Proposal Ekowisata [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL KAJIAN PENGEMBANGAN HUTAN PUSUK BERBASIS EKOWISATA



DINAS PARIWISATA KABUPATEN LOMBOK UTARA TAHUN ANGGARAN 2016 0



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekowisata merupakan suatu konsep yang mengkombinasikan kepentingan industri kepariwisataan dengan para pencinta lingkungan. Para pencinta lingkungan menyatakan bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup hanya dapat tercapai dengan melibatkan orangorang yang tinggal dan mengantungkan hidupnya pada daerah yang akan dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata dan menjadikan mereka partner dalam upaya pengembangan wisata tersebut. Metode ini diperkenalkan oleh Presiden World Wild Fund (WWF) pada konfrensi tahunan ke-40 Asosiasi Perjalanan Asia Pasifik (PATA). Menurut Pangeran Bernhard, WWF telah menerapkan metode tersebut guna memajukan nilai ekonomi taman-taman nasional atau kawasan cagar alam dengan cara memberikan perangsang bagi masyarakat yang tinggal di sekitar taman atau kawasan cagar alam tersebut agar mereka turut membantu memelihara dan melestarikan tempat-tempat tersebut. Ekowisata pada saat sekarang ini menjadi aktivitas ekonomi penting yang memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk mendapatkan pengalaman mengenai alam dan budaya untuk dipelajari dan memahami betapa pentingnya konservasi keanekaragaman hayati dan budaya lokal. Pada saat yang sama ekowisata dapat memberikan generating income untuk kegiatan konservasi dan keuntungan ekonomi pada masyarakat yang tingal di sekitar lokasi ekowisata. Pembangunan sektor kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Di dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014 disebutkan 1



bahwa pembangunan kehutanan ditujukan guna memberikan dampak pada pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pembangunan ekonomi, serta peningkatan kualitas dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara bersamaan akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dalam rangka untuk meningkatkan sektor pariwisata di Kabupaten Lombok Utara, maka perlu dilakukan terobosan-terobosan baru dalam pengembangan pariwisata. Potensi pariwisata di Kabupaten Lombok Utara yang beraneka raga perlu penanganan serius, agar sektor pariwisata menjadi sektor andalan yang dapat mendukung pendapatan daerah. Kawasan Pusuk merupakan kawasan hutan yang menjadi pintu masuk Lombok Utara dari Lombok Barat. Pemandangan di kawasan Pusuk ini tergolong bagus dan mempunyai suhu yang lebih dingin. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Lombok Utara ingin mengembangkan kawasan Hutan Pusuk menjadi kawasan yang berbasis ekowisata agar bisa meningkatkan nilai ekonomis dari hutan pusuk dalam sektor pariwisata. Pembangunan ekonomi daerah yang kuat dan berkelanjutan merupakan sebuah kolaborasi yang efektif antara pemanfaatan sumberdaya yang ada, masyarakat dan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah sebagai regulator berperan strategis dalam mengupayakan kesempatan yang luas bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi penuh dalam setiap aktivitas ekonomi. Salah satu upaya pemanfaatan sumberdaya lokal yang optimal adalah dengan mengembangkan pariwisata dengan konsep Ekowisata. Dalam konteks ini wisata yang dilakukan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya. 2



1.2 Tujuan Maksud dari pekerjaan ini adalah melakukan kajian studi tentang kawasan hutan pusuk menjadi kawasan ekowisata. Adapun tujuan Kajian Pengembangan Kawasan Hutan Pusuk Berbasis Ekowisata sebagai berikut: a. Mengkaji potensi kawasan hutan pusuk untuk dijadikan ekowisata b. Menyusun rencana pengembangan kawasan hutan Pusuk berbasis ekowisata.



1.3 Sasaran Sasaran Kajian Pengembangan Kawasan Hutan Pusuk Berbasis Ekowisata adalah: a. Tersusunnya kajian pengembangan kawasan hutan pusuk berbasis ekowisata b. Tersusunnya rencana pengembangan kawasan hutan Pusuk berbasis ekowisata.



3



BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Ekowisata 2.1.1 Istilah Ecotourism Ecotourism mulai dikenal akibat pertumbuhan kegiatan pariwisata yang tidak terbendung maupun terencana dengan baik, khususnya di wilayah yang masih alami. Akibat negatif yang ditimbulkan akibat kegiatan pariwisata yang tidak terencana dengan baik sangat banyak. Diantaranya adalah penurunan mutu lingkungan dan permasalahan sosial yang timbul. Kondisi ini tentunya sangat merugikan, khususnya bagi masyarakat setempat yang harusnya dapat memperoleh manfaat dari adanya kegiatan pariwisata. Kecenderungan ini membuat para peneliti maupun praktisi di bidang pembangunan dan lingkungan menyimpulkan perlunya suatu konsep ’pariwisata’ yang dapat memperhatikan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya. Kemudian muncullah istilah seperti ’pariwisata yang bertanggung jawab’ (responsible tourism), ’pariwisata alternatif’ (alternative tourism), dan .lmpo’pariwisata yang ber‐etika’ (ethical tourism). Ketiganya memiliki maksud yang kurang lebih sama, yaitu menuntut tanggung jawab yang lebih dari para pengembang maupun pelaku pariwisata, khususnya dalam memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Disisi lain, pergeseran pasar wisata maupun istilah ecotourism muncul ketika Ceballos‐ Lascurain pada tahun 1985 mendefinisikannya sebagai “...kunjungan ke daerah‐daerah yang masih bersifat alami yang relatif masih belum terganggu dan terpolusi dengan tujuan spesifik untuk belajar, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam dengan tumbuhan dan satwa liarnya serta budaya (baik masa lalu maupun masa sekarang) yang ada di tempat tersebut”. Pengertian ini kemudian menyebarluaskan penggunaan istilah ecotourism sebagai ’kegiatan di 4



