Makalah Disleksia - Psikologi Pendidikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DISLEKSIA



Oleh : Ni Made Dwina Meidayanti (2001842020009)



JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR TAHUN 2021



Kata Pengantar



Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widi Wasa atas berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " DISLEKSIA " dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Pendidikan. Selain itu, makalah ini berisikan tentang informasi definisi, gejala, penyebab, dan penanganan dari disleksia. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang disleksia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu / Bapak Dosen pengampu Mata Kuliah Psikologi Pendidikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.



Denpasar, 23 Nopember 2021



Penulis



ii



Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................................................................ ii Daftar Isi ........................................................................................................................................ iii BAB I .............................................................................................................................................. 4 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4 1. 1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 5 1.3 Tujuan.................................................................................................................................... 5 BAB II ............................................................................................................................................. 6 PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 6 2.1 Pengertian Disleksia .............................................................................................................. 6 2.2 Penyebab Disleksia ............................................................................................................... 7 2.2.1 Faktor Pendidikan ........................................................................................................... 8 2.2.2 Faktor Psikologis ............................................................................................................ 8 2.2.3 Faktor Biologis ............................................................................................................... 8 2.2.4 Kecelakaan...................................................................................................................... 9 2.3 Gejala Disleksia..................................................................................................................... 9 2.4 Ciri-ciri Disleksia ................................................................................................................ 10 2.5 Sifat Umum Disleksia ......................................................................................................... 11 2.6 Tipe-tipe Disleksia .............................................................................................................. 11 2.6.1 Tipe Auditoris (Auditory Processing Problems) .......................................................... 11 2.6.2 Tipe Visual ................................................................................................................... 12 2.7 Penanganan.......................................................................................................................... 13 BAB III ......................................................................................................................................... 14 PENUTUP..................................................................................................................................... 14 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 14 3.2 Saran .................................................................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 15



iii



BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pendidikan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Guna memberikan pengajaran bagi manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai ahlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata pedagogik yaitu ilmu menuntun anak. Dengan adanya pendidikan seseorang dapat mengembangkan potensi diri yang dimilikinya. Sesuai dengan tujuan dari pendidikan menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 bahwa “Pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Bila tujuan tersebut benar – benar menjadi landasan dan dapat tercapai, maka akan semakin banyak manusia yang memiliki potensi untuk memajukan bangsa Indonesia. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dijabarkan, peserta didik perlu memiliki kemampuan dasar untuk dapat menerima informasi ataupun pengetahuan yang diberikan oleh pendidik untuk mengembangkan potensi dirinya. Salah satu bentuk kemampuan dasar tersebut adalah kemampuan membaca. Dengan membaca dapat membantu peserta didik untuk dapat menerima maupun menggali lebih dalam mengenai informasi ataupun pengetahuan. Hodgson (Tarigan, 2008 : 7) menjelaskan bahwa “membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan penulis melalui media kata – kata atau bahasa tulis, suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu satu kesatuan akan terlihat dalam suatu pandangan sekilas dan makna kata – kata secara individual akan dapat diketahui”. Jika dalam proses pemerolehan pesan dalam membaca tidak terlaksana dengan baik, pesan secara tersurat dan tersirat yang diberikan oleh penulis tidak akan tertangkap atau dipahami. Dengan demikian membaca membutuhkan kemampuan visual dan kognisi untuk memberikan makna pada lambang – lambang huruf. Kemampuan yang dimiliki setiap manusia tidaklah sama, begitu pula dalam kemampuan membaca. Tri (2014 : 11) mendefiniskan “kemampuan membaca merupakan kesanggupan seseorang memahami gagasan – gagasan dan lambang bunyi bahasa yang ada dalam sebuah teks bacaan yang diinginkan”. Apabila kemampuan membaca ini mengalami gangguan, begitu pula proses mendapatkan informasi dalam membaca akan ikut terganggu sehingga bisa timbul ketertinggalan dalam proses belajar. Setiap anak memiliki masa perkembangannya, yang terkadang berbeda untuk setiap anaknya. Hambatan selama masa perkembangan bisa terjadi karena berbagai hal, salah satunya karena hambatan pada otak. “Dalam masa perkembangan terkadang akan ada hambatan, kemungkinan terjadi hambatan tersebut disebabkan oleh hambatan otak (sistem syaraf pusat) pada 4



