Makalah Kecacingan Kelompok 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENYAKIT TROPIS DAN TRAUMATOLOGI BENCANA PENYAKIT KECACINGAN



OLEH: NASTESYA GEBRIELLA



N 201 16 101



VIVIN VIRDAYANTI



N 201 16 216



SASKIA KURNIATI



N 201 16 055



LUSTIAWATI



N 201 16 156



KELAS A



PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2019



KATA PENGANTAR Pertama-tama kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada kami sehingga karya tulis ilmiah mata kuliah penyakit tropis dan traumatologi bencana mengenai penyakit kecacingan ini dapat terselesaikan tepat waktu. Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sempurna. Begitu pula dengan karya tulis ini yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami deskripsikan dengan sempurna dalam karya tulis ini. Kami melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki. Maka dari itu, kami memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga dapat kami jadikan sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki karya tulis ilmiah kami di masa yang akan datang. Dengan menyelesaikan karya tulis ini kami mengharapkan banyak manfaat yang dapat dipetik dan diambil dari karya ini. Semoga dengan adanya karya tulis ilmiah ini dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai penyakit kecacingan, khususnya dapat mencegah penyakit kecacingan tersebut.



Palu, 17 September 2019



Penyusun Kelompok 5 2



DAFTAR ISI Sampul KATA PENGANTAR...........................................................................................ii DAFTAR ISI.......................................................................................................iii BAB I.................................................................................................................2 PENDAHULUAN...............................................................................................2 1.1 Latar Belakang.........................................................................................2 1.2 Tujuan......................................................................................................4 1.3 Manfaat....................................................................................................4 BAB II................................................................................................................6 HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................6 2.1 Pengertian................................................................................................6 2.2 Epidemiologi............................................................................................6 2.3 Etiologi.....................................................................................................7 2.4 Faktor-faktor Penyebab...........................................................................9 2.5 Masa Inkubasi........................................................................................10 2.6 Gambaran Klinis....................................................................................12 2.7 Mekanisme Penularan...........................................................................13 2.8 Diagnosis...............................................................................................14 2.9 Dampak..................................................................................................15 2.10 Upaya Pencegahan, Pengobatan dan Rehabilitasi.............................15 2.11 Hasil Temuan Terbaru..........................................................................17 BAB III.............................................................................................................18 PENUTUP.......................................................................................................18 3.1 Kesimpulan............................................................................................18 3.2 Saran......................................................................................................18 Soal Latihan....................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................20



3



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan masih menghadapi berbagai masalah kesehatan, salah satu diantaranya adalah penyakit kecacingan



yang



ditularkan



melalui



tanah.



Penyakit



ini



dapat



menyebabkan penurunan kesehatan, gizi, kecerdasan, produktifitas penderita dan secara ekonomi menyebabkan banyak kerugian (Ditjen PP dan



PL,



2012).



Pemerintah



telah



berusaha



melakukan



upaya



pemberantasan penyakit kecacingan dengan pemberian obat massal, promosi gaya hidup sehat dan sanitasi yang bersih. Namun, masyarakat Indonesia masih banyak menderita penyakit ini, terutama anak-anak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan terus upaya untuk memberantas penyakit kecacingan Penyakit kecacingan adalah salah satu penyakit endemik yang disebabkan oleh infeksi satu atau lebih jenis cacing. Prevalensi penyakit kecacingan masih tinggi terutama di daerah beriklim tropis dan subtropis. Hal ini disebabkan telur dan larva cacing dapat berkembang dengan baik di tanah yang basah dan hangat. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan penyebab penyakit kecacingan terbanyak di dunia, terutama spesies cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duuodenale), dan cacing cambuk (Trichuris trichiura). Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2016, lebih dari 1,5 milyar orang atau sekitar 24% penduduk dunia terinfeksi STH. Angka kejadian terbesar berada di sub-Sahara Afrika, Amerika, China dan Asia Timur. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dan memiliki kelembapan udara yang tinggi. Keadaan ini sangat mendukung Soil 4