alam terbuka kawasan hutan’ yang belum tersentuh oleh kegiatan lain. Pada perkembangannya kemudian memunculkan pula istilah seperti adventure travel, off‐the beaten track ataupun special interest yang biasanya digunakan oleh tour operator dalam memasarkan produknya. Bila dikaji lebih lanjut, substansi pengertian ini hanya merujuk pada ’tempat’ melakukan kegiatan (di alam terbuka kawasan hutan) dan ’kondisi lingkungan’ (yang masih bersifat alami), namun belum menyentuh substansi penting tentang ecotourism, yaitu ikut berperan melindungi lingkungan kawasan yang dimanfaatkan dan memberikan manfaat positif terhadap masyarakat setempat (Stewart dan Sekartjakrarini, 1994). Di tahun 1990‐an, istilah ecotourism mulai banyak bermunculan dan mengandung pengertian ’pariwisata berdampak positif melalui penyelenggaraan kegiatan berdampak negatif minimal’, yang secara filosofis dimaksudkan sebagai suatu pertanggungjawaban dari pengembang dan wisatawan atas pemanfaatan lingkungan, dengan mempertanyakan apa yang seharusnya dilakukan (Sekartjakrarini, 1993). Konsep sikap perilaku ini yang seharusnya dikaji dalam memahami pengertian ecotourism. Hubungan yang erat antara pariwisata dengan masyarakat setempat diperlukan, karena merupakan mekanisme penting dalam mendukung usaha perlindungan kawasan (Ziffer, 1990) dan pemanfaatan menuju perlindungan lingkungan (Sekartjakrarini, 2003). Saat ini, di Indonesia pengertian ecotourism masih sangat rancu. Sekartjakrarini dan Legoh (2004) menemukenali tiga isu strategis yang berkembang dalam silang pendapat tersebut, yaitu, satu, ecotourism adalah produk wisata (untuk segmen pasar relatif terbatas), atau sebagai konsep pariwisata (untuk menciptakan hubungan timbal balik saling mengisi antara pelestarian lingkungan – peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat adat dan lokal – kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial usaha). Dua, praktek penyelenggaraan ecotourism terbatas 5



pada atau identik dengan kawasan hutan, atau berlaku untuk semua kawasan alam berikut kawasan budaya (situs purbakala, peninggalan sejarah, perkampungan adat dan sebagainya). Tiga, penyelenggaraan kegiatan usaha ecotourism terbatas pada usaha ekonomi masyarakat atau dimungkinkan berlangsung secara berdampingan dengan usaha pelaku pasar. Perbedaan‐ perbedaan pandang terhadap isu‐isu tersebut timbul dikarenakan istilah ecotourism ditempatkan dan ditafsirkan dalam konteks yang berbeda‐beda. Ceballos‐Lascurain (1993) kemudian meninjau ulang batasan yang telah dirumuskan pada tahun 1983, dengan menambahkan “...untuk mempromosikan konservasi, dampak negatif yang diakibatkan oleh pengunjung rendah dan masyarakat terlibat secara ekonomi dalam penyelenggaraannya”. Nilai penting yang terkandung dalam batasan ecotourism tersebut, menumbuhkan pengertian dengan dilatarbelakangi oleh kesadaran akan tanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan dalam melakukan kegiatan. Dari 85 batasan pengertian ecotourism yang telah dikaji oleh Fennell (2001) – yang kemudian dikembangkan hingga tahun 1999 oleh para pakar, pemerhati dan organisasi, bermunculan secara ulang dengan sejumlah kata‐kata yang sama, yaitu merujuk pada: (1) tempat dimana ecotourism diselenggarakan (62,4 %); (2) konservasi (61,2 %); (3) budaya (50,6 %); (4) manfaat untuk masyarakat setempat (48,2 %); (5) pendidikan (41,2 %); (6) keberlanjutan (25,9 %); dan (6) dampak (25 %). Terlepas dari fokus pandang yang berbeda dalam penyajian batasan, dari hasil kajian tersebut telah tercermin bahwa unsur‐unsur penting dalam ecotourism adalah: berbasis lingkungan alami; mendukung konservasi; pemanfaatan yang merujuk pada etika; dampak minimal; memberikan manfaat sosialekonomi berlanjut bagi masyarakat; menjaga integritas budaya dan nilai‐nilai sosial; kepuasan wisatawan; menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan; penyelenggaraan tidak bersifat mass (massal); dan manajemen pengelolaan yang 6



mendukung seluruh unsur‐unsur tersebut. Dalam perkembangannya, ecotourism kini bahkan dikaitkan dengan isu hak azasi manusia, karena banyaknya ditemui ketidakadilan manfaat yang diperoleh masyarakat setempat. Dalam penerapan ekowisata harus mencerminkan prinsip‐prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip konservasi 2. Prinsip edukasi 3. Prinsip ekonomi 4. Prinsip partisipasi dan pemberdayaan masyarakat



