Makalah Laporan Kasus DHF Grade I [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama



: Nn.M



Usia



: 20 tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Status Perkawinan



: Belum menikah



Agama



: Hindu



Alamat



: Desa Umejero



Tanggal Masuk RS



: 12 Juni 2019, pukul 11.40 WITA



No. Rekam Medik



: 064326



B. ANAMNESIS Keluhan utama : Demam Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang sadar diantar keluarganya ke UGD RSU KDH-BROS dengan keluhan utama demam sejak 5 hari yang lalu (7 juni 2019), demam awalnya dirasakan langsung tinggi kemudian demam dirasakan menggigil dan juga naik turun. Pasien juga mengeluh mual setiap kali mau makan, namun tidak disertai muntah, nafsu makan menurun, minum masih mau sedikit-sedikit, tidak ada mimisan maupun gusi berdarah, pasien juga mengeluh nyeri kepala, nyeri tenggorokan, dan juga lemas. Pasien juga mengeluh batuk tidak berdahak sejak 5 hari, BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat Penyakit Sebelumnya



: Riwayat sakit dengan gejala yang sama disangkal



Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: Riwayat sakit dengan gejala yang sama disangkal



1



C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis ( E4M6V5 ) Tanda vital  Tekanan darah



: 120/80 mmHg



 Nadi



: 98x/menit



 Frekuensi Pernapasan



: 20x/menit



 Suhu



: 37,4oC



 SpO2



: 98%



Pemeriksaan kepala dan leher -



Kepala



 Mata



: Bentuk  normocephal, Warna rambut hitam : anemis ( -/- ) ikterus ( - /- ) : pupil bulat isokor diameter 3 mm / 3 mm



 Bibir



: sianosis ( - )



 Leher



: JVP R-2 cm



 Tonsil



: dalam batas normal



 Faring



: Hiperemis (+)



Pemeriksaan thoraks  Inspeksi



: simetris kiri dan kanan



 Palpasi



: masa tumor ( - ), nyeri tekan ( - ) vocal premitus simetris kesan normal



 Perkusi



: paru kiri : sonor : paru kanan : sonor : batas paru hepar : ICS IV dekstra : batas paru belakang kanan : CV Th VIII dekstra : batas paru belakang kiri : CV Th IX sinistra



 Auskultasi : Ronkhi ( -/- ), wheezing ( -/- ) Pemeriksaan jantung  Inspeksi



: apeks jantung tidak tampak



 Palpasi



: apeks jantung tidak teraba



2



 Perkusi



:Batas jantung : - batas kanan atas : ICS II linea parastrenalis dextra - batas kiri atas : ICS II linea parastrenalis sinistra - batas kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra - batas kiri bawah : ICS V linea midclavicula



 Auskultasi : bunyi jantung S I/II regular, murmur ( - ) Pemeriksaan abdomen  Inspeksi



: datar, ikut gerak nafas



 Auskultasi : peristaltic (+) kesan normal  Palpasi



: nyeri tekan (+) regio epigastrium, defance musculer (-), tidak teraba



massa tumor. Hepar dan lien tidak teraba.  Perkusi



: timpani (-), ascites (-)



Pemeriksaan ekstremitas  Akral dingin



: -/- -/-



 Edema



: -/- -/-



 Petechiae



:-



 Purpura



:-



 Uji tourniquet



:+



3



D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Jenis Pemerikaan WBC RBC HGB HCT



DARAH RUTIN



MCV MCH MCHC PLT LYM MONO EOS BASO



Hasil 9.6x103/uL 4.39x106/uL 13.3 g/dL 40.2 %



Nilai Rujukan 3,8 - 10,6 x 103/uL 4,4 - 5,9 x 106/uL 13,2 - 17,3 g/dL 40 - 50 %



91.4 fL 30.2 pg 33.1 g/dL 98x103/uL ↓ 9.3 % ↓ 7.2 % 0.9 % ↓ 0.5 %



80 - 100 fL 26 - 34 pg 32 - 36 g/dL 140 - 392 x 103/uL 25 - 40 % 2-8% 2-4% 0–1%



E. DIAGNOSA Dengue Hemoragic Fever grade I F. PENATALAKSANAAN 



Bed Rest







IVFD RL 20 tpm







Cefotaxim 3 x 1 gram (iv)







