Presentasi Kasus Ablasio Retina [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Retina adalah selembar tipis jaringan saraf semitransparan yang melapisi dua per tiga posterior bagian dalam dinding bola mata. Lapisan dalam retina terdiri dari neuron dan fotoreseptor. Regio visual pada lapisan ini membentang pada bagian anterior hanya sejauh ora serrata tetapi berlanjut sebagai epitel kuboid yang melapisi permukaan corpus ciliaris dan iris posterior. Lapisan luar retina terdiri dari epitel berpigmen yang melekat pada membran Bruch tepat di dalam koroid. Retina dan epitel berpigmen mudah terlepas sehingga cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada discus opticus dan ora serrata, retina dan epitel berpigmen saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Ablasio retina adalah terpisahnya lapisan sel fotoreseptor dari lapisan epitel berpigmen. Pada kondisi ini, lapisan epitel berpigmen masih melekat erat pada membran Bruch. Sebenarnya tidak terdapat perlekatan struktural antara lapisan sel fotoreseptor dengan lapisan epitel berpigmen atau koroid sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologi. Menurut proses terjadinya, ablasio retina dibagi menjadi 3 jenis yaitu ablasio retina regmatogen, ablasio retina eksudatif, dan ablasio retina traksional. Ablasio retina regmatogen disebabkan oleh robekan pada retina, ablasio retina eksudatif disebabkan oleh akumulasi cairan di ruang subretina, dan ablasio retina traksional disebabkan oleh tarikan jaringan parut pada corpus vitreum. Ablasio retina akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid. Jika dibiarkan terlalu lama, maka akan menyebabkan gangguan penglihatan yang menetap (Ilyas & Yulianti, 2013)



1



BAB II STATUS PASIEN



A. Identitas Pasien Nama



: Tn. Y



Umur



: 23 tahun



Jenis Kelamin



: Laki – laki



Alamat



: Sambirobyong II RT 02 RW 08



Nomor Rekam Medis : 01 42 7x xx Status



: Belum menikah



Pekerjaan



: Buruh pabrik



Tanggal Pemeriksaan : Jumat, 3 Agustus 2018 B. Data Dasar 1. Keluhan Utama Pandangan mata kanan kabur mendadak 2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke poli mata RSUD Dr Moewardi dengan keluhan pandangan mata kanan kabur sejak 30 Juli 2018. Keluhan tersebut muncul mendadak setelah pasien bangun tidur. Pandangan kabur terjadi terus – menerus, tidak hilang-timbul. Beberapa hari sebelum pandangan kabur, pasien mengeluh matanya terasa mengganjal kemudian diberikan tetes mata Insto®, tetapi tidak membaik. Keesokan harinya, pandangan mata kanan tiba – tiba kabur setelah bangun tidur. Saat melihat wajah seseorang di depan, pasien mengatakan bahwa hanya dapat melihat wajah bagian tepi (pipi, telinga) sedangkan wajah bagian tengah (mata, hidung, dan mulut) tidak terlihat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan pandangan silau dan mata terasa mengganjal. Keluhan mata nyeri, cekot – cekot, pedas, dan gatal semuanya disangkal. Tidak ditemukan mata merah, air mata yang keluar, maupun kotoran pada kedua mata



2



3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat keluhan serupa



: Disangkal



Riwayat tekanan darah tinggi



: (+) tidak terkontrol



Riwayat diabetes mellitus



: Disangkal



Riwayat dislipidemia



: (+)



Riwayat merokok



: (+)



Riwayat trauma mata



: Disangkal



Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal Riwayat operasi mata



: Disangkal



Riwayat penggunaan kacamata



: Tidak menggunakan kacamata



4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat keluhan serupa



: Disangkal



Riwayat tekanan darah tinggi



: Disangkal



Riwayat diabetes mellitus



: Disangkal



Riwayat alergi obat dan makanan : Disangkal C. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2018 1. Kesan Umum Kondisi umum baik GCS E4V5M6, gizi kesan cukup Tekanan darah



: 140/90



Denyut nadi



: 87 kali/menit



Frekuensi napas



: 20 kali/menit



Suhu



: 36,30C



2. Pemeriksaan Subjektif OD



OS



Visus Sentrali Jauh



:



1/300



6/6 false 1



Pinhole



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Refraksi



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Visus Perifer



3



Tes konfrontasi



:



Kesan lapang pandang



Kesan lapang pandang



menyempit di bagian



sama dengan pemeriksa



nasal inferior Proyeksi cahaya



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Merah



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Hijau



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



OD



OS



Persepsi Warna



3. Pemeriksaan Objektif a. Sekitar Mata



Tanda inflamasi



:



Tidak ada



Tidak ada



Luka



:



Tidak ada



Tidak ada



Jaringan parut



:



