LP Kista Bartholini [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Konsep Penyakit 1. Pengertian Kista Bartholoni adalah penyumbatan pada kelenjar bartholini yang ada di vagina sehingga menyebabkan cairan lubrikasi pada vagina tidak keluar (Baradero, 2016). Kista Bartholini adalah tumor kistik jinak yang ditimbulkan akibat saluran kelenjar bartholini yang mengalami sumbatan yang biasanya disebabkan oleh infeksi kuman Neisseria gonorrhoeae (Widjanarko, 2017). Kista Bartholini adalah penyumbatan pada kelenjar Bartholini yang ada di vagian sehingga menyebabkan cairan lubrikasi pada vagina tidak keluar. Penyumbatan pada kelenjar bartholini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (Baradero, 2016). 2. Etiologi Dinata (2011) dalam Yulviana (2018) menyebutkan infeksi pada kelenjar ini dapat terjadi akibat adanya infeksi microorganism seperti: a. Virus : Herpes, Klamidia trakomatis b. Jamur: Kandida albikan, asinomises c. Bakteri : Neisseria gonorrheae, stafilokokus dan E.coli Miikroorganisme tersebut menyumbat saluran lubrikasi pada vagina yang mengakibatkan tidak keluarnya cairan lubrikasi yang mestinya keluar (perempuan yang belum 40 tahun). Cairan yang telah diproduksi namun tidak dapat dikeluarkan atau terperangkap, akan menumpuk pada kelenjar bartolini dan mudah berubah menjadi serupa dengan nanah. Penumpukan cairan ini, akan membentuk benjolan yang semakin membesar. Kista bartholini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar bartholini tersumbat. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista 3. Tanda dan Gejala Pada saat kelenjar bartholini terjadi peradangan makan akan membengkak, merah dan nyeri tekan. Kelenjar bartholini membengkak dan terasa nyeri bila penderita berjalan dan sukar duduk (Djuanda, 2017). Kista bartholini tidak selalu menyebablan keluhan akan tetapi kadang dirasakan sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Bila kista bartholini berukuran besar dapat menyebabkan



rasa kurang nyaman saat berjalan dan duduk. Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa benjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva ( Amiruddin, 2014). Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkembang menjadi abses bartholini dengan gejala klinik berupa (Amiruddin, 2014) : a. Nyeri saat berjalan, duduk, beraktivitas fisik atau berhubungan seksual b. Umumnya tidak disertai demam kecuali jika terinfeksi dengan organisme yang ditularkan melalui hubungan seksual. c. Pembengkakakn pada vulva selama 2-4 hari d. Biasanta ada secret di vagina e. Dapat terjadi rupture spontan Tanda dan gejala yang dapat dilihat pada penderita kista bartholini adalah: a. Pada vulva : perubahan warna kulit, membengkak, timbunan nanah dalam kelenjar, nyeri tekan b. Pada kelenjar Bartholin: membengkak, terasa nyeri sekalu bila penderita berjalan dan duduk, juga dapat disertai demam kebanyakan wanita penderita kista Bartholin, dating kerumah sakit dengan keluhan keputihan dan gatal, rasa sakit saat berhubungan dengan pasangannya, rasa sakit saat buang air kecil, atau ada benjolan di sekitar alat kelamin dan yang terparah adalah terdapat abses pada daerah kelamin. Pada pemeriksaan fisik ditemukan caira mucoid berbau dan bercampur dengan darah. 4. Komplikasi a. Komplikasi yang paling umum dari abses bartholini adalah kekambuhan b. Pada bebrapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan drainase abses c. Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati (Yulviana, 2018) 5. Patofisiologi Patofisiologi kista bartholini disebabkan oleh saluran keluar dari kelenjar bartholin tersumbat, sumbatan ini diawali karena proses infeksi pada kelenjar bartholin yang mengakibatkan peradangan saluran kelenjar Bartholin, bahkan bisa terjadi perlengketan (Heller, 2014).



Akibat saluran Bartholin yang tersumbat, maka cairan yang dhasilkan oleh kelenjar Bartholin menjadi terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Karena kelenjar terus menerus menghasilkan cairan, maka lama kelamaan kista semakin membesar dan tekanan di dalamnya semakin meningkat. Dinding kista akan mengalami peregangan dan mengakibatkan penekanan pada jarigan saraf sekitar, sehingga memicu mediator inflamasi. Akibat peregangan pada dinding kista ini juga, pembuluh darah pada dinding kista akan terjepit dan mengakibatkan bagian yang lebih dalam mengalami penurunan perfusi darah sehingga dapat terjadi nekrosis (Vaniarty, 2017).



