Ppok Ebn Ruang Kenanga [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Liia
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING (EBN) LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF PADA PASIEN DENGAN PPOK



Disusun oleh: Siti Amaliatul Khoiroh NIM 192311101052 Elly Rindiantika



NIM 192311101053



Maya Mufidayani S



NIM 192311101103



Vinda Prihartini R



NIM 192311101054



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2019



BAB 1 PENDAHULUAN



Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan obstruksi aliran udara yang persisten dan progresif karena respon inflamasi kronis pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan gas atau partikel beracun (Kemenkes RI, 2008). Gejala klinis PPOK antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas (Khotimah S, 2013). Sesak napas merupakan masalah utama pada PPOK yang bersifat persisten serta progresif (D Anwar, Chan Y & Basyar M, 2012). Tahap lanjut, PPOK mengakibatkan toleransi aktivitas terganggu, kelelahan, kehilangan nafsu makan dan gangguan tidur (Sc Smeltzer & Bare BG, 2001). Pada penelitian yang dilakukan oleh Silvanasari IA, 2012 disebutkan bahwa gangguan tidur pada pasien PPOK dapat mempengaruhi kualitas tidur. PPOK merupakan salah satu dari 10 penyakit tidak menular yang banyak terjadi di Indonesia dengan prevalensi 3,7%. Prevalensi PPOK tertinggi di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masingmasing 6,7%. Prevalensi PPOK Jawa Timur sebesar 3,6%. PPOK lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Prevalensi PPOK meningkat seiring bertambahnya usia dan PPOK meningkat pada usia lebih dari 30 tahun (Riskesdas, 2013). Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos (Potter & Perry, 2005). Obstruksi jalan napas pada PPOK menyebabkan reduksi aliran udara (Sc Smeltzer & Bare BG, 2001) .Tanda terjadinya keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio VEP1/KVP (Marton, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Cahyono, 2011 disebutkan bahwa PPOK ditandai dengan obstruksi saluran napas yang progresif disertai hiperreaktivitas saluran napas. Sesak napas dihubungkan dengan respon inflamasi paru dan hiperreaktivitas bronkus sehingga terjadi hipertrofi dan hiperplasia jaringan otot yang mengakibatkan saluran napas semakin sempit dan obstruksi. Obstruksi saluran napas perifer yang progresif menyebabkan sesak napas, keterbatasan aliran udara ekspirasi adalah tanda diagnostik utama PPOK, salah satunya dengan pengukuran APE untuk melihat derajat obstruksi PPOK (PDPI, 2003). Pengukuran APE menggunakan peak flow meter berkolerasi dan sama dengan volume ekspirasi yang dipaksa selama 1 detik (VEP1) (Potter & Perry, 2005). Pengukuran APE digunakan untuk melihat derajat obstruksi pada PPOK bila alat



spirometri tidak tersedia. Tahap lanjut, obstruksi jalan napas perifer mengurangi kapasitas paru untuk pertukaran gas sehingga menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Mekanisme kompensasi tubuh pada kondisi tersebut mengakibatkan hiperventilasi dan hiperinflasi, sehingga mengurangi kapasitas inspirasi dan menyebabkan sesak napas. Kondisi sesak napas saat tidur mengakibatkan sistem aktivasi retikular (SAR) meningkat dan melepaskan katekolamin seperti norepinefrin yang menyebabkan individu terjaga dan mengakibatkan gangguan tidur (Potter & Perry, 2005). Pada penelitian sebelumnya ditemukan bahwa Rata-rata nilai APE pasien adalah 41,09% dengan lebih dari separuh pasien masuk kategori zona merah (71,7%). Rata-rata kualitas tidur pasien PPOK adalah 18,62 dan semua pasien memiliki kualitas tidur kategori buruk.Terdapat hubungan yang signifikan antara nilai aliran puncak ekspirasi (APE) dengan kualitas tidur di mana semakin tinggi nilai APE maka semakin baik kualitas tidur pasien PPOK (Yatun U dkk, 2016). Pada pengaplikasian Evidance-Based Nursing (EBN) yaitu Relaksasi Otot Progresif pada pasien PPOK atau COPD bermanfaat untuk menurunkan tingkat kelelahan pasien dan meningkatkan kualitas tidur seperti, durasi tidur dan efisiensi tidur. Yang akan dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Profesi Ners Angkatan 24, FakultasKeperawatan Universitas Jember sehingga dapat memberikan manfaat terhadap intervensi yang akan dilakukan kepada pasien PPOK. 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk menurunkan tingkat kelelahan pasien dan meningkatkan kualitas tidur seperti, durasi tidur dan efisiensi tidur. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi respon pasien sebelum,