Tidak ada



Tidak ada



Kelainan warna



:



Tidak ada



Tidak ada



Kelainan bentuk



:



Tidak ada



Tidak ada



OD



OS



b. Gerakan Bola Mata



Temporal superior



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Temporal inferior



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Temporal



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Nasal



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Nasal superior



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Nasal inferior



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



OD



OS



c. Kelopak Mata



Gerakan



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Tepi Kelopak Mata



4



Entropion



:



Tidak ada



Tidak ada



Ektropion



:



Tidak ada



Tidak ada



OD



OS



d. Tekanan Intraokular



Palpasi



:



Normal



Normal



Tonometer Schiotz



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tonometer non kontak



:



12 mmHg



16 mmHg



OD



OS



e. Konjungtiva



Konjungtiva Palpebralis Superior Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Sekret



:



Tidak ada



Tidak ada



Sikatriks



:



Tidak ada



Tidak ada



Konjungtiva Palpebralis Inferior Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Sekret



:



Tidak ada



Tidak ada



Sikatriks



:



Tidak ada



Tidak ada



Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Sekret



:



Tidaka da



Tidak ada



Sikatriks



:



Tidak ada



Tidak ada



Jaringan fibrovaskular



:



Tidak ada



Tidak ada



Hiperemis



:



Tidak ada



Tidak ada



Edema



:



Tidak ada



Tidak ada



Sekret



:



Tidak ada



Tidak ada



Injeksi konjungtiva



:



Tidak ada



Tidak ada



Tidak ada



Tidak ada



Fornix Konjungtiva



Konjungtiva Bulbi



Injeksi siliaris



5



f. Kornea OD



OS



Limbus



:



Jernih



Jernih



Permukaan



:



Rata, jernih



Rata, jernih



(+)



(+)



Papan Placido



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Tes fluorescin



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Arcus senilis



(-)



(-)



OD



OS



Sensibilitas



g. Camera Oculi Anterior



Kedalaman



:



Dalam



Dalam



Isi



:



Jernih



Jernih



OD



OS



h. Iris



Sinekia anterior



:



Tidak ada



Tidak ada



Sinekia posterior



:



Tidak ada



Tidak ada



OD



OS



i. Pupil



Ukuran



:



3 mm



3 mm



Bentuk



:



Bulat



Bulat



Lokasi



:



Sentral



Sentral



Refleks direk



:



(+) menurun



(+)



Refleks indirek



:



(+)



(+)



Konvergensi



:



(+)



(+)



OD



OS



j. Lensa



Ada / tidak



:



Ada



Ada



Kejernihan



:



Keruh



Keruh



Letak



:



Sentral



Sentral



Shadow test



:



(-)



(-)



6



k. Corpus Vitreum



Kejernihan



:



OD



OS



Jernih



Jernih



OD



OS



l. Fundoskopi



Kesan umum



:



Tampak pucat



Merah jingga



Vasa darah



:



Neovaskularisasi (-)



Neovaskularisasi (-)



Aneurisma (-)



Aneurisma (-)



Dilatasi (-)



Dilatasi (-)



Pendarahan



:



Tidak ada



Tidak ada



Eksudat



:



Tidak ada



Tidak ada



Retina



:



Robekan di kuadran



Tidak terdapat robekan



temporal superior Papil N.II



:



Berbentuk bulat



Berbentuk bulat



Berbatas tegas



Berbatas tegas



Berwarna kuning



Berwarna kuning



Cup-disc ratio < 0,5



Cup-disc ratio < 0,5



Makula



:



Merah



Merah



Refleks Fundus



:



Kurang Cemerlang



Kurang Cemerlang



D. Kesimpulan Pemeriksaan OD



OS



Visus sentralis jauh



:



1/300



6/6



Pinhole



:



Tidak dilakukan



Tidak dilakukan



Sekitar mata



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Gerakan bola mata



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Kelopak mata



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Tekanan intraokular



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



7



Konjungtiva palpebralis



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Fornix konjungtiva



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Konjungtiva bulbi



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Kornea



:



Jernih



Jernih



Camera oculi anterior



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Iris



:



Dalam batas normal



Dalam batas normal



Pupil



:



Refleks cahaya direk



Dalam batas normal



sedikit menurun Lensa



:



Keruh



Keruh



Corpus vitreum



:



Jernih



Jernih



Retina



: Robekan retina di kuadran



Dalam batas normal



temporal superior Refleks Fundus



:



Kurang cemerlang



E. Gambar



F. Diagnosis Banding OD ablasio retina OD oklusi pembuluh darah retina



8



Kurang cemerlang



OD AAION (acute anterior ischemic optic neuropathy) G. Diagnosis OD ablasio retina rhegmatogen H. Terapi 1. Noncort ED 4  OD 2. Setelah mengurus BPJS Kesehatan, rujuk ke spesialis mata konsultan retina di RS Mata Dr Yap Yogyakarta untuk tindakan operatif yaitu retinal buckle I. Prognosis Ad vitam



: Dubia ad bonam



Ad sanationam : Dubia ad malam Ad functionam : Dubia ad malam Dengan tindakan operatif sedini mungkin, fungsi penglihatan (visus) bisa membaik meskipun tidak kembali normal.



