Paradigma Kritis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PARADIGMA KRITIS



Postpositivisme Dengan Teori Kritis Membangun Weltanschauung A. Membangun Teori Bertolak dari Weltanschauung Reichanbag (1938) mengemukakan bahwa tugas filsafat ilmu adalah membangun teori ilmu bertolak dari Weltanschauung. Toulmin (1953) mengemukakan bahwa fungsi ilmu adalah membangun ide-ide tentang semesta sebagai realitas;dan sistem-sistem tersebut menyajikan teknik-teknik yang bukan hanya ajeg dalam memproses data, melainkan tetap lebih dari ituharus dapat diterima (sesuai Weltanschauung nya). Teori-teori ilmu menurut Toulmin terdiri atas hukum-hukum, hipotesis-hipotesis, dan ide-ide tentang semesta, yang tercatat hierarki. Menurut Toulmin teori-teori bersifat instrumentalistik, teori hanyalah hukumhukum untuk membuat inferensi. B. Teori Konflik dan Teori Kritis Dari sisi filsafat ilmu, teori konflik termasuk positivisme modern yang menggunakan berfikir instrumental, sedangkan teori kritis termasuk postpositivisme dengan Weltanschauung, yang landasan filsafatnya sebagian phenomenologik, dan sebagian lain realisme metaphisik. Perubahan peran akan mengubah perilaku seseorang demikian teori konflik. Dalam teori kritis, perilaku orang akan mengubah makna konteks selanjutnya. Dilihat dari sisi filsafat ilmu teori kritis sudah bersifat aktif mencipta makna, bukan sekedar pasif menerima makna atas perannya seperti pada teori konflik. C. Konsep Ilmu Bebas Nilai Semakin Ditinggalkan Konsep ilmu bebas nilai sebagaimana dianut para positivist semakin ditinggalkan orang. Ilmuwan mulai dari penganut pendekatan phenomenologik, mulai mengimplisitkan nilai: muali dari observasi, analisi sampai kesimpulan. Malahan ilmuwan mutakhir dengan pendekatan toei kritis mulai mengeksplisitkan ideologi dalam dalam banyak hal mendorong sejumlah ilmuwan kritis memasalahkan praktik-praktik kehidupan yang tidak adil. Pendidikan itu tidak netral. Pendidikan yang dikonstruk oleh oppressed bukan untukmkepentingan the oppressed, melainkan untuk melestarikan kekuasaan. The appressed perlu menyusun pendidikannya berdasar conscientia-nya sendiri.



1



D. Asumsi Dasar Teori Kritis Dua asumsi dasar yang menjadi landasan yaitu: pertama ilmu sosial bukan sekedar memahami ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan distribusi resources, melainkan berupaya untuk membantu menciptakan kesamaan dan emansipasi dalam kehidupan; kedua, pendekatan teori kritis memiliki keterikatan moral untuk mengkritik status quo dan membangun masyarakat yang lebih adil. Paradigma kritis (critical paradigm) adalah semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikassi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Paradigma ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan sistem yang dominan yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Meskipun terdapat beberapa variasi teori sosial kritis seperti; feminisme, cultural studies, posmodernisme -aliran ini tidak mau dikategorikan pada golongan kritistetapi kesemuanya aliran tersebut memiliki tiga asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Ilmuan kritis harus memahami pengalaman manusia dalam konteksnya. Secara khusus paradigma kritis bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, paradigma ini mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha untuk mengungkap struktur-struktur yang sering kali tersembunyi. Kebanyakan teori-teori kritis mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kekuatan untuk memahami bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk mengubah kekuatan penindas. Ketiga, paradigma kritis secara sadar berupaya untuk menggabungakn teori dan tindakan (praksis). “Praksis” adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis ini. Menurut Habermas (dalam Hardiman, 1993: xix) praksis bukanlah tingkah-laku buta atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Asumsi dasar yang ketiga ini bertolak dari persoalan bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan sejarah bukan hanya sekedar teori, melainkan mendorong praksis menuju pada perubahan sosial yang humanis dan mencerdaskan. Asumsi yang ketiga ini diperkuat oleh Jurgen Habermas (1983) dengan memunculkan teori tindakan komunikatif (The Theory of Communication Action). Bagi paradigma kritis tugas ilmu sosial adalah justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang cenderung “mendehumanisasi” atau membunuh nilai-nilai kemanusiaan (Fakih, 2001: 7). Gramsci menyebut proses penyadaran



2



ini sebagai counter hegemony. Dominasi suatu paradigma harus dikonter dengan paradigma alternatif lainnya yang bisa memecahkan permasalahan dalam realitas sosial kemasyarakatan yang tidak terselesaikan oleh paradigam yang mendominasi. Proses dehumanisasi sering melalui mekanisme kekerasan, baik fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara yang halus, di mana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dalam bentuk dehumanisasi tidak selalu jelas dan mudah dikenali karena ia cendrung sulit dilihat secara kasat mata dan dirasakan bahkan umumnya yang mendapatkan perlakuan kekerasan cendrung tidak menyadarinya. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah bentuk kekerasan yang memerlukan suatu analisis yang lebih kritis untuk menyadarinya. Tegasnya, sebagian besar kekerasan terselenggara melalui proses hegemoni, yakni yaitu dalam bentuk mendoktrin dan memanipulasi cara pandang, cara berpikir, ideology, kebudayaan seseorang atau sekelompok orang, dimana semuanya sangat ditentukan oleh orang yang mendominasi. Kekuatan dominasi ini biasa dilanggengkan dengan kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik, bahkan dengan ilmu pengetahuan. Seperti diungkapkan oleh Micheal Faucoult knowledge is power, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan ialah yang menguasai dunia ini. Bagi paradigma atau aliran kritis, dunia positivisme dan empirisme dalam ilmu sosial, struktural memang tidak adil. Karena ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif serta harus mempunyai jarak, merupakan suatu sikap ketidakadilan tersendiri, atau bisa dikatakan melanggengkan ketidakadilan (status quo). Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk objektivitas dan netralitas dari ilmu sosial. Jadi paradigma mengharuskan adanya bentuk subjektifitas, keberpihakan pada nilai-nilai kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu –terutama kaum lemah, golongan yang tertindas dan kelompok minoritas- dimana keberpihakan ini merupakan naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Kerja interpretatif, bagaimanapun, juga memiliki kelemahan. Ada tiga kritik utama dari pendekatan [Habermas, 1978; Bernstein, 1976; dan Fay, 1975]. Pertama, telah berpendapat bahwa menggunakan tingkat kesepakatan pelaku sebagai standar untuk menilai kecukupan penjelasan adalah sangat lemah. Bagaimana seseorang mendamaikan perbedaan mendasar antara peneliti dan pelaku? Kedua, perspektif kekurangan dimensi evaluatif. Habermas (1978), khususnya, berpendapat bahwa peneliti interpretif tidak dapat mengevaluasi secara kritis bentuk-bentuk kehidupan yang ia / dia amati dan karena itu tidak dapat menganalisis bentuk "kesadaran palsu" dan dominasi yang mencegah pelaku dari mengetahui kepentingan mereka yang sebenarnya. Ketiga, peneliti interpretif dimulai dengan



3



asumsi tatanan sosial dan konflik yang terkandung melalui skema penafsiran umum. Mengingat ini dan fokus pada interaksi sosial mikro, ada kecenderungan untuk konflik besar mengabaikan kepentingan antara kelas-kelas dalam masyarakat. Keyakinan tentang fisik dan kenyataan sosial Ide yang paling khas yang mayoritas peneliti ini dari berbagi perspektif dari karya Plato, Hegel, dan Marx. Ini adalah keyakinan bahwa setiap negara bagian dari keberadaan, baik itu individu atau masyarakat, memiliki lanjutan historis merupakan potensi yang tidak terpenuhi. Semuanya karena, dari apa itu dan apa yang bukan (potensi yang dimilikinya). Secara khusus, manusia tidak terbatas ada dalam keadaan tertentu; keberadaan mereka dan lingkungan materi mereka tidak habis oleh keadaan mereka Held, 1980, hal. 234). Sebaliknya, orang yang mampu mengenali, memahami, dan memperluas kemungkinan yang terkandung dalam setiap makhluk. Ini adalah kualitas yang membedakan manusia sebagai universal, makhluk gratis [Marcuse, 1968,1941]. Namun, potensi manusia dibatasi oleh sistem dominasi yang mengasingkan orang dari realisasi diri yang berlaku. Ini penyumbatan bahan mengoperasikan baik di tingkat kesadaran dan melalui hubungan ekonomi dan politik material. Pada satu tingkat, konstruksi ideologis dapat tertanam dalam mode kami konseptualisasi, di kategori kami akal sehat dan dibawa untuk kepercayaan yang diberikan tentang praktik sosial dapat diterima [Lehman dan Tinker, 1985). Di lain, represi dapat dilakukan melalui peraturan yang mengatur pertukaran sosial dan kepemilikan dan distribusi kekayaan. Keyakinan tentang Pengetahuan Filsuf kritis menerima bahwa standar penjelasan ilmiah dinilai memadai, konteksterikat gagasan. Kebenaran sangat banyak dalam proses yang disepakati dan didasarkan pada praktek-praktek sosial dan sejarah. Tidak ada fakta teori-independen yang meyakinkan dapat membuktikan atau menyangkal teori. Selain itu, standar interpretatif (derajat konsensus antara peneliti dan pelaku) dianggap tidak mencukupi. Di luar konsensus yang lemah ini, filsuf kritis tidak setuju dengan kriteria yang tepat yang dapat digunakan untuk menilai klaim kebenaran.



4



Keyakinan tentang Dunia Sosial Peneliti kritis melihat individu sebagai bertindak dalam matriks makna intersubjektif. Dengan demikian, seperti peneliti interpretatif, diterima bahwa ilmuwan sosial perlu belajar bahasa subjek / objek mereka. Proses datang ke pemahaman juga setuju untuk menjadi tergantung pada konteks sebagai ilmuwan sosial dan terlibat dengan konteks sosiohistoris mereka. Ini tidak bisa menghargai bahwa dunia tidak hanya simbolis dimediasi, tetapi juga dibentuk oleh kondisi material dominasi. Bahasa itu sendiri dapat menjadi media untuk represi dan kekuatan sosial. Oleh karena itu, bagi Habermas, aksi sosial hanya dapat dipahami dalam kerangka yang dibentuk secara bersama oleh bahasa, tenaga kerja, dan dominasi. Melalui kerangka tersebut, skema dan tradisi simbolik juga akan mengalami kritik sehingga hubungan mereka ke bentuk materi lainnya terungkap [Held, 1980, hlm. 307-317). Teori dan Praktek Teori sekarang memiliki hubungan tertentu dengan dunia praktek. Hal ini / seharusnya peduli dengan "kebebasan jiwa manusia," yaitu, membawa kepada kesadaran kondisi membatasi. Ini melibatkan menunjukkan bahwa yang disebut hukum sosial yang objektif dan universal hanyalah produk dari bentuk-bentuk tertentu dari dominasi dan ideologi. Melalui analisis tersebut, hal ini dimaksudkan bahwa perubahan sosial mungkin dapat diperbaiki. Peneliti kritis menolak posisi nilai tradisional yang didukung oleh ortodoks ilmuwan-sosial ilmuwan tidak dapat mengevaluasi ujung-alasan bahwa itu guling bentuk yang ada ketidakadilan yang melekat dalam sistem saat ini hak milik dan perampasan kapitalis nilai surplus ekonomi. Posisi moral mereka adalah bahwa dominasi tersebut seharusnya untuk diekspos dan berubah. teori sosial karena dipandang memiliki suatu keharusan kritis. Memang, itu adalah identik dengan kritik sosial.



5