2.1.2 Ecotourism di Indonesia Ecotourism sendiri mulai dikenal dan populer di kalangan masyarakat Indonesia sekitar pertengahan tahun 1990‐an. Meningkatnya popularitas ini diakibatkan oleh meningkatnya konsep ecotourism di dunia pada akhir dekade tahun 1980‐an, serta keberhasilan beberapa negara Amerika Latin dalam menerapkan ecotourism. Kondisi ini berdampak pula bagi Indonesia yang memiliki hutan tropis dan keanekaragaman hayati yang tidak jauh berbeda dengan negara Amerika Latin. Popularitas ecotourism ditandai dengan banyaknya seminar, lokakarya, pelatihan, maupun kajian mengenai ecotourism baik yang diprakarsai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan, asosiasi pariwisata maupun kalangan perguruan tinggi. Ecotourism di Indonesia sendiri kemudian lebih dikenal dengan istilah ekowisata. Beragam pengertian kemudian diangkat dan dikemukakan untuk menjelaskan perbedaan antara ecotourism dan pariwisata yang selama ini telah dipraktekkan. Dari berbagai forum kajian dan diskusi, kemudian dapat ditemukenali bahwa, pertama, ecotourism terkait dengan pemanfaatan lingkungan secara lestari, kedua, ecotourism berpihak 7



pada pembentukan masyarakat madani dan sensitif terhadap tata nilai budaya dan sosial masyarakat adat maupun masyarakat lokal, ketiga, ecotourism mampu menjawab pergeseran nilai, minat dan preferensi yang berkembang di sisi pasar, keempat, ecotourism mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah dan nasional (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004). Ke‐empat karakteristik tersebut menempatkan ecotourism sebagai suatu konsep operasional pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata menuju Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan1. Dengan merujuk kepada prinsip‐prinsip yang berlaku universal, rekomendasi dari berbagai forum diskusi dan kajian, serta tuntutan objektif di lapangan, maka batasan ecotourism untuk Indonesia atau yang lebih dikenal dengan sebutan ekowisata, telah dirumuskan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dalam Rencana Strategis Ekowisata Nasional (2004) sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawsaan budaya.



Penerapan konsep ekowisata nasional yang diberlakukan bagi kawasan‐kawasan sebagaimana telah tersebut dalam batasan itu memberi arti bahwa konsep ini berlaku bagi pengembang dan penyelenggaraan pariwisata yang bertempat antara lain di kawasan konservasi hutan dan laut, kawasan budaya, kawasan pulau‐pulau kecil dan pesisir, kawasan binaan dan pedesaaan, serta kawasan‐kawasan lain yang memiliki kerentanan ekologis yang tinggi, misalnya kawasan karst dan kawasan esensial.



8



2.1.3 Ecotourism dan Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan menemukenali adanya silang ketergantungan antara 3 (tiga) isu penting dalam pembangunan, yaitu (a) lingkungan, (b) ekonomi, dan (c) kebijakan. Konsep pembangunan berkelanjutan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan dalam waktu yang bersamaan turut mempertahankan daya dukung ekosistem agar kesetaraan perolehan peluang pemanfaatan antar generasi sekarang dan generasi mendatang dapat tetap terpelihara. Tujuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan pada intinya adalah memanfaatkan lingkungan dengan mengarahkan untuk perlindungan lingkungan itu sendiri, agar tetap memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat secara terus menerus kepada penggunanya (users) (WTO, 1995). Ecotourism sendiri telah diakui sebagai salah satu alat pembangunan berkelanjutan oleh banyak pakar di bidang pembangunan dan lingkungan (Linberg dan EnriQuez, 1994; Gunn, 1994). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ecotourism memiliki batasan untuk dapat mensinergiskan berbagai kepentingan dalam (1) melindungi suatu wilayah, (2) meningkatkan kualitas hidup masyarakat, (3) membangun awareness dan kecintaan terhadap lingkungan, (4) mengembangkan perekonomian daerah, dan (5) menyediakan jasa wisata untuk menjawab pergeseran pasar. Dalam pemanfaatan lingkungan, kelima syarat tersebut berkecukupan untuk saling terkait sebagai konsekuensi agar kemampuan lingkungan untuk mendukung keberlanjutan pemanfaatannya tetap terjaga dengan baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3 diagram keterkaitan berikut.



9



Sumber: Linberg dan EnriQuez, 1994; Gunn, 1994 Gambar 2.3 Hubungan Keterkaitan antar Syarat‐Syarat Kecukupan Pemanfaatan Lingkungan untuk Ecotourism Ecotorism sebagai Sarana Perlindungan Wilayah Ecotourism, seperti yang telah dirumuskan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menawarkan konsep pemanfaatan lingkungan yang secara fundamental diletakkan dengan membangun hubungan saling tergantung antara pariwisata dan lingkungan yang berlandaskan pada prinsip‐prinsip pemanfaatan untuk perlindungan dan penggalian serta penyajian produk wisata yang diselaraskan dengan potensi dan karakter lingkungan setempat. Untuk itu ecotourism mengarahkan pengembangan dan penyelenggaraan pemanfaatan lingkungan untuk: 1.



Perlindungan sumber‐sumber dalam mempertahankan kelangsungan ekologi lingkungan dan kelestarian budaya masyarakat setempat, dan 10



2.



Pengelolaan operasional kegiatan dengan dampak negatif terhadap lingkungan minimal atau sekecil mungkin.



Dalam konteks pengembangan suatu wilayah untuk pariwisata, konsep ecotourism menjanjikan perlindungan terhadap sumber‐sumber pembangunan pariwisata wilayah tersebut, termasuk di dalamnya alam maupun budaya. Pengendaliannya dilakukan dengan kebijakan‐ kebijakan yang mencakup pengelolaan operasional kegiatan dengan dampak negatif lingkungan seminimal mungkin. Pada penyelenggaraannya, ecotourism mensyaratkan agar secara proporsional mengembalikan biaya yang ditanggung akibat pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan jangka panjang. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh negatif terhadap pariwisata dan lingkungan yang dimanfaatkan, termasuk degradasi mutu lingkungan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pariwisata kehilangan potensinya. Ecotorism sebagai Sarana Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Konsep ecotourism sebagai seuatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata mensyaratkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif. Konsep ini mengakui eksistensi masyarakat adat dan lokal sebagai bagian dari ekosistem setempat, dan melalui suatu mekanisme aturan main, memiliki ’hak’ keikutsertaan dan ’akses’ terhadap perolehan keuntungan atas pemanfaatannya (Sekartjakrarini dan Legoh, 2004). Konsep ini fundamental dalam pengembangan suatu wilayah untuk ecotourism karena pemanfaatannya harus berlandaskan pada prinsip: 1. Pemberian akses kepada masyarakat, lembaga dan organisasi masyarakat untuk memperoleh dan memanfaatkan hak ekonomi dan sosialnya atas pemanfaatan lingkungan guna peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan. 2. Pemberian akses kepada masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan perencanaan pemanfaatan kawasan dan untuk ikut menilai permasalahan yang berkembang. 11



3. Kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat terpenuhi secara berimbang dalam skema hubungan timbal balik yang saling bergantung dan saling mempengaruhi dengan kepentingan‐kepentingan lainnya. Ecotorism sebagai Sarana Cinta Lingkungan Produk ecotourism, yang sering dikenal dengan interpretation, adalah suatu kemasan dengan muatan pada penafsiran nilai‐nilai substantif sumber‐sumber (alam dan atau budaya), untuk memenuhi harapan wisatawan dalam mempelajari lingkungan setempat. Sebagai sebuah produk, interpretation dapat diartikan sebagai kegiatan atau fasilitas pelayanan pariwisata, dan dalam waktu yang bersamaan dapat pula dipahami sebagai sebuah proses untuk menumbuhkembangkan cinta lingkungan yaitu untuk menumbuhkembangkan apresiasi pengunjung dan juga para pemangku kepentingan lainnya terhadap lingkungan dan pelestariannya dan berlanjut pada perolehan manfaat sosial maupun ekonomi atas kunjungan tersebut (Sekartjakrarini dan Legoh, 2003). Pemahaman inilah yang kemudian dapat membedakan antara prosuk ecotourism dengan produk wisata lainnya dan mengisyaratkan bahwa penyelenggaraan pariwisata kini tidak hanya cukup terfokus pada pengembangan produk rekreatif generik dan pelayanan yang hanya memperhatikan unsur kenyamanan saja, akan tetapi harus pula memasukkan pesan dalam melindungi lingkungan. Ecotorism sebagai Sarana Pengembangan Perekonomian Daerah Ecotourism tidak dapat terlepas dari syarat‐syarat komponen pariwisata dalam membentuk total product, yaitu (1) atraksi kawasan, (2) fasilitas dan pelayanan kawasan, (3) akses menuju kawasan, (4) citra kawasan, dan (5) harga produk yang harus dibayar oleh



12



penggunaan (users). Kelima komponen ini akan mendorong terciptanya lapangan kerja yang pada akhirnya dapat mengembangkan sektor ekonomi suatu kawasan. Aksesibilitas yang dibangun menuju kawasan wisata, misalnya akan menghubungkan kawasan wisata dengan daerah‐daerah lain dan atau antarwilayah lainnya, sehingga perekonomian di suatu wilayah dapat ikut berkembang. Dalam perkembangannya, ecotourism juga menawarkan lapangan kerja spesifik dan penggerak perekonomian rakyat karena kawasan pengembangan haruslah memiliki syarat‐syarat kecukupan sebagaimana dalam batasannya dan mengedepankan masyarakat sebagai inti dari pengembangan wilayah. Ecotorism sebagai Penyedia Jasa Wisata Sebagai penyedia jasa wisata, ecotourism mensyaratkan pengendalian pengembangan sarana dan prasarana wisata agar: (1) besaran perubahan lingkungan yang diakibatkan masih dalam ‘batas perubahan yang dapat diterima’ (limit of acceptable change), dan (2) Penampakan bentuk dan konstruksi bangunan tidak mempengaruhi keindahan dan keasrian lingkungan. Dalam konteks penyediaan jasa pariwisata, ecotourism juga mensyaratkan pengendalian dampak yang terbawa dalam penyelenggaraannya, seperti: limbah yang terproduksi, polusi udara, polusi suara, pemakaian energi yang dapat berakibat pada pemanasan global, penggunaan bahan‐bahan kimia yang dapat berakibat terkontaminasinya lingkungan. Keseluruhan hal ini jika tidak diproses secara benar, maka akan berpotensi mengakibatkan kerusakan lingkungan secara permanen atau minimal adalah penurunan mutu lingkungan. Terkait dengan pengembangan sarana pelayanan, konsep fundamental ekowisata diletakkan menyatu dengan lingkungan dan berdampak minimal, dengan berlandaskan kepada prinsip‐prinsip (1) perubahan fisik lingkungan seminimal mungkin, (2) keseimbangan ekologi



13



dan estetika lingkungan tetap terjaga, (3) penyelenggaraan operasional berdampak minimal, dan (4) selaras dengan perkiraan segmen pasar yang dituju.



2.2. Perencanaan Pengelolaan Ekowisata Perencanaan ekowisata adalah alat untuk membimbing pengembangan pariwisata pada daerah yang dilindungi dengan melakukan sintesis dan menggunakan visi dari semua pemangku kepentingan untuk tujuan konservasi pada lokasi tersebut. Perencanaan pengelolaan ekowisata seharusnya mengambarkan jenis ekowisata apa yang dapat dilakukan atau kegiatan publik apa yang bisa dilakukan di daerah yang dilindungi tersebut. Perencanaan pengelolaan ekowisata ini juga biasanya mengembangkan pewilayahan (zoning) yang didesain dan yang diperbolehkan untuk kegiatan kepariwisataan. Perencanaan pengelolaan ekowisata harus mengacu kepada rencana pengelolaan umum (General Mangement Plan) dan rencana daerah konservasi (Site Conservation Plan). Rencana pengelolaan umum ini menjelaskan tujuan dan umum dan tujuan khusus yang telah disusun untuk sistem konservasi pada daerah yang dilindungi. Pada rencana ini terdapat pewilayahan, strategi, program dan aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus. Rencana daerah konservasi merupakan komponen dari perencanaan pengelolaan umum yang lebih fokus pada kasus-kasus dan alternatif strategi untuk mengatasi ancaman-ancaman terhadap kegiatan konservasi yang dilakukan dan mungkin salah satunya adalah kegiatan ekowisata. Dalam perencanaan kegiatan ekowisata ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:



14



1. Daerah yang dilindungi harus direncanakan sebagai bagian integral dari pengembangan wilayah. 2. Tujuan pengelolaan harus disusun untuk setiap tingkatan 3. Perencanaan yang baik harus disusun oleh tim yang terdiri dari berbagai disiplin, institusi dan berbagai cara pandang. 4. Diharapkan dengan interaksi dari berbagai disiplin, institusi dan cara pandang didapatkan situasi yang sinergi untuk menghasilkan suatu perencanaan yang baik. 5. Perencanaan yang baik tergantung dari efektivitas partisipasi semua pemangku kepentingan.



Gambar 2.1 Interaksi pemangku kepentingan dalam proses perencanaan ekowisata Dalam proses perencanaan pengelolaan ekowisata ada beberapa fase yang harus dilakukan antara lain: (1) adanya keputusan untuk mempersiapkan rencana pengelolaan ekowisata, (2) mencari pembiayaan, (3) membentuk tim perencana, (4) melakukan diagnostik atau pengumpulan data, (5) analisis data, (6) menyiapkan rencana, (7) publikasi dan distribusi rencana, dan (8) implementasi dan evaluasi rencana.



15



Gambar 2.3. Fase proses penyusunan rencana pengelolaan ekowisata Dalam penyusunan rencana pengelolaan ekowisata ada beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain: 1. Langkah pertama adalah perencanaan wilayah konservasi dan evaluasi pendahuluan 2. 3. 4. 5.



wilayah (site conservation plan and prelimenery site evaluation). Langkah kedua adalah diagnostik wilayah secara menyeluruh (full site diagnostic) Langkah ketiga adalah analisis data dan menyiapkan rencana. Langkah keempat adalah Implementasi rencana pengelolaan ekowisata Langkah kelima mengukur kesuksesan.



Penjelasan dari setiap langkah-langkah ini akan dijelaskan pada bab selanjutnya dan sebagai gambar proses secara keseluruhan perencanaan pengelolaan ekowisata adalah seperti gambar 2.4. dibawah ini. 16



Gambar 2.4. Proses penyusunan rencana pengelolaan ekowisata



2.3 Konsep Pengembangan Ekowisata Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan telah memberikan implikasi munculnya berbagai tuntutan di semua sektor pembangunan. Tuntutan-tuntutan tersebut telah 17



dan akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru, cara cara pendekatan baru dalam berbagai kegiatan baik bisnis pariwisata secara langsung yang dilakukan dunia usaha pariwisata dan usaha-usaha masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Kondisi tersebut makin meyakinkan bahwa lingkungan bukan lagi beban, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan usahausaha ekonomi. Dalam maksud lain, lingkungan mempunyai peran penting dalam usaha mendorong semua lapisan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai peluang bisnis, sehingga diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk dapat menyelesaikan masalahmasalah dan mampu mendorong keikutsertaan semua unsur secara bersama-sama menanggulangi masalah lingkungan secara bersama-sama. Menghormati hak asasi manusia bebas melakukan perjalanan wisata adalah salah satu makna yang tercantum dalam Declaration Of Human Right. Manusia bebas melakukan perjalanan kemana saja di muka bumi ini. Manusia berhak menikmati apa saja yang mereka butuhkan, termasuk menikmati pengembangan ekowisata, tidak hanya mengejar kebutuhan material semata akan tetapi memiliki landasan pijak yang kokoh dalam menata, memanfaatkan dan



mengembangkan



ekowisata



pada



prinsip-prinsip



pembangunan



ekowisata



yang



berkelanjutan menjadi bagian penting dari pembangunan kepariwisataan berkelanjutan sebagai konsep dan pendekatan yang telah diakui secara nasional maupun internasional. Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based). The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu: Mencegah dan 18



menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga



keharmonisan



dengan



alam.



Semua



upaya



pengembangan



termasuk



pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.



19



Direktorat Jenderal Pariwisata menggariskan prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, sebagai berikut: 1. Kegiatan ekowisata harus bersifat ramah lingkungan, secara ekonomis dapat berkelanjutan dan serasi dengan kondisi sosial dan kebudayaan Daerah Tujuan Ekowisata (DTE) 2. Untuk menjamin konsevasi alam dan keanekaragaman hayati sebagai sumber daya kepariwisataan utama, segenap upaya penting harus dilaksanakan untuk menjamin fungsi dan daya dukung lingkungan agar tetap terjaga. 3. Kegiatan ekowisata yang secara langsung mendukung pada upaya perlindungan alam dan kelestarian keanekaragaman hayati harus dipromosikan. 4. Harus ada tindakan pencegahan untuk menghindari dan meminimalkan dampak negatif keanekaragaman hayati yang disebabkan kegiatan ekowisata. 5. Pengembangan kegiatan ekowisata hendaknya selalu menggunakan teknologi ramah lingkungan. 6. Semua yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata, termasuk pemerintah swasta atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus bertanggungjawab secara bersama untuk mencapai bentuk ekowisata yang berkelanjutan. 7. Konsep dan kriteria ekowisata berkelanjutan harus dikembangkan dan dikaitkan dengan program pendidikan dan pelatihan untuk pekerja dibidang kepariwisataan. 8. Masyarakat harus diberikan kemudahan untuk memperoleh informasi sebanyakbanyaknya mengenai manfaat perlindungan lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati melalui bentuk ekowisata yang berkelanjutan tadi. Khodyat, seorang pakar yang banyak memberi perhatian pada Ekowisata mengatakan “Dalam mengembangkan ekowisata seharusnya dilihat sebagai alat peningkatan komunikasi antar makhluk hidup, kesejahteraan, dan kemampuan individu.” Oleh karena itu katanya,



