Makalah Hukum Agraria [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PERMASALAHAN TANAH BIDANG AGRARIA DI INDONESIA Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria Dosen Mata Kuliah : Lolita Permanasari, S.H., M.Hum.



NAMA KELAS NIM



: RENDYS OKTARIAS :H : 1511121310



FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA



Daftar Isi HALAMAN JUDUL........................................................................................................i DAFTAR ISI.................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5 1.4 Metode Penulisan ............................................................................................... 5 1.5 Manfaat Penulisan .............................................................................................. 5 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah permasalahan Tanah Indonesia ............................................................. 6 2.2 Sifat Permasalahan Tanah di Indonesia ............................................................ 10 2.3 Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat ........................12 2.4 Rekomendasi.......................................................................................................15 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 16 DAFTAR PUSTAKA ...................................... .......................................................... 17



BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1988 akhirnya bergerak di segala bidang termasuk diantaranya di bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan pertanahan selalu ada dan menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Persoalan pertanahan selalu diwarnai dengan adanya gejolak karena adanya ketidak adilan di dalam pelayanan yang dilakukan pemerintah baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Pemerintah Orde Baru yang ada pada waktu itu sangat kuat menciptakan suatu pemerintahan dengan bernaung Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah. Di dalam pelaksanaan UndangUndang yang bersifat sentralistik ini ada yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata



dan



bertanggungjawab



kepada daerah. Reformasi tampaknya menyadari



sebagian masyarakat tentang penegakan tatanan pemerintah yang mendasarkan kepada Undang Undang Dasar 1945. Pemikiran Otonomi Daerah dipandang dapat memecahkan masalah-masalah pemerintah yang lebih berkeadilan di segala bidang meskipun disadari bahwa manfaat dari pengaturan sentralistik tidak semuanya buruk. Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai jalan keluar yang sangat baik bagi penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Koreksi total terhadap penyelenggaraan pemerintah di daerah yang mendasarkan kepada Ketetapan MPR tersebut di atas dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Mei 1999, yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3839 yaitu dengan prinsip mengatur penyelenggaraan Pemerintah di Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi. UndangUndang Nomor. 22 Tahun 1999



tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah



Daerah,



karena



tidak



sesuai



dengan



perkembangan



keadaan,



ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Masih dalam rangka menyikapi



bergulirnya



reformasi,



khususnya



di



bidang



pertanahan,



Majelis



Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor : IX/MPR/2001, tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam menetapkan prinsip-prinsip pembaruan dan pengelolaan sumber daya alam, dinyatakan dalam Pasal 4 huruf 1, bahwa kebijakan pelaksanaan desentralisasi tersebut, berupa : “Pembagian kewenangan di tingkat Nasional, Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa atau yang setingkat, berkaitan dengan lokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam”, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR Nomor



:



IX/MPR/



2001



tersebut



telah



dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, ada 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu : 1. Pemberian ijin lokasi; 2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3. Penyelesaian sengketa tanah garapan; 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6. Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat; 7. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong; 8. Pemberian ijin membuka tanah; 9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Untuk keseragaman administrasi oleh pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 23 Agustus 2003, tentang Norma dan Standar Mekanisme



Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang



dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, norma tersebut merupakan tindak lanjut sekaligus sebagai pedoman 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.



Masih



sering



terjadi adanya informasi masyarakat mengenai perselisihan tanah garapan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang jelas, sehingga berakibat terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain



yang



ingin menguasai dan menggarap bahkan ada sebagian Pemerintah



Desa/Kelurahan yang menginginkan demikian. Sebetulnya apa yang dikenal dengan sebutan “Hak Garapan” tidak ada dalam Hukum Tanah. Menurut hukum penguasaan tanah yang bersangkutan tidak ada landasan haknya (“illegal”). 1)



Penguasaannya justru melanggar hak pihak yang empunya tanah atau hak negara, kalau yang diduduki itu tanah negara dan ini melanggar Undang-Undang Nomor 51 Perpu. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya yang Sah. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini masih ada dan berlangsung terus, hal ini terjadi karena jumlah penduduk terus bertambah, sudah tentu kebutuhan akan tanah terus meningkat, di sisi lain tanah mempunyai nilai strategi dan ekonomis. Jadi wajar kalau masalah tanah selalu muncul di Negara Republik Indonesia tercinta ini, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah garapan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara mengatur tentang penerbitan status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum, salah satu caranya dengan pemberian sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut. Secara konstitusional, Undang- Undang Dasar 1945 telah mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 33 ayat (3), memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



