Referat Efek Samping Obat Anti Psikotik (Muh Zulfikar) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT “EFEK SAMPING OBAT ANTI PSIKOTIK”



Oleh: Muhammad Zulfikar 70700120016



Supervisor dr. Fanny Wijaya Sp.KJ



DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT JIWA PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN 2021



Lembar Pengesahan



Referat dengan judul “Efek Sampning Obat Anti Psikotik” Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui Pada Tanggal



April 2021



Oleh: Pembimbing



dr. Fanny Wijaya Sp.KJ NIP:



Mengetahui, Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar



dr.Azizah Nurdin , Sp.OG, M.Kes NIP : 19840905 200901 2 011



ii



DAFTAR ISI



Lembar Pengesahan.................................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2 2.1 Pengertian Obat Antipsikotik.........................................................................2 2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik..................................................................................2 2.2.1 Atipsikotik Generasi Pertama (APG I)....................................................4 2.2. 2 Antipsikotik Generasi Kedua (APG II)................................................15 2.3 Interaksi Obat..............................................................................................23 BAB III KESIMPULAN........................................................................................24 BAB IV DAFTAR PUSTAKA..............................................................................25



iii



BAB I PENDAHULUAN Istilah antipsikotik dan neuroleptik secara bergantian, digunakan untuk menyebut kelompok obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia, tetapi juga efektik untuk keadaan psikosis atau agitatif yang disebabkan karena hal lain. Obat obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki beberapa efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi atau mengantuk berat.1 Antipsikotik telah digunakan di kedokteran barat selama lebih 50 tahun. Reserpin dan klorpromazin merupakan obat pertama yang ditemukan untuk mengobati skizofrenia. Sampai saat ini terus berkembang bahwa obat antipsikotik sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah antipsikotik. Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebakan reaksi ekstrapiramidal (EPS : extrapyramidal syndrom) yang umum terjadi dengan obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapin, zotepin, ziprasidone dan lainnya.1 Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat resepor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik, dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata-kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif



1



menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat Antipsikotik Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya. 3 Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor. Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.



1



2.2 Jenis-Jenis Antipsikotik 3 No 1



Nama obat Antipsikotik tipikal : -



Phenothiazine 



Rantai aliphatic : chlorpromazine







Rantai



piperazine



:



perphenazine,



trifluoperazine,



fluphenazine  2



Rantai piperidine : thioridazine



Butyrophenone : Haloperidol



- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide Antipsikotik atipikal : -



Benzamide : sulpiride



-



Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine



-



Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole



2



Sediaan obat antipsikotik 4 No 1



Nama obat Chlorpromazine



Sediaan Tab 25-100 mg



Dosis anjuran 150-600mg/h



Amp 50mg/2cc



50-100 mg(im) setiap 4-6 jam Anak anak >5 tahun ½ dosis orang dewasa, anak anak < 5 tahun 1 mg/kgBB . bila perlu diberikan 2x sehari.



2



3 4



Haloperidol



Perphenazine Fluphenazine



Tab 0,5-1,5 mg- 5 5-15 mg/h mg



5-10mg(im) setiap 4-6 jam



Amp 5mg/cc



50



Amp 50mg/cc Tab 2-4-8 mg Tab 2,5-5 mg



minggu 12-24 mg/h 10-15 mg/h



Vial 25 mg/cc



25



mg(im)



mg(im)



5 6 7



Trifluoperazine Thioridazine Sulpiride



Tab 1-5 mg Tab 50-100 mg Amp 100mg/2cc



minggu 10-15 mg/h 150-300 mg/h 3-6 amp/h



8 9



Pimozide Risperidone



Tab 200 mg Tab 4 mg Tab 1-2-3 mg



300-600mg/h 2-4 mg/h 2-6 mg/h



Vial 25 mg/cc



25-50



minggu 25-100mg/h 50-400 mg 10-20 mg/h 75-100 mg/h 10-15 mg/h



10 11



Clozapine Quetiapine



Vial 50 mg/cc Tab 25-100 mg Tab 25-100 mg



12 13 14



Olanzapine Zotepine Aripiprazole



200 mg Tab 5-10mg Tab 25-50 mg Tab 10-15 mg



3



mg(im)



setiap



2-4



setiap



2-4



setiap



2



2.2.1 Atipsikotik Generasi Pertama (APG I) Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua (APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.1,5 Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk gejala positif. Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuronneuron yang berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuronneuron ini menghasilkan system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,8 Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga



4



dengan antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8 Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.5,8 Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal, mengontrol movements atau pergerakan.2,8 Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual



dan



peningkat



berat



badan.



Fungsi



normal



jalur



dopamin



tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,8



5



Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor



kolinergik muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8



Kerugian pemberian APG I: 1.



Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia



2.



Memperburuk gejala negatif dan kognitif



3.



Peningkatan kadar prolaktin



4.



Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan



2.2.1.1. Efek samping antipsikotik tipikal Mekanisme kerja antipsikotik pada penghambatan reseptor dopamine ternyata memberi efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu,



6



berbagai antipsikotik juga menghambat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik jadi menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-obat tersebut. Interferensi dengan transmisi dopaminergik dapat mengakibatkan efek samping



baik



endokrinologis



seperti



hiperprolaktinemia,



yang



dapat



memanifestasikan dirinya sebagai galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari semua efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup pasien dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3



A. Efek Samping Non neurologis1,5,8



7



1. Efek pada jantung Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan



antipsikotik



potensi



tinggi.



Chlorpromazine



menyebabkan



perpanjangan interval QT dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.1 2. Hipotensi ortostatik (postural) Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya. Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada pasien yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi volume



dengan



cairan



sangat



membantu.



Pemberian



epinefrin



dikontraindikasikan karena dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic α-1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.1,5,8



8



3. Efek hematologis Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis. Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%. Purpura trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-kadang dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik. 1



4. Efek Antikolinergik Perifer Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis. Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten. Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen karet



atau



permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta



9



preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8 5.



Efek Endokrin Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular



menyebabkan peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara, galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8. 6. Efek Dermatologis Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih



10



dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya. Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1 7. Efek pada Mata Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible. Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8 8. Ikterus Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3 9. Overdosis Antipsikotik Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat dipertimbangkan. Terapi



11



kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1 B. Efek Samping Neurologis Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2 1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap



lingkungan)



merupakan



gejala



parkinsonisme



yang



sering



didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia. 1,3,8 Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan



12



aktivitas antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 1 Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8 Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan



sehingga



perlu



meneruskan



pemberian



antikolinergik



setelah



menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme pulih sepenuhnya. 1 2. Distonia Akut akibat Neuroleptik Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis. 1,2 Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling sering terjadi pada laki-laki muda (