Maqashid Syariah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAQASHID SYARIAH : DEFINISI DAN PRO KONTRA PENERAPANNYA Tugas Diajukan untuk Mata Kuliah Islamic Law Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pembimbing: Dr. JM. Muslimin, MA



Oleh: Fahman Mumtazi 21161200000012



PENDAHULUAN Isu seputar penegakan syariat Islam menjadi salah satu tema kontroversi yang menarik perhatian berbagai kalangan. Tak kurang dari cendekiawan Muslim dan non Muslim, aktivis Islam dan LSM, politisi dan diplomat Barat ikut terlibat memperdebatkan dan mendiskusikan isu ini. Mengingat bervariannya latar belakang para partisipan dan diskursus syariah ini, bisa ditebak bahwa respon mereka pun juga beragam, tapi semua bermuara pada pro dan kontra. Bagi yang kontra, nampaknya ingin member makna tersendiri terhadap syariat dan bahkan nada-nadanya ingin memisahkan antara makna syariat dan obyektifnya (maqasid al-shari‟ah). Tulisan ini akan merespon pandangan-pandangan yang kontra syariat dengan merujuk penjelasan para ulama klasik dalam hal ini. Kontroversi penegakan syariat Islam dapat dikatakan baru dan belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban Islam. Absennya topic seperti ini dalam khazanah literature keilmuan bukan karena kurangnya perhatian ummat dan „ulama Islam terhadap isu ini. Tapi lebih cenderung karena mereka –dalam kitab-kitab fiqh, tafsir, atau „aqidah- tidak pernah memperdebatkan apakah melaksanakan hukum-hukum Allah itu wajib atau sebaliknya. Hal ini merupakan indikasi yang jelas bahwa para ulama dan ummat Islam sepakat tentang perihal wajibnya melaksanakan syariat Islam. Kalaupun ada ketidaksepakatan di antara mereka, hal itu hanya berkisar seputar penafsiran dan prakteknya. Misalnya berapakah kadar curian yang menjadikan seorang pencuri itu wajib dihukum tangan. Apakah pemotongan itu dari pergelangan tangan atau bukan, tangan kiri atau kanan dan lain sebagainya, sesungguhnya hanya bersifat teknis (furu‟) bukan prinsip (ushul). Adapun tentang yang principal itu semua sepakat. Isu yang mengemuka sekitar beberapa dekade terakhir abad dua puluh ini bersamaan dengan makin menguatnya hegemoni Barat atas dunia Islam, sejatinya mempunyai latar belakang yang panjang. Sejurus dengan jatuhnya kekhalifahan „Uthmaniyyah dunia Islam mulai, satu per satu, jatuh ke tangan penjajah dan hukum perundangan Barat pun mulai diperkenalkan. Mulai saat itu debat dan seputar syariah mulai muncul ke permukaan. Kontroversi soal ini dipicu oleh „Ali „Abd a;-Raziq, salah seorang guru besar al-Azhar, melalui bukunya berjudul al-Islam wa Usul al-hukm yang terbit tahun 1926. Buku ini secara eksplisit menolak adanya hubungan antara agama dan politik (Negara) dalam Islam. Baginya Nabi Muhammad SAW bukan seorang politisi atau pemimpin Negara, tapi hanya seorang pemimpin spiritual, kata Raziq, tugas Nabi hanya sebatas pada penyampaian risalah ilahiyyah saja, bukan mendirikan agama. Dan risalah ini, lanjutnya lagi, tidak mengatur isu-isu keduniaan politik, Negara, perang dan seterusnya, ajarannya hanya mencakup tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Pendapat seperti inilah yang kemudian



dikembangkan oleh orang-orang seperti Faraj Fawdah, Fuad Zakaria, Muhammad Khalafullah, dan lain-lain. Muhammad Khalafullah dalam suatu debat publik dengan kelompok Islam pernah menyatakan : “Al-Quran hanya menyebut nabi Muhammad sebagai rasul yang tugasnya menyeru manusia ke jalan Allah dan member petunjuk kepda manusia, maksudnya membangun masyarakat bukan memerintah manusia sebagaimana yang dilakukan oleh seorang raja.1 Makalah ini akan merinci definisi dan tujuan Syariat serta mengupas argument dan prelevansi penerapan syariat di zaman sekarang.



PEMBAHASAN I.



Pengertian Maqashid Syariah Secara bahasa (lughawi), maqashid syariah terdri dari dua kata, yaitu maqashid dan syariah. Maqashid adalah bentuk jama‟ dari maqshud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syariah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air yang dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan.2 Perlindungan yang diberikan agama Islam adalah perlindungan untuk sesuatu yang orang lain haram mempermainkan atau menganiayanya. Setelah menjelaskan kewajiban yang harus kita laksanakan, Allah menjelaskan hal-hal yang diharamkan agar kita bisa menjauhinya.3 Penjelasan ini merupakan karunia Allah SWT. Karena, andai penjelasan mengenai hal-hal yang diharamkan itu tidak ada, pastilah segala sesuatu untuk menguatkan eksistensi sebuah masyarakat dan hubungan antara anggotanya akan bercampur aduk. Dan yang terjadi adalah sebaliknya, perkara haram akan dilakukan, sehingga hal ini akan menimbulkan keguncangan dalam eksistensi dan bangunan sebuah masyarakat. Penjelasan-penjelasan tersebut memiliki tujuan untuk merealisasikan kebahagiaan dan rasa aman dalam diri tiap individunya. Sedangkan hal-hal yang diharamkan bukanlah tali atau pengikat manusia, namun agar manusia berjalan di atas rel yang benar dan tidak terjerumus ke dalam jalur berliku, atau salah jalan. Rincian perlindungan ini diterangkan dalam buku-buku fiqh, namun intinya hanya ada lima. Jika kelima hal ini telah ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka kemaslahatanlah yang akan tercipta. Kemaslahatan dunia menurut as-Syatibi dikategorikan menjadi dua, baik yang pencapaiannya dengan 1