Transmitted Helminths untuk dapat berkembang dengan baik. Tingkat ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia belum merata sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan masih belum baik. Hal ini yang menyebabkan penularan telur cacing lebih mudah di Indoneisa sehingga masyarakat dapat mengalami penyakit kecacingan. Penyakit kecacingan dapat menyebabkan penurunan kesehatan, gizi dan produktivitas pada penderita. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian, namun infeksi yang kronis bisa menimbulkan penurunan gizi, pertumbuhan terhambat, anemia, defisiensi vitamin A dan penurunan daya tahan tubuh. Morbiditas akibat penyakit kecacingan berhubungan dengan jumlah cacing yang menginfeksi tubuh. Infeksi yang ringan belum menimbulkan menyebabkan



gejala, sedangkan beberapa



gejala



infeksi



yang



lebih



berat dapat



berupa



diare,



sakit



perut,



lesu,



kelemahan, gangguan kognitif dan perkembangan fisik (WHO, 2016). Anak yang menderita penyakit kecacingan akan mengalami gangguan konsentrasi belajar dan gangguan tumbuh kembang sehingga akan mempengaruhi kemampuan anak dalam menerima pelajaran sekolah (Onggoluwo, 2002). Soil Transmitted Helminths dapat bertransmisi dari telur yang ada di dalam feses penderita penyakit kecacingan. Cacing dewasa yang hidup di usus manusia mampu menghasilkan ribuan telur setiap hari. Hal ini menyebabkan telur dapat mengontaminasi tanah pada area dengan sanitasi yang kurang baik. STH dapat masuk ke tubuh manusia dengan bermacam cara, yaitu dari telur yang menempel pada sayuran yang tidak dicuci bersih dan tidak dimasak, air yang terkontaminasi telur cacing, dan anak-anak yang bermain di tanah yang telah terkontaminasi telur STH. Selain itu, cacing tambang juga bisa menginfeksi manusia dengan cara penetrasi larva infekif melalui kulit. Penularan STH tidak bisa terjadi 5



secara langsung dari penderita atau dari feses yang baru. Hal ini disebabkan karena telur yang berada di feses tersebut membutuhkan waktu sekitar tiga minggu berada di tanah agar menjadi matang dan bersifat infektif. (WHO, 2016). 1.2 Tujuan a. Mengetahui pengertian penyakit kecacingan b. Mengetahui epidemiologi penyakit kecacingan c. Mengetahui etiologi penyakit kecacingan d. Mengetahui faktor yang menyebabkan penyakit kecacingan e. Mengetahui masa inkubasi penyakit kecacingan f. Mengetahui gambaran klinis penyakit kecacingan g. Mengetahui mekanisme penularan penyakit kecacingan h. Mengetahui diagnosis penyakit kecacingan i. Mengetahui dampak penyakit kecacingan j. Mengetahui upaya pencegaahan, pengobatan dan rehabilitas penyakit kecacingan k. Mengetahui hasil temuan baru penyakit kecacingan 1.3 Manfaat a. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian penyakit kecacingan b. Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi penyakit kecacingan c. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi penyakit kecacingan d. Mahasiswa dapat mengetahui faktor yang menyebabkan penyakit kecacingan e. Mahasiswa dapat mengetahui masa inkubasi penyakit kecacingan f. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran klinis penyakit kecacingan g. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme penularan penyakit kecacingan 6



h. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis penyakit kecacingan i. Mahasiswa dapat mengetahui dampak penyakit kecacingan j. Mahasiswa dapat mengetahui upaya pencegaahan, pengobatan dan rehabilitas penyakit kecacingan k. Mahasiswa dapat mengetahui hasil temuan baru penyakit kecacingan



7



BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Kecacingan adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Trichuris trichuira dan Ancylostoma duodenale (WHO, 2016). Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk dalam infeksi yang di sebabkan oleh parasit. Parasit adalah mahluk kecil yang menyerang tubuh inangnya dengan cara menempelkan diri (baik di luar atau di dalam tubuh) dan mengambil nutrisi daritubuh inangnya. Pada



kasus



cacingan,



maka



cacing



tersebut



bahkan



dapat



melemahkantubuh inangnya dan menyebabkan gangguan kesehatan (WHO, 2016). 2.2 Epidemiologi Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anakanak yakni antara 60-90% sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehingga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva cacing Ascaris misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricoides (Gandahusada, 2006).



