Rasionalisasi Dan Saintifikasi OT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RASIONALISASI DAN SAINTIFIKASI OT Obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia lebih dikenal dengan nama “jamu”. Saintifkasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2010). Dalam Permenkes No. 03/MENKES/PER/2010 tentang Saintifikasi Jamu dinyatakan bahwa salah satu tujuan Saintifikasi Jamu adalah memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Di sisi lain, menurut Undang undang No. 36 tahun 2009 pasal 108 serta Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Praktik kefarmasian menyatakan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan memuat pelayanan kesehatan tradisional dalam bab (bagian) tersendiri, yakni Bagian Ketiga tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional mulai Pasal 59 sampai dengan Pasal 61. Pasal 59 membagi pelayanan kesehatan tradisional menjadi pelayanan kesehatan tradisional berbasis keterampilan dan pelayanan kesehatan tradisional berbasis ramuan. Program Saintifikasi Obat Herbal atau Jamu, di mana menggunakan pendekatan penelitian berbasis pelayanan, merupakan suatu upaya terobosan (breakthrough) dalam rangka mempercepat penelitian jamu di sisi hilir (sisi pelayanan). Sebagaimana kita ketahui, penelitian terkait jamu (tanaman obat Indonesia) sudah banyak sekali dikerjakan di sisi hulu, yakni penelitian terkait budidaya dan studi pre-klinik, baik invitro maupun in-vivo (uji hewan), sementara uji klinik pada manusia terkait khasiat dan keamanan masih sangat terbatas (Badan Litbang Kesehatan,2011). Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa baru terdapat enam fitofarmaka yang sudah mendapat ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dalam program Saintifikasi Jamu, di samping penelitiannya sendiri, yang krusial adalah pengembangan infrastruktur jejaring dokter Saintifikasi Jamu (dokter SJ), yang berfungsi sebagai jejaring penelitian berbasis pelayanan (konsep penelitian-pelayanan/lit-yan). Dengan pengembangan infrastruktur jejaring dokter SJ maka akan berkembang ujung tombak pelaku uji klinis jamu, sehingga penelitian di sisi hilir dapat diakselerasi. Sebagaimana dimaklumi, bahwa dua hal penting untuk dapat berjalannya penelitian klinis (termasuk uji klinis) adalah adanya himpunan pasien (subjek) dan himpunan peneliti. The crucial points of clinical research, there must be available the pooling patients and the pooling of researchers (Goh Pik Pin, 2010). Dengan adanya jejajaring dokter SJ, baik praktik mandiri, praktik di puskesmas, maupun praktik di poli komplementer dan alternatif rumah sakit, maka akan dapat disediakan pasien sebagai subjek penelitian uji klinik jamu dan juga dokter peneliti jamu. Untuk menjalankan program Saintifikasi Jamu tersebut, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1334 tahun 2010 dibentuklah



Komisi Nasional Saintifikasi Jamu (Komnas SJ). Tugas dan wewenang Komnas SJ adalah: 1. Membina pelaksanaan Saintifikasi Jamu 2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu 3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu (metodologi penelitian jamu) 4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes bahan jamu, khususnya segi budi daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan, yang layak digunakan untuk penelitian 5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang produksi jamu 6. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek penelitiannya 7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifi kasi jamu 8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya 9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum serta sertifikasi kompetensi 10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian pelayanan praktik/klinik jamu 11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 12. Membina Komisi Daerah Saintifi kasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota 13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu kepada Menteri. Syarat Ketenagaan Saintifikasi Jamu: a) Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya. b) Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. c) Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. d) Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (STTPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.



contoh tanaman obat yang dapat digunakan untuk upaya preventif, promotif, maupun kuratif dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Sebagaimana yang terdapat dalam buku Vademekum Tanaman Obat untuk Saintifikasi Jamu Jilid 1 dan 2, beberapa tanaman obat tersebut adalah sebagai berikut: 1) Herba Sambiloto ( Andrographis paniculata) berkhasiat meredakan demam, pengobatan diare akut, dan berfungsi sebagai imunostimulan. 2) Kulit batang Pule ( Alstonia scholaris L.) digunakan untuk pengobatan diabetes mellitus, analgetik, dan antipiretik. 3) Daun dan herba Seledri ( Apium graveolens L.) berkhasiat untuk diuretik, peluruh batu ginjal, anti asam urat, penurun kolesterol, antimikroba parasit serta antihipertensi. 4) Daun Pegagan (Centella asiatica L. Urban) berkhasiat untuk antihipertensi, antistres, antikoagulan, dan antikeloid. 5) Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza R.) berkhasiat untuk hepatoprotektor. 6) Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia L.) berkhasiat sebagai pelangsing sedangkan bijinya untuk gangguan pencernaan. 7) Herba Meniran ( Phyllanthus niruri L.) berkhasiat untuk diuretik, antiradang, hepatoprotektor, antipiretik, dan meningkatkan daya tahan tubuh. 8) Daun Sendok ( Plantago mayor L.) berkhasiat sebagai penyembuh luka, antidiare, diuretik, antipiretik, antiinflamasi, analgesik, dan antioksidan, sedangkan bijinya berfungsi sebagai laksatif, antiinflamasi dan karminatif. 9) Batang Brotowali (Tinospora crispa L.) berkhasiat untuk antidiabetes. 10) Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) berkhasiat untuk pengobatan nyeri sendi, diare, radang mata, dan asam urat. 11) Rimpang Teki (Cyperus rotundus L.) berkhasiat untuk alergi dan radang. Rasionalisasi Obat atau Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah yang memadai dan biaya yang rendah. Tujuan dari penggunaan obat yang rasional yakni untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang dekat dengan harga yang terjangkau Dampak negatif yang ditimbulkan akibat dari penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi dalam pemilihan obat yang tidak tepat, pola penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya meningkatkan efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan dan sebagainya (Depkes,2000). Penggunaan obat yang tidak tepat dapat berupa penggunaan berlebihan, penggunaan yang kurang dari seharusnya, kesalahan dalam penggunaan resep atau tanpa resep, polifarmasi, dan swamedikasi tidak tepat (WHO, 2010). Obat merupakan produk yang diperlukan untuk proses penyembuhan sehingga penggunaannya harus



secara rasional dan sesuai dengan kriteria yang berlaku, Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak mencakup sebagai berikut:    



Ketetapan indikasi. Ketepatan pemilihan obat. Ketetapan cara pakai dan dosis obat Ketetapan pasien (Santoso, dkk., 2006)