masa prenatal, perintal, dan selama usia satu tahun pertama” (Hidayat, 2009). Hambatan yang disebabkan oleh sebuah gangguan pada syaraf otak dapat mempengaruhi kemampuan membaca anak. Gangguan ini biasa diketahui sebagai disleksia. Disleksia merupakan bentuk gangguan dalam proses membaca. Bentuk kesulitan dalam memahami kata atau kalimat. Pemahaman mengenai disleksia ini seharusnya dimiliki oleh setiap orang, orang tua ataupun seorang pendidik, agar tidak terjadi keterlambatan dan kesalahan dalam penanganannya. Anak disleksia memerlukan cara tersendiri yang berbeda bagi anak pada umumnya dalam hal belajar membaca. Sehingga diperlukan pemahaman lebih dalam untuk anak disleksia. Sejalan dengan tujuan dari artikel ini dibuat, agar orang – orang mulai memahami anak disleksia itu seperti apa, ciri, bagaimana disleksia bisa muncul pada seorang anak.



1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang yang ada dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.



Apa Pengertian Disleksia? Apa Penyebab dan Gejala Disleksia? Apa Saja Ciri-Ciri dan Sifat Umum Pengidap Disleksia? Apa Saja Tipe-Tipe Disleksia dan Penanganannya?



1.3 Tujuan Secara khusus penulisan makalah ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pengertian dan latar belakang terjadinya kesulitan belajar khususnya Disleksia. 2. Mengetahui penyebab dan gejala Disleksia pada anak. 3. Mengetahui ciri-ciri dan sifat umum pengidap Disleksia. 4. Mengetahui tipe-tipe Disleksia dan penangannya.



5



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Disleksia Dalam buku How to Create A Smart Kids (Cara Praktis Menciptakan Anak Sehat dan Cerdas) Vizara Auryn, menjelaskan bahwa disleksi berasal dari kata Yunani, Dys (yang berarti “sulit dalam…”) dan Lex (berasa dari Legein, yang berarti berbicara). Jadi disleksia berarti “kesulitan dengan kata-kata”. Artinya penderita ini memiliki kesulitan untuk mengenali huruf atau kata. Hal ini terjadi karena kelemahan otak dalam memproses informasi. Disleksi juga diartikan sebagai salah satu karakteristik kesulitan belajar pada anak yang memiliki masalah dalam bahasa tertulis, oral, ekspresif atau reseptif. Masalah yang muncul yaitu anak akan mengalami kesulitan dalam membaca, mengeja, menulis, berbicara, dan mendengar. Beberapa kasus menunjukkan adanya kesulitan dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks, kelainan struktur dan fungsi otak. Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain: a. Menurut Corsini, disleksia merujuk pada kesulitan membaca baik itu penglihatan atau pendengaran. Inteligensinya normal, dan usia keterampilan bahasanya sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat factor neurologis dan bukan disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan atau sebab-sebab sosial. b. Menurut Guszak, disleksia dinyatakan sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang memiliki kecerdasan normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak bermasalah emosionalnya. c. Menurut Bryan dan Mercer, disleksia merupakan suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukkan perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam menulis dan mengeja serta kesulivan dalam mempelajari system representational misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa. d. Menurut Homsbay dan Sodiq, disleksia merupakan bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara tertulis, memanfaatkan kesempatan bersekolah dengan normal serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran lainnya. Jadi untuk sementara, dapat disimpulkan bahwa disleksia merupakan suatu gangguan yang berpusat pada sistem saraf, dan dengannya mengalami kesulitan dalam hal membaca, menulis, mengeja, atau dapat dikatakan kesulitan dalam mengenali huruf-huruf. Disleksia sebagai kesulitan belajar spesifik dalam masalah belajar tertentu, seperti membaca, mengeja, dan menulis. Gejala penyerta lain adalah dapat berupa kesulitan menghitung, menulis angka, fungsi koordinasi/keterampilan motorik. Developmental Dyslexia merupakan bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Disleksia terutama disebabkan oleh kelainan otak yang mempengaruhi proses pengolahan bunyi dan bahasa yang diucapkan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat disembuhkan. Meski demikian, anak-anak penyandang disleksia 6



memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata. Dengan penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa diminimalkan. Dan acquired dyslexia didapat karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca. Sejumlah ahli juga mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input atau informasi yang berbeda (dari anak normal) yang sering kali ditandai dengan kesulitan dalam membaca yang dapat memengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan pemrosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak. Dapat juga terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.