Paracetamol 3 x 500mg







Ranitidin 2 x 50 mg (iv)







Vitamin B komplek 1 x 1 tab







Pemerikasaan darah lengkap serial



G. PROGNOSIS Qua Ad Functionam : Dubia ad bonam Qua Ad Sanationam : Dubia ad bonam



4



Qua Ad Vitam



: Dubia ad bonam



H. Follow up  13 Juni 2019 Subjective



Objective



Assessment



Planning



Demam hari ke-6



KU : Cukup



DHF grade I



1.IVFD RL 20 tpm



Pasien mengeluh



T: 110/70mmHg



2.Cefotaxim 3 x 1g



masih demam,



N: 68x/mnit



(iv)



batuk (-), mual (+),



RR : 20 x/menit



3.Paracetamol tablet



muntah (-), nyeri



S : 36,4  ͦ C axilla



3 x 500mg



kepala (-),makan



Petechiae (-)



4.Ranitidin 2 x



sedikit, minum



Purpura (-)



50mg (iv)



(+),mimisan (-),



Faring Hiperemis (-)



5.Vitamin B



Gusi berdarah (-)



Lab:



komplek 1 x 1 tab



BAB BAK tidak



WBC 3100



ada keluhan



HB 10.9 HCT 35.5% PLT 148000        



 14 Juni 2019 Subjective



Objective



Assessment



Planning



5



Demam hari ke-7



KU : Cukup



DHF grade I



1.KRS



Pasien mengatakan



T: 110/70mmHg



•Obat pulang :



sudah tidak demam,



N: 74x/mnit



Paracetamol 3x500



batuk (-), mual (+),



RR : 20 x/menit



•Ranitidin 2 x 1 tab



muntah (-), nyeri



S : 36,6  ͦ C axilla



•Vit B komplek 1 x



kepala (-), makan



Petechiae (-)



1 tab



sedikit, minum



Purpura (-)



(+),mimisan (-),



Faring hiperemis (-)



Gusi berdarah (-)



Lab:



BAB BAK tidak



WBC 3400



ada keluhan



HB 11.2 HCT 35.3% PLT 155000



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



6



A. Definisi Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue, terutama menyerang anak-anak yang bertendensi menimbulkan syok dan kematian. Menurut World Health Organization (WHO), demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah satu dari empat tipe virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada demam berdarah dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. B. Etiologi Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk. Virus dengue ini termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe 10 menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotipe lain. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3/4 serotipe yang berbeda selama hidupnya. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Beberapa pasien demam berdarah terus berkembang menjadi demam berdarah dengue (DBD) yang berat. Biasanya demam mulai mereda pada 3-7 hari setelah onset gejala. Pada pasien juga bisa didapatkan tanda peringatan (warning sign) yaitu sakit perut, muntah terus-menerus, perubahan suhu (demam hipotermia), perdarahan, atau perubahan status mental (mudah marah,bingung). Menurut WHO kriteria demam berdarah dengue ialah demam yang berlangsung 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan, trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3), dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.



C. Epidemiologi



7



Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah endemis yang terjadi hampir setiap tahunnya pada musim penghujan. Sejak tahun 1952 infeksi virus 11 dengue menimbulkan manifestasi klinis berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Indonesia. Tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan Jakarta sebanyak 58 kasus, dengan kematian yang sangat tinggi, 24 orang (case fatality rate 41,3%). Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Demam berdarah dengue sering terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun. Sekitar 50% penderita DBD berusia 10-15 tahun yang merupakan golongan usia yang tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00. Jumlah kasus DBD di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 1.358 orang, IR 65,7 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,87%. Terjadi penurunan IR DBD jika dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu sebesar 68,22 per 100.000 penduduk. Demikian juga dengan CFR yang mengalami sedikit penurunan, pada tahun 2009 CFR DBD sebesar 0,89%.23 World Health Organization (WHO) mencatat sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, Negara Indonesia merupakan Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit DBD masih menjadi permasalahan yang serius di Provinsi Jawa 12 Tengah, hal ini terbukti dengan adanya 35 kabupaten/kota yang sudah pernah terjangkit penyakit DBD. Sedangkan Insidence Rate (RI) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 sebesar 15,27/100.000 penduduk. Apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yang jumlahnya 59,8/100.000 penduduk pada tahun 2013 D. Patogenesis dan Patofisiologis DBD terjadi pada sebagian kecil dari penderita DB. Meskipun DBD dapat terjadi pada pasien yang baru terserang DB untuk pertama kalinya, sebagian besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder. Hubungan antara kejadian DBD/DSS dengan infeksi DB sekunder melibatkan sistem imun pada patogenesisnya. Baik imunitas alamiah seperti sistem