8



Perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropis dengan suhu optimal adalah 25-30oC. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing, sementara dengan bantuan angin maka telur cacing yang infektif bersama dengan debu dapat menyebar ke lingkungan.Telur cacing dapat dirusak dengan sinar matahari langsung selama 12 jam dan sangat cepat mati pada temperatur di atas 40oC, sebaliknya dingin tidak mempengaruhi. Oleh karena itu, telur Ascaris dapat bertahan selama musim dingin. Telur cacing juga resisten terhadap desinfektan kimiawi (Gandahusada, 2006). 2.3 Etiologi Penyakit infeksi cacingan atau bisa pula disebut dengan penyakit cacingan sangat berkaitan erat dengan masalah hygiene dan sanitasi lingkungan. Di Indonesia masih banyak tumbuh subur penyakit cacing penyebabnya adalah hygiene perorangan sebagian masyarakat yang masih kurang. Kebanyakan penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor. Kuku jemari tangan yang kotor dan panjang sering terselipi telur cacing karena kebiasaan anak bermain ditanah. Orang dewasa bekerja di kebun, dan disawah. Etiologi cacing perut diantaranya: 1. Umur Umur balita terendah 1 tahun, tertinggi 4 tahun dengan ratarata 2,76. Frekuensi terbanyak pada umur 3 tahun yaitu senbanyak 49,1%. 2. Jenis Kelamin Distribusi anak menurut jenis kelamin hampir berimbang walaupun lebih banyak anak laki- laki dari pada perempuan. 3. Kebiasaan Mencuci Tangan Mencuci tangan adalah aktifitas yang dilakukan sebelum makan, setelah bermain dan setelah BAB, berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak hanya 3,7% yang terbiasa melakukan kebiasaan mencucitangan. 9



4.



Kebiasaan Memakai Alas Kaki Kebiasaaan memakai alas kaki adalah kebiasaan anak



memakai sandal atau sepatu setiap bermain didalam dan diluar rumah. berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak hanya 1,9% yang terbiasa memakai alas kaki. 5. Kebersihan Kuku Kebersihan kuku aktifitas yangdilakukan dengan memangkas dan memotong kuku satu minggu sekali dan membersihkan sela-sela kuku setiap mencuci tangan. Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 88,9% memiliki kuku kotor. 6. Kebiasaan Bermain ditanah Bermain ditanah adalah aktifitas fisik yang mengakibatkan tangan,



kuku,



kaki



dan



kulit



kontak



langsungdengan



tanah,berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 98,1% terbiasa bermain ditanah. 7. Kepemilikkan Jamban Kepemilikkan jamban tempat untuk BAB bagi keluarga yangmerupakan milik keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, berdasarkan hasil penelitian dari 54 keluarga sebanyak 94,4% memiliki jamban. 8. Lantai Rumah Lantai rumah mencakup bahan yang digunakan sebagai lantai rumah yang terbuat dari bahan yang kedap air. Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak sebanyak 87% yang lantai rumahnya kedap air. 9.



Ketersediaan Air Bersih Mencakup kecukupan air yangmemenuhi syarat air bersih



yaitu tidak berbau,berasa, dan tidak berwarnauntuk kebutuhan hidup sehari-hari Berdasarkan hasil penelitian dari 54 anak 100% mempunyai ketersediaan air bersih. 2.4 Faktor-faktor Penyebab 1. Sanitasi lingkungan 10



Kasus penyebaran penyakit cacingan oleh kotoran manusia dapat terjadi jika didukung oleh buruknya sanitasi lingkungan, seperti tidak tersedianya fasilitas jamban atau WC, Perilaku BAB tidak di jamban serta kurangnya ketersediaan sumber air bersih adalah beberapa kondisi sebagai faktor risiko terjadinya penyakit cacingan. Sehingga perilaku BAB di sungai dan kebun dapat memperburuk kondisi sanitasi lingkungan, dengan memungkinkan tersebarnya telur cacing yang terkontaminasi pada kotoran, Perilaku BAB tidak di jamban dapat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses yang mengandung telur cacing adalah kondisi yang mendukung terjadinya penyakit



cacingan



Penyebaran



helminthiasis



dapat



melalui



terkontaminasinya tanah dengan tinja (manusia dan hewan) yang mengandung telur cacing adapun



