Rahmat SetiawanfrmRencana Proposal Disertasi Rahmat Setiawan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMURNIAN PRAKTEK TASAWUF (Studi Komparatif Atas Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka)1 A. Latar Belakang Masalah Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah2, termasuk dalam implementasinya sebagai sebuah praktek dalam kehidupan sosial. Tasawuf merupakan salah satu aspek esoterik islam, sebagai perwujudan ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan.3 Dalam perkembangannya, tasawuf banyak mengalami kritikan termasuk orang yang mempunyai persepsi buruk tentang tasawuf. Mereka menganggap bahwa, tasawuf identik dengan kemiskinan. Karena syarat menjadi seorang sufi seseorang harus menjauhi kemewahan dan gemerlapnya dunia, dalam keadaan demikian seorang sufi masih dituntut hidup sabar, kona‟ah, syukur dan tawakkal. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, mereka berpendapat bahwa tasawuf identik dengan bid‟ah, karena istilah tasawuf dan implementasinya tak dijumpai dalam literatur islam klasik, praktek-praktek tasawuf bersumber dari luar agama islam seperti Yahudi, Zoroaster, Majusi, Budha.4



1 2



Rencana Proposal Disertasi Oleh Rahmat Setiawan. Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),



hlm. 25. 3



4



Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 5.



Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2001), hlm. 44.



Tasawuf



yang berkembang mulai



abad



VI M



lebih



banyak



diformulasikan dalam bentuk organisasi atau institusi yang disebut dengan tarekat. Dengan tarekat tersebut, tasawuf yang semula merupakan disiplin spiritual pribadi yang dilaksanakan secara bebas oleh segolongan kaum tertentu, akhirnya menjadi sebuah gerakan masal kaum muslimin yang dilaksanakan dengan ketat. Oleh sebab itu, tasawuf yang mulanya disiplin spiritual-moral dan pencerahan spiritual asli berubah menjadi rutinitas permainan spiritual melalui cara-cara auto-hipnotis dan penglihatanpenglihatan gaib.5 Kondisi seperti ini diperkeruh setelah para syaikh sufi dengan segala otoritasnya memunculkan mitos-mitos yang berakhir pada kepercayaan adanya manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, terutama dalam



otoritas



spiritual,



keajaiban-keajaiban,



pemakaman-pemakaman,



hipnotis, bahkan dukun-dukun palsu dan penindasan terang-terangan terhadap orang muslim dan bodoh.6 Keadaan ini diperkeruh lagi dengan munculnya kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama‟ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual maupun material. Akhirnya terjadi pemujaanpemujaan, 5



6



penghormatan-penghormatan



kepada



makam-makam



dan



Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm. 153.



Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Alih Bahasa Anas Muhyiddin, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 181.



peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barokahnya.7 Praktek penghormatan yang berlebihan terhadap wali yang menjadi pokok ajaran dalam tarekat-tarekat. Ajaran tauhid memang meyakini adanya waliyullah, namun yang dimaksud wali adalah orang-orang yang karena kesungguhannya mengadakan mujahadah, riyadloh, dzikir, taubat, tawakkal, ikhlas, sabar dan sebagainya. Mereka juga membuktikan imannya dengan amal shaleh. Orang-orang tersebut telah menempuh beberapa perjuangan hidup dan akan diberi Allah kekebalan jiwa. Wali yang benar secara syar‟i adalah siapa saja tidak pilih-pilih, sebab agama islam adalah agama untuk semua orang. Jadi semua orang bisa saja menjadi waliyullah.8 Akan tetapi, dalam realitasnya muncul kepercayaan tentang wali berikut keramatnya, yang kemudian lahir wisata spiritual ke makam-makam wali untuk “ngalap berkah”, dan terjadilah kultus yang berlebihan sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran-aliran tarekat.9 Terlebih lagi, bahwa paham wahdat al-wujud sebagai misalnya dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan paham tersebut, semakin lama tidak semakin tipis dan hilang, akan tetapi semakin tebal dan menguasai keadaan.10



7



Fazlur Rahman, Islam,..hlm. 153.



8



Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005),



hlm. 224. 9



Hamka, Tasauf: Perkembangan dan Pemurnianya., hlm. 224-225.



10



Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 121-122.