20



“Pengembangan suatu kawasan untuk menjadi obyek ekowisata harus didasarkan pada kebijakan yang dirumuskan dari hasil musyawarah dan mufakat dengan masyarakat setempat.” Dalam mengembangkan ekowisata, menurut Khodyat, sangat penting kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama dalam memberdayakan masyarakat setempat melalui pendekatan, penyebaran informasi tentang keuntungan, manfaat, dan dampak negatif yang mungkin muncul dalam pengembangan ekowisata berkelanjutan.



2.4. Pendekatan Pengembangan Ekowisata Untuk tercapainya pengembangan dan pembinaan ekowisata integratif, dibutuhkan beberapa pendekatan, antara lain: 1. Pendekatan lingkungan Definisi maupun prinsip-prinsip ekowisata mempunyai implikasi langsung kepada wisatawan dan penyedia jasa perjalanan wisatawan. Wisatawan dituntut untuk tidak hanya mempunyai kesadaran lingkungan dan kepekaan sosial budaya yang tinggi, tetapi mereka harus mampu melakukannya dalam kegiatan wisata melalui sifat-sifat empati wisatawan, digugah untuk mengeluarkan pengeluaran ekstra untuk pelestarian alam. Analisis yang mendalam terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pelestarian dan konservasi lingkungan perlu dilakukan untuk menemu kenali pihak yang berpentingan dan memanfaatkan lingkungan sebagai bagian dari kehidupannya. Pertumbuhan ekonomi dan perubahan karakteristik psikografis dan demografis wisatawan di Negara asal, menciptakan kelompok pasar dengan penghasilan yang tinggi dan harapan yang berbeda dalam melakukan perjalanan wisata. Kondisi ini menyebabkan paket-paket wisata konvensional mulai ditinggalkan dan makin besarnya permintaan perjalanan wisata jenis baru yang lebih berkualitas dan mengandalkan lingkungan sebagai obyek dan data 21



tarik wisata yang dikunjungi. Mereka memiliki pandangan yang berubah, terutama penghargaan akan lingkungan dan perbedaan budaya. Pergeseran paradigma gaya hidup wisatawan sebagaimana di atas, tentunya akan sangat penting dicermati agar dalam pengembangan dan pembinaan ekowisata diberbagai kota dan kabupaten tidak hanya sekedar membuat kebijakan pengembangan ekowisata, akan tetapi memiliki pendekatan dalam perencanaan yang holistis dengan menerapkan keseimbangan hubungan mikro (manusia) dan makro (alam) untuk mencegah ketidakadilan, kesalahan dan perusakan terhadap alam dan budaya. Pendekatan yang berkesinambungan tersebut, mengingatkan kepada para pelaku yang terkait alam pengembangan ekowisata untuk senantiasa mengendalikan diri (self control), mempertimbangkan manfaat sebesar-besarnya untuk melestarikan alam dan lingkungannya serta keseimbangan budaya yang pada gilirannya secara menyeluruh pada tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, termasuk masyarakat penduduk asli. 2. Pendekatan partisipasi dan pemberdayaan Pendekatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat setempat pengembangan ekowisata, harus mampu menghasilkan model partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat setempat dilibatkan dalam penyusunan perencanaan sejak awal, dimana masyarakat dapat menyampaikan gagasangagasan yang dapat memberikan nuansa Participatory Planning, dan mendorong mereka mengembangkan gagasan murni tanpa pengendalian dan pengarahan terkendali dari pihak-pihak berkepentingan. Beberapa unsur yang mampu mendorong gagasan adalah ekonomi, konservasi, sosial, politik, regulasi lingkungan, pemberdayaan dan reklamasi lingkungan yang rusak, pemberdayaan seni budaya lokal dan lain-lain. 3. Pendekatan sektor publik



22



Peran sektor publik sangat penting dalam pembinaan otoritas untuk menyusun kebijakan dan pengendalian tentang manfaat sumber daya alam dan lingkungan, di dalamnya pemerintah memiliki otoritas dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan program dan pembiayaan sektor pembangunan lingkungan dan kepariwisataan yang memiliki mekanisme kerjasama baik secara vertikal maupun horizontal dan struktural, dan yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah memiliki akses yang cukup tinggi dengan penyandang dana, seperti bank, investor dan donatur dalam negeri dan luar negeri. 4. Pendekatan pengembangan infrastruktur Penyediaan infrastruktur dasar adalah merupakan kegiatan penting untuk memperkuat pengembangan ekowisata. Jalan, jembatan, air bersih, jaringan telekomunikasi, listrik dan sistem pengendalian dan pemeliharaan lingkungan, merupakan unsurunsur fisik yang dibangun dengan cara menghindari perusakan lingkungan atau menghilangkan ranah keindahan pada lokasi ekowisata. Teknologi tinggi harus mampu menghindari kerusakan lingkungan dan kerusakan pemandangan yang bertolak belakang dengan konfigurasi alam sekitarnya. 5. Pendekatan pengendalian dampak ekologi pariwisata Pengembangan ekologi pariwisata berdampak kepada pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti terhadap areal yang digunakan, banyaknya energi yang terpakai, banyaknya sanitasi, polusi suara dan udara, tekanan terhadap flora dan fauna serta ketidakseimbangan lingkungan terkait dengan itu, maka perlu dirumuskan pembinaan usaha pariwisata oleh pihakpihak yang akan melakukan monitoring lingkungan pariwisata yang didukung oleh para ahli dibidang itu, mengingat bentuk dampak lingkungan sangat berbeda-beda antara satu usaha dengan usaha lainnya. 6. Pendekatan zonasi kawasan ekowisata 23



