Makalah Kelompok 6 (Dimensi Aksiologi) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH DIMENSI AKSIOLOGI Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Dengan Dosen Pengampu : Dian Fitri Argarini, S.Pd, M.Pd



DISUSUN OLEH :



1. DENI ERIYAN



2201000210026



2. MIHWATUL NURIKA AL HAWA



2201000210040



3. LUTFI AFIFAH



2201000210062



4. JAYANTI DEYA



2201000210068



IKIP BUDI UTOMO FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU EKSATA DAN KEOLAHRAGAAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA 2020



1



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat dan hidayah- Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai Dimensi Aksiologi. Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dan untuk mengetahui mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan nilai kegunaan ilmu sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran dan menambah pengetahuan. Selain itu, kami menghaturkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sekiranya membangun dari para pembaca agar kekurangan dapat diperbaiki dan menjadi lebih sempurna. Semoga makalah ini dapat memenuhi kebutuhan pembaca dan menambah wawasan mengenai nilai kegunaan ilmu dalam kehidupan manusia.



Malang, 31 Oktober 2021



Kelompok 6



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ............................................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1 C. Tujuan .................................................................................................................................. 1 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................ 2 A. Pengertian Aksiologi ........................................................................................................... 2 B. Ilmu dan Moral .................................................................................................................... 3 C. Hubungan Antara Ilmu dan Moral ....................................................................................... 5 D. Nilai dalam Aksiologi .......................................................................................................... 6 BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 9 A. Kesimpulan .......................................................................................................................... 9 B. Saran .................................................................................................................................... 9 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 10



3



BAB 1 PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Filsafat kerap kali dipandang sebagai ilmu yang abstrak, padahal filsafat ini sangat dekat sekali dengan kehidupan manusia. Filsafat bagi sebagian orang merupakan disiplin ilmu yang kurang diminati, karena dianggap sebagai disiplin ilmu yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang lebih. Namun keraguan, keengganan, dan kecemasan ini biasanya pelanpelan memudar ketika sudah mulai menekuni bidang ini dan bahkan akan lebih terasa menarik ketika sadar bahwa filsafat adalah bagian yang terpisahkan dari kehidupan manusia. Aksiologi adalah nama lain dari filsafat nilai dan termasuk cabang dari etika. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Dalam kajian dimensi aksiologi ilmu membicarakan tentang definisi aksiologi, nilai dalam aksiologi, ilmu dan azas moral, hubungan antara ilmu dan moral serta tanggung jawab sosial ilmuwan.



B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu 1. Apakah yang dimaksud dengan Aksiologi? 2. Apa yang dimaksud dengan ilmu dan azas moral ? 3. Apa hubungan antara ilmu dan moral? 4. Apa saja nilai dalam aksiologi?



C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari makalah ini adalah : 1. Memahami Arti dan maksud dari aksiologi. 2. Memahami arti dan maksud dari ilmu dan azas moral. 3. Memahami hubungan antara ilmu dan moral. 4. Memahami nilai-nilai di dalam aksiologi.



4



BAB 2 PEMBAHASAN



A. Pengertian Aksiologi Aksiologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata aksios yang berarti nilai dan kata logos yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai dan juga dipahami sebagai teori nilai (Uyoh Sadulloh, 2007: 36). Menurut Jujun S. Suriasumantri (1999) asksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari berbagai pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh atau didapat oleh manusia. Terlepas dari asal kata aksiologi, berikut penulis memaparkan beberapa pendapat menurut para pakar mengenai definisi aksiologi. Pertama, menurut (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 105) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Kedua (Syafaruddin, 2008: 33) memberi definisi aksiologi adalah menceritakan apa tujuan pengetahuan itu disusun serta hikmah pengetahuan tersebut untuk kemaslahatan manusia. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Dari definisi-definisi aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika. (Dagobert Runes dalam Uyoh Sadulloh, 2015: 36-37) mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang mencakup: a) hakikat nilai, b) tipe nilai, c) kriteria nilai, dan d) status metafisika nilai. Mengenai hakikat nilai, banyak teori yang dikemukakannya, diantaranya teori voluntarisme. Teori voluntarisme mengatakan nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Kaum hedonisme menyatakan, bahwa hakikat nilai adalah ‘pleasure’ atau kesenangan. Semua kegiatan manusia terarah pada pencapaian kesenangan. Menurut formalisme, nilai adalah kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akar rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tipe nilai dapat dibedakan antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental adalah sebagai alat untuk mencapai nilai instrinsik. Nilai instrinsik adalah sesuatu yang memiliki harkat atau harga dalam dirinya, dan merupakan tujuan sendiri. Sebagai contoh, nilai keindahan 5