Keberadaan sumber air bersih



sebagai air konsumsi harian juga harus dipastikan kelayakannya. Air yang baik adalah tidak berbau, berwarna, berasa, dan terjaga dari kotoran hewan yang bisa saja membawa penyebab penyakit seperti 2.



telur dan larva cacing. Sanitasi makanan dan minuman Salah satu factor yang menyebabkan cacingan adalah sayur yang hanya dicuci tidak dapat menghilangkan seluruh cacing didalamnya. Penyakit cacingan dapat terjadi ketika seseorang mengkonsumsi sayur dan buah tanpa melalui proses dikupas, dicuci, dan dimasak dengan baik.



Karena



sayur



yang



hanya



dicuci



sebelum



dikonsumsi,



memungkinkan masih adanya telur atau larva cacing pada bagian dalam sayur, yang hanya bisa dimatikan melalui proses pemasakan, WHO (2017) mengatakan bahwa kebiasaan menggunakan pupuk dari kotoran hewan pada lahan pertanian sayur, akan menyebabkan infeksi cacingan jika sayur tersebut tidak direbus (dimasak). 3. Perilaku kebersihan diri 11



Perilaku mencuci tangan merupakan faktor risiko dari penyakit cacingan (Umar, 2008). Kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan telur cacing, tanpa disertai perilaku mencuci tangan sebelum makan, setelah BAB, dan setelah bermain diluar rumah sering menjadi cara penularan penyakit cacingan. Faktor risiko lainnya selain mencuci tangan adalah melalui perilaku menjaga kebersihan kuku (Umar, 2008). Anak memiliki kecenderungan kontak dengan tanah yang terkontaminasi dengan telur cacing memungkinkan adanya telur dan larva cacing pada kuku tersebut. 2.5 Masa Inkubasi a.



Ascaris lumbricoides (cacing gelang) Siklus hidup A. lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur



oleh cacing betina sekitar 200.000 telur per hari dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Telur fertil dapat membentuk embrio dan menjadi kondisi infektif (second-stage larva) setelah 10-14 hari pada 28-32 oC atau 45-55 hari pada 16-18oC. Telur dapat bertahan hidup tergantung dengan kondisi yang menguntungkan seperti suhu (534oC), tanah yang lembab (kelembaban >4%) dan tanah yang terlindung matahari. Apabila manusia tertelan telur yang infektif, larva akan menetas di jejunum dan melepaskan larva stadium dua. Larva akan menembus dinding usus halus menuju ke venula mesenterika, masuk ke sirkulasi porta, kemudian ke jantung kanan lalu mengikuti aliran darah ke paru (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Shoff dan Shoff, 2015). Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus dan masuk rongga alveolus. Larva akan menetas menjadi larva stadium 3 dan larva stadium 4 dalam waktu 4-14 hari. Larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkiolus menuju bronkus lalu ke trakea. Larva dari trakea menuju ke faring sehingga menimbulkan 12



rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus dan menjadi dewasa dalam waktu 14-20 hari. Siklus ini berlangsung sekitar 65-70 hari atau kurang lebih 2-3 bulan (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Shoff dan Shoff, 2015) b. Trichuris trichiura ( cacing cambuk) Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang inefektif (telur



yang



mengandung



larva)