2.2 Penyebab Disleksia Banyak penyebab disleksia seperti yang penulis kutip dalam Shaywitz.S.(2003:12-124), dijelaskan bahwa secara khusus anak yang mengalami kesulitan membaca maupun menulis disebabkan oleh: Masalah fonologi yaitu hubungan sistematik antara huruf dan bunyi, misalnya kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”, atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran namun berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.Masalah mengingat perkataan: Mereka sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah ”temanku di sekolah” atau ”temanku yang lakilaki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana. Masalah penyusunan yang sistematis: Misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal orangtua sudah mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya kesulitan memahami instruksi seperti: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang pukul 08.00 pagi. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak. Masalah ingatan jangka pendek: Kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ”Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR matematikannya ya,” maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya. Masalah pemahaman sintaks: Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai 7



tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda dari pada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia di kenal susunan Diterangkan-Menerangkan (contoh: tas merah), namun dalam bahasa Inggris dikenal susunan Menerangkan-Diterangkan (contoh: red bag). Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori factor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya adalah otak (Dardjowidjojo, 2008). Faktor-faktor tersebut antara lain: 2.2.1 Faktor Pendidikan Disleksia disebabkan oleh metode yang digunakan dalam mengajarkan membaca, terutama metode “whole-word” yang mengajarkan kata-kata sebagai satu kesatuan daripada mengajarkan kata sebagai bentuk bunyi dari suatu tulisan. Contoh, Jika anak dalam tahap belum bisa membedakan huruf-huruf yang mirip seperti b dan d, maka cara pengajaran yang perlu dilakukan adalah mempelajari hurufnya satu per satu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini pada huruf b. Tulislah huruf b dalam ukuran yang besar kemudian mintalah anak untuk mengucapkan sembari tangannya mengikuti alur huruf b atau membuat kode tertentu oleh tangan. Anak dilatih terus menerus sampai ia bisa menguasainya, setelah itu mulailah beranjak ke huruf d. Mereka berpikir bahwa metode fonetik, yang mengajarkan anak nama-nama huruf berdasarkan bunyinya, memberikan fondasi yang baik untuk membaca. Mereka mengklaim bahwa anak yang belajar membaca dengan metode fonetik akan lebih mudah dalam mempelajari kata-kata baru. Dan untuk mengenali kata-kata asing secara tertulis sebagaimana mereka mengeja tulisan kata itu setelah mendengar pelafalannya. Sementara ahli lain meyakini bahwa dengan mengkombinasikan pendekatan “kata utuh” dan metode fonetik merupakan cara paling efektif dalam pengajaran membaca. Dengan menggunakan kedua metode tersebut, selain mengenali kata sebagai satu kesatuan (unit) anak pun akan belajar cara menerapkan aturan fonetik pada kata- kata baru. 2.2.2 Faktor Psikologis Beberapa periset memasukkan disleksia ke dalam gangguan psikologis atau emosional sebagai akibat dari tindakan kurang disiplin, tidak memiliki orangtua, sering pindah sekolah, kurangnya kerja sama dengan guru, atau penyebab lain. Memang, anak yang kurang ceria, sedang marah-marah, atau memiliki hubungan yang kurang baik dengan orangtua atau dengan anak lain kemungkinan memiliki masalah belajar. Stress mungkin juga mengakibatkan disleksia, namun yang jelas stress dapat memperburuk masalah belajar. 2.2.3 Faktor Biologis Sejumlah peneliti meyakini bahwa disleksia merupakan akibat dari penyimpangan fungsi bagian-bagian tertentu dari otak. Diyakini bahwa area-area tertentu dari otak anak disleksia perkembangannya lebih lambat dibanding anak-anak normal. Di samping itu kematangan otaknya pun lambat. Teori memang dulu banyak diperdebatkan, namun bukti-bukti mutakhir mengindikasikan bahwa teori itu memiliki validitas. Teori lainnya menyatakan bahwa disleksia disebabkan oleh gangguan pada struktur otak. Beberapa peneliti menerima bahwa teori ini masih diyakini sampai saat diadakan penelitian penelaahan otak manusia disleksia yang meninggal. Penelaahan otak ini telah menyingkap karakteristik perkembangan otak. Dari situ diperoleh 8



