Makalah Kelompok 5 RDS Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Respiratory Distress Sindrom (RDS) Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keperawatan Anak



Kelas D Kabupaten Lumajang Kelompok 5 : 1. Anang Lutfianto 2. Isna Ainun Ana 3. Sarifah Aini Tika R. 4. Farida Nur’Aini 5. Pusfita Dwi Rosantina 6. M. Dafid Alfarizy



STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN GENGGONG PROBOLINGGO 2021



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius, yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan. Sindroma gagal nafas (Respiratory Distress Sindrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Marmi &Rahardjo, 2012). Bayi BBLR dengan RDS masih terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global karena efek jangka pendek dan panjangnya. Tahun 2011 (15%) bayi lahir dengan BBLR di seluruh dunia (WHO, 2014). Data United Nation tahun 2010 bahwa 41% kematian bayi terjadi pada usia neonatal dengan usia 0-28 hari. Angka Kematian Neonatus (AKN) pada tahun 2012 sebesar 19 per 1000 kelahiran (SDKI, 2012). Penyebab utama kematian neonatal dini di Indonesia berdasarkan trend kematian neonatal dari tahun 2001–2007 adalah gangguan pernapasan ketika lahir ( birth asphyxia, respiratory distress



syndrome, aspirasi meconium), prematur dan berat badan lahir rendah untuk bayi neonatal dini, serta sepsis neonatorum (Djaja, 2009). Menurut Marfuah (2013) kematian neonatus di RSD. Dr. Haryoto Lumajang disebabkan oleh kegawatan nafas neonatus yaitu kasus asfiksia 68,24%, 26 kasus MAS (Meconium Aspiration Syndrome) 11,2%, 56 kasus Respirasi Distress Syndrom (RDS) 24,3%, 146 kasus BBLR dan neonatus prematur 62,7%, 102 kasus sepsis 43,8%, 16 kasus pneumonia 6,9% dan 5 kasus apneu prematuritas 2,2%. Prevalensi penyakit sistem pernafasan pada bayi baru lahir mencapai 27,5% pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 29,5% pada tahun 2010, Di negara maju seperti Amerika serikat, penyakit ini masih mempengaruhi sekitar 40.000 bayi setiap tahunnya dan menyebabkan 20% kematian bayi. Kejadian Respirasi Distress Syndrom (RDS) ini 60%-80% terjadi pada bayi prematur dan hanya 5% saja kejadian pada bayi matur (Erlita,R, 2013).



Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan sindrom gawat nafas yang disebabkan oleh kurangnya surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa kehamilan



yang kurang. RDS juga dapat disebut Hyaline Membrane Disease (HMD). RDS terjadi karena adanya atelektasis alveoli, edema, kerusakan sel sehingga dapat menyebabkan terjadinya bocornya serum protein ke dalam alveoli yang menghambat fungsi surfaktan. Surfaktan merupakan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Pertumbuhan surfaktan paru mencapai maksimum pada usia kehamilan ke 35 minggu (fida & maya, 2012). Kekurangan



surfaktan



menyebabkan



gangguan



kemampuan



paru



untuk



mempertahankan stabilitasnya. Hal ini menyebabkan alveolus kembali kolaps setiap akhir ekspirasi yang berikutnya membutuhkan tekanan negative intoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang kuat. Tanda dan gejala dari sindrom gawat nafas atau RDS adalah pernafasan cepat, sianosis perioral, merintih waktu ekspirasi, retraksi substernal dan interkostal. Masalah pernafasan pada bayi sering dihubungkan dengan kondisi Respiratory



Distresss Syndrome (RDS) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi (pantiawati, 2010). Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi aterm maupun pada bayi preterm, yaitu bayi dengan berat lahir cukup maupun dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR yang preterm mempunyai potensi kegawatan lebih besar karena belum maturnya fungsiorgan organ tubuh. Kegawatan sistem pernafasan dapat terjadi pada bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dalam bentuk sindroma gagal nafas dan asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi cukup bulan paru (Marmi &Rahardjo,2012). Immaturitas sistem pernapasan pada bayi dengan RDS dapat menyebabkan masalah keperawatan yaitu pola napas tidak efektif. Pola napas tidak efektif merupakan inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat (Tim Pokja SDKI, 2016). Faktor yang dapat menyebabkan pola napas tidak efektif pada bayi dengan RDS yaitu hambatan upaya napas seperti kelelahan otot pernapasan. Tanda dan gejala pola napas tidak efektif pada bayi dengan RDS terdiri dari tanda gejala mayor yaitu dipsnea, penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, pola napas abnormal, dan tanda gejala minor yaitu ortopnea, pernapasan cuping hidung, retraksi dada (Tim Pokja SDKI, 2016).