2) Penjabaran atas ketentuan tersebut di atas pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok



Agraria disingkat UUPA, untuk bertujuan memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas tanah, dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi tersebut Negara berkewajiban untuk: a. Mengatur dan menyelesaikan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut penguasaan bumi, air dan ruang angkasa. Dalam perannya sebagai penguasa tertinggi rakyat Indonesia, negara berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal tersebut di atas, guna mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru. Berbagai usaha dan langkah yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan penguasaan tanah, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah, telah dilaksanakan dengan baik, dan dapat dipergunakan untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi keberhasilan itu bukan tidak ada masalah, hal tersebut dapat dimaklumi karena masih terbatasnya tenaga dan prasarana. 3) Kebutuhan dan permintaan bidang tanah menjadi semakin pelik dan kompleks, sedangkanluas tanah terbatas atau tetap. Meningkatnya kebutuhan akan tanah sebagai akibat



lajunya



pertumbuhan



penduduk



dan



pembangunan.



Kemudian pemusatan penguasaan yang luas, persaingan keras dalam perolehan tanah, meningkatnya harga tanah semakin tinggi, masalah ganti kerugian tanah belum terselesaikan, ketidakseimbangan penggunaan tanah tidak efisien sehingga menimbulkan tanah terlantar. Praktek-praktek penggunaan tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, sehingga merusak lingkungan hidup, merupakan kasus-



kasus keagrariaan atau pertanahan yang banyak dijumpai, semuanya itu merupakan tantangan bagi pejabat berwenang di bidang pertanahan dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus tersebut dengan benar. 2.Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang



masalah yang telah diuraikan di atas, maka



perumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Sejarah permasalahan tanah di Indonesia ? 2. Sifat permasalahan tanah indonesia ? 3. Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat ? 4. Rekomendasi ?



3.Tujuan Penulisan Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk : a. Mengetahui proses Sejarah permasalahan tanah di Indonesia dan Sifat permasalahannya. b. Mengetahui dan memahami Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat serta Rekomendasi yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan tanah di indonesia. 4.Metode Penulisan Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam pembaruannya dan situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang konflik-konflik pertanahan di indonesia. 5.Manfaat Penulisan Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut : a. Sebagai media untuk menambah wawasan. b. Bahan referensi aktual . c. Bahan bacaan dan pengetahuan



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Sejarah Permasalahan Tanah Indonesia Permasalahan pertanahan adalah merupakan masalah yang mempunyai karakter yang bersifat multi dimensi. Unik, berbagai aspek yang terlibat didalamnya, sehingga tidak mudah dalam penanganan dan penyelesaiannya. Di dalamnya ada muatan politis, hukum, ekonomi, budaya



bahkan



pertahanaan



dan



kemanan



bisa masuk didalamnya, belum lagi muatan kepentingan tertentu dan ujungnya adalah bicara adil tidak adil, sehingga peran Negara sangat dibutuhkan



dalam



rangka turut ikut upaya penyelesaiannya. Ketika kita mengedepankan hukum maka akan menjadi tidak adil bagi yang dikalahkan. Demikian juga bisa terjadi jika untuk kepentingan politis maka hukum menjadi mandul. Masalah pertanahan tidak mengenal batas waktu penyelesaian. Bisa cepat bisa juga memakan puluhan tahun. Tidak jarang masalah pertanahan yang muncul saat ini, merupakan kelanjutan warisan masa lalu. Ketika putusan masa lalu dianggap penyelesaian yang adil pada masa lalu belum tentu untuk masa berikutnya. Terlebih



jika



terkaitan



dengan



kebijakan politik hukum pada suatu era akan berbenturan dengan era yang berikutnya.



Dengan



kata



lain



bahwa



masalah



pertanahan



bisa



ditangani



sehingga benar-benar tuntas dalam arti yang sesungguhnya. Angka masalah pertanahan yang dihimpun oleh BPN(Badan Pertanahan Nasional ) Republik Indonesia sampai tahun 2008 tidak kurang



7149



kasus.