9



BAB III TINJAUAN PUSTAKA



A. Struktur Retina Retina adalah selembar tipis jaringan saraf semitransparan yang melapisi dua per tiga posterior bagian dalam dinding bola mata. Lapisan dalam retina terdiri dari neuron dan fotoreseptor. Regio visual pada lapisan ini membentang pada bagian anterior hanya sejauh ora serrata tetapi berlanjut sebagai epitel kuboid yang melapisi permukaan corpus ciliaris dan iris posterior. Lapisan luar retina terdiri dari epitel berpigmen yang melekat pada membran Bruch tepat di dalam koroid. Retina dan epitel berpigmen mudah terlepas sehingga cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada discus opticus dan ora serrata, retina dan epitel berpigmen saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina (Riordan-Eva & Cunningham, 2011)



Gambar 3.1 Urutan lapisan penyusun bola mata (Moore dkk., 2015) 1. Lapisan Penyusun Retina Urutan lapisan penyusun retina mulai dari luar ke dalam adalah sebagai berikut 10



a. Epitel Berpigmen Epitel berpigmen terdiri dari epitel kolumnar rendah yang mengandung granula melanin dengan nukleus basal. Bagian dasar sel melekat pada membran Bruch koroid. Bagian apikal sel membentuk processus yang mengelilingi ujung sel fotoreseptor. Berbagai fungsi sel di lapisan epitel berpigmen antara lain : 1) Membentuk sawar darah retina yang memisahkan sel fotoreseptor dengan koroid 2) Menyerap cahaya yang masuk melalui retina untuk mencegah pembiasan 3) Fagositosis komponen yang terlepas dari sel fotoreseptor 4) Menghasilkan antioksidan untuk menghilangkan radikal bebas 5) Isomerisasi dan regenerasi retinal. Enzim isomerase mengubah trans-retinal dari sel fotoreseptor menjadi cis-retinal yang diserap kembali oleh sel fotoreseptor (Mescher, 2013) b. Lapisan Sel Fotoreseptor Fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel kerucut yang berfungsi mengubah impuls cahaya menjadi impuls saraf yang dihantarkan oleh n. opticus ke cortex cerebri. Kerapatan sel kerucut meningkat di pusat makula (fovea centralis) dan semakin berkurang di bagian perifer. Sedangkan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer dan semakin berkurang di makula. Fovea berperan dalam ketajaman penglihatan dan penglihatan warna. Kedua fungsi tersebut membutuhkan pencahayaan ruang yang terang dan paling baik di pusat fovea (foveola). Sementara, bagian retina yan lain berfungsi untuk penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) c. Membran Limitans Externa Membran samar yang terdiri dari sinapsis antara sel fotoreseptor dengan sel glia retina yang disebut sel Muller (Mescher, 2013) d. Stratum Granulosum Externum Terdiri dari badan sel dan nukleus sel fotoreseptor (Mescher, 2013) e. Stratum Flexiforme Externum Terdiri dari sinapsis antara sel bipolar dan sel horizontal dengan sel fotoreseptor (Mescher, 2013) f. Stratum Granulosum Internum 11



Terdiri dari nukleus sel bipolar, sel amakrin, dan sel horizontal. Ketiga sel tersebut membentuk sinapsis dengan neuron lainnya untuk menghantarkan impuls dari ssel fotoreseptor ke daerah retina yang luas (Mescher, 2013) g. Stratum Flexiforme Internum Terdiri dari sinapsis antara sel amakrin dan sel bipolar dengan sel ganglion (Mescher, 2013) h. Stratum Ganglionare Terdiri dari nukleus sel ganglion. Lapisa ini paling tebal di sekitar pusat makula dan semakin menipis di bagian perifer (Mescher, 2013) i. Stratum Nervosum Terdiri dari kumpulan akson sel ganglion yang bergabung membentuk n. opticus (Mescher, 2013) j. Membran Limitans Interna Membran hyalin yang memisahkan retina dengan corpus vitreum (Mescher, 2013)



Gambar 3.2 Urutan lapisan penyusun retina (Young dkk., 2014) 2. Area Khusus di Retina 12