atau



kontak



dengan



yang



terkontaminasi. Setelah tertelan, larva keluar melalui dinding telur, menembus dan berkembang di mukosa usus halus. Setelah menjadi dewasa (±1 minggu), cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon (sekum). Cacing betina di sekum setelah 3 bulan dari infeksi dapat menghasilkan 3000-20000 telur setiap harinya dan akan dikeluarkan bersama tinja (Soedarmo et al., 2012; Gupta dan Ang, 2015). c. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing kait) Telur cacing kait dikeluarkan bersama feses dan berkembang di tanah. Pada kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal (2030 oC), telur akan menetas dalam 1-2 hari dan mengeluarkan larva rabditiform (L1) (Soedarmo et al., 2012; Haburchak dan Dhawan, 2014). Telur A. duodenale berukuran 56-60 mm x 36-40 mm dan telur N. americanus berukuran 64-76 mm x 36-40 mm (Soedarmo et al.,2012). Telur cacing kait berbentuk bujur dan mempunyai satu lapis dinding tipis. Larva rabditiform (panjang ±250 µm) dalam waktu 5- 10 hari akan mengalami dua kali perubahan dan akan menjadi larva filariform/ L3 (panjang 600µm) dan dapat bertahan hidup sampai 2 tahun di tanah yang lembab (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Haburchak dan Dhawan, 18 2014). Larva akan menembus kulit manusia (bisa juga termakan) dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena sampai ke jantung lalu ke alveoli paru dalam 13



waktu 10 hari. Larva akan bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea dan faring. Larva akan tertelan serta turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo et al., 2012). 2.6 Gambaran Klinis Angka kejadian ini dapat dilihat berdasarkan pola hidup di sekitar, dan juga berdasarkan asuhan orang tua. Cacing kremi umum terjadi terutama pada anak-anak dan penyakit parasit ini dapat menulari siapapun



namun yang paling sering terjadi pada anak-anak. Hal ini



disebabkan karena mereka belum bias menjaga pola hidup bersih dan sehat tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. Hali ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi Enterobius vermicularis pada anak-anak adalah dengan pola hidup sehari-hari, seperti pada saat terjadinya banjir pada musim hujan atau bahkan karena keseharian mereka sering bermain ditempat-tempat yang kotor dimana terdapat Enterobius vermicularis



atau bahkan karena tidak mencuci tangan pada saat



sebelum dan sesudah makan. Kurangnya inisiatif menjaga kesehatan yang tidak diharapkan oleh orang tua pada anak ( Astuti, 2012). 2.7 Mekanisme Penularan Perilaku anak BAB tidak dijamban atau di sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing. Penyebaran infeksi kecacingan tergantung dari lingkungan yang tercemar tinja yang mengandung telur cacing. Infeksi pada anak sering terjadi karena menelan tanah yang tercemar telur cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing. Penularan melalui air sungai juga dapat terjadi, karena air sungai sering digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, Perilaku anak jajan di sembarang tempat 14



yang kebersihannya tidak dapat dikontrol oleh orangtua dan tidak terlindung dan dapat tercemar oleh debu dan kotoran yang mengandung telur cacing, hal ini dapat menjadi sumber penularan infeksi kecacingan pada anak. Selain melalui tangan, transmisi telur cacing juga dapat melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut jika diterbangkan oleh angin atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan, sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut, terutama pada jajanan yang tidak tertutup (Wijaya, Tuda, & Sorisi, 2019). a. Faktor Lingkungan Lingkungan yang kumuh sangat mendukung dalam penyebaran penyakit



kecacingan.



Lingkungan



yang



tidak



higiene



dapat



memperrmudah perkembangbiakkan telur cacing menjadi infektif, tanah yang gembur serta lingkungan yang tidak tertata dengan rapi dapat memperbesar peluang penyebaran cacing. b. Faktor Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Faktor sanitasi lingkungan dan higiene perorangan dapat memepermudah penularan infeksi cacing usus. 2.8 Diagnosis Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita



cacingan



biasanya



lesu,



tidak



bergairah



dan



kurang



konsentrasi belajar (Wijaya et al., 2019). Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai 15



sebagai



pedoman



untuk



menentukan



beratnya



infeksi



(Menteri



Kesehatan, 2006). a. Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan mikroskopis pada hapusan tinja dan dihitung dengan metode apus tebal kato. Infeksi biseksual menyebabkan ekskresi telur fertil matang, sedangkan telur infertil ditemukan pada individu yang terinfeksi hanya dengan cacing betina. 2. Ditemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan pada penyakit paru. 3. Pada pemeriksaan darah ditemukan periferal eosinophilia. b. Pemeriksaan foto 1. Foto thorak menunjukkan gambaran opak pada lapang pandang paru seperti pada sindrom Loeffler. 2. Penyakit pada saluran empedu Endoscopic



retrogade



cholangiopancreatography (ERCP) memiliki sensitifitas 90 % dalam membantu mendiagnosis biliary ascariasis. Ultrasonography memiliki sensitivitas 50