Kerugian



yang



ditimbulkan adanya permasalahan ini bisa mencapai mendekati nilai anggaran pendapatan negara ( APBN ) dalam satu tahun. Angka tersebut bisa terus bertambah dari tahun ketahun jika tidak segera ada solusi yang lintas sektor dan komprehensip. Masalah pertanahan yang pada umumnya terjadi melibatkan beberapa pihak dan mempunyai akar masalah yang bervariasi pula. Pihak–pihak yang terlibat dalam masalah pertanahan: orang perorangan dan atau kelompok masyarakat dan atau badan hukum privat atau publik dan atau kombinasi diantaranya. Adapun akar masalah pertanahan dapat diklasifikasikan: pertama, masalah penguasaan dan kepemilikan tanah, didalamnya berkaitan dengan perbedaan perspektif para pihak mengenai status penguasaan dan pemilikan atas bidang



tanah tertentu baik yang belum maupun yang sudah dilekati dengan hak – hak keperdataan pihak tertentu. Bidang tanah yang belum dilekati hak masuk dalam dikategorikan jenis tanah dengan status " tanah Negara"(tanah yang dikuasai langsung oleh Negara). Tanah yang telah dilekati hak tertentu misalnya, tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha; kedua, masalah batas, luas dan letak atas bidang tanah tertentu, didalamnya terjadi perbedaan perspektif mengenai masalah batas, luas dan letak antara para pihak; ketiga, masalah berkaitan dengan pendaftaran tanah dan penetapan hak; keempat, masalah tanah-tanah obyek bekas hak barat dan atau obyek landreform; kelima, masalah tanah ulayat; keenam, masalah pengadaan tanah, hal ini biasanya adanya perbedaan persepsi mengenai nilai, status hak atas tanah dan proses pembebasan serta pelaksanaan pelepasan dan nilai ganti rugi; ketujuh, masalah pelaksanaan putusan pengadilan,



adanya



perbedaan persepsi berkaitan dengan kepentingan para pihak atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanahnya. Selanjutnya adalah tindak lanjut dari penanganan masalah pertanahan ini yang perlu mendapat perhatian adalah masuk kedalam ranah hukum yang mana, perdata ( adat ), pidana atau sengketa Tata Usaha Negara. Model penanganan penyelesaian apakah diselesaikan diluar ( out court of resettlement ) melalui musyawarah atau mediasi atau masuk keranah lembaga peradilan ( in court of resettlement) maka kita bicara kompetensi atau kewenangan lembaga hukum peradilan mana, Peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara. Jika masuk ke ranah peradilan maka mau tidak mau membutuhkan kesabaran, biaya dan waktu yang relative lama. Lembaga peradilan sebagai ujung tombak harapan terakhir dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan kadang dirasakan oleh pihak tertentu yang bersengketa menjadi tidak mencerminkan keadilan hukum yang dicari. Dengan kata lain hukum tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan sengketa pertanahan secara tuntas, tetap ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Contoh kasus masalah pertanahan yang dapat dikatakan rumit, sebagai ilustrasi sebagaimana



yang digambarkan berikut ini. Bapak X (alm ) betawi asli



mewariskan kepada para ahli warisnya, sebut saja A, dkk, sebidang tanah yang



cukup luas yang diperkirakan lebih dari 4 hektar, terletak pinggir jalan yang sangat strategis, dengan nilai NJOP bisa mencapai puluhan juta per meter perseginya dan total nilai asset tersebut bisa ratusan milyar rupiah. Bukti kepemilikan ada sebagian yang sudah bersertipikat hak milik tahun 1960-an ( konversi ) dan sebagian lagi yang masih berstatus bekas hak barat ( eigendom ) dikuasai berdasarkan akta jual beli sekitar tahun 1950-an. factual, sebidang tanah berwujud pekarangan dan rumah tinggal. Sisa bidang tanah tersebut ada yang menjadi jalan protocol, sebagian telah berdiri hotel berbintang. Fakta yuridis bahwa ternyata diatas bidang tanah tersebut telah terbagi-bagi dan terbit