selama,



dan setelah pelatihan



Relaksasi otot progresif b. Mengidentifikasi pengaruh Relaksasi Otot Progresif pada pasien PPOK. 1.3 Manfaat Penerapan EBN 1.3.1 Bagi Pasien Penatalaksaan pada pasien PPOK sehingga pasien tidak hanya menggunakan



pengobatan farmakologi.



1.3.2 Bagi Pelayanan Keperawatan Memberikan pengetahuan tambahan, terutama dalam penanganan pada pasien PPOK sehingga meningkatkan pelayanan keperawatan yang profesional.



13.3 Bagi Perkembangan IlmuKeperawatan Hasil penerapan EBN ini diharapkan dapat memperkaya ilmu dan pengetahuan dalam bidang keperawatan sehingga dapat menjadi salah satu acuan dalam penanganan secara non farmakologi pasien PPOK.



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Definisi PPOK Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit peradangan paru yang berkembang dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari paruparu karena terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga penderitanya sulit bernapas. PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003). PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas racun yang berbahaya (Robbins et al., 2010 dalam Saminan, 2014).



2.2. Epidemiologi PPOK PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang jarang terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat data tahun 2015 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% pada laki-laki sebesar 11,8% dan untuk perempuan 8,5%. Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1994. Prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%) (Oemiati, 2013). Dari hasil Kemenkes RI (2015) menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada lakilaki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).



2.3. Klasifikasi PPOK Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun 2005 dalam Oemiati (2013) maka PPOK dikelompokkan menjadi:



1.



PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan VEP1/KVP < 70 %.



2.



PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80% prediksi.



3.



PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau empat dengan gagal napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipoksemia dengan hiperkapnia.



2.4. Etiologi PPOK Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya PPOK adalah (Kemenkes RI, 2015). 1. Kebiasaan merokok 2. Polusi udara 3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja 4. Riwayat infeksi saluran napas 5. Bersifat genetic yaitu defisiensi α-1 antitripsin Sedangkan menurut Kemenkes RI (2015), terdapat beberapa faktor Resiko PPOK antara lain: 1. Pajanan dari partikel antara lain : a.



Merokok Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.



b.



Polusi indoor Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan



memberi kontribusi sampai 35%. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif. c.



Polusi outdoor Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium,



Zinc dan debu, bahan asap



pembakaran/pabrik/tambang. d.



Polusi di tempat kerja Polusi dari tempat kerja misalnya debu-debu organik (debu sayuran dan bakteri atau racun-racun dari jamur), industri tekstil (debu dari kapas) dan lingkungan industri (pertambangan, industri besi dan baja, industri kayu, pembangunan gedung), bahan kimia pabrik cat, tinta, sebagainya diperkirakan mencapai 19% 25.



2. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin): Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi 1 – 3% pada pasien PPOK. 3. Riwayat infeksi saluran napas berulang Infeksi saliran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacat-a sampai pada masa dewasa, dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.



2.5. Patofisiologi PPOK Pada bronkotis kronik dan emfisema terjadi penyempitan saluran nafas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelokkelok, dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet. Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjer mucus. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru (Mansjoer 1999 dalam Muhtar, 2017).