%



untuk



membantu membuat diagnosis biliary ascariasis. 2.9 Dampak a. Langsung Pergerakan cacing akan mengganggu konsentrasi individu yang terinfeksi. Pada beberapa penelitian bahwa anak yang kecacingan akan mengalami nyeri perut, gangguan tidur, dan mudah lelah yang kemudian menyebabkan penurunan prestasi di sekolah. Pengobatan terhadap kecacingan tersebut akan menyebabkan perbaikan nafsu makan, hilangnya nyeri perut dan nyeri kepala (Nocken dan Bundy, 1994). b. Tidak Langsung Cacing mempengaruhi nutrisi dengan cara konsumsi langsung zat nutrisi, darah, menyebabkan malabsorbsi, mensekresi protease 16



inhibitor dan merangsang respon imun terhadap infeksi yang akan menyebabkan



anoreksia.



Kurangnya



nutrisi



akan



mengurangi



kemampuan kerja mental dalam memusatkan dan mempertahankan konsentrasi. Infeksi Ascaris lubricoides menyebabkan penurunan kecepatan



pertumbuhan,



konsumsi



makanan



yang



berkurang,



gangguan penyerapan lemak dan protein dan menurunkan aktivitas laktase (Nocken dan Bundy, 1994). 2.10 Upaya Pencegahan, Pengobatan dan Rehabilitasi a. Pencegahan 1. Mencuci tangan dengan sabun, setelah BAB, setelah mencebok anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, sebelum tidur 2. Memasak makanan sampai matang 3. Buang air besar di jamban 4. Menjaga kebersihan makanan dari lalat dengan menutupnya memakai tudung saji 5. Memakai alas kaki/ sandal/ sepatu. 6. Potong kuku jari tangan dan kaki secara rutin b. Pengobatan 1. Albendazole Albendazole adalah jenis obat antihelmintik yang berfungsi mengatasi infeksi yang disebabkan oleh cacing, seperti cacing tambang, cacing pita, cacing cambuk, cacing gelang, dan cacing kremi. Obat ini ampuh untuk membantu mematikan cacing di dalam tubuh. 2. Pirantel pamoat



17



Obat ini akan membuat cacing di dalam tubuh mengalami kelumpuhan spastik. Cacing yang mengalami kelumpuhan ini akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Pemakaian obat ini berupa dosis tunggal, yaitu hanya satu kali minum saja. Namun dosis obat untuk diminum ini biasanya dihitung per berat badan seseorang, yaitu 10 mg/kgBB. Meski begitu, dosis yang dikonsumi tidak dianjurkan lebih dari 1 gram. 3. Mebendazole Mebendazole juga obat yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh cacing dengan cara melumpuhkan dan membunuh cacing yang menginfeksi saluran pencernaan. Cara kerja obat ini adalah mencegah cacing menyerap gula yang merupakan sumber makanannya. c. Rehabilitasi Rehabilitasi yang dilakukan misalnya perawatan rumah bagi orang/ anak yang terinfeksi kecacingan . 2.11 Hasil Temuan Terbaru Prevalensi infeksi cacing di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi kecacingan untuk semua umur di Indonesia berkisar antara 40%-60%. Sedangkan prevalensi kecacingan pada anak di seluruh Indonesia pada usia 1-6 tahun atau usia 7-12 tahun berada pada tingkat yang tinggi, yakni 30 % hingga 90% (Depkes RI, 2015).