Discus opticus adalah tempat n. opticus meninggalkan retina. Bagian tersebut tidak memiliki sel fotoreseptor sehingga disebut juga bintik buta (Mescher, 2013) Di bagian tengah retina terdapat makula yang berdiameter 5,5 – 6 mm. Secara klinis, makula adalah daerah yang dibatasi oleh cabang – cabang pembuluh darah retina temporal. Secara anatomis, makula adalah daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen kuning (xantofil). Secara histologi, makula adalah bagian retina yang terdiri dari lebih dari satu lapisan sel ganglion (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Di bagian tengah makula, terdapat fovea yang berdiameter 1,5 mm. Daerah ini merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluorescen. Secara histologi, fovea ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan stratum granulosum externum tanpa disertai lapisan parenkim lainnya (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Di bagian tengah fovea, terdapat fovea centralis (foveola) yang berdiameter 0,25 mm. Secara klinis, tampak sebagai cekungan dangkal apabila diamati dengan oftalmoskop. Secara histologi, fovea centralis hanya terdiri dari sel kerucut sehingga paling sensitif terhadap cahaya. Lapisan sel ganglion, sel bipolar, dan pembuluh darah semuanya terdesak ke tepi sehingga cahaya jatuh secara langsung pada sel kerucut. Hal tersebut memberikan ketajaman penglihatan yang paling optimal di area ini (Riordan-Eva & Cunningham, 2011)



Gambar 3.3 Penampang melintang fovea (Bowling, 2016) 3. Vaskularisasi Retina Retina mendapatka vaskularisasi dari dua sumber yaitu choriocapillaris dan a. centralis retinae. Choriocapillaris memvaskularisasi sepertiga luar retina yaitu dari stratum 13



plexiforme externum sampai lapisan epitel berpigmen. A. centralis retinae masuk melalui papil n. opticus dan memvaskularisasi dua per tiga dalam retina yaitu dari stratum granulosum internum sampai ke membran limitans interna. Fovea mendapatkan vaskularisasi sepenuhnya dari choriocapillaris sehingga sangat berisiko mengalami kerusakan apabila terjadi ablasio retina. Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang dan membentuk sawar darah retina. Sedangkan lapisan endotel choriocapillaris memiliki banyak lubang. Sawar darah retina di bagian luar terletak setinggi lapisan epitel berpigmen (Lang, 2007) 4. Fisiologi Retina Retina adalah jaringan yang paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optik, sebagai reseptor yang kompleks, dan sebagai transduser yang efektif. Sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah impuls cahaya menjadi impuls saraf yang dihantarkan oleh n. opticus ke lobus occipitalis cortex cerebri (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Di fovea centralis, terdapat sinapsis yang hampir seimbang antara sel kerucut, sel ganglion, dan serabut saraf yang keluar. Setiap sel bipolar menerima impuls dari satu sel kerucut dan setiap sel ganglion menerima impuls dari satu sel bipolar. Karena sel ganglion menerima impuls dari satu sel kerucut, maka sensitivitas terhadap cahaya menurun, tetapi akan menghasilkan bayangan yang lebih jelas. Sedangkan di bagian perifer retina, sinapsis tersebut tidak seimbang. Setiap sel bipolar menerima impuls dari beberapa sel batang dan setiap sel ganglion menerima impuls dari beberapa sel bipolar. Karena sel ganglion menerima impuls dari beberapa sel batang, maka sensitivitas terhadap cahaya meningkat, tetapi akan menghasilkan bayangan yang kurang jelas. Dengan susunan tersebut, dapat dikatakan bahwa makula berfungsi untuk penglihatan sentral dan penglihatan warna (fotopik) sedangkan bagian retina lainnya berfungsi untuk penglihatan perifer dan penglihatan malam (skotopik) (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Sel batang mengandung pigmen visual yang disebut rhodopsin. Rhodopsin terdiri dari protein skotopsin dan pigmen retinal. Cahaya datang diabsorpsi oleh rhodopsin sehingga cis-retinal berubah menjadi trans-retinal. Trans-retinal terpisah dari skotopsin sehingga skotopsin tampak pucat. Proses ini disebut retinal bleaching. Beberapa saat kemudian,