Misr bayn al-Dawlah al-Diniyyah wa al-Madaniyyah (Kairo: Al-Dar al-Misriyyah, 1992), hal. 27. 2 Aspari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) hal. 63 3 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid as-Syariah fi al-Islam, terj. Khikmawati (Jakarta: Grafika Offset, 2013), hal. 1.



cara menarik kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan.4 Pertama, kemaslahatan dharuriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syar‟iyyah yang berada dalam urutan paling atas. Kedua, kemaslahatan ghairu dharuriyyah (bukan kemaslahatan pokok); namun kemaslahatan ini tergolong penting dan tidak bisa dipisahkan. Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat tercakup dalam lima hal, seperti yang dihitung dan disebut oleh para ulama dengan nama alkulliyyat al-khams (lima hal inti) yang mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga. Kelima hal tersebut adalah hifdz ad-Din (menjaga agama), hifdz an-Nafs (menjaga jiwa), hifdz al-„Aql (menjaga akal), hifdz al-„Ardh (menjaga kehormatan), hifdz al-Mal (menjaga harta benda). A. Perlindungan terhadap agama Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk agama berhak atas agma dan mazhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama atau mazhab lain. Allah berfirman “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”.5 Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya.6 Al-Qur‟an menolak keras segala bentuk pemaksaan, baik itu memaksa seseorang untuk masuk Islam, maupun mengusik kehormatan agama lainnya dalam bentuk perusakan tempat ibadah. “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah”.7 Poin terpenting lain yang ditekankan al-Qur‟an adalah keadilan kepada seluruh umat manusia tanpa memandang agama. Disebutkan dalam al-Qur‟an“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”8 Tidak hanya keselamatan, harta nonmuslim pun dilindungi oleh Allah dalam firmanNya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan



4



Ibrahim bin Musa al-Lahmiy al-Gharnathiy al-Malikiy as-Syatibi, Al-Muwafaqat (Beirut : Darul Ma‟rifah) vol.2 hal. 14. 5 Q.S Al-Baqarah (2) : 256 6 Q.S Yunus (10) : 99 7 Q.S. Al-Hajj (22) : 40 8 Q.S. Al-Mumtahanah (60) : 8



perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”9 Segala bentuk pengambilan harta nonmuslim oleh muslim secara batil dan tanpa keridhaan pemiliknya, akan tetap dihukum meski dia adalah seorang muslim. Lalu Syariat juga memelihara hak-hak tiap warga,menjaga kehormatan, nyawa dan harta demi menciptakan keadilan dalam segala urusan. Termasuk kewajiban memperhatikan hak-hak perekonomian orang miskin yang membutuhkan. “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”10 Bagi seorang muslim yang telah berpindah keyakinan disebut sebagai murtad, yang berasal dari kata riddah. Ali bin Naif memberikan deskripsi lengkap tentang kata riddah ini yang secara syara‟ berarti berpaling dari Islam secara utuh atau sebagian dengan mengingkari apa yang telah jelas tentang agama, mengingkari apa yang telah Allah tetapkan, dan meyakini apa yang telah Allah dan rasulNya larang, entah itu dengan perbuatan, perkataan, keyakinan, keraguan, dengan yakin ataupun secara bergurau.11 Al-Quran tidak memberikan secara eksplisit hukuman apa bagi orang murtad, akan tetapi memberikan gambaran akibat mereka yang melakukannya, yaitu akan mati dalam kekafiran, dan kekal dalam neraka. „Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.12 Meski begitu Rasulullah memperjelasnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari “Barangsiapa yang mengganti agamanya (setelah memeluk Islam), maka bunuhlah ia.”13 Dari hadis ini terlihat bahwa menjaga aqidah iman menjadi hal mutlak yang harus dikedepankan di atas hal apa pun. Tanpa terkecuali. B. Perlindungan Terhadap Nyawa Syariat Islam memuliakan nyawa dan segala hal yang hidup, dan manusia adalah sebaik-baik ciptaanNya. Allah berfirman “Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak adam.”14 Maka tidak mengherankan bila jiwa manusia sangat dimuliakan dan manusia dilarang keras untuk membunuh dirinya sendiri maupun 9