8



komplemen dan sel NK, maupun imunitas adaptif termasuk humoral dan imunitas dimediasi sel terlibat dalam proses ini. Kenaikan aktivasi imun, khususnya pada infeksi sekunder, menyebabkan respon sitokin yang berlebihan sehingga merubah permeabilitas pembuluh darah. Selain itu, produk dari virus seperti NS1 juga berperan dalam mengatur aktivasi komplemen dan permeabilitas pembuluh darah. Tanda penting dari DBD adalah meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga terjadi kebocoran plasma, volume intravaskular berkurang, dan syok di kasus yang parah. Kebocoran plasma bersifat unik karena plasma yang bocor selektif, yaitu di pleura dan rongga abdomen serta periodenya pendek (24-48 jam). Pemulihan cepat dari syok tanpa sequele dan tidak adanya inflamasi pada pleura dan peritoneum mengindikasikan mekanisme yang terjadi adalah perubahan fungsi integritas vaskular, bukan kerusakan struktural dari endotel. Berbagai sitokin yang memiliki efek meningkatkan permeabilitas terlibat dalam patogenesis DBD. Akan tetapi, hubungan penting antara sitokin dengan DBD masih belum diketahui. Studi menunjukkan bahwa pola respon sitokin mungkin berhubungan dengan pola pengenalan sel T spesifik dengue. Reaksi silang sel T secara fungsional tampak aktivitas sitolitiknya berkurang tetapi mengekspresikan peningkatan produksi sitokin seperti TNF-α, IFN-γ, dan kemokin. TNF-α telah terlibat pada beberapa manifestasi berat termasuk perdarahan di percobaan hewan. Peningkatan permeabilitas vaskular juga dapat dimediasi oleh aktivasi sistem komplemen. Kenaikan level fragmen komplemen terlihat pada DBD. Beberapa fragmen komplemen seperti C3a dan C5a diketahui memiliki efek untuk meningkatkan permeabilitas. Studi terbaru menyatakan bahwa antigen NS1 dari virus dengue dapat mengatur aktivasi komplemen sehingga diduga berperan pada patogenesis DBD. Lebih banyaknya jumlah virus pada pasien DBD dibanding pasien DB telah terbukti di berbagai penelitian. Level protein virus, NS1, juga lebih tinggi pada pasien DBD. Derajat banyaknya virus berkorelasi dengan ukuran keparahan penyakit seperti jumlah efusi pleura dan trombositopenia, mengindikasikan bahwa jumlah virus merupakan kunci penentu keparahan penyakit. Infeksi virus dengue mengakibatkan munculnya respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, antihemaglutinin, anti komplemen. Antibodi IgG dan IgM akan mulai terbentuk pada infeksi primer dan akan meningkat (booster effect) pada infeksi sekunder. Antibodi tersebut dapat ditemukan dalam darah pada demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama-ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat pada demam hari ke-