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Sindroma gagal nafas (Respiratory Distress Sindrom, RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus.Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.(Marmi&Rahardjo,2012) Sindrom distres pernafasan dewasa (ARDS) adalah suatu penyakit yang di tandai oleh kerusakan luas alveolus dan / atau membrane kapiler paru. Respiratory distress



syndrome (RDS) merupakan penyebab morbiditas utama pada anak. Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi < 28 minggu. Penyebab terbanyak (SGNN) adalah penyakit membran hialin (PMH) yang terjadi akibat kekurangansurfaktan. Kelainan paru ini membawa akibat pada sistem kardiovaskular seperti terjadinya pengisian ventrikel kiri yang menurun, penurunan isi sekuncup, curah jantung yang menurun, bahkan dapat terjadi hipotensi sampai syok. Resistensi pembuluh darah paru yang meningkat dapat menimbulkan hipertensi pulmonal persisten. Pada bayi yang sembuh dari PMH dapat terjadi duktus arteriosus persisten (DAP). Pemeriksaan penunjang radiologis, laboratorium, EKG dan ekokardiografi sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis RDS. Tata laksana penyakit ini sangat tergantung pada tingkat gangguan kardiovaskular yang terjadi. Definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi. Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar. Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS.



Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat. 2.2 Tanda Dan Gejala Tanda dan gejala sindrom gawat pernapasan (RDS) biasa nya terjadi pada saat lahir atau dalam beberapa jam pertama yang mengikuti, termasuk (NHLBI, 2012): 1) Pemapasan Cepat dan dangkal 2) Retraksi dada 3) Suara mendengus 4) Lubang hidung melebar (cuping hidung) 5) Bayi juga mungkin memiliki jeda dalam bemapas yang berlangsung selama beberapa detik (apnea) Menurut Siti N.J, (2017), tanda dan gejala sindrom gawat pernapasan (RDS) pada neonatus yaitu: 1) Frekuensi nafas >60 x / menit 2) Frekuensinafas< 30 x / menit 3) Bayidengansianosisentral 4) Retraksi dada Pada umumnya, RDS (Respiratory Distress Syndrome ) dua kali lebih banyak dialami oleh anak laki-laki daripada perempuan selain itu insiden penyakit ini meningkat pada anak dengan faktor-faktor tertentu, seperti ibu penderita diabetes yang melahirkan anak kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal, dan lahir melalui section caesaria (Fida dan Maya, 2012). Menurut JNPK-KR (2008), presentasi klinis RDS adalah :



1.



Biasa ditemui pada saat lahir tetapi mungkin muncul pada waktu hingga 12 jam setelah kelahiran



2.



Ditemui dengan gawat pernapasan yang semakin parah



3.



Peningkatan upaya pernapasan dan frekuensi napas



4.



Sianosis pada udara kamar yang terus bertahan atau melaju selama 48 jam pertama kehidupan



5.



Peningkatan takipnea (> 60 per menit)



6.



Merintih pada saat ekspirasi dan retraksi dinding dada



7.



Pemeriksaan laboratorium



8.



Gas darah mengungkap adanya hipoksia, hiperkapnia dan asidosis



9.



Gambaran darah lengkap menyisihkan kemungkinan infeksi



10.



Kadar glukosa darah biasanya rendah



11.



Rontgen mengungkap kepadatan retikulogranular bilateral (penampilan seperti serpihan kaca) dan paru opak (udara-bronkogram) Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan



kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu : a. Stadium 1 Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara b. Stadium 2 Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru. c. Stadium 3 Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas. d. Stadium 4 Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.



