut Penilaian pada mulut adalah ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidarsi.



a. Bising usus Ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan observasi bising usus selama ± 2 menit. Penurunan motilitas usus dapat terjadi akibat tertelannya udara yang berasal dari sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal. b. Distensi abdomen Dapat disebabkan oleh penumpukan cairan. Asites dapat diketahui dengan memeriksa adanya gelombang air pada abdomen. Distensi abdomen dapat juga terjadi akibat perdarahan yang disebabkan karena penggunaan IPPV. Penyebab lain perdarahan saluran cerna pada pasien dengan respirator adalah stres, hipersekresi gaster, penggunaan steroid yang berlebihan, kurangnya terapi antasid, dan kurangnya pemasukan makanan. c. Nyeri d. Dapat menunjukan adanya perdarahan gastriintestinal e. Pengeluaran dari NGT : jumlah dan warnanya f. Mual dan muntah 6. B6 (Bone) Warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruan menunjukan adanya sianosis (ujung kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir dan membran mukosa). Pucat pada wajah dan membran mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar haemoglobin atau shok. Pucat, sianosis pada pasien yang menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada pasien yang menggunakan respirator dapat terjadi akibatpenurunan aliran darah portal akibat dari penggunaan FRC dalam jangka waktu lama. Pada pasien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukan adanya demam,



infeksi. Pada pasien yang menggunkan ventilator, infeksi dapat terjadi akibat gangguan pembersihan jalan napas dan suktion yang tidak steril. a. Integritas kulit b. Perlu dikaji adanya lesi, dan decubitus 2.2.2 Diagnosis Keperawatan 1. Resiko ketidak seimbangan cairan (D.0034) 2. Diare (D.0020) 3. Intoleransi Aktifitas (D.0056) 2.2.3 Intervensi Keperawatan 1. Resiko ketidak seimbangan cairan berhubungan dengan dehidras Tujuan: Memenuhi kebutuhan cairan Kriteria hasil :dehidrasi menurun, asupan cairan meningkat,berat badan cukup membaik. Rencana tindakan : 1) Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah) Rasional: mengembalikan pemenuhan cairan pada tubuh klien 2) Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam Rasional : mengontrol keseimbangan cairan yang keluar dan masuk 3) Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan Rasional: memenuhi asupan cairan klien 4) Berikan cairan intravena, jika perlu Rasional : membantu memenuhi cairan lewat intravena 2.2.4 Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah tatus kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Perawat



melakukan tindakan implementasi terapeutik terhadap klien yang bermasalah kesejajar tubuh dan mobilisasi yang akatual maupaun beresiko. 2.2.5 Evaluasi Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya sudah berhasi dicapai. Perawat melakuakn evaluasi pada pasien setelah dilakukan tindakan