2.6. Komplikasi PPOK Komplikasi yang biasa muncul akibat Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Junaedi, 2017 antara lain: 1. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa Pasien PPOK dapat mengalami asidosis respiratori yang disebabkan karena keadaan hipoventilasi dan peningkatan PaCO2. Hal ini berhubungan dengan kegagalan ventilasi atau gangguan pada pengontrolan ventilasi. Tubuh dapat mengkompensasi keadaan tersebut yaitu dengan meningkatkan konsentrasi bikarbonat dengan menurunkan sekresinya oleh ginjal. Asidosis respiratori yang tidak ditangani dengan tepat, dapat mengakibatkan kondisi dispnea, psikosis, halusinasi, serta ketidaknormalan tingkah laku bahkan koma. Hiperkapnia yang berlangsung lama atau kronik pada pasien PPOK akan menyebabkan gangguan tidur, amnesia, perubahan tingkah laku, gangguan koordinasi dan tremor. Respon yang diberikan tubuh pada keadaan asidosis respiratori yaitu dengan meningkatkan ventilasi alveolar yang ditentukan oleh adanya perubahan konsentrasi hidrogen di dalam cairan serebrospinal yang kemudian akan mempengaruhi kemoreseptor di medula. Cairan serebrospinal relatif tidak mengandung buffer nonbikarbonat sehingga karbondioksida dapat berdifusi menembus Blood Brain Barrier (BBB) dimana karbondioksida tersebut berkontribusi pada peningkatan konsentrasi hidrogen. Kenaikan PaCO2 yang signifikan akan meningkatan kadar bikarbonat serum. Peningkatan 10 mmHg PaCO2, dapat meningkatkan bikarbonat sebanyak 1 mmol/L. Selain itu, ginjal juga memiliki peran yang penting pada peningkatan kadar bikarbonat, dimana ginjal melakukan fungsi reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal sebagai kompensasi untuk menormalkan pH pada keadaan asidosis. 2. Polisitemia Keadaan pasien dengan level oksigen di sirikulasi rendah atau hipoksemia kronik dapat meningkatkan jumlah sel darah merah. Hal tersebut sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi hipoksia dan bertujuan untuk memproduksi lebih banyak hemoglobin untuk membawa oksigen yang terdapat di sirkulasi. Namun, kekurangan dari mekanisme ini yaitu



terjadinya peningkatan viskositas darah. Viskositas darah yang meningkat juga meningkatkan resiko terjadinya thrombosis pada vena dalam atau deep vein thrombosis, emboli pada paru maupun vaskular. Konsistensi darah yang lebih kental dari normal mempersulit proses pemompaan darah ke dalam jaringan tubuh dan akan mengurangi pengantaran oksigen. Untuk menghindari keadaan tersebut, tindakan venesection harus dipertimbangkan untuk dilakukan apabila nilai packed cell volume (PVC) lebih besar dari 60% pada pria dan 55% pada wanita. 3. Cor Pulmonale Cor pulmonale atau disebut juga gagal jantung bagian kanan merupakan keadaan yang diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan dan tekanan ventrikel bagian kanan (hipertrofi ventrikel kanan). Peningkatan resistensi vaskular paru dikarenakan hipoksia yang diinduksi oleh vasokonstriksi pada pembuluh kapiler paru membuat tegangan yang lebih berat pada ventrikel kanan. Selanjutnya, dalam waktu singkat hal tersebut dapat menyebabkan hipertrofi dan kegagalan fungsi ventrikel kanan. Hal ini akan menimbulkan keadaan edema periferal yang berkembang menjadi gagal jantung kanan, dimana cairan dari kapiler akan merembes ke dalam jaringan dan menyerang jaringan. 4. Pneumothorax Peumothorax dapat terjadi secara spontan pada pasien dengan emfisema. Pada kondisi emfisema, kerusakan rongga udara pada alveoli disebut bullae. Bullae tersebut dapat ruptur dengan mudah yang menyebabkan udara di dalam alveoli akan keluar menuju ke rongga pleura dan menyebabkan syok paru-paru. Gejala dari pneumothorax yaitu peningkatan nyeri dada pleuritik yang tiba-tiba serta peningkatan sesak. Keadaan ini dapat diidentifikasi dengan melakukan pemeriksaan X-ray rongga dada. Manajemen terapi pneumothorax ditentukan berdasarkan ukuran pneumothorax. Pneumothorax kecil tanpa gejala seringkali akan sembuh dengan sendirinya, pneumothorax median dan berat memerlukan tindakan khusus dari ahli medis.



2.7. Penatalaksanaan PPOK 1. Terapi farmakologi a.



Bronkodilator



Beta2-agonist kerja pendek dengan atau tanpa antikolinergik kerja pendek merupakan terapi bronkodilator utama pada pasien PPOK dengan eksaserbasi. b.



Glukokortikoid Sistemik glukokortikoid pada pasien PPOK dapat menurunkan waktu eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru. Selain itu juga memperbaiki oksigenasi, risiko kejadian berulang, kegagalan terapi dan lamanya dirawat di rumah sakit.



c.