Q.S An-Nisa (4) : 29 Q.S At-Taubah (9) : 60 11 „Ali bin Naif bin as-Syuhud. Musu‟ah ad-Difaa‟ „an Rasulillah Sallallahu „alaihi wasallam, vol. 6 (Maktabah as-Syamilah : tanpa tahun), hal. 423. 12 Q.S.Al-Baqarah (2) : 217 13 Badrudin Al-„Ainiy Al-Hanafiy, „Umdatu- Al-Qarii Syarhu Shahiih Bukharii. Vol. 22 (Maktabah Syamilah : 2006) hal. 64 14 Q.S. Al-Mu‟minuun (23) : 14 10



orang lain. Allah berfirman “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”15 Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencabut ruh manusia. Padahal Allah sajalah Sang Pemberi Kehidupan. Termasuk dalam perlindungan Syariat terhadap nyawa atau jiwa manusia. Bahwa Syariat memberikan hak kehidupan kepada jiwa tersebut, perlindungan kepada manusia, meskipun masih berbentuk janin, dan mengharamkan aborsi. Alasan pengharaman aborsi adalah apabila tindak aborsi dilakukan setelah si janin berusia 120 hari maka tindakan ini sudah disebut sebagai pembunuhan terhadap satu nyawa. Sedangkan bagi seseorang yang menghilangkan nyawa orang lain, maka syariat telah memiliki qishash. Qishash adalah persamaan antara tindak kejahatan dengan sanksi; sanksi dengan ukuran sepadan atau setimpal yang telah ditetapkan oleh Allah, diwajibkan sebagai hak bagi hamba, diturunkan untuk orang yang melakukan tindakan tertentu dan telah memenuhi syarat serta rukun lainnya. Satu tindakan diberlakukan atas seorang pelaku, sepadan dengan apa yang telah dilakukannya kepada si korban.16 Qishash termasuk sanksi yang sudah ditetapkan dari firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.”17Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka dengan luka (pun) ada qishashnya.”18 Meski begitu hukuman qishash ini dapat gugur dan diganti dengan diyat atau ta‟zir dengan syarat telah mendapat maaf dari korban ataupun wali korban. “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada yang member maaf dengan cara yang baik (pula).”19 Dan pemberian maaf ini lebih diutamakan oleh Allah, Allah berfirman “Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.”20 Ayat ini menunjukkan anjuran Allah agar memaafkan, bersedekah dan menerima diyat. Kemudian Allah memerintahkan wali korban untuk mengikutinya, dan memerintahkan pelaku untuk membayarkan diyatnya dengan cara yang baik.



15



Q.S. An-Nisa (4) : 29 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 77 17 Q.S. Al-Baqarah (2) : 178 18 Q.S. Al-Ma‟idah (5) : 45 19 Q.S. Al-Baqarah (2) : 178 20 Q.S. Al-Baqarah (2) : 237 16



C. Perlindungan Terhadap Akal Syariat menyeru kaum mukminin agar memiliki akal yang bisa memberi petunjuk dan terjaga dari kesia-siaan, serta memiliki kekuatan dahsyat yang menjaga akal tersebut dari sikap ikut-ikutan dan lemah dalam berpendapat, selalu berimbang, dan melakukan taklid yang melemahkan. Rasulullah SAW bersabda “Janganlah kalian menjadi bunglon yang berkata, “Bila manusia baik, maka kami akan baik. Dan bila mereka berlaku zalim, kami pun akan berlaku zalim. Namun tempatkanlah (dengan kuat) diri kalian; bila manusia baik, maka kalian akan baik. Dan bila mereka berlaku buruk, maka janganlah kalian berbuat zalim.”21Dengan kemuliaan akal yang dimilikinya, maka sehendaknya manusia memelihara nikmat yang diberikan oleh Allah dengan tidak melakukan hal-hal tercela yang mengakibatkan rusaknya akal dan menurunkan derajat ke titik kebodohan. Khamr, narkoba,atau segala macam bentuk hal yang memabukkan dan menutup akal, dikenakan sanksi oleh Syariat. Menurut Daqiq al-Id, “Orang yang mabuk adalah orang yang ucapan teraturnya sudah cacat, dan dia membuka rahasia yang disimpannya, tidak bisa mengenali antara langit dan bumi, antara panjang dan lebar. Hukum haramnya meminum khamr beserta sanksi cambukan atau dera berlaku untuk segala macam khamr, baik yang terbuat dari madu, gandum, atau barang lainnya, disebabkan bahayanya secara khusus dan umum, yang bisa menjadikan orang lalai berzikir kepada Allah, lalai shalat, dan karena khamr dapat membuat celah permusuhan dan kebencian antara sesama manusia.22 Larangan telah banyak diriwayatkan oleh Rasulullah SAW tentang khamr ini, “Setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”23Pengharaman Khamr bersifat qath‟I, Abdurrauf Al-Manawiy mengutip hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin AMru bin Al-Ash, “Khamr adalah induk segala perbuatan jahat.”24 Sanksi karena meminum khamr dijelaskan dengan sunnah nabi SAW, baik ucapan maupun tindakan, serta ijma‟ para sahabat. Nash atau ketetapan hukum ini tidak dijelaskan dalam Al-Quransecara detil. Jenis sanksi ini berupa dera (cambukan). Abu Bakar dan Ali memukul sebanyak 40 kali, sedang Umar sebanyak