Demikian juga, dzikir-dzikir dan wirid-wirid dari ajaran tasawuf banyak yang dibelokkan untuk tujuan magis, perdukunan, dan digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, tidak terasa sakit,dan kekebalan terhadap senjata tajam.11 Ibnu Taimiyah yang mempunyai nama lengkap Taqiy al-Din Abu al„Abbas Ahmad ibn „Abd al-Halim ibn „Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy juga mengkritisi praktek tasawuf. Dalam pandangan sebagian kalangan, Ibnu Taimiyah dan tasawuf dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.12 Padahal yang ingin disampaikan oleh Ibnu Taimiyah adalah praktek tasawuf adalah sebagaimana yang ada dalam alQur‟an dan al-Sunnah seperti yang dipraktekkan Salaf al-Shalih. Begitu juga dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang sering disebut dengan Hamka, dia mengkritisi praktek-praktek tarekat yang sudah keluar dari ajaran islam. Dzikir-dzikir dan wirid-wirid dalam ajaran tasawuf 11



Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 229-232. 12



http://www.wahdah.or.id/wahdah- Wahdah Islamiyah Powered by Mambo Generated: 24 March, 2008, 13:50.



dibelokkan dan digunakan untuk ilmu sihir, perdukunan, kekebalan tubuh. Pembelokan dan penyalahgunaan ini semakin lama tidak berkurang dan menipis, bahkan semakin tebal dan menguasai keadaan. Praktek pembelokan ini semakin kuat sejak terjadi kerusuhan sosial seperti pembangkangan terhadap peraturan belasting di Minangkabau yang pernah diberlakukan penjajahan Belanda pada tahun 1908. dan praktek ini terus meluas ke dalam masyarakat dan cenderung menjadi semacam keyakinan baru. 13 Inilah yang menjadi perjuangan Hamka untuk mengembalikan tasawuf ke pangkalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Dari kedua tokoh tersebut, penulis tertarik untuk mengkomparasikan pemurnian praktek tasawuf yang masing-masing dipeloporinya. Karena kedua tokoh ini dalam bertasawuf hampir sama. Penulis ingin meneliti di mana persamaan dan perbedaan dari kedua konsep tentang pemurnian tasawuf ditinjau dari segi prakteknya. B. Rumusan Masalah dan Pembatasannya Dari uraian di atas dapat ditarik pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini, yakni: bagaimana konsep pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka tentang pemurnian praktek tasawuf. Untuk mencapai hal tersebut, pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka terhadap pemurnian praktek tasawuf perlu diangkat ke permukaan. Demikian pula, perbandingan antara kedua pemikir di atas perlu dilakukan. Dengan demikian, penulis dapat melihat perbandingan antara keduanya. 13



Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka., hlm. 121.



C. Tujuan Penelitian Mengacu dari pokok masalah di atas maka tujuannya dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan bagaimana pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka tentang tasawuf 2. Untuk mendeskripsikan bagaimana pemurnian praktek tasawuf menurut Ibnu Taimiyah dan Hamka. 3. Untuk mendeskripsikan perbandingan tentang pemurnian praktek tasawuf yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dengan Hamka. D. Kajian Pustaka Penelitian terhadap pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah, baik dalam bidang tasawuf maupun disiplin lainnya telah banyak dilakukan oleh sarjana, baik muslim maupun non muslim, baik dalam maupun luar. Seperti Abu Zahrah dalam karyanya “Ibnu Taimiyah Hayatuh wa „Asyruh wa Fiqhuh” merupakan hasil penelitian dan penulisanyang cukup lengkap tentang Ibnu Taimiyah dan beberapa segi pemikirannya. Secara khusus, penelitian dan pengkajian tentang aspek-aspek tertentu dari pemikiran Ibnu Taimiyah, misalnya dalam bidang filsafat antara lain: disertasi Nurcholis Majid dengan judul “Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa (A Problem of Reason and Revelation in Islam)”, Abd al-Fattah Ahmad Fuad menulis dengan judul “Ibnu Taimiyah wa Mauqifuhu min al-Fikr al-Falsafi”. Ada juga yang meneliti tentang kritik Ibnu Taimiyah terhadap logika Aristoteles serta penjelasan tentang satu aspek metodologi pemikiran Ibnu