Antibiotik Pemberian antibiotik berdasarkan gejala klinis infeksi bakteri seperti peningkatan produksi dan konsistensi sputum. Lama pemberian antibiotik adalah 5-7 hari. Pemilihan antibiotik berdasarkan resistensi bakteri lokal, biasanya dimulai dengan terapi empiris aminopenicillin dengan asam clavulanic, macrolide atau tetracycline.



d.



Terapi pendukung Terapi ini diberikan berdasarkan kondisi pasien seperti kebutuhan keseimbangan cairan, diuretik, antikoagulan apabila terdapat indikasi ataupenyakit komorbid diikuti dengan edukasi berhenti merokok.



2. Terapi Non Farmakologi a.



Edukasi dan self managemen Tujuannya adalah untuk memotivasi dan membuat pasien tetap berpikir positif dalam mengahadapi penyakitnya. Selain itu, juga membantu pasien memodifikasi faktor risiko yang dapat sebagai pencetus eksaserbasi. Pasien juga diharapkan dapat melakukan penanganan apabila gejala muncul.



b.



Aktivitas fisik dan program rehabilitasi paru Pada pasien dengan PPOK, terjadi penurunan aktivitas. Oleh karena itu perlu memilih aktivitas agar tidak terjadi eksaserbasi melalui beberapa program. Program rehabilitasi termasuk pelatihan aktivitas fisik, konseling nutrisi, berhenti merokok, dan edukasi. Program latihan fisik dapat mengurangi gejala yang muncul saat melakukan aktivitas berat serta dapat meningkatkan efek kerja obat.



c.



Vaksinasi Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23 direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun. PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien PPOK



umur muda dengan penyakit komorbid gagal jantung kronik atau penyakit paru lainnya. d.



Terapi oksigen Terapi oksigen harus dititrasi pada pasien dengan hipoksemia dengan saturasi target 88-92%. Ketika memulai terapi oksigen, analisa gas darah harus dilakukan untuk mengetahui oksigenasi tanpa retensi karbodioksida dan/atau asidosis yang memburuk.



e.



Terapi ventilasi Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia yang terjadi setiap hari dan sering hospitalisasi, dimana terapi sistemik tidak menunjukkan perbaikan.



BAB 3. METODOLOGI PENCARIAN JURNAL



PICO (Problem, Intervention, Comparative,Outcome) Problem (Masalah yang ditemukan di TempatPraktik) Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Ners Angkatan 24 Universitas Jember yang bertugas di ruang Asoka Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hariyoto Kabupaten Lumajang, diperoleh hasil temuan yang menunjukkan bahwa pada awal bulan Oktober, ruang Asoka banyak menerima pasien dengan penyakit Paru Obstruktif Kronis. Selama ini bentuk terapi yang dberikan oleh pasien PPOK adalah berupa terapi yang bersifat medis atau farmakologis, sedangkan penatalaksanaan keperawatan masih belum banyak diterapkan. Berdasarkan hasil analisa



situasi tersebut, kelompok kami akan memperrkenalkan salah satu contoh penatalaksanaan keperawatan Evidence Based yang dapat diterapkan pada Pasien PPOK.



Intervention Perawat adalah tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas perkembangan kondisi pasien. Intervensi keperawatan adalah suatu rancangan perencanaan yang difokuskan untuk mengatasi masalah atau keluhan pada pasien berdasarkan respon yang ditunjukkan. Pasien PPOK pada umumnya akan mengalami keluhan sesak hambatan pola napas. Perawat dalam hal ini diharakan mampu untuk memberikan suatu terapi yang bertujuan untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien yang timbul karena adanya gangguan pernapasan. Terapi yang diberikan yaitu pemberian latihan relaksasi otot progresif pada pasien PPOK.



Comparasion Intervention Tindakan yang biasanya dilakukan di ruangan.



Outcome Penerapan intervensi relaksasi otot progresif daiharapkan dapat mengurangi keluhan sesak yang muncul pada pasien PPOK.



