Referat Abses Leher Dalam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ABSES LEHER DALAM



Disusun oleh: SEPHORA PARAMASITA C. 030.11.270



Pembimbing: dr. M. Bima Mandraguna, Sp.THT-KL dr. Aditya Arifianto, SP.THT-KL



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 10 JUNI – 12 JULI 2019



1



LEMBAH PENGESAHAN



Makalah referat yang berjudul:



ABSES LEHER DALAM Yang disusun oleh: SEPHORA PARAMASITA C. 030.11.270



Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing: dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL



Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang Periode 10 Juni 2019 – 12 Juli 2019



Karawang, Juli 2019



Pembimbing I



dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL



Pembimbing II



dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL



i



KATA PENGANTAR



Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul “Abses Leher Dalam” dapat selesai pada waktunya. Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu Penyakit THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. dr. M. Bima Mandraguna, Sp.THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, SP.THT-KL, dokter pembimbing yang telah memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini. 2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke depannya menjadi lebih baik. Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu penyakit THT.



Karawang, Juli 2019



Sephora Paramasita C.



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii DAFTAR ISI …................................................................................................... iv



BAB I



PENDAHULUAN ............................................................................... 1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2 2.1



Anatomi Terkait ....................................................................... 2



2.2



Abses Leher Dalam ................................................................... 6



2.2.1 Abses Peritonsil ........................................................................ 6 2.2.1.1 Etiologi ..................................................................................... 6 2.2.1.2 Manifestasi Klinis ..................................................................... 6 2.2.1.3 Diagnosis .................................................................................. 8 2.2.1.4 Penatalaksanaan ...................................................................... 10 2.2.2 Abses Retrofaring ................................................................... 15 2.2.2.1 Etiologi ................................................................................... 16 2.2.2.2 Manifestasi Klinis ................................................................... 16 2.2.2.3 Diagnosis ................................................................................ 17 2.2.2.4 Penatalaksanaan ...................................................................... 18 2.2.3 Abses Parafaring ..................................................................... 19 2.2.3.1 Etiologi ................................................................................... 19 2.2.3.2 Manifestasi Klinis ................................................................... 19 2.2.3.3 Diagnosis ................................................................................ 19 2.2.3.4 Penatalaksanaan ...................................................................... 20 2.2.4 Abses Submandibula .............................................................. 23 2.2.4.1 Etiologi ................................................................................... 23



iii



2.2.4.2 Manifestasi Klinis ................................................................... 24 2.2.4.3 Diagnosis ................................................................................ 26 2.2.4.4 Penatalaksanaan ...................................................................... 26



BAB III PENUTUP ......................................................................................... 27



DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 30



iv



BAB I PENDAHULUAN



Infeksi leher dalam dapat dapat menjadi ancaman serius jika tidak ditatalaksana secara adekuat. Sebagian besar infeksi leher dalam timbul dari fokus pada permukaan mukosa saluran aerodigestif atas atau dari gigi karies. Abses leher terus terjadi di ruang potensial antara lapisan fasia serviks dalam.9 Meskipun dalam beberapa kasus manifestasi klinis tampak jelas, namun pada beberapa infeksi dalam derajat keparahan dan luas infeksi yang berbeda manifestasi klinis dapat meragukan karena keterbatasan pemeriksaan fisik dan kompleksitas anatomi yang terlibat.5 Manifestasi klinis infeksi leher dalam tergantung pada ruang yang terinfeksi, diantaranya rasa nyeri, demam, pembengkakan, disfagia, trismus, disfonia, otalgia dan dyspnoea. Perjalan progresif cepat dengan hasil fatal dapat terjadi terutama pada pasien dengan sistem imun yang lemah (misalnya diabetes mellitus, infeksi HIV, terapi steroid, kemoterapi).6 Keterlambatan dalam penatalaksanaan yang tepat meningkatkan risiko komplikasi yang mengancam jiwa karena gangguan terhadap struktur vital seperti jalan napas, pembuluh darah servikal, saraf optik, ruang intrakranial, dan kanalis vertebra. Meskipun diagnosis infeksi leher dalam didasarkan pada penilaian klinis, namun luasnya proses penyakit seringkali sulit untuk dievaluasi menggunakan inspeksi atau palpasi.5 Pencitraan dapat bermanfaat dalam menggambarkan lokasi anatomi infeksi yang dan mendeteksi komplikasi. Seringkali sumber infeksi juga dapat diidentifikasi. Patensi jalan napas agresif, antibiotik intravena dan drainase bedah merupakan landasan penatalaksanaan abses leher dalam.6



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Anatomi Terkait 2.1.1 Lapisan Fasia Leher Dalam Fasia servikalis:10 A. Fasia servikalis superfisialis B. Fasia servikalis profunda : 1) Lapisan superfisial 2) Lapisan media : a) Divisi muskular b) Divisi viscera 3) Lapisan profunda : a) Divisi alar b) Divisi prevertebra



Gambar 1 Lapisan fasia leher (A) Fasia servikalis superfisialis. (B) Fasia servikalis profunda. (C) Divisi muskular lapisan media fasia servikalis



2



profunda. (D) Divisi viseral lapisan media fasia servikalis profunda (E) Lapisan profunda fasia servikalis profunda. (F) Selubung karotis. Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda. 10 Fasia servikalis superfisialis terletak tepat dibawah kulit leher berjalan dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah ke arah toraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna. Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu :18 a) Lapisan superfisial Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak sampai daerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan melekat pada klavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius, m. masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal, investing layer , lapisan pembungkus dan lapisan anterior. b) Lapisan media Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus m. sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat pada os hioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula dan skapula. Divisi viscera membungkus organ – organ anterior leher yaitu kelenjar tiroid, trakea dan esofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian posterior sampai ke esofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari 3



divisi viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m. buccinator. c) Lapisan profunda Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space. Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari danger space dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis profunda ini membentuk selubung karotis (carotid sheath ) yang berjalan dari dasar tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks.