9



14 sedangkan pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Hal ini berhubungan dengan cara diagnosis melalui antibodi yang dimiliki oleh host. Infeksi sekunder apabila terdapat dengue blot dengan hasil Ig G+ dan Ig M- dan Ig G+ dan Ig M+. E. Faktor Risiko Faktor risiko individu yang menentukan beratnya penyakit adalah infeksi sekunder, usia, etnisitas dan penyakit kronis (asma bronkial, anemia sel sabit dan diabetes mellitus). Pada anakanak muda mungkin kurang mampu untuk mengkompensasi kebocoran kapiler daripada orang dewasa dan akibatnya berisiko lebih besar mengalami syok dengue. Pada wanita lebih berisiko mendapatkan manifestasi berat setelah terinfeksi virus dengue (DBD/SSD) karena secara teori diyakini wanita lebih cenderung dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibanding dengan laki-laki. Selain itu, orang kulit putih infeksi virus dengue lebih berat dibanding dengan orang kulit hitam (negro) karena virus lebih banyak berkembang-biak pada sel mononuklear orang kulit putih. Infeksi virus dengue lebih sering terjadi pada orang yang memiliki status gizi yang baik dibanding dengan orang malnutrisi. Pada orang yang memiliki indeks massa tubuh tinggi, kapiler mereka secara intrinsik lebih mungkin bocor sehingga bisa menjadi lebih buruk dalam infeksi dengue. Respon dari imun dapat mempengaruhi jumlah trombosit dan kadar hematokrit di dalam tubuh misalnya dapat menyebabkan fungsi agregasi trombosit menurun. Selain itu imunitas yang ada dalam masyarakat memegang peranan penting di daerah epidemis karena lebih banyak kasus terdiri dari anak-anak, remaja dan orang dewasa dibanding anak-anak usia rendah yang kemungkinan diakibatkan oleh system imun yang baik yang dimiliki. F. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik untuk demam berdarah dengue (DBD) yaitu demam (tinggi, timbul mendadak, kontinus, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari), muka kemerahan (facial flushing) , anoreksi, mialgia dan arthralgia, nyeri epigastrik, muntah, nyeri abdomen difus, kadang disertai sakit tenggorok, faring dan konjungtiva yang kemerahan. Tersangka infeksi dengue apabila terdapat demam, perdarahan mukosa, trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler. Pada waktu transisi yaitu dari fase demam menjadi tidak demam, pasien yang tidak diikuti dengan peningkatan pemeabilitas kapiler tidak akan berlanjut menjadi fase kritis. Ketika terjadi



10



penurunan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas mungkin menunjukan tanda bahaya yaitu yang terbanyak adalah kebocoran plasma. Pada fase kritis terjadi penurunan suhu menjadi 37.5-38°C atau kurang pada hari ke 3-8 dari penyakit. Progresivitas leukopenia yang diikuti oleh penurunan jumlah platelet mendahului kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit merupakan tanda awal terjadinya perubahan pada tekanan darah dan denyut nadi. Terapi cairan digunakan untuk mengatasi plasma leakage. Efusi pleura dan asites secara klinis dapat dideteksi setelah terapi cairan intravena. Fase terakhir adalah fase penyembuhan. Setelah pasien bertahan selama 24-48 jam fase kritis, reabsorbsi kompartemen ekstravaskuler bertahap terjadi selama 48-72 jam. Fase ini ditandai dengan keadaan umum membaik, nafsu makan kembali normal, gejala gastrointestinal membaik dan status hemodinamik stabil. G. Diagnosa Diagnosa DBD WHO membuat kriteria diagnose DBD ditegakkan jika memenuhi 2 kriteria klinis ditambah dengan 2 kriteria laboratorium dibawah ini :



11



Pemeriksaan laboratorium DBD Menegakkan diagnosis infeksi dengue dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium sangat berperan penting pada perawatan pasien, surveilans epidemiologi, pemahaman pathogenesis infeksi dengue dan riset formulasi vaksi. Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh (PCR), dan deteksi spesifik dalam serum pasien. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin untuk menapis dan membantu menegakkan diagnosis pasien demam berdarah dengue. Menurut Kriteria WHO (2011) pemeriksaan laboratorium demam berdarah dengue adalah sebagai berikut:  Jumlah sel darah putih bisa normal atau didominasi oleh neutrofil pada fase awal demam. Kemudian, jumlah sel darah putih dan neutrofil akan turun, hingga mencapai titik terendah di akhir fase demam. Perubahan pada jumlah total sel darah putih (2 23  Albuminuria ringan sesaat juga dapat terlihat  Berak darah  Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan koagulasi dan faktor fibrinolitik menunjukkan berkurangnya fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin. Pengurangan antiplasmin (penghambat plasmin) juga terdeteksi pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar, kofaktor protrombin tergantung vitamin K berkurang, seperti faktor V,VII,IX, dan X.  Waktu tromboplastin sebagian dan waktu protrombin memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Waktu trombin juga memanjang di kasus yang berat.  Hiponatremia terjadi beberapa kali pada DBD dan lebih parah pada syok.  Hipokalsemia (dikoreksi dengan hipoalbuminemia) terjadi pada seluruh kasus DBD, levelnya lebih rendah pada derajat 3 dan 4  Asidosis metabolik juga sering ditemukan



di kasus dengan syok



berkepanjangan. Kadar nitrogen urea dalam darah meningkat pada syok berkepanjangan.