6. Pathway Infeksi alat kelamin wanita bagian bawah dan atas oleh virus, jamur, protozoa, dan bakteri



Faktor pencetus: Personal hygine yang buruk



Menginfeksi daerah vulva Gangguan Integritas Kulit /Jaringan Kuman menginfeksi vestibula disekitar ductus drainase Cairan pelumas tetap diproduksi



Menghambat lubrikasi ke labia mayora dan minora Penumpukan sekret pada kelenjar bartolini



Kerusakan jaringan + proses inflamasi



Penurunan suplay darah ke jaringan sekitar



Vasokontrikso perifer



Peningkatan set point temperatur



Hipertermia



Pembesaran kelenjar bartholini Tanda-tanda infeksi:



bartolinitis



- Rubor (Kemerahan) - Kalor (Hangat) - Dolor (nyeri) - Tumor (bengkak) - Fungsiolesa (berkurangnya fungsi)



Defisit perawatan diri



Disfungsi seksual Pelepasan bradikinin, serotonin, dan histamin Pemeriksaan Kultur jaringan



Perangsangan reseptor nyeri Proses peradangan/infeksi



Defisit pengetahuan



Ansietas



Keterbatasan gerak



Nyeri Akut



7. Penatalaksanaan Farmakologis dan Non Farmakologis Penatalaksanaan kista Bartholin tergantung dari manifestasi klinis, diperlukan hanya jika lesi menjadi simtomatik atau terinfeksi. Tujuan penatalaksanaan kista Bartholin adalah memelihara dan mengembalikan fungsi kelenjar Bartholin. Pada kista terinfeksi atau abses Bartholin, pemberian antibiotic jangan ditunda menunggu hasil kultur ( Mayeaux, 2013). a. Penatalaksanaan Farmakologis Medikasi diberikan tergantung dari manifestasi klinis, dapat diberikan antipiretik atau anti nyeri bila ada keluhan. Pengobatan antibiotic diberikan untuk abses Bartholin karena infeksi sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Antibiotic mungkin tidak diperlukan untuk kista yang tidak disertai gejala. Pmeberian antibiotic perlu diperhatikan terutama untuk wanita yang memiliki risiko tinggi seperti rekurens, kehamilan, infeksi selulitis dan gonore atau infeksi klamidia yang menyebar luas. Penggunaan antibiotic sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui dari hasil kultur swab (Mayeaux, 2014). 1) Neisseria Gonorheae Untuk mencegah resistensi antibiotic pada kasus gonore, maka diberikan pengobatan antibiotic kombinasi, yaitu: a) Ceftriaxone 250 mg, IM, dosis tunggal dan azithromycin 1 gm PO, dosis tunggal (pilihan utama) b) Cefixime 400 mg, PO, dosis tunggal dan Doxycycline 2 x 100 mg, PO, 7 hari c) Cefixime 400 mg, PO, dosis tunggal dan kanamisin 2 g, IM, dosis tunggal 2) Chlamydia Trachomatis Pengobatan infeksi klamidia adalah pemberian antibiotic, diantaranya: a) Azithromycin 1 gram, PO, dosis tunggal (pilihan utama) b) Doxycycline 2 x 100 mg, PO, selama 7 hari (pilihan utama) c) Erythromycin 4 x 500 mg, PO, selama 7 hari d) Ofloxacin 2 x 400 mg, PO, selama 7 hari e) Tetracycline 4 x 500 mg, PO, selama 7 hari 3) Escherichia Coli Diberikan terapi antibiotic dosis tunggal, diantaranya: a) Ciprofloxacin 500 mg, PO, dosis tunggal