puluhan sertipikat



hak



atas



tanah



yang saling



tumpang tindih satu sama yang lain, termasuk bidang tanah yang sudah ada sertipikat konversi dan beberapa putusan pengadilan. Setelah sekian puluhan tahun lamanya A dkk, berjuang untuk menuntaskan masalah tersebut, dan dengan berbekal putusan peradilan yang yang menurut logika hukumnya sudah "inkrach", A dkk, berkeinginan untuk melegalisasikan ( sertipikat ) asset keluarganya, ternyata sampai sekarang belum juga berhasil. Contoh lain, ada sebidang tanah yang telah berdiri bangunan gedung pertokoan mewah yang dimana para pihak yang mengaku mempunyai bukti kepemilikan yang menurut pendapat para pihak yang bersengketa adalah sah secara hukum. Pihak pertama menggunakan alat bukti petok atau girik pihak kedua menggunakan alat bukti sertifikat hak yang sekaligus secara factual menguasai tanah dan bangunan tersebut. Oleh lembaga peradilan umum diputuskan dimenangkan oleh pihak pertama, namun gagal untuk eksekusinya. Guna mempertahankan tanah dan bangunan tersebut pihak kedua mengambil tindakan lain seperti melakukan gugatan ke ranah pidana alasan misalnya dikatakan surat bukti yang dipegang pihak pertama adalah palsu dan dimenangkan pihak kedua. Namun selanjutnya pihak pertama melakukan perlawanan kembali ke ranah peradilan TUN, menyeret instansi yang mengeluarkan sertifikat tersebut ke ranah PTUN ( peradilan Tata Usaha Negara ). Salah satu kunci utama dalam penanganan masalah pertanahan adalah pemahaman terhadap status hukum dari obyek sengketa, dan riwayat hukum dari bukti kepemilikan subyek -subyek hukum atas obyek sengketa tersebut. Penelusuran riwayat hukum atas



obyek sengketa akan menjadi sangat penting untuk menentukan subyek hukum yang berhak atas tanah tersebut. Seperti halnya contoh kasus sengketa tersebut diatas, misalnya, para pihak yang menggunakan alat bukti yang berasal dari hak atas tanah yang lama seperti akte Eigendom yang mana sebetulnya oleh peraturan peraturan perundang-undangan telah dikonversikan kepada hak-hak atas tanah yang baru pada tahun 1960, berdasarkan UUPA, ataupun telah dinyatakan hapus secara hukum sejak tahun 1945 untuk tanah–tanah yang disebut " perdikan"( UU No.1 tahun 1946), atau karena hukum terkena ketentuan undang-undang Nasionalisasi, tahun 1958 penghapusan tanah-tanah partikulir atau tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw ( UU No. 1 tahun 1958 ), dan bahkan telah dihapuskan pada tahun 1980 ( Keppres No. 32 tahun 1979).



Tanah–tanah



hak



yang ada



berdasarkan hukum perdata barat tersebut dihapus atau dicabut yang selanjutnya dikuasai oleh negara, dimana secara hukum maka status tanahnya pun berubah menjadi berstatus "tanah negara". Demikian juga terhadap tanah swapraja telah dihapus yang mana selanjutnya ada sebagian besar telah dibagikan kepada masyarakat setempat ( PP 24 tahun 1961 ), juga sebagian besar tanah-tanah bekas bekas perkebunan- perkebunan sebagian besar telah dibagikan dalam rangka kebijakan landreform antara tahun 1960–1968. Kasus-kasus masalah pertanahan semacam ini masih sering terjadi, banyak aspek yang harus dilihat dan dikaji, sehingga dapat dikatakan bahwa masalah pertanahan adalah berkarakter yang bersifat multi dimensi. Aspek hukum, banyak sekali



peraturan



perundangan yang terkait dengan



pertanahan



ada



unsur



keperdataan, pidananya maupun aspek administrasi pertanahannya bisa terlibat didalamnya serta penegakan hukumnya. Aspek politik akan bicara bagaimana kebijakan dan kepentingan Negara diarahkan untuk itu. Demikian juga aspek social dan ekonomi sangat mempengaruhi putusan politik dan penegakan hukumnya. Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat



penting



karena



menentukan



kesejahteraan



hidup



penduduk



negara



bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai



kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan



kebutuhan



dasar,



tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik.



Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat



pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pemelaratan



yang



berat,



pembangunan terjadi



yang



lamban,



terjadi



proses



krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk



membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik. Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program transmigrasi. Melalui program transmigrasi



tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada petani



miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah, tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik modal yang akan mengambilnya.



2.2. Sifat Permasalahan tanah di Indonesia



Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran pemerintah di dalamnya.