Gambar 2 Area anatomi yang dipertimbangkan dalam Infeksi Leher Dalam. m, otot;, † ruang retrofaringeal; *, danger space. 4



Gambar 3 Ruang Fasia Leher10



2.1.2 Ruang Leher Dalam Setidaknya terdapat 11 ruang leher dalam di dalam kerangka kompleks yang dibentuk oleh bidang fasia leher. Secara anterior, hubungan fasia dengan tulang hyoid yang kuat merupakan barier penting terhadap penyebaran infeksi ke bawah. Maka dari itu, ruang leher dalam sering diklasifikasikan menjadi tiga kelompok anatomi berdasarkan hubungannya dengan hyoid: 10 a) Ruang yang berada di atas level hyoid (ruang peritonsillar, submandibular, parapharyngeal, masticator / temporal, bukal, dan parotid) 5



b) Ruang yang melibatkan seluruh panjang leher (ruang retrofaringeal, danger, prevertebral, dan karotis) c) Ruangan terletak di bawah hyoid, ruang viseral anterior, atau pretracheal, 2.2 Abses Leher Dalam Abses leher dalam merupakan abses yang terbentuk di ruang potensial leher dalam.



2.2.1 Abses Peritonsil Abses Peritonsil atau quinsy, adalah infeksi leher dalam yang paling sering terjadi. Meskipun sebagian besar terjadi pada orang dewasa muda (dekade kedua dan ketiga), peningkatan risiko juga terjadi pada keadaan imunokompromised dan pasien diabetes. Kebanyakan abses timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau faringitis, tetapi juga dapat merupakan penyebaran odontogenik atau trauma mukosa lokal. 4



2.2.1.1 Etiologi Pembentukan abses dapat tidak berasal dari tonsil itu sendiri. Beberapa teori menunjukkan bahwa kelenjar Weber berkontribusi terhadap pembentukan abses peritonsillar. Kelompok kelenjar saliva minor ini terletak di ruang diatas tonsil dalam palatum molle dan dihubungkan oleh duktus ke permukaan tonsil.12 Kelenjar ini membersihkan area tonsil dari debris dan membantu mencerna partikel makanan yang terperangkap dalam kripta tonsillar. Jika kelenjar Weber mengalami inflamasi, maka dapat terjadi selulitis lokal. Seiring infeksi berlanjut, duktus ke permukaan tonsil menjadi terhambat akibat peradangan di sekitarnya. Terjadi tanda-tanda klasik dan gejala abses peritonsillar yaitu nekrosis jaringan dan pembentukan pus. Abses ini umumnya terbentuk di dalam palatum molle, tepat di atas kutub superior tonsil yaitu lokasi khas abses peritonsillar. Rendahnya insidensi abses peritonsil pada pasien yang telah menjalani tonsilektomi mendukung teori bahwa kelenjar Weber dapat berkontribusi terhadap patogenesis abses peritonsillar. Variabel klinis lain yang terkait dengan pembentukan abses peritonsillar diantaranya penyakit periodontal dan merokok.7 6



2.2.1.2 Manifestasi Klinis Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Pasien dengan abses peritonsillar tampak sakit dan mengeluhkan malaise, demam, nyeri tenggorokan yang semakin memburuk, dan disfagia. Nyeri tenggorokan dirasakan jauh lebih berat di sisi yang terkena dan seringkali menjalar ke telinga di sisi ipsilateral. Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan trismus, dengan kesulitan membuka mulut sekunder karena inflamasi dan spasme muskulus masticator. Terdapat kesulitan menelan terasa nyeri. Kombinasi odynophagia dan disfagia tersebut sering mengakibatkan akumulasi saliva dan hipersalivasi. Pasien sering berbicara dengan suara teredam atau "hot potato voice". Dapat dipalpasi limfadenitis servikal pada sisi yang terkena. Pemeriksaan orofaring menunjukkan edema tegang dan eritema yang pada pilar tonsil anterior dan palatum molle yang menutupi tonsil yang terinfeksi. Tonsil umumnya bergeser ke inferior dan medial dengan deviasi kontralateral uvula15 (Gambar 4).



7



Gambar 4 Pasien dengan abses peritonsillar kanan. Perhatikan pembengkakan palatum mole dan penampakan abses.



Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang paling umum pada pasien dengan abses peritonsillar dirangkum dalam Tabel 1. Potensi komplikasi abses peritonsillar diuraikan pada Tabel 2. Jika tidak diterapi secara adekuat, dapat terjadi komplikasi yang mengancam jiwa dari obstruksi jalan nafas atas, abses ruptur dengan aspirasi pus, atau perluasan infeksi lebih lanjut ke dalam jaringan leher, yang dapat berisiko terhadap struktur neurologis dan vaskular. 12



Tabel 1 Gejala dan Temuan Pemeriksaan Fisik yang Umum Pada Abses Peritonsilar4 Gejala



Temuan Pemeriksaan Fisik



Disfagia



Limfadenitis servikal



Demam



Hipersalivasi



Malaise



Edema dan eritema palatum mole



Odinofagi



dengan deviasi uvula kearah sisi



Otalgia (ipsilateral)



kontralateral dan pembesaran tonsil



Nyeri tenggorokan hebat, lebih berat Suara teredam (suara “hot potato”) satu sisi



Nafas berbau tengik atau berbau busuk (fetor ex ore) Trismus Tabel 2 Komplikasi Abses Peritonsilar4



Obstruksi jalan napas Pneumonitis aspirasi atau abses paru sekunder akibat ruptur abses peritonsillar Perluasan infeksi ke dalam jaringan leher atau mediastinum superior Perdarahan yang mengancam jiwa akibat erosi atau nekrosis septik kedalam selubung karotis Gejala sisa poststreptokokus, seperti glomerulonefritis dan demam rematik, jika infeksi disebabkan oleh streptokokus grup A 8