2.3



Etiologi Penyebab kegagalan pernafasan pada neonatus yang terdiridarifaktor ibu, faktor



plasenta, faktor janin dan faktor persalinan. Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35tahun, gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, maupun penyakit pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, dan lain-lain. Faktor plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya. Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, gemeli, prematur, kelainan kongenital pada neonatus dan lain-lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan lain-lain. Menurut JNPK-KR (2008), faktor yang meningkatkan atau menurunkan risiko RDS adalah :



1) Peningkatan risiko: a) Kelahiran kurang bulan b) Bayi laki-laki c) Redisposisi familial d) Seksio sesarea tanpa didahului proses persalinan e) Asfiksia perinatal f)



Korioamnionitis



g) Neonatus dari ibu diabetes h) Hydrops fetalis 2) Menurunkan risiko: a) Stress intrauterine yang kronis • Ketuban Pecah Dini (KPD) dalam jangka Panjang • Hipertensi ibu • Pemakaian narkotik • Pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK) b) Kortikosteroid – Prenatal c) Agentokolitik. Faktor Risiko Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain : 1) Faktor ibu a) Preeklampsia dan eclampsia b) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta) c) Partus lama atau partus macet d) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV) e)Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan) 2) Faktor Tali Pusat a)



Lilitan tali pusat



b)



Tali pusat pendek



c)



Simpul tali pusat



d)



Prolapsus tali pusat.



3) Faktor bayi



a)



Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)



b)



Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)



c)



Kelainan bawaan (kongenital)



d)



Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) (DepKes RI, 2008). c.



Klasifikasi Menurut Prawirohardjo (2010) Klasifikasi klinik nilai APGAR adalah: 1) Asfiksia Ringan (nilai APGAR 7-10) 2) Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6) 3) Asfiksia Berat (nilai APGAR 0-3) Menurut Depkes RI (2008). Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini : 1) DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur 2) Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala 3) Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain 4) Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen 5) Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otototot jantung atau sel-sel otak 6) Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan 7) Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas tidak teratur/megap-megap



2.4 Patofoisiologi Kegawatan pernafasan dapat terjadi pada bayi dengan gangguan pernafasan yang dapat menimbulkan dampak yang cukup berat bagibayiberupa kerusakan otak atau bahkan kematian. Akibat dari gangguan padasistem pernafasan adalah terjadinya kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh bayi akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan menghasilkan asam laktat. Dengan memburukya keadaan asidosis dan penurunan aliran darah keotak maka akan terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia. Pada stadium awal terjadi hiperventilasi diikuti stadium apneu primer. Pada keadaan ini bayi tampak sianosis, tetapi sirkulasi darah relative masih baik. Curah jantung yang meningkat dan adanya vasokontriksi perifer ringan menimbulkan peninggkatan tekanan darah danreflek bradikardi ringan. Depresi pernafasan pada saat ini dapat diatasi dengaan meningkatkan implus aferen seperti perangsangan pada kulit. Apneu normal berlangsung sekitar 1-2 menit. Apnea primer dapat memanjang dan diikuti dengan memburuknya sistem sirkulasi. Hipoksia miokardium dan asidosis akan memperberat bradikardi, vasokontraksi danhipotensi. Keadaan ini dapat terjadi sampai 5menit dan kemudian terjadi apneu sekunder. Selama apneu sekunder denyut jantung, tekanan darah dankadar oksigen dalam darah terus menurun. Bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Kematian akan terjadi kecuali pernafasan buatan dan pemberian oksigen segera dimulai (Marmi &Rahardjo,2012). ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru ataualveolus. ARDS terjadi sebagai akibat cedera pada membran kapiler alveolar yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang intestisial alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler. Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. PMH seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya PMH. Dihubungkan dengan usia kehamilan, semakin muda seorang bayi, semakin tinggi Resiko RDS sehingga menjadikan perkembangan yang imatur pada system pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS terdapat dua kali lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan, insidens meningkat



pada bayi dengan factor-faktor tertentu, misalnya: ibu diabetes yang melahirkan bayi kurang dari 38 minggu, hipoksia perinatal, lahir melalui seksio sesaria. ARDS berkembang sebagai akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung.  Gangguan traktus respiratorius: 