Taimiyah, yaitu Muhammad Husni al-Zayyin dengan judul “Mantiq Ibn Taimiyyah wa Manhaj Fikr”, Zainun Kamal meneliti dengan judul dalam disertasinya “Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles”. Serta ada juga penulis yang meneliti dari aspek pemikiran Ibnu Taimiyah dalam bidang ilmu hukum islam seperti “Epistimologi Hukum Islam Menurut Ibnu Taimiyah” oleh Juhaya S. Praja. “Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam bidang Fiqih Islam” oleh Muhammad Amin. Sedangkan dalam bidang tasawuf, telah ditulis oleh Musthafa Hilmi dengan judul “Ibnu Taimiyah wa al-Tashawwuf”, berisi tentang kehidupan zahid generasi salaf dari kalangan sahabat dan tabi‟in yang secara umum mempunyai ciri-ciri tekun beribadah dan zahid dengan tujuan kehidupan rohani yang berhias dengan moralitas. Dan berisi tentang pandangan Ibnu Taimiyah terhadap ajaran-ajaran tasawuf seperti hululnya al-Hallaj, ittihadnya Abu Yazid al-Busthami, dan wahdat al-wujudnya Ibnu Arabi. A. Wahib Mu‟thi dengan judul “Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf”(Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1992), yang berisi kritik Ibnu Taimiyah terhadap paham tasawuf falsafi dan perbandingan antara al-A‟mal al-Qulub menurut Ibnu Taimiyah dan para sufi tentang maqamat dan ahwal. Tesis yang berjudul “Purifikasi Tasawuf Ibnu Taimiyah (Telaah Hermeneutis atas Kepeloporan dalam Neo-Sufisme) oleh Imam Khanafi, Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 1999, yang berisi tentang anomalianomali tasawuf yang dikritik Ibnu Taimiyah yang cenderung eksklusifindividual-pesimistik. Sehingga dari kritik Ibnu Taimiyah tersebut menjadi



acuan terhadap generasi setelahnya. Dan tesis berjudul “Wilayah dalam Perspektif Ibnu Taimiyah” oleh Sukendar, Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004, yang berisi konsep wali menurut Ibnu Taimiyah sebagai kritik terhadap konsep wali dengan konsep wali yang secara praktik tidak jauh dari bid‟ah, dan khurafat. Serta masih banyak lagi para sarjana yang meneliti pemikiran Ibnu Taimiyah dalam bidang tasawuf. Begitu juga penelitian terhadap pemikiran Hamka, sudah banyak penulis temukan dalam aspek tasawuf, sastra, dan pemikiran tentang kalamnya, seperti disertasi yang berjudul “Pemikiran Hamka tentang Da‟wah” oleh M. Iskandar, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000, tentang kewajiban berdakwah harus dilaksanakan setiap muslim dan metode dakwah yang lebih mengedepankan pendealogisan antara norma dengan akal, yang tidak meninggalkan adat istiadat. Adapun coraknya adalah religius dan sufistik. Tesis berjudul “Kesehatan Mental Islam (Telaah terhadap Pemikiran Hamka)” oleh Nurhaimin, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997, tentang kesehatan mental dapat diperoleh dengan menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, sehingga akan tercipta kebahagiaan. Tesis berjudul “Hamka tentang Tasawuf (Telaah terhadap Pemikiran Keagamaan Periode 1925-1942)” oleh Muhammad Damami, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996, tentang tasawuf tidak



menjadi penghambat kemajuan zaman, bahkan kemajuan zaman harus diimbangi dengan kehidupan sufisme. Tesis berjudul “Revitalisasi Tasawuf (Studi atas Pemikiran Tasawuf Hamka dan Iqbal)” oleh Yayan Suryana, Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999, tentang komparasi tasawuf menurut Hamka dan Muhammad Iqbal yang mempunyai persamaan perspektif yaitu tasawuf itu bersifat dinamis. Tesis berjudul “Pendidikan Moral dalam Perspektif Hamka” oleh Farichatul Maftuchah, Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2001, tentang pendidikan akhlak sangat diperlukan biar menjadi baik. Dan Tesis yang berjudul “Moral dalam Pemikiran Hamka” oleh Amir Gufron, Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, 2004, tentang Hamka mengajak



manusia



dalam



segala



tindakannya



harus



dapat



dipertanggungjawabkan adalah tindakan baik yang diawali dengan niat yang baik dan direalisasikan dengan tindakan yang benar serta bertujuan baik. Apabila setiap individu dapat melaksanakan tersebut, maka akan menjadi makhluk yang sempurna, shaleh pribadi dan shaleh sosial. Dari hasil penelitian sementara yang penulis lakukan, belum ditemukan buku hasil penelitian yang secara khusus membahas tentang pemurnian praktek tasawuf Ibnu Taimiyah dikomparasikan dengan pemurnian praktek tasawuf Hamka.