2.2.1.3 Diagnosis Diagnosis abses peritonsillar biasanya ditegakkan berdasarkan presentasi klinis dan pemeriksaan fisik. Kondisi lain yang perlu dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis diantaranya selulitis peritonsillar, abses retrofaring, abses retromolar, mononukleosis infeksius, epiglottitis (terutama pada anak), dan neoplasma (limfoma atau karsinoma). 4 Pasien dengan selulitis peritonsillar seringkali datang dengan gejala yang mirip dengan abses peritonsillar, sehingga sulit untuk membedakan antara kedua kondisi tersebut. Pada selulitis peritonsillar, area antara tonsil dan kapsul tampak eritematosa dan edematosa, tanpa area fluktuasi yang jelas atau pembentukan pus. Seringkali, kedua kondisi ini dibedakan dengan tidak adanya pus pada aspirasi jarum, yang menunjukkan selulitis. Jika adanya abses masih belum dapat dipastikan setelah aspirasi jarum, maka dapat dilakukan pemeriksaan radiologis. Computed tomography (CT) dengan kontras dapat digunakan untuk menunjukkan keberadaan dan luasnya abses (Gambar 5). Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ultrasonografi intraoral, jika tersedia, dapat secara akurat mengidentifikasi dan membedakan abses dari selulitis. 4



Gambar 5. CT Scan dari Abses peritonsil dextra 9



Gambar 6. Ultrasonografi dari abses peritonsil 15



Jika terdapat kecurigaan bahwa infeksi telah menyebar di luar ruang peritonsillar atau jika terdapat komplikasi yang melibatkan ruang leher lateral, diperlukan CT atau magnetic resonance imaging (MRI). Infeksi leher lateral harus dicurigai jika terdapat pembengkakan atau indurasi di bawah sudut. mandibula atau penonjolan medial dinding faring. Selain secara akurat mendiagnosis abses peritonsillar, CT dapat mendeteksi potensi gangguan jalan napas dan menunjukkan penyebaran infeksi ke ruang leher dalam yang berdekatan. MRI lebih unggul dari CT untuk menilai jaringan lunak dan oleh karena itu lebih baik dalam mendeteksi komplikasi dari infeksi leher dalam, seperti trombosis vena jugularis internal atau erosi abses ke dalam selubung karotis. Kerugian MRI yaitu waktu pemindaian lebih lama, biaya lebih mahal, dan berpotensi terhadap klaustrofobia. 11



2.2.1.4 Penatalaksanaan Landasan pengobatan untuk abses peritonsillar adalah drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri. 4 A. Drainase Prosedur drainase disarankan untuk sebagian besar pasien yang datang dengan abses peritonsillar. Tindakan drainase tidak dilakukan pada abses 10



kecil (kurang dari 1 cm) tanpa suara yang teredam, hipersalivasi, atau trismus. Prosedur utama diantaranya aspirasi jarum, insisi dan drainase, atau tonsilektomi langsung (pada saat datang atau segera sesudahnya). Meskipun tidak lagi dilakukan secara rutin, tonsilektomi langsung harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki indikasi kuat, terutama pada pasien yang memiliki riwayat tonsilitis berulang. 4



Suspek abses peritonsilar



Aspirasi jarum



Terdapat pus



Gejala odynophagia, trismus, dan disfagia membaik dalam waktu sekitar empat jam setelah drainase; terapi sebagai rawat jalan



Tidak terdapat pus



Gejala odynophagia, trismus, dan disfagia tidak membaik; butuh rawat inap



Kemungkinan selulitis peritonsilar, namun pertimbangkan diagnosis lain



Jika gejala berat, pertimbangkan perawatan rawat inap dengan cairan dan antibiotik intravena



Jika diagnosis tetap tidak pasti,pertimbangkan pencitraan atau konsultasi otolaringologi



Gambar 7 Algoritma Penatalaksanaan Suspek Abses Peritonsilar



Sebagian besar dapat ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotik oral setelah drainase dengan anesthesia lokal. Sedangkan pada pasien yang mengalami immunocompromised, dengan sumbatan jalan napas, tidak dapat mentoleransi pemberian antibiotik oral, pasien dehidrasi dan pasien anak perlu dilakukan rawat inap4



Tabel 3 Teknik Aspirasi Jarum Abses Peritonsillar 11



Pastikan pengaturan cocok untuk menatalaksana komplikasi jalan napas. Periksa apakah tersedia penerangan dan suction yang memadai. Minta pasien untuk duduk sedikit ke depan dan setinggi mata ke dokter. Palpasi palatum molle dengan lembut untuk melokalisasi area yang berfluktuasi. Berikan anestesi topikal menggunakan semprotan Cetacaine. Tunggu beberapa menit hingga anestesi topikal mulai bekerja, kemudian buat 6 hingga 10 mL lidokain 1% hingga 2% dengan epinefrin. Gunakan jarum 25G 1½ inci untuk menyuntikkan anestesi lokal ke dalam mukosa di atas area yang berfluktuasi. Retraksi lidah menggunakan penekan lidah. Masukkan jarum spinal ukuran 18G yang disambungkan pada spuit 10 mL kedalam daerah dengan fluktuasi maksimum dan aspirasi. Jangan memasukkan jarum lebih dari 8 mm. Jika positif pus, aspirasi sampai tidak ada pus yang keluar. Jika negatif pus, tarik jarum dan arahkan kembali sedikit lebih rendah; waspadai arteri karotid pada 2 cm posterior dan lateral dari pilar tonsil, dan risiko tertusuk meningkat dengan semakin rendah jarum diarahkan. Jika aspirasi tidak berhasil, lakukan pencitraan untuk mengonfirmasi keberadaan abses; rencanakan konsultasi THT untuk kemungkinan insisi dan drainase yang sesuai.