gambaran bahwa gangguan struktur otak mungkin mengakibatkan sejumlah kasus penting disleksia berat. Faktor genetik juga diperkirakan turut berperan. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa 50 persen atau lebih anak disleksia memiliki riwayat orangtua yang disleksia atau gangguan lain yang berkaitan. Ternyata, lebih banyak anak laki-laki yang disleksia daripada anak perempuan. 2.2.4 Kecelakaan Gangguan kemampuan membaca atau mengenali huruf serta simbol huruf akibat kerusakan saraf otak atau selaput otak, sehingga otak kiri korteks oksipital (bagian belakang) terganggu. Kerusakan ini disebabkan infeksi atau kecelakaan. Karena kerusakan ini, otak tidak berfungsi mengenali semua citra (image) yang ditangkap indra penglihatan karena ada gangguan sambungan otak kiri dan kanan. Ada yang berpendapat gangguan itu disebut disleksia, ada juga yang berpendapat gangguan itu disebut aleksia. Disleksia bukanlah gangguan yang mempengaruhi kecerdasan seseorang, anak disleksia tidaklah bodoh, mereka hanya lambat dalam hal belajar, yang menyebabkan mereka menjadi tertinggal dibandingkan dengan teman – teman sebayanya. Kondisi mental mereka tidak terganggu, tidak perlu orangtua sampai memasukan anaknya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) hanya karena disleksia. Lain cerita bila disleksia ini dibarengi dengan kebutuhan khusus lainnya. Vitriani Sumarlis, Wakil Ketua Asosiasi Disleksia Indonesia mengatakan bahwa, “anak disleksia tidak cocok masuk SLB, SLB lebih tepatnya untuk anak berkebutuhan khusus lainnya seperti tunagrahita atau tunarungu. Sekolah tersebut menampung anak – anak dengan kecerdasan dibawah normal atau IQ dibawah 62, sementara anak disleksia memiliki IQ rata – rata 90 hingga 110. Anak disleksia rentan stres karena kegagalan akademik, kemudian jika dimasukan ke SLB, justru mereka akan berpikir bahwa dirinya stupid betul. Yang ada, mereka malah tambah tidak percaya diri, kok saya disamakan dengan anak SLB. Mereka akan syok dan merasa semakin tidak berarti bila dibandingkan dengan teman – temannya”. Anak disleksia memiliki kecerdasan yang sama bahkan bisa lebih dibandingkan dengan anak seumurannya. Jangan hanya karena mereka tidak bisa mengikuti pembelajaran lantas memasukannya ke SLB, itu merupakan langkah yang salah karena hanya semiakin membuat mereka tidak percaya bahwa dirinya mampu. Pemahaman mengenai disleksia seperti ini perlu diketahui oleh masyarakat luas agar tidak terjadi salah langkah dalam penanganan anak disleksia.



2.3 Gejala Disleksia Anak disleksia memiliki perbedaan gejala satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan inteligensi yang dimilikinya. Setiap anak memiliki kecenderungan disleksia, dan ada pula anak yang tidak disleksia tetapi mempunyai pengalaaman kesulitan membaca. Anak disleksia yang kidal dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, , namun mereka sering kali membaca dari kanan ke kiri. Adapun gejala disleksia ini antara lain: 1) Ragu-ragu dan lambat dalam berbicara 9



2) Kesulitan memilih kata yang tepat untuk menyampaikan maksud yang diucapkannya Bermasalah dalam menentukan arah (atas – bawah) dan waktu (sebelum – sesudah, sekarang-kemarin) 3) Kesalahan mengeja yang dilakukan terus-menerus, seperti misalnya kata ”gajah” ducapkan menjadi ”gagah”. kata ”ibu” ducapkan menjadi ”ubi”, kata ”pipa” menjadi ”papi” 4) Membaca kata demi kata secara lamban dan intonasi naik turun 5) Membalikkan huruf, kata, dan angka yang mirip, misalnya b dengan p, u dengan n, kata kuda dengan daku, palu dengan lupa, 2 – 5, 6 – 9 6) Kesulitan dalam menulis, misalnya menuliskan namanya sendiri “Rosa” menjadi Ro5a, menuliskan kata “Adik” menjadi 4dik (huruf S dianggap sama dengan angka 5, huruf A dianggap sama dengan angka 4).