Zoning peletakan fasilitas dibedakan dalam tiga zonasi yaitu zona inti, zona penyangga, zona pelayanan dan zona pengembangan. a. Zona Inti : dimana atraksi/daya tarik wisata utama ekowisata. b. Zona Antara (Buffer Zone) : dimana kekuatan daya tarik ekowisata dipertahankan sebagai ciri-ciri dan karakteristik ekowisata yaitu mendasarkan lingkungan sebagai yang harus dihindari dari pembangunan dan pengembangan unsur-unsur teknologi lain yang akan merusak dan menurunkan daya dukung lingkungan dan tidak sepadan dengan ekowisata. c. Zona Pelayanan : wilayah yang dapat dikembangkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan wisatawan, sepadan dengan kebutuhan ekowisata. d. Zona Pengembangan : areal dimana berfungsi sebagai lokasi budidaya dan penelitian pengembangan ekowisata. Untuk



terkendalinya



pengelolaan



ekowisata



secara



profesional



dibutuhkan



manajemen/pengelolaan kawasan ekowisata yang berdasarkan kepada aspek-aspek Sumber Daya Manusia (man), seperti keuangan (money), aspek material, aspek pengelolaan/bentuk usaha (metode) dan aspek market (pasar). Kelima unsur tersebut dapat diorganisasikan dalam bentuk usaha Korporasi, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi maupun Perorangan atau Corporate Manajemen. 8. Pendekatan perencanaan kawasan ekowisata Perencanaan kawasan ekowisata dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan terhadap unsur-unsur perencanaan yang menjadi daya dukung pengembangan dan pembinaan kawasan ekowisata, meliputi: Apakah tersedia potensi ekowisata dan memadai untuk dikembangkan; Apakah potensi ekowisata dimaksud dapat mendukung bagi pembangunan kepariwisataan berkelanjutan; Apakah ada segmen pasar untuk ekowisata; Apakah menurut perhitungan besaran investasi lebih tinggi daripada kerugian yang diperoleh dan Apakah masyarakat setempat dapat



24



turut berpartisipasi dalam penyusunan perencanaan. Beberapa pertanyaan tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan perencanaan. 9. Pendekatan pendidikan ekowisata Ekowisata memberikan sarana untuk meningkatkan kesadaran orang akan pentingnya pelestarian dan pengetahuan lingkungan, baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Ekowisata harus menjamin agar wisatawan dapat menyumbang dana bagi pemeliharaan, keanekaragaman hayati yang terdapat di daerah yang dilindungi sebagai salah satu proses pendidikan memelihara lingkungan. Pendekatan pendidikan ekowisata harus bermula dari dasar, dan dimulai sejak anakanak berada di tingkat taman kanak-kanak, sekolah dasar dan berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi, oleh karena itu dibutuhkan semacam modul praktik yang dapat diberikan pengajarannya oleh setiap Pembina baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan khusus. 10. Pendekatan pemasaran Pendekatan pemasaran ekowisata lebih ditujukan dalam konsep pemasaran social dan pemasaran bertanggung jawab. Pemasaran sosial tidak hanya berupaya memenuhi kepuasan wisatawan dan tercapainya tujuan perusahaan (laba), tetapi juga dapat memberikan jaminan sosial sumber daya dan pelestarian lingkungan dan tata cara penanggulangan, perencanaan lingkungan, teknik-teknik promosi harus mengarahkan kepada ajakan kepada wisatawan untuk berlibur dan beramal dalam pelestarian lingkungan serta mendidik wisatawan dan masyarakat berkiprah dalam kesadaran bahwa apa yang mereka saksikan dan alami, akan musnah dan hancur bilamana tidak dipelihara dan dilestarikan sejak awal pemanfaatan dan memperbaiki kerusakan lingkungan. 11. Pendekatan organisasi Pendekatan dasar pembangunan berkelanjutan adalah kelestarian sumber daya alam dan budaya. Sumber daya tersebut merupakan kebutuhan setiap orang saat sekarang dan dimasa yang datang 25



agar dapat hidup dengan sejahtera, untuk itu dibutuhkan pengorganisasian masyarakat agar segala sesuatu yang telah menjadi kebijakan dapat dibicarakan, didiskusikan dan dicari jalan pemecahannya dalam satu organisasi ekowisata yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan pembinaan ekowisata di satu kota dan kabupaten di daerah tujuan wisata.



26



BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Analisis Perencanaan Perencanaan wilayah ekowisata merupakan kerangka kerja pragmatic conservasionist untuk mendeterminasi apa yang akan dilindungi (conservation targets), bagaimana ekowisata dilakukan, oleh siapa ekowisata dilakukan, pemangku kepentingan siapa saja yang terlibat, dan kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan konservasi.