12



Gambar 7 Hubungan abses peritonsil terhadap struktur sekitarnya



B. Terapi Antibiotik Mikroorganisme



pada



abses



peritonsillar



merupakan



campuran



polimikroba dari bakteri aerob dan anaerob. Grup A streptococcus dan grup



Streptococcus



milleri



(subkelompok



viridans



streptococci)



merupakan bakteri aerob yang paling umum ditemukan pada kultur, sedangkan Fusobacterium necrophorum merupakan bakteri anaerob yang paling dominan. Organisme yang paling sering berhubungan dengan abses peritonsillar dipaparkan pada tabel 4. Terapi antibiotik empiris awal harus mencakup antimikroba yang efektif melawan streptokokus dan bakteri anaerob oral. Laporan kultur menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih besar dari 50% di antara patogen selain streptococcus yang ditemukan pada abses peritonsillar yang mengarahkan pada penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini pertama. Macrolide harus 13



dihindari sekunder untuk resistensi Fusobacterium. Tabel 5 menunjukkan daftar rejimen antimikroba yang disarankan. 4



Tabel 4 Organisme yang Paling Sering Berhubungan dengan Abses Peritonsillar Bakteri aerob



Bakteri anaerob



Corynebacterium



Bacteroides



Streptococcus Grup A



Fusobacterium



Staphylococus aureus



Peptostreptococcus



Kelompok Streptococcus milleri



Prevotella



(S. intermedius, S. anginosus, S. constellatus)



Tabel 5 Regimen Antimikroba yang Disarankan untuk Terapi Abses Peritonsillar Terapi intravena Penicillin G, 10 juta unit setiap 6 jam, ditambah metronidazole (Flagyl), 500 mg setiap 6 jam Ampisilin / sulbaktam (Unasyn), 3 g setiap 6 jam Sefalosporin generasi ketiga (mis., Ceftriaxone, 1 g setiap 12 jam) plus metronidazol, 500 mg setiap 6 jam Piperacillin / tazobactam (Zosyn), 3,375 g setiap 6 jam (dosis harian maksimum 18 g) Jika alergi penisilin, maka gunakan klindamisin, 900 mg setiap 8 jam Jika curiga MRSA, maka gunakan vankomisin, 1 g setiap 12 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam Terapi oral Penisilin VK, 500 mg setiap 6 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam Amoksisilin / klavulanat (Augmentin), 875 mg setiap 12 jam 14



Sefalosporin generasi ketiga (mis., Cefdinir [Omnicef], 300 mg setiap 12 jam) ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam Clindamycin, 300 hingga 450 mg setiap 8 jam Jika curiga MRSA, maka gunakan linezolid (Zyvox), 600 mg setiap 12 jam, ditambah metronidazol, 500 mg setiap 6 jam Catatan: terapi harus dilanjutkan sampai 10-14 hari MRSA = methicillin-resistant Staphylococcus aureus



C. Terapi Adjuvan Kortikosteroid Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat inflamasi dan edema palatum molle. Meskipun kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati edema dan inflamasi pada penyakit otolaringologis lainnya, penggunaannya sebagai bagian dari rejimen pengobatan untuk abses peritonsillar belum diteliti secara luas. Dua penelitian menyelidiki tentang apakah penambahan dosis kortikosteroid tunggal diberikan secara intramuskular atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga 3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat pemulihan. Pasien yang menerima kortikosteroid melaporkan penurunan nyeri dan peningkatan asupan cairan oral dalam 12 hingga 24 jam dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid secara empiris untuk pengobatan abses peritonsillar tampaknya mempercepat pemulihan yang digambarkan dengan hari rawat inap yang lebih singkat dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun, diperlukan penelitian tambahan sebelum menambahkan penggunaan rutin kortikosteroid dalam protokol penatalaksanaan abses peritonsil. 4



2.2.2 Abses Retrofaring Abses retrofaring adalah kumpulan pus pada ruang retrofaring. Hal ini terjadi dalam dua bentuk yaitu abses retrofiring akut primer yang biasa terjadi pada bayi dan anak (usia kurang dari 5 tahun): dan abses retrofaring kronis yang umum terjadi



15



pada



dewasa.



Kedua



jenis



abses



ini



berbeda



dalam



etiologi



dan



penatalaksanaannya.13



2.2.2.1 Etiologi Abses dapat timbul mengikuti penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh anak seperti demam scarlet, campak dll, disamping itu infeksi tonsil, adenoid dan nasofaring juga dapat menyebabkan pembentukan abses retrofaring. Meskipun jarang benda asing seperti tulang ikan dan jarum serta trauma dinding posterior faring juga dapat menyebabkan abses retrofaring. 13 Abses terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retrofaring Henle, yang terletak di kedua sisi retrofaring. Kelenjar ini menerima limfatik dari rongga hidung, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Kelenjar ini akan mengalami atrofi antara usia 3 dan 5 tahun, sehingga abses retrofaring akut jarang terjadi pada anak di atas usia 5 tahun. kelenjar Henle ketika terinfeksi awalnya akan mengalami adenitis, kemudian periadenitis dan pembentukan abses terjadi. Akumulasi pus biasanya satu sisi. 13 Pada orang dewasa, abses lebih sering terjadi akibat inokulasi langsung dan biasanya terjadi karena trauma tumpul atau penetrasi dari benda asing yang tertelan, laringoskopi, endoskopi, prosedur gigi, atau prosedur orofaringeal lainnya.8



2.2.2.2 Manifestasi Klinis Manifestasi abses retrofaringeal dapat bervariasi dan tidak ada kombinasi spesifik dari tanda dan gejala yang bersifat diagnostik. Pasien dapat mengeluh demam, nyeri leher, disfagia, odinofagia, penurunan asupan oral, dan hipersalivasi. Jika infeksi menyebar kebawah kearah mediastinum, pasien mungkin mengeluhkan nyeri dada dan dyspnea. 2 Temuan pemeriksaan fisik dapat meliputi limfadenopati serviks, penurunan mobilitas leher, tortikolis, trismus, stridor, hipersalivasi, perubahan suara, dan penonjolan dinding posterior faringeal. Jika infeksi berlanjut, pasien akan tampak semakin sakit dan mungkin menunjukkan manuver postur yang berbeda untuk meningkatkan patensi jalan napas. 1 16