2.4 Ciri-ciri Disleksia Secara fisik anak disleksia terlihat normal, namun ketika sudah berhadapan dengan hal kebahasaan akan terlihat perbedaannya. Berikut ini beberapa pemaparan mengenai ciri – ciri dari disleksia. Beberapa ciri – ciri anak yang menderita disleksia (Fanu, 2007:60) sebagai berikut : a. Membaca dengan amat lamban dan terkesan tidak yakin atas apa yang ia ucapkan. b. Menggunakan jarinya untuk mengikuti pandangan matanya yang beranjak dari satu teks ke teks berikutnya. c. Melewatkan beberapa suku kata, frasa atau bahkan baris – baris dalam teks. d. Menambahkan kata – kata atau frasa – frasa yang tidak ada dalam teks yang dibaca. e. Membolak – balikan susunan huruf atau suku kata dengan memasukan huruf – huruf lain. f. Salah melafalkan kata – kata dengan kata lainnya, sekalipun kata yang diganti tidak memiliki arti yang penting dalam teks yang dibaca. g. Membuat kata – kata sendiri yang tidak memiliki arti. h. Mengabaikan tanda – tanda baca. Menurut Najib Sulhan (2010) dalam bukunya “Pembangunan Karakter pada Anak Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif” menjelaskan ciri – ciri disleksia yaitu : a. b. c. d.



Tidak lancar dalam membaca. Sering terjadi kesalahan dalam membaca. Kemampuan memahami isi bacaan sangat rendah. Sulit membedakan huruf yang mirip.



Bila mana seorang anak menunjukkan kesamaan pada ciri – ciri seperti yang disebutkan sebelumnya, maka anak tersebut kemungkinan besar menderita disleksia. Namun tetap wewenang untuk mendiagnosa bahwa anak tersebut benar – benar mendertia disleksia adalah seorang psikolog.



10



2.5 Sifat Umum Disleksia Secara umum anak disleksia memiliki kesamaan sifat bawaan. Menurut Olivia Bobby Herimijanto & Vica Valentina (2016) dalam bukunya “Disleksia Bukan Bodoh, Bukan Malas tetapi Berbakat” menjelaskan sifat bawaan dari anak yang mengidap disleksia, yaitu sebagai berikut : a. Sering mengulang – ulang, menambah – menambahkan, melakukan transposisi, serta membuat kesalahan ketika sedang membaca dan menulis b. Sering membalik – balikkan angka atau huruf. c. Memiliki tulisan tangan buruk, yang berakibat pada permasalahan dalam menulis dan menyalin. d. Membaca berulang – ulang, namun hanya berhasil mendapatkan sedikit pemahaman. e. Suli berkonsentrasi. e. Menghindar membaca, lebih menyukai mendengar orang lain membacakan mereka. f. Tidak konsisten dalam membaca/mengeja secara fonetik (sistem bunyi bahasa). g. Mempunyai kemampuan berbicara, lisan yang baik, namun buruk dalam tulisan. h. Mempunyai IQ tinggi, tetapi belum atau tidak pernah diuji secara akademis. i. Mempunyai kesulitan mengatur serta mengurutkan ide/pikiran. j. Dalam keseharian terlihat ceria, cerdas, dan pandai berbicara, tetapi kesulitan dalam membaca, menulis, atau mengeja. k. Cenderung berpikir melalui gambar dan mengutamakan intuisi, bukan melalui bunyi atau kata. l. terlihat seperti sedang “terbang kedunianya sendiri” ditengah – tengah pelajaran.



2.6 Tipe-tipe Disleksia Ada dua tipe disleksia, yaitu tipe auditoris (pendengaran) dan tipe visual (penglihatan), di bawah ini akan dijelaskan mengenai tipe-tipe tersebut: 2.6.1 Tipe Auditoris (Auditory Processing Problems) Kemampuan untuk membedakan antara bunyi-bunyi ynag sama dari katakata yang diucapkan, atau untuk membedakan antara bagian-bagian kalimat yang terucap dengan suara-suara lain yang menjadi latar belakang dari dialog ketika kalimat-kalimat tersebut diucapkan. Seorang ahli fisika Perancis, Alfred Tomatis, dalam buku “Deteksi dini masalah-masalah psikologi anak” menegaskan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan belajar tidak memiliki kemampuan dalam memahami kata-kata atau kalimat-kalimat yang mereka dengarkan. Sebuah teori serupa juga dirumuskan oleh seorang dokter di Perancis, Guy Berard, ia menegaskan bahwa beberapa orang mendengar suara-suara melalui cara-cara yang tidak lazim, baik karena suara-suara tersebut berubah ataupun karena pendengaran mereka atas suara-suara tersebut terlalu sensitive. Teori lainnya dikemukakan oleh Jean Ayres, dalam buku “Deteksi dini masalah-masalah psikologi anak” seorang praktisi pengobatan, menegaskan bahwa disleksia disebabkan oleh adanya gangguan pada system vestibular. Vestibular merupakan bagian dalam telinga yang menjadi alat detector posisi kepala terhadap gravitasi bumi (apa yang di atas dan apa yang di 11