14



trans-retinal berubah kembali menjadi cis-retinal oleh enzim isomerase. Cis-retinal yang terbentuk bergabung dengan skotopsin untuk regenerasi rhodopsin (Hall, 2014) Sedikit berbeda dengan sel batang, sel kerucut memiliki pigmen visual yang disebut iodopsin. Iodopsin terdiri dari dari protein fotopsin dan pigmen retinal. Setiap sel kerucut hanya memiliki satu fotopsin yang sensitif terhadap warna tertentu yaitu merah, hijau, atau biru (RGB). Setiap fotopsin menyerap panjang gelombang tertentu secara maksimal tetapi juga menyerap panjang gelombang lain yang lebih pendek atau lebih panjang dari panjang gelombang maksimal. Interpretasi warna ditentukan oleh perbandingan stimulasi dari ketiga jenis sel kerucut. Misalnya cahaya jingga tua merangsang sel kerucut dengan perbandingan stimulasi RGB 99 : 42 : 0. Jika stimulasi ketiga jenis fotopsin hampir sama besar, maka akan dipersepsikan sebagai warna putih (Hall, 2014) B. Definisi Ablasio Retina Ablasio retina adalah terpisahnya lapisan sel fotoreseptor dari lapisan epitel berpigmen. Pada kondisi ini, lapisan epitel berpigmen masih melekat erat pada membran Bruch. Sebenarnya tidak terdapat perlekatan struktural antara lapisan sel fotoreseptor dengan lapisan epitel berpigmen atau koroid sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologi (Ilyas & Yulianti, 2013) Menurut proses terjadinya, ablasio retina dibagi menjadi 3 jenis yaitu ablasio retina regmatogen, ablasio retina eksudatif, dan ablasio retina traksional. Ablasio retina regmatogen disebabkan oleh robekan pada retina, ablasio retina eksudatif disebabkan oleh akumulasi cairan di ruang subretina, dan ablasio retina traksional disebabkan oleh tarikan jaringan parut pada corpus vitreum. Ablasio retina akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid. Jika dibiarkan terlalu lama, maka akan menyebabkan gangguan penglihatan yang menetap (Ilyas & Yulianti, 2013) C. Ablasio Retina Regmatogen 1. Faktor Risiko Regmatogen berasal dari bahasa Yunani rhegma yang berarti diskontinuitas. Ablasio retina regmatogen disebabkan oleh robekan pada retina (retinal break) sehingga cairan vitreous masuk ke ruang subretina dan melepaskan lapisan fotoreseptor dari lapisan epitel berpigmen. Robekan tersebut biasanya terjadi di bagian perifer dan jarang di bagian makula. Sekitar 60% robekan terjadi di kuadran superotemporal, 15% superonasal, 15% 15



inferotemporal, dan 10% inferio nasal. Jika terdapat robekan retina multipel, maka posisi robekan biasanya saling tegak lurus. Ablasio retina di kuadran superotemporal sangat berbahaya karena dapat mengangkat makula sehingga penglihatan akan turun secara akut (Bowling, 2016; Ilyas & Yulianti, 2013) Tidak semua robekan retina menyebabkan ablasio retina. Ablasio retina hanya terjadi apabila corpus vitreum mengalami pencairan dan cairan vitreous masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut (Lang, 2007) Faktor risiko terjadinya ablasio retina regmatogen antara lain : a. Umur dan Jenis Kelamin Ablasio retina paling sering ditemukan pada umur 50 – 70 tahun dengan perbandingan laki – laki perempuan adalah 3 : 2. Namun, umur dan jenis kelamin tidak menjamin secara pasti karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi (Khurana, 2007) b. Miopia Tinggi Pada miopia, diameter aksial bola mata meningkat dan bagian perifer retina kurang kuat serta mudah mengalami degenerasi. Prevalensi ablasio retina pada mata emetrop adalah 0,2% dibandingkan 7% pada miopia tinggi lebih dari 10 dioptri (Kang & Luff, 2008; Lang, 2007) c. Afakia Afakia karena operasi katarak dianggap mempercepat pencairan corpus vitreum dan pelepasan vitreous posterior. Penelitian retrospektif berbasis populasi menunjukkan bahwa risiko kumulatif 8 tahun untuk ablasio retina adalah 1% setelah operasi katarak, sekitar sembilan kali lebih tinggi dari yang diperkirakan. Risiko tersebut meningkat apabila vitreous hilang selama operasi (Kang & Luff, 2008) d. Trauma Saat terjadi benturan, kompresi-dekompresi yang cepat pada bola mata menghasilkan tarikan vitreoretina yang kuat untuk menyebabkan robekan retina. Selain itu, ablasio retina juga dapat terjadi beberapa minggu, bulan, atau bertahun – tahun setelah trauma karena kontraksi vitreous dipercepat oleh inflamasi dan mediator yang masuk ke corpus vitreum (Gariano & Kim, 2004) e. Penyakit Degenerasi Retina