E. Metode Penelitian Dalam upaya mencermati dan menelusuri konsep pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka dalam konteks pemurnian praktek tasawuf ini, yang menjadi sumber data primer adalah karya Ibnu Taimiyah dan Hamka sendiri baik tulisan yang berbentuk buku, artikel, jurnal, ensiklopedia dan lain-lain. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari berbagai karya tulis orang lain tentang Ibnu Taimiyah dan Hamka, baik yang berisi tentang figur, dan pemikirannya maupun hanya berkaitan dengan tema-tema tertentu seperti kehidupannya yang berbentuk buku, jurnal artikel maupun karya ilmiah. Dengan demikian, penelitian ini termasuk penelitian pustaka (library research). Bahan-bahan yang relevan itu akan dikumpulkan dan dimanfaatkan dengan cara mencari tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan tema yang diangkat. Selanjutnya penulis melakukan analisis secara mendetail tentang bahan tersebut. Metode ini bisa dikatakan sebagai metode deskriptif-analitis. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka dalam konteks pemurnian praktek tasawuf adalah pendekatan komparatif. Yaitu dengan membandingkan konsep pemurnian praktek taawuf menurut Ibnu Taimiyah dengan konsep pemurnian praktek tasawuf menurut Hamka. Dengan membandingkan tersebut, maka akan memaksa dengan tegas menentukan kesamaan dan perbedaan, sehingga hakikat objek dipahami dengan semakin murni (Bakker, Anton. Dkk.,2002: 51).



Sedangkan yang digunakan untuk menganalisa pembahasan ini, metode pendekatan yang akan penulis pakai adalah pendekatan sosiologis-filosofis. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh sosial terhadap pemikiran kedua tokoh tersebut. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk diangkat sebagai judul disertasi, mengingat praktek tasawuf dalam konteks kekinian. F. Sistematika Penulisan Penulisan penelitian dalam bentuk disertasi ini akan disusun dalam beberapa bab, dan tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan latar belakang penelitian, permasalahan. Sebagai landasan untuk menemukan masalah penelitian yang akan dikemukakan dalam pendahuluan ini. Selanjutnya pada bab ini dibahas pula mengenai tujuan penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, serta sistematika pembahasan. Bab kedua akan dibahas tentang sejarah singkat tasawuf sampai pada masa Ibnu Taimiyah beserta doktrin dan seremonialnya, dan diperlengkap dengan pembahasan akar-akar tasawuf yang berada di nusantara sebagai objek kritik Hamka. Bab ketiga mengungkapkan latar belakang sosio-kultural Ibnu Taimiyah dan Hamka. Dalam bahasan ini akan di angkat pengaruh-pengaruh sosial dalam berbagai dimensinya yang berpengaruh terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, serta dalam bab ini pula penulis akan mencari beberapa



anomali-anomali praktek tasawuf baik secara konsep maupun praktek. Sehingga dalam pembahasan ini, memperjelas tentang pemurnian praktek tasawuf dalam pandangan Ibnu Taimiyah dan Hamka. Dilanjutkan



bab



keempat,



di



dalam



bab



ini



penulis



akan



membandingkan pemurnian praktek tasawuf menurut Ibnu Taimiyah dan Hamka, sehingga persamaan dan perbedaannya dapat dilihat dan dianalisis secara tajam. Sehingga karakteristiknya dapat di angkat dan dibahas di permukaan. Bab kelima adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari uraianuraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penulisan penelitian. Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan



dalam



direkomendasikan ditindaklanjuti.



pendahuluan. kepada



Selanjutnya



pihak-pihak



hasil



yang



penelitian



berkepentingan



tersebut untuk



DAFTAR PUSTAKA Bakker, Anton dkk., 2002, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Damami, Mohammad., 2000, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Dhahir, Ihsan Ilahi., 2001, Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah. Hamka., 2005a, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas. ---------., 2005b, Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas. Jamil, M.Muhsin., 2005, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mulyati dkk, Sri., 2006, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana. Nasution, Harun., 1997, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Rahman, Fazlur., 1979, Islam, Chicago: The University of Chicago Press. ------------------., 1984, Membuka Pintu Ijtihad, Alih Bahasa Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka. Said, A.Fuad., 1999, Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra. Siroj, Said Aqil., 2006, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan. Sujuthi, Mahmud., Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press. Syukur, Amin., 1997, Zuhud di Abad Moderen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. van Bruinessen, Martin., 1996, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan. http://www.wahdah.or.id/wahdah- Wahdah Islamiyah Powered by Mambo Generated: 24 March, 2008, 13:50.