bawah) dan mentransmisikan informasi ini ke dalam otak. Anak-anak yang memiliki permasalahan dengan system vestibular mereka memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan, misalnya ketika mereka belajar menaiki sepeda. Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe auditoris adalah: a. Kesulitan dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam analisis fonetik. Contohnya: anak tidak dapat membedakan kata: katak, kakak, dan bapak. b. Kesulitan analisis dan sintesis auditoris, contohnya: kata “ibu” tidak dapat diuraikan menjadi “i-bu” c. Kesulitan auditoris bunyi atau kata. Jika diberi huruf tidak dapat mengingat bunyi huruf atau kata tersebut, atau jika melihat kata tidak dapat mengungkapkannya walaupun mengerti arti kava tersebut d. Membaca dalam hati lebih baik dari pada membaca dengan lisan e. Kadang-kadang disertai gangguan urutan auditoris f. Anak cenderung melakukan aktivitas visual Dari ciri-ciri di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak disleksia dengan tipe auditoris anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan visual. Dan pada saat belajar anak tersebut lebih suka membaca dalam hati dari pada dengan lisan. 2.6.2 Tipe Visual Permasalahan penglihatan yang akut memang sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca anak. Sebuah teori yang dikemukakan oleh Drs. Carl Ferrei dan Richard Wainwright dalam buku “Deteksi dini masalah-masalah psikolohi anak”mereka berpendapat bahwa permasalahan gangguan dalam belajar disebabkan oleh adanya ketidakcocokan antara Sphenoid dan tulang rawan pada tengkorak. Ketidaksesuaian ini diduga berpengaruh terhadap caara kerja syaraf-syaraf yang mempengaruhi kerja otot-otot mata, yang mana kondisi ini berakibat pada terganggunya koordinasi mata. Seorang psikolog pendidikan dari California, Helen Irlen memperkenalkan sebuah teori bahwa orang-orang yang terkena disleksia memiliki gangguan serius pada indera penglihatan mereka yang menyebabkan matanya mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan cahaya dari sumber-sumber tertentu, dengan tingkat kokontrasan tertentu. Gejala-gejala yang dimiliki oleh tipe visual adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h.



Terdensi terbalik, misalnya b dibaca d, p dibaca g, u dibaca n, m dibaca w dan sebagainya Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf-huruf atau kata yang mirip Kesulitan mengikuti dan mengingat urutan visual. Jika diberi huruf cetak untuk menyusun kata mengalami kesulitan, misalnya kata “ibu” menjadi “ubi” atau “iub” Memori visual terganggu Kecepatan persepsi lambat Kesulitan analisis dan sintesis visual Hasil tes membaca buruk Biasanya labih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.



12



Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak disleksia dengan tipe visual ini anak lebih mengandalkan pembelajaran dengan auditorial. Dan dalam belajar anak lebih suka mendengar apa yang diterangkan oleh guru dari pada belajar sendiri. Bakker, et al, (1987) membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu sebagai berikut: a. L-type dyslexia (linguistic) Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan seperti penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian huruf (substitution), dan kesalahan multi-kata lainnya. b. P-type dyslexia (perspective) Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti fragmentasi (membaca terputusputus) dan mengulang-ngulang (repetisi). Dari dua tripologi di atas dapat disimpulkan bahwa jarang terdapat hanya satu jenis disleksia yang murni, kebanyakan gabungan dari berbagai jenis disleksia, dimana terdapat gangguan dalam masalah bicara bahasa, membaca, dan bahasa tulis.