2.2.2.3 Diagnosis Radiografi leher lateral dapat membantu untuk mendukung diagnosis (Gambar 1). Hasil pencitraan akan menunjukkan pelebaran jaringan lunak prevertebralis anterior sampai tulang belakang. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi adanya pelebaran fokus atau emfisema di ruang retrofaring, yang dapat meningkatkan kecurigaan terhadap abses retrofaringeal. Sayangnya, radiografi leher lateral memiliki tingkat positif palsu yang tinggi karena posisi pasien, proses menelan, dan respirasi. Selain itu, radiografi leher tidak dapat membedakan antara selulitis dan abses yang membutuhkan drainase. 1



Gambar 8 Foto polos servikal lateral menunjukkan pembengkakan retrofaring



CT leher dengan kontras intravena merupakan pemeriksaan yang lebih berharga untuk mengidentifikasi abses retrofaringeal. Abses retrofaringeal akan muncul sebagai kumpulan cairan yang terletak posterior faring dengan peradangan di sekitarnya (Gambar 2). CT dapat bermanfaat untuk mengevaluasi lokasi dan ukuran abses, serta tingkat patensi jalan nafas. Sementara CT sering dianggap sebagai modalitas pencitraan yang disukai, penelitian telah menunjukkan bahwa 17



keakuratan berkisar 78-92% bila dibandingkan dengan temuan intra-operatif, sehingga hasilnya harus ditafsirkan dengan hati-hati. 8



Gambar 9 CT servikal menunjukkan abses retrofaring



2.2.2.4 Penatalaksanaan Seiring dengan perkembangan abses retrofaring, maka semakin dapat menyebabkan gangguan jalan nafas. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi jalan nafas dan persiapan untuk mengintubasi pasien jika diperlukan. Jika memungkinkan, intubasi harus dilakukan secara fiberoptik dikarenakan adanya pembengkakan retrofaringeal dan potensi pecahnya abses. Kit krikotirotomi juga harus tersedia. 14 Sebagian besar infeksi bersifat polimikroba, dan pasien seringkai membutuhkan antibiotik spektrum



luas. Antibiotik tersebut



diantaranya



klindamisin, sefalosporin generasi ketiga (misalnya, ceftriaxone), atau penisilin yang resisten beta-laktamase (misalnya, ampisilin-sulbaktam atau piperacillintazobactam). Beberapa ahli juga merekomendasikan pemberian steroid bersamaan dengan antibiotik (metilprednisolon 1 mg / kg intravena) untuk mengurangi inflamasi. Perlu dilakukan konsutasi kepada otolaringologi untuk mengevaluasi drainase. Meskipun manajemen non-operasi dapat dipertimbangkan pada kasus pediatrik tertentu, namun pelaksanaan drainase yang tertunda pada kasus dewasa 18



telah dikaitkan dengan outcome yang lebih buruk dan umumnya tidak direkomendasikan. Pasien harus dirawat pada ruangan umum atau unit perawatan intensif (ICU) tergantung pada hasil pemeriksaan klinis mereka. Setiap kekhawatiran adanya gangguan pernapasan atau obstruksi jalan napas membutuhkan ICU untuk pemantauan lebih lanjut. 8



2.2.3 Abses Parafaring Abses parafaring adalah infeksi yang mengancam jiwa. Abses ini terjadi akibat penyebaran infeksi dari lokasi anatomi di sekitar ruang parafaring. Ruang ini berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini, dan karena itu, ketika pasien datang dengan abses parafaring, harus dilakukan pemeriksaan setiap ruang lain untuk memastikan bahwa tidak ada ruang lain yang terlibat.13



2.2.3.1 Etiologi Abses parafaring paling sering disebabkan oleh penyebaran infeksi dari tonsilitis akut. Infeksi odontogenik dan benda asing juga dapat terlibat sebagai etiologi. Dengan munculnya antibiotik poten untuk infeksi saluran pernapasan atas, insiden abses ruang leher dalam menurun. Namun, kasus abses leher yang dalam karena penurunan imunitas, kelemahan, infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan pengobatan yang tidak adekuat terus meningkat.16



2.2.3.2 Manifestasi Klinis Manifestasi demam (64%) dan malaise adalah gejala pertama yang muncul. Perkembangan infeksi menyebabkan odinofagia (55%), disfagia, ptyalisme. Asupan oral yang berkurang menyebabkan dehidrasi sekunder. Pemeriksaan fisik menunjukkan kekakuan leher (65%), perubahan dinding orofaringeal (55%), nyeri limfadenopati (36%). Pembengkakan servikal lateral (55%) menunjukkan akumulasi pus volume besar di ruang parafaring. 16 19



2.2.3.3 Diagnosis Pencitraan computed tomographic (CT) merupakan pemeriksaan radiologis pilihan. CT memberikan gambaran ukuran, lokasi abses dan posisi relatif terhadap pembuluh darah besar. Hubungan rongga abses dengan ruang leher lainnya, khususnya retrofaringeal sangat baik digambarkan pada CT scan (penyebaran ke ruang retrofaringeal berisiko terhadap mediastinitis yang mengancam jiwa). 16