16



Contoh degenerasi retina perifer yang meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina regmatogen adalah degenerasi lattice, degenerasi snailtrack, white with pressure dan white without pressure, myopic choroidal atrophy, retinoskisis degeneratif. Pasien dengan faktor risiko tersebut harus diedukasi tentang perjalanan penyakit dan segera mencari pertolongan medis apabila terjadi ablasio retina (Bowling, 2016) 2. Gambaran Klinis a. Anamnesis Floaters adalah sensasi subjektif seperti melihat benda hitam beterbangan. Benda hitam tersebut dapat digambarkan sebagai titik – titik halus, sarang laba – laba, awan, atau tali. Floaters disebabkan oleh kekeruhan corpus vitreum yang menghasilkan bayangan di retina. Gejala ini juga dapat ditemukan pada age-related macular degeneration (ARMD), posterior vitreous detachment, pendarahan intravitreous, retinopati diabetikum proliferatif, uveitis, dan retinitis pigmentosa (Gariano & Kim, 2004; Kang & Luff, 2008) Fotopsia adalah sensasi seperti melihat kilatan cahaya yang terjadi secara singkat di lapang pandang perifer. Gejala ini menunjukkan proses tarikan dari tempat perlekatan retina pada epitel berpigmen. Sensasi kilatan cahaya pada ablasio retina regmatogen harus dibedakan dari sensasi kilatan cahaya pada penyakit lain. Kilatan cahaya pada migrain muncul secara bilateral sebelum onset nyeri kepala, biasanya berupa garis zigzag di tengah lapangan pandang dan menghilang dalam waktu 10 menit. Kilatan cahaya yang muncul karena gerakan mata mungkin menunjukkan optik neuritis. Pada hipotensi postural, kilatan cahaya muncul secara bilateral disertai penurunan visus sementara, pusing, dan kepala terasa ringan (Gariano & Kim, 2004) Penurunan visus terjadi secara mendadak, biasanya dimulai dari bagian perifer yang semakin lama semakin ke sentral dalam waktu beberapa jam sampai minggu. Pasien mungkin menggambarkan penglihatannya seperti tertutup tirai atau bayangan hitam. Kuadran defek lapang pandang dapat digunakan untuk memperkirakan lokasi robekan retina, yaitu pada kuadran yang berlawanan. Jika melibatkan makula, maka ketajaman penglihatan akan menurun dan pasien mengalami distorsi gambar (metamorpopsia) (Bowling, 2016; Lang, 2007)



17



Defek lapang pandang pada ablasio retina harus dibedakan dari defek lapang pandang pada penyakit lainnya. Defek lapang pandang pada penyakit saraf pusat selalu bilateral, terjadi terus – menerus, dan homonim karena setengah serabut nasal retina menyilang di chiasma opticum. Hilangnya penglihatan karena transient ischemic attack (TIA) dapat unilateral, tetapi bersifat episodik dan tidak terus – menerus, mungkin disertai gejal neurologi fokal. Defek lapang pandang pada oklusi pembuluh darah retina bervariasi. Pasien biasanya memiliki faktor risiko aterosklerosis, jarang disertai floaters dan fotopsia, dan dapat menunjukkan pendarahan seperti api. Defek lapang pandang pada penyakit saraf optik biasanya terjadi di bagian sentral atau parasentral, disertai penurunan refleks pupil dan papiledema (Gariano & Kim, 2004) b. Pemeriksaan Mata Pemeriksaan visus harus dilakukan sebelum midriasis pupil. Penurunan visus menunjukkan keterlibatan makula atau kekeruhan media refraksi. Tes konfrontasi dapat mendeteksi defek lapang pandang asimptomatik. Pupil Marcus-Gunn dapat ditemukan pada ablasio retina luas. Tekanan intraokular biasanya turun sekitar 5 mmHg dibandingkan mata yang normal. Jika tekanan intraokular sangat rendah, maka kemungkinan terdapat ablasio choroidal. Pemeriksaan mata luar biasanya normal, mungkin terdapat gambaran tobacco dust di vitreous anterior. Pada pemeriksaan fundoskopi, robekan retina tampak kemerahan karena terdapat pembuluh darah koroid di bawahnya. Sedangkan bagian retina yang terangkat tampak pucat, keruh, dan mengerut menutupi gambaran vaskular koroid (Bowling, 2016; Khurana, 2007) Ablasio retina baru berbentuk konveks dan agak keruh karena edema retina. Gambaran vaskular koroid hilang dan pembuluh darah tampak lebih gelap. Cairan subretina dapat meluas sampai ora serrata. Ablasio retina lama menyebabkan penipisan retina karena atrofi sekunder. Kista intraretinal dapat terbentuk apabila ablasio retina sudah terjadi selama sekitar 1 tahun. Garis demarkasi subretina terjadi karena proliferasi epitel berpigmen yang membutuhkan waktu 3 bulan untuk terbentuk. Meskipun garis tersebut menunjukkan peningkatan adhesi retina, tetapi tidak membatasi penyebaran cairan subretina (Bowling, 2016)