yang dipancarkan oleh suatu lukisan adalah nilai instrinsik. Di mana pun dan kapan pun lukisan itu berada akan selalu indah. Sholat lima waktu yang dilakukan oleh setiap muslim memiliki nilai instrinsik dan sekaligus memiliki nilai instrumental. Nilai instrinsiknya bahwa sholat merupakan suatu pengabdian kepada Allah yang menjadi Rabb seluruh alam jagat raya. Nilai instrumentalnya adalah bahwa dengan melakukan sholat yang ikhlas sebagai pengabdian kepada Allah, orang yang melaksanakan sholat tersebut bisa mencegah perbuatan jahat dan perbuatan yang dilarang oleh Allah, yang pada gilirannya manusia akan mendapatkan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, yang merupakan nilai akhir dari kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi ukuran dari nilai tersebut, bagaimana yang dikatakan nilai yang baik, dan bagaimana yang dikatakan nilai yang tidak baik. Kaum hedonisme menemukan ukuran nilai dalam sejumlah “kesenangan” (pleasure) yang dapat dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatis, yang menjadi kriteria nilai adalah “kegunaannya” dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Yang dimaksud dengan status metafisik nilai adalah bagaimana hubungan nilai-nilai tersebut dengan realitas. Dalam hal ini (Dagobert Runes dalam Uyoh Sadulloh, 2015: 3738) mengemukakan tiga jawaban: 1. Menurut subjektivisme, nilai itu berdiri sendiri, namun bergantung dan berhubungan dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia yang satu dengan yang lainnya. 2. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu wujud, suatu kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya namun tidak memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. 3. Menurut objektivisme metafisik, nilai adalah suatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari realitas metafisik.



B. Ilmu dan Moral The Liang Gie (1987) memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Ihsan Fuad, 2010: 108). Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang begitu saja sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang suatu 6



obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula, sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk diuji oleh siapapun. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Dari aktivitas ilmiah dengan metode ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuwan dapatlah dihimpun sekumpulan pengetahuan yang baru atau disempurnakan pengetahuan yang telah ada, sehingga dikalangan ilmuwan pada umumnya terdapat kesepakatan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (Surajiyo, 2009: 56-57). Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang intinya adalah: 1. Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya. 2. Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi. 3. Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur. 4. Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus melainkan berlaku umum (Hartono Kasmadi, 1990: 8-9 dalam Ihsan Fuad, 2010: 115-116). Moral berasal dari kata Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada (Surajiyo, 2009: 147). Franz Magnis Suseno (1987) membedakan ajaran moral dan etika. Ajaran moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung dari ajaran moral adalah sebagai orang dalam kedudukan yang berwenang seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama. Etika bukan sember tambahan bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi, etika dan ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama (Surajiyo, 2009: 147).



7



C. Hubungan Antara Ilmu dan Moral Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu, sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral yang para penggunanya. Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada jamannya. Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan ideologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat dogmatik. Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral. Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan. Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan terbebas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah meneliti dan menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain akan menggunakan pengetahuan tersebut atau tidak, atau digunakan untuk tujuan yang baik atau tidak. 8



Kelompok lainnya memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja, dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan penelitian, seorang ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini mendasarkan pandangannya pada beberapa hal, yakni: Sejarah telah membuktikan bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perang yang menggunakan teknologiteknologi keilmuan. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalah gunaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, maka kelompok kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia. Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yangn kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (bodoh). Kita berharap semoga hal ini bisa disadari oleh para ilmuan, pihak pemerintah, dan pendidik agar dalam proses transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan aspek moral. Karena ketangguhan suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh ketangguhan moral warga.



D. Nilai dalam Aksiologi Aksiologi adalah nama lain dari filsafat nilai dan termasuk cabang dari etika. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang



9



baik pula. Berbicara mengenai aksiologi, dalam aksiologi ada dua komponen yang mendasar, yaitu etika dan estetika. 1) Etika Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “ethos” yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika ini bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum. Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral (Jujun S. Suriasumantri, 1998 : 235). Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. a. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. b. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan. c. Utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. d. Deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. 2) Estetika Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembagan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut 10



sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni.



11



BAB 3 PENUTUP



A. Kesimpulan Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Aksiologi ilmu (nilai) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan (Kattsoff: 1992). Kaitan antara aksiologi dengan filsafat ilmu adalah nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Aksiologi membberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai.



B. Saran Seorang pendidik hendaknya tahu akan pentingnya hakekat nilai yang akan diajarkan kepada para anak didiknya, sehingga anak didik mengetahui etika keilmuan yang bermoral dalam ilmu yang dipelajarinya. Semoga makalah ini bisa menjadi bahan acuan dan semangat untuk mengkaji dan membuat makalah yang semakin baik. Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.



12



DAFTAR PUSTAKA



Asmoro Achmadi. 2010. Filsafat Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Leoksino Chiril Warsito, dkk. 2012. Pengantar Filsafat. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta Juhaya S, Projo. 2003. Aliran-aliran Filsafat & Etika. Jakarta: Prenada Media Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. —————————–. 2005, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Uyoh Sadulloh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta ——————–. 2015. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta Semiawan, C. dkk. 2005. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Jakarta : Mizan Publika Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Syafaruddin. 2008. Filsafat Ilmu Mengembangkan Kreativitas Dalam Proses Keilmuan. Bandung: Citapustaka Media Perintis



13