Hyaline membrane disease (HMD) Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi (bayi prematur)







Transient tachypnoe of the newborn (TTN)







Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada bayi Caesar karena dadanya tidak mengalami kompresi oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.: o Infeksi (pneumonia) o



Sindroma aspirasi



o Hipoplasia paru o Hipertensi pulmonal o Kelainan congenital (choanal atresia, hernia diagfragma, pieer robin sindroma) o Pleural effusion o



Kelumpuhan saraf frenikus



 Luar traktus respiratoris: Kelainan jantung congenital, kelainan metabolic, darah dan SSP.



Patway RDS



Berbagai teori telah ditemukan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan substansi surtaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak. Senyawa utama zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai maksimum pada minggu ke35. Peranan surfaktan ialah untuk



merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membran hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yanglebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan :  Oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolic pada bayi.  Kerusakan endotel kapiler dan apitel duktus dan alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan subtansi surfaktan. Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini.



Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplekpada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). 2.5 Manifestasi Klinik 



Pernafasan cepat (takipneu)







Pernafasan cuping hidung







Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis







Sianosis sejalan dengan hipoksemia







Peningkatan jumlah pernapasan







Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan







Hipotensi sistemik ( pucat perifer, edema, pengisian kapiler tertunda lebih dari 3 sampai 4 detik )







Penurunan keluaran urine







Penurunan suara nafas dengan ronkhi







Takhikardi pada saat terjadinya asidosis dan hipoksemia Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh



tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. 2.6



Pemeriksaan



A. Pemeriksaan diagnostik  Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah (untuk mengetahui hipoglikemia). Kalsium serum (untuk mementukan hipokalsemia), analisis gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg , peningkatan kadar kalium darah, pemeriksaan sinar-X menunjukan adanya



atelektasis, lesitin/spingomielin rasio 2:1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia kehamolan 33 minggu.  Sinar X dada  Tes fungsi paru  Kadar asam laktad B. Pemeriksaan fisik  Pada pemeriksaan fisik ditemukan takhipneu (> 60 x/i ), pernafasan mendengkur,retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernafasan dalam.  Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan nafas dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi: 1.



Frekwensi nafas Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.



2.



Mekanisme usaha pernafasan Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obstruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala keatas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan



3.



Warna kulit/membran mukosa Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbecak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.



4.



Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi: a. Frekuensi jantung dan tekanan darah Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietes, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung. b. Kualitas nadi Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan kapiler dapat dilakukan dengan cara: 



Nail bed pressure (Tekan pada kuku)







Blancing skin test, caranya dengan meninggikan sedikit ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.



c. Perfusi pada otak dan respirasi Gangguan fungsi serebral awalnay adalah gaduh, gelisah diselingi agitasi dan latergi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil. 2.7.1



Penatalaksanaan



1. Terapi ARDS Tujuan terapi 1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkanumumnya bersifat suportif 2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat 3. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi) ak ada terapi yang dapat menyembuhkan 􀃆nya bersifat suportif Strategi Terapi Non-farmakologi







Ventilasi mekanis



dgn berbagai teknik pemberianmenggunakan ventilator,



mengaturPEEP (positive-endexpiratory pressure) 



Pembatasan cairan







Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutinberfokus untuk memelihara oksigenasi



danperfusan



yang



adekuatmencegah



komplikasi



nosokomial



(kaitannya) Farmakologi 



Inhalasi NO2 dan vasodilator lain







Kortikosteroid (masih kontroversial : no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinofilik)







Ketoconazole : inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat biosintesis leukotrienes mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS







Inotropik agent (Dopamine ) untuk meningkatkan curah jantung & tekanan darah.







Antibiotik untuk mengatasi infeksi.