18



Gambar 3.4 Robekan retina tampak kemerahan dan berbentuk seperti tapal kuda (tanda panah). Sedangkan bagian retina yang terangkat tampak lebih pucat (kepala panah) (Lang, 2007) Jika retina sulit terlihat karena katarak atau pendarahan intravitreous, maka dapat dilakukan USG mata. USG mata dapat membantu membedakan antar ablasio retina regmatogen dengan non regmatogen. Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk ablasio retina tetapi tidak dapat menentukan lokasi robekan retina yang tersembunyi. (Dessì dkk., 2015; Yoonessi dkk., 2010) 3. Terapi Terapi pada pasien ablasio retina adalah pembedahan. Sebelum pembedahan, pasien dirawat dengan mata tertutup. Pemedahan dilakukan secepat mungkin dan sebaiknya antara 1 – 2 hari (Ilyas & Yulianti, 2013) a. Scleral Buckling Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina regmatogen terutama jika tidak disertai komplikasi lainnya. Tujuan scleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan vitreous pada robekan retina, mengubah aliran cairan intraokular, dan melekatkan lapisan fotoreseptor ke epitel pigmen. Prosedurnya terdiri dari menentukan lokasi robekan retina, menangani robekan retina dengan cryoprobe, dan memasang sabuk sklera. Sabuk biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk yang digunakan tergantung dari lokasi dan jumlah robekan retina (AAO, 2017; Khurana, 2007)



19



Langkah pertama adalah cryoprobe untuk memperkuat perlekatan antara retina sekitar dengan epitel pigmen. Setelah itu, sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan matras. Sabuk tersebut akan membentuk indentasi sklera dan menekan retina sehingga dapat menutup robekan. Penutupan retina menyebabkan cairan subretinal menghilang secara spontan dalam waktu 1 – 2 hari. Komplikasi dari tindakan ini adalah perubahan kelainan refraksi, diplopia karena fibrosis atau gangguan otot ekstraokular akibat pemasangan sabuk, ekstrusi sabuk, dan risiko vitreoretina proliferatif (Lang, 2007; Riordan-Eva & Cunningham, 2011)



Gambar 3.5 Pemasangan sabuk sklera untuk mengatasi robekan retina b. Retinopeksi Pneumatik Retinopeksi pneumatik hanya digunakan pada robekan retina tunggal kecil yang mudah dicapai, cairan subretina minimal, dan tidak terjadi tarikan vitreoretina. Tujuan retinopeksi pneumatik adalah menutup kerusakan retina dengan gelembung gas intraokular dalam jangka waktu lama sampai cairan subretina dapat diabsorpsi (Riordan-Eva & Cunningham, 2011) Udara atau gas yang dapat memuai, biasanya SF6 atau C3F8, dimasukkan ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutup robekan retina dan mencegah aliran cairan lebih lanjut. Jika robekan dapat ditutup oleh gelembung gas, maka cairan subretina akan diabsorpsi selama 1 – 2 hari. Komplikasi dari tindakan ini adalah migrasi gas ke subretina, migrasi gas ke anterior, endoftalmitis, katarak, ablasio retina rekuren karena robekan yang baru (Bowling, 2016; Khurana, 2007) 20



Gambar 3.6 Prosedur retinopeksi pneumatik c. Vitrektomi Pars Plana Vitrektomi pars plana digunakan pada robekan retina multiple, di superior, atau di posterior; jika visualiasasi retina terhalang, misalnya karena pendarahan intravitreus; atau terdapat vitreoretinopati proliferatif yang bermakna. Pertama dibuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian dimasukkan instrumen pada cavum vitreous melalui pars plana. Setelah itu, dilakukan vitrektomi dengan vitreous cutre untuk menghilangkan berkas corpus vitreum, membran, dan perlekatannya. Jika perlu, dapat dilakukan injeksi gas atau udara yang dapat memuai untuk mempertahankan retina pada posisinya (AAO, 2017; Riordan-Eva & Cunningham, 2011) D. Ablasio Retina Eksudatif 1. Etiologi Ablasio retina eksudatif disebabkan oleh akumulasi cairan subretina tanpa disertai robekan retina. Penyakit ini biasanya terjadi karena komplikasi penyakit vaskular, inflamasi, pendarahan, atau neoplasma. Selama epitel dapat mengeluarkan cairan menuju ke pembuluh darah koroid, maka ablasio retina tidak akan terjadi. Tetapi, jika kompensasi tersebut gagal karena cairan yang berlebihan, maka cairan akan terakumulasi di subretina dan memisahkan retina dari epitel (Bowling, 2016) Secara umum, penyakit yang dapat menyebabkan ablasio retina eksudatif dibagi menjadi dua yaitu penyakit sistemik dan penyakit mata. Contoh penyakit sistemik adalah toksemia gravidarum, hipertensi renal, diskrasia darah, dan poliarteritis nodosa. Sedangkan contoh penyakit mata antara lain skleritis posterior, selulitis orbita, uveitis, ophtalmia