2.2.3.4 Penatalaksanaan A. Farmakologis Dalam penatalaksanaan infeksi leher dalam, terapi antibiotik intensif dan drainase bedah saling melengkapi satu sama lain. Dehidrasi membutuhkan koreksi segera. Larutan Ringerlactate (RL) lebih dipilih untuk menjaga keseimbangan elektrolit serum. Jika volume abses kecil tanpa toksisitas sistemik, maka hanya diberikan terapi antibiotik. Jika kondisi umum memburuk atau ada kegagalan regresi rongga abses, maka disarankan dilakukan intervensi bedah. 16 Untuk 72 jam pertama terapi antibiotik harus empiris karena sebagian besar abses parafaring 'murni' tidak mudah diakses oleh aspirasi dan organisme komensal dapat mengkomplikasi masalah tersebut. Antibiotik pilihan intravena lini pertama adalah amoksisilin dengan asam klavulanat (150 mg/kg per hari) karena sebagian besar abses leher dalam mengandung organisme penghasil beta-laktamase. Spektrum bakteri anaerob diakukan dengan pemberian metronidazole intravena (0,5 gm) setiap 6 jam. 16 B. Patensi Jalan Napas Pemeriksaan klinis sangat penting untuk menilai penurunan celah interdental, penyempitan isthmus orofaringeall. Dalam kasus pungtum abses yang mengarah pada mukosa orofaringeal, tindakan laringoskopi langsung dapat berisiko terhadap pecahnya abses dan selanjutnya aspirasi abses. Intubasi fiberoptik merupakan pilihan yang baik untuk mengamankan jalan napas yang sulit dan menghindari trakeostomi. 16 20



Dalam kasus yang sulit, trakeostomi dengan anestesi lokal merupakan metode yang aman dan reliabel untuk menstabilkan jalan napas. Distorsi lapisan jaringan dan deviasi trakea karena rongga abses dapat mengakibakan trakeostomi menjadi sulit. Jika abses telah meluas ke kompartemen sentral, sebaiknya tidak dilakukan trakeostomi untuk mencegah mengalirnya pus kedalam trakea melalui stoma. 16



Abses parafaring



CT scan untuk menilai luasnya ruang abses



Identifikasi agen etiologi



Abses volume kecil, keadaan umum baik



Abses volume besar, keadaan umum buruk, gangguan jalan napas, imunosupresi



Antibiotik IV: respon baik, lanjutkan antibiotik dan terapi agen etiologi



Antibiotik + drainase bedah dan terapi agen etiologi



Antibiotik IV: respon parsial dan terapi agen etiologi



Gambar 10 Protokol diagnosis dan penatalaksanaan abses parafaring



C. Pendekatan Bedah



21



Pendekatan eksternal ke ruang parapharyngeal dilakukan melalui insisi horizontal pada lipatan kulit servikal. Digunakan tekhnik insisi insisi apron yang dimodifikasi dan insisi hockey stick tergantung pada luasnya abses, 1. Insisi apron yang dimodifikasi: Digunakan untuk mengekspos daerah submandibular dan bagian atas ruang parafaring (level I, II dan III). Insisi dimulai pada kurva segitiga submental ke bawah dengan lebar dua jari dari batas bawah mandibula menuju kartilago tiroid dan diperluas melintasi sternocleidomastoid (Gambar 11). Insisi dapat dimodifikasi sesuai dengan luasnya abses. 16



Gambar 11 Garis besar insisi apron yang dimodifikasi



2. Insisi hockey stick: Digunakan untuk mengekspos seluruh ruang parafaring. Insisi dimulai pada ujung mastoid dan memanjang melintasi segitiga posterior, kemudian melengkung tajam ke arah garis tengah dan berlanjut di sepanjang batas anterior sternokleidomastoid, berakhir sedikit di bawah sendi sternoklavikular (Gambar 12). Insisi dapat dimodifikasi sesuai dengan luas abses. 16



22



Gambar 12 Garis besar insisi hockey stick



Insisi diperdalam melalui platysma. Ruang parafaring dimasuki dengan mereraksi sternokleidomastoid posterior dengan diseksi tumpul. Langkah ini melindungi pembuluh darah jugularis internal dan pembuluh karotis. Rongga abses kemudian dimasuki dan didrainase. 16



2.2.4 Abses Submandibula Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula. Ruang submandibula terdiri dari sublingual yang berada di atas otot milohioid dan submaksila. Pus mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan proses menelan.13



23



Gambar 13 Abses Sumbandibular



2.2.4.1 Etiologi Infeksi ontogenik terlibat pada 70% kasus. Molar mandibula kedua merupakan sumber lokasi paling sering pada Angina Ludwig, molar mandibula ketiga juga sering terlibat.3 Meskipun infeksi ontogenik adalah rute untuk masuknya bakteri yang paling umum ke dalam ruang submandibular, namun terdapat penyebab lain. Fraktur mandibula, penindikan frenulum lingual dan lidah, dan injeksi vena jugularis semuanya dapat menjadi rute akses bakteri. Neoplasma dan kalkulus saliva juga dapat mengubah anatomi normal dan mengakibatkan infeksi persisten yang menyebabkan angina Ludwig. 3 Penyebab angina Ludwig seringkali adalah infeksi bakteri polimikroba yang diantaranya termasuk spesies Streptococcus grup A. Organisme yang sering ditemukan dalam kultur lainnya termasuk spesies Staphylococcus, Fusobacterium, dan Bacteroides. Pasien yang immunocompromised umumnya terinfeksi dengan organisme atipikal, seperti Pseudomonas, Escherichia coli, Candida, atau Clostridium. 3 Mayoritas angina Ludwig terjadi pada pasien tanpa penyakit komorbiditas, walaupun individu dengan diabetes mellitus, virus human immunodeficiency, malnutrisi, dan alkoholisme berada pada risiko yang meningkat untuk 24



mengembangkannya. Sebuah korelasi antara merokok dan kebersihan mulut yang buruk dengan perkembangan angina Ludwig telah ditunjukkan. 3