Pertanyaan klinis Apakah latihan relaksasi otot progresif dapat mengurangi keluhan sesak pada pasien PPOK ? Metode Penelusuran Jurnal



Unsur PICO



Analisis



Kata Kunci



(Terapi) P



Pasien ppok



I



Relaksasi Otot Progresif



C



Tindakan yang dilakukan di ruangan



O



Mengurangi keluhan sesak pada pasien PPOK



COPD COPD intervention in Nursing Decrease dispnea in COPD patient



Jurnal Database yangdigunakan Menggunakan kata kunci dan beberapa sinonimnya dari analisa PICO, peneliti memasukkannya ke dalam search engine jurnal sebagai berikut: www.elsevier.com Berdasarkan hasil pencarian menggunakan kata kunci, kami memilih artikel yang sesuai dengan topik yang kami bahas



Temuan artikel pilihan dari kata kunci PICO yang digunakan untuk digunakan sebagairujukan Penjelasan jurnal utama pelaksanaan EBN



The effect of progressive muscle relaxation on the management of fatigue and quality of sleep in patients with chronic obstructive pulmonary disease: A randomized controlled clinical trial



Efek relaksasi otot progresif pada manajemen kelelahan dan kualitas tidur pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis



Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit yang bersifat progresif dan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia. Karena terhalangnya aliran udara, pasien dengan COPD mengalami gejala seperti dispnea, batuk, dan kelelahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbatasan fungsional atau kelelahan pada pasien PPOK biasanya disebabkan karena adanya keluhan sesak dan gangguan pola tidur. Tujuan: Untuk menilai efek relaksasi otot progresif pada kelelahan dan kualitas tidur pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) tahap 3 dan 4 Metode: Uji klinis pretest posttest melibatkan 91 pasien COPD grade 3 dan 4. Pasien kemudian dibagi dalam dua kelmpok, yaitu kelompok control dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan (n ¼ 45) melakukan ROP selama delapan minggu dan kelompok kontrol (n ¼ 46) menerima perawatan rutin. Pada awal dan setelah intervensi, kelelahan dan kualitas tidur dinilai dan dianalisis menggunakan SPSS. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ROP dapat menurunkan tingkat kelelahan pasien dan meningkatkan kualitas tidur seperti, durasi tidur dan efisiensi tidur.



Kesimpulan: Pemberian terapi ROP selama delapan minggu terbukti efektif dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas tidur pada pasien dengan PPOK stadium 3 dan 4.



Penjelasan jurnal pendukung pelaksanaan EBN A study on the prevalence of depression and the severity of depression in patients of chronic obstructive pulmonary disease in a semi-urban Indian population Latar Belakang PPOK adalah salah satu dari sedikit penyakit pernapasan yang berhubungan dengan sejumlah penyakit seperti gagal jantung, disfungsi otot rangka, osteoporosis, sindrom metabolik, penyakit jantung iskemik, penyakit arteri paru, kanker paru-paru, penyakit pembuluh darah perifer, bronkiektasis, penyakit kejiwaan, penyakit refluks gastroesofagus, gangguan tidur dan apnea tidur obstruktif. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menentukan prevalensi depresi yang ditandai oleh gangguan tidur pada pasien COPD



Metode Setelah mengkonfirmasi diagnosis COPD pada pasien, skrining dilakukan dengan memberikan kuesioner skala PHQ-9 (Patient Health Questionnaire-9) di mana pasien menjawab sembilan pertanyaan pada skala 0 hingga 3. Kuisioner PHQ-9 ini membantu dalam skrining pasien depresi dan juga membantu dalam memprediksi keparahan depresi



Hasil Depresi pada pasien PPOK disebabkan oleh beberapa faktor. Pasien dengan penerimaan penyakit yang baik diketahui memiliki tingkat depresi yang lebih rendah. Oleh karena itu, pasien PPOK dengan depresi harus menghadiri program rehabilitasi paru di mana pasien belajar tentang teknik pernapasan, nutrisi, obat-obatan, dan teknik relaksasi.