21



Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfah Al- Ahwadziy bi Syarhi Jami‟ At-Tirmidzi, vol. 6 (Beirut : Daar- al-Kutub al-Ilmiyah, 2011), hal. 123. 22 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 104 23 Badruddin Al-„Ainy Al-Hanafiy, „Umdatu-l- Qaariy Syarhu Shahiih Bukhari, vol. 5, (Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyah , 2006), hal. 163. 24 Abdurrauf Al-Manawiy, Faydul Qadiir Syarhu al-Jaami‟ as-Shaghiir, vol. 3 (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah al-Kubra, 1356 H) hal. 508



80 kali. Ada pula yang berpendapat sanksi tidak selamanya berupa cambukan, akan tetapi bisa berupa pukulan tangan, sandal, atau cambuk.25 D. Perlindungan Terhadap Kehormatan Syariat member perlindungan berupa sanksi berat yang dijatuhkan dalam masalah zina, penghancuran kehormatan orang lain dan masalah qadzaf (tuduhan melakukan tindak asusila kepada orang lain). Juga memberikan perlindungan dengan pengharaman ghibah, mengadu domba, memata-matai, mengumpat, dan mencela dengan panggilan buruk dan lainnya. Surah An-Nur menjadi landasan hukum sanksi bagi pezina, yaitu pencambukan dan pengasingan bagi pelaku yang belum menikah, dan hukum rajam bagi yang telah menikah, baligh, dan berakal. “Perempuan yang berzina dan lakilaki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”26 Karena sanksi zina sangat berat, maka syariat mewajibkan diberlakukannya sanksi tersebut dengan pengakuan, ditetapkan dengan adanya saksi yang harus memenuhi syarat-syarat berikut seperti yang dirangkum oleh Ahmad AlMursi, pertama, saksi adalah empat orang laki-laki adil.27 Kedua, kesaksian harus dengan menjelaskan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Ketiga, kesaksian harus menggunakan ucapan jelas yang menyatakan perbuatan zina, bukan kinayah atau kiasan. Keempat, tempat dan waktu kesaksian tidak boleh berbeda; kesaksian empat orang tersebut harus ada di satu majlis. Kelima, kesaksian tidak diberikan setelah laporan sudah lama diajukan.28 Hukum had perbuatan zina sangat jarang dapat terpenuhi karena syarat yang harus dipenuhi sangat sulit. Karena memang benar Syariat berusaha mencari alasan untuk menggugurkannya dengan syubhat yang paling lemah sekalipun. Meskipun pelaku mengakui perbuatannya, hakim tidak boleh menerima pengakuan tersebut sebagai bukti satu-satunya.



25



Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 128. 26 Q.S. An-Nur (24) : 2 27 Q.S. An-Nur (24) : 4 28 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 135.



Akan tetapi, apabila hukuman had gugur karena syarat tidak terpenuhi namun perbuatan keji, laporan, atau rusaknya kehormatan sudah kuat, maka kondisi ini mengharuskan diberlakukannya ta‟zir bagi pelaku. Menurut Mursi, Ta‟zir adalah sanksi yang ukurannya ditentukan oleh hakim atau hukum positif (perundang-undangan), dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan tingkat kriminal yang dilakukan, tingkat bahaya, perbedaan status pelaku, serta alasan cukup untuk dapat membuat mereka jera atau dapat mencegah agar mereka tidak melakukan kembali perbuatan tersebut, yakmi dengan hukuman penjara, dera, pengasingan dan sebagainya.29 Nasab/keturunan merupakan fondasi kekerabatan keluarga, Syariat juga memberikan perhatian yang sangat besar untuk melindungi nasab dari segala sesuatu yang menyebabkan percampuran atau menghinakan kemuliaan nasab tersebut. Oleh karena itu, ada lima system yang ditetapkan syariat dalam memelihara kejelasan nasab seseorang, pertama, adopsi, kedua, sistem pemberian pengakuan kepada anak kandung, ketiga sistem pemberian pengakuan, keempat, sistem khulu‟, kelima sistem hilangnya nasab seorang wanita setelah menikah. Akhir-akhir ini perserteruan antara Mario Teguh dan Kiswinar yang mengaku sebagai anaknya mewarnai berbagai media di tanah air. Mario teguh secara tegas menolak klaim kiswinar yang menyatakan dia adalah ayah Kiswinar. Syariat secara tegas dan eksplisit mengedepankan hubungan darah sebagai cara untuk memuliakan nasab seseorang dan menghindari kerancuan nasab. Rasulullah SAW bersabda “Orang yang memanggil (menasabkan diri) kepada selain bapaknya, padahal dia mengetahui bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga adalah haram baginya.”30 Pada masa kenabian Muhammad, orang-orang kafir Quraisy yang merasa terancam dengan Muhammad dan agama barunya, meminta kepada Abu Thalib (paman Nabi) untuk mencabut nasab Muhammad sesuai asas ssistem atau peraturan keluarga, sehingga mereka dapat membunuhnya tanpa khawatir akan mendapat penuntutan balas keluarga Bani Hasyim. Namun, Abu Thalib tidak meluluskan keinginan mereka, demi menjaga Muhammad berdasarkan hak-hak hubungan rahim, dan dia pun melihat dalam diri Muhammad ada budi pekerti yang membuat Bani Hasyim mulia dan terhormat.31 Jelas sekali akibat yang dihasilkan oleh adanya tindak memberikan klaim dan mencabut nasab seseorang, di antaranya 29



Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 138 30 Muhammad Syamsul Haqq, „Aunul-l Ma‟bud Syarhu Sunan Abi Daud, vol. 14, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1415 H) hal. 15. 31 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 159



bercampurnya nasab, menghinakan kehormatan hubungan kekerabatan, melemahkan hubungan darah, merusak fondasi keluarga, mengobarkan fitnah dan dendam, serta memperpanas api perpecahan dan pertikaian antara keluarga dan golongan. E. Perlindungan Terhadap Harta Benda Tingkat terakhir dari tujuan ditetapkannya syariat adalah melindungi harta. Harta merupakan salah satu kebutuhan ini untuk kelangsungan hidup. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat, yaitu cara yang halal, dipergunakan untuk hal yang halal, dan harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup.32 Adapun ketentuan yang ditetapkan syariat mengenai harta adalah sebagai berikut, tidak berlebih-lebihan,33 tidak memakan harta dengan cara yang batil,34 tidak memakan harta hasil riba.35 Perlindungan untuk harta yang baik ini tampak dalam dua hal berikut. Pertama, memiliki hak untuk dijaga dari musuhnya, baik dari tindak pencurian, perampasan, merampok, menipu dan memonopoli. Kedua, harta tersebut dipergunakan untuk hal-hal yang mubah, tanpa ada unsur mubazir atau menipu untuk hal-hal yang dihalalkan Allah. Meski begitu harta sendiri tidak lepas dari segala perbuatan batil yang dilakukan. Salah satunya adalah risywah. Risywah adalah memperdagangkan dan mengeksploitasi tugas atau pekerjaan untuk menghasilkan harta secara batil. Perbuatan ini haram tanpa ada yang memperselisihkan. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari “Allah melaknat orang yang memberi suap, orang yang menerima suap, dan orang yang berjalan di antara keduanya.”36 Mencuri adalah mengambil harta orang lain tanpa haq dan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pemiliknya. Dan Syariat menetapkan hukum potong tangan sebagai hukumannya. Allah berfirman “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”37 Karena seorang pencuri mencari tambahan dari penghasilan orang lain yang giat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, maka dia harus dihukum potong tangan. Dengan demikian, penghasilannya dari bekerja akan berkurang dan rezekinya menjadi sempit. Riba adalah kelebihan harta tanpa imbalan atau ganti yang disyaratkan, yang terjadi dalam sebuah transaksi (akad) ganti-mengganti harta dengan harta. Dan



32



Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 167 33 Q.S. Al-A‟raf (7): 31 34 Q.S. Al-Baqarah (2) : 188 dan Q.S. An-Nisa (4) : 29 35 Q.S. Al-Baqarah (2) : 275-276 36 Badruddin Al-„Ainy Al-Hanafiy, „Umdatu-l- Qaariy Syarhu Shahiih Bukhari, vol. 33, (Al-Maktabah As-Syamilah , 2006), hal. 277. 37 Q.S. Al-Maidah (5) : 38



hal tersebut hukumnya haram.38 Islam melarang riba karena bahaya yang dikandungnya, baik bersifat individu, social, atau ekonomi, dan didalamnya juga tidak ada lagi kata kebaikan untuk jiwa manusia. ketamakan dan cinta materi menempati posisi riba, serta menyebabkan penimbunan harta dan kekayaan dengan cara yang tidak benar, serta masuk dalam tindak eksploitasi atas jerih payah orang lain. ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertawakkal kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”39 Dengan berbagai macam hal yang begitu diperhatikan dari berbagai aspek dan telah diatur seperti di atas, tampaknya penerapannya sendiri masih banyak ditimbulkan perdebatan oleh banyak pihak. I.



Munculnya Gerakan Syariat



Pro kontra tentang penerapan syariah Islam terus berlanjut seiring dengan perjalanan waktu. Meskipun ditentang baik oleh sebagian orang Muslim sendiri maupun politisi dan intelektual Barat, usaha-usaha untuk menegakkan syariat Islam di dunia muslim tetap berjalan. Dan pada tahun 1970an usaha ini sepertinya mendapat momentum. Tingkat kesadaran keberagaman masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia Muslim meningkat. Ini terbukti dengan meningkatnya wanita-wanita Muslimah mengenakan jilbab, begitu dengan jumlah masjid, pesantren, dan institusi keagamaan yang lain terus mengalami peningkatan. Organisasi-organisasi internasional yang bernafaskan Islam pun mulai berkembang. Perbankan Islam perlahan-lahan mulai menjamur. Jumlah professional Muslim yang beralih arah menjadi Muslim-Muslim yang taat beribadah juga meningkat secara signifikan. Di belahan dunia Arab perubahan tersebut lebih drastic. Syiria, sebuah Negara sekuler, pada pertengahan 1970an mengambil langkah yang mengejutkan. Negara yang saat itu berada di bawah pemerintahan Hafez al-Asad (m.2000) merubah konstitusi negaranya dengan memasukkan pasal-pasal yang mensyaratkan presiden Negara tersebut beragama Islam. Mesir juga mengambil langkah yang hampir sama. Tahun 1981 Anwar Sadat (m. 1981) harus rela mengamandemen Konstitusi negaranya dengan menyatakan Syariah Islam sebagai sumber terpenting Hukum Mesir. Di Sudan, presiden Numairi juga mengkampanyekan pengimplementasian Syariah Islam terutama yang berkenaan dengan Hukum Pidana.40



38



Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashidu As-Syariah fi Al- Islam, terj. Khikmawati, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2013) hal. 197 39 Q.S. Ali Imran (3) : 130 40 Najib Ghadbian, Democratization and the Islamist Challenge in the Arab World (Colorado:Westview, 1997) hl. 67.



Melihat fenomena ini banyak penulis akhirnya menyimpulkan bahwa tahun 1970an merupakan awal dari kebangkitan Islam.41 Huntington menulis dalam bukunya: “Beginning from 1970s Islamic Symbols, beliefs, practices, institution, policies, and organization won increasing commitment and support throughout the world of 1 billion Muslim stretching from Morocco to Indonesia and from Nigeria to Kazakhstan.”42 Ada banyak faktor dikatakan yang mendorong lahirnya fenomena ini. Philip Khoury melihat faktor utama popularnya gerakan Islam adalah kegagalan pemerintah Arab berideologi sekuler yang didukung oleh kekuatan barat dalam memenuhi aspirasi rakyatnya terutama dalam bidang ekonomi, yaitu peningkatan kesejahteraan hidup.43 Ini belum lagi dengan kekalahan Negara Arab Islam pada perang enam hari melawan Israel yang digambarkan oleh banyak kalangan sebagai kekalahan yang memalukan. Di mata rakyat banyak kegagalan dan kekalahan ini sama saja artinya dengan kegagalan ideology penopang pemerintah. Pada saat ini ideologi sekuler mulai ditinggalkan dan Islam mulai dilirik karena diyakini dapat menawarkan jalan alternatif. I. Argumentasi Penolakan Syariat Islam Semakin gencar gerakan menuntut pelaksanaan syariat Islam, semakin kuat pula suara-suara penentangan terhadapnya. Apa yang menyedihkan sebenarnya adalah bahwa penolakan itu dilakukan oleh kalangan Muslim sendiri yang bukan dari golongan awam tapi mereka juga terdidik dan terpelajar. Faraj Fawdah, misalnya dalam suatu debat secara terus terang pernah menyatakan : “Ringkasnya saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step. Karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) Negara agama (dawlah diniyah). Barang siapa menrima Negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima aplikasi Syari‟at Islam, dan barang siapa menolaknya maka dia menolak penerapan syariat Islam.”44 Gaya penolakan seperti Fawdah ini sangat umum dikalangan cendekiawan Muslim modern. Argumentasi yang mereka ajukan untuk menjustifikasi sikap penolakan mereka kebanyakan bernuansa politik dan berkedok ilmiah. Keduanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan. Yang 41



John L Esposito, Islamic Threat : Myth of Reality? (New York: Oxford University Press, 1996), hal 11. 42 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remarking of World Order (New York: Simon & Schuster 1996), hal. 111. 43 Phillip S. Khoury, Islamic Revivalism and the Crisis of the Secular State in the Arab World; A Historical Appraisal,‟ dalam Ibrahim (penyunting), Arab Resources: The Transformation of a Society (Washington D.C : Center for Contemporary Arab Studies, and London: Croom Helm, 1983) hal. 214 44 Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syariah (Kairo: sina li al-Nashir, 1990, hal. 14



menolak atas nama politik selalunya berlindung dibalik prinsip demokrasi, yang berkedok ilmiah akan menggunakan prinsip maslahah atau yang popular dengan prinsip Maqashid Syari‟ah. Bagi mereka yang menentang syariah Islam, hukum Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan telah dielaborasi oleh para faqih dan mufassir sudah outdate alias ketinggalan zaman, ia sudah tidak lagi relevan untuk diterapkan karena gagal menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini.45 Padahal kata mereka, kemaslahatan itulah yang merupakan obyektif prima (tujuan utama) dari disyariatkan hukum itu sendiri. Jika suatu hukum tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah selayaknya kita meninggalkan hukum tersebut. Nirwan Syafrin dalam artikelnya menambahkan argumen Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa kalangan ini telah menyalahgunakan prinsip maqasid Syari‟ah dengan menjadikannya sebagai dalih lepas dari ikatan nash al-Qur‟an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam transmisi (qat‟iy al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat‟iy al-dilalah).46 Dalam kerangka inilah, mereka menolak hudud, merombak perhitungan waris, melonggarkan aturan jilbab, menentang poligami dan lainnya. Implikasinya adalah, pertama, bahwa syariat yang diturunkan bersamaan dengan al-Qur‟an itu adalah respon spontan terhadap kondisi masyarakat ketika itu. Kedua, bahwa tujuan ditetapkannya hukum Islam itu bukan sekedar untuk memenuhi formal legalistiknya saja tapi lebih jauh dari pada itu yaitu untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia.47 Kaum yang menentang syariat mengungkapkan bahwa al-Quran diturunkan kepada Rasulullah di tengah semrawutnya tatanan kehidupan masyarakat ketika itu di mana struktur sosial budayanya patriartki, perbudakan merajalela, perempuan yang dimarginalkan dan sebagainya. Dari permasalahan inilah muncul disiplin ilmu seperti fiqh, ushul fiqh dan tafsir. Inilah yang dimaksudkan Fazlur Rahman dalam pernyataannya bahwa : “The Qur‟an is the divine response to Qur‟anic times, through the Prophet‟s mind, to the moral-social situation of the Prophet‟s Arabia, particularly to the problem of the commercial Meccan society of his day.”48 Nasr Hamid Abu Zayd memiliki analisa yang berbeda. Dia beranggapan bahwa Al-Qur‟an dan segala macam perintah dan larangan yang ada di dalamnya 45



Nirwan Syafrin, Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqasid Syari‟at, dalam Jurnal Islamia, Tahun 1 No. 1/Muharram 1425 H. (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hal. 87 46 Nirwan Syafrin, Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqasid Syari‟at,.hal. 89 47 Nirwan Syafrin, Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqasid Syari‟at,.hal. 89 48 Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Oxford : Oxford University Press, 1979), hal.2



merupakan teks manusiawi. Proses pemanusiaan ini, menurutnya sebenarnya sudah berlangsung sejak nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk Bahasa Arab, bahasa-bahasa Jazirah Arab. Dengan kata lain, AlQur‟an adalah suatu produk budaya yang terbentuk atas realitas social dan budaya selama dua puluh tahun, proses kemunculan dan interaksinya dengan realitas budaya selama itu adalah merupakan fase “keterbentukan”. Fase berikutnya adalah fase “pembentukan”, di mana Al-Qur‟an selanjutnya membentuk suatu budaya baru sehingga al-Qur‟an dengan sendirinya juga menjadi produsen budaya.49 Ini artinya Al-Qur‟an dapat berubah sesuai di mana hukum syariat diterapkan dan dapat disesuaikan dengan maslahat manusia yang hidup pada daerah tersebut. Dan akibatnya, syariat yang berlaku di satu Negara akan berbeda dengan Negara lain, padahal mereka menjadikan Al-Qur‟an yang sama sebagai pedoman. Seperti yang diungkapkan dalam bukunya “Naqd al-Kitab al-Dini” : “Sesungguhnya al-Qur‟an adalah teks keagamaan yang tetap (thabit)dari sisi lafadznya, namun dari sisi saat interaksi dengan akal manusia dan menjadi sebuah konsep, maka hilanglah sifat ke“tetap” annya. Kemudian teks yang tetap itu bergeser menjadi makna ragam. Karena sifat yang sesungguhnya tetap itu adalah bagian dari sifat absolute yang sacral. Namun secara manusiawi dia adalah relative dan berubah.”50 Pendapat selanjutnya datang dari Muhammad Syahrur dalam kitabnya yang fenomenal, Al-Kitab wa Al-Qur‟an, Qira‟ah Mu‟ashirah. Syahrur menggunakan metodologi linguistic-hsitoris-ilmiah dengan menggunakan linguistika modern. Interpretasi ayat-ayat hukum melahirkan pandangan teologis yang baru yang mengakibatkan dekonstruksi metodologi fikih secara menyeluruh dalam Al-Qur‟an. Pertama, ia memandang Al-Qur‟an sebagai wahyu dan mujizat. Akan tetapi, menurutnya, karena teks al-Qur‟an sendiri mujizat, berarti mengajarkan bahwa manusia harus bergantung kepada akal bahwa tidak diperlukan lagi wahyu atau mujizat lebih lanjut. Justru manusia itulah yang membuat mujizat itu sendiri.51 Dengan kata lain, akal manusia lebih dikedepankan dalam memahami ayat-ayat alQur‟an dan secara otomatis menafikan otoritas ulama terdahulu yang telah menetapkan hukum syariat. Kedua, kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangandari garis lurus, tidak tetap, lentur, berubah dan elastic. Risalah bersifat subyektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian kesadaran dalam diri 49



Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian Al-Qur‟an Nasr Hamid Abu Zayd, dalam jurnal Islamia, vol. VI, No.1 (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2012), hal. 67 50 Abu Zayd, Naqd al-Kitab Al-Dini, (Kairo : Sina li-l- Nasr cet. Pertama), hal. 93 51 Muhammad Syahrur, “Teks Ketuhanan dan Pluralisme dalam Masyarakat Muslim” terj. Saifudin Zuhri Qudsy, dalam Sahiron Syamsudin dkk, Hermeneutika Mazhab Yogya (Yogya : Islamika, 2003) hal. 262



manusia di dalam berperilaku.52 Jika seperti itu, artinya menuntut dekonstruksi ayatayat Al-Qur‟an yang bersifat qath‟I al-dilalah. Sebagai contoh sembrono adalah ketika Syahrur berpendapat bahwa wanita boleh telanjang bulat di depan golongan lelaki yang disebutkan dalam Q.S An-Nur (24): 31 yaitu, saudara, anak saudara lakilaki, bapak, anak saudara perempuan, orang tua istri dan anaknya. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja.”53 PENUTUP Akar permasalahan pro kontra penegakan syariat beserta maqashid syariah adalah pemisahan antara maqshad (obyek) dengan hukum yang menjadi wasilah kepada obyek itu. Terpisahnya dua hal ini mengakibatkan perubahan secara berkesinambungan terhadap hukum Syariat. Antara hukum dan tujuan hukum adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Hukuman hudud berupa potong tangan, hukuman rajam sampai mati yang dianggap tidak berprikemanusiaan dan digugat oleh para intelektual sejatinya menyebabkan kerancuan. Mereka seakan ingin mengambil maqashidnya dan meninggalkan syariatnya. Disamping terpenuhinya principle of justice, hukuman dalam Syariat juga punya fungsi edukatif dan preventif. Nirwan Syafrin mengutip pendapat Sa‟id Rahman dalam bukunya al-Buti, „Ala Tariq al„Awdah ila al-Islam, hukuman dibuat bertujuan untuk mendidik (deter) public dan si criminal tentang akibat (consequence) perbuatan jahat mereka. Salah satu unsure terpenting dari sesuatu hukuman adalah bengis, kejam, dank eras (al-qashwah). Hilangnya unsure ini berarti hilanglah makna sesuatu hukuman.54 Hal-hal yang selalu dikritik oleh para intelektual masa kini tidak lepas dari , hudud, rajam, waris, poligami, qisas, dan jilbab karena outdate serta ketinggalan jaman merupakan tindakan yang tidak adil. Syariah Islam jauh lebih komprehensif karena yang dibahas tidak hanya itu saja. kewajiban menyantuni anak yatim, memberdayakan secara ekonomi fakir miskin, memilih pemimpin yang jujur dan bertanggungjawab, bersikap jujur adalah bagian dari syariat. Tingginya tindak kriminalitas dimasyarakat seperti korupsi, perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan serta belum adanya tanda-tanda penurunan angka saat ini bisa dijadikan kaca perbandingan. Bahwa hukuman kurungan pidana bagi pembunuh dan perampok belumlah memberi dampak preventif di masyarakat. Jika kita mau menuruti seruan Allah untuk berpuasa pada bulan Ramadhan di Surat Al-Baqarah 52



Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah. (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hal. 54, 90 dan 103. 53 Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah. (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hal 607. 54 Nirwan Syafrin, Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqasid Syariat, dalam jurnal Islamia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004) hal. 96



(2) 183, lalu atas dasar apa kita pilih-pilih untuk enggan mengenakan hijab di surat An-Nur (24) ayat 31? Wallahu a‟lam bis-shawaab.



REFERENSI Al-Qur‟an Al-Karim Abdurrauf Al-Manawiy, Faydul Qadiir Syarhu al-Jaami‟ as-Shaghiir, vol. 3 (Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah al-Kubra, 1356 H) Abu Zayd, Naqd al-Kitab Al-Dini, (Kairo : Sina li-l- Nasr cet. Pertama) Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid as-Syariah fi al-Islam, terj. Khikmawati (Jakarta: Grafika Offset, 2013) Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syariah (Kairo: sina li al-Nashir, 1990) „Ali bin Naif bin as-Syuhud. Musu‟ah ad-Difaa‟ „an Rasulillah Sallallahu „alaihi wasallam, vol. 6 (Maktabah as-Syamilah : tanpa tahun) Aspari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996) Badrudin Al-„Ainiy Al-Hanafiy, „Umdatu- Al-Qarii Syarhu Shahiih Bukharii. Vol. 22 (Maktabah Syamilah : 2006) Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Oxford : Oxford University Press, 1979) Ibrahim bin Musa al-Lahmiy al-Gharnathiy al-Malikiy as-Syatibi, Al-Muwafaqat (Beirut : Darul Ma‟rifah) John L Esposito, Islamic Threat : Myth of Reality? (New York: Oxford University Press, 1996) Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Terhadap Kajian Al-Qur‟an Nasr Hamid Abu Zayd, dalam jurnal Islamia, vol. VI, No.1 (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2012), Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfah Al- Ahwadziy bi Syarhi Jami‟ At-Tirmidzi, vol. 6 (Beirut : Daar- al-Kutub al-Ilmiyah, 2011 Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah. (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990)



Muhammad Syahrur, “Teks Ketuhanan dan Pluralisme dalam Masyarakat Muslim” terj. Saifudin Zuhri Qudsy, dalam Sahiron Syamsudin dkk, Hermeneutika Mazhab Yogya (Yogya : Islamika, 2003) Najib Ghadbian, Democratization and the Islamist Challenge in the Arab World (Colorado:Westview, 1997) Nirwan Syafrin, Syariat Islam: Antara Ketetapan Nash dan Maqasid Syari‟at, dalam Jurnal Islamia, Tahun 1 No. 1/Muharram 1425 H. (Jakarta: Khairul Bayan, 2004) Phillip S. Khoury, Islamic Revivalism and the Crisis of the Secular State in the Arab World; A Historical Appraisal,‟ dalam Ibrahim (penyunting), Arab Resources: The Transformation of a Society (Washington D.C : Center for Contemporary Arab Studies, and London: Croom Helm, 1983) Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remarking of World Order (New York: Simon & Schuster 1996)