Gambar 14 Penyebaran abses dari gigi ke ruang submandibular dan sublingual



2.2.4.2 Manifestasi Klinis Gejala angina Ludwig bervariasi tergantung pada pasien dan derajat infeksi. Gejala umum dapat terjadi seperti pireksia, kelemahan, dan kelelahan sebagai akibat dari respon imun yang berhubungan dengan infeksi bakteri. Respon inflamasi menyebabkan edema pada leher dan jaringan ruang submandibular, submaksila, dan sublingual. Edema yang signifikan dapat menyebabkan trismus dan ketidakmampuan untuk menelan air liur. Nyeri, terutama dengan gerakan lidah, sering terjadi pada angina Ludwig. 3 Gejala yang menandai penyakit progresif dengan obstruksi jalan napas yang signifikan diantaranya gangguan pernapasan dengan dispnea, takipnea, atau stridor. Kebingungan atau perubahan status mental lainnya dapat terjadi karena hipoksia yang berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria juga dapat ditemukan. Dapat terjadi sepsis. Tanpa penatalaksanaan segera, infeksi submandibular juga dapat dengan cepat menyebar ke ruang mediastinum atau faringomaksilaris atau ke tulang, yang mengakibatkan osteomielitis. Pemeriksaan fisik kepala dan leher akan menunjukkan pembengkakan submandibular yang ditandai dengan kalus dan tegang (Gambar 15). Leher di 25



bawah dagu dan dasar mulut edematosa dan eritematosa. Lidah akan membesar karena pembengkakan jaringan lunak di bawahnya (Gambar 16). 3



Gambar 15 Pembengkakan submandibula bilateral, disfagia, dispnea, takikardia, dan pireksia.



Gambar 16 Obstruksi pernapasan atas akut yang disebabkan oleh perubahan posisi lidah



Tanda-tanda fisik yang terkait dengan penyakit yang lebih progresif dan obstruksi jalan nafas meliputi stridor yang dapat didengar, disfonia, dehidrasi berat, dan pembesaran kelenjar getah bening servikal. 3 26



2.2.4.3 Diganosis Diagnosis angina Ludwig dibuat berdasarkan manifestasi klinis. Pencitraan computed tomography atau magnetic resonance imaging sangat membantu dalam menentukan luas dan lokasi infeksi. 3 Pada tahun 1939, Grodinsky mengembangkan kriteria untuk diagnosis angina Ludwig's. Harus ada selulitis, bukan abses, dari ruang submandibular yang tidak pernah melibatkan hanya satu ruang dan biasanya bilateral; menghasilkan gangren dengan infiltrasi serosanguineous berbau busuk, namun sangat sedikit pus; melibatkan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi bukan struktur kelenjar; dan disebarkan perkontinuitaum dan bukan oleh limfatik. 3



2.2.4. 4 Penatalaksanaan Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum. 3



BAB III PENUTUP



Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus organ, otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda. Ruang leher dalam sering diklasifikasikan menjadi tiga kelompok anatomi berdasarkan hubungannya dengan hyoid: ruang yang berada di atas level hyoid (ruang peritonsillar, submandibular, parapharyngeal, masticator / temporal, bukal, dan parotid), ruang yang melibatkan seluruh panjang leher (ruang retrofaringeal, danger, prevertebral, dan karotis), ruangan terletak di bawah hyoid, ruang viseral anterior, atau pretracheal. Abses Peritonsil atau quinsy, adalah infeksi leher dalam yang paling sering terjadi. Kebanyakan abses timbul sebagai komplikasi tonsilitis atau faringitis, tetapi 27



juga dapat merupakan penyebaran odontogenik atau trauma mukosa lokal. Kelenjar Weber berkontribusi terhadap pembentukan abses peritonsillar. Abses ini umumnya terbentuk di dalam palatum molle, tepat di atas kutub superior tonsil yaitu lokasi khas abses peritonsillar. Pasien dengan abses peritonsillar tampak sakit dan mengeluhkan malaise, demam, nyeri tenggorokan yang semakin memburuk, dan disfagia. Nyeri tenggorokan dirasakan jauh lebih berat di sisi yang terkena dan seringkali menjalar ke telinga di sisi ipsilateral. Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan trismus karena inflamasi dan spasme muskulus masticator. Pemeriksaan orofaring menunjukkan edema tegang dan eritema yang pada pilar tonsil anterior dan palatum molle yang menutupi tonsil yang terinfeksi. Tonsil umumnya bergeser ke inferior dan medial dengan deviasi kontralateral uvula. Landasan pengobatan untuk abses peritonsillar adalah drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk mempertahankan hidrasi dan kontrol nyeri. Sebagian besar dapat ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan dengan antibiotik oral setelah drainase dengan anesthesia lokal. Sedangkan pada pasien yang mengalami immunocompromised, dengan sumbatan jalan napas, tidak dapat mentoleransi pemberian antibiotik oral, pasien dehidrasi dan pasien anak perlu dilakukan rawat inap. Abses retrofaring adalah kumpulan pus pada ruang retrofaring. Hal ini terjadi dalam dua bentuk yaitu abses retrofiring akut primer yang biasa terjadi pada bayi dan anak (usia kurang dari 5 tahun): dan abses retrofaring kronis yang umum terjadi pada dewasa. Abses dapat timbul mengikuti penyakit yang menurunkan daya tahan tubuh anak seperti demam scarlet, campak dll, Abses terbentuk akibat limfadenitis supuratif dari kelenjar retropharyngeal Henle, yang terletak di kedua sisi retrofaring. Pada orang dewasa, abses lebih sering terjadi akibat inokulasi langsung dan biasanya terjadi karena trauma tumpul atau penetrasi dari benda asing yang tertelan, laringoskopi, endoskopi, prosedur gigi, atau prosedur orofaringeal lainnya. Manifestasi abses retrofaringeal dapat bervariasi dan tidak ada kombinasi spesifik dari tanda dan gejala yang bersifat diagnostik. Temuan pemeriksaan fisik dapat meliputi limfadenopati serviks, penurunan mobilitas leher, tortikolis, trismus, 28