21



simpatika, penyakit Coat, neoplasma koroid, retinoblastoma, dan perforasi bola mata akibat operasi intraokular (Khurana, 2007) 2. Gambaran Klinis Karena tidak terjadi tarikan vitreoretina, maka tidak ditemukan fotopsia. Floaters mungkin ditemukan apabila disertai inflamasi vitreus. Defek lapang pandang terjadi secara mendadak dan memberat dengan cepat (Bowling, 2016) Retina yang terangkat berbentuk konveks seperti pada ablasio retina regmatogen, tetapi permukaan halus dan tidak bergelombang. Tanda yang khas adalah fenomena pergeseran cairan (shifting fluids) saat perubahan posisi tubuh. Misalnya pada posisi berdiri, cairan berkumpul di bagian inferior. Tetapi setelah berbaring selama beberapa menit, cairan terdorong ke posterior dan mendesak retina superior (Bowling, 2016)



Gambar 3.7 Ablasio retina eksudatif karena melanoma koroid (Bowling, 2016) 3. Terapi Terapi yang diberikan tergantung dari penyebabnya. Beberapa kasus mengalami resolusi spontan, sedangkan sisanya diobati dengan kortikosteroid. Jika disebabkan oleh tumor, maka membutuhkan enukleasi. (Bowling, 2016; Khurana, 2007) E. Ablasio Retina Traksional 1. Etiologi Ablasio retina traksional disebabkan oleh tarikan jaringan parut secara perlahan pada corpus vitreum. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi pada retinopati diabetes proliferatif, retinopathy of prematurity, dan akibat trauma tembus segmen posterior (Bowling, 2016) 22



2. Gambaran Klinis Tidak terdapat floaters dan fotopsia karena tarikan terjadi secara perlahan. Defek lapang pandang bersifat gradual dan mungkin stabil selama beberapa bulan atau tahun Bagian retina yang terangkat berbentuk konkaf dan tidak terdapat robekan retina. Mobilitas retina sangat terbatas dan fenomena pergeseran cairan negatif. Selain itu, juga terdapat pita vitreoretina yang berhubungan dengan penyakit kausatif. Pada pemeriksaan USG mata, tampak vitreus terpisah sebagian di bagian posterior dan retina relatif tidak bergerak (Bowling, 2016; Khurana, 2007)



Gambar 3.8 Ablasio retina traksional karena retinopati diabetes (Bowling, 2016) 3. Terapi Pengobatan dilakukan dengan vitrektomi pars plana untuk memotong pita vitreoretina kemudian diikuti oleh tamponade menggunakan gas atau silikon (Khurana, 2007)



23



BAB IV PENUTUP



A. Simpulan Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan mata, diagnosis pasien adalah OD ablasio retina regmatogen. Pasien diberikan tetes mata noncort yang dipakai 4 kali sehari. Setelah mengurus BPJS Kesehatan, pasien akan dirujuk ke RS Mata Dr Yap Yogyakarta untuk operasi retina B. Saran Segera mengurus BPJS Kesehatan supaya dapat melakukan operasi untuk melekatkan kembali bagian retina yang terlepas



24



DAFTAR PUSTAKA



AAO. (2017). Retina and Vitreous. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology. Bowling, B. (2016). Kanski’s Clinical Ophthalmology A Systematic Approach. Sydney: Elsevier. Dessì, G dkk. (2015). Role of B-scan ocular ultrasound as an adjuvant for the clinical assessment of eyeball diseases: a pictorial essay. Journal of Ultrasound, 18(3), 265–267. Gariano, R. F., & Kim, C.-H. (2004). Evaluation and Management of Suspected Retinal Detachment. American Family Physician, 69(7), 1691–1698. Hall, J. (2014). Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevier. Ilyas, S., & Yulianti, S. (2013). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Kang, H. K., & Luff, A. J. (2008). Management of retinal detachment: a guide for nonophthalmologists. BMJ : British Medical Journal, 336(7655), 1235–1240. Khurana, A. (2007). Comprehensive Ophthalmology. New Delhi: New Age International. Lang, G. (2007). Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. Stuttgart: Thieme. Mescher, A. (2013). Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas. Philadelphia: McGraw Hill. Moore, K., Agur, A., & Dalley, A. (2015). Moore Essential Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Riordan-Eva, P., & Cunningham, E. (2011). Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology. New York: McGraw Hill. Yoonessi, R., Hussain, A., & Jang, T. (2010). Bedside Ocular Ultrasound for the Detection of Retinal Detachment in the Emergency Department. Academic Emergency Medicine, 17(9), 913–917. Young, B., Woodford, P., & O’Dowd, G. (2014). Wheater’s Functional Histology. Philadelphia: Elsevier. 25



26