b) Ofloxacin 400 mg, PO, dosis tunggal c) Cefixime 400 mg, PO, dosis tunggal (Mir RA, 2019) 4) Staphylococcus dan Streptococcus Diberikan terapi antibiotic diantaranya: a) Penisilin G prokain injeksi IM 1,2 juta IU, dosis tunggal b) Ampisilin 4 x 500 mg PO, selama 7 hari c) Amoksisilin 3 x 500 mg PO, selama 7 hari (Foster TJ, 2017) b. Penatalaksanaan Non Farmakologis Beberapa prosedur yang dapat digunakan: 1) Insisi dan Drainase Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah dilakukan serta memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur ini harus diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses. Ada studi yang melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada prosedur ini 2) Kateter Word catheter merupakan sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada ujung distalnya, biasanya digunakan untuk mengobati kista dan abses bartholini 3) Marsupilasis Alternatif pengobatan selain penempatan word catheter adalah marsupialisasi dari kista Bartholin. Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda-tanda abses akut. 4) Eksisi (bartholinectomy) Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif. Eksisi kista Bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka sebaikanya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum. Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk linear yang memanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat ujung medial labia minor dan sekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati-hati saat melakukan incise kulit agar tidak mengenai dinding kista. Struktur vaskuler terbesar yang



memberikan supplu pada kista terletak pada bagian posterosuperior kista c. Penatalaksanaan Non Farmakologis B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Demografi 1) Umur : terjadi pada usia 45-50 tahun tetapi dapat juga terjadi pada usia 18 tahun 2) Lingkungan : sosial ekonomi rendah dan personal higine kurang 3) Kebiasaan : seseorang yang sering gonta ganti pasangan b. Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah anggota keluarga yang sebelumnya mengalami kanker c. Riwayat Penyakit Sekarang Apakah klien mengalami nyeri, perdarahan yang berlebihan dan apakah mengeluarkan cairan putih dari vagina (keputihan) d. Riwayat Penyakit Dahulu Wanita dengan kehamilan dini, pemberian estrogen, atau steroid lainnya dapat menimbulkan berkembangnya masalah fungsional genetal pada keturunannya e. Pola Kesehatan Fungsional 1) Pola persepsi : personal hygine yang kurang pada daerah genetalia 2) Pola Nutrisi dan Metabolik : Anoreksia, BB menurun 3) Ploa aktivitas dan latihan : klien mengalami kelelahan 4) Pola istirahat dan tidur : ada gangguan tidur 5) Persepsi diri dan konsep diri : harga diri rendah 6) Pola reproduksi dan seksual : nyeri dan perdarahan saat koitus f. Pemeriksaan Fisik 1) Rambut 2) Mata : conjungtiva anemis 3) Wajah : pucat 4) Abdomen : distensi abdomen 5) Vagina : keputihan berbau, warna merah, perdarahan merah tua, berbau dan kental 6) Serviks : ada nodul g. Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium : HB menurun, Leukosit meningkat, Trombosit meningkat



2) Patologi Anatomi : untuk memeriksa keganasan 3) Pemeriksaan Diagnostik : Pap smear, kalposkopi, biopsy kerucut, MRI atau CT-Scan abdomen ataupun pelvis 2. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut b.d inflamasi pada saluran lubrikasi dan peningkatan tekanan pembuluh darah genitalia b. Hipertermia b.d proses penyakit c. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d proses inflamasi d. Disfungsi seksual b.d proses penyakit e. Ansietas b.d kurang terpapar informasi f. Defisit perawatan diri b.d keterbatasan gerak g. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi 3. Rencana Keperawatan (SLKI & SIKI) NO 1



SDKI Nyeri akut b.d inflamasi pada saluran lubrikasi dan peningkatan tekanan pembuluh darah genitalia



SLKI SLKI : tingkat nyeri Setelah dilakukan tindakan keperaawatan selama 2 x 24 jam diharapkan tingkat nyeri menurun dengan kriteria hasil : - Keluhan nyeri (5) - Meringis (5) - Sikap protektif (5) - Gelisah (5)



2



Hipertermia b.d proses penyakit



SLKI : Termoregulasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan termoregulasi membaik dengan kriteri hasil: - kulit merah (5) - dasar kulit sianolik (5) - hipoksia (5)



SIKI SIKI : Manajemen Nyeri 1.1 identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri 1.2 identifikasi skala nyeri 1.3 identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri 1.4 berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri 1.5 pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategis meredakan nyeri 1.6 jelaskan strategi meredakan nyeri 1.7 anjurkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri 1.8 kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu SIKI : Manajemen Hipertermia 2.1 identifikasi penyebab hipertermia 2.2 monitor suhu tubuh 2.3 monitor komplikasi akibat hipertermia 2.4 sediakan lingkungan yang dingin 2.5 longgarkan atau lepaskan



-



3



Gangguan integritas kulit/jaringan b.d proses inflamasi



4



Disfungsi seksual b.d proses penyakit



5



Ansietas b.d kurang terpapar informasi



6



Defisit perawatan



pucat (5)