stridor, hipersalivasi, perubahan suara, dan penonjolan dinding posterior faringeal. Jika infeksi berlanjut, pasien mungkin menunjukkan manuver postur yang berbeda untuk meningkatkan patensi jalan napas. Seiring dengan perkembangan abses retrofaring, maka semakin dapat menyebabkan gangguan jalan nafas. Penting untuk mengevaluasi jalan nafas dan persiapan untuk mengintubasi pasien jika diperlukan. Jika memungkinkan, intubasi harus dilakukan secara fiberoptik. Sebagian besar infeksi bersifat polimikroba, dan pasien seringkai membutuhkan antibiotik spektrum luas. Abses parafaring terjadi akibat penyebaran infeksi dari lokasi anatomi di sekitar ruang parafaring. Ruang ini berhubungan dengan setiap ruang leher dalam lainnya dan juga berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal dari ruang mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring dan peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini. Manifestasi demam dan malaise adalah gejala pertama yang muncul. Perkembangan infeksi menyebabkan odinofagia, disfagia, ptyalisme. Asupan oral yang berkurang menyebabkan dehidrasi sekunder. Pemeriksaan fisik menunjukkan kekakuan



leher,



perubahan



dinding



orofaringeal,



nyeri



limfadenopati.



Pembengkakan servikal lateral menunjukkan akumulasi pus volume besar di ruang parafaring. Dalam penatalaksanaan infeksi leher dalam, terapi antibiotik intensif dan drainase bedah saling melengkapi satu sama lain. Dehidrasi membutuhkan koreksi segera. Larutan Ringerlactate (RL) lebih dipilih untuk menjaga keseimbangan elektrolit serum. Jika volume abses kecil tanpa toksisitas sistemik, maka hanya diberikan terapi antibiotik. Jika kondisi umum memburuk atau ada kegagalan regresi rongga abses, maka disarankan dilakukan intervensi bedah. Pendekatan eksternal ke ruang parapharyngeal dilakukan melalui insisi horizontal pada lipatan kulit servikal. Digunakan tekhnik insisi insisi apron yang dimodifikasi dan insisi hockey stick tergantung pada luasnya abses. Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula. Ruang submandibula terdiri dari sublingual yang berada di atas otot milohioid dan submaksila. Pus mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke atas dan 29



ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan proses menelan. Penyebab angina Ludwig seringkali adalah infeksi bakteri polimikroba yang diantaranya termasuk spesies Streptococcus grup A. Organisme yang sering ditemukan dalam kultur lainnya termasuk spesies Staphylococcus, Fusobacterium, dan Bacteroides. Pasien yang immunocompromised umumnya terinfeksi dengan organisme atipikal, seperti Pseudomonas, Escherichia coli, Candida, atau Clostridium. Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spektrum luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.



30



DAFTAR PUSTAKA



1.



Bochner R, Gangar M, Belamarich P. A Clinical Approach to Tonsillitis, Tonsillar Hypertrophy, and Peritonsillar and Retropharyngeal Abscesses. Pediatrics in Review,38(2), 81-92. doi:10.1542/pir.2016-0072



2.



Cirilli A. Emergency Evaluation and Management of the Sore Throat. Emergency Medicine Clinics of North America, 31(2), 501-515. doi:10.1016/j.emc.2013.01.002



3.



Costain N, Marrie T J. Ludwigs Angina. The American Journal of Medicine,124(2), 115-117. doi:10.1016/j.amjmed.2010.08.004



4.



Galioto N J. Peritonsillar Abscess. Am Fam Physician. 2017. 95(8), 501-506.



5.



Hegde A N, Mohan, S, Pandya A, & Shah G V. Imaging in Infections of the Head and Neck. Neuroimaging Clinics of North America,22(4), 727-754. doi:10.1016/j.nic.2012.05.007



6.



Hedge A, & Mohan S, & Eng H L W. Infections of the deep neck spaces. Singapore medical journal. 2012. p.53. 305-11; quiz 312.



7.



Hidaka H, Kuriyama S, Yano H, Tsuji I, & Kobayashi T. 2017. Precipitating factors in the pathogenesis of peritonsillar abscess and bacteriological significance of the Streptococcus milleri group. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases,30(4), 527-532. doi:10.1007/s10096010-1114-9



8.



More Than a Sore Throat: Evaluation and Management of Retropharyngeal Abscess in the Adult. (2017, October 23). Retrieved from http://www.emdocs.net/sore-throat-evaluation-managementretropharyngeal-abscess-adult/



9.



Motahari S J, Poormoosa R, Nikkhah M, Bahari M, Shirazy S M, & Khavarinejad F. 2014. Treatment and Prognosis of Deep Neck Infections. Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery,67(S1), 134-137. doi:10.1007/s12070-014-0802-7



10.



Wineski L E, & Snell R S. 2019. Snells clinical anatomy by regions. Philadelphia: Wolters Kluwer.



31



11.



Powell E L, Powell J, Samuel J R, Wilson J A. 2013. A review of the pathogenesis of adult peritonsillar abscess: Time for a re-evaluation. Journal of Antimicrobial Chemotherapy,68(9), 1941-1950. doi:10.1093/jac/dkt128



12.



Powell J, Wilson J. 2012. An evidence-based review of peritonsillar abscess. Clinical Otolaryngology,37(2), 136-145. doi:10.1111/j.17494486.2012.02452.x



13.



Rahman S. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam.



14.



Sharma S B, Hong P. 2012. Ingestion and Pharyngeal Trauma Causing Secondary Retropharyngeal Abscess in Five Adult Patients. Case Reports in Emergency Medicine,2012, 1-5. doi:10.1155/2012/943090



15.



Tagliareni J M, Clarkson E I. 2012. Tonsillitis, Peritonsillar and Lateral Pharyngeal Abscesses. Oral and Maxillofacial Surgery Clinics of North America,24(2), 197-204. doi:10.1016/j.coms.2012.01.014



16.



Tubachi J, Hakeem A, Pradeep D, Nayak P. 2012. Surgical Management of Parapharyngeal Abscess. Otorhinolaryngology Clinics - An International Journal,4, 122-124. doi:10.5005/jp-journals-10003-1097



32