18



Berdasarkan dari hasil penelitian



Johan Ade Wicaksono,



Suswaty, Heru Apriantoro, & Sasongko (2018) , prevalensi infeksi parasit usus pada anak di kampung pasar Keputran Utara Surabaya menunjukkan hasil positif 36%. Prevalensi tersebut sama dengan prevalensi parasit usus yang terlaporkan di Surabaya. Hal ini menujukkan bahwa penyakit cacingan tidak hanya terjadi di daerah pinggiran atau pedesaan, tetapi juga bisa terjadi di kota. Selain dari faktor iklim dan lingkungan, jenis kelamin dan umur berpengaruh terhadap terjadinya infeksi parasit usus pada daerah tersebut.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan dari penyakit kekacingan adalah Kecacingan adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak yakni antara 60-90% sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Penyakit infeksi cacingan atau bisa pula disebut dengan penyakit cacingan sangat berkaitan erat dengan masalah hygiene dan sanitasi lingkungan. Siklus hidup A. lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina sekitar 200.000 telur per hari dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Angka kejadian ini dapat dilihat berdasarkan pola hidup di sekitar, dan juga berdasarkan asuhan orang tua. Perilaku anak BAB tidak dijamban atau di sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh tinja yang berisi telur cacing. Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit19



penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi kecacingan untuk semua umur di Indonesia berkisar antara 40%-60%. Sedangkan prevalensi kecacingan pada anak di seluruh Indonesia pada usia 1-6 tahun atau usia 7-12 tahun berada pada tingkat yang tinggi, yakni 30 % hingga 90% 3.2 Saran Saran untuk kedepanya yakni dalam pencarian data harus lebih di perbanyak, serta melakukan perbaikan lebih baik lagi kedepanya. Dan untuk memperbaiki penulisan. Soal Latihan 1. Suhu optimal untuk Perkembangan telur dan larva cacing Jawab : 25-30oC 2. Jelaska Factor-faktor penyebab kecacingan ? Jawab : Sanitasi lingkungan, Sanitasi makanan dan minuman Perilaku kebersihan diri 3. Dampak langsung dalam kecacingan? Jawab : kecacingan akan mengalami nyeri perut, gangguan tidur, dan mudah lelah yang kemudian menyebabkan penurunan prestasi di sekolah. Pengobatan terhadap kecacingan tersebut akan menyebabkan perbaikan nafsu makan, hilangnya nyeri perut dan nyeri kepala 4. Sebutkan cara pencegahan kecacingan? Jawab: a. Mencuci tangan dengan sabun, setelah



BAB,



setelah



mencebok anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan, sebelum tidur b. Memasak makanan sampai matang 20



c. d.



Buang air besar di jamban Menjaga kebersihan makanan dari lalat dengan menutupnya



memakai tudung saji e. Memakai alas kaki/ sandal/ sepatu. f. Potong kuku jari tangan dan kaki secara rutin 4. jelaskan pengertian kecacingan ? Jawab : Kecacingan adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus.



DAFTAR PUSTAKA Astuty H, Mulyati, dan Winita. 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan di Sekolah Dasar. Makara, Jurnal Kesehatan, Vol. 16, No. 2 hal:65-71. Jakarta: Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia Departemen Kesehatan RI, 2015, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan Direktorat Jenderal P & PL Kemenkes RI, 2012. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan tahun 2012. Jakarta: KEMENKES RI. Gandahusada, 2006. Parasitologi Kedokteran Cetakan ke-VI, FKUI, Jakarta. Johan Ade Wicaksono, C., Suswaty, S., Heru Apriantoro, N., & Sasongko, A. (2018). Prevalence Of Intestinal Helminthiasis In Children At North Keputran Surabaya At 2017. Elseveir, 01, 97–101. https://doi.org/10.20473/jvhs Onggowoluwo. 2002. Parasitologi medik (helmintologi) pendekatan aspek identifikasi, diagnostik dan klinik. Jakarta: EGC. Noken C, Bundy D.A.P. 1994. Does helminth infection affect mental processing and educational achievement. Reprinted from parasitology today: 14 – 16.



21



Sumanto, D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang Pada Anak Sekolah (Studi kasus kontrol di Desa Rejosari, Karangawen, Demak). (Online) World Health Organization (WHO).(2016). Soil transmitted helminths infections. WHO. 2017. Ottawa Charter, The First International Conference of Health. (Online), (http://www.who.int/healthprom otion/conferences /previous /ottawa/en/) diakses 13 April 2017 Wijaya, R., Tuda, J., & Sorisi, A. (2019). Prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah pada petani di Kelurahan Ranowangko Kecamatan Tondano Timur Kabupaten Minahasa. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan Tropik, 6(2), 310–313.



22