SLKI : integritas kulit dan jaringan Setelah dilakukan tindakan keprawatan selama 2 x 24 jam diharapkan integritas kulit dan jaringan meningkat dengan kroteria hasil: - kerusakan jaringan (5) - kerusakan lapisan kulit (5) - nyeri (5) - kemerahan (5) SLKI : Fungsi seksual Setelah dilakukan tindakan keperawatan slama 2 x 24 jam diharapkan fungsi seksual membaik dengan kriteria hasil: - kepuasan hubungan seksual (5) - keluhan nyeri saat berhubungan seksual (5) - verbalisasi fungsi seksual (5) - keluhan saat melakukan hubungan sesksual (5) SKLI : Tingkat Ansietas Setelah dilakukan tindakan keprawatan selama 2x24 jam diharapkan tingkat ansietas menurun dengan kriteria hasil: - verbalisasi kebingungan (5) - verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi (5) - perilaku gelisah (5) - perilaku tegang (5)



SLKI : Perawatan Diri Setelah dilakukan tindakan



pakaian 2.6 anjurkan tirah baring 2.7kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu SIKI : Perawatan integritas kulit 3.1 identifikasi penyebab gangguan integritas kulit 3.2 gunakan produk berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitive 3.3 anjurkan minum air yang cukup 3.4 anjurkan meningkatkan asupan nutrisi 3.5 anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur SIKI : Edukasi Seksualitas 4.1 identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi 4.2 sediakan materi dan media pendidikan kesehatan 4.3 berikan kesempatan untuk bertanya 4.4 jelaskan anatomi fisiologi system reproduksi laki-laki dan perempuan 4.5 jelaskan risiko tertular penyakit menular seksual



SIKI : Reduksi Ansietas 5.1 Identifikasi saat tingkat ansietas berubah 5.2 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan 5.3 ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan 5.4 pahami situasi yang membuat ansietas 5.5 informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan prognosis 5.6 anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi 5.7 kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu SIKI : dukungan perawatan diri 6.1 monitor tingkat kemandirian



diri b.d keterbatasan gerak



7



Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi



keprawatan selama 2x24 jam diharapkan perawatan diri meningkat dengan kriteria hasil : - minat melakukan perawatan diri (5) - mempertahankan kebersihan diri (5) - verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri (5) SLKI : Tingkat Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan tingkat pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil : - pertanyaan tentang masalag yang dihadapi - persepsi yang keliru terhadap masalah (5) - menjalani pemeriksaana yang tidak tepat



6.2 sediakan lingkungan yang terapeutik 6.3 siapkan keperluan pribadi 6.4 dampingin dalam melakukan perawatan duru 6.5 anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan



SIKI : Edukasi Kesehatan 7.1 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi 7.2 Berikan kesempatan untuk bertanya 7.3 Jelaskan efek obat-obatan 7.4 Ajarkan pada pasien dan keluarga cara mencegah infeksi 7.5 Anjurkan melaporkan gejala demam, menggigil, mimisan, lebam-lebam, tinja berwarna merah tua/hitam



DAFTAR PUSTAKA Amiruddin, D. 2014. Penyakit Menular Seksual. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK-UNHAS. Makassar. Baradero, M., Dayrit, M., & Maratning, A. (2016). Seri Asuhan Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri. (A.Linda,Ed). Jakarta: EGC Djuanda, A. 2017. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. Edisi Kelima. Cetakan Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Foster TJ. 2017. Antibiotic resistance in Staphylococus aureus. Current status and future prospects. FEMS Microbial Rev. 01;41 (3): 49-430 Heller DS, Bean S. 2014. Lesions of the Bartholin Gland: A Review. J Low Genit Tract Dis. 18(4): 7-351 Mir RA, Kudva IT. 2019. Antibiotic-resistant Shiga toxin-producing Escherichia coli: An overview of prevalence and intervention strategies. Zoonoses Public Health. 66(1): 1-13 PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI Vaniarty TIN, Martodihardjo S. 2017. Studi Retrospektif: Kista dan Abses Bartholin. Period Dermatol Venereol. 29(1): 8-52 Widjanarko. 2019. Standar Pelayanan Medic Obstetri dan Ginekologi. Perkumpulan Ginekologi dan Obstetsri Indonesia



LAPORAN PENDAHULUAN KISTA BARTHOLINI



DISUSUN OLEH : DESWITA PUSPA SARI 2011102412076



PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR



2021