Gambar 3.1. Proses penyusunan rencana wilayah konservasi Seperti pada gambar 3.1 kerangka kerja ini tahap pertama mengidentifikasi sistem ekologi dan keragaman komunitas di wilayah perencanaan. Mengidentifikasi integritas ekologi (biodiversity health), menguji status kesehatan keanekaragaman hayati, dan menyusun tujuan konservasi pada wilayah target. Setelah mengidentifikasi sistem yang akan dikonservasi, tahap selanjutnya tahap kedua adalah mengidentifikasi ancaman atau stress dan sumber ancaman atau stress yang potensial menganggu tujuan konservasi. Berdasarkan jenis dan sumber ancaman atau



27



stress tersebut maka disusun strategi untuk pengelolaan dan restorasi dan penghilangan sumber ancaman. Strategi yang sudah disusun kemudian dievaluasi dan dirangking berdasarkan tiga kriteria yaitu: 1. keuntungan: menghilangkan ancaman terhadap konservasi, meningkatkan viabilitas target



konservasi), contoh: reduksi status ancaman, meningkatkan biodiversity health, dan pengukit proses konservasi 2. Feasibility atau kemungkinan keberhasilan, contoh: institusi dan personal pimpinan,



kompleksitas dan pengaruh eksternal dan biaya implementasi. 3.2. Evaluasi awal wilayah Evaluasi awal wilayah ekowisata adalah suatu evaluasi yang diperlukan untuk menentukan strategi pengelolaan dan pengembangan ekowisata. Evaluasi ini dilakukan dengan merujuk kepada perencanaan wilayah konservasi. Misal terjadi kerusakan komunitas anggrek yang disebabkan oleh masyarakat di sekitar wilayah konservasi untuk di jual, strateginya bisa dilakukan pengelolaan daerah konservasi dengan ekowisata yang diharapkan memberikan efek ekonomi kepada masyarakat untuk tetap memelihara atraksi ekowisata di sana. Contoh lain adalah untuk pengembangan, yaitu apabila diberikan akses kepada wisatawan untuk masuk kepada zona ekowisata akan ada ancaman baru terganggunya flora dan fauna di sana, maka strategi yang diambil untuk pengembangan ekowisata adalah dengan cara membatasi pengunjung dengan mengatur jadwal kunjungan. Proses yang kedua ini adalah berguna untuk perencanaan pengembangan ekowisata.



28



3.3. Perencanaan Ekowisata Peraturan menteri dalam negeri nomor 33 tahun 2009 tentang pedoman pengembangan ekowisata di daerah disebutkan pada pasal 6 dijelaskan bahwa perencanaan ekowisata yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) memuat antara lain: a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)



jenis ekowisata; data dan informasi; potensi pangsa pasar; hambatan; lokasi; luas; batas; kebutuhan biaya; target waktu pelaksanaan; dan disain teknis. Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf b diatas meliputi:



a) b) c) d) e) f)



daya tarik dan keunikan alam; kondisi ekologis/lingkungan; kondisi sosial, budaya, dan ekonomi; peruntukan kawasan; sarana dan prasarana; dan sumber pendanaan.



3.4. Sumber Data Penggalian data dan informasi dilakukan dengan mengkaji dokumen yang berkaitan dengan perencanaan pengembangan wisata alam dan pendidikan lingkungan di Kabupaten Lombok Utara seperti dokumen RIPPDA Kabupaten Lombok Utara, Rencana Strategis (Renstra), Rencana Kerja (Renja), RTRW, RDTR, dan aturan perundang-undangan dan dokumen-dokumen lain yang terkait. Dalam perencanaan juga melakukan interview (wawancara) terhadap informan yang dipilih secara sengaja. Dalam melakukan wawancara dengan beberapa 29



informan yang berperan dan terlibat dalam perencanaan pengembangan wisata alam di Kawasan Pusuk. Informan berasal dari Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan (Pusprohut), Sekretariat Badan Litbang Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Utara, dan masyarakat sekitar kawasan yang terdiri dari Komite Pengelola Pariwisata (KPP), Kelompok Pedagang, kelompok petani, tokoh masyarakat, serta pengunjung.



3.5. Analisis data 1. Potensi Kawasan Pusuk Untuk mengetahui potensi kawah Ijen yaitu menggunakan analisis deskripsi dengan menggambarkan kondisi maupun keadaan alam di kawasan Pusuk. Didukung dengan data berupa dokumentasi yaitu foto kawasan pusuk sebagai data yang autentik. 2. Potensi Flora Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data potensi flora. Adapun untuk mengetahui potensi flora dilakukan pendataan (inventarisasi) terhadap jumlah, jenis flora yang terdapat di kawasan taman wisata alam kawah ijen desa Taman Sari. Sedangkan cara inventarisasi dilakukan dengan teknik sampling yang mempergunkan sistem jalur yaitu dengan pertimbangan adanya faktor kemudahan pencapaian jalur yang diambil sebagai sampel (purposive line transect) Fandeli (2000) dalam Latupapua (2008). Tabel 3.1. Kriteria Kualitas Keanekaragaman Flora Skala 1 2 3 4



Jumlah jenis Terdapat 31 jenis tumbuhan Sumber: Fandeli (2000)



Sangat baik



3. Potensi Fauna Potensi fauna juga sangat penting untuk diketahui, dalam penelitian ini adalah melakukan penjelajahan dan menginvetarisasi vegetasi yang ada. Pengamatan terhadap jenis satwa dilakukan dengan mengamati secara langsung maupun tidak langsung. Potensi obyek wisata mempunyai nilai tinggi jika mempunyai keanekaragaman jenis fauna yang tinggi, maka dibuat kriteria keanekaragaman fauna seperti pada tabel 2. ( Fandeli 2000 dalam Latupapua 2008) Tabel 3.2. Kriteria Kualitas Keanekaragaman Fauna Skala Jumlah jenis 1 Terdapat 31 jenis hewan Sumber: Fandeli (2000)



Keterangan Buruk Agak buruk Sedang Baik Sangat baik



4. Potensi Kebudayaan Untuk mencari potensi kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yaitu dengan menggunakan analisis deskripsi dengan menggambarkan kondisi maupun keadaan budaya, adat istiadat maupun tradisi masyarakat. 5. Potensi Sumber Daya Manusia Sedangkan untuk mengetahui potensi sumber daya manusia yaitu menggunakan analisis deskripsi dengan menggambarkan kondisi sumber daya manusia pada masyarakat setempat.



31