12



H. Penatalaksanaan Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara



klinis



maupun



laboratoris.



Proses



kebocoran



plasma



dan



terjadinya



trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20% 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF tanpa syok. Seorang yang tersangka menderita DHF dilakukan pemeriksaan haemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :  Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, lekosit dan trombosit tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.  Hb, Ht normal dengan trombosit 20% dan trombosit 20%.



14



Gambar 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat



15



Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.



Gambar 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20% Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF. Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna (henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.



16



Perdarahan Spontan dan Masif : Epistaksis tidak terkendali - Hematemesis melena - Perdarahan otak TRANSFUSI - Hematuria



TROMBOSIT



Hb < 10 gr% TRANSFUSI PRC



Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue. Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok dengue sepilih kali lipat dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.



17



Gambar 4. Tatalaksana sindroma syok dengue



18



Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1. Tampak perbaikan secara klinis 2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis) 4. Hematokrit stabil 5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl 6. Tiga hari setelah syok teratasi 7. Nafsu makan membaik



I. Komplikasi 1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok 2. Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok berkepanjangan 3. Edema paru, akibat over loading cairan J. Prognosis Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada anak-anak.



19



BAB III PEMBAHASAN



Dari anamsesis diketahui bahwa pasien mengalami demam ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Hal ini sesuai dengan teori pada demam berdarah dengue (DHF) dimana pada fase febris terjadi demam mendadak selama 2-7 hari, sakit kepala, serta ditemukan petekie saat dilakukan uji torniquet sebagai tanda adanya perdarahan. Kurva demam pada demam berdarah dengue berhubungan dengan saat pelepasan sitokin karena reaksi imun terhadap serangan virus dengue. Sitokin yang menyebabkan demam seperti IL-1 dan IL-6, TNF-α, IFN-γ. Virus dengue merupakan pirogen eksogen. Pada saat virus sudah menginfeksi dan berada di dalam darah, ada 2 respon imun yang bekerja. Yaitu respon imun nonspesifik yang bekerja di awal dan cepat serta respon imun spesifik yang bekerja lebih lambat. Makrofag akan segera bereaksi dengan memfagositosis virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC (antigen presenting cell). Makrofag juga akan mensekresi sitokin yang merangsang inflamasi, sitokin utama yang disekresi oleh makrofag adalah IL-1 yang merupakan pirogen endogen. Pirogen adalah bahan yang menginduksi demam yang dipicu baik faktor eksogen atau endogen seperti IL1. Selain itu ada juga proses respon imun nonspesifik yang diperankan oleh sel NK. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi, sebelum respon imun spesifik bekerja. Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktivasi sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. Dimulailah mekanisme respon imun spesifik. Sel T yang diaktivasi adalah CD4+. CD4+ ini akan mengaktivasi Th-2 untuk membentuk antibody lagi sehingga meningkatkan opsonisasi dan aktivasi komplemen. CD4+ juga mengaktivasi Th-1 yang akan mengaktivasi CD8+ melalui presentasi oleh molekul MHC1. CD8+ ini bersifat sitotoksik dan menghancurkan peptida virus. Th-1 akan melepaskan IFN-γ, IL-2, dan limfokin. Sedangkan Th-2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsat monosit melepaskan TNF-α, IL-1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang makrofag melepas IL-1, IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ. Pada Jalur komplemen, kompleks imun akan



20



menyebabkan aktivasi jalur komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah peningkatan IL-1,TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin. IL-1,TNF-α, IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga timbul demam. IL-1 bekerja pada termoregulator sedangkan TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang merangsang pelepasan IL-1. Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipotalamus anterior dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis. Corpus callosum lamina terminalis terletak di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf termosensitif (cold and hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam corpus callosum lamina terminalis melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2, selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat menjadi PGE2. Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam hipotalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set point yang menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas (vasokonstriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil. Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 danTNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipotalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan. IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala, muntah, dan somnolan. Dari pemeriksaan darah rutin yang dilakukan didapatkan penurunan kadar trombosit (trombositopenia), yaitu 98.000. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum tulang, 2) destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (