Pendekatan Interdisipliner-Pengembangan Paradigma Integratif-Interkonektif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH



PENDEKATAN INTERDISPLINER DALAM STUDI ISLAM: PENGEMBANGAN PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam Yang Dibimbing Oleh Bapak Dr. Karwadi, M.Ag



Oleh: Intan Nuyulis Naeni Puspitasari NIM. 1120411033



KONSENTRASI MANAJEMEN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2012 0



BAB I PENDAHULUAN



Keberadaan Islam bukan hanya sebagai agama monodimensi. Islam bukan hanya agama yang didasarkan pada intuisi mistis manusia dan terbatas hanya pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanyalah satu dari sekian banyak dimensi agama Islam1. Untuk mempelajari aspek multidimensional dari Islam, metode filosofis niscaya dipergunakan untuk menemukan sisi-sisi terdalam dari hubungan manusia dengan Tuhan dengan segenap pemikiran metafisikanya yang umum dan bebas.2 Dimensi lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam “ilmu manusia”. 3 Agama (baca: Islam), dengan cara pandang seperti ini, tidak lagi berwajah tunggal (single face) melainkan memiliki banyak wajah (multiface).4 Keragaman dimensi Islam mengindikasikan bahwa memahami Islam tidak cukup dengan satu pendekatan atau keilmua tertentu saja, akan tetapi membutuhkan banyak pendekatan yang didasarkan pada berbagai disiplin ilmu. Dengan kata lain, perlu pengkajian secara interdisipliner yang berparadigma integratif-interkonektif dengan menggunakan berbagai perspektif, tidak hanya secara normatif-teologis. Dalam hal ini pendekatan-pendekatan keilmuan yang telah dibahas sebelumnya seperti historis, filosofis, sosiologi, antropologi, psikologi, filologi, fenomenologi, hermeneutik, dan seterusnya sangat diperlukan. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas masih kuat beranggapan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai 1



Nasr Hamid Abu Zayd mengelompokkan dimensi ajaran Islam menjadi tiga wilayah; 1) teks asli Islam (al-Qur‟an dan Sunnah); 2) pemikiran Islam yang ditemukan dalam empat pokok cabang, yaitu hokum, teologi, filsafat, dan tasawuf/mistik; 3) praktek yang dilakukan kaum muslimin kehidupan dengan berbagai macam latar belakang sosial 2 Lihat pengantar Lukman S. Thahir, Studi Islam Interdisipliner, (Yogyakarta: Qirtas, 2004) 3 Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana 1991), hal. 47 4 M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius, dalam M. Amin Abdullah, dkk. (Ed.), Antologi Studi Islam Teori dan Metodologi, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2000), hal. 5



1



ke institusi penyelenggaranya. Dengan lain ungkapan, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, anggapan yang tidak tepat tersebut perlu dikoreksi dan diluruskan.5 Tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka re-orientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan re-konstruksi system kelembagaan merupakan keniscayaan. Pemikiran inilah yang kemudian mendorong adanya gagasan pengembangan IAIN sebagai pilot project menjadi UIN yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama tetapi juga fakultas umum dengan corak epistemologi dan etika moral keagamaan yang integralistik.6 Demikianlah, maka pembahasan dalam makalah ini ingin menegaskan perlunya pengembangan studi Islam dalam segala aspek kehidupan, dikaji secara interdisipliner dengan paradigma integratif-interkonektif, sekaligus ingin menggambarkan betapa kajian tentang Islam membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi aplikasi metodologi dari disiplin keilmuan lain, utamanya pendekatan secara humanities dan social sciences.



5



M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 92-93 6 M. Amin Adullah, dkk, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum (Upaya mempertemukan epistemology Islam dan umum), (Yogyakarta: UIN SUKA Press, 2003), hal. 7



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pendekatan Interdisipliner dalam Studi Islam 1. Pengertian Pendekatan Interdisipliner Maksud pendekatan interdisipliner adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis, dan normatif secara bersama. Pentingnya penggunaan pendekatan ini semakin didasari keterbatasan dari hasilhasil penelitian yang hanya menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama, seperti al-Qur‟an dan sunah Nabi Muhammad tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan hermeneutik misalnya.7 Kupasan di atas melahirkan beberapa catatan. Pertama, perkembangan pembidangan studi Islam dan pendekatannya sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Adanya penekanan terhadap bidang dan pendekatan tertentu dimaksudkan agar mampu memahami ajaran Islam lebih lengkap (komprehensif) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang semakin lengkap dan kompleks pula. Perkembangan tersebut adalah satu hal yang wajar dan seharusnya memang terjadi, kalau tidak menjadi pertanda agama semakin tidak diperhatikan.



2. Mengakhiri dikotomi ilmu dan agama Perkembangan



ilmu



pengetahuan



pada



era



kontemporer



semakin



menunjukkan eksistensinya terpisah dari agama. Positivisme logis yang berpusat di Wina Austria yang juga dikenal dengan Vienna Circle (lingkungan Wina) atau madzhab Wina, semakin memantapkan kedudukan ilmu pengetahuan ilmiah yang terpisah dari dominasi agama.8



7



Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta:ACAdeMIA, 2009), hal. 231 Anggota lingkungan Wina ini terdiri atas tokoh ilmuwan positif, pada berbagai bidang antara lain matematika, fisika, kimia, astronomi, geografi, sosiologi, dan lainnya. Positivism logis atau mazhab Wina ini kemudian mengeluarkan deklarasi ilmiah dengan judul “Wissenschaftliche Weltaufassung der Wiener Kreis” (pandangan dunia yang bersifat ilmiah lingkungan Wina). Paham ini menolak agama dalam ilmu pengetahuan karena mereka berpandangan bahwa ilmu harus bebas nilai (value free). 8



3



Tradisi keilmuan positivisme logis tersebut semakin memperkuat anggapan dalam masyarakat bahwa „agama‟ dan „ilmu‟ adalah merupakan dua entitas terpisah dan tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, maupun peran yang dimainkan oleh ilmuwan.9 Sementara itu di dunia Timur dalam hubungan ini dunia Islam, pengembangan ilmu agama Islam bersifat normatif-tekstual terlepas dari perkembangan iptek seperti ilmu sosial, politik, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya. Akibatnya tidak membawa ke arah kesejahteraan hidup manusia, karena pola pikir yang serba bipolar-dikotomis ini menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas-moralitas, dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan dan dinamika sosial budaya di sekitarnya. Dengan kata lain, terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan. Atas dasar realitas perkembangan ilmu dan agama di atas, akibatnya tidak membawa ke arah kesejahteraan kehidupan umat manusia. Ilmu-ilmu positif yang dikembangkan secara sekuler yang berpaham value free, tidak membawa kehidupan manusia ke arah kesejahteraan yang berperadaban dan berkeadilan, melainkan dikembangkan demi kepentingan-kepentingan besar, bahkan dalam praktek kehidupan global ilmu pengetahuan semakin membawa kepincangan dalam kehidupan manusia, karena jauh dari nilai moralitas religius.10 Oleh karena itu dalam kehidupan pascamodern ini, dikotomi ilmu dan agama secara objektif harus diakhiri. Secara objektif kehidupan manusia di dunia ini tidak bisa dilepaskan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai kebudayaan (yaitu seluruh hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam kehidupan di dunia sebagai khalifatu Allah fi-al-ardh). Manusia dalam menjalankan ibadah kepada Allah senantiasa membutuhkan sarana ibadah sebagai hasil budaya manusia, misalnya bangunan, rumah ibadah maupun alat atau sarana lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat berkembanglah berbagai budaya yang dilandasi dengan nilai-nilai agama, seperti pendidikan, upacara-upacara, tradisi, pertanian, politik, ekonomi, hukum, dan bidang lainnya. 9



M. Amin Abdullah, Islamic…hal. 93 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, (Yogyakarta: Paradigma, 2010),



10



hal. 22-23



4



3. Hubungan interdisipliner antara ilmu dan agama Bidang keilmuan secara filosofis landasan fundamental ilmu adalah dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dalam hubungan dengan agama dasar filosofis tersebut memiliki perbedaan, karena secara ontologis agama berhubungan dengan hakikat hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, manusia lain, lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global.11 Oleh karena itu dalam berbagai kehidupan manusia dapat diteliti dan ditemukan nilai-nilai yang berasal dari agama. Misalnya dalam kehidupan budaya seperti bangunan, hasil kesenian, pakaian, benda budaya, adat istiadat, folklore, sastra, filsafat, bahasa, dan aspek budaya lainnya. Demikian pula dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dapat diteliti dan ditemukan nilai-nilai religius yang berasal dari agama, seperti hukum Islam, politik Islam, pendidikan Islam, sistem sosial yang dipengaruhi oleh Islam, kelompok sosial yang mendasarkan etika Islam dan fenomena realitas sosial, politik, hukum, pendidikan yang lainnya. Berdasarkan realitas tersebut maka dalam suatu penelitian tidak dibangun secara antardisiplin, melainkan secara interdisipliner yang pada gilirannya di kemudian dapat dikembangkan bidang-bidang kajian keilmuan yang memiliki karakteristik interdisipliner. Misalnya suatu objek kajian budaya yang memiliki nilai-nilai religius seperti Nyadran, Sekaten, Khitanan, Pendidikan Islam, Perkawinan, Hukum waris, dan lain sebagainya tidak mungkin hanya dikaji dari sudut pandang tertentu, oleh karena itu harus dikaji secara interdisipliner yaitu agama dan bidang ilmu tertentu seperti Islam dan ilmu kebudayaan, ilmu ekonomi, ilmu hokum, ilmu sosial politik, dan ilmu filsafat.



4. Objek penelitian agama interdisipliner Keberadaan Islam sebagai gejala budaya dan sosial dapat dijadikan sebagai sasaran penelitian dalam berbagai aspek dan bentuknya, baik agama Islam sebagai wahyu maupun produk sejarah. Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 11



Ibid, hal. 23



5



Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk alQur‟an dan hadis.12 Persoalan-persoalan di sekitar al-Qur‟an yang dapat dijadikan sasaran penelitian itu banyak sekali. Banyak topik yang bisa dikaji baik studi secara tekstual maupun kontekstual. Namun satu hal yang patut diperhatikan dalam studi al-Qur‟an juga membutuhkan studi interdisipliner. Sebab al-Qur‟an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, aturan-aturan, juga berbicara tentang isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya perlu dipelajari untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Persoalan utamanya adalah bagaimana kaitan antara ilmu al-Qur‟an dengan ilmu-ilmu lain, disinilah dibutuhkan studi interdisipliner.Sama seperti kajian terhadap al-Qur‟an yang membutuhkan studi interdisipliner, dalam hadis pun usaha ini perlu dilakukan. 13 Selain itu, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Seperti adanya konsep Khulafa al-Rasyidin; seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah, dan modern; kitab-kitab kumpulan hadis; kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitetuk Islam, seni lukis, seni musik, dan bentuk masjid; sejarah politik, ekonomi, dan sosial Islam; filsafat Islam, kalam, fikih, tasawuf, akhlak; demikian juga naskah-naskah Islam seperti undang-undang Malaka, serat keagamaan di berbagai tempat, dan lain-lainnya, kesemuanya itu adalah merupakan produk sejarah, sehingga dapat dan perlu dijadikan sasaran penelitian.14 Seluruh ilmu pengetahuan bidang apapun agar diakui di kalangan masyarakat ilmiah harus memiliki syarat-syarat ilmiah, antara lain adalah memiliki objek. Objek penelitian dalam ilmu dapat dibedakan atas objek formal 15 dan objek material



16



. Dalam kehidupan manusia praktek kehidupan keagamaan dalam



keilmuan terdapat empat kluster, yaitu kalam (teologi), fiqh, tasawuf dan filsafat. Keempat kluster keilmuan Islam tersebut jika dikelompokkan karakteristiknya dapat ditemukan dua tipe epistemologis, yaitu bidang kalam (teologi), dalam penelitian bersifat monodisipliner yaitu dari ilmu agama. Secara metodologis bidang ini 12



M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet. V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 19 13 Ibid, hal. 20 14 Ibid, hal. 23 15 Objek yang menyangkut sudut pandang, yaitu dari sudut pandang apa objek material kajian ilmu itu dibahas atau dikaji 16 Objek yang merupakan fokus kajian dari suatu ilmu pengetahuan tertentu



6



memiliki ciri deduktif, karena berupaya untuk menggali makna berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah, dan kebenarannya bersifat tautologis 17 mutlak, karena wahyu tidak dapat dijustifikasi berdasarkan rasio.18 Berbeda dengan kluster kalam tersebut, ketiga kluster yaitu fiqh, tasawuf, dan filsafat berinterkoneksi dengan kebudayaan manusia. Dalam model keilmuan interdisipliner Islam, ilmu-ilmu Islam berintegrasi dengan ilmu-ilmu yang lainnya, yaitu budaya, hukum, ekonomi, sosial, psikologi, pendidikan, filsafat, seni, dan ilmu lainnya. Objek material penelitian agama interdisipliner senantiasa merupakan suatu integrasi antara agama dan budaya, karena objek material itu telah merupakan aspek praksis dalam kehidupan keagamaan manusia, sehingga senantiasa berakulturasi dengan budaya manusia dalam arti luas. Dalam konteks penelitian interdisipliner seperti ini, jika hanya dilakukan secara monodisipliner maka secara epistemologis hasil penelitian tidak akan optimal. a. Objek formal penelitian agama interdisipliner Penelitian agama interdisipliner merupakan langkah untuk mewujudkan the body of knowledge dari Islam sebagai suatu ilmu. Menurut Fazlur Rahman dalam karyanya Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982), ditinjau dari filsafat ilmu kiranya sudah saatnya studi Islam dapat dikategorikan ‘science’ dengan cara menerapkan metode keilmuan pada Islam misalnya metode ilmu sosial. Sejalan dengan pemikiran Rahman, Charles J. Adams tentang pentingnya untuk menerapkan metode ilmu lain dalam studi Islam untuk membangun science of religion (ilmu agama). Pengembangan itu dilakukan dengan jalan menerapkan metode-metode dan kaidah-kaidah yang ada dalam ilmu-ilmu lain terutama sosial-humaniora pada ilmu agama.19 Agama Islam dalam realitas kehidupan manusia senantiasa telah berintegrasi secara interdisipliner dengan budaya dalam arti luas, dan secara rinci unsur-unsurnya meliputi sosial, hukum, ekonomi, filsafat, pendidikan, bahasa, seni, dan bidang lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian secara epistemologis yang relevan untuk dikembangkan dalam penelitian adalah kajian 17



Dalam logika modern, berarti suatu pernyataan yang mesti benar Kaelan, Metode,,,hal. 40-41 19 Ibid, hal. 42-44 18



7



berdasarkan objek formal interdisipliner, yaitu antara agama dengan budaya yang meliputi sosial, hukum, antropologi, ekonomi, filsafat, pendidikan, bahasa dan bidang lainnya serta seni. b. Objek material penelitian agama interdisipliner Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa realitas budaya karya manusia dalam masyarakat religius, senantiasa merupakan suatu objek kajian penelitian yang sifatnya interdisipliner. Jadi seluruh realitas kehidupan manusia itu senantiasa merupakan proses integrasi antara nilai-nilai esensial Islam (core values) Islam dengan kebudayaan manusia, yang realisasinya meliputi berbagai bidang kehidupan.20 Sebagai suatu produk manusia, kebudayaan pada hakikatnya adalah merupakan ekspresi eksistensi manusia sebagai makhluk historis. Maka kebudayaanpun terwujud sesuai dengan corak dasar keberadaan manusia. Dari wujud eksistensinya, manusia adalah kesatuan substansial antara prinsip material dan spiritual. Oleh karena dalam ekspresi kebudayaanpun senantiasa memiliki hakikat wujud sesuai dengan prinsip tersebut. Maka kedua wujud eksistensi tersebut terjelma pula dalam wujud kebudayaan material dan spiritual. Menurut Koentjaningrat wujud kebudayaan meliputi tiga hal: 1) Wujud ideal kebudayaan, yaitu sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan yang terkandung dalam kebudayaan. Wujud ini disebut ideal karena memang sifatnya yang abstrak, tidak dapat diindra, hakikatnya hanya dapat dipahami, dipikirkan, diketahui, dan dihayati oleh manusia. Namun wujud ide-ide tersebut dapat diderivasikan manusia dalam kehidupan yang bersifat praksis. 2) Wujud kebudayaan yang merupakan suatu sistem sosial, yaitu merupakan suatu kompleks aktivitas, berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat kongkret, dapat diamati dengan indera manusia. 3) Wujud kebudayaan fisik, yaitu wujud kebudayaan secara fisik yang meliputi semua benda, objek fisik hasil karya manusia, misalnya tempat ibadah, sarana ibadah, rumah, gedung-gedung, bangunan-bangunan, prasasti, tugu peringatan, senjata, dan lain-lain. Kebudayaan fisik tersebut sebagai suatu 20



Ibid, hal. 44-49



8



sarana, peralatan dalam komunikasi manusia dalam rangka untuk mencapai tujuannya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut, memang kebudayaan yang berupa nilai atau wujud ideal sebagai sumber dari wujud budaya sistem sosial dan kebudayaan fisik. Namun dalam proses perkembangan kebudayaan yang sesungguhnya terjadi adalah adanya pengaruh timbale balik di antara ketiga wujud kebudayaan tersebut. Berdasarkan hakikat wujud kebudayaan tersebut dalam hubungannya dengan penelitian agama interdisipliner, realitas objek peneitian itu tidak hanya „wahyu Allah‟ yang bersifat metafisis dan merupakan suatu nilai. Demikian pula objek penelitian juga tidak pernah hanya merupakan sistem sosial dan kebudayaan fisik saja yang realitasnya bersifat empiris, namun objek penelitian senantiasa merupakan suatu sintesis antara nilai-nilai religius, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Berdasarkan pembahasan secara ontologis tersebut, maka objek penelitian agama interdisipliner adalah sebagai berikut: 1) Karya para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun para filsuf Islam, atau filsuf lain namun mengangkat nilai-nilai Islam. Misalnya penelitian tentang karya tokoh agama seperti karya hasil fiqh, ijtihad, ijma‟, qiyas, tafsir. Dapat pula merupakan hasil pemikiran tokoh pemikir Islam modern. 2) Nilai-nilai Islam yang telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat budaya, sehingga telah menyatu dengan kehidupan masyarakat tertentu, baik berupa suatu aturan-aturan yang telah menjadi perundang-undangan, tradisi



yang



merupakan



adat-istiadat



dalam



masyarakat,



sistem



pencaharian/ekonomi yang telah melembaga, sistem pendidikan yang berkembang, dan sistem sosial lainnya yang telah berinterkoneksi dengan nilai-nilai dari Islam. 3) Hasil-hasil budaya-keagamaan fisik yang telah menjadi kekayaan milik masyarakat seperti bangunan tempat ibadah, pendidikan, bangunan bersejarah, tugu peringatan, prasasti, karya pustaka seperti kitab kuning, serat suluk, serat wirid, karya sastra, karya lukis, karya seni, serta karya budaya fisik lainnya. 9



B. Pengembangan Paradigma Integratif-Interkonektif 1. Pengertian dan implementasinya Integrasi dan interkoneksi merupakan dua kata berbeda, tapi mempunyai maksud dan tujuan sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua persoalan yang terpisah. Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari tentang satu bidang tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lain itulah integrasi; sedangkan melihat kesalingterkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan adalah interkoneksi.21 Kata integrasi di dalam kamus ilmiah popular bermakna “penyatuan, penggabungan, dan penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh”. Jadi pada hakikatnya



paradigma



integrasi-interkoneksi



ingin



menunjukkan



bahwa



antarberbagai keilmuan tersebut sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik oleh seluruh disiplin keilmuan tersebut adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing disiplin berbeda. Oleh karena itu rasa superior, ekslusifitas, pemilahan secara dikotomis terhadap bidang-bidang keilmuan yang dimaksud hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif, bukannya parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuan perlu memiliki paradigma integrasi-interkoneksi. Dirkursus ilmu pengetahuan modern, bidang-bidang keilmuan terpisah secara tegas dan jelas. Biologi, Fisika, Psikologi, Sosiologi, Geografi, dan lain sebagainya. Setiap bidang mewakili dimensi kehidupan tertentu dan para ilmuwan dari masing-masing bidang „hanya‟ fokus kepada bidang yang digelutinya. Dengan kata lain, para ilmuwan ini mereduksi realitas hanya sebatas bidang yang menjadi lahannya. Sebenarnya bukan masalah besar, karena kenyataan realitas hidup memang multi-dimensi dan multi-aspek. Kiranya mustahil bagi seseorang untuk mampu menguasai seluruh bidang keilmuan tersebut secara mendalam. Dalam konteks ilmu-ilmu agama pun hal yang sama terjadi, misalnya bidang hukum agama, teologi, mistik, dan sebagainya.22



21



Rifda Elfiah, Integrasi-Interkoneksi keilmuan ala Abdul Malik Fadjar, (refleksi wacana dan konstruk sejarah pemikiran), dalam e-jurnal, hal. 322-323 22 M. Amin Abdullah, dkk. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi), (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), hal. vii



10



Meskipun sebenarnya kenyataan spesialisasi dan reduksi ini dapat dikatakan niscaya karena keterbatasan manusiawi, namun dampak negatif dari kenyataan tidak terlalu menyenangkan. Dikotomi ilmu umum-ilmu agama, hegemoni bidang ilmu tertentu, superior-inferior feeling dari masing-masing bidang ilmu, hirarki ilmu utama-ilmu komplementer, adalah akibat laten yang harus ditanggung dari kenyataan spesialisasi di atas. Lebih jauh dampak ini merambah ke dunia sosial, pendidikan, politik, dan sebagainya, sehingga tidak jarang muncul konflik di ranah sosial maupun politik akibat adanya ekslusifisme dari masing-masing bidang ilmu. Sebagai contoh dalam dataran ilmu-ilmu keislaman sering terjadi “takfir” (pengkafiran) antarsesama muslin hanya karena disiplin keilmuannya berbeda. Pada akhirnya secara psikologis banyak orang yang mengalami kegelisahan luar biasa karena antara dunia yang dia alami, yang multi-dimensi, dengan keilmuan yang dia hayati, yang hanya satu dimensi dan yang satu-satunya dia pahami, ternyata tidaks sejalan. Orang yang menghayati ilmu fiqih saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan kenyataan sosial yang berbeda dengan isi ilmunya. Orang yang menghayati ilmu ekonomi saja pasti gelisah ketika berhadapan dengan “logika zakat dan sedekah” ala fiqih. Orang yang menghayati ilmu geografi saja pasti gelisah dengan adanya ruang baru yang disebut “dunia virtual” atau “dunia maya”.23 Lebih konkrit paradigma integrasi-interkoneksi menghendaki kajian yang menggunakan cara pandang dan/atau cara analisis yang menyatu dan terpadu. Analisis integratif dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, integratif antar seluruh nash yang terkait dengan masalah yang sedang dikupas atau dibahas. Kedua, integratif antara nash dengan ilmu lain yang terkait dengan masalah yang sedang dibahas. Integratif jenis yang kedua ini identik dengan pendekatan interdisipliner. Secara singkat pendekatan integratif antara nash sama dengan pendekatan atau salah satu model dalam tafsir, yang disebut model tafsir maudhu>’i> (tafsir tematik).24 Lalu, paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi dapat diimplementasikan dalam empat level berikut:25 a. Level filosofis, berupa suatu penyadaran eksistensial bahwa suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lain. 23



Ibid, hal. viii Khoiruddin Nasution, Pengantar...hal. 230 25 Rifdah elfiah, Integrasi,,,hal. 323 24



11



b. Level materi, integrasi-interkoneksi merupakan proses pengintegrasian nilainilai kebenaran universal dan kebenaran keislaman ke dalam pengajaran. c. Level metodologi, dilakukan dengan menerapkan metodologi keilmuan Islam pada keilmuan umum, begitu sebaliknya. d. Level strategi, dilakukan dalam proses pembelajaran. Implementasi paradigma pada keempat level di atas dapat dikembangkan dengan enam model, yaitu: a. Similarisasi, menyamakan begitu saja konsep-konsep ilmu umum dengan konsep yang berasal dari ilmu agama (Islam). b. Paralelisasi, menganggap paralel konsep yang berasal dari ilmu agama dengan konsep ilmu umum karena kemiripan konotasinya tanpa menyamakan keduanya. c. Komplementasi, antara ilmu agama dan ilmu umum saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masingmasing. d. Komparasi, membangdingkan kosep/teori ilmu agama mengenai gejala-gejala yang sama. e. Induktifikasi, asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmu umum yang didukung oleh temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis ke arah pemikiran metafisik/ghaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip ilmu agama mengenai hal tersebut. f. Verifikasi, mengungkapkan hasil-hasil penelitian imiah dari ilmu umum yang menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran ilmu agama. Selain itu ada tiga model kajian lagi dalam implementasi integrasiinterkoneksi, yaitu: a. Informatif, hal ini berarti disiplin ilmu perlu diperkaya dengan informasi yang dimiliki oleh disiplin ilmu lain. b. Konfirmatif, suatu disiplin ilmu tertentu perlu untuk membangun teori yang kokoh perlu memperoleh penegasan dari disiplin ilmu yang lain. c. Korektif, suatu teori ilmu tertentu perlu dipertemukan dengan ilmu agama atau sebaliknya, sehingga yang satu dapat mengoreksi yang lain, dengan demikian perkembangan disiplin ilmu akan semakin dinamis.



12



2. Landasan normatif-teologis: Integrasi-Interkoneksi Landasan normatif teologis dapat dipahami sebagai suatu cara memahami sesuatu dengan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan, sebagaimana terdapat dalam ajaran wahyu yang diturunkannya. Al-Qur‟an tidak membedakan ilmu-ilmu agama dan umum (sains, teknologi, dan sosial humaniora). Hal ini karena ilmu-ilmu agama dan umum tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Selain itu landasan ini juga akan memperkokoh bangunan ilmu-ilmu Islam,26 dalam kaitan ini Allah berfirman dalam surat al-Qashash ayat 77:                                Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Ayat tersebut menjelaskan, bahwa tidak boleh memisahkan kepentingan kehidupan akhirat (ilmu-ilmu agama) dan kepentingan kehidupan dunia (ilmu-ilmu umum). Didukung juga dengan hadis Nabi yang berbunyi:



‫اعمل لدنياك كأنك تعيش ابدا واعمل ألخرتك كأنك متوت غدا‬ Bekerjalah kamu untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok. Selain itu ayat-ayat yang berisi tentang ilmu-ilmu agama dan umum juga terdapat dalam beberapa surat lain seperti: QS. Faatir ayat 1, Ash-Shaffat ayat 147, al-Kahfi ayat 25, al-Ankabut ayat 14, al-Baqarah ayat 31, al-An‟am ayat 74-79 dan lain-lain. Ayat-ayat yang memerintahkan untuk melalukan penelitian secara umum dapat dilihat juga pada surat Yunus ayat 101 dan al-Ghasiyah ayat 17-20. Ayat-ayat tersebut di atas merupakan ayat-ayat tentang metode ilmiah yang memerintahkan kepada umat manusia untuk selalu meneliti. Kegiatan penelitian yang mencakup pengamatan, pengukuran, analisa data telah membawa perubahan besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga dalam kaitan ini, tidak ada 26



Erlan Muliadi, makalah Epistemologi keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Relevansinya Bagi Ilmu Pendidikan (Islam)



13



yang tidak penting, baik ilmu agama maupun ilmu umum, semuanya memiliki urgensitas untuk ditelaah dan dipelajari. 3. Ragam Integrasi-interkoneksi: beberapa ilustrasi Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul cukup lama. Meski tak selalu menggunakan kata „integrasi‟ secara eksplisit, di kalangan muslim gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu, telah cukup lama beredar. Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus ini tampak dalam wacana mengenai transformasi dari IAIN/STAIN menjadi UIN, dan karenanya istilah yang digunakan adalah „reintegrasi‟. Dalam konteks Kristen kontemporer, pendekatan „integrasi‟ dipopulerkan Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sainsagama dengan „integrasi‟. Empat pandangan dalam tipologi yang dibuat Barbour meliputi konflik, independensi, dialog, dan integrasi. 27 Agaknya Barbour lebih bersimpati pada dua pandangan terakhir, khusunya integrasi. Lebih khusus lagi integrasi Barbour adalah „integrasi teologis‟. Teori-teori ilmiah mutakhir dicari implikasi teologisnya, lalu teologi baru dibangun dengan juga memperhatikan teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya. Integrasi ala Barbour memiliki makna spesifik bertujuan menghasilkan suatu reformasi teologi dalam bentuk theology of nature, yang tujuan utamanya untuk membuktikan kebenaran-kebenaran agama berdasarkan temuan-temuan ilmiah.28 Satu kritik yang kerap diajukan pada pendekatan ini, misalnya oleh Huston Smith dan Seyyed Hossein Nasr adalah bahwa disini teologi tampak seperti ditaklukan oleh sains; teologi diubah demi mempertimbangkan hasil-hasil pengkajian sains. Menurut Smith dan Nasr, yang keduanya adalah pendukung filsafat perenial, sebaliknyalah yang harus terjadi: teologi-tepatnya tradisi- menjadi tolok ukur teori-teori ilmiah.29 Pandangan yang mirip tetapi tak sama dengan Barbour diajukan oleh John F. Haught, yang membagi pendekatan ilmu dan agama menjadi konflik, kontras, 27



Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami, Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004 ), hal. 212, selengkapnya lihat Ian Barbour, When Science Meet Religion, Harper San Frasisco, 2000 28 Zainal Abidin Bagir, dkk. Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 20-21 29 Tradisi bisa juga disebut filsafat perennial atau scientica sacra. Bagi pendukung paham ini, kebenaran-kebenaran yang dikandung tradisi diteguhkan dalam agama-agama besar dunia



14



kontak, dan konfirmasi. Disini implikasi teologis teori ilmiah ditarik ke wilayah teologis, bukan untuk „membuktikan‟ doktrin keagamaan, melainkan sekedar „menafsirkan‟ temuan ilmiah dalam kerangka makna keagamaan demi memahami teologi dengan lebih baik. Dasarnya adalah keyakinan bahwa apa yang dikatakan sains mengenai alam punya relevansi dengan pemahaman keagamaan kita. Intinya Haught berupaya untuk “mengakarkan sains pada pandangan agama mengenai realitas”.30 Mehdi Golshani juga menjelaskan, seperti juga Haught, sains tak mau mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional: teratur dan memiliki hukum-hukum. Pada dirinya sendiri sains tak dapat memberikan asumsi ini. Dalam sains sekuler, ini menjadi semacam „iman‟ yang tak perlu dibuktikan meskipun (mau tak mau) diyakini. Tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, tak ada dasar konseptual pengembangan teoriteori ilmiah. Di sinilah, menurut Golshani, senada dengan Haught, agama dapat menjadi dasar untuk kerja sains. Ia mencoba mengaitkan al-Qur‟an dengan bahasabahasa kealaman sehingga alam pun (baca: sains) turut serta bisa mengantarkan manusia menuju Tuhannya, sebagaimana telah disebutkan dalam al-Qur‟an kurang lebih 750 ayat yang menunjukkan fenomena alam dalam ayat tersebut. Sehingga alQur‟an juga bisa disebut dengan grand theory of science.31 Pada tahun 1970-an hingga pertengahan 1990-an dalam wacana mutakhir Islam dan sains, nama-nama yang kerap muncul seperti Syed M. Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ismail al-Faruqi, dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut gagasan awalnya sebagai „dewesternisasi ilmu‟; Ismail al-Faruqi berbicara tentang „Islamisasi ilmu‟; sedangkan Sardar tentang penciptaan suatu „sains Islam kontemporer‟. Gagasan para pemikir itu tentu berbeda-beda dan terkadang berseberangan, meskipun kadang secara kurang cermat dilabeli sama sebagai “Islamisasi ilmu”. Dalam spektrum pandangan mengenai Islam dan sains, sebuah posisi lain ditempati oleh pemikir besar muslim seperti Fazlur Rahman, yang tak menyepakati gagasan “Islamisasi ilmu”. Pandangan rahman didasari oleh keyakinannya bahwa 30



Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi,,,hal. 22-24 Hasan Baharun, dkk. Metodologi Studi Islam Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 69 31



15



ilmu kurang lebih bebas nilai. 32 Selanjutnya Kuntowijoyo juga mengemukakan perlunya “pengilmuan Islam”, yang mana orang Islam harus melihat realitas melalui Islam, dan eksistensi humaniora dalam al-Qur‟an. Dalam artikelnya “demistifikasi Islam” dikemukakan perlunya Islam sebagai teks (al-Qur‟an dan as-Sunnah) untuk dihadapkan pada realitas (sehari-hari dan ilmiah). Dengan kata lain, dari teks ke konteks. Dalam ilmu berarti, bahwa gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah “pengilmuan Islam” bukan “Islamisasi pengetahuan” yang bergerak dari konteks ke teks.33 Orang Islam harus meihat realitas melalui Islam, menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu tidak dilihat secara langsung oleh orang, tetapi melalui tabir (kata, konsep, symbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada bangsa manusia. Di daerah Kejawen (dulu) orang melihat raja melalui symbol-simbol: mitos Nyi Lara Kidul, upacara labuhan, sastra babad tanah jawi (raja adalah keturunan para Nabi dan para Dewa), tata cara sembah, dan lain-lain. Demikianlah, sejauh ini beberapa bentuk “integrasi” yang telah disinggung. Tampak bahwa ada beragam model integrasi yang bisa dilakukan. Perhatian yang berbeda pada bagian-bagian tertentu ilmu akan memunculkan jenis integrasi yang berbeda; demikian pula perhatian pada aspek-aspek agama (teologi, metafisika, etika, atau hukum) menunjukkan adanya persoalan yang berbeda. Tiap-tiap posisi dibangun atas dasar perhatian pada aspek tertentu ilmu/agama, dan atas dasar pandangan yang berbeda mengenai aspek-aspek itu.



4. Ilmu, agama, dan persentuhan keduanya Pertama, mengenai agama. Agama mencakup banyak hal. Jika kita mau sistematis, dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Ninian Smart menggunakan analisis pandangan dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai pandangan dunia. Ada enam dimensi pandangan dunia: (1) dimensi doktrinal atau filosofis, (2) naratif atau mistis, (3) etis atau legal, (4) praktis 32



Ibid, hal. 25 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika,cet. II (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), hal. 1 33



16



atau ritual, (5) eksperiensial atau emosional, dan (6) dimensi sosial atau organisasional. Sedangkan dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu pembagian yang amat populer untuk memahami ilmu adalah pembagian menjadi tiga bidang bahasan: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai integrasi ilmu dan agama, sebenarnya dimensi manakah yang menjadi pusat perhatian kita?34 Antara ilmu dan agama ada perbedaan cukup mendasar yang perlu dipertimbangkan, yaitu:35 a. Mind –set dasarnya berbeda. Ilmu bersandar pada etos otonomi pemahaman, sedangkan agama sikap dasarnya adalah percaya dan kepasrahan pada kehendak otoritas lain, terutama otoritas Tuhan. Jadi jika dalam dunia keilmuan ketidakpercayaan (sebelum terbukti) adalah sebuah keutamaan, dalam dunia keagamaan kepercayaanlah keutamaannya. b. Ilmu relatif terbuka pada pandangan-pandangan baru asalkan masuk akal dan ditunjang data faktual yang memadai. Agama sebaliknya, meski umumnya diyakini bahwa manusia wajib menggunakan akalnya untuk memahami wahyu, dalam kenyataannya agama cenderung sangat defensif terhadap pemahamanpemahaman baru. c. Sebenarnya ranah utama wacana agama adalah ranah misteri-misteri terdalam kehidupan beserta makna-makna pengalaman, yang sesungguhnya di luar batas jangkauan ilmu empirik. d. Bahasa-bahasa agama lebih berupa bahasa mitos, penuh metafora, ataupun retorika, sementara bahasa ilmu adalah bahasa faktual, lugas, dan literal. Meskipun demikian, selain memperhatikan berbagai perbedaan mendasar itu, tentu bisa pula kita melihat berbagai kemungkinan korelasi antar keduanya. Sebelumnya perlu dilihat dahulu persoalan-persoalan zaman yang dihadapi oleh ilmu maupun agama. Ada banyak perkembangan yang terjadi pada zaman abad ke-21 ini, sehingga memaksa ulang ilmu maupun agama untuk melihat dirinya kembali secara



34 35



Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi,,,hal. 27 Ibid, hal. 41-42



17



baru. Dalam wilayah keilmuan misalnya bisa disebutkan berbagai persoalan seperti:36 a. Berbagai kritik mendasar terhadap dunia ilmu, terutama dari sudut filsafat ilmu, telah kian tegas memperihatkan bahwa ilmu sesungguhnya mengandung persoalan-persoalan serius, baik pada tingkat asumsi dasar metodologis maupun implikasi epistemologis dan ontologisnya. b. Hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata juga bisa sanga ambivalen. Di satu pihak ia makin mampu merekayasa realitas menjadi semakin sesuai dengan ambisi manusia, dipihak lain efek sampingnya pun bisa sangat destruktif dan menimbulkan persoalan etis serius. Seperti adanay rekayasa biologis telah mengakibatkan begitu banyak makanan yang kita konsumsi mengandung zat-zat beracun,efek dari penggunaan berbagai jenis gas dalam peralatan mengakibatkan meningkatnya pemanasan bumi secara tak wajar, dan sebagainya. c. Perjalanan ilmu hingga kini ternyata sampai pada wilayah-wilayah spiritual, entah dalam bentuk Spiritual Quotient (SQ) dalam psikologi, Quantum Self dalam fisika baru, ataupun pola yang autopoetik dalam cognitive science, dan seterusnya. Sehingga kini wilayah ilmu dimungkinkan untuk berdialog dengan khasanah agama, setelah antara keduanya sulit berinteraksi secara memadai. d. Dominasi imu pengetahuan dan teknologi kini telah pula mengakibatkan kecenderungan dominannya pola berpikir instrumental-pragmatis dalam kenyataan sehari-hari. Bahkan, orientasi itu telah cukup merasuki lembagalembaga pendidikan saat ini. Di sisi lain, kehidupan beragama pun mengalami banyak persoalan seperti:37 a. Tendensi-tendensi destruktif kini banyak bermunculan dalam kehidupan beragama, entah dalam bentuk eksklusivisme kelompok, sikap moralities berlebihan, konsumerisme symbol yang picik dan dangkal, ataupun ritualisme fanatik yang menakutkan. b. Secara intern agama-agama pun kini mengalami kebingungan dogmatis akibat makin suburnya kecenderungan multitafsir.



36 37



Ibid, hal. 42-43 Ibid, hal. 44



18



c. Mentalitas superior (suprematisme) masih demikian kuat bercokol di kalangan orang beragama sehingga tendensi hendak saling menaklukkan ataupun merasa saling terancam masih demikian kukuh. d. De facto agama terasa tak lagi membawa efek signifikan dalam memperbaiki kehidupan modern sehar-hari. Seringkali hanya menjadi semacam slogan yang dirayakan penuh antusiasme, tetapi sebenarnya tak banyak berkaitan dengan kehidupan konkret. Selain menghadapi persoalan-persoalan internnya sebagaimana di atas, ilmu dan agama pun mesti menghadapi persoalan global bersama yang ditandai dengan permisivisme pasar yang makin mencemaskan (apapun boleh dijalankan asal secara ekonomis menguntungkan); ketidakadilan structural pada tingkat global yang makin menimbulkan gejolak-gejolak konkret berupa terorisme ataupun gelagatgelagat peperangan; prinsip survival of the fittest yang kian menguat pada tataran praktis; dan berbagai kecenderungan penghancuran diri entah dalam rupa perusakan ekologis, pengembangbiakan rekayasa genetis yang membawa racun kimiawi, junk food, ataupun tendensi bunuh diri. Setelah melihat perbedaan mendasar antara ilmu dan agama, serta berbagai persoalan zaman, kini kemungkinan persentuhan keduanya memungkinkan ilmu mampu membantu agama merevitaslisasi diri dengan beberapa cara berikut:38 a. Kesadaran kritis dan sikap realistis yang dibentuk oleh ilmu sangatlah berguna untuk mengelupaskan sisi-sisi ilusoris agama, bukan untuk menghancurkan agama, melainkan menemukan hal-hal yang lebih esensial dari agama. b. Kemampuan logis dan kehati-hatian mengambil kesimpulan yang dipupuk dalam dunia ilmiah menjadikan kita mampu menilai secara kritis segala bentuk tafsir baru yang kini makin hiruk pikuk dan membingungkan. c. Lewat temuan-temuan terbarunya, ilmu dapat merangsang agama untuk senantiasa tanggap memikirkan ulang keyakinan-keyakinannya secara baru dan dengan begitu menghindarkan agama dari bahaya stagnasi dan pengaratan. d. Temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun dapat memberi peluangpeluang baru bagi agama untuk makin mewujudkan idealism-idealismenya secara konkret, terutama uang menyangkut kemanusiaan umum. 38



Ibid, hal. 45-47



19



Sebaliknya, agama pun sebetulnya dapat membantu ilmu agar tetap manusiawi, dan selalu menyadari persoalan-persoalan konkret yang mesti dihadapinya, yaitu: a. Agama bisa selalu mengingatkan ilmu bahwa ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran dan makna terdalam kehidupan manusia, karena dalam dunia manusia ada realitas pengalaman batin yang membentuk makna dan nilai. b. Agama bisa juga selalu mengingatkan ilmu dan teknologi untuk senantiasa membela nilai kehidupan dan kemanusiaan bahkan di atas kemajuan pengetahuan itu sendiri. c. Agama dapat membantu ilmu memperdalam penjelajahan di wilayah-wilayah kemungkinan-kemungkinan adikodrati atau supranatural. d. Agama pun dapat selalu menjaga sikap mental manusia agar tidak mudah terjerumus ke dalam mentalitas pragmatis-instrumental, yang menganggap bahwa sesuatu dianggap bernilai sejauh jelas manfaatnya dan bisa diperalat untuk kepentingan kita. Interaksi antara agama dan ilmu paling realistis dilakukan sekedar memberi peluang-peluang yang memungkinkan terjadinya interaksi itu. Interaksi itu bisa berupa saling mengkritik ataupun saling mendekonstruksi, tetapi ini semata-mata agar ilmu dan agama mampu untuk selalu mentransendensi dirinya sendiri, dengan cara mendobrak ketertutupan atau stagnasi masing-masing. Khususnya dalam perguruan tinggi, itu semua perlu dilakukan semata-mata agar para sarjana yang dihasilkannya tidak sekedar berketerampilan “pertukangan” dan berpengetahuan, melainkan manusia-manusia yang lebih peka tehadap kompleksitas kehidupan, berkomitmen realistis terhadap nilai-nilai kemanusiaan bersama, serta mampu melihat apa yang esensial dan yang tidak esensial dalam peradaban kita. Prof. Dr. Noeng Muhadjir juga berupaya bagaimana agar tumbuh kesatuan integratif antara ajaran wahyu dan ajaran ilmu. Studi Islam yang interdisipliner dan multidisipliner dapat menyatu dengan studi Islam teologik menjadi studi Islam transdisipliner. Tiga tonggak utama Islam, yaitu: aqidah, muamalah, dan akhlak.



20



Aqidah perlu menjadi fokus kajian ushuluddin, sedangkan muamalah menjadi fokus studi fakultas syariah, dan akhlak setepatnya menjadi fokus studi tarbiyah.39 Ushuluddin perlu mengembangkan peranannya sebagai feedingsschool, sehingga di fakultas ushuluddin perlu diekstensikan ilmunya agar mampu memberi acuan aqidah pada ilmu-ilmu humaniora. Soal bayi tabung, soal bioteknologi, dan banyak soal lain yang terkait ke pengembangan rekayasa teknologik, sebagian berada pada tatanan teknis operasional eksperimental, tetapi ada pula yang berada pada tataran moral etik, di mana fakultas syariah perlu mampu menjadi feedingsschool bagi semua studi teknologi. Soal moralitas dalam berekonomi, berpolitik, dan berilmu sosial lainnya perlu ada bahan acuannya. Dengan memfokuskan telaah tarbiyah dengan sentralnya akhlak, diharapkan fakultas tarbiyah mampu menjadi feedingsschool semua ilmu sosial. Banyak ahli mengidentifikasi bahwa ilmu-ilmu sosial sekarang ini mulai mencari paradigma humaniora. Bila demikian, ilmu sosial pada dataran pertamanya mengacu ke akhlaqul karimah selanjutnya mengacu ke aqidah. Dilangkahkan lebih jauh pemikirannya, semua ilmu masa depan perlu mengacu pada paradigma humaniora dan secara vertikal mengacu pada aqidah ke pemeliharaan keimanan. Dengan paradigma integrasi disiplin ilmu dengan tiang utama Islam maka pembekalan interdisipliner di fakultas ushuluddin, syariah, dan tarbiyah dengan mengekstensikan pengenalan pokok-pokok materi perkuliahan dengan hukum perdata umum, ilmu sosial politik, dan ilmu lainnya menjadi sangan urgen. Ajaran Islam jangan ditampilkan sepotong-potong dalam waris, zakat, sodaqoh, dan harta rampasan secara terpisah-pisah. Keseluruhan semangat ajaran al-Qur‟an dan sunnaturrasul hendaknya melandasi semua studi.



C. Gagasan Konsep Integrasi-Interkoneksi di Indonesia Sebagaimana Transformasi IAIN menjadi UIN, diantaranya terjadi pada beberapa UIN di Indonesia seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun, dalam makalah ini akan banyak menyinggung UIN Sunan Kalijaga yang mengusung 39



Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, edisi III, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), hal. 182-183



21



paradigma keilmuan baru yaitu integrasi interkoneksi. Seluruh program keilmuan di bawah payung universitas ini harus mengembangkan keilmuan yang berparadigma integratif-interkonektif. Secara pasti, paradigma ini dapat ditegaskan sebagai sebuah proses penyatuan antara ilmu dengan agama (Islam). Agama tidak dapat dipungkiri mempunyai pengaruh dominan dalam setiap aspek kemanusiaan seseorang. Sementara itu, di dalam sumber-sumber ajaran Islam sebenarnya banyak potensi-potensi keilmuan yang dapat digali dan selanjutnya diobjektivikasi menjadi produk-produk keilmuan (scientific products) yang diakui.40 Selama ini, ilmu-ilmu agama berkembang sebagai entitas tunggal (single entity) yang dapat dikatakan mengabaikan entitas keilmuan lain terutama ilmu-ilmu sosial dan kealaman. Ajaran-ajaran agama yang ditelorkan oleh sarjana-sarjana muslim IAIN lebih banyak hanya berdasarkan teks keagamaan (scriptural entity, hadharah an nash) saja dan tidak mempertimbangkan hasil-hasil penelitian ilmuilmu sosial-humaniora dan kealaman. Ilmu-ilmu sosial humaniora dan kealaman bagaimanapun selalu mencoba menjelaskan fenomena-fenomena individual dan kemasyarakatan serta fenomena alam yang selalu up to date dan cukup membumi. Tanpa sumbangan dari itu semua, ilmu-ilmu agama yang ada mengukuhkan diri berada di menara gading dan tidak mencoba arif dengan perkembangan zaman sehingga menghasilkan fanatisme dan bahkan nir-toleransi. Diyakini, bahwa hal inilah yang seringkali mengakibatkan banyak orang merasa tidak nyaman dengan agama formalnya sendiri bahkan konflik intern dan antarumat beragama. Dalam sebuah



skema



bangunan



keilmuan



yang



dikotomistik-atomistik



tersebut



sebagaimana berikut: Skema keilmuan IAIN: pendekatan dikotomis-atomistik41 Sumber ilmu pengetahuan



Gugus paradigmatik



Akal (aql)



Tajridiyyah (abstraktif) Lughawiyah (kalam, word)



Wahyu (nash)



Intuisi (dhamir)



Dzauqiyyah



Metodologi (process & procedure) Bahtsiyyah



Tipe argument



Tujuan pembelajaran



Sifat dasar keilmuan



Pembidang an ilmu



Demonstratif



Istintajiyyahijtihadiyyah



Jadaliyyah (al „uqul al mutanafisah) Al-la„aqliyyah (preverbal)



Idrak al sabab wa al musabbab Muqarabah al nash al waqi‟



Silogistik (mantiqiyyah) Justifikatif repetitif (al taqlidiyyah) Partisipatifintersubyektif



Al ilm al husuly Al ilm al taufiqy



Tajribah batiniyyah (experience)



Universal reciprocity



Al ilm hudhury



40



Maya Fitria, review Psikologi Interaksi-Interkoneksi, Pendahuluan: Sekilas Paradigma Integrasi-Interkoneksi, dalam Syamsul Anwar, dkk, Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi Bidang Agama dan Sosial, (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007), hal. 369-370 41 M. Amin Abdullah, Islamic,,,hal. 24



22



Selanjutnya untuk meretas jalan baru proyek integrasi epistemologi keilmuan era UIN, kemudian terjadi pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan transformatif. Bukan asal berubah, ikut-ikutan, atau sekedar proyek fisik. Tapi konversi IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan. Hal ini mengandung perlunya dialog dan kerja sama antara disiplin ilmu umum dan agama yang erat di masa datang. Pendekatan interdisiplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensivitas diprioritaskan dan dikembangkan terus menerus. 42 Dalam penyusunan kurikulum, silabi serta mata kuliah dibuat dengan etos dan nafas reintegrasi epistemologi, yang mempertimbangkan keseimbangan antara tiga bagian wilayah studi keislaman. Tiga wilayah atau prinsip dasar tersebut adalah:43 a. Hadarah al-nash (penyangga teks bayani), yakni kemajuan ilmu yang bersumber dari nash (agama). Maksudnya kesediaan untuk menimbang kandungan



isi



teks



keagamaan



sebagai



wujud



komitmen



keagamaan/keislaman. b. Hadarah al-ilm (budaya ilmu), yakni kemajuan ilmu kealaman dan kemasyarakatan. Maksudnya kesediaan untuk professional-obyektifinovatif dalam bidang keilmuan yang digeluti. c. Hadarah al-falsafah (budaya etik-emansipatoris), yakni kemajuan ilmu etika dan falsafah. Maksudnya kesediaan untuk mengaitkan muatan keilmuan yang didapat dari Hadarah al-ilm dan telah berdialog dengan Hadarah al-nash dengan tanggungjawab moral etik dalam praksis kehidupan riil di tengah masyarakat.



42



Ibid, hal. 33 M. Amin Abdullah, dkk, Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN, 2006), hal. 8 43



23



Jika diskemakan rancang bangun keilmuan yang interconnected entities era UIN kurang lebih sebagaimana berikut:44



hadharah al-Nash



UIN



hadharah al-Ilm



hadharah al-Falsafah



Dengan Skema keilmuan pendekatan integratif-interkonektif berikut:45 Media pemenuhan kebutuhan dasar Work (kerja)



Gugus paradigmatik



Metodologi (process & procedure)



Tipologi keilmuan



Tujuan pembelajaran



Sifat dasar keilmuan



Pembidangan ilmu



Teknik



Informatif



Bahasa



Controlling & prediction Understanding



Rigorous & certainly Selective & perspectival



Natural sciences



Komunikasi



Explanation (causation) Interpretati on (meaning)



Etika



Kepentingan (interest) ideologis



Domination (hegemony)



Liberation



Socio-political transformation & liberation



Krisis emansipato ris



Hermeneutic



Interpretative social science, religious science and Islamic science Critical social, humanities and Islamic studies



Upaya integrasi dan interkoneksi bukannya tanpa pijakan atau dasar yang kuat dalam tradisi Islam. Ide utama yang membentuk gagasan tersebut adalah doktrin metafisika Keesaan Allah (tauhid) yang berkonsekuensi pada dua hal, yaitu adanya prinsip kesatuan kosmis, khususnya kesatuan dunia alam, dan prinsip kesatuan pengetahuan dan sains. Paradigma integrasi dan interkoneksi ini meminjam bahasanya Ali Mazrui, sebagaimana dikemukakan oleh Nur Ichwan merupakan bagian dari usaha yang dikenal dengan „sintesis kreatif‟ (creative synthesis) dan ideologi eklektisisme kreatif (creative eclecticism). Dengan sintesis kreatif ini dimungkinkan bidang-bidang yang selama ini dianggap tidak bisa bersatu, seperti pengetahuan dan etika, sains dan agama, dapat disintesakan secara kreatif. Model ini tepat dikedepankan saat ini, ketika dalam perkembangan sejarahnya, ilmuwan kini bukanlah seorang „ensiklopedis‟ yang prolific sebagaimana era sebelumnya. Karena itu, integrasi dan interkoneksi mengharuskan adanya keberanian, keterbukaan dan kerjasama. Tanpa ketiganya upaya itu tidak akan berhasil.46



44



M. Amin Abdullah, Islamic,,,hal. 38 Ibid, hal. 32 46 Lihat pengantar Syamsul Anwar, dkk, Keilmuan…hal.xiii-xv 45



24



Melalui integrasi dan interkoneksi, para ilmuwan juga sadar bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki karakteristik yang unik dan tidak selalu bersifat universal. Setiap ilmu apalagi ilmu-ilmu sosial dan humaniora tidak dapat dilepaskan dari apa yang dikenal dengan lingkaran konsentris (concentric circle), pengalaman pribumi atau lokal, pengalaman agama atau budaya dan pengalaman relasional. Sintesis dapat terjadi antara etika dan pengetahuan, agama dan sains, dan antarabudaya satu dengan yang lainnya. Lingkaran konsentris tersebut juga sebagai petunjuk bahwa ilmu itu bersifat tentatif dan akan terus berproses. Karena itu tidak boleh adanya pemaksaan-pemaksaan ideologi ilmu tertentu atas ilmu lainnya. Pada sisi lain, integrasi dan interkoneksi bukan hanya dalam kaitannya dengan antardisiplin sebagaimana dikemukakan sebelumnya, namun juga antartradisi, antarbudaya, dan antarperadaban. Buku karangan Nurcholis Madjid yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan dapat dijadikan contoh model integrasi dan interkoneksi tersebut. Indonesia sebagai Negara dan bangsa yang kaya dan mewarisi banyak tradisi (multiple heritage) dapat dijadikan modal utama dalam upaya tersebut. Pada akhirnya, seorang akademisi dan intelektual Muslim hendaknya



mampu



mengintegrasikan



atau



menginterkoneksikan



antara



intelektualisme dan aktivisme, agar jangan sampai pengetahuan hanya untuk pengetahuan, namun juga untuk kemaslahatan umat manusia. Apalah artinya „integrasi dan interkoneksi‟ kalau hanya menjadi „menara gading‟.



25



BAB III PENUTUP



Uraian-uraian pada bab sebelumnya menunjukkan adanya titik-titik lemah dalam ilmu-ilmu keislaman yang ada, disebabkan kurangnya dimensi empiris. Sebaliknya ilmu modern juga mempunyai sisi-sisi yang menjadi alamat kritik para pemikir terutama karena menyisihkan pandangan transendental wahyu dari kegiatan keilmuan dengan alasan tidak dapat dijelaskan secara pasti. Dikemukakan pula suatu kemungkinan mencari dasar epistemologis yang mengintegrasikan wahyu dan ilmu, mengingat ilmu tidak hanya semata kumpulan pengetahuan yang diserap langsung inderawi, tetapi juga sebuah konstruksi yang terjadi interaksi antara struktur kognitif skema konseptual dan apparatus linguistic yang terkondisikan secara budaya di satu pihak dengan realitas dunia pihak lain. Bahkan mengintegrasikan antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu modern gerakannya dilakukan dari titik yang berbeda dan bertemu pada titik yang sama. Ilmu-ilmu agama Islam memasukkan dimensi empiris ke dalam struktur keilmuannya, sementara ilmu modern bergerak ke arah penerimaan wahyu sebagai salah satu sumber pengetahuan. Studi keilmuan Islam menghendaki kajian yang utuh dan komprehensif, bukannya parsial dan reduktif. Proses pengkajian dan pemahamannya perlu dilakukan pendekatan yang interdisipliner dengan memiliki paradigma integrasi-interkoneksi. Pendekatan interdisipliner mengkaji dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang (perspektif). Mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat saling keterkaitan antarberbagai disiplin ilmu itulah interkoneksi. Studi Islam tidaklah bersifat apriori baik dalam arti menerima atau menolak persepsi ilmu yang telah berkembang selama ini di Barat ataupun Timur belakangan ini. Sejak dahulu perspektif Islam sifatnya adalah menyerap dan memilah-milah, dengan aksioma sama dan tidak berubah “yang baik diambil, yang buruk dibuang, tidak peduli dari manapun datangnya”. Dalam Islam sebenarnya polarisasi Timur dan Barat tidak dikenal karena Islam sendiri bukanlah Timur dan bukan pula Barat (la> syarqiyya wa la>



gharbiyyah), tetapi mencakup kesemuanya dan bersifat universal untuk semua waktu, tempat, dan siapapun. Wujud dan misinya adalah sebagai rahmatan li al-‘a>lami>n. 26



DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Amin. 2000. Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius.Yogyakarta: UIN SUKA Press. ______________. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana. ______________. 2003. Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum (Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum). Yogyakarta: UIN SUKA Press. ______________. 2004.



Studi Agama Normativitas atau Historitas.Yogyakarta:



Pustaka Pelajar. ______________. 2007. Re-strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta. Yogyakarta: UIN SUKA Press. ______________. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan IntegratifInterkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdullah, Amin, dkk. 2007. Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: UIN SUKA Press. __________________. 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN. Abdullah, Taufik dan Karim, Rusli. 1991. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana. Aliade, Mircea, et al. 2000. Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anwar, Syamsul, dkk. 2007. Keilmuan Integrasi dan Interkoneksi Bidang Agama dan Sosial. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bagir, Zainal Abidin, dkk. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. Bandung: Mizan. Baharun, Hasan, dkk. 2011. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Barboue, Ian G. 2006. Isu dalam Sains dan Agama. Yogyakarta: UIN SUKA Press. Elfiah, Rifdah. Integrasi-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar. (Refleksi wacana dan konstruk sejarah pemikiran), dalam e-Jurnal. Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta: Paradigma. 27



Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu Epistemologi, metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mahzar, Arhamedi. 2004. Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Isslami. Bandung: Mizan. Mudzhar, Atho. 2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muliadi, Erlan. Makalah Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif M. Amin Abdullah dan Relevansinya bagi Ilmu Pendidikan (Islam). Muhadjir, Noeng. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Methaphisik Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Yogyakarta: Rake Sarasin. Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA. Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press. Roston, Holmes. 2006. Ilmu dan Agama Sebuah Survai Kritis. Yogyakarta: UIN SUKA Press. Thahir, Lukman S. 2004. Studi Islam Interdisipliner. Yogyakarta: Qirtas.



28