Kesimpulan Anggota keluarga harus dibimbing untuk mendukung perbaikan status keehatan pada pasien. Mendidik pasien dan anggota keluarga tentang proses perjalanan penyakit dan pentingnya kepatuhan terhadap obat-obatan adalah hal yang perlu ditekankan. Pasien depresi akan mendapat manfaat dari teknik relaksasi seperti relaksasi otot progresif dan olahraga berjalan, berlari atau bersepeda. Pasien-pasien ini juga harus menikmati kegiatan positif dan menyenangkan



Penjelasan jurnal pendukung pelaksanaan EBN The Effect of Progressive Relaxation Exercises on Fatigue and Sleep Quality in Individuals With COPD



Latar Belakang Perawatan medis intensif yang digunakan untuk pasien dengan COPD tidak cukup untuk meringankan keluhan pasien. Hal ini meningkatkan minat dalam pemberian terapi nonfarmakologi pada pasien PPOK untuk mengurangi keluhan yang dirasakan. Metode nonfarmakologis yang umum digunakan pada pasien dengan COPD meliputi latihan pernapasan, refleksologi, latihan aerobik dan kekuatan, latihan fisik, program perawatan keperawatan berbasis rumah, dan latihan relaksasi. Teknik latihan relaksasi otot progresif (PMRT) telah dilaporkan efektif pada pasien dengan dispnea, kelelahan, dan masalah tidur. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan meningkatkan motivasi pasien dalam menerapkan The progressive muscle relaxation exercise technique (PMRT). Metode Penelitian ini dilakukan pada 68 pasien yang datang ke Rumah Sakit Aksaray State Mustafa. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik wawancara tatap muka dengan menggunakan Formulir



Informasi Deskriptif, Skala COPD dan Kelelahan Asma (CAFS) , COPD dan Skala Dampak Tidur Asma (CASIS), dan Skala Dyspnea Dewan Penelitian Medis (MRC) yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan literatur dan termasuk karakteristik sosiodemografi dan medis pasien dengan COPD digunakan. Hasil PMRT dianggap berpengaruh terhadap proses tidur dengan mengurangi keparahan dispnea, tingkat kecemasan, kepekaan terhadap rasa sakit, dan kelelahan. PMRT adalah teknik relaksasi di mana latihan pernapasan dalam dilakukan bersamaan dengan latihan relaksasi otot. Latihan pernapasan yang dilakukan secara teratur dan efisien selama program latihan 8 minggu dalam penelitian ini dianggap efektif dalam mengurangi keparahan dispnea pada pasien PPOK. Kesimpulan Latihan relaksasi progresif efektif dalam mengurangi dispnea, kelelahan, dan gangguan tidur dalam penelitian ini. Penggunaan PMRT dapat memberikan manfaat tambahan pada program rehabilitasi di rumah untuk pasien dengan COPD.



Critical Apraisal



Citation:Effectiveness of a self-foot-care Educationak Program for



Prevention of Diabetic Foot Disease



Was the assignment of patients Uji klinis pretest posttest melibatkan 91 to treatments randomized? And pasien COPD grade 3 dan 4. Pasien kemudian was



the



randomization



list dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok



concealed?



control dan kelompok perlakuan. Kelompok perlakuan (n ¼ 45) melakukan ROP selama delapan minggu dan kelompok kontrol (n ¼ 46) menerima perawatan rutin.



Hasil



dianalisis menggunakan SPSS Wasfollow-upof patients



Pemberian terapi ROP selama delapan minggu



sufficiently long andcomplete?



terbukti efektif dalam mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas tidur pada pasien dengan PPOK stadium 3 dan 4.



And were they analyzed in the Penelitian ini mengelompokkan menjadi 2 groups to which they were kelompok, yaitu kelompok intervensi yaitu randomized?



kelompok yang diberi intervensi ROP dan kelompok



control



hanya



menerima



perawatn rutin. Were patients and clinicians



Pasien sebelumnya diberikan informed



kept “blind” to treatment



consent tertulis yang diperoleh dari pasien



received?



setelah dijelaskan isinya untuk berpartisipasi dalam penelitian.



Were the groups treated



Semua sesi yang akan dilakukan ke pasien



equally, apart to treatment



dipersiapkan sama oleh peneliti sesuai



received?



dengan desain penelitian.



Were the groups similiar at the



Kriteria inklusi adalah pasien PPOK yang



start of thetrial?



didiagnosis



oleh



dokter



(berdasarkan



pemeriksaan fisik dan indeks spirometri), berdasarkan Fatigue Severity Scale (FSS), skor gangguan tidur 21, berdasarkan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), pasien dengan COPD tahap 3 atau 4 tidak ada komorbiditas seperti penyakit neurologis, infark miokard akut, atau kanker, BMI