2.7 Penanganan Anak dengan disleksia membutuhkan pengajaran secara individu dan pengobatan untuk disleksia sering melibatkan program pendidikan multisensor. Dukungan moril dari orang tua juga menjadi bagian yang penting. Pengobatan yang terbaik adalah instruksi langsung, yang menggabungkan pendekatan multisensorik. Jenis pengobatan ini terdiri dari pengajaran suara dengan berbagai isyarat, biasanya terpisah dan (jika memungkinkan) merupakan bagian dari program membaca. Instruksi tidak langsung juga bisa diterapkan. Biasanya terdiri dari pelatihan untuk mengucapkan kata atau pemahaman membaca. Anak diajari bagaimana caranya untuk mengolah bunyi dengan mencampur bunyi untuk membentuk kata, dengan memisahkan kata ke dalam huruf dan dengan mengenali posisi bunyi dalam kata. Misalnya dalam mengenali bagian-bagian atau pola dan membedakan berbagai jenis suara atau masalah dengan ingatan, percakapan, pemikiran serta pendengaran.



13



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan yang ada dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Disleksia merupakan suatu gangguan yang berpusat pada sistem saraf, dan dengannya mengalami kesulitan dalam hal membaca, menulis, mengeja, atau dapat dikatakan kesulitan dalam mengenali huruf-huruf. Disleksia sebagai kesulitan belajar spesifik dalam masalah belajar tertentu, seperti membaca, mengeja, dan menulis. Gejala penyerta lain adalah dapat berupa kesulitan menghitung, menulis angka, fungsi koordinasi/keterampilan motorik. Developmental Dyslexia merupakan bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Disleksia terutama disebabkan oleh kelainan otak yang mempengaruhi proses pengolahan bunyi dan bahasa yang diucapkan. 2. Penyebab disleksia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori factor utama, yaitu faktor pendidikan, psikologis, dan biologis, namun penyebab utamanya adalah otak (Dardjowidjojo, 2008). 3. Anak disleksia memiliki perbedaan gejala satu sama lain. Satu-satunya sifat yang sama pada mereka adalah kemampuan membacanya yang sangat rendah dilihat dari usia dan inteligensi yang dimilikinya. Setiap anak memiliki kecenderungan disleksia, dan ada pula anak yang tidak disleksia tetapi mempunyai pengalaaman kesulitan membaca. Anak disleksia yang kidal dapat menggunakan kedua belah tangan, misalnya saat menulis, namun mereka sering kali membaca dari kanan ke kiri. 4. Anak dengan disleksia membutuhkan pengajaran secara individu dan pengobatan untuk disleksia sering melibatkan program pendidikan multisensor. Dukungan moril dari orang tua juga menjadi bagian yang penting. Pengobatan yang terbaik adalah instruksi langsung, yang menggabungkan pendekatan multisensorik. Jenis pengobatan ini terdiri dari pengajaran suara dengan berbagai isyarat, biasanya terpisah dan (jika memungkinkan) merupakan bagian dari program membaca.



3.2 Saran Dari seluruh faktor yang menyebabkan terjadinya disleksia atau kesulitan membaca yang paling penting dalam menangani masalah ini adalah dukungan dari orang-orang sekitar penderita masalah ini terutama keluarga. Setiap masalah yang terjadi bukan tidak mungkin bisa disembuhkan asalkan ada kemauan yang keras. Para penderita Disleksia atau penderita kesulitan belajar yang lainnya memilki kekurangan dalam belajar tapi bukan berarti mereka bodoh oleh karena itu kita tidak boleh membeda-bedakan tapi kita harus memberi motivasi. Sebagai seorang guru seharusnya bisa mengenali dan mengidentifikasi karakteristik kemampuan murid-muridnya. Inilah kewajiban seorang guru sekaligus faktor kedua yang dapat menentukan keberhasilan penanganan masalah belajar.



14



DAFTAR PUSTAKA Loeziana. 2017. URGENSI MENGENAL CIRI DISLEKSIA. Di akses file:///C:/Users/asus/Downloads/1698-3365-1-SM.pdf pada 25 Nopember 2021.



dari



:



Haifa, Nisrina dkk. Jurnal : Pengenalan Anak Pengidap Disleksia. (Vol. 7, No. 2 (2020) 21-32) Soeisniwati Lidwina. Jurnal : DISLEKSIA BERPENGARUH PADA KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS. (JURNAL STIE SEMARANG, VOL 4, NO 3, Edisi Oktober 2012 (ISSN : 2252-7826))



15