Dekade setelah



kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola hubungan patronclient antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah (land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut (pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah



mencakup



status



sosial. Peran



pemerintah



dalam



konflik



tanah



di



pedesaan dalam kontek hubungan patron-client tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu. Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian kebijakan pembangunan ekonomi nasional.



Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru,



permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan



atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa



maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah- tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal.



Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang



berbeda dengan pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik



melalui aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa



negara adalah pemilik semua tanah di negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk



”membebaskan” tanah



yang dimiliki oleh warganya untuk kepentingan



umum. Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN. Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria.



Ciri



lain dari konflik agraria struktural adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman, penangkapan,



isolasi,



dsb.



Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal



2



ayat



4



UUPA



1960 membolehkan



masyarakat



adat



untuk



"melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU 5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik". Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik. Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah



Swatantra dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status



sebagai Hutan Negara. Dengan demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya. Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang pertambangan hak-hak



masyarakat



adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas tanahnya dengan



musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut, meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan.



Sementara itu,



pola konflik pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil. Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa Orde



Baru.



Kasus-kasus



PLTA



yang



terjadi



di



Awu,



Lombok



Tengah,



NTB,



Kasus



Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan



Soeharto.



Peristiwa-peristiwa



tersebut



menguatkan



fakta



bahwa



perpindahan hak atas tanah dalam berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.



2.3. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang disebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market, dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit ”land hunger” dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanahtanah pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud. Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang- undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok



Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan. Undang-Undang



Pokok



tersebut



semuanya



bertujuan



untuk



melindungi



kepentingan sektoral, dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi kepentingan Penghuni



hutan



bisa



departemen/sektoral



dipindahkan (terkadang secara paksa/terpaksa) untuk



meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan sebagai Departemen



Kehutanan



masing-masing.



berdasar



UU



Pokok



hutan



lindung



Kehutanan, walaupun



oleh yang



bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa sebenarnya yang menjadi administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasionalkah atau Departemen- Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut



masih berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU



Pokok Kehutanan yang lebih menonjol termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di negeri dasar



hukum



atas



semua hal



ini?



Pertanyaan



dan



ini?



Apa



jawaban demikian



seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada dalam wilayah



yang diakui oleh Departemen



Kehutanan sebagai



kawasan hutan negara. Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh daratan Indonesia).



Realitas



pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang



dirumuskan dengan semangat nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan yang disampaikan



pemerintahan



Soeharto



menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum); (2) bahwa relasi UUPA dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola relasi Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo.134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya.



Apapun alasannya, penguasaan tanah,



terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanahtanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih berlaku seperti UUPA. Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan yang sangat



kuat



dan



berkuasa.



Ironisnya



kebijakan



tersebut



masih



berlanjut



sampai sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli.



2.4. Rekomendasi TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber



daya



lainnya oleh department/instansi sektor haruslah dihentikan,



karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil.



Selain itu, memahami karakter konflik



agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khusus penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini



yang didahulukan ? karena proses



penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu. Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah: 1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas; 2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan



tanah,



3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan 4)



memungkinkan



satu



terobosan



hukum



yang



menjadi



pintu



masuk



mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa tanah tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat. Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu sistem



administrasi



pertanahan



terutama



dalam



hal



sertifikasi tanah yang tidak beres, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah yang semata- mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan untuk menjalankan reformasi agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah agraria secara serius. 3.2 Saran



Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,



masyarakat



dengan



perusahaan



maupun



masyarakat



dengan



pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu



dilakukan



penyelesaian



sengketa alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia



belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan



DAFTAR PUSTAKA



KONFLIK TANAH DI INDONESIA Oleh: Suparman Marzuki, S.H., M.Si Direktur PUSHAM UII Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-AL Di Pasuruan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, Law community Peran Kantor Pertanahan Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan DI KABUPATEN KARANGANYAR, Oleh : SRIYONO S.H. CN Tanah Dan Hukum Tanah, oleh boedi djatmiko Undang-undang RI No.5 Tahun 1950 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999. Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1993. Prof.boedi Harsono, sejarah pembentukan undang-undang ,isi dan pelaksanaannya, Djambatan , edisi revisi 1999.



pokok



agraria,



Prof.boedi Harsono, Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi 2002.



.



16