2. Terapi IRDS Tujuan terapi 



Mencegah atau meminimalkan keparahan Hyaline Membran Diseases(HMD)pada bayi







Strategi Terapi







Pencegahan sejak janin dalam kandungan







Pengatasan semua gejala, menjaga bayi dalamkeadaan normal



3. Pencegahan a. Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterusContoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utkasma: 5 mg/ml) b. Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50μg/menit dgn monitoring cardial effect.Jika detak jantung ibu > 140/menit 􀃆 kecepatan diturunkan atauobat dihentikan c. Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian,deksametason 5 mg setiap 12 jam untuk 4 x pemberian) d. Cek



kematangan



paru



(lewat



cairan



amniotik



lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakanmature lung function



􀃆



pengukuran



rasio



Non-farmakologi:  Jaga kecukupan oksigen dengan ventilasi mekanik dengan ventilator, jaga CPAP (Continuous Positive Airway Pressure)  Jaga bayi tetap hangat, jika perlu gunakan topi bayi Terapi Farmakologi :  Terapi surfaktan surfaktan sintetikdiberikan melalui sisi pada tube endotracheal dalam 2 xsuntikan bolus, contoh: Exosurf, Infasurf, Alveofact  Nitric Oxide inhalasi  Narkotik/benzodiazepin mengurangi nyeri danketidaknyamanan pada bayi contoh: Lorazepam,Fentanyl  Sodium bicarbonat untuk metabolic acidosis  Diuretik untuk mengurangi odema, perlu pertimbangkanrisk : benefit  Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari caiaran amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan).  Surfaktan merupakan bahan aktif permukaan, bila surfaktan melapisi permukaan cairan maka tegangan permukaan cairan tersebut akan turun sehinggal lebih lunak dan tidak mudah menempel. Surfaktan diproduksi oleh sel epitel alveolus tipe II dengan jumlah 10% dari seluruh permukaan alveoli yg memiliki efek menurunkan tegangan permukaan udara alveoli dan memberi efek menurunkan tegangan permu-kaan mulai dari 1/12 sampai 1/2 tegangan permukaan air murni, tergantung konsen-trasi dan orientasi molekul-surfaktan. JENIS SURFAKTAN Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu: 1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan 2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik



Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama di pasarkan di Amerika dan Eropa. Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC ( Venticute),belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur. Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf Saat ini ada 2 jenis surfaktan di Indonesia yaitu : Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol. Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak di protein. PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface. Semua surfaktan derifat binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang. Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian



memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan yang sering dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg, pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas. 2.1Konsep Asuhan Keperawatan 2.1.1



Pengkajian Keperawatan Pengkajian adalah proses pengumpulan data untuk mendapatkan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah yang dialami klien. Pengkajian dilakukan dengan berbagai cara yaitu anamnesa, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik yang dilakukan di laboratorium.(Surasmidkk,2013). Data yang dicari dalam riwayat keperawatan adalah 1)



Kaji riwayat kehamilan sekarang (apakah selama hamil ibu menderita hipotensi atau perdarahan)



2)



Kaj iriwayat neonatus (lahir afiksia akibat hipoksia akut, terpajan pada keadaan hipotermia)



3)



Kaji riwayat keluarga (koping keluarga positif)



4)



Kaji nilai apgar rendah (bila rendah di lakukkan tindakan resustasi pada bayi).



5)



Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS. Seperti: takipnea(>60x/menit), pernapasan mendengkur, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung, pucat, sianosis, apnea.



2.1.2



Diagnosa Keperawatan Setelah di dapatkan data dari pengkajian, data tersebut dianalisis.



Selanjutnya semua masalah yang ditemukan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan untuk menentukan intervensi keperawatan (Cecily&Sowden,2009). Diagnosa keperawatan dari RDS yang sering muncul (Nanda, 2015). 1)



Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler.



2)



Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi.



3)



Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret pada paru-paru.



4)



Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, terpajan kuman patogen.



5)



Hipotermia berhubungan dengan adaptasi lingkungan luar rahim.



2.1.3



Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan . intervensi disusun berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC dan NIC.



Dx Keperawatan



NOC



Gangguan



pertukaran



berhubungan



dengan



NIC



gas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Terapi Oksigen:



perubahan 1x24jam, pertukaran gas pasien menjadi efektif



1. Kelola humidifikasi oksigen sesuai peralatan



membran alveolar-kapiler



dengan kriteria hasil:



2. Siapkan peralatan oksigenasi



Batasan karakteristik:



1. Ventilasi dan oksigenasiadekuat



3. Kelola O₂ sesuai indikasi



-Takipneu



2. Bebas dari tanda-tanda distress pernafasan



4. Monitor terapi osigen dan observasi tanda



-Dispnea -Nafas cuping hidung -Sianosis



Keracunan O₂



Ketidakefektifan



pola



nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selam 2x24 Monitor pernafasan:



berhubungan dengan hiperventilasi jam diharapkan pola nafas efektif dengan kriteria hasil Batasan karakteristik:







Pernafasan



dalam



batas



normal







Ada retraksi dinding dada







Takipneu







Pengenbangan dada simetris







Dispnea







Irama nafas teratur







Nafas pendek







Tidak ada retraksi dinding dada







Suara nafas tambahan







Tidak ada suara nafas tambahan







Tidak takipneu



60x/menit)



(40-



1. Monitor



kecepatan,



irama,



kedalaman



pernafasan. 2. Monitor



pergerakan,



kesimetrisan



dada,



retraksi dada, dan alat bantu pernafasan. 3. Monitor



adanya



pernafasan



cuping



hidung. 4. Monitor pola nafas bardipnea, takipnea, hiperventilasi, kusmaul,dan apnea. 5. Monitor



adanya



kelemahan



otot



diagfragma. 6. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan dan ketidak adanya ventilasi dan bunyi nafas.



Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret. Batsan karakteristik:  Batuk tidak efektif  Dispneu  Gelisah  Sianosis  Bunyi nafas tambahan  Sputum berlebih Resiko infeksi berhubungan dengan terpajannya kuman patogen batasan karakteristik:   



Tanda gejala infeksi Kulit kemerahan Kenaikan suhu tubuh



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 Manajemen jalan nafas: Jam pasien dapat meningkatkan status pernafasan yang 1. Bersihkan saluran pernafasan dan pastikan adekuat dengan kriteria hasil: airway paten 2. Monitor perilaku dan status mental pasien,  Tidak ada suara nafas tambahan kelelahan agitasi dan konfus  Tidak ada retraksi dinding dada 3. Posisikan klien dengan elevasi tempat tidur  Sekret berkurang  Pernafasan dalam batas normal (40-60x/ menit) 4. Monitor efek sedasi dan analgetik pada pola nafas klien Berikan posisi semifowler dengan  Tidak sianosis posisi lateral 10–15 derajat atau sesuai toleransi. Dalam jangka waktu 1 jam pasien akan terbebas dari resiko infeksi dengan kriteria hasil:    



Bebas dari tanda tanda infeksi Kemampuan mencegah infeksi Jumlah leukosit dalam batas normal Suhu dalam batas normal



Kontrol infeksi: 1.



2. 3. 4. 5. 6. 7.



Bersihkan lingkungan setelah dipakai Pertahankan teknik isolasi Batasi pengunjung bila perlu Intruksikan pengunjung untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah berkunjung Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan Cuci tangan sebelum dan sesudah perawatan pasien Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan Alat Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai petunjuk umum. Tingkatkan intake nutrisi



Hipotermia berhubungan dengan adaptasi lingkungan Batasan karakteristik:  Suhudibawahbatasnormal  Pucat  Kulitdingin  Kukusianosis



Dalam jangka waktu 1 jam pasien akan terbebas dari hipotermi dengan kriteria hasil:  Suhu dalam batas normal  Nadi dan suhu dalam batas normal  Tidak sianosis  Tidak pucat  Kulit hangat



8.



Berikan terapi antibiotik bila perlu.



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Perawatan hipotermia Monitor suhu tubuh tiap 2 jam Monitor warna kulit dan suhu kulit Kaji tanda-tanda hipertermi atau hipotermi Tingkatkan intake nutrisi dan cairan Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh.



2.1.4



Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku perawat yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan lain untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan dan kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.



2.1.5



Evaluasi Keperawatan Menurut Surasmi (2013) Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yg menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Mengakhiri rencana tindakan (klien telah mencapai tujuan yg ditetapkan)



2.1.6



Jurnal Terkait Intervensi Keperawatan 1.



“Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Bayi Premature dengan



Respiratory Distress syndrome” dengan Intervensi Inovasi Pengaturan Posisi Prone Terhadap Peningkatan Pertukaran Gas di ruang NICU RSUD Taman Husada Bontang Tahun 2016 Palupi Setyo H¹, Tri Wahyuni2 , Joni Kaba3 INTISARI Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum akhir usia gestasi 37 minggu, tanpa memperhitungkan berat badan lahir. Kegawatan yang terjadi pada bayi prematur pada masa pertama kelahirannya adalah Respiratory Distess Syndrome. Respiratory Distress Syndrome adalah penyakit saluran pernafasan pada bayi premature yang disebabkan oleh belum terbentuknya surfactan Pada bayi premature dengan RDS ( Respiratory distress syndrome) distribusi oksigen ke seluruh tubuh akan mengalami gangguan,dapat menyebabkan hipoksia, sehingga memerlukan suatu intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatan distribusi oksigen. Salah satunya adalah dengan posisi prone. Posisi prone (tengkurap) pada bayi premature dapat meningkatkan distribusi oksigen. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk melakukan analisa terhadap kasus kelolaan pada bayi premature dengan respiratory distress syndrome dengan terapi inovasi pengaturan posisi prone



terhadap peningkatan pertukaran gas diruang NICU Rsud Taman Husada Bontang. Hasil analisis menunjukan bahwa adanya peningkatan pertukaran gas pada pasien yang terlihat pada kenaikan saturasi oksigen dari sebelum dan sesudah posisi prone serta klinis dari bayi yang mulai membaik. 2.



“A comparison of supine and prone positioning on improves arterial



oxygenation in premature neonates” F Eghbalian, 7 April 2014 “Perbandingan posisi terlentang dan tengkurap meningkatkan oksigenasi arteri pada neonatus prematur” Kesimpulan: Temuan ini menunjukkan bahwa, pada bayi prematur dengan RDS, saturasi oksigen secara signifikan lebih tinggi pada tengkurap dibandingkan dengan postur terlentang. 3.



“The Quarter Prone Position Increases Oxygen Saturation in Premature Infants Using Continuous Positive Airway Pressure (5) Utario, Rustina, Waluyanti (2017) Comprehensive child and adolescen nursing” Terdapat hasil yang signifikan yaitu kenaikan saturasi oksigen pada bayi prematur dengan posisi quater prone.



BAB III



PENUTUP



3.1



Kesimpulan Akut Sindrom distress pernafasan (ARDS), juga dikenal sebagai sindrom



gangguan pernapasan (RDS) atau sindrom gangguan pernapasan dewasa (berbeda dengan IRDS ) adalah reaksi serius terhadap berbagai bentuk cedera atau infeksi akut pada paru-paru Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Macam Respiratory Distress Syndrome :  RDS pada dewasa : Acute RDS (dulu Adult RDS) RDS pada bayi baru lahir : Infant RDS (IRDS) atau Hyaline membrane disease.



Daftar Pustaka   







  



Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC Copyright 2011, Nationwide Children's Hospital Respiratory Distress Syndrome (RDS) Page 2 of 2 Sri Wahyuni.2020. Hubungan Usia Ibu dan Asfiksia Neonatorum dengan Kejadian Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Neonatus di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Borneo Student Research. file:///D:/RDS/936-Article %20Text-7968-1-10-20200804.pdf.31 Agustus 2020. Suradi, Rulina dkk.2008. Pencegahan dan Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pubmed.April 2012.RDS CPAP or Surfactant or Both Pubmed. 5 Juni 2015. Surfactant and noninvasive ventilation Palupi setyo.2016. ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA BAYI PREMATURE DENGAN RESPIRATORY DISTRESSSYNDROME DENGAN INTERVENSI INOVASI PENGATURAN POSISI PRONE TERHADAP PENINGKATAN PERTUKARAN GAS DIRUANG NICU RSUD TAMAN HUSADA BONTANG.



  



Nanda, 2018-2020. Nanda International Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:ECG Bulechek, Gloria, 2016. Edisi 6 Nursing Intervention Classification (NIC).Elsevier. Moorhead, Sue, 2016. Edisi kelima Nursing Outcomes